NASKAH AKADEMIK RANCANGAN PERATURAN DAEARAH TENTANG STOK PEMERINTAHAN DESA DI KABUPATEN BADUNG.

(1)

DENPASAR

2015

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN

BADUNG TENTANG PEDOMAN STRUKTUR

ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAH DESA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA

KERJASAMA DENGAN


(2)

TIM PENELITI PPH FH-UNUD

Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja

Dr. Ketut Wirawan

Made Maharta Yasa, S.H.,M.H.

AA Sri Utari,.S.H.,M.H.


(3)

Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Pemerintah Kabupaten Badung mengadakan kerjasama untuk pembuatan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa beserta Konsep Awal Rancangan Peraturan Daerah. Oleh Fakultas Hukum pengerjaannya ditugaskan kepada Pusat Perancangan Hukum Fakultas Hukum Universitas Udayana (PPH FH-UNUD), yang kemudian membentuk Tim Peneliti yang bertugas melakukan penelitian hukum dan menuangkannya dalam bentuk Naskah Akademik.

Naskah Akademik ini sebagai karya penelitian hukum tidak menutup, bahkan sangat mengharapkan, kritik dan saran dari pembaca, untuk penyempurnaannya. Terutama dalam konsultasi publik, masukan dari masyarakat sangat diperlukan dalam penyempurnaan Naskah Akademik dan Konsep Awal Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.

Terimakasih disampaikan kepada pimpinan Fakultas Hukum Universitas Udayana dan Pemerintah Kabupaten Badung, sehingga Tim Peneliti mempunyai kesempatan mengembangkan bidang keilmuannya. Terimakasih juga pada anggota Tim Peneliti atas dedikasi dan integritasnya sehingga tugas ini dapat diselesaikan.

Denpasar, 9 September 2015 Tim Peneliti PPH FH-UNUD Ketua,

Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja


(4)

KATA PENGANTAR ____________________________________________iii DAFTAR ISI ________________________________________________ iv RINGKASAN________________________________________________ vi BAB I PENDAHULUAN _______________________________________ 1 A. Latar Belakang ______________________________________ 1 B. Identifikasi Masalah __________________________________ 5 C. Tujuan dan Kegunaan _________________________________ 6 D. Metode ____________________________________________ 6 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS _________________ 11 A. Kajian Teoritis _____________________________________ 11 B. Kajian Terhadap Asas/Prinsip Yang Terkait Dengan Penyusunan

Norma ___________________________________________ 24 C. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada,

dan Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat ____________ 27 D. Kajian Terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan

Diatur Dalam Peraturan Daerah Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Daerah ___________________________________________ 31 BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

TERKAIT ______________________________________________ 37 A. Evaluasi dan Analisis Terhadap Kondisi Hukum atau Peraturan

Perundang-Undangan Yang Mengatur Mengenai Materi Yang Akan Diatur _______________________________________ 37 B. Evaluasi dan Analisis Keterkaitan Peraturan Daerah Baru Dengan Peraturan Perundang-Undangan Lain ___________________ 66


(5)

C. Evaluasi dan Analisis Status dari Peraturan Perundang-Undangan Yang Ada _________________________________________ 73 BAB V LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS, DAN YURIDIS _________ 94 A. Landasan Peraturan Perundang-Undangan _________________ 94 B. Landasan Peraturan Perundang-Undangan dalam Pembentukan

Perda tentang Pedoman Penyusunan Struktur Oganisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa_________________________________ 96 BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RUANG LINGKUP MATERI

MUATAN _____________________________________________ 111 A. Arah, Sasaran, dan Jangkauan Pengaturan ________________ 111 B. Ruang Lingkup Materi Muatan __________________________ 111 BAB VI PENUTUP __________________________________________ 122 A. Kesimpulan _________________________________________ 122 B. Saran _____________________________________________ 124 DAFTAR PUSTAKA __________________________________________ 126 DAFTAR TANYA _____________________________________________ [] PEDOMAN WAWANCARA______________________________________ [] SURAT TUGAS ______________________________________________ []


(6)

RINGKASAN

Isu hukum dari penelitian atau penyusunan Naskah Akademik ini adalah Perda Badung 3/2007 tidak lagi memiliki landasan hukum dan ketidaksesuaian landasan politik hukum sebagai akibatnya reformasi kebijakan tentang desa sebagaimana tertuang dalam UU 6/2014 dan PP 43/2014 dalam UU 6/2014 beserta peraturan pelaksanaannya, terutama PP 43/2014. Terdapat 4 (empat) pokok masalah yang memandu penelitian hukum dalam penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu:

1. Permasalahan apa yang dihadapi dengan adanya reformasi kebijakan tentang desa sebagaimana tertuang dalam UU 6/2014 dan PP 43/2014 serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi?

2. Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah sebagai akibat reformasi kebijakan tentang desa sebagaimana tertuang dalam UU 6/2014 dan PP 43/2014? 3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis,

sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tersebut?

4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, jangkauan dan arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tersebut?

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum, dengan langkah-langkah: (1) studi tektual hukum; (2) dilengkapi dengan studi kontekstual, dan (3) data yang terkumpul dianalisis disertai dengan penarikan kesimpulan. Kesimpulan yang didapat adalah:

Pertama, permasalahan yang dihadapi berkenaan dengan pemberian pedoman struktur dan organisasi dan tata kerja pemerintah desa adalah (1) Peraturan Daerah yang lama substansinya bertentangan dengan UU 6/2014 dan PP 43/2014. Permasalahan tersebut diatasi dengan pembuatan Peraturan Daerah yang baru dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, yang salah satu urusan pemerintahan daerah adalah mengatur dan mengurus desa.

Kedua, dan (2) UU 6/2014 dan PP 43/2014 tidak mengamanatkan pembuatan Peraturan Daerah tentang pedoman struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa. Namun, UU 6/2014 menentukan pemberdayaan masyarakat dan Desa merupakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah (termasuk kabupaten/kota) dan Daerah berhak menetapkan kebijakan daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan kewenangan Daerah. Perihal struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa merupakan urusan pemerintahan yang lokasinya dalam daerah kabupaten/kota. Oleh karena itu perlu ditetapkan Peraturan Daerah sebagai bentuk hukum kebijakan daerah tersebut.


(7)

Ketiga, penyusunan Peraturan Daerah diperlukan agar pemerintahan desa memiliki landasan dan kepastian dalam penyusunan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa dan bagi pemerintah daerah dalam memfasilitasi dan membimbing pemerintahan desa.

Keempat, pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa adala:

1. Pertimbangan Filosofis, bahwa Pemerintahan Kabupaten Badung perlu memberikan pedoman kepada Desa dalam menyusun struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa yang dituangkan dalam Peraturan Daerah, sehingga dapat mengarahkan penyusunan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa pada upaya berperan serta mewujukan cita-cita kemerdekaan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa tujuan dibentuknya Negara Indonesia sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945. 2. Pertimbangan Sosiologis, yakni adanya kebutuhan untuk

menyesuaikan Peraturan Daerah tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa (yang selama ini ditetapkan dengan Perda Badung 3/2007) dengan UU 6/2014 berikut peraturan pelaksanaannya. Kebutuhan itu pada dasarnya berkenaan dengan kemanfaatan dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat agar dapat dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna, perlu adanya pedoman penyusunan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa. 3. Pertimbangan Yuridis, bahwa dalam rangka memberikan landasan

dan kepastian hukum bagi bagi pemerintah desa dalam menyusun struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, perlu adanya pedoman penyusunan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa.

Kelima, arah, sasaran, dan jangkauan pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Peraturan Daerah yang akan dibentuk adalah:

1. Arah pengaturan dari Peraturan Daerah yang akan dibentuk ini adalah memberikan landasan dan kepastian hukum dalam penetapan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa. 2. Sasaran yang hendak diwujudkan dari Peraturan Daerah yang

akan dibentuk ini adalah terwujudnya penyusunan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa dengan peraturan desa.

3. Jangkauan pengaturan dari Peraturan Daerah yang akan dibentuk ini adalah memberikan pedoman bagi:

a. Pemerintah Kabupaten dalam memfasilitasi dan membimbing pemerintahan desa menetapkan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa dengan peraturan desa;


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), tidak mengatur Desa sebagai Daerah Otonom, atau Daerah yang menjalankan otonomi. Daerah otonomi, menurut UUD 1945, adalah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota. Ini dapat disimak dalam Pasal 18 ayat ayat (1) dan (2) UUD 1945:

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.

Sekalipun Desa tidak merupakan Daerah Otonom, namun Desa merupakan satuan pemerintahan terendah yang berada di kabupaten/kota. Saat berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 32/2004), Pasal 1 angka 12 mengartikan, Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat


(9)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desa dibentuk di kabupaten/kota, dan di dalam desa dibentuk pemerintahan desa yang menjalankan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Pasal 200 ayat (1) dan (2) UU 32/2004 menentukan:

(1) Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawatan desa.

(2) Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat. Berikutnya Pasal 216 ayat (1) UU 32/2004 menentukan, pengaturan lebih lanjut mengenai desa ditetapkan da1am Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Pelaksanaan dari ketentuan Pasal 216 ayat (1) UU 32/2004 adalah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa (selanjutnya disebut PP 72/2005). Konsiderans Menimbang PP 72/2005 memuat pertimbangan:

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 216 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4493) yang telah ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548), perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah Tentang Desa.

Materi muatan PP 72/2005 antara lain mengenai susunan organisasi dan tata kerja pemerintah desa, yang diatur dalam Pasal 12:


(10)

(2) Pemerintah Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa.1

(3) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Sekretaris Desa dan Perangkat Desa lainnya.

(4) Perangkat Desa lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:

a. sekretariat desa;

b. pelaksana teknis lapangan; c. unsur kewilayahan.

(5) Jumlah Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2), disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.

(6) Susunan organisasi dan tata kerja pemerintah desa ditetapkan dengan peraturan desa.2

Pemerintahan desa dalam menetapkan Peraturan Desa tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa mengacu pada pedoman yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Pasal 13 PP 72/2005 menentukan, pada ayat (1), Ketentuan lebih lanjut mengenai Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Berikutnya pada ayat (2) menentukan, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya memuat: a. tata cara penyusunan struktur organisasi; b. perangkat; c. tugas dan fungsi; d. hubungan kerja.

Pemerintahan Daerah Kabupaten Badung telah mengeluarkan kebijakan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 13 PP 72/2005, yakni dengan menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Pedoman Penyusunan Organisasi Dan Tata Kerja

1

Pasal 11 PP 72/2005 menentukan, Pemerintahan Desa terdiri dari Pemerintah Desa dan BPD.

2Merupakan pelaksanaan Pasal 202 UU 32/2004: (1) Pemerintah desa terdiri atas

kepala desa dan perangkat desa. (2) Perangkat desa terdiri dari sekretaris desa dan perangkat desa lainnya. (3) Sekretaris desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dari Pegawai negeri sipil yang memenuhi persyaratan.


(11)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

Pemerintahan Desa (selanjutnya disebut Perda Badung 3/2007). Selain itu, ditetapkan pula Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2007 tentang Perangkat Desa Lainnya.

Tahun 2014 terjadi reformasi kebijakan pemerintahan daerah, termasuk desa. Kebijakan tersebut dalam UU 32/2004 direformasi ke dalam 3 (tiga) jenis kebijakan yakni kebijakan pemerintahan daerah, kebijakan pemilihan kepala daerah, dan kebijakan desa. Kebijakan desa dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, berikut peraturan pelaksanaan yang telah dikeluarkan:

1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (selanjutnya disebut PP 43/2014).

2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (selanjutnya disebut PP 60/2014).

3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (selanjutnya disebut PMDN 52/2014).

4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 113 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa (selanjutnya disebut PMDN 113/2014).

5. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa (selanjutnya disebut PMDN 114/2014).

Adanya reformasi kebijakan tentang desa yang dituangkan dalam UU 6/2014 beserta peraturan pelaksanaannya, terutama PP 43/2014, menempatkan Perda Badung 3/2007 pada posisi ketidaksesuaian dasar hukum dan arah kebijakan (politik hukum) tentang desa, sehingga perlu


(12)

diadakan penelitian hukum dalam rangka pembentukan peraturan daerah, yang hasilnya dituangkan dalam Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Daerah.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Isu hukum dari penelitian atau penyusunan Naskah Akademik ini adalah Perda Badung 3/2007 tidak lagi memiliki landasan hukum dan ketidaksesuaian landasan politik hukum sebagai akibatnya reformasi kebijakan tentang desa sebagaimana tertuang dalam UU 6/2014 dan PP 43/2014 dalam UU 6/2014 beserta peraturan pelaksanaannya, terutama PP 43/2014.

Berdasarkan isu hukum tersebut terdapat 4 (empat) pokok masalah yang memandu penelitian hukum atau penyusunan Naskah Akademik ini, yaitu:

1. Permasalahan apa yang dihadapi dengan adanya reformasi kebijakan tentang desa sebagaimana tertuang dalam UU 6/2014 dan PP 43/2014 serta bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi?

2. Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah sebagai akibat reformasi kebijakan tentang desa sebagaimana tertuang dalam UU 6/2014 dan PP 43/2014? 3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis,

yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tersebut?

4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, jangkauan dan arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tersebut?


(13)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN

Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:

1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dengan adanya reformasi kebijakan tentang desa sebagaimana tertuang dalam UU 6/2014 dan PP 43/2014 serta cara-cara mengatasi permasalahan tersebut.

2. Merumuskan alasan pembentukan Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian permasalahan dengan adanya reformasi kebijakan tentang desa sebagaimana tertuang dalam UU 6/2014 dan PP 43/2014.

3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tersebut. 4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, jangkauan dan arah

pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan Rancangan Peraturan Daerah tersebut.

Adapun kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah, baik bagi lembaga atau pejabat yang berwenang maupun bagi masyarakat yang hendak menggunakan hak partisipasinya.

D. METODE

Penyusunan Naskah Akademik pada dasarnya merupakan suatu kegiatan penelitian sehingga digunakan metode penyusunan Naskah Akademik yang berbasiskan metode penelitian. Metode penelitian yang


(14)

digunakan adalah metode penelitian hukum, dengan langkah-langkah sebagai berikut:3

Pertama, melakukan studi tekstual, yakni menganalisis secara kritikal terhadap pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan, yakni UU 6/2014 berikut peraturan pelaksanaannya. Studi tekstual dilakukan guna:

a. menemukan makna yang terjalin dalam suatu teks hukum dengan melakukan kontemplasi terhadap banyak pesan dalam teks hukum dan mencari relasi diantara bagian-bagian dari teks hukum itu;

b. menemukan dan menjelaskan makna teks hukum itu dan implikasinya terhadap kepala desa dan perangkat desa dalam konstelasi hubungan tata kerja pemerintah desa.

Kedua, melakukan studi empirik: (1) dengan melakukan identifikasi dan analisis bekerjanya Perda Badung 3/2007 dan UU 6/2014 serta peraturan pelaksanaannya; dan (2) untuk mendapatkan data empirik tentang pengalaman dan pemahaman dari para pejabat di lingkungan SKPD yang membidangi desa dan dari para kepala desa dan perangkat kepala desa. Studi empirik dilakukan dengan cara mengajukan kuesioner (daftar tanya), wawancara, dan dan FGD.

Ketiga, melakukan analisis terhadap data yang terkumpul (baik data peraturan maupun data empirik) dengan merujuk pada Miles dan

3

Langkah-langkah penelitian hukum tersebut merujuk pada Metode Penelitian Hukum berbasis kajian sosio-legal, sebaqgaimana terangkum dalam Marhaendra Wija Atmaja, 2014, Metode Penelitian Hukum dalam Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan , Denpasar: Progran Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, hlm. 12. Risalah ini merujuk pada Soelistyowati Irianto, 2012, Memperkenalkan kajian sosio-legal dan implikasi metodologisnya , dalam Adriaan W. Bedner, dkk (Eds.), Kajian Sosio-Legal, (Denpasar: Pustaka Larasan); dan Soelistyowati Irianto, 2011, Praktik Penelitian Hukum: Perspektif Sosiolegal , dalam Soelistyowati Irianto dan Shidarta, (Eds.), Metode Penelitian Hukum: Knstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia).


(15)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

Huberman, yang membedakan empat tahap dalam proses analisis, yakni pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Menurut Miles dan Huberman, analisis data tekandung dalam tiga tahapan terakhir. Penggunaannya dalam penelitian hukum penyusunan naskah akademik ini adalah sebagai berikut:4

a. reduksi data (data reduction), yaitu proses pemilihan, penyedehanaan, abstraksi data berdasarkan tema-tema yang ditentukan dalam konstelasi susunan organisasi dan tata kerja pemerintah desa.

b. penyajian data (data display), merupakan proses interpretasi, proses pemberian makna, terhadap unsur-unsur maupun totalitas, kemudian menyajikan hasil reduksi data dalam bentuk uraian naratif dan/atau tabulatif dikaitkan dengan permasalahan yang diajukan; dan

c. penarikan kesimpulan dan verifikasi (conclusion drawing and verification), proses akhir analisis adalah penarikan kesimpulan, yakni memberikan jawaban atas permasalahan yang telah diajukan, yang dalam proses penelitian berlangsung setiap kesimpulan terus-menerus diverifikasi sehingga benar-benar diperoleh kesimpulan yang valid.

Keempat, menggunakan hermeneutika hukum, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa penyajian data (data display), merupakan proses interpretasi, proses pemberian makna, terhadap unsur-unsur maupun totalitas. Untuk melakukan interpretasi tersebut dilakukan interpretasi berbasis hermeneutika hukum.

4 Merujuk pada Miles dan Huberman berdasarkan pemahaman Agus Salim, 2006, Teori & Paradigma Penelitian Sosial, Edisi Kedua, (Yogyakarta: Tiara Wacana), hlm. 22-23; dan Nyoman Kutha Ratna, 2010, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm. 310-311.


(16)

Hermeneutika hukum merupakan penerapan hermeneutika pada bidang hukum yang intinya adalah kegiatan menginterpretasi teks hukum, yakni pemberian makna pada kata-kata dalam peraturan perundang-undangan dan/atau peraturan kebijakan. Hermeneutika hukum bekerja berdasarkan prinsip-prinsip dalam aras lingkaran hermeneutika hukum, yakni:5

1. Berkerja dalam tiga horizon, yaitu horizon pengarang (author), horizon teks, dan horizon pembaca (reader). Direfleksikan di bidang hukum, horizon pengarang adalah konteks kelahiran teks hukum (aturan hukum), horizon teks adalah aturan hukum, dan horizon pembaca adalah konteks penerapan aturan hukum. Dalam penelitian penyusunan Naskah Akademik ini, interpretasi atas peraturan mengenai susunan organisasi dan tata kerja pemerintah desa berbasiskan pada tiga horizon tersebut.

2. Bekerja dalam gerak bolak-balik antara bagian-bagian dan keseluruhan, sehingga terbentuknya pemahaman secara lebih utuh, yakni tiap ayat hanya bisa dipahami berdasarkan pemahaman atas pasalnya dan tiap pasal hanya dapat dipahami berdasarkan pemahaman atas undang-undangnya bahkan dengan sistem hukum yang melingkupinya, sebaliknya undang-undang (sebagai keseluruhan) hanya dapat dipahami berdasarkan

5

Marhaendra Wija Atmaja, 2014, Memahami Interpretasi Secara Hermeneutikal: Menalar Pertimbangan Hukum Pumk Nomor 50/PUU-XII/2014 , Bahan dipersiapkan Dalam Rangka Penerbitan Buku 50th Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 19 Agustus 2014, hlm. 5-7; dan Gede Marhaendra Wija Atmaja, 2012, Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah ,

Disertasi Doktor, (Malang: PDIH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya), hlm. 17-18. Kedua tulisan ini merujuk berbagai pandangan tentang hermeneutika hukum dan hermeneutika pada umumnya.


(17)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

pemahaman atas pasal atau ayat sebagai bagian dari undang-undang.

3. Bekerja dalam gerak bolak-balik antara kaedah dan fakta, yakni proses timbal-balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta. Penafsir harus mengkualifikasi fakta-fakta dalam cahaya kaidah-kaidah dan menginterpretasi kaidah-kaidah dalam cahaya fakta-fakta. Dengan perkataan lain, penalaran dilakukan dari fakta-fakta ke kaidah-kaidah dalam aturan hukum (ia mengkualifikasi), untuk kemudian dari kaidah-kaidah dalam aturan aturan hukum itu ke fakta-fakta (ia menginterpretasi), dan hal itu terjadi berulang-ulang sampai menemukan sebuah penyelesaian. Yang dimaksud kaidah-kaidah hukum di sini adalah kaidah-kaidah hukum dalam UU 6/2014 beserta peraturan pelaksanaannya, dan yang dimaksud dengan fakta-fakta di sini adalah data yang diperoleh dari studi lapangan. 4. Interpretasi secara hermeneutikal berlangsung secara holistik

dalam rangkaian keterkaitan satu interpretasi hukum dengan interpretasi hukum lainnya. Model interpretasi ini digunakan dalam penelitian hukum penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.

5. Interpretasi secara hermeneutikal memerlukan ketepatan pemahaman (subtilitas intellegendi), ketepatan penafsiran (subtilitas explicandi), dan ketepatan penerapan ( subtilitas applicandi). Dalam penelitian hukum penyusunan Naskah Akademik ini, tindakan yang dilakukan adalah memahami teks hukum dengan cara menafsirkannya, dan menerapkannya dalam pembentukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.


(18)

KAJIAN TEORETIS DAN

PRAKTIK EMPIRIS

A. KAJIAN TEORITIS

A.1. Menempatkan Sudut Pandang Tentang Desa

Tim Penyusun Naskah Akademik Undang-Undang Tentang Desa Departemen Dalam Negeri, sesuai dengan pemikiran dan konteks empirik yang berkembang di Indonesia, memahami setidaknya ada tiga tipe bentuk Desa:6

1. Tipe Desa adat atau sebagai self governing community sebagai bentuk Desa asli dan tertua di Indonesia. Konsep otonomi asli sebenarnya diilhami dari pengertian Desa adat ini. Desa adat mengatur dan mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan yang dimiliki tanpa campur tangan negara. Desa adat tidak menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan oleh negara. Saat ini Desa pakraman di Bali yang masih tersisa sebagai bentuk Desa adat yang jelas.

2. Tipe Desa administratif (local state government) adalah Desa sebagai satuan wilayah administratif yang berposisi sebagai kepanjangan negara dan hanya menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan negara. Desa administrati secara substansial tidak mempunyai otonomi dan demokrasi. Kelurahan yang berada di perkotaan merupakan contoh yang paling jelas dari

6 Tim Penyusun Naskah Akademik Undang-Undang Tentang Desa, 2007, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Desa, (Jakarta: Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri), hlm. 83-84.


(19)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

tipe Desa administratif. 7 Pada uraian sebelumnya8 disebutkan bahwa Desa administratif (the local state government) atau disebut orang Bali sebagai Desa Dinas.

3. Tipe Desa otonom atau dulu disebut sebagai Desapraja atau dapat juga disebut sebagai local self government, seperti halnya posisi dan bentuk daerah otonom di Indonesia. Secara konseptual, Desa otonom adalah Desa yang dibentuk berdasarkan asas desentralisasi sehingga mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Desa otonom berhak membentuk pemerintahan sendiri, mempunyai badan legislatif, berwenang membuat peraturan Desa dan juga memperoleh desentralisasi keuangan dari negara. Pada uraian sebelumnya9 disebutkan bahwa Desa otonom (local self government) atau yang dalam UU No. 19/1965 disebut Desa Praja,10 yakni Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan berwenang mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

7

Penjelasan Umum UU 32/2004: Undang-Undang ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengannsebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka otonomi desa akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri. Jadi, yang dimaksud dengan dengan Desa Administratif atau desa yang bersifat administratif oleh pembentuk UU 32/2004 adalah desa bentukan baru di luar desa genealogis atau desa yang memiliki otonomi asli.

8

Tim Penyusun Naskah Akademik Undang-Undang Tentang Desa, 2007,

Naskah ..., Op. Cit., hlm. 3.

9

Tim Penyusun Naskah Akademik Undang-Undang Tentang Desa, 2007,

Naskah ..., Op. Cit., hlm. 12.

10Desapraja menurut pembentuk UU 19/1965 dipersiapkan sebagai daerah tingkat

III. Nama UU ini adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.


(20)

Berdasarkan pemahaman tersebut, terdapat empat rujukan tipe desa, yakni:

1. Desa adat (self governing community ) sebagai bentuk Desa asli dan tertua di Indonesia. Pasal 18B ayat (2) menyebutnya kesatuan masyarakat hukum adat, dan Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 (pra-perubahan) menyebutnya sebagai volksgemeenschappen.

2. Desa administratif (local state government) adalah Desa, yakni desa dinas dan kelurahan. Tipe ini mendapat dasar hukumnya dalam Pasal 18 ayat (7) UUD 145.

3. Desa otonom (local self government) atau dulu disebut sebagai Desapraja. Pasal 18 UUD 1945 dan Penjelasan (pra-perubahan) menyebutnya sebagai zelfbesturende landchappen yang termasuk dalam daerah-daerah kecil. Dalam UUD 1945 mendapatkan dasar hukum pada Pasal 18B ayat (1), yakni sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa.

4. Desa otonom sebagai daerah tingkat III (Provinsi sebagai daerah tingkat I dan kabupaten/kota sebagai daerah tingkat II), sebagaimana direncanakan dulu dalam UU 19/1965). Rujukan konstitusionalnya adalah Pasal 18 ayat (7) UUD 1945. Tim Penyusun Naskah Akademik Undang-Undang Tentang Desa Departemen Dalam Negeri juga mengemukakan adanya pola pilihan, yang disebutnya optional village, dalam menentukan karakteristik desa yang akan dianut:11

11

Tim Penyusun Naskah Akademik Undang-Undang Tentang Desa, 2007,


(21)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

Pertama,integrasi fungsi pemerintahan Desa ke dalam pemerintahan adat sebagaimana terjadi di Sumatera Barat. Forum diskusi bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur tampaknya juga mengarah pada bentuk Desa yang terintegrasi itu. Adapun disain kelembagaannya adalah sebagai berikut:

1. Secara prinsipil integrasi Desa dan adat (integrated village) adalah bentuk Desa otonom (local self government), dengan tetap mengakomodasi spirit dan polaself governing community. 2. Dalam integrated village, terjadi peleburan antara Desa adat dan

Desa dinas menjadi sebuah institusi yang batas-batas wilayah yang jelas.

3. Nomenklatur Desa disesuaikan dengan nomenklatur lokal, seperti nagari, pakraman, lembang, negeri dan lain-lain.

4. Struktur pemerintahan integrated villagemengakomodasi struktur adat yang ada. Struktur ini bukan dalam posisi dan pengertian sebagai lembaga kemasyarakatan, tetapi sebagai struktur resmi pemerintahan Desa. Sebagai contoh di nagari Sumatera Barat terdapat wali nagari sebagai kepala eksekutif, Badan Perwakilan Nagari sebagai lembaga legislatif seperti Badan Perwakilan Desa, Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai institusi asli yang menjalankan fungsi peradilan adat dan wadah permusyawaratan besar para penghulu adat, serta Majelis Adat, Syarak dan Ulama sebagai lembaga pertimbangan bagi lembaga lain yang terkait dengan adat dan agama.

5. Integrated village tidak mengenal dualisme kepemimpinan, melainkan dipimpin oleh seorang pimpinan eksekutif seperti kepala Desa.


(22)

Kedua, integrasi masyarakat adat dalam Desa. Dalam model ini, nilai, istitusi, dan mekanisme yang dikenal dalam masyarakat adat diakomodasi dalam pemerintahan Desa.

Ketiga, koeksitensi antara masyarakat adat dengan Desa dimana masing-masing saling behubungan dan saling memperkuat. Dalam model ini, Desa administratif menjalankan kewenangannya tanpa harus meniadakan masyarakat adat.

Sebagai kosekusensi dari keragaman Desa berdasarkan optional village, maka kewenangan Desa pun disesuaikan dengan Desa yang dipilih:12

1. Desa integrated memiliki tiga kewenangan, yakni kewenangan asal-usul, kewenangan atributif, dan kewenangan pembantuan. 2. Desa yang koeksistensi dengan masyarakat adat, memiliki dua

kewenangan, yakni kewenangan atributif dan kewenangan pembantuan, sedangkan kewenangan asal usul menjadi kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat (desa adat). 3. Kepala Desa dibantu oleh unsur pemerintah Desa yang meliputi

sekretaris Desa dan perangkat Desa.

4. Struktur organisasi pemerintah Desa ditetapkan melalui Peraturan Desa dengan memperhatikan model dan kewenangan Desa.

Adapun penjelasan kewenangan asal-usul, kewenangan atributif, dan kewenangan pembantuan, yakni:

1. Kewenangan asal-usul yang diakui oleh negara: mengelola aset (sumberdaya alam, tanah ulayat, tanah kas Desa) dalam wilayah yurisdiksi Desa, membentuk struktur pemerintahan

12

Tim Penyusun Naskah Akademik Undang-Undang Tentang Desa, 2007,


(23)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

Desa dengan mengakomodasi susunan asli, menyelesaikan sengketa secara adat dan melestarikan adat dan budaya setempat.

2. Kewenangan melekat (atributif) mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang berskala lokal (Desa): perencanaan pembangunan dan tata ruang Desa, membentuk struktur dan organisasi pemerintahan Desa, menyelenggarakan pemilihan kepala Desa, membentuk Badan Perwakilan Desa, mengelola APBDes, membentuk lembaga kemasyarakatan, mengembangkan BUMDes, dan lain-lain.

3. Kewenangan (urusan) yang bersifat tambahan, yakni kewenangan dalam bidang tugas pembantuan (delegasi) yang diberikan oleh pemerintah. Prinsip dasarnya, dalam tugas pembantuan ini Desa hanya menjalankan tugas-tugas administratif (mengurus) di bidang pemerintahan dan pembangunan yang diberikan pemerintah. Tugas pembantuan disertai dengan dana, personil dan fasilitas. Desa berhak menolak tugas pembantuan jika tidak disertai dengan dana, personil dan fasilitas.13

Kewenangan yang dimiliki Desa sebagai akibat pola pilihan Desa tersebut dapat diringkas dalam tabel berikut:

Tabel 2.1. Pola Pilihan Desa dan Kewenangannya

POLA PILIHAN DESA KEWENANGAN Kewenangan

Asal-Usul

Kewenangan Atributif

Kewenangan Pembantuan Desa integrasi

(integrasi fungsi pemerintahan Desa ke dalam pemerintahan

memiliki memiliki memiliki

13

Tim Penyusun Naskah Akademik Undang-Undang Tentang Desa, Naskah ..., Ibid.


(24)

adat atau integrasi kesatuan masyarakat hukum adat dalam Desa)

Desa yang

koeksistensi dengan kesatuan masyarakat hukum adat

tidak memiliki (kewenangan asal usul menjadi

kewenangan kesatuan masyarakat hukum adat (desa adat).

memiliki memiliki

Sumber: Diolah dari Tim Penyusun Naskah Akademik Undang-Undang Tentang Desa

Sampai sat ini Pemerintahaqn Kabupaten Badung masih menganut pola Desa yang koeksistensi dengan kesatuan masyarakat hukum adat, yakni Desa Adat. Oleh karena itu Desa yang dimaksud dalam penelitian naskah akademik ini adalah Desa Dinas, yang memiliki kewenangan atributif dan kewenangan pembantuan, sedangkan kewenangan asal usul menjadi kewenangan Desa Adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat.

A.2. Pengertian Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa

Pengertian Pedoman. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,14 mengemukakan beberapa pengertian pedoman, dua diantaranya adalah:

1. kumpulan ketentuan dasar yang memberi arah bagaimana sesuatu harus dilakukan.

2. hal (pokok) yang menjadi dasar (pegangan, petunjuk, dsb) untuk menentukan atau melaksanakan sesuatu.

Pengertian pedoman dapat ditelusuri dari beberapa peraturan perundang-undangan yang menggunakan judul pedoman, yakni:

14

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993,


(25)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

1. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Analisis Dampak Lingkungan Hidup. Di dalam Lampiran I perihal Pedoman Penyusunan Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup (KA-ANDAL), A. Penjelasan Umum, angka 2 perihal Fungsi pedoman penyusunan ANDAL, dijelaskan: Pedoman penyusunan KA-ANDAL digunakan sebagai dasar bagi penyusunan KA-KA-ANDAL ... . Dengan melakukan abstraksi, yakni menghilangkan unsur yang khusus, maka pedoman berarti dasar bagi penyusunan sesuatu. Sesuatu itu bisa berupa struktur organisasi.

2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 34 Tahun 2011 tentang Pedoman Evaluasi Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri. Lampiran. angka II. perihal Ruang Lingkup Pedoman Evaluasi LAKIP, huruf A perihal Maksud dan Tujuan, dijelaskan: Pedoman Evaluasi LAKIP unit kerja di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dimaksudkan sebagai panduan dalam rangka pelaksanaan evaluasi LAKIP. Dengan melakukan abstraksi, yakni menghilangkan unsur yang khusus, maka pedoman berarti panduan dalam rangka pelaksanaan pekerjaan.

Merujuk pada pengertian-pengertian pedoman tersebut di atas, dalam penelitian naskah akademik ini, pedoman diartikan sebagai dasar bagi penyusunan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.

Pengertian Struktur Organisasi. Sondang P. Siagian,15 mendefinisikan Organisasi sebagai:

15

Sondang P. Siagian, 1982a, Peranan Staf dalam Managemen, (Jakarta: Gunung Agung), hlm. 20. Lihat juga Sondang P. Siagian, 1984, Filsafat Administrasi, (Jakarta: Gunung Agung), hlm. 7.


(26)

setiap bentuk persekutuan antara dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai sesuatu tujuan bersama dan terikat secara formal dalam suatu ikatan hirakhi dimana selalu terdapat hubungan antara seorang atau sekelompok orang yang disebut pimpinan dan seorang atau sekelompok orang yang disebut bawahan.

Pandangan tersebut tidak jauh berbeda dengan beberapa pandangan berikut:

1. Edwin B. Flippo menyatakan bahwa: organisasi adalah sistem hubungan antara sumber daya (among resources) yang memungkikankan pencapaian sasaran.

2. James D. Mooney berpendapat bahwa: Organization is the form of every human association for the attainment of coomon purpose (Organisasi adalah setiap bentuk kerjasama untuk pencapaian tujuan bersama. (dalam Djatmiko, 2003:2).

3. Gitosudarmo (2000:1), mengemukakan pengertian organisasi adalah suatu sistem yang terdiri dari pola aktivitas kerjasama yang dilakukan secara teratur dan berulang-ulang oleh sekolmpok orang untuk mencapai suatu tujuan.16

Pengertian-pengertian organisasi tersebut memuat unsur-unsur seagai berikut: (1) sekelompok manusia; (2) terdapat pemimpin dan yang dipimpin; (3) bekerja sama; dan (3) untuk mencapai tujuan bersama.

Lazimnya pembahasan tentang organisasi ditinjau dari segi statis dan segi dinamis. Sebagaimana dikemukakan Sondang P. Siagian,17 berbagai literatur tentang teori organisasi memberikan petunjuk bahwa para ahli

16

Terkutip dalam Arifin Tahir, 2014, Buku Ajar Perilaku Organisasi, (Yogyakarta: Deepublish), hlm. 21-22.

17

Sondang P. Siagian, 1982b,Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi, (Jakarta: Gunung Agung), hlm. 9-11. Uraian tersebut terdapat pula dalam Sondang P. Siagian, 1982a, Ibid. Bandingkan dengan Soewarno Handayaningrat, 1985, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Managemen, (Jakarta: Gunung Agung), hlm. 42.


(27)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

lumrah melakukan pembahasan tentang organisasi dari dua segi pandangan, yaitu organisasi yang ditelaah dengan pendekatan struktural dan organisasi yang disoroti dengan pendekatan keperilakuan. Pendekatan yang sifatnya struktural menyoroti organisasi sebagai wadah. Pendekatan demikian melihat organisasi sebagai sesuatu yang relatif statis.

Berikutnya dikemukakan, organisasi dalam arti statis adalah wadah tempat penyelenggaraan berbagai kegiatan dengan penggambaran yang jelas tentang hirarki kedudukan, jabatan serta jaringan saluran wewenang dan pertanggungjawaban. Pendekatan keperilakuan menyoroti organisasi sebagai suatu organisme yang dinamik. Pengertian organisasi dari segi dinamikanya merupakan proses kerjasama yang serasi antara orang-orang di dalam perwadahan yang sistematis, formal dan hirarkis yang berpikir dan bertindak seirama demi tercapainya tujuan yang telah ditentukan dengan efisien, efektif, produktif dan ekonomis yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya pertumbuhan baik dalam arti kuantitatif maupun kualitatif.

Sebagaimana telah dikemukakan pengertian-pengertian organisasi tersebut memuat unsur-unsur sebagai berikut: (1) sekelompok manusia; (2) terdapat pemimpin dan yang dipimpin; (3) bekerja sama; dan (3) untuk mencapai tujuan bersama. Pada unsur pemimpin dan yang dipimpin menunjukkan adanya hirarki kedudukan, jabatan serta jaringan saluran wewenang dan pertanggungjawaban.

Dengan perkataan lain, di dalam suatu organisasi terdapat susunan hirarkis kedudukan, jabatan, wewenang, dan pertanggungjawaban. Mengenai hal ini Prayudha Wijaya, Adam Nugroho, Sugeng Rahardjo18, mengemukakan struktur organisasi atau yang biasa disebut bagan

18 Prayudha Wijaya, Adam Nugroho, Sugeng Rahardjo, (Eds), 2008, Panduan

Membentuk Organisasi Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (OPKAD), (Jakarta: LGSP/Local Governance Support Program), hlm. 9.


(28)

organisasi ialah suatu lukisan yang dimaksudkan untuk menggambarkan susunan organisasi baik mengenai fungsi-fungsinya, bidang-bidang pekerjaannya maupun mengenai tingkatan-tingkatannya atau eselonering, rentang kendali dan sebagainya. Pengertian tentang sebuah struktur dapat disederhanakan menjadi suatu cara dimana bagian-bagian disusun menjadi satu kesatuan.

Untuk mendapat pemahaman yang lebih memadai relevan mengutip beberapa pengertian berikut:19

1. Organization Chart Bagan Organisasi. Gambar struktur organisasi yang ditunjukkan dengan kotak-kotak atau garis-garis yang disusun menurut kedudukannya masing-masing memuat fungsi tertentu dan satu sama lain dihubungkan dengan garis-garis saluran wewenang dan tanggung jawab.

2. Organization Structure Struktur Organisasi. Kerangka yang terdiri dari satuan-satuan organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas serta wewenang yang masing-masing mempunyai peranan serta hubungan tertentu dalam lingkungan kesatuan yang utuh dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

3. Structural Organization Chart Bagan Organisasi Struktur. Bagan organisasi yang isinya menunjukkan susunan organisasi dari pucuk pimpinan sampai dengan satuan-satuan organisasi yang berkedudukan terbawah dengan mencantumkan sebutan satuan organisasi serta nama masing-masing satuan organisasi.

Dengan demikian struktur organisasi adalah susunan dari satuan-satuan organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas dan wewenang

19

Pariata Westra, Sutarto, dan Ibnu Syamsi, (Eds), 1977,Ensiklopedi Administrasi, (Jakarta: Gunung Agung), hlm. 232, 233, 323.


(29)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

yang terjalin dalam hubungan pertanggungjawaban dalam rangka mencapai tujuan tertentu.

Pengertian Tata Kerja. Secara etimologis dibentuk oleh kata tata dan kata kerja . Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,20 mengartikan kata tata, kerja, dan tata kerja sebagai berikut:

1. tata, merupakan kata benda, berarti aturan (biasanya dipakai dl kata majemuk); kaidah, aturan, dan susunan; cara menyusun; sistem;

2. kerja, merupakan kata benda, berarti kegiatan melakukan sesuatu; sesuatu yg dilakukan (diperbuat);

3. tata kerja berarti aturan (sistem dsb) bekerja;

Dari pengertian leksikal tersebut dikaitkan dengan pengertian organisasi, maka tata kerja dapat diartikan sebagai aturan atau cara melaksanakan tugas dan wewenang untuk mencapai tujuan organisasi.

Pengertian Pemerintah Desa. Struktur organiasi yang dimaksud adalah struktur organisasi Pemerintah Desa, dan tata kerja yang dimaksud adalah tata kerja Pemerintah Desa. Oleh karena itu penting merumuskan pengertian Pemerintah Desa. UU 6/2014 telah merumuskan pengertian itu di dalam Pasal 1 angka 7, yakni Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kepala desa dan perangkat desa." Perangkat Desa terdiri atas: a. secretariat Desa; b. pelaksana kewilayahan; dan c. pelaksana teknis (Pasal 8 UU 6/2014).

Pengertian Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa. Merujuk pada pengertian-pengertian tersebut di atas, yakni adalah dasar bagi penyusunan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.

20

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional), hlm. 703, 1547.


(30)

Pengertian-pengertian tersebut merupakan definisi. Definisi, menurut JJ. H. Bruggink, adalah sebuah pengertian dengan sifat-sifat khusus. Maksud sebuah definisi adalah untuk menentukan batas-batas sebuah pengertian secermat mungkin, sehingga jelas bagi tiap orang dalam setiap keadaan, apa yang diartikan oleh pembicara atau penulis dengan sebuah perkataan atau istilah tertentu.21 Terkait dengan penyusunan konsep awal rancangan peraturan perundang-undangan, definisi dituangkan dalam bab ketentuan umum, atau pasal yang memuat ketentuan umum.

Definisi dirumuskan dalam formulasi definiendum dan definien. Definiendum adalah perkataan yang harus didefinisikan dan definien adalah perkataan-perkataan yang mewujudkan definisi.22 Berikut definisi-definisi berkenaan dengan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa diringkas dalam tabel berikut:

Tabel 2.2. Definisi-definisi berkenaan dengan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa

DEFINIENDUM DEFINIEN Pedoman adalah dasar bagi penyusunan.

Struktur Organisasi adalah susunan dari satuan-satuan organisasi yang didalamnya terdapat pejabat, tugas dan wewenang yang terjalin dalam hubungan pertanggungjawaban. Tata Kerja adalah cara melaksanakan tugas dan wewenang.

Pemerintah Desa adalah kepala desa dan perangkat desa yang terdiri atas sekretariat Desa, pelaksana kewilayahan, pelaksana teknis.

Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa

adalah dasar bagi penyusunan struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa.

21

JJ. H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-pengertian Dasar dalam Teori Hukum, alihbahasa B. Arief Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti), hlm. 71.

22


(31)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

B. KAJIAN TERHADAP ASAS/PRINSIP YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN NORMA

Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, sebelumnya dikenal secara teoritik dan praktik pembentukan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia, asas ini telah dipositifkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (UU 10/2004), kemudian dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Asas yang berifat formal diatur dalam Pasal 523 dan asas yang bersifat materiil diatur dalam Pasal 6. Pengertian masing-masing asas ini dikemukakan dalam penjelasan pasal. Asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang bersifat formal berikut pengertiannya, sebagaimana tampak dalam tabel berikut.

Tabel 2.3. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Formal) Berdasarkan Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasannya

Pasal 5 UU 12/2011 Penjelasan Pasal 5 UU 12/2011 Dalam membentuk Peraturan

Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:

a. kejelasan tujuan bahwa setiap Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat

bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan

Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.

c. kesesuaian antara jenis, bahwa dalam Pembentukan Peraturan

23 Sebelumnya, dalam UU 10/2004, Pasal 5 huruf b dan huruf c masing memuat

asas kelembagaan dan organ pembentuk yang tepat dan kesesuaian antara jenis dan materi muatan , dalam UU 12/2011, Pasal 5 huruf b dan huruf c, menjadi kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat dan kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan .


(32)

hierarki, dan materi muatan

Perundang-undangan harus benar-benar

memperhatikan materi muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan.

d. dapat dilaksanakan bahwa setiap Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis. e. kedayagunaan dan

kehasilgunaan

bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. f. kejelasan rumusan bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan

harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.

g. keterbukaan bahwa dalam Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Sumber: Diolah dari Pasal 5 UU 12/2011 dan Penjelasan

Adapun asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, yang bersifat materiil berikut pengertiannya, sebagaimana tampak dalam tabel berikut.

Tabel 2.4. Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik, Yang Bersifat Materiil Berdasarkan Pasal 6 yat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan

PASAL 6 UU 12/2011 PENJELASAN PASAL 6 UU 12/2011 Ayat (1)

Materi muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan asas:

a. pengayoman bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan pelindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.

b. kemanusiaan bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan


(33)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

pelindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara

proporsional.

c. kebangsaan bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

d. kekeluargaan bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.

e. kenusantaraan bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

f. bhinneka tunggal ika bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. g. keadilan bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara.

h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan

bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. i. ketertiban dan kepastian

hukum

bahwa setiap Materi Muatan Peraturan

Perundang-undangan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.

j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan

bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat dan kepentingan bangsa dan negara.

Ayat (2)

Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum

antara lain:

a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa


(34)

Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

asas praduga tak bersalah;

b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.

Sumber: Diolah dari Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2011 dan Penjelasan

Asas-asas tersebut di atas digunakan sebagai landasan penyusunan norma berkenaan pedoman struktur organisasi dan tata kerja Pemerintah Desa. Berdasarkan Pasal 6 ayat (2) UU 12/2011, maka prinsip-prinsip profesionalitas, transparan dan akuntabel, dan teknokrasi dibutuhkan sebagai kerangka administratif bagi Desa, terutama berkaitan dengan keperangkatan Desa. Prinsip-prinsip ini digunakan pula sebagai landasan penyusunan norma, dengan memperhatikan konteks lokal seperti hak asal-usul dan nilai sosial budaya masyarakat.

C. KAJIAN TERHADAP PRAKTIK PENYELENGGARAAN, KONDISI YANG ADA, SERTA PERMASALAHAN YANG DIHADAPI MASYARAKAT

Sesuai dengan judul tersebut di atas, maka Bagian ini membahas tiga hal penting berkenaan dengan aspek empirik, yakni:

Tabel 2.5. Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang Ada, Serta Permasalahan Yang Dihadapi Masyarakat

PERTANYAAN JAWABAN ANALISIS 1. Praktik

penyelenggaraan Perda Badung 3/2007. 1) Pasal 2 ayat (5) Perda

Badung 3/2007: Jumlah Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi budaya masyarakat setempat.

Berapajumlah perangkat desa di

Jumlah perangkat desa di Kabupaten Badung adalah sama, yg terdiri dari: 1 (satu) orang Kepala Desa; 1 (satu) orang Sekretaris Desa; dan 5 (lima) orang Kepala Urusan sebagai

pelaksana teknisyang terdiri atas Kaur Umum, Kaur Keuangan, Kaur Pembangunan, Kaur Kesra,

Pelaksanaan sesuai dengan Perda Badung 3/2007


(35)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

setiap desa di Badung dan rinciannya?;Apa

yang dimaksud dengan Pelaksana Teknis Lapangan di Badung?;

Apakahsetiap Desa memiliki Pelaksana Teknis Lapangan?;

dan Kaur Pemerintahan. Sedang untuk Kelian Banjar Dinas, jumlahnya berbeda sesuai dengan jaumlah Banjar Dinas yang ada pada masing-masing desa.

2) Pasal 3 ayat (1) Perda Badung 3/2007: Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa ditetapkan dengan Peraturan Desa. Apakah setiap telah memiliki Perdes tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa dan sejak kapan?;

Desa di Kabupaten Badung belum memiliki Peraturan Desa tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa. Dalam pelaksanaannya langsung mengacu pada Perda No. 3/2007.

Pelaksanaan tidak sesuai dengan Perda Badung 3/2007, karena tidak Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa tidak ditetapkan dengan Peraturan Desa.

3) Pasal 4 Perda Badung 3/2007: Susunan Organisasi

Pemerintahan Desa sebagaimana dimaksud dalam pasal 3

dilaporkan oleh

Perbekel kepada Bupati melalui Camat. Apakah ada Perbekel yang tidak melaporkan Susunan Organisasi Pemerintahan Desa kepada Bupati melalui Camat?

Perbekel melaporkan Susunan Organisasi

Pemerintahan Desa kepada Bupati melalui Camat. Semua Perbekel melaporkan Susunan Organisasi Pemerintahan Desa kepada Bupati melalui Camat.

Telah sesuai dengan Perda 3/2007. Perlu

dipertimbangkan tentang pengaturan bentuk dan tata cara pelaporannya untuk diatur dalam perda yang akan dibentuk.

4) Hal lainnya: Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Perbekel?; Kewajiban Perbekel?; Larangan Perbekel?; tugas Perangkat Desa?; tugas Kepala Urusan?; tugas Kelian Banjar Dinas?

[tidak ada jawaban] Perlu dipertegas

pengaturan tentang tugas, wewenang, dan larangan Perbekel dan Kelian Banjar Dinas dalam perda yang akan dibentuk.

5) Dalam melaksanakan tugasnya Perbekel dan Perangkat Desa menerapkan prinsip

Koordinasi dan sinkronisasi belum sepenuhnya dapat dilakukan secara optimal, khususnya antara Perbekel

Perlu pendalaman tentang ketidakloyalan Kelian Banjar Dinas kepada Perbekel


(36)

koordinasi dan sinkronisasi; bagaimana pelaksanaannya?

dengan Kelian Banjar Dinas. Salah satu penyebabnya adalah ada pada ketidak loyalan Kelian Banjar Dinas kepada Perbekel, karena Kelian Banjar Dinas merasa bahwa duduknya sebagai Kelian Banjar Dinas adalah karena melalui pemilihan langsung oleh warganya. Walaupun pengangkatannya diusulkan oleh Perbekel.

Perlu pengaturan tentang bentuk koordinasi dan sinkronisasi antara Perbekel dan Perangkat Desa dalam menjalankan tugasnya.

2. Kondisi yang ada pada penyelengga-raan pemerintahan desa setelah Perda Badung 3/2007 kehilangan dasar hukumnya, sebagai akibat adanya reformasi kebijakan desa.

1) Apakah Perda Badung 3/2007 masih

digunakan dalam penyusunan organisasi dan tata kerja

pemerintahan desa?

2) Dalam hal masih digunakan, apakah disesuaikan dengan UU 6/2014 dan peraturan pelaksanaannya?

Oleh karena belum ada Perda yang baru maka Perda 3/2007 masih tetap diberlakukan.

Dalam pelaksanaannya, apabila ada hal yang bertentangan dengan UU No. 6/2014, PP No. 43/2014, dan Permendagri yang berhubungan dengan itu, maka disesuaikan dengan UU, PP, dan Permendagri dimaksud.

Sesuai dengan Pasal 119 UU 6/2014 dan Pasa 157 PP 43/2014.

Perlu dibentuk Perda untuk menjabarkan perintah dari UU 6/2004 dan PP No. 43/2014.

Perlu pendalaman tentang apabila ada hal yang bertentangan dengan UU No. 6/2014, PP No. 43/2014, dan maka disesuaikan dengan UU, PP,

3) Apakah kondisi

tersebut menimbulkan masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan desa?

Permasalahan yang ada adalah, adanya keinginan dari beberapa Perbekel yang mengusulkan agar dalam pengangkatan Sekretaris Desa dapat diisi oleh salah seorang Kepala Urusan yang paling berkompeten (dilihat dari umur, masa kerja, dan pengalaman). Usulan ini masih memerlukan

Jawaban tidak termasuk dalam ruang lingkup materi muatan Perda Badung 3/2007, akan tetapi perlu pendalaman untuk mengetahui

kemungkinan diatur dalam Perda lain.


(37)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

pertimbangan untuk dapat diatur dalam Perda yang akan dibentuk.

3. Permasalahan yang dihadapi masyarakat sebagai akibat Perda Badung 3/2007 kehilangan dasar hukumnya.

1) Apakah kondisi

tersebut menimbulkan masalah dalam

masyarakat, khususnya masyarakat desa?.

Adanya keinginan dari beberapa desa untuk tetap mempertahankan Kelian Banjar Dinas yang telah habis masa jabatannya dan tidak dapat diangkat kembali mengingat batasan umurnya telah melebihi 43 tahun

Jawaban tidak termasuk dalam ruang lingkup materi muatan Perda Badung 3/2007, akan tetapi perlu pendalaman untuk mengetahui

kemungkinan diatur dalam Perda lain.

2) Apakah kondisi

tersebut menyebabkan pemerintahan desa tidak optimal memberikan pelayanan kepada masyarakatnya? Permasalahan seperti dikemukakan di atas mengakibatkan tidak optimalnya pelayanan kepada masyarakat, karena Kelian Banjar Dinas tersebut tidak tidak memiliki dasar hukum untuk menjalankan tugas sebagai Kelian Banjar Dinas.

Jawaban tidak termasuk dalam ruang lingkup materi muatan Perda Badung 3/2007, akan tetapi perlu pendalaman untuk mengetahui

kemungkinan diatur dalam Perda lain.

3) Apakah masyarakat pernah mengajukan keluhan terhadap kondisi tersebut?

Ada keluhan dari masyarakat yang

disampaikan dalam rapat-rapat koordinasi Perbekel dengan Camat ke BPMD Pemdes.

Sedangkan keluhan dari Kelian Banjar Dinas, dilakukan melalui

protes/demo yang pernah dilakukan ke Kantor Bupati, yang selanjutnya ditindak lanjuti dengan mengajak perwakilan Kelian Banjar Dinas berkonsultasi ke Dirjen PMD pada

Kementerian Dalam Negeri.

Jawaban tidak termasuk dalam ruang lingkup materi muatan Perda Badung 3/2007, akan tetapi perlu pendalaman untuk mengetahui

kemungkinan diatur dalam Perda lain.

Masalah tersebut menyangkut

pengangkatan perangkat desa.


(38)

Praktik penyelenggaraan dan kondisi yang ada adalah tidak bekerjanya Pasal 3 ayat (1) Perda Badung 3/2007 yang menentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa ditetapkan dengan Peraturan Desa. Sekaligus ini merupakan permasalahan yang perlu dicarikan solusinya.

Permasalahannya adalah Desa di Kabupaten Badung belum tepatnya adalah tidak memiliki Peraturan Desa tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa. Sekalipun tidak memiliki Peraturan Desa, Desa-desa di Badung langsung mengacu pada Perda No. 3/2007 dan menetapkan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa.

Permasalahan tersebut kemungkinan akan terulang lagi dalam periode berlakunya pengaturan yang baru. Oleh karena itu perlu dirumuskan ketentuan berkenaan dengan mekanisme pelaksanaan dan evaluasi atau strategi implementasi dalam peraturan yang baru.

Permasalahan lainnya mengenai rincian tugas dan wewenang perangkat desa. Tidak terdapat pengaturannya dalam peraturan lama dan tidak mendapatkan data primer tentang hal itu. Hal ini memerlukan rincian tugas dan wewenang perangkat desa di dalam perda yang akan dibentuk, sehingga menjadi jelas tanggung jawab perangkat desa.

D. KAJIAN TERHADAP IMPLIKASI PENERAPAN SISTEM BARU YANG AKAN DIATUR DALAM PERATURAN DAERAH TERHADAP ASPEK KEHIDUPAN MASYARAKAT DAN DAMPAKNYA TERHADAP ASPEK BEBAN KEUANGAN DAERAH

Sesuai dengan judul tersebut di atas, maka Bagian ini menguraikan implikasi penerapan sistem baru yang akan diatur dalam peraturan daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat dan dampaknya penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Perda terhadap aspek beban keuangan


(39)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

daerah. Untuk itu diajukan sejumlah pertanyaan kepada SKPD terkait. Adapun hasilnya sebagai berikut:

Tabel 2.6. Implikasi Penerapan Sistem Baru Yang Akan Diatur Dalam Peraturan Daerah Terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya Terhadap Aspek Beban Keuangan Daerah

PERTANYAAN JAWABAN ANALISIS 1. Implikasi penerapan

sistem baru yang akan diatur dalam peraturan daerah terhadap aspek kehidupan masyarakat. 1) Apakah penerapan

sistem baru yang akan diatur dalam Perda menimbulkan pengaruh positif (misalnya menguntungkan terhadap aspek kehidupan masyarakat?: Siapakah yang diuntungkan?; Mengapa menguntungkan?

Penerapan sistem baru yang akan dibentuk tentu memberikan pengaruh positif khususnya untuk memberikan kepastian hukum dan pedoman bagi para pemangku kepentingan (pemerintah daerah, masyarakat desa dan perangkat desa) dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

Menekankan pada unsur kepastian hukum dari trilogi keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.

2) Apakah penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Perda menimbulkan pengaruh negatif (misalnya merugikan) terhadap aspek kehidupan masyarakat?; Siapa yang dirugikan?; Mengapa dirugikan?

Penerapan sistem baru juga akan merugikan bagi para kelian Banjar Dinas yang habis masa jabatannya tetapi tidak bisa diangkat lagi karena umur lebih dari 42 tahun.

Jawaban tidak termasuk dalam ruang lingkup materi muatan Perda Badung 3/2007, akan tetapi perlu pendalaman untuk mengetahui

kemungkinan diatur dalam Perda lain.

Masalah tersebut menyangkut

pengangkatan dan masa jabatan perangkat desa.

2. Dampaknya penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Perda terhadap aspek beban keuangan


(40)

daerah.

1) Apakah penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Perda memberikan beban keuangan daerah.

Penerapan sistem baru yang akan diatur dalam perda akan memberikan beban kuangan daerah khususnya dalam melaksanakan

kewenangan berkenaan dengan perangkat desa. Misalnya seperti perlu adanya rekomendasi Camat dalam

pengangkatan perangkat desa (Kaur dan Kelian Banjar Dinas). Untuk menghindari masalah hukum terhadap

rekomendasi yang akan dikeluarkan maka Camat akan melakukan rapat untuk mengkaji

berkenaan rekomendasi tersebut.

Perlu pendalaman tentang memberikan beban kuangan daerah khususnya dalam melaksanakan

kewenangan berkenaan dengan perangkat desa

2) Dalam hal

memberikan beban, seberapa banyak beban yang ditimbulkan pada keuangan daerah (% dari PAD, 5 dari pengeluaran daerah, 5 dari ... dalam APBD)?

Secara prosentase, beban yang ditimbulkan untuk penerapan sistem baru tersebut sangat kecil dari APBD

Kabupaten Badung dan melekat dalam Rencana Kegiatan anggaran (RKA) di masing-masing SKPD yang membidangi pemerintahan desa. Tanpa menyebut prosentase, namun secara kualitatif disebutkan bebannya kecil.

3) Apakah beban atau biaya itu lebih kecil atau lebih besar dari manfaatnya?

Beban yang ditimbulkan lebih kecil dari manfaat yang diperoleh, karena pentingnya penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Perda yang akan dibentuk

menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dan

peraturan

pelaksanaannya sebagai

Secara kualitatif

disebutkan bahwa biaya lebih kecil dari manfaat, mengingat pentingnya penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Perda yang akan dibentuk.


(41)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

payung hukum dan pedoman bagi para pemangku kepentingan.

SKPD terkait, dalam hal ini Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Badung mengemukakan pendapatnya, bahwa peraturan daerah yang akan dibentuk akan memberikan pengaruh positif, yakni memberikan kepastian hukum dan pedoman bagi para pemangku kepentingan (pemerintah daerah, masyarakat desa dan perangkat desa) dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

Terhadap beban yang ditimbulkan untuk penerapan peraturan yang baru terhadap APBD Kabupaten Badung, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Badung menyatakan beban tersebut sangat kecil dari APBD Kabupaten Badung dan melekat dalam Rencana Kegiatan anggaran (RKA) di masing-masing SKPD yang membidangi pemerintahan desa. Dikaitkan dengan manfaatnya, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Badung menyatakan bahwa beban yang ditimbulkan lebih kecil dari manfaat yang diperoleh, karena pentingnya penerapan sistem baru yang akan diatur dalam Perda yang akan dibentuk menyesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 dan peraturan pelaksanaannya sebagai payung hukum dan pedoman bagi para pemangku kepentingan. Dengan perkataan lain, biaya lebih kecil dari manfaatnya.

Uraian tersebut di atas menunjukan urgensi penyusunan Peraturan Daerah tentang Pedoman Struktur Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa di Kabupaten Badung. Ini berkaitan dengan dengan asas perlunya pengaturan.

Asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkeheids beginsel) merupakan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang


(42)

baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) yang bersifat formal dalam pembagian I.C. van der Vlies, yang diikuti A. Hamid S. Attamimi. Asas ini untuk memastikan pencapaian tujuan memang harus dilakukan dengan membuat suatu peraturan dan bermaksud untuk menghindarkan kemungkinan dikeluarkannya suatu peraturan yang sebenarnya tidak diperlukan. Asas ini tumbuh karena selalu terdapat alternatif untuk menyelesaikan suatu masalah pemerintahan selain dengan membentuk peraturan perundang-undangan.24

Asas perlunya pengaturan, dalam UU No 12/2011, disebut sebagai asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (Pasal 5 huruf e dan Penjelasannya).25

24

I.C. van der Vlies, 2005, Buku Pegangan Perancangan Peraturan Perundang-undangan, terjemahan Linus Doludjawa dari judul asli: Handboek Wetgeving, (Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI), hlm. 271-274, 284. A. Hamid S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara , Disertasi Doktor, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia), hlm. 338, 345. Yuliandri, 2007, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik dalam Rangka Pembuatan Undang-Undang Berkelanjuan , Disertasi Doktor, (Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga), hlm. 142-145.

25

Asas perlunya pengaturan juga dikenal dalam praktek pembuatan kebijakan publik pada negara-negara anggota Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi

(Organization for Economic Cooperation and Development/OECD), yang terlingkup dalam Analisis Dampak Peraturan (Regulatory Impact Analysis atau RIA). RIA adalah sebuah metode yang bertujuan menilai secara sistematis pengaruh negatif dan positif peraturan yang sedang diusulkan ataupun yang sedang berjalan. Salah satu prinsipnya adalah regulasi efektif minimum, bahwa untuk menjamin iklim peraturan yang kondusif, maka peraturan hanyalah merupakan kebutuhan minimum untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Artinya, memang ada masalah yang nyata dan perlu dipecahkan, serta tidak ada alternatif non-peraturan yang tersedia untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Salah satu langkah yang dianjurkan program RIA adalah pemilihan alternatif tindakan yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan. Bentuk-bentuk alternatifnya adalah (1) self regulation; (2) quasi regulaton; dan (3) explicit regulation. Ida Nurseppy, Paryadi, dan David Ray, 2002, Buku Pedoman Kaji Ulang Peraturan Indonesia , (Disampaikan pada Seminar 28 Nopember, Nusa Dua Provinsi Bali, Kerjasama Balitbang Indag Depperindag, Disperindag Provinsi Bali, PEG, USAID), hlm. 4-5, 10-11.


(43)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

Jadi, pemikiran yang melandasi perlunya peraturan daerah yang baru mengenai pedoman struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa, dalam pemahaman BPMD Badung, adalah untuk memberi kepastian hukum bagi pemerintahan desa dalam penyusunan struktur organisasi dan tata kerja pemerintah desa dan bagi SKPD terkait dalam melakukan melakukan fasilitasi, pembinaan dan pengawasan.

Perlunya peraturan daerah yang baru tersebut sejalan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (beginselen van behoorlijke regelgeving) yang dikenali secara teoritik, yakni asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkeheids beginsel) dan secara hukum positif dikenal sebagai asas kedayagunaan dan kehasilgunaan.


(44)

EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT

A. EVALUASI DAN ANALISIS TERHADAP KONDISI HUKUM ATAU PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR MENGENAI SUBSTANSI ATAU MATERI YANG AKAN DIATUR A.1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

Pasal 18 UUD 1945 (sebelum perubahan) menentukan pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat hak-hak asal-usul dalam daerah yang bersifat istimewa. Tidak terdapat kata desa dalam ketentuan ini.

Sekalipun tidak ada pengaturan secara tegas mengenai desa sebagai satuan pemerintahan daerah atau sebagai satuan paling bawah dalam struktur pemerintahan negara. Namun, dalam perkembangan undang-undang tentang pemerintahan daerah selalu merujuk pada ketentuan konstitusional tersebut.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (selanjutnya disebut UU 22/1948). UU 22/1948, antara lain, menggunakan Pasal 18 UUD 1945 sebagai dasar hukum pembentukannya. Pasal 1 UU 22/1948 menentukan:

(1) Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah: Propinsi, Kabupaten (Kota besar) dan Desa


(45)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

(Kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

(2) Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak, asal-usul dan dizaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa dengan Undang-undang pembentukan termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa yang setingkat dengan Propinsi, Kabupaten atau Desa, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

(3) Nama, batas-batas, tingkatan, hak dan kewajiban daerahdaerah tersebut dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dalam Undang-undang pembentukan.

Undang-Undang 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia (selanjutnya disebut UU 19/1965). UU in juga mencantumkan Pasal 18 UUD 1945 sebagai dasar hukum pembentukannya.

Pengaturan mengenai Desapraja menjadi Daerah Tingkat III diatur dalam BAB VI Peningkatan Desapraja Menjadi Daerah Tingkat III. Pasal 63 UU 19/1965 menentukan:

(1) Berdasarkan usul Pemerintah Daerah tingkat II, Pemerintah Daerah tingkat I memajukan saran kepada Menteri Dalam Negeri untuk meningkatkan sesuatu atau beberapa Desapraja dalam daerahnya menjadi Daerah tingkat III.

(2) Gabungan beberapa kesatuan masyarakat hukum yang telah terjadi pada saat Undang-undang ini berlaku, baik sebagai akibat revolusi maupun berdasarkan sesuatu keputusan penguasa setempat, jika tidak menjadi Desapraja, diusulkan


(46)

oleh Pemerintah Daerah tingkat I kepada Menteri Dalam Negeri untuk dijadikan Daerah tingkat III.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (selanjutnya disebut UU 5/1979). UU 5/1979 per definisi memposisikan Desa sebagai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Pasal 1huruf a UU 5/1979 menentukan:

Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

Pengaturan Desa ke dalam Undang-Undang tentang Pemerintahanh Daerah kembali terjadi pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 22/1999). UU ini juga mencantumkan Pasal 18 UUD 1945 sebagai dasar hukum pembentukannya. Pasal 1 huruf o UU 22/1999 menentukan:

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengawasi kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di daerah kabupaten. Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Pasal 93 ayat (2) UU 22/1999). Interpretasi sistematis atas ayat (1) Pasal 93 UU 22/199926, maka Peraturan Daerah yang dimaksud adalah Peraturan Daerah Kabupaten.

26

Pasal 93 ayat (1) UU 22/1999 menentukan Desa dapat dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD.


(47)

|hn-doc-sotk-bdg-2015|Naskah Akademik Ranperda Kabupaten Badung

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU 32/2004). UU 32/2004 dibentuk pada periode berlakunya UUD 1945 setelah mengalami perubahan. Pasal 18 UUD 1945 mengalami perubahan pada perubahan kedua, yakni tahun 2000.

UU 32/2004 mendefinisikan Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Selengkapnya Pasal 1 angka 12 menentukan:

Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 200 UU 32/2004, ayat (1) menentukan: Dalam pemerintahan daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan desa yang terdiri dari pemerintah desa dan badan permusyawatan desa. Ayat (2) menentukan: Pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan Desa dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat.

Uraian tersebut menunjukan, sekalipun UUD 1945, baik sebelum maupun setelah perubahan tidak mengatur pemerintahan desa. Namun, pembentukan Undang-Undang tentang Desa dan Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang di dalamnya terdapat pengaturan tentang pemerintahan desa, mencantumkan Pasal 18 UUD 1945.

Pasal 18 UUD 1945 mengalami perubahan menjadi tiga pasal, yakni Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Ketiga pasal tersebut dapat disimak dalam tabel berikut:


(48)

Tabel 3.1. Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B UUD 1945

Pasal 18 Pasal 18A Pasal 18B (1) Negara Kesatuan Republik

Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan.

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.

(4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan

pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

(1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan

pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan

kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. (2) Hubungan keuangan,

pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan

dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. (2) Negara mengakui

dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.


(1)

Kedua, masalah-masalah pemerintahan desa di luar ruang lingkup materi muatan Peraturan Daerah yang akan dibentuk, agar diadakan pengaturan dengan atau dalam Peraturan Daerah lain, yakni:

1. Kebijakan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa secara serentak (Pasal 31 ayat (2) UU 6/2014).

2. Syarat lain Calon Kepala Desa (Pasal 33 huruf m UU 6/2014). 3. Syarat lain pengangkatan Perangkat Desa (Pasal 50 ayat (1)

huruf d UU 6/2014).

4. Ketentuan lebih lanjut mengenai perangkat Desa (Pasal 50 ayat (2) UU 6/2014).

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Permusyawaratan Desa (Pasal 65 ayat (2) PP 43/2014).

6. Penetapan mekanisme pengisian keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa (Pasal 72 ayat (4) PP 43/2014).


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurokhman, Mewujudkan Perangkat Desa Yang Berkualitas: Sebuah Kajian Menyongsong Implementasi Undang-undang Desa , http://static.banyumaskab.go.id/website/file/22112014094646141722 9206.pdf <diunduh 19/6/2015>

Asshiddiqie, Jimly, 2006, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press).

Attamimi, A. Hamid S., 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara , Disertasi Doktor, (Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia).

Atmaja, Marhaendra Wija, 2014, Metode Penelitian Hukum dalam Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan , Denpasar: Progran Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Udayana.

..., 2014, Memahami Interpretasi Secara Hermeneutikal: Menalar Pertimbangan Hukum PUMK Nomor 50/PUU-XII/2014 , (Bahan dipersiapkan Dalam Rangka Penerbitan Buku 50th Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, 19 Agustus).

..., 2014, Desa Adat dalam Undang-Undang tentang Desa: Memposisikan Desa Adat Sesuai Politik Pengakuan Kesatuan-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Yang Diamanatkan UUD 1945 , (Makalah dalam Diskusi Publik dengan tema Undang-Undang Desa, Solusikah? , diselengarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Udayana, di Aula Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar, Sabtu 10 Mei).

..., Politik Pluralisme Hukum dalam Pengakuan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dengan Peraturan Daerah , Disertasi Doktor, (Malang: PDIH Fakultas Hukum Universitas Brawijaya).

..., 1995, Ruang Lingkup Materi Muatan Peraturan Daerah Tingkat II (Kasus Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan Kota Daerah Tingkat II Denpasar) , Tesis Magister, (Bandung: Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran).


(3)

Bruggink, JJ. H., 2011, Refleksi Tentang Hukum: Pengertian-pengertian Dasar dalam Teori Hukum, alihbahasa B. Arief Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti).

Handayaningrat, Soewarno, 1985, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Managemen, (Jakarta: Gunung Agung).

Indonesia, Mahkamah Konstitusi Republik, 2008, Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku IV Kekuasaan Pemerintahan Negara, Jilid 2, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi).

Irianto, Soelistyowati, 2012, Memperkenalkan kajian sosio-legal dan implikasi metodologisnya , dalam Adriaan W. Bedner, dkk (Eds.),

Kajian Sosio-Legal, (Denpasar: Pustaka Larasan).

Irianto, Soelistyowati, 2011, Praktik Penelitian Hukum: Perspektif Sosiolegal , dalam Soelistyowati Irianto dan Shidarta, (Eds.), Metode Penelitian Hukum: Knstelasi dan Refleksi, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia).

Lubis, M. Solly, 1989, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, (Bandung: Penerbit CV Mandar Maju).

Manan, Bagir, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ind-Hill.Co).

Nurseppy, Ida; Paryadi; dan David Ray, 2002, Buku Pedoman Kaji Ulang Peraturan Indonesia , (Disampaikan pada Seminar 28 Nopember, Nusa Dua Provinsi Bali, Kerjasama Balitbang Indag Depperindag, Disperindag Provinsi Bali, PEG, USAID).

Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT Citra Aditya Bakti).

Ratna, Nyoman Kutha, 2010, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar).

Salim, Agus, 2006, Teori & Paradigma Penelitian Sosial, Edisi Kedua, (Yogyakarta: Tiara Wacana).

Sondang P. Siagian, 1984, Filsafat Administrasi, (Jakarta: Gunung Agung). ..., 1982a, Peranan Staf dalam Managemen, (Jakarta: Gunung

Agung).


(4)

Soewarno Handayaningrat, 1985, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Managemen, (Jakarta: PT Gunung Agung).

Tahir, Arifin, 2014, Buku Ajar Perilaku Organisasi, (Yogyakarta: Deepublish).

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2008, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional).

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1993,

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka).

Tim Penyusun Naskah Akademik Undang-Undang Tentang Desa, 2007,

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang Desa, (Jakarta: Direktorat Pemerintahan Desa dan Kelurahan Direktorat Jendral Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Departemen Dalam Negeri).

Westra, Pariata; Sutarto; dan Ibnu Syamsi, (Eds), 1977, Ensiklopedi Administrasi, (Jakarta: Gunung Agung).

Wijaya, Prayudha; Adam Nugroho; dan Sugeng Rahardjo, (Eds), 2008,

Panduan Membentuk Organisasi Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (OPKAD), (Jakarta: LGSP/Local Governance Support Program).

Vlies, I.C. van der, 2005, Buku Pegangan Perancangan Peraturan Perundang-undangan, terjemahan Linus Doludjawa dari judul asli:

Handboek Wetgeving, (Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI). Yuliandri, 2007, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

yang Baik dalam Rangka Pembuatan Undang-Undang Berkelanjuan , Disertasi Doktor, (Surabaya: Program Pascasarjana Universitas Airlangga).


(5)

DAFTAR TANYA


(6)

SURAT TUGAS