Menurut pendekatan ini, perilaku pemilih ditentukan oleh kekuatan psikologis yang berkembang dalam diri pemilih voters sebagai produk dari
proses sosialisasi. Mereka menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai refleksi dari kepribadian seseorang merupakan variabel yang menentukan dalam
mempengaruhi perilaku politiknya. Menurut Greenstein terdapat tiga alasan mengapa sikap sebagai variabel sentral untuk menjelaskan perilaku pemilih.
Pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan. Artinya, penilaian terhadap suatu obyek diberikan berdasarkan motivasi, minat, dan kepentingan orang tersebut.
Kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri. Seseorang bersikap tertentu sesuai dengan kepentingan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh
yang diseganinya atau kelompok panutannya. Ketiga, sikap merupakan eksternalisasi dan pertahanan diri. Artinya, sikap seseorang itu merupakan upaya
untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan defence mechanism dan eksternalisasi diri sperti
proyeksi, rasionalisasi, dan identifikasi.
30
Pendekatan rasional sebenarnya diadopsi dari ilmu ekonomi. Mereka melihat adanya analogi antara pasar ekonomi dan perilaku pemilih politik.
Apabila secara ekonomi masyarakat dapat bertindak secara rasional yaitu mereka menekan ongkos sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-
besarnya, maka dalam perilaku politik pun masyarakat akan dapat bertindak
1.5.2.3. Pendekatan Rasional
30
Ibid.,hal 26
Universitas Sumatera Utara
secara rasional, yakni memberikan suara ke pasar yang dianggap mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya dan menekan kerugian.
Dalam konteks pilihan rasional, ketika pemilih merasa tidak mendapatkan faedah dengan memilih partai atau calon presiden yang tengah berkompetisi,ia
tidak akan melakukan pilihan pada pemilu. Hal ini didasarkan pada kalkulasi ekonomi, di mana perhitungan biaya yang dikeluarkan lebih besar dengan apa
yang didapatnya kelak. Maka jalan terbaik bagi pemilih adalah melakukan kegiatan atau aktivitas kesehariannya.
Pendekatan ini juga mengandaikan bahwa calon presiden, calon legislatif atau partai yang bertanding akan berupaya dan berusaha untuk mengemukakan
berbagai program untuk menarik simpati dan keinginan pemilih memilih. Namun apabila patai ataupun calon presiden gagal mempromosikan programnya pada
pemilih, maka pilihan untuk tidak memilih adalah rasional bagi pemilih. Oleh karena itu, pada pemilu 2008 sistem pemilihan diubah, dan mempersilakan rakyat
untuk ikut andil memilih pasangan presiden yang mereka anggap dapat memberikan harapan. Layaknya seorang pembeli di pasar, pemilih melakukan
pilihan dengan cermat bukan hanya dalam pemilihan presiden tetapi juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat DPR, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD
baik tingkat I dan II, dan Dewan Perwakilan Daerah DPD.
31
31
Muhammad Asfar, Pemilu dan Perilaku pemilih 1955-2004. Jakarta : Pustaka Eureka, 2006, hal1.37
Jenis-jenis pemilih itu sendiri dapat dibedakan antara lain adalah:
Universitas Sumatera Utara
• Pemilih rasional yaitu pemilih dalam hal ini mengutamakan kemampuan partai politik atau calon peserta pemilu dengan program kerjanya, mereka
melihat program kerja tersebut melalui kinerja partai atau kontestan dimasa lampau, dan tawaran program yang diberikan sang calon atau
partai politik dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang sedang terjadi. Pemilih jenis ini tidak begitu mementingkan ikatan ideologi
kepada suatu partai politik atau seorang kontestan. • Pemilu kritis dalam hal ini proses untuk menjadi pemilih ini bisa terjadi
melalui 2 hal yaitu pertama, jenis pemilih yang menjadikan nilai ideologis sebagai pijakan untuk menentukan kepada partai atau kontestan pemilu
mana mereka akan berpihak dan selanjutnya mereka akan mengkritisi kebijakan yang akan atau telah dilakukan dan yang kedua, bisa juga terjadi
sebaliknya dimana pemilih tertarik dahulu dengan program kerja yang ditawarkan sebuah partai atau kontestan pemilu baru kemudian mencoba
memahami nilai-nilai dan faham yang melatarbelakangi pembuatan sebuah kebijakan. Pemilu jenis ini adalah yang kritis, artinya mereka akan selalu
menganalisis kaitan antara ideology partai dengan kebijakan yang dibuat. • Pemilih Tradisional yaitu pemilih yang memiliki orientasi ideology yang
sangat tinggi dan tidak terlalu melihat kebijakan partai politik atau seorang kontestan sebagai sesuatu yang penting dalam pengambilan keputusan.
Pemilih tradisional sangat mengutamakan kedekatan sosial-budaya, nilai, asal-usul, paham, dan agama sebagai ukuran untuk memilih sebuah partai
Universitas Sumatera Utara
politik atau kontestan pemilu. Pemilih jenis ini sangat mudah dimobilisasi selama masa kampanye, pemilih jenis ini memiliki loyalitas yang tinggi.
• Pemilih skeptis adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi yang cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau kontestan pemilu, pemilih
ini juga tidak menjadikan sebuah kebijakan menjadi suatu hal yang penting. Kalaupun mereka berpartisipasi dalam pemilu, biasanya mereka
melakukannya secara acak atau random. Mereka berkeyakinan bahwa siapapun yang menjadi pemenang dalam pemilu, hasilnya sama saja, tidak
ada perubahan yang berarti yang dapat terjadi bagi kondisi daerah atau negara ini.
Perilaku politik, sebagaimana perilaku manusia pada umumnya, dapat dijelaskan melalui beberapa pendekatan. Jika kita melihat melalui pendekatan
budaya politik dan pendekatan sosiologis, menyatakan bahwa pilihan politik seseorang sedikit banyak ditentukan oleh sejauh mana orientasi politik individu
terhadap sistem politik secara keseluruhan termasuk di dalamnya partai politik, aktor,atau elit politik. Asumsi pendekatan budaya politik dan pendekatan
sosiologis menyatakan bahwa orientasi seseorang terbentuk melalui keanggotaan pada berbagai tipe kelompok sosial. Luas sempitnya orientasi dan pemahaman
seseorang ditentukan oleh ruang lingkup dari kelompok sosial danatau keagamaan yang dimasukinya. Dengan kata lain, seseorag yang hanya terlibat ke
dalam keanggotaan kelompok primer, misalnya adat atau desa, akan memiliki orientasi yang lebih sempit ketimbang mereka yang terlibat ke dalam organisasi
Universitas Sumatera Utara
yang lebih luas, misalnya partai politik. Pendekatan psikologis lebih melihat faktor kekuatan dari dalam diri individu sebagai faktor yang menentukan pilihan-
pilihan politiknya. Kekuatan psikis tersebut terefleksikan ke dalam sikap-sikap dan kepribadian yang dibentuk melalui proses sosialisasi.
Terlepas dari beberapa pendekatan tersebut, Bambang Cipto 1999 dalam Indra Ismawan 1999:23 menjelaskan bahwa proses pengambilan keputusan
pemilih dapat diperkirakan menurut tolak ukur tradisional yang meliputi tiga aspek penting, yakni :
32
32
Tim Peneliti FISIP UMM,Op.Cit., hal 28
Faktor pertama, party identification Identifikasi partai. Identifikasi partai merupakan perasaan terikat pada kelompok di mana ia menjadi anggota ataupun
kelompok yang ia pilih. Identifikasi partai akan berkaitan dengan kesetiaan loyalitas dan ketidaksetiaan volatilitas dari massa suatu partai. Semakin tinggi
identifikasi partai akan semakin menjamin loyalitas massa partai, sebaliknya semakin rendah identifikasi partai akan semakin rendah pula loyalitas massanya.
Di Indonesia, identifikasi partai agaknya sulit dijelaskan karena tidak ada satu partai politik pun yang memiliki massa pendukung yang jelas. Kalaupun ada
hanya nampak latar belakang kelompok agamanya saja, Hal itu bukan termasuk cirri atau identifikasi partai tersebut. Yang ada justru massa mengambangfloating
mass. Loyalitas massa pendukung partai akan berpengaruh terhadap kemenangan partai dalam pemilu. Oleh karena itu, setiap partai akan mengupayakan tetap
terjaminnya loyalitas partai sekali pun dengan menggunakan politik uang money politic.
Universitas Sumatera Utara
Faktor penentu kedua adalah isu-isu di seputar kandidat dari suatu partai maupun isu-isu di seputar partai tersebutIssues of candidate and party. Faktor
ini nyata sekali berkaitan dengan merosotnya perolehan suara PDIP pada pemilu 2004. Jika dibandingkan dengan pemilu 1999, suara PDIP pada pemilu 2004
mengalami penurunan sekitar 15. Menurut Riswanda Imawan dalam opininya di Harian Kompas 2042004 disebabkan oleh disamping adanya protest voters
terhadap PDIP dalam pemilu, juga adanya fenomena split voting suara terbelah. Oleh beberapa pengamat, terbelahnya suara PDIP ini disinyalir sebagai akibat dari
beberapa tokoh puncak PDIP yang beramai-ramai mendirikan Partai Nasional Banteng Kemerdekaan PNBK dan Partai Tanah Air Indonesia PITA. Faktor
ketiga yang ikut dalam menentukan pengambilan keputusan pemilih dalam menjatuhkan pilihannya adalah kepribadian, gaya hidup, dan performa dari partai
maupun kandidat partai.
1.5.3. Pemilihan Umum Pemilu