Pemanfaatan arang ampas tebu sebagai adsorben ion logam Cd, Cr, Cu dan Pb dalam air limbah

(1)

PEMANFAATAN ARANG AMPAS TEBU SEBAGAI ADSORBEN

ION LOGAM Cd, Cr, Cu DAN Pb

DALAM AIR LIMBAH

ADE APRILIANI

PROGRAM STUDI KIMIA

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Esa lagi Maha Perkasa yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dan para makhluk-Nya yang lain. Atas berkat rahmat dan karunia serta ridho-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi

Pemanfaatan Arang Ampas Tebu sebagai Adsorben Ion Logam Berat Cd, Cr,

Cu dan Pb dalam Air Limbah” Shalawat serta salam semoga tetap tercurah

kepada junjungan kita Rasulullah Muhammad SAW, kepada para keluarga dan para sahabatnya serta termasuk kita pula selaku ummatnya. Amin.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat menempuh ujian Sarjana Sains pada Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sri Yadial Chalid, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Nurhasni, M.Si, selaku Dosen Pembimbing I, yang telah membantu penulis serta memberikan semangat dan motivasi serta masukan dalam menyelesaikan penelitian dan skripsi


(3)

4. Hendrawati, M.Si, selaku Kepala Laboratorium Kimia PLT UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai Dosen Pembimbing II yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di laboratorium kimia dan memberikan nasihat serta bimbingannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.

5. Dr. Mirzan T Razzak, M.Eng, APU selaku Kepala Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sebagai Dosen Penguji I yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian serta telah memberikan saran dan masukan yang sangat bermanfaat untuk perbaikan skripsi ini.

6. Yusraini Dian Inayati Siregar, M.Si. selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan saran yang sangat bermanfaat untuk perbaikan skripsi ini.

7. Bapak (H. Dai Murdalih) dan Ibuku tersayang (Hj. Nuryani) serta kakak- kakak tercinta (a iwan, a ita, a irfan, a irul, a indi, a memes, a dedy dan a dukut) dan tiga keponakanku (daffa, danar dan akhdan) yag telah memberikan cinta dan kasih sayangnya baik secara moril maupun materil dalam pelaksanaan dan penyusunan skripsi.

8. Seluruh Dosen dan Karyawan Program Studi Kimia, terimakasih atas pengajaran dan ilmunya yang bermanfaat bagi penulis.

9. Staf Laboran PLT UIN khususnya laboratorium kimia, pangan dan lingkungan yang telah sangat membantu dalam penelitian.


(4)

10. Nunu, yang sama-sama merasakan suka dan duka selama penelitian dan berbagi ilmu kepada penulis.

11. Sahabat-sahabat terhebatku Ria, Fiqi, Wardah, Reska, Tika, Uchi dan Ndut Aan terimaksih atas semua ketulusan, semangat dan perhatian yang kalian berikan selama ini. Tetap semangat dalam kebersamaan.

12. Aji, yang selalu memberikan doa, semangat dan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi.

13. Teman-teman Kimia 2005 yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan kalian semua.

Akhir kata semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Dengan segenap kerendahan hati penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Saran dan kritik yang konstruktif dari pembaca sangat penulis harapkan.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Jakarta, Maret 2010


(5)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

ABSTRAK ... xvi

ABSTRACT ... ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 4

1.3. Hipotesa ... 4

1.4. Tujuan Penelitian ... 4

1.5. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Adsorpsi ... 6

2.1.1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Adsorpsi ... 9

2.1.2. Metode Sorpsi... 10

2.2. Biosorpsi... 11

2.3. Isoterm Adsorpsi ... 13

2.3.1. Isoterm Langmuir ... 14


(6)

2.4. Logam Berat ... 16

2.4.1. Timbal (Pb) ... 17

2.4.2. Kadmium (Cd) ... 19

2.4.3. Kromium (Cr) ... 20

2.4.4. Tembaga (Cu) ... 22

2.5. Tanaman Tebu ... 23

2.5.1. Ampas Tebu ... 25

2.6. Spektroskopi Serapan Atom (SSA) ... 26

2.6.1. Prinsip Spektroskopi Serapan Atom ... 27

BAB III METODE PENELITIAN ... 33

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ... 33

3.2. Alat dan Bahan ... 33

3.2.1. Alat ... 33

3.2.2. Bahan ... 33

3.3. Rancangan Penelitian ... 34

3.4. Prosedur Kerja ... ... 35

3.4.1. Pembuatan Arang Ampas Tebu ... 35

3.4.2. Preparasi Limbah Simulasi ... 35

3.4.3. Penentuan Kondisi Optimum ... 36

1).Penentuan Pengaruh Massa Arang Ampas Tebu terhadap Penyerapan Ion Logam Cd, Cr, Cu dan Pb ... 36

2). Penentuan Pengaruh pH Larutan Ion logam ... 36

3). Penentuan Pengaruh Konsentrasi Larutan Ion Logam ... 37

4). Penentuan Pengaruh Lama Pemanasan ... 37


(7)

3.3.5. Aplikasi Penggunaan Arang Ampas Tebu pada Limbah Simulasi .... 38

3.4.6. Aplikasi Penggunaan Arang Ampas Tebu pada Limbah Laboratorium 39 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

4.1. Pengaruh Massa Arang Ampas Tebu ... 40

4.2. Pengaruh pH Larutan Ion Logam ... 42

4.3. Pengaruh Konsentrasi Larutan Ion Logam ... 43

4.4. Pengaruh Lama Pemanasan ... 45

4.5. Aplikasi pada Limbah Simulasi ... 48

4.6. Aplikasi pada Limbah Laboratorium Kimia Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. ... 50

4.7. Isoterm Adsorpsi ... 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

5.1. Kesimpulan ... 57

5.2. Saran ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 59


(8)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Kurva Isoterm Langmuir ...15

Gambar 2. Kurva Isoterm Freundlich ...16

Gambar 3. (a) Batang Tebu dan (b) Tanaman Tebu ...24

Gambar 4. Skema Prinsip SSA ...28

Gambar 5. (a) Komponen-komponen utama SSA, (b) Sistem Instrumentasi SSA Single Beam dan (c) Double Beam ...29

Gambar 6. Lampu Katoda ...30

Gambar 7. Gambar Nebulizer,Burner dan Spray Chamber ………..31

Gambar 8. Bagan Alir Penelitian ………..34

Gambar 9. Pengaruh Massa Arang Ampas Tebu terhadap Penyerapan Ion Logam Cd (II), Cr (VI), Cu(II) dan Pb(II) (volume 10ml, konsentrasi 20 mg/L dan lama pemanasan 2,5jam)...40

Gambar 10.Pengaruh pH Ion Logam Cd(II), Cr(VI), Cu(II) dan Pb(II) terhadap Efisiensi Penyerapan Arang Ampas Tebu(volume 10ml, konsentrasi 20 mg/L, Massa 0,5 g arang ampas tebu) ...42

Gambar 11. Pengaruh Konsentrasi Ion Logam Cd(II), Cr(VI), Cu(II) dan Pb(II) terhadap Efisiensi Penyerapan Ampas Tebu (volume 10 ml, konsentrasi 20 mg/L, massa 0,5 g ampas tebu)...44

Gambar 12.Pengaruh Lama Pemanasan Arang Ampas Tebu terhadap Penyerapan Ion logam Cd(II), Cr(VI), Cu(II) dan Pb(II)(volume 10ml, konsentrasi 20mg/L, suhu 2500C, massa 0,5 g ampas tebu) ...46

Gambar 13.Pembentukan Senyawa Kompleks antara Ion Logam Pb dengan Selulosa ...52

Gambar 14. (a) Isoterm Langmuir dan (b) Isoterm Freundlich adsorpsi ion logam Cd oleh ampas tebu ...53

Gambar 15. (a) Isoterm Langmuir dan (b) Isoterm Freundlich adsorpsi ion logam Pb oleh ampas tebu...54


(9)

Gambar 16. (a) Isoterm Langmuir dan (b) Isoterm Freundlich adsorpsi

ion logam Cr oleh ampas tebu ...55 Gambar 17. (a) Isoterm Langmuir dan (b) Isoterm Freundlich adsorpsi


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komponen Penyusun Serat Ampas Tebu ...26 Tabel 2. Kapasitas Penyerapan Ion Logam pada Variasi Massa Arang

Ampas Tebu ...41 Tabel 3. Kapasitas Penyerapan Ion Logam pada Variasi pH Larutan

Ion Logam ...43 Tabel 4. Kapasitas Penyerapan Ion Logam pada Variasi Konsentrasi

Larutan Ion Logam ...45 Tabel 5. Kapasitas Penyerapan Ion Logam pada Variasi Lama Pemanasan ...47 Tabel 6. Aplikasi Penyerapan Ion Logam dalam Limbah Simulasi ………..48 Tabel 7. Aplikasi Penyerapan Ion Logam dalam Limbah Laboratorium


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data Penentuan Kondisi Optimum Penyerapan ...63

Lampiran 2. Contoh Perhitungan Efisiensi dan Kapasitas Penyerapan ...69

Lampiran 3. Isoterm Langmuir Adsorpsi Ion Logam oleh Ampas Tebu ...70

Lampiran 4. Isoterm Freundlich Adsorpsi Ion Logam oleh Ampas Tebu ...72

Lampiran 5. Asam dan Basa Beberapa Senyawa dan dan Ion Menurut Prinsip HSAB dari Pearson ...74

Lampiran 6. Pembuatan Larutan ...75

Lampiran 7. Pembuatan Larutan Buffer ...76


(12)

ABSTRAK

ADE APRILIANI. Pemanfaatan Arang Ampas Tebu sebagai Adsorben Ion

Logam Cd, Cr, Cu dan Pb dalam Air Limbah. Di bawah bimbingan Nurhasni, M.Si dan Hendrawati, M.Si.

Telah dilakukan penelitian terhadap kemampuan arang ampas tebu sebagai adsorben untuk menyerap ion logam Cd, Cr, Cu dan Pb dalam air limbah. Percobaan dilakukan dalam skala laboratorium menggunakan metode batch. Penentuan kondisi optimum meliputi massa adsorben, pH, konsentrasi ion logam dan lama pemanasan. Hasil analisis menggunakan Spektroskopi Serapan Atom (SSA) dalam air limbah simulasi menunjukkan efisiensi penyerapan tertinggi pada ion logam Pb sebesar 95,92 % dan kapasitas penyerapan 0,3940 mg/g. Sedangkan efisiensi penyerapan terendah pada ion logam Cd dengan nilai 59,98 % dan kapasitas penyerapan 0,4096 mg/g. Pada air limbah Laboratorium Kimia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, efisiensi penyerapan tertinggi pada ion logam Cu dengan efisiensi penyerapan sebesar 92,85 % dan kapasitas penyerapan 0,026 mg/g. Sedangkan efisiensi penyerapan terendah pada ion logam Cd, yaitu 62,33 % dengan kapasitas penyerapan 0,0374 mg/g.


(13)

ABSTRACT

ADE APRILIANI. The Used of Sugarcane Bagasse Charcoal as an Adsorbent of

Metal Ions Cd, Cr, Cu and Pb in Wastewater. Advisor Nurhasni, M.Si and Hendrawati, M.Si.

The ability of sugarcane bagasse charcoal as an adsorbent to adsorp metal ions of Cd, Cr, Cu and Pb from wastewater has been investigated. The experiment was done in laboratory scale by using batch method. The determination of optimum condition was include of adsorbent dosage, pH concentration of metal ions and duration of heating. The result was analyzed by using Atomic Absorption Spectroscopy (AAS) in simulation wastewater indicate the highest adsorption efficiency increase 95,92% for Pb metal ion and adsorption capacity 0,3941 mg/g. Meanwhile the lowest adsorption efficiency for Cd metal ion is 59,98% and adsorption capacity 0,4096 mg/g. In wastewater from Chemical Laboratory of UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, the result indicate the highest adsorption efficiency increase 92,85% for Cu metal ion and adsorption capacity 0,026 mg/g. Meanwhile the lowest adsorption efficiency for Cd metal ion, that is 62,33% with adsoption capacity 0,0374 mg/g.


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan industri yang ada saat ini telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Akibat proses industrialisasi tersebut dihasilkan buangan limbah industri berupa limbah cair, padat maupun gas yang dapat mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan. Limbah cair pada industri ini memberikan kontribusi terhadap pelepasan logam berat beracun di dalam aliran air. Hal ini akan berdampak negatif pada makhluk hidup di lingkungan sekitarnya.

Beberapa metode untuk menghilangkan logam berat dari air limbah telah dilakukan dengan proses secara fisika dan kimia yang meliputi presipitasi, koagulasi dan pertukaran ion. Tetapi metode-metode tersebut diatas masih mahal terutama bagi negara-negara yang sedang berkembang. Proses adsorpsi merupakan teknik pemurnian dan pemisahan yang efektif dipakai dalam industri karena dianggap lebih ekonomis dalam pengolahan air dan limbah (Al-Asheh et al., 2000) dan merupakan teknik yang sering digunakan untuk mengurangi ion logam berat dalam air limbah (Selvi et al., 2001).

Pertimbangan biaya untuk pengolahan merupakan salah satu alternatif yang perlu dipertimbangkan untuk memilih teknologi yang akan digunakan untuk pengolahan senyawa logam berat tersebut. Senyawa alam yang banyak terdapat dalam limbah pertanian atau buangan industri merupakan potensi adsorben murah. Biaya pengolahan adalah parameter yang penting dalam memilih adsorben dan biaya masing-masing adsorben sangat bervariasi, tergantung pada proses yang


(15)

diperlukan dan ketersediaan adsorben tersebut. Secara umum adsorben dapat dikatakan murah apabila tidak memerlukan atau memerlukan sedikit proses, bahannya banyak terdapat dan merupakan hasil samping atau limbah dari industri (Arifin, 2003).

Pemanfaatan bahan alami atau biomaterial dari limbah pertanian sebagai bahan pengganti karbon aktif ataupun resin penukar ion untuk menyerap senyawa- senyawa beracun telah mulai diteliti. Penggunaan biomaterial dari limbah pertanian atau industri dapat digunakan sebagai alternatif adsorben dengan biaya rendah diantaranya adalah tongkol jagung, gabah padi, ampas kedelai, biji kapas, jerami dan kulit kacang tanah (Marshall dan Mitchell, 1996). Dari penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa biomaterial mengandung gugus fungsi antara lain karboksil, amino, sulfat, polisakarida, lignin dan sulfihidril mempunyai kemampuan penyerapan yang baik (Volesky, 2004).

Ampas tebu adalah hasil limbah dari industri gula atau pembuatan minuman dari air tebu yang belum termanfaatkan secara optimal sehingga membawa masalah tersendiri bagi industri gula maupun lingkungan karena dianggap sebagai limbah. Secara kimiawi, komponen utama penyusun ampas tebu adalah serat yang didalamnya terkandung gugus selulosa, poliosa seperti hemiselulosa, lignoselulosa dan lignin (Santosa dkk., 2003). Dari komponen penyusun ampas tebu tersebut, peneliti ingin mengetahui kemampuan ampas tebu dalam menyerap ion logam dalam air limbah karena ampas tebu memiliki serat dan pori-pori yang cukup besar dalam menampung gula yang sebelumnya terkandung dalam ampas tebu tersebut. Sehingga ion logam dapat terserap menggantikan posisi gula. Penggunaan ampas tebu sebagai alternatif biomaterial


(16)

penyerap ion logam merupakan proses daur ulang yang sangat baik bagi penghematan sumber daya alam dan merupakan salah satu cara bagi pengolahan limbah, seperti yang dikemukakan oleh para pakar lingkungan bahwa sebaik- baiknya pengolahan limbah adalah dengan cara daur ulang. Selain itu, karena ampas tebu mudah didapatkan serta dapat diregenerasi kembali dan dari sisi ekonomis harga ampas tebu yang murah dibanding penyerap sintetis lain, maka hal ini menjadi keuntungan tersendiri dalam penggunaan ampas tebu sebagai penyerap ion logam Cd, Cr, Cu dan Pb (Refilda dkk., 2001).

Pemanfaatan ampas tebu menjadi arang mempunyai prospek yang bagus dan ekonomis untuk dikembangkan. Hasil pengarangan ampas tebu pada suhu 320oC akan mengakibatkan penguraian lignosellulose mejadi asam asetat, metanol, gas CO, CH4, H2 dan CO2. Asam asetat umumnya berasal dari selulosa,

terutama hemiselolosa sedangkan metanol berasal dari lignin yang dapat larut. Arang ampas tebu yang dibuat melalui tahap pirolisis (proses karbonisasi) pada suhu tertentu dapat dijadikan alternatif adsorben untuk menyerap ion logam berat beracun (Mukhlieshin, 1997).

Dalam penelitian ini akan diselidiki kemampuan arang ampas tebu dalam menyerap ion logam, khususnya terhadap ion logam berat Cd, Cr, Cu dan Pb. Keempat logam tersebut banyak digunakan dalam industri dan memiliki potensi dampak pencemaran pada lingkungan. Dengan menggunakan metode statis (batch) serta analisis penyerapan logam menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA), diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sumbangan ilmu pengetahuan dalam upaya pengelolaan limbah industri sehingga dapat mengurangi


(17)

terjadinya pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh adanya ion logam dan senyawa beracun.

1.2. Perumusan Masalah

1. Apakah arang ampas tebu dapat menyerap ion logam Cd, Cr, Cu dan Pb pada air limbah?

2. Berapa efisiensi dan kapasitas penyerapan arang ampas tebu sebagai adsorben terhadap ion logam Cd, Cr, Cu dan Pb?

1.3. Hipotesa

1. Arang ampas tebu dapat menyerap ion logam Cd, Cr, Cu dan Pb pada air limbah.

2. Efisiensi dan kapasitas penyerapan arang ampas tebu terhadap ion logam Cd, Cr, Cu dan Pb dapat mencapai 100%.

1.4. Tujuan Penelitian

1. Menguji dan menganalisis kemampuan arang ampas tebu dalam menyerap ion logam Cd, Cr, Cu dan Pb serta menentukan kondisi optimum terhadap beberapa parameter yang digunakan antara lain massa adsorben, konsentrasi ion logam, pH ion logam dan lama pemanasan.

2. Memanfaatkan penggunaan ampas tebu sebagai hasil limbah dari industri gula maupun pembuatan minuman sari tebu dalam bentuk arang agar tidak mencemari lingkungan.


(18)

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi bahwa arang ampas tebu dapat digunakan sebagai alternatif biomaterial penyerap ion logam sehingga dapat diaplikasikan penggunaannya dalam upaya mengurangi pencemaran lingkungan, khususnya lingkungan perairan.


(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Adsorpsi

Adsorpsi merupakan suatu proses penyerapan oleh padatan tertentu terhadap zat tertentu yang terjadi pada permukaan zat padat karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan zat padat tanpa meresap ke dalam (Atkins,1999).

Proses adsorpsi dapat terjadi karena adanya gaya tarik atom atau molekul pada permukaan padatan yang tidak seimbang. Adanya gaya ini, padatan cenderung menarik molekul-molekul yang lain yang bersentuhan dengan permukaan padatan, baik fasa gas atau fasa larutan ke dalam permukaannya. Akibatnya, konsentrasi molekul pada permukaan menjadi lebih besar dari pada dalam fasa gas atau zat terlarut dalam larutan. Menurut Giles dalam Osipow (1962), yang bertanggung jawab terhadap adsorpsi adalah gaya tarik van der waals, pembentukan ikatan hidrogen, pertukaran ion dan pembentukan ikatan kovalen.

Adsorpsi dapat terjadi pada antarfasa padat-cair, padat-gas atau gas-cair. Molekul yang terikat pada bagian antarmuka disebut adsorbat, sedangkan permukaan yang menyerap molekul-molekul adsorbat disebut adsorben. Pada adsorpsi, interaksi antara adsorben dengan adsorbat hanya terjadi pada permukaan adsorben. Adsorpsi adalah gejala pada permukaan, sehingga makin besar luas permukaan, maka makin banyak zat yang teradsorpsi. Walaupun demikian, adsorpsi masih bergantung pada sifat zat pengadsorpsi (Fatmawati, 2006).


(20)

Berdasarkan besarnya interaksi antara adsorben dan adsorbat, adsorpsi dibedakan menjadi dua macam yaitu adsorpsi fisika dan adsorpsi kimia.

a. Adsorpsi Fisika

Dalam adsorpsi fisika, molekul-molekul teradsorpsi pada permukaan adsorben dengan ikatan yang lemah. Adsorpsi fisika terjadi bila gaya intermolekular lebih besar dari gaya tarik antar molekul atau gaya tarik menarik yang relatif lemah antara adsorbat dengan permukaan adsorben, gaya ini disebut gaya Van der Waals sehingga adsorbat dapat bergerak dari satu bagian permukaan ke bagian permukaan lain dari adsorben. Adsorpsi ini berlangsung cepat, dapat membentuk lapisan jamak (multilayer) dan dapat bereaksi balik (reversibel), sehingga molekul-molekul yang teradsorpsi mudah dilepaskan kembali dengan cara menurunkan tekanan gas atau konsentrasi zat terlarut.

Panas adsorpsi yang menyertai adsorpsi fisika yaitu berkisar 10 kJ/mol (kira-kira mempunyai orde yang sama dengan kalor yang dilepaskan pada proses kondensasi adsorbat) dan lebih panas dari adsorpsi kimia. Adsorpsi fisika umumnya terjadi pada temperatur yang rendah dan jumlah zat yang teradsorpsi akan semakin kecil dengan naiknya suhu. Banyaknya zat yang teradsorpsi dapat beberapa lapisan monomolekuler, demikian juga kondisi kesetimbangan tercapai segera setelah adsorben bersentuhan dengan adsorbat. Hal ini dikarenakan dalam fisika tidak melibatkan energi aktivasi.

b. Adsorpsi Kimia

Pada adsorpsi kimia, molekul-molekul yang teradsorpsi pada permukaan adsorben bereaksi secara kimia, karena adanya reaksi antara molekul-molekul adsorbat dengan adsorben dimana terbentuk ikatan kovalen dengan ion, sehingga


(21)

terjadi pemutusan dan pembentukan ikatan (Reza, 2002). Oleh karena itu, panas adsorpsinya mempunyai kisaran yang sama seperti reaksi kimia, yaitu berkisar 100 kJ/mol (mempunyai orde besaran yang sama dengan energi ikatan kimia). Ikatan antara adsorben dengan adsorbat dapat cukup kuat sehingga spesies aslinya tidak dapat ditemukan kembali. Adsorpsi ini bersifat irreversibel, hanya dapat membentuk lapisan tunggal (monolayer) dan diperlukan energi yang banyak untuk melepaskan kembali adsorbat (dalam proses adsorpsi). Pada umumnya, dalam adsorpsi kimia jumlah (kapasitas) adsorpsi bertambah besar dengan naiknya temperatur. Zat yang teradsorpsi membentuk satu lapisan monomolekuler dan relatif lambat tercapai kesetimbangan karena dalam adsorpsi kimia melibatkan energi aktivasi (Oscik, 1982).

Menurut Syahmani dan Sholahudin (2007), energi adsorpsi fisika adalah 42 kJ/mol sedangkan adsorpsi kimia berada dalam kisaran 42-420 kJ/mol. Secara kualitatif perilaku adsorpsi dapat juga dipandang dari sifat polar ataupun nonpolar antara zat padat (adsorben) dengan komponen larutan (adsorbat). Adsorben polar akan cenderung mengadsorpsi kuat adsorbat polar dan lemah terhadap adsorbat nonpolar, demikian juga sebaliknya. Adsorben polar akan mengadsorpsi kuat zat terlarut polar dari pelarut nonpolar karena kelarutannya yang rendah dan mengadsorpsi yang lemah dari pelarut polar karena kelarutannya yang tinggi, demikian juga sebaliknya.

Menurut Hughes dan Poole (1984) proses adsorpsi melalui pertukaran ion dan kompleksasi hanya berlangsung pada lapisan permukaan sel yang mempunyai situs-situs yang bermuatan berlawanan dengan muatan ion logam sehingga interaksinya merupakan interaksi pasif dan relatif cepat. Molekul adsorben secara


(22)

kimiawi dianggap mempunyai situs-situs aktif atau gugus fungsional yang mampu berinteraksi dengan logam permukaan sel seperti posfat, karboksil, amina dan amida. Jika proses adsorpsi melalui pertukaran ion, adsorpsi dipengaruhi oleh banyak proton dalam larutan yang berkompetisi dengan ion logam pada permukaan adsorben, sehingga pada pH yang rendah jumlah proton melimpah, peluang terjadinya pengikatan logam oleh adsorben relatif kecil, sebaliknya pada pH tinggi, jumlah proton relatif kecil menyebabkan peluang terjadinya pengikatan logam menjadi besar.

2.1.1. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Daya Adsorpsi

Menurut Gaol (2001), banyaknya adsorbat yang terserap pada permukaan adsorben dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

1. Jenis Adsorbat, dapat ditinjau dari

a. Ukuran molekul adsorbat, rongga tempat terjadinya adsorpsi dapat dicapai melalui ukuran yang sesuai, sehingga molekul-molekul yang bisa diadsorpsi adalah molekul-molekul yang berdiameter sama atau lebih kecil dari diameter pori adsorben.

b. Polaritas molekul adsorbat, apabila diameter sama, molekul-molekul polar lebih kuat diadsorpsi daripada molekul-molekul yang kurang polar, sehingga molekul-molekul yang lebih polar bisa menggantikan molekul-molekul yang kurang polar yang telah diserap.

2. Sifat Adsorben, dapat ditinjau dari

a. Kemurnian adsorben, adsorben yang lebih murni memiliki daya serap yang lebih baik


(23)

b. Luas Permukaan, semakin luas permukaan adsorben maka jumlah adsorbat yang terserap akan semakin banyak pula.

c. Temperatur, adsorpsi merupakan proses eksotermis sehingga jumlah adsorbat akan bertambah dengan berkurangnya temperatur adsorbat. Adsorpsi fisika yang substansial biasa terjadi pada temperatur di bawah titik didih adsorbat, terutama di bawah 50 oC. Sebaliknya pada adsorpsi kimia,

jumlah yang diadsorpsi berkurang dengan naiknya temperatur adsorbat. d. Tekanan, untuk adsorpsi fisika, kenaikan tekanan adsorbat mengakibatkan

kenaikan jumlah zat yang diadsorpsi.

2.1.2. Metode Sorpsi

Metode sorpsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu statis (batch) dan dinamis (kolom).

1. Cara statis yaitu ke dalam wadah yang berisi sorben dimasukkan larutan yang mengandung komponen yang diinginkan, selanjutnya diaduk dalam waktu tertentu, kemudian dipisahkan dengan cara penyaringan atau dekantasi. Komponen yang telah terikat pada sorben dilepaskan kembali dengan melarutkan sorben dalam pelarut tertentu dan volumenya lebih kecil dari volume larutan mula-mula.

2. Cara dinamis (kolom) yaitu ke dalam kolom yang telah diisi dengan sorben dilewatkan larutan yang mengandung komponen tertentu selanjutnya komponen yang telah terserap dilepaskan kembali dengan mengalirkan pelarut (eluen) sesuai yang volumenya lebih kecil.


(24)

Karena selektivitasnya yang tinggi, proses adsorpsi sangat sesuai untuk memisahkan bahan dengan konsentrasi yang kecil dari campuran yang mengandung bahan lain yang berkonsentrasi tinggi. Bentuk lain dari adsorpsi adalah pertukaran ion (ion exchange).

Kecepatan adsorpsi tidak hanya bergantung pada perbedaan konsentrasi dan luas permukaan adsorben, melainkan juga pada suhu, pH larutan, tekanan (untuk gas), ukuran partikel, dan porositas adsorben tetapi juga bergantung pada ukuran molekul bahan yang akan diadsorpsi dan viskositas campuran yang akan dipisahkan (Hanjono, 1995).

2.2. Biosorpsi

Proses penyerapan yang menggunakan material biologi (biomaterial) sebagai sorben disebut biosorpsi. Menurut Cossich et al., (2003), biosorpsi didefinisikan sebagai proses pengunaan bahan alami untuk mengikat logam berat. Proses ini terjadi ketika ion logam berat mengikat dinding sel dengan dua cara yang berbeda, pertama pertukaran ion di mana ion monovalent dan divalent seperti Na, Mg, dan Ca pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam berat; dan kedua adalah pembentukan kompleks antara ion-ion logam berat dengan fungsional grup seperti karbonil, amino, thiol, hidroksi, posfat, dan hidroksi- karboksil yang berada pada dinding sel. Proses biosorpsi ini bersifat bolak balik dan cepat. Proses bolak balik ikatan ion logam berat di permukaan sel ini dapat terjadi pada sel mati dan sel hidup dari suatu biomass. Proses biosorpsi dapat lebih efektif dengan kehadiran tertentu pH dan kehadiran ion-ion lainnya di media di mana logam berat dapat terendapkan sebagai garam yang tidak terlarut. Pada saat


(25)

ion logam berat tersebar pada permukaan sel, ion akan mengikat pada bagian permukaan sel berdasarkan kemampuan daya afinitasnya (Gadd dalam Sunarya, 1998).

Biomaterial yang digunakan sebagai penyerap disebut biosorben. Biomaterial memiliki kemampuan penyerapan yang unik. Penyerapan dapat melalui pengikatan aktif dan pasif. Pengikatan aktif melibatkan reaksi metabolisme terjadi pada biomaterial yang hidup sedangkan pengikatan pasif hanya terjadi pada biomaterial yang telah mati. Tidak seperti sorben sintetis (resin, silica dan selulosa) yang hanya mengandung satu macam gugus fungsi, biomaterial memiliki berbagai fungsi yang ditemukan dalam sel dan dinding selnya. Gugus fungsi yang aktif dalam proses penyerapan diantaranya karboksil, hidroksil, amino, posfat dan lain-lain.

Mekanisme penyerapan ion logam yang terjadi pada biomaterial telah diusulkan oleh Tzesus dalam Guibal et al., (1992) yang berhubungan dengan perpindahan ion logam melalui lapisan atau permukaan dinding.

Tahap perpindahan yang terjadi adalah :

1. Perpindahan ion logam dari bagian larutan ke film pembatas yang ada di sekitar dinding sel

2. Perpindahan ion logam dari film pembatas ke permukaan sel 3. Perpindahan ion logam sel ke sisi aktif biomaterial

4. Fase penyerapan yang terdiri dari pengikatan, pengompleksan dan pengendapan di dalam membran biomaterial.

Biomaterial menarik untuk dipelajari dalam proses penyerapan karena banyak terdapat di alam, pengoperasiannya sederhana (relatif murah), memiliki


(26)

kemampuan penyerapan yang lebih dan ukuran partikelnya dapat dioptimumkan (Fourest dan Roux, 1992).

Proses adsorpsi menggunakan produk limbah pertanian atau biosorpsi menjadi alternatif baru untuk pengolahan air limbah. Menurut Kargi dan Cikla (2006), proses biosorpsi lebih baik digunakan untuk metode kimia dan fisika dikarenakan oleh faktor-faktor di bawah ini :

a. Tanaman dapat digunakan sebagai adsorben dari limbah berlebih yang dihasilkan dari pengolahan air limbah

b. Biosorben murah, mudah didapatkan dan kemungkinan dapat digunakan kembali

c. Penyerapan ion logam selektif dapat menggunakan biosorben

d. Proses biosorpsi dapat dilakukan secara luas pada beberapa kondisi lingkungan seperti pH, kekuatan ion dan temperatur.

2.3. Isoterm Adsorpsi

Isoterm adsorpsi merupakan fungsi konsentrasi zat terlarut yang terserap pada padatan terhadap konsentrasi larutan. Persamaan yang dapat digunakan untuk menjelaskan data percobaan isoterm dikaji oleh Freundlich, Langmuir, serta Brunauer, Emmet dan Teller (BET). Tipe isoterm adsorpsi dapat digunakan untuk mempelajari mekanise adsorpsi adsorpsi fase cair-padat pada umumnya menganut tipe isoterm Freundlich dan Langmuir (Atkins, 1999). Adsorben yang baik memiliki kapasitas adsorpsi dan presentase penyerapan yang tinggi.


(27)

Sedangkan presentase adsorpsi (efisiensi adsorpsi) dapat dihitung dengan menggunakan rumus :

Keterangan :

Q = Kapasitas adsorpsi per bobot molekul (mg/g) C1 = Konsentrasi awal larutan (mg/L)

C2 = Konsentrasi akhir larutan (mg/L)

m = Massa adsorben (g)

V = Volume larutan (mL)

% E = Efisiensi adsorpsi

2.3.1. Isoterm Langmuir

Tipe isoterm Langmuir merupakan proses adsorpsi yang berlangsung secara kimisorpsi satu lapisan. Kimisorpsi adalah adsorpsi yang terjadi melalui ikatan kimia yang sangat kuat antara sisi aktif permukaan dengan molekul adsorbat dan dipengaruhi oleh densitas elektron. Adsorpsi satu lapisan terjadi karena ikatan kimia biasanya bersifat spesifik, sehingga permukaan adsorben mampu mengikat adsorbat dengan ikatan kimia. Isoterm Langmuir diturunkan berdasarkan teori dengan persamaan :

Isoterm Langmuir dipelajari untuk menggambarkan pembatasan sisi adsorpsi dengan asumsi bahwa sejumlah tertentu sisi sentuh adsorben ada pada permukaannya dan semua memiliki energi yang sama, serta adsorpsi bersifat balik (Atkins, 1999). Konstanta dan dapat ditemukan dari kurva hubungan


(28)

terhadap c dengan persamaan :

Gambar 1. Kurva isoterm Langmuir

2.3.2. Isoterm Freundlich

Isoterm Freundlich merupakan isoterm yang paling umum digunakan dan dapat mencirikan proses adsorpsi dengan lebih baik (Jason, 2004). Isoterm Freundlich menggambarkan hubungan antara sejumlah komponen yang teradsorpsi per unit adsorben dan konsentrasi komponen tersebut pada kesetimbangan. Freundlich memformulasikan persamaan isotermnya sebagai berikut :

Apabila dilogaritmakan, persamaan akan menjadi :

Keterangan :

x/m = jumlah adsorbat teradsorpsi perunit massa adsorben (mg/g)

c = konsentrasi kesetimbangan adsorbat dalam larutan setelah diadsorpsi k,n = konstanta empiris


(29)

Isoterm Freundlich menganggap bahwa pada semua sisi permukan adsorben akan terjadi proses adsorpsi di bawah kondisi yang diberikan. Isoterm Freundlich tidak mampu memperkirakan adanya sisi-sisi pada permukaan yang mampu mencegah adsorpsi pada saat kesetimbangan tercapai dan hanya ada beberapa sisi aktif saja yang mampu mengadsorpsi molekul terlarut (Jason, 2004).


(30)

nomor atom 22-92 dan terletak pada periode III dan IV dalam sistem periodik unsur kimia (Cotton dan Wilkinson,1986).

Logam berat adalah unsur-unsur yang umumnya digunakan dalam industri, bersifat toksik bagi makhluk hidup dalam proses aerobik maupun anaerobik. Berdasarkan sudut pandang toksikologi, logam berat ini dapat dibagi dalam dua jenis yaitu logam berat esensial dan non esensial. Jenis pertama adalah logam berat esensial, di mana keberadaannya dalam jumlah tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang berlebihan dapat menimbulkan efek racun. Contoh logam berat ini adalah Zn, Cu, Fe, Co, Mn dan lain sebagainya. Sedangkan jenis kedua adalah logam berat tidak esensial atau beracun, di mana keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya atau bahkan dapat bersifat racun, seperti Hg, Cd, Pb, Cr dan lain-lain (Widowati dkk., 2008).

Logam berat dapat menimbulkan efek gangguan terhadap kesehatan manusia, tergantung pada bagian mana dari logam berat tersebut yang terikat dalam tubuh serta besarnya dosis paparan. Efek toksik dari logam berat mampu menghalangi kerja enzim sehingga mengganggu metabolisme tubuh, menyebabkan alergi, bersifat mutagen, karsinogen bagi manusia ataupun hewan (Widowati dkk., 2008).

2.4.1. Timbal (Pb)

Timbal atau plumbum dalam keseharian lebih dikenal dengan timah hitam merupakan logam yang lunak dan tahan terhadap korosi atau karat sehingga logam timbal sering digunakan sebagai bahan coating atau bahan pelapis. Pb dan


(31)

persenyawaannya dapat berada dalam badan perairan secara alamiah dan sebagai dampak terhadap aktivitas manusia. Secara alamiah, Pb dapat masuk ke badan perairan melalui pengkristalan Pb di udara dengan bantuan air hujan. Pb yang masuk ke dalam badan perairan sebagai dampak aktivitas manusia diantaranya adalah air buangan limbah dari industri yang berkaitan dengan Pb, misalnya dari pertambangan bijih timah hitam dan buangan sisa industri baterai.

Senyawa Pb yang ada dalam badan perairan dapat ditemukan dalam bentuk ion-ion divalent atau ion-ion tetravalen (Pb2+, Pb4+). Ion Pb tetravalen

mempunyai daya racun yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan ion Pb divalen. Timbal bersifat toksik bagi semua organisme hidup, bahkan juga sangat berbahaya untuk manusia. Dalam badan perairan, konsentrasi Pb yang mencapai 188 mg/L dapat membunuh ikan-ikan. Keracunan timbal bersifat akut dan kronis. Hal itu disebabkan senyawa-senyawa Pb dapat memberikan racun terhadap banyak fungsi organ dan sistem saraf yang terdapat dalam tubuh (Palar, 1994).

Keracunan akut dapat terjadi jika Pb masuk ke dalam tubuh seseorang melalui makanan atau menghirup gas Pb dalam waktu relatif pendek dengan dosis atau kadar relatif tinggi. Pb bisa merusak jaringan saraf, fungsi ginjal, sistem reproduksi, sistem endokrin dan jantung, serta gangguan pada otak sehingga anak mengalami gangguan kecerdasan dan mental. Sedangkan paparan Pb secara kronis bisa mengakibatkan kelelahan lesu, gangguan iritabilitas, kehilangan libido, infertilitas pada laki-laki, gangguan menstruasi, depresi, sakit kepala, sulit berkonsentrasi, daya ingat terganggu dan sulit tidur (Widowati dkk., 2008).


(32)

2.4.2. Kadmium (Cd)

Kadmium bersifat tahan panas sehingga sangat baik untuk campuran pembuatan keramik. Kadmium merupakan logam yang sering digunakan dalam lempengan elektroda, pengecatan, stabilizer dalam pabrik plastik dan baterai dan sebagai campuran logam (alloy). Kadmium relatif aktif dalam lingkungan aquatik dan garam-garamnya dapat larut dalam air.

Kadmium bersifat toksik bagi semua organisme hidup, bahkan juga sangat berbahaya untuk manusia. Dalam badan perairan, kelarutan kadmium dalam konsentrasi tertentu dapat membunuh biota perairan. Pada konsentrasi 200 µg/L menyebabkan keracunan pada ikan (Greenberg dalam Nurhasni, 2002). Logam kadmium juga mengalami proses biotransformasi dan bioakumulasi dalam organisme hidup (tumbuhan, hewan dan manusia). Keracunan kadmium bersifat akut dan kronis. Sistem tubuh yang dapat dirusaknya adalah ginjal, paru-paru, kekurangan darah, kerapuhan tulang, mempengaruhi sistem reproduksi dan organ- organnya serta logam kadmium diduga merupakan salah satu penyebab dari timbulnya kanker pada manusia (Palar, 1994).

Keracunan akut muncul setelah 4-10 jam sejak penderita terpapar oleh Cd. Keracunan Cd bisa menimbulkan penyakit paru-paru akut. Paparan Cd secara akut dapat menyebabkan kehilangan nafsu makan, daya tahan tubuh lemah, kerusakan hepar dan ginjal, kanker, sakit kepala, kedinginan hingga menggigil, nyeri otot dan diare bahkan bisa menyebabkan kematian (Widowati dkk., 2008).

Kercunan kronis Cd bisa merusak sisitem fisiologis tubuh, antara lain sistem urinaria, sistem respirasi (paru-paru), sistem sirkulasi (darah) dan jantung,


(33)

kerusakan sistem reproduksi, sistem saraf, bahkan dapat mengakibatkan kerusakan tulang (Widowati dkk., 2008).

2.4.3. Kromium (Cr)

Berdasarkan pada sifat-sifat kimianya, logam Cr dalam persenyawaannya mempunyai bilangan oksidasi +2, +3 dan +6. Sesuai dengan tingkat valensi yang dimilikinya, logam atau ion-ion kromium yang telah membentuk senyawa, mempunyai sifat-sifat yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat ionitasnya. Senyawa yang terbentuk dari ion logam Cr(II) akan bersifat basa, senyawa yang terbentuk dari ion logam Cr(III) bersifat amfoter dan senyawa yang terbentuk dari ion Cr (VI) akan bersifat asam (Palar, 2004).

Kromium banyak digunakan oleh bidang perindustrian. Kegunaan umum yang dikenal dari senyawa-senyawa kromat dan dikromat ini adalah dalam bidang-bidang seperti tekstil, penyamakan, pencelupan, fotografi, zat warna dan masih banyak lagi kegunaan lainnya.

Dalam badan perairan Cr dapat masuk melalui dua cara, yaitu secara alamiah dan non alamiah. Masuknya Cr secara alamiah dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor fisika, seperti erosi (pengikisan) yang terjadi pada batuan mineral. Disamping itu debu-debu dan partikel-partikel Cr yang di udara akan dibawa oleh air hujan. Masukkan Cr yang terjadi secara non alamiah lebih merupakan dampak atau efek dari aktivitas yang dilakukan manusia. Sumber- sumber Cr yang berkaitan dengan aktivitas manusia dapat berupa limbah atau buangan industri sampai buangan rumah tangga. Dalam badan perairan, terjadi macam-macam proses kimia, mulai dari proses pengompleksan sampai pada


(34)

reaksi redoks. Proses kimia tersebut juga terjadi pada logam kromium yang ada di perairan. Proses kimia seperti pengompleksan dan sistem reaksi redoks, dapat mengakibatkan terjadinya pengendapan atau sedimentasi logam Cr di dasar perairan. Proses-proses kimiawi yang berlangsung dalam badan perairan juga dapat mengakibatkan terjadinya peristiwa reduksi senyawa-senyawa Cr(VI) yang sangat beracun menjadi Cr(III) yang kurang beracun. Peristiwa reduksi yang terjadi atas senyawa Cr(VI) dan Cr(III), dapat berlangsung bila badan perairan berada dan atau mempunyai lingkungan yang bersifat asam. Untuk perairan yang berlingkungan basa, ion-ion Cr(III) akan diendapkan di dasar perairan (Palar, 2004).

Daya racun yag dimiliki oleh logam Cr di tentukan oleh valensi ion-nya. Ion Cr(VI) merupakan bentuk logam Cr yang paling dipelajari sifat racunnya, bila dibandingkan dengan ion-ion Cr(II) dan Cr(III). Sifat racun yang dibawa oleh logam ini juga dapat mengakibatkan terjadinya keracunan akut dan keracunan kronis.

Keracunan akut dapat mengakibatkan kanker pada alat pencernaan, iritasi mata dan kulit, kanker paru-paru, pembengkakan dan kemerahan pada kulit. Keracunan kronis akibat terpapar Cr antara lain dapat menyebabkan gangguan alat pernafasan, bronkitis, penurunan fungsi paru-paru, asma, gangguan pada hati, ginjal, alat pencernaan dan sistem imunitas (Widowati dkk., 2008).


(35)

2.4.4. Tembaga (Cu)

Unsur tembaga di alam, dapat ditemukan dalam bentuk logam bebas, akan tetapi lebih banyak ditemukan dalan bentuk persenyawaan atau sebagai senyawa padat dalam bentuk mineral.

Secara kimia, senyawa-senyawa dibentuk oleh logam Cu (tembaga) mempunyai bilangan valensi +1 dan +2. Berdasarkan pada bilangan valensi yang dibawanya logam Cu dinamakan juga cuppro untuk yang bervalensi +1 dan cuppry untuk yang bervalensi +2. Kedua jenis ion Cu tersebut dapat membentuk kompleks ion yang sangat stabil seperti Cu(NH3)6Cl2. Logam Cu dan beberapa

bentuk persenyawaannya seperti CuO, CuCO3, Cu(OH)2 dan Cu(CN)2 tidak dapat

larut dalam air dingin atau panas, tetapi mereka dapat dilarutkan dalam asam seperti H2SO4 dalam larutan basa NH4OH.

Logam Cu merupakan jenis logam penghantar listrik terbaik setelah perak, karena itu banyak digunakan dalam bidang elektronika atau perlistrikan. Cu juga dapat membentuk alloy dengan berbagai macam logam lainnya seperti dengan seng, timah atau timbal (Cu-Zn-Sn-Pb) dalam bentuk kuningan yang banyak digunakan dalam peralatan rumah tangga. Senyawa Cu banyak digunakan dalam industri cat sebagai antifoling, industri insektisida dan fungisida, sebagai katalis, baterai, elektroda, penarik sulfur dan sebagai pigmen serta pencegah pertumbuhan lumut.

Secara alamiah, Cu masuk ke dalam badan perairan sebagai akibat dari peristiwa erosi atau pengikisan batuan mineral dan melalui persenyawaan Cu di atmosfer yang dibawa oleh air hujan, serta berasal dari buangan industri, pertambangan Cu dan lainnya. Hal tersebut dapat mempercepat terjadinya


(36)

peningkatan kelarutan Cu dalam badan perairan. Dalam kondisi normal, keberadaan Cu dalam perairan ditemukan dalam bentuk senyawa CuCO3,

Cu(OH)2 dan lain-lain. Bila dalam badan perairan terjadi peningkatan kelarutan

Cu melebihi ambang batas yang seharusnya, maka akan terjadi peristiwa biomagnifikasi terhadap biota-biota perairan.

Tembaga bersifat toksik bagi organisme. Bentuk tembaga yang paling beracun adalah debu-debu Cu yang dapat mengakibatkan kematian pada dosis 3,5mg/kg. Pada manusia efek keracunan utama yang ditimbulkan akibat terpapar oleh debu atau uap logam Cu adalah terjadinya gangguan pada jalur pernafasan sebelah atas dan terjadinya kerusakan atropik pada selaput lendir yang berhubungan dengan hidung (Palar, 2004).

2.5. Tanaman Tebu

Tanaman tebu atau Saccharum officinarum termasuk dalam famili Graminease atau kelompok rumput-rumputan. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim udara sedang sampai panas. Tebu cocok pada daerah yang mempunyai ketinggian tanah 1 sampai 1300 meter di atas permukaan air laut. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatra.

Secara morfologi, tanaman tebu dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu batang, daun, akar dan bunga. Batang tebu memiliki sosok tinggi kurus, tidak bercabang dan tumbuh tegak dan terdiri dari banyak ruas yang setiap ruasnya dibatasi oleh buku-buku sebagai tempat duduknya daun. Tinggi batang tanaman tebu pada umumnya bisa mencapai 5 meter atau lebih. Kulit batang tebu keras,


(37)

berwarna hijau, kuning, ungu, merah tua atau kombinasi dari warna-warna tersebut. Batang tanaman tebu memiliki ruas-ruas yang panjangnya masing- masing 10-30 cm. Bentuk daun tebu berwujud helaian dengan pelepah. Panjang daun dapat mencapai 1-2 meter dan lebar 4-8 centimeter dengan permukaan kasar dan berbulu. Bunga tebu berupa bunga majemuk yang berbentuk terurai di puncak sebuah poros gelagah. Sedangkan akarnya berbentuk serabut (Anonim, 2002).

Kadar berat setiap komponen kimia penyusun batang tebu tidak tepat, tergantung pada jenis tebu, kandungan hara dan cara pemeliharaan tebu. Kadar komponen penyusun batang tebu antara lain sukrosa (dalam nira), monosakarida, zat anorganik, zat organik, air nira dan serat (Subrata, 1993).

Apabila tebu dipotong, maka akan terlihat serat-serat dan didapatkan cairan yang manis. Kandungan serat dan kulit yang biasanya disebut sabut umumnya sekitar 12,5% dari bobot tebu keseluruhan. Sedangkan kandungan terbesar dari tebu adalah cairan nira yang prosentasenya sebesar 87,5 % yang terdiri atas air dan bahan kering. Bahan kering tersebut ada yang terlarut dan ada yang tidak terlarut.

(a) (b)


(38)

Tebu dari perkebunan diolah menjadi gula di pabrik gula. Dalam proses produksi gula, dari setiap tebu yang diproses dihasilkan ampas tebu sebesar 90 %, gula yang dimanfaatkan hanya 5 % dan sisanya berupa tetes tebu (molases) dan air (Witono, 2003).

2.5.1. Ampas Tebu

Ampas tebu atau lazimnya disebut bagas, merupakan limbah yang dihasilkan dari proses pemerahan atau ekstraksi batang tebu. Dalam satu kali proses ekstraksi dihasilkan ampas tebu sekitar 35 – 40 % dari berat tebu yang digiling secara keseluruhan. Dari sekian banyak ampas tebu yang dihasilkan, baru sekitar 50 % yang sudah dimanfaatkan misalnya sebagai bahan bakar dalam proses produksi dan transportasi tebu dari lahan pertanian ke tempat pemerahan. Namun selebihnya masih menjadi limbah yang perlu penanganan lebih serius untuk diolah kembali. Di samping itu, ampas tebu dijual untuk dimanfaatkan sebagai tambahan bahan baku pembuatan kertas (Birowo, 1992).

Ampas tebu umumnya digunakan sebagai bahan bakar utuk menghasilkan energi yang diperlukan pada pembuatan gula. Selain itu, ampas tebu dapat juga digunakan sebagai pakan ternak, bahan baku serat, papan plastik, dan kertas (Witono, 2003). Kaur et al., (2008) mengemukakan bahwa ampas tebu tanpa diarangkan dapat dimanfaatkan sebagai adsorben ion logam berat seperti seng, kadmium, tembaga dan timbal dengan efisiensi berturut-turut sebesar 90, 70, 55 dan 80 %.

Ampas tebu memiliki sifat fisik yaitu bewarna kekuning-kuningan, berserat (berserabut), lunak dan relatif membutuhkan tempat yang luas utuk


(39)

penyimpanan dalam jumlah berat tertentu dibandingkan dengan penyimpanan dalam bentuk arang dengan jumlah yang sama. Ampas tebu yang dihasilkan dari tanaman tebu tersusun atas penyusun-penyusunnya antara lain air (kadar air 44,5%), serat yang berupa zat padat (kadar serat 52,0 %) dan brix yaitu zat padat yang dapat larut, termasuk gula yang larut (3,5 %).

Secara kimiawi, komponen utama penyusun ampas tebu adalah serat yang didalamnya terkandung selulosa, poliosa seperti hemiselulosa dan lignin. Susunan ketiga komponen tersebut dalam ampas tebu hampir sama dengan susunan yang ada dalam tanaman monokotil berkayu lunak.

Tabel 1. Komponen Penyusun Serat Ampas Tebu

Komponen Kandungan(%)

Selulosa Pentosan Lignin Komponen Lainnya

45 32 18 5 Sumber : material handbook thirteenth edition, 1991

2.6. Spektroskopi Serapan Atom (SSA)

Pada tahun 1860 Kirchoff dan Bunsen menyatakan bahwa spektrum atom, baik spektrum emisi maupun spektrum absorpsi dapat digunakan sebagai dasar teknik analisis unsur selektif. Peristiwa serapan atom pertama kali diamati oleh Fraunhofer, ketika menelaah garis-garis hitam pada spektrum matahari. Sedangkan yang memanfaatkan prinsip serapan atom pada bidang analisis adalah seorang Australia bernama Alan Walsh pada tahun 1955 (Khopkar, 2003).

Spektroskopi serapan atom (SSA) merupakan metode yang memanfaatkan fenomena penyerapan energi sinar oleh atom netral dalam bentuk gas sebagai dasar pengukuran dan sangat tepat digunakan untuk analisis zat pada konsentrasi


(40)

rendah. Atom-atom bebas bisa dihasilkan dengan cara menyemprotkan sampel yang berupa larutan atau suspensi ke dalam nyala. Besarnya kepekatan analit ditentukan dari besarnya penyerapan berkas sinar garis resonansi yang melewati nyala.

Cara analisis ini selain atomisasi dengan nyala dapat pula dilakukan dengan tanpa nyala (flameless atomizer), yaitu dengan menggunakan energi listrik dengan batang karbon (CRA = Carbon Rod Atomizer) atau bahkan dengan uapnya saja seperti pada analisis merkuri.

Dalam Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) dengan nyala, biasanya terdapat empat jenis nyala yang digunakan sebagai bahan bakar pada SSA, yaitu:

1. Acetylene – udara, campuran ini paling banyak digunakan dalam SSA (= 35 unsur). Suhu yang dihasilkan oleh campuran ini adalah sekitar 2300- 2400 oC dengan burning velocity

± 160 cm/det.

2. Nitrous oksida – acetylene, campuran ini dapat menghasilkan nyala dengan panas ± 3200 oC, tetapi burning velocyty nya cukup besar yaitu

± 220 cm. det.

3. Udara – hidrogen

4. Argon – udara – hidrogen (Suryana, 2001).

2.6.1. Prinsip Spektroskopi Serapan Atom (SSA)

Metode SSA berprinsip pada absorpsi cahaya oleh atom. Atom-atom menyerap cahaya tersebut pada panjang gelombang tertentu, tergantung sifat unsurnya. SSA adalah cara analitis yang berdasarkan pada proses penyerapan energi radiasi gelombang elektromagnetik oleh populasi atom yang berbeda pada


(41)

tingkat energi yang lebih tinggi. Jika pada sejumlah populasi atom yang berada pada tingkat energi dasar (Eo) dberikan seberkas radiasi gelombang

elektromagnetik dengan tingkat energi tertentu (sesuai dengan besarnya energi untuk menaikkan tingkat energi atom dari Eo E1) maka sebagian dari energi

radiasi akan diserap oleh atom dan tingkat energi atom naik dari Eo E1.

Energi radiasi gelombang elektromagnetik yang tidak mengalami penyerapan akan keluar dari populasi atom dan intensitasnya berkurang sesuai dengan jumlah atom yang mengalami perpindahan tingkat energi. Dengan demikian, pengurangan intensitas radiasi pada panjang gelombang yang sesuai dapat diukur dan besarnya sebanding dengan populasi atom yang menyerap radiasi tersebut. Dengan mengukur jumlah energi yang diserap, maka dapat menentukan konsentrasi atom elemen yang diuji dalam contoh (Suryana, 2001).

Pengisapan Penguapan Disosiasi

M+ X- M+ X- MX MX M (gas) + X(gas)

Larutan Kabut Padatan Gas

M*(gas) Eksitasi

Ex Termal

Emisi hv

nyala

Gambar 4. Skema Prinsip dari SSA

Penyerapan energi oleh sekumpulan populasi atom netral yang menyebabkan berkurangnya intensitas radiasi. Berkurangnya intensitas radiasi ini sebanding dengan jumlah atom yang menyerap energi radiasi tersebut. Energi yang diserap berbanding lurus dengan energi yang diperlukan untuk eksitasi atom. Ditunjukkan dengan persamaan Lambert – Beer dengan rumus sebagai berikut :


(42)

A = -log Ic/Io = Kv.d.c

Dimana :

A = Absorbansi

Io = Intensitas cahaya awal (erg/detik)

It = Intensitas cahaya setelah sebagian diabsorpsi oleh contoh (erg/detik)

Kv = Absortivitas molar-konstan (mol/L.cm)

d = Tebal media (cm)

c = Konsentrasi atom analit dalam contoh (mol/L)

Secara sederhana skema alat Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) ini adalah sebagai berikut :

(a)

(b)

(c)

Gambar 5. (a) Komponen-komponen utama SSA, (b) Sistem Instrumentasi SSA Single Beam dan (c) Double Beam


(43)

1. Sumber Cahaya

Sumber cahaya yang banyak digunakan adalah lampu katoda berongga, tabung yang bermuatan gas sumber radiasi yang baik adalah sumber radiasi yang memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

1. Memancarkan intensitas sinar dengan pita radiasi yang sempit. 2. Tidak mengabsorbsi sendiri.

3. Tidak ada background yang kontinyu.

Gambar 6. Lampu katoda

2. Sistem Atomisasi

Sistem pengatoman dengan nyala terdiri dari pembakar (burner), pengabut (nebulizer) dan pengatur aliran gas serta kapiler. Sedangkan sistem pengatoman tanpa nyala yaitu pemanasan secara listrik oleh batang karbon dengan tahapan pengeringan (drying), pengabuan (ashing) dan pengatoman (atomizing).

Sistem pengatoman dengan nyala berfungsi untuk mengubah populasi unsur dalam larutan menjadi populasi atom dimana akan dilakukan pengukuran absorbsi. Proses yang terjadi dalam atomisasi secara umum adalah :

1. Nebulasi yaitu pengubahan cairan ke dalam bentuk kabut aerosol 2. Pemisahan titik-titik kabut dengan sebaran ukuran yang benar 3. Pencampuran kabut dengan gas memasukannya ke dalam burner

Gas (biasanya oksigen untuk pembakar) dialirkan ke dalam spray chamber melalui venturi akibatnya cairan sampel terisap ke atas dan dialirkan ke dalam spray chamber. Titik air yang besar akan mengalir ke bawah sedangkan yang


(44)

halus terus masuk ke dalam pembakar, diameter dari partikel-partikel biasanya lebih kecil dari 2 µm. Pada bagian spray chamber kabut sampel dicampur dengan bahan bakar kemudian dimasukkan ke dalam pembakar. Campuran bahan bakar dan oksigen harus diperhatikan dan disesuaikan dengan unsur yang dipakai.

Gambar 7. Gambar Nebulizer,Burner dan Spray Chamber 3. Sistem Monokromator

Sistem pemilih panjang gelombang berfungsi untuk memisahkan radiasi yang tidak diserap oleh populasi atom (yang berasal dari lampu katoda cekung) dari radiasi-radiasi lain yang tidak diperlukan dan akan mengganggu pengukuran intensitas radiasi yang diperlukan. Sistem monokromator terdiri dari gabungan cermin, lensa dan prisma atau kisi (grating). Sistem monokromator ini ada yang menggunakan saluran tunggal (single beam) dan saluran ganda (double beam). 4. Detektor

Detektor pada SSA berfungsi untuk mengubah intensitas radiasi menjadi arus atau sinyal listrik. Keluaran dari detektor diumpankan ke suatu sistem pencatat yang sesuai. Alat pencatat ini digunakan untuk mengubah dan mencatat sinyal-sinyal listrik yang berasal dari suatu detektor ke suatu bentuk yang mudah dibaca oleh operator, misalnya dalam bentuk angka-angka digital sesuai dengan hasil analisis. Detektor yang dipakai SSA pada umumnya adalah photomultiplier


(45)

tube. Photomultiplier tube menghasilkan sinyal listrik sebanding dengan intensitas cahaya pada panjang gelombang yang telah dipisahkan oleh monokromator. 5. Sistem Pengolahan

Berfungsi untuk mengolah kuat arus yang dihasilkan oleh detektor menjadi besaran daya serap atom transmisi yang selanjutnya diubah menjadi besaran konsentrasi.

6. Pencatat (rekorder)

Berfungsi untuk mencatat hasil yang dikeluarkan oleh sistem pengolahan. Keuntungan metode SSA adalah sebagai berikut :

a. Dari satu larutan yang sama, beberapa unsur yang berlainan dapat diukur. b. Pengukuran dapat langsung dilakukan terhadap larutan contoh, jadi

berbeda dengan kolorimetri (yang membutuhkan pembentukan senyawa berwarna), gravimetrik (endapan perlu dikeringkan terlebih dahulu), dan sebagainya, preparasi contoh sebelum pengukuran cukup sederhana. c. Output data (absorban) dapat langsung dibaca.


(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan yang dilaksanakan dari bulan Juli-September 2009. Tempat pelaksanaan penelitian ini adalah di Laboratorium Penelitian Kimia, Pusat Laboratorium Terpadu (PLT) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan alamat di jalan Ir. H. Juanda No. 95, Ciputat, 15412.

3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah spektrofotometri serapan atom Analyst 700 Perkin Elmer(SSA), shaking incubation (Heidolph Inkubator 1000), ayakan dengan ukuran partikel 212 m Retsch, timbangan analitik, pH meter, furnace, kertas saring whatman, blender, gelas beker, erlenmeyer, labu ukur, pipet ukur, pipet volum dan corong gelas.

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ampas tebu (diambil dari penjual minuman sari tebu di daerah Bintaro Regensi Tangerang) yang sudah diberikan perlakuan sebelumnya, larutan simulasi limbah Pb(NO3)2, CdSO4.8H2O,

K2Cr2O7, CuSO4.5H2O, HNO3 0,1 N, HNO3 1 %, NaOH 10 %, aquadest, air


(47)

3.3. Rancangan Penelitian

Ampas tebu Pencucian dengan

air

Pengeringan di Bawah Sinar Matahari

Dipotong ± 1 cm, di haluskan dengan blender

Arang Ampas

Tebu Pengarangan pada suhu 250 oC selama 2,5 jam,

kemudian diayak

Penentuan Kondisi Optimum Penyerapan tiap

Ion Logam

Massa

Adsorben pH Ion Logam

Konsentrasi

Ion Logam Pemanasan Lama

Kondisi Optimum Penyerapan dari Tiap Ion

Logam

Limbah Simulasi

Aplikasi terhadap

Limbah Limbah PLT

Analisis Konsentrasi Ion Logam dengan SSA


(48)

3.4. Prosedur Kerja

Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap. Pertama adalah pembuatan adsorben dari arang ampas tebu. Kedua adalah penentuan kondisi optimum penyerapan ion logam Cd, Cr, Cu, dan Pb oleh arang ampas tebu dengan variasi massa arang ampas tebu, pH ion logam, konsentrasi larutan ion logam dan lama pemanasan. Ketiga, setelah diketahui kondisi optimum dari masing-masing logam yang akan di analisis, kemudian penggunaan arang ampas tebu tersebut diaplikasikan ke dalam limbah, yaitu limbah simulasi dan limbah laboratorium. Konsentrasi dari masing-masing ion logam dianalisis menggunakan Spektroskopi Serapan Atom (SSA). Bagan alir penelitian ini ditunjukkan secara sistematis pada Gambar 8.

3.4.1. Pembuatan Arang Ampas Tebu

Ampas tebu dicuci bersih dengan air yang mengalir, setelah itu dikeringanginkan selama 1 minggu kemudian dipotong-potong dengan ukuran ± 1 cm, dihaluskan dengan blender, kemudian diarangkan pada suhu 250 oC hingga menjadi serbuk arang selama 2,5 jam. Setelah itu, diayak dengan pengayak menjadi ukuran partikel 212 m.

3.4.2. Preparasi Limbah Simulasi

Dibuat larutan campuran dari Pb(NO3)2, CdSO4.8H2O, K2Cr2O7, dan

CuSO4.5H2O masing-masing dengan konsentrasi 100 mg/L yang disiapkan secara


(49)

3.4.3. Penentuan Kondisi Optimum

1. Penentuan Pengaruh Massa Arang Ampas Tebu terhadap Penyerapan Ion Logam Cd, Cr (VI), Cu dan Pb

Adsorben dengan ukuran partikel 212 m ditimbang masing-masing dengan massa 0,5 ; 1 dan 1,5 gram, dimasukkan masing-masingnya ke dalam erlenmeyer. Kemudian dimasukkan 10 mL larutan ion logam dengan konsentrasi 20 mg/L ke dalam erlenmeyer. Erlenmeyer diletakkan pada shaker incubation dengan kecepatan pengadukan 180 rpm pada temperatur ruang (26 oC) selama 30

menit. Setelah itu campuran dipisahkan dengan cara disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat hasil saringan di tempatkan pada vial dan ditepatkan volumenya 10 mL dengan akuades dan ditambah 1 tetes asam nitrat p.a sebagai bahan pengawet agar tidak terjadi perubahan-perubahan pada komposisi larutan dan selanjutnya konsentrasi ion logam diukur dengan SSA.

2. Penentuan Pengaruh pH Larutan Ion Logam

Adsorben dengan ukuran partikel 212 m ditimbang masing-masing dengan massa 0,5 gram, dimasukkan masing-masingnya ke dalam erlenmeyer dengan larutan pH-nya samadengan pH larutan ion yang akan dimasukkan. pH dipertahankan dengan menggunakan larutan buffer pH 3, 4, 5, 6 dan 7 dengan perbandingan 10 : 1 (10 mL larutan ion logam : 1 mL larutan buffer). Dimasukkan 10 mL larutan ion logam dengan konsentrasi optimum dengan variasi pH 3, 4, 5, 6 dan 7 ke dalam erlenmeyer. Erlenmeyer diletakkan pada shaker dengan kecepatan pengadukan 150-200 rpm pada temperatur ruang. Setelah itu campuran dipisahkan dengan cara disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat hasil saringan di tempatkan pada vial dan ditepatkan volumenya 10 mL dengan akuades sesuai


(50)

dengan pH masing-masing larutan, ditambah 1 tetes asam nitrat p.a sebagai bahan pengawet agar tidak terjadi perubahan-perubahan pada komposisi larutan dan selanjutnya konsentrasi ion logam diukur dengan SSA.

3. Penentuan Pengaruh Konsentrasi Larutan Ion logam

Adsorben dengan ukuran partikel 212 m ditimbang masing-masing dengan massa 0,5 gram, dimasukkan masing-masingnya ke dalam erlenmeyer. Dimasukkan 10 mL larutan ion logam dengan variasi konsentrasi 20, 40, 60, 80 dan 100 mg/L ke dalam erlenmeyer. Erlenmeyer diletakkan pada shaker dengan kecepatan pengadukan 180 rpm pada temperatur ruang (26 oC) selama 30 menit.

Setelah itu campuran dipisahkan dengan cara disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat hasil saringan di tempatkan pada vial dan ditepatkan volumenya 10 mL dengan akuades pH optimum, ditambah 1 tetes asam nitrat p.a sebagai bahan pengawet agar tidak terjadi perubahan-perubahan pada komposisi larutan dan selanjutnya konsentrasi ion logam diukur dengan SSA.

4. Penentuan Pengaruh Lama Pemanasan

Adsorben dengan ukuran partikel 212 m masing-masing ditimbang dengan massa 0,5 gram, lalu dipanaskan pada suhu 250 oC dengan variasi lama

pemanasan 1,5; 2; 2,5 dan 3 jam. Dimasukkan 10 mL larutan ion logam dengan konsentrasi optimum, pH optimum ke dalam erlenmeyer yang telah berisi adsorben. Erlenmeyer diletakkan pada shaker dengan kecepatan pengadukan 180 rpm pada temperatur ruang (26 oC) selama 30 menit. Setelah itu campuran dipisahkan dengan cara disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat hasil


(51)

saringan di tempatkan pada vial dan ditepatkan volumenya 10 mL dengan akuades pH optimum, ditambah 1 tetes asam nitrat p.a sebagai bahan pengawet agar tidak terjadi perubahan-perubahan pada komposisi larutan dan selanjutnya konsentrasi ion logam diukur dengan SSA.

3.4.4. Penentuan Isoterm Adsorpsi

Sebanyak 0,5 g adsorben arang ampas tebu dimasukkan dalam 10 mL larutan ion tunggal Cd, Cr, Cu dan Pb pada beberapa konsentrasi, yaitu 20, 40, 60, 80 dan 100 mg/L ke dalam erlenmeyer. Kemudian di di shaker selama 30 menit dengan kecepatan 180 rpm pada temperatur ruang. Campuran disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat hasil saringan di tempatkan pada vial dan ditepatkan volumenya 10 mL dengan akuades pH optimum, ditambah 1 tetes asam nitrat p.a sebagai bahan pengawet agar tidak terjadi perubahan-perubahan pada komposisi larutan dan selanjutnya konsentrasi ion logam diukur dengan SSA.

3.4.5. Aplikasi Penggunan Arang Ampas Tebu pada Limbah Simulasi

Dengan menggunakan kondisi optimum yang diperoleh (massa adsorben dan lama pemanasan), arang ampas tebu dimasukkan ke dalam erlenmeyer kemudian ditambahkan 10 mL larutan limbah simulasi (konsentrasi 100 mg/L dan pH optimum). Erlenmeyer diletakkan pada shaker dengan kecepatan pengadukan 180 rpm pada temperatur ruang (26 oC) selama 30 menit. Campuran dipisahkan disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat di tempatkan pada vial dan ditepatkan volumenya 10 mL dengan akuades pH optimum, ditambah 1 tetes asam


(52)

nitrat p.a sebagai bahan pengawet agar tidak terjadi perubahan-perubahan pada komposisi larutan dan konsentrasi ion logam diukur dengan SSA.

3.4.6. Aplikasi Penggunaan Arang Ampas Tebu pada Limbah Laboratorium

Air limbah Laboratorium Kimia Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta diambil, kemudian disaring untuk memisahkan larutan dari padatan yang tidak larut. Setelah itu diukur konsentrasi awal dari ion logam Cd, Cr, Cu dan Pb sebelum dilakukan adsorpsi menggunakan arang ampas tebu. Kemudian limbah yang telah diukur konsentrasi ion logam awal, diatur pH-nya sesuai dengan pH optimum.

Dengan menggunakan kondisi optimum yang diperoleh, arang ampas tebu dimasukkan dalam erlenmeyer, ditambahkan 10 mL air limbah. Diletakkan pada shaker dengan kecepatan pengadukan 180 rpm pada temperatur ruang (26 oC) selama 30 menit. Campuran disaring dengan menggunakan kertas saring. Filtrat di tempatkan pada vial dan ditepatkan volumenya 10 mL dengan akuades pH optimum, ditambah 1 tetes asam nitrat p.a sebagai bahan pengawet agar tidak terjadi perubahan-perubahan pada komposisi larutan dan konsentrasi ion logam akhir diukur dengan SSA.


(53)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pengaruh Massa Arang Ampas Tebu

Hasil pengukuran pengaruh massa arang ampas tebu terhadap efisiensi penyerapan ion logam Cd, Cr, Cu dan Pb dapat dilihat pada Gambar 9. Dari gambar tersebut terlihat bahwa semakin banyak massa arang ampas tebu yang digunakan, maka semakin besar efisiensi penyerapannya terhadap ion logam. Pada massa arang ampas tebu 0,5 g efisiensi penyerapan untuk logam Cd, Cr, Cu dan Pb masing-masingnya adalah 37,22; 74,63; 44,05 dan 50,97 %. Ketika massa arang ampas tebu dinaikkan menjadi 1,5 g efisiensi penyerapannya meningkat menjadi 58,39; 86,95; 78,74 dan 83,18 %.

Gambar 9. Pengaruh Massa Arang Ampas Tebu terhadap Penyerapan Ion

Logam Cd (II), Cr (VI), Cu(II) dan Pb(II) (volume 10mL, konsentrasi 20 mg/L dan lama pemanasan 2,5 jam)

Bertambahnya massa arang ampas tebu sebanding dengan bertambahnya jumlah partikel dan luas permukaan arang ampas tebu sehingga menyebabkan


(54)

bertambahnya sisi aktif adsorpsi dan efisiensi penyerapannya pun meningkat sedangkan kapasitas penyerapannya menurun dengan bertambahnya massa adsorben (Lampiran 1). Hal ini diperkuat oleh Barros et al., (2003) yang menyatakan bahwa pada saat ada peningkatan massa adsorben, maka ada peningkatan presentase efisiensi penyerapan dan penurunan kapasitas penyerapan. Kapasitas penyerapan pada massa arang ampas tebu 1,5 g pada ion logam Cd, Cr, Cu dan Pb adalah 0,0767; 0,0642; 0,0913 dan 0,1071 mg/g (Tabel 2).

Tabel 2. Kapasitas Penyerapan Ion Logam pada Variasi Massa Arang Ampas

Tebu

Kapasitas Penyerapan Arang Ampas Tebu (mg/g) Massa Arang

Ampas Tebu

(g) Cd Cr Cu Pb

0,5 g 1,0 g 1,5 g

0,1468 0,0819 0,0767

0,1794 0,0886 0,0642

0,1533 0,1131 0,0913

0,1969 0,1345 0,1071 Menurut Hughes dan Poole (1984), proses adsorpsi berlangsung pada lapisan permukaan sel yang mempunyai situs-situs yang bermuatan berlawanan dengan muatan ion logam sehingga interaksi pasif dan relatif cepat. Partikel dari adsorben memiliki sisi aktif dengan muatan negatif yang akan berinteraksi dengan ion logam yang bermuatan positif (Mahvi et al., 2005). Dengan memperkecil ukuran partikel dari adsorben, maka semakin luas sisi permukaan sehingga efisiensi penyerapan meningkat.

4.2. Pengaruh pH Larutan Ion Logam

Nilai pH merupakan salah satu parameter terpenting dalam proses adsorpsi dan dapat mempengaruhi kesetimbangan kimia pada adsorbat maupun pada


(55)

adsorben. Dalam variasi pH ini kemungkinan terjadi ikatan kimia antara adsorben dengan adsorbat.

Gambar 10.Pengaruh pH Ion Logam Cd(II), Cr(VI), Cu(II) dan Pb(II)

terhadap Efisiensi Penyerapan Arang Ampas Tebu (volume 10 mL, konsentrasi 20 mg/L, massa 0,5 g arang ampas tebu) Dari Gambar 10 terlihat bahwa proses adsorpsi mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya pH, tetapi mengalami penurunan setelah melewati titik optimum yaang dicapai. Penyerapan optimum pada hampir semua ion logam Cd, Cr dan Pb dengan massa adsorben 0,5 g adalah pada pH 5, kecuali untuk logam Cu yaitu pada pH 6 dengan efisiensi penyerapannya berturut turut adalah 60,33; 89,52; 99,31 % dan untuk ion logam Cu 92,16 %. Sedangkan kapasitas penyerapannya adalah 0,2357; 0,2109; 0,3360 dan logam Cu 0,3299 mg/g (Tabel 3). Pada pH di bawah pH 5 dan di atas pH 5 penyerapan menurun. Hal tersebut disebabkan karena terjadinya pertukaran ion antara adsorben dengan adsorbat.


(56)

Tabel 3. Kapasitas Penyerapan Ion Logam pada Variasi pH Larutan Ion Logam Kapasitas Penyerapan (mg/g)

pH Larutan Ion Logam

(mg/L) Cd Cr Cu Pb

3 4 5 6 7 0,1504 0,1826 0,2357 0,1950 02110 0,1747 0,1821 0,2109 0,1784 0,2099 0,2359 0,2701 0,2837 0,3299 0,2648 0,3044 0,3124 0,3360 0,3348 0,3136 Molekul adsorben secara kimiawi dianggap mempunyai sisi aktif atau gugus fungsional yang mampu berinteraksi dengan logam. Jika proses adsorpsi melalui pertukaran ion, maka adsorpsi dipengaruhi oleh banyak proton dalam larutan yang berkompetisi dengan ion logam pada permukaan adsorben, sehingga pada pH rendah (asam) yaitu di bawah pH 5, jumlah proton (H+) melimpah,

mengakibatkan peluang terjadinya pengikatan logam oleh adsorben relatif kecil atau efisiensi penyerapannya menurun (Taty et al., 2003). Sedangkan pada pH netral, ion-ion logam dapat mengalami reaksi hidrolisis dalam larutan sehingga menjadi tidak stabil dalam bentuk ion logam semula, sehingga kemampuan efisiensi penyerapannya pun menurun. Pada pH basa atau di atas pH 5, jumlah proton (H+) relatif kecil dan menyebabkan peluang terjadinya pengikatan logam menjadi besar, sehingga ion-ion logam dapat membentuk endapan hidroksida sehingga efisiensi penyerapannya sukar di tentukan (Cordero et al., 2004).

4.3. Pengaruh Konsentrasi Larutan Ion Logam

Kemampuan penyerapan suatu adsorben dipengaruhi oleh konsentrasi dari larutan ion logam tersebut. Gambar 11 menunjukkan pengaruh konsentrasi ion logam terhadap efisiensi penyerapan arang ampas tebu. Kondisi optimum


(57)

penyerapan dicapai pada konsentrasi rendah yaitu konsentrasi 20 mg/L. Dari gambar tesebut pada konsentrasi 20 mg/L, efisiensi penyerapan dari logam Cd, Cr, Cu dan Pb masing-masing adalah 60,33; 89,52; 92,16 dan 99,31 % . Ion logam diserap oleh arang ampas tebu pada konsentrasi rendah. Pada konsentrasi rendah, perbandingan jumlah mol dari ion logam menyebabkan permukaan situs menjadi lebih luas dan adsorpsi dipengaruhi oleh konsentrasi awal yang rendah (Yu et al,. 2003).

Gambar 11. Pengaruh Konsentrasi Ion Logam Cd(II), Cr(VI), Cu(II) dan

Pb(II) terhadap Efisiensi Penyerapan Arang Ampas Tebu (volume 10 mL, konsentrasi 20 mg/L, massa 0,5 g arang ampas tebu).

Dengan meningkatnya konsentrasi ion logam, maka efisiensi penyerapan semakin berkurang. Hal ini disebabkan pada konsentrasi yang lebih tinggi, jumlah ion logam dalam larutan tidak sebanding dengan jumlah partikel arang ampas tebu yang tersedia sehingga permukaan arang ampas tebu akan mencapai titik jenuh dan kemungkinan akan terjadi proses desorpsi atau pelepasan kembali antara adsorben dengan adsorbat. Jika konsentrasi dinaikkan menyebabkan terjadinya


(58)

peningkatan jumlah ion yang terikat pada adsorben sehingga nilai kapasitas penyerapannya meningkat.

Tabel 4. Kapasitas Penyerapan Ion Logam pada Variasi Konsentrasi Ion Logam Kapasitas Penyerapan (mg/g)

Konsentrasi Larutan Ion

Logam (mg/L) Cd Cr Cu Pb

20 40 60 80 100 0,2357 0,3492 0,4610 0,5708 0,7318 0,2109 0,3686 0.5416 0,6058 0,7108 0,3299 0,6116 1,0280 0,9446 1,1630 0,3360 0,6921 1,0116 1,1009 1,6602 Pada Tabel 4 dapat dilihat kapasitas penyerapan ion logam Cd, Cr, Cu dan Pb berturut-turut adalah 0,2357; 0,2109; 0,3299 dan 0,3360 mg/g. Hal serupa juga dialami oleh penelitian yang dilakukan oleh Sulistyawati (2008) yang menyebutkan bahwa kapasitas adsorpsi akan mengalami kenaikan seiring dengan meningkatnya konsentrasi adsorbat.

4.4. Pengaruh Lama Pemanasan

Pada penelitian sebelumnya (Krishnani et al., 2004), ampas tebu yang diarangkan pada suhu 250 oC dapat menurunkan kadar ion Cr (VI) selama 24 jam. Namun, pada penelitian ini lama pemanasan dilakukan pada range waktu yang lebih singkat yaitu 1,5; 2; 2,5 dan 3 jam.


(59)

Gambar 12.Pengaruh Lama Pemanasan Arang Ampas Tebu terhadap

Penyerapan Ion logam Cd(II), Cr(VI), Cu(II) dan Pb(II) (volume 10 mL, konsentrasi 20 mg/L, suhu 2500C, massa 0,5 g arang ampas tebu)

Dari Gambar 12 dapat dilihat kondisi optimum untuk lama pemanasan dari arang ampas tebu. Kondisi optimum untuk logam Cd dan Pb berada pada lama pemanasan 2,5 jam dengan suhu 250 oC dengan nilai efisiensi penyerapan sebesar 58,43 dan 98,14 % sedangkan kapasitas penyerapannya 0,2157 dan 0,3827 mg/g (Tabel 5). Nilai efisiensi penyerapan untuk logam Cd dan Pb pada seluruh waktu lama pemanasan tidak menunjukkan perbedaan nilai yang jauh. Pada lama pemanasan 1,5 dan 2 jam nilai efisiensi penyerapan cenderung lebih kecil dibandingkan dengan lama pemanasan 2,5 dan 3 jam. Hal ini karena pada lama pemanasan tersebut pori-pori dari permukaan arang ampas tebu belum sepenuhnya terbuka sehingga kemampuan daya serapnya belum optimum.

Sedangkan untuk logam Cr dan Cu, kondisi optimum yaitu pada lama pemanasan 1,5 jam pada suhu yang sama. Dengan waktu lama pemanasan yang lebih singkat, ampas tebu yang diarangkan pada lama pemanasan 1,5 jam dapat mengadsorp ion logam Cr dan Cu sebesar 81,55 dan 92,13 % sedangkan kapasitas


(60)

penyerapan 0,1906 dan 0,2948 mg/g (Tabel 5). Logam Cr pada lama pemanasan 2 jam terjadi penurunan nilai efisiensi, namun efisiensinya kembali naik pada lama pemanasan 2,5 jam dan kembali mengalami penurunan pada lama pemanasan 3 jam. Hal ini disebabkan karena terjadinya perubahan struktur dari ampas tebu sehingga dengan bertambah lama pemanasannya beberapa gugus fungsi menjadi rusak (Refilda dkk., 2001).

Tabel 5. Kapasitas Penyerapan Ion Logam pada Variasi Lama Pemanasan Kapasitas Penyerapan (mg/g)

Lama Pemanasan

(jam) Cd Cr Cu Pb

1,5 2 2,5 3 0,2018 0,2055 0,2157 0,2147 0,1906 0,1618 0,1779 0,1740 0,2948 0,2486 0,2863 0,2862 0,3791 0,3691 0,3827 0,3795 Berdasarkan data yang diperoleh (Lampiran 1) dapat dilihat bahwa nilai kapasitas adsorpsi tidak sejalan dengan nilai efisiensi adsorpsi. Sebagai contoh, pada kondisi massa adsorben yang berbeda dan konsentrasi sama, kenaikan berat adsorben menyebabkan penurunan kapasitas adsorpsi akan tetapi meningkatkan efisiensi adsorpsi.

Kapasitas adsorpsi menunjukkan banyaknya adsorbat yang diadsorpsi per massa adsorben, sehingga besarnya dipengaruhi besarnya massa adsorben. Jika massa adsorben dinaikkan, terjadi peningkatan sisi aktif sehingga akan meningkatkan penyebaran adsorbat. Sebaliknya, efisiensi adsorpsi menyatakan banyaknya konsentrasi ion logam yang diadsorpsi oleh adsorben sehingga nilainya ditentukan oleh perubahan konsentrasi ion logam setelah diadsorpsi oleh adsorben. Semakin banyak adsorben yang digunakan, maka semakin banyak ion logam yang yang diadsorpsi. Hal ini diperkuat oleh penelitian Barros et al., (2003)


(61)

yang menyatakan bahwa pada saat ada sebuah peningkatan adsorben, maka ada penurunan kapasitas adsorpsi dan peningkatan efisensi adsorpsi.

4.5. Aplikasi dalam Limbah Simulasi

Limbah yang digunakan dibuat secara simulasi berdasarkan kondisi optimum yang didapatkan dari data penentuan kondisi optimum sebelumnya dari masing-masing ion logam. Limbah ini dibuat dengan mencampurkan larutan ion logam Cd, Cu, Cr dan Pb dengan konsentrasi 100 mg/L dan pH nya diatur sesuai dengan kondisi optimum dari masing-masing ion logam (Cd, Cr dan Pb pada pH 5, sedangkan ion logam Cu pada pH 6) masing-masing 10 mL.

Hasil analisa yang diperoleh dari pengukuran dengan SSA pada limbah simulasi dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6. Aplikasi Penyerapan Ion Logam dalam Limbah Simulasi

No. Ion Logam Konsentrasi Awal (mg/L) Konsentrasi Akhir (mg/L) Efisiensi Penyerapan (%) Kapasitas Penyerapan (mg/g) 1 2 3 4 Cd Cr Cu Pb 34,14 15,58 20,4 20,54 13,66 5,819 6,545 0,836 59,98 62,65 67,91 95,92 0,4096 0,1952 0,2771 0,3941

Nilai kapasitas ion logam Cd lebih besar dibandingkan dengan ion logam Pb karena konsentrasi awal dari ion logam Cd adalah 34,14 mg/L lebih besar di bandingkan dengan ion logam Pb yaitu 20,54 mg/L. Jumlah ion Cd lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ion Pb. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Sulistyawati (2008), semakin tinggi konsentrasi awal maka nilai kapasitasnya semakin besar pula.


(62)

Dari besarnya nilai efisiensi penyerapan terhadap logam Pb, menunjukkan bahwa arang ampas tebu dapat menyerap ion logam Pb dengan baik, tidak hanya pada larutan tunggal tetapi baik juga pada campuran larutan ion logam (limbah simulasi). Hal ini juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhi, diantaranya Pb(II) memiliki jari-jari atau ukuran ion yang lebih besar dibandingkan dengan ion logam lainnya, yaitu sebesar 1,19 Å sedangkan Cd(II) dan Cr(III) masing-masing memiliki jari-jari ion 0,97 Å dan 0,64 Å. Polaritas ion logam Pb lebih besar di bandingkan dengan ion logam lain, sehingga lebih mudah untuk melakukan ikatan dengan molekul pada adsorben yang bersifat polar. Begitupula dengan kemampuan Pb untuk menarik elektron dari molekul adsorben lebih besar dibanding dengan logam lain (Sunarya, 2006).

Selain itu, menurut prinsip HSAB (Hard and Soft Acid Base) yang dikemukakan oleh Pearson dalam Amri (2004), asam keras akan berinteraksi dengan basa keras untuk membentuk kompleks, begitu juga asam lemah dengan basa lemah. Interaksi asam keras dengan basa keras merupakan interaksi ionik, sedangkan interaksi asam lemah dengan basa lemah, interaksinya lebih bersifat kovalen.

Ion logam Pb dan Cr merupakan kation yang bersifat asam keras dan ion logam Cu bersifat asam madya (Lampiran 5), sehingga akan berinteraksi secara kuat dengan anion-anion yang bersifat basa keras seperti dengan -OH. Ampas tebu banyak mengandung selulosa yang mempunyai banyak gugus -OH, dengan demikian selulosa akan mengikat ion Pb, Cr dan Cu secara kuat. Ikatan antara ion Pb, Cr dan Cu dengan -OH pada selulosa melalui pembentukan ikatan koordinasi, di mana pasangan elektron bebas dari O pada -OH akan menempati orbital kosong


(63)

yang dimiliki oleh ion logam tersebut,sehingga terbentuk kompleks terkoordinasi. Sedangkan ion logam Cd bersifat asam lemah, sehingga ikatan yang terbentuk relatif lemah.

4.6. Aplikasi Limbah Laboratorium Kimia Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Limbah yang digunakan dalam aplikasi penyerapan arang ampas tebu terhadap ion logam berasal dari limbah laboratorium kimia Pusat Laboratorium Terpadu UIN Jakarta. Sebelum dilakukan pengukuran konsentrasi awal dari ion logam yang akan diukur denga SSA, air limbah yang telah diambil terlebih dahulu disaring dengan kertas saring untuk memisahkan residu pengotor dan di atur pH nya sesuai dengan pH optimum dari masing-masing logam.

Hasil analisa yang diperoleh dari pengukuran dengan SSA pada limbah laboratorium dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 7. Aplikasi Penyerapan Ion Logam dalam Limbah Laboratorium Terpadu

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

No. Ion Logam Konsentrasi Awal (mg/L) Konsentrasi Akhir (mg/L) Efisiensi Penyerapan (%) Kapasitas Penyerapan (mg/g) 1 2 3 4 Cd Cr Cu Pb 3,0 8,5 1,4 ND 1,13 1,64 0,1 - 62,33 80,7 92,85 - 0,0374 0,1372 0.0260 -

Pada limbah laboratorium, arang ampas tebu dapat menyerap logam Cu dengan baik, dengan nilai efisiensi terbesar dibanding dengan logam Cd dan Cr. Hal ini dapat terjadi karena ion logam yang telah diserap oleh adsorben saling berikatan dengan kuat sehingga terjadi pembentukan kompleks antara ion logam dengan gugus-gugus fungsi pada dinding sel dari adsorben yang bertindak sebagai


(64)

ligan saat penyerapan berlangsung dan pembentukan kompleks tersebut relatif stabil. Pengikatan ini melibatkan interaksi elektrostatik antara gugus bermuatan negatif pada dinding sel dan kation logam (Baig et al., 1999).

Ampas tebu mengandung gugus fungsi seperti selulosa, hemiselulosa dan lignin yang mengandung gugus OH yang terikat dan dapat berinteraksi dengan komponen adsorbat. Adanya gugus OH pada selulosa [C6H10O5]n menyebabkan

terjadinya sifat polar pada adsorben tersebut. Dengan demikian selulosa lebih kuat mengadsorpsi zat yang bersifat polar daripada zat yang kurang polar. Mekanisme adsorpsi yang terjadi antara gugus OH yang terikat pada permukaan dengan ion logam yang bermuatan positif (kation) adalah sebagai berikut :

—Y—OH + M+ —YO—M + H+

—Y—OH +M2+ —YO—M

M + 2H+

—YO—M

M+ dan M2+ adalah ion logam (Cd, Cr, Cu dan Pb), -OH adalah gugus

hidroksil dan Y adalah matriks tempat gugus –OH terikat. Interaksi antara gugus – OH dengan ion logam juga memungkinkan melalui mekanisme pembentukan kompleks koordinasi karena atom oksigen pada gugus –OH mempunyai pasangan elektron bebas, sedangkan ion logam mempunyai orbital d kosong. Pasangan elektron bebas tersebut akan menempati orbital kosong yang dimiliki oleh ion logam, sehingga terbentuk suatu senyawa atau ion kompleks.

Pembentukan senyawa kompleks ini terjadi pada ion logam Cd, Cr, Cu dan Pb. Keempat logam tersebut memiliki orbital d kosong yang akan diisi oleh elektron bebas dari atom oksigen pada gugus –OH. Selulosa berperan sebagai


(1)

3. Isoterm Freundlich untuk Adsorpsi Ion Logam Cu oleh Ampas Tebu

isoterm Freundlich konsentrasi awal

(mg/L)

berat adsorben (g) [m]*

konsentrasi akhir (mg/L) [c]*

log c x/m x/m log

17.9 0.5004 1.403 0.1471 32.968 1.5181

34.28 0.5009 3.7 0.5682 61.05 1.7857

59.4 0.5013 8 0.9031 102.53 2.0109

71.63 0.5012 24.4 1.3874 94.234 1.9742

90.35 0.5 32.2 1.5079 116.3 2.0656

*[m] = digunakan sebagai variabel m pada rumus isoterm adsorpsi *[c] = digunakan sebagai variabel c pada rumus isoterm adsorpsi

Persamaan garis isotherm Freundlich untuk yang diperoleh y = 0,360x + 1,545 dengan nilai r2 = 0,835 maka dari persamaan

diperoleh nilai n = 2,777 dan nilai k = 35,075

4. Isoterm Freundlich untuk Adsorpsi Ion Logam Pb oleh Ampas Tebu

isoterm Freundlich konsentrasi awal

(mg/L) berat adsorben (g) [m]* konsentrasi akhir (mg/L) [c]*

log c x/m x/m log

16.92 0.5007 0.117 -0.932 33.559 1.5258

37.18 0.5001 2.571 0.4101 69.204 1.8401

55.32 0.5005 4.74 0.6758 101.06 2.0046

61.1 0.501 6.052 0.7819 109.88 2.0409

92.14 0.5008 9.128 0.9604 165.76 2.2195

*[m] = digunakan sebagai variabel m pada rumus isoterm adsorpsi *[c] = digunakan sebagai variabel c pada rumus isoterm adsorpsi

Persamaan garis isotherm Freundlich untuk yang diperoleh y = 0,330x + 1,8 dengan nilai r2

= 0,921 maka dari persamaan


(2)

Lampiran 5. Asam dan Basa Beberapa Senyawa dan Ion Menurut Prinsip HSAB dari Pearson


(3)

Lampiran 6. Pembuatan Larutan 1. Larutan HNO3 1 %

Diambil 10 mL larutan HNO3 pekat dengan pipet volumetri, kemudian dilarutkan

dengan aquades dalam labu ukur 1000 mL.

2. Larutan Induk Pb 1000 mg/L

Ditimbang sebanyak 0,3996 g Pb(NO3)2, kemudian dilarutkan dengan menggunakan

HNO3 1 %, dimasukkan ke dalam labu ukur dan ditepatkan volumenya pada labu ukur 250

mL.

3. Larutan Induk Cd 1000 mg/L

Ditimbang sebanyak 0,7838 g CdSO4.8H2O, kemudian dilarutkan dengan

menggunakan HNO3 1 %, dimasukkan ke dalam labu ukur dan ditepatkan volumenya pada

labu ukur 250 mL.

4. Larutan Induk Cr 1000 mg/L

Ditimbang sebanyak 0,7115 g K2Cr2O7, kemudian dilarutkan dengan menggunakan

HNO3 1 %, dimasukkan ke dalam labu ukur dan ditepatkan volumenya pada labu ukur 250

mL.


(4)

Lampiran 7. Pembuatan Larutan Buffer 1. Buffer Sitrat (pH 3, 4 dan 5)

Larutan Stok A : 0,1 M larutan asam sitrat (21,01 g dalam 1000 ml)

B : 0,1 M larutan natrium sitrat (29,41 g C6H5O7Na.2H2O)

x ml A + y ml B, dilarutkan menjadi 100 ml :

pH X Y

3 46,5 3,5

4 33 17

5 20,5 29,5

2. Buffer Posfat (pH 6 dan 7)

Larutan stok A : 0,2 M larutan monobasic natrium posphat (27,8 g dalam 1000 ml)

B : 0,2 M larutan dibasic natrium posphat (53,65 g Na2HPO4.7H2O

atau 71,7 g Na2HPO4.12H2O dalam 1000 ml)

x ml A + y ml B, dilarutkan menjadi 200 ml :

pH X Y

6 87,7 12,3


(5)

Lampiran 8. Alat, Bahan dan Hasil Penelitian

Instrumen SSA Furnace


(6)

Larutan ion logam Cr sebelum proses batch Ampas tebu dan Larutan ion logam sebelum proses batch

Limbah Simulasi Limbah Laboratorium

Limbah lab dan simulasi setelah Larutan ion logam setelah dilakukan proses batch proses batch