Penderita Penyakit Jiwa di Indonesia

38 Belanda, promosi obat itu berbunyi “Basmilah gangguan saraf, insomnia dan kelelahan, mengatasi gangguan-gangguan suhu tropis. Kamu juga dapat secara singkat menjadi kuat dan lebih energik dengan sanatogen”. 37 Bisa jadi ketika itu pembangunan RSJ, dengan niat penyembuhan, memang dikonsentrasikan untuk bangsa Eropa. Sementara yang pribumi hanya dengan isolasi atau bahkan kita tidak tahu apa yang dilakukan para dokter Belanda. Yang jelas tujuannya adalah untuk mengontrol cara berfikir orang-orang pribumi agar memandang diri mereka sendiri sebagai etnis yang rendah, yang primitif, tidak rasional. Sementara bangsa Eropa tetaplah bangsa yang tinggi. Model-model mengklasifikasi dan mengontrol penduduk dengan mengelompokkan pada dua kelompok berdasarkan kejiwaannya itu diteruskan pemerintah Indonesia. Kebijakan untuk meneruskan model-model gaya pemerintah kolonial dalam mengontrol penduduk itu dapat kita cermati dari Undang-Undang kesehatan yang dibuat pemerintah Indonesia.

2. Penderita Penyakit Jiwa di Indonesia

Cara-cara yang digunakan pemerintah kolonial seperti di atas diteruskan Pemerintah Indonesia. Dalam masalah memandang kegilaan, saya tidak menjumpai perubahan-perubahan pada cara pengaturan Penduduk di era Indonesia yang berbeda dengan cara-cara yang dibentuk kolonial. Orang-orang yang dianggap gila terus diklasifikasikan sebagai penderita penyakit jiwa yang harus diasingkan dalam ruang-ruang yang tidak dikehendaki para penderita itu. 37 javapost.com, diunduh pada tanggal 26 Februari 2013,Geestesziek in Nederland Indie Terj.Antonius Cahyadi Geestesziek in Nederlands- 39 Dalam hubungannya dengan pembangunan, pemerintah selalu melihat rakyat secara ambivalen. Di satu sisi pemerintah melihat rakyat sebagai penggerak pembangunan, karena hanya dengan kemampuan serta kecakapan penduduk, pemerintah dapat menjalankan agenda-agenda pembangunan, hanya melalui keahlian-keahlian serta dukungan dari penduduklah pembangunan dapat dijalankan. Di sisi lain, pemerintah sering memandang penduduk sebagai penghambat pembangunan, karena tidak semua penduduk diikutsertakan dalam proses-proses pembangunan yang melulu memandang pembangunan dari segi pertumbuhan ekonomi. Dan, orang-orang yang merupakan korban dari pembangunan pemerintah yang selalu mengedepankan pertumbuhan ekonomi ini, malah sering dipandang sebagai penghambat. Pandangan pemerintah tentang pembangunan seringkali berseberangan dengan kehendak orang-orang terpinggirkan atau kelas bawah yang seringkali menjadi korban dari pembangunan pemerintah. Perselisihan itu tampak mencolok dalam kasus penggusuran. Penduduk yang tinggal di tanah-tanah yang dikehendaki pemerintah untuk dibangun sarana-sarana yang diinginkan pemerintah, entah itu untuk kepentingan pemodal maupun atas nama sarana umum, dipandang menghambat keinginan pemerintah membangun. Wacana pembangunan seringkali dipakai pemerintah untuk meneror penduduk-penduduk yang tidak memiliki legalitas formal atau kelompok rentan. Tetapi juga atas nama pembangunan pemerintah membuat berbagai sarana pendidikan, kesehatan dan sebagainya, yang dikatakan bertujuan membangun penduduk agar lebih maju. Di sinilah paradoks pembangunan. Atas nama pembangunan rakyat difasilitisasi, 40 dibentuk, dijaga kesehatannya, namun atas nama pembangunan juga banyak penduduk yang menjadi korban, dimiskinkan dan sebagainya. Orang-orang yang diklasifikasikan sebagai penghambat pembangunan itu di antaranya adalah para pengemis, anak-anak jalanan, serta orang-orang gila di jalanan. 38 Pemerintah menginginkan jalan raya bersih dari orang-orang semacam itu. Kehendak itu dapat kita lihat dari maraknya razia terhadap para pengemis, orang-orang gila, PKL-PKL di jalanan. Pemerintah memasukkan mereka sebagai kelompok yang bermasalah psiko-sosial. Mereka dianggap sebagai kelompok yang perlu ditertibkan, didisiplinkan, serta diarahkan. Undang-undang kesehatan merupakan medium untuk mengatur penduduk-penduduk yang dianggap menghambat pembangunan itu. Secara legal formal pembentukan subjek penderita penyakit jiwa melalui tahapan-tahapan panjang. Pada tahun 1960, pemerintah Indonesia secara resmi baru mengganti undang-undang kesehatan Het Reglement of de Dienst der Volksgezondheid Staatsblad 1882 No. 97 yang dibuat pemerintah kolonial. Di dalamnya hanya disebutkan tentang pentingnya sehat rohani mental dan tidak ada pembahasan lebih lanjut tentang siapa orang yang sehat rohani. Di dalamnya, baru dibentuk pemahaman agar penduduk memandang tubuh mereka melalui ilmu kesehatan barat, dengan mengarahkan orang agar menjadikan institusi medis sebagai rujukan untuk melihat dan memandang tubuhnya. 39 Lalu, baru pada 38 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 220 MENKES SK III 2002 39 Lihat Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1960 41 tahun 1966 dimunculkan secara eksplisit subjek penderita penyakit jiwa. Dalam undang-undang inilah mulai dibuat pembatasan bahwa acuan yang dipakai pemerintah menetapkan penderita penyakit jiwa itu ialah pengetahuan medis. Dan, juga ruang eksklusi penderita penyakit jiwa swasta mendapat legitimasi untuk didirikan di Republik ini. Sejak itu ruang eksklusi buat penderita penyakit jiwa tidak melulu harus di bawah pemerintah. Pihak swasta juga mempunyai ruang untuk ikut andil dalam ‘merawat’ orang-orang yang telah divonis menderita penyakit jiwa. 40 Secara rinci undang-undang ini juga mengatur pihak-pihak mana yang dimintai pertimbangan untuk memasukkan penderita ke ruang eksklusi. Mulailah penderita penyakit jiwa menjadi subjek yang dimasukkan dalam ruang keluarga, pengadilan dan sistem keamanan atau kepolisian. 41 Tubuh dan diri orang yang dimasukkan sebagai penderita penyakit jiwa ini lalu menjadi otoritas keluarga, hukum serta dilekatkan dengan wacana keamanan. Orang-orang yang divonis menderita penyakit jiwa semakin dilekatkan dengan ruang eksklusi, pengadilan, keluarga, yang berarti mencabut kedirian orang-orang itu untuk dimasukkan dalam wilayah medis. Mengatur orang-orang yang divonis menderita penyakit jiwa kemudian dianggap sebagai hal yang lumrah, yang sah. Sejak dibentuknya berbagai macam ruang eksklusi, baik negeri maupun swasta, obat-obatan, dinas-dinas kesehatan, serta perguruan- perguruan tinggi yang menopang serta melanggengkan ide mengatur orang-orang yang dianggap menderita penyakit jiwa, keberadaan 40 Undang-undang Republik Indonesia nomor 3 tahun 1966 41 Ibid 42 penderita penyakit jiwa tampak semakin nyata. Pengaturan, pengontrolan pada tubuh-tubuh penderita penyakit jiwa lalu menjadi sah. Salah satu contoh yang disebutkan dalam Undang-undang Kesehatan Jiwa adalah pengaturan terhadap harta benda mereka. 42 Orang-orang yang dianggap sehatpun mempunyai legitimasi untuk mengatur serta menentukan arah orang-orang yang dianggap menderita penyakit jiwa. Setelah semakin kokoh keberadaan subjek penderita penyakit jiwa, Undang-Undang Kesehatan no.23 tahun 1992 mulai mendefinisikan secara eksplisit kriteria siapa saja orang yang digolongkan sebagai orang yang sehat jiwanya. Dalam undang-undang itu dinyatakan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. 43 Karena itulah dalam pengetahuan kedokteran jiwa ada salah satu terapi yang terkenal sejak dulu yaitu terapi kerja. 44 42 BAB IV HARTA-BENDA MILIK PENDERITA Pasal 9 1 Hakim Pengadilan Negeri setempat menetapkan, bahwa sipenderita tidak mampu mengelola sendiri harta-benda yang ada padanya miliknya danatau yang diserahkan kepadanya. 2 Hakim yang dimaksudkan dalam ayat 1 menetapkan siapa yang berhak mengelola danatau mengurus harta-benda sipenderita tersebut dalam ayat 1. 3 Penetapan Hakim yang dimaksudkan dalam ayat 1 dapat dikeluarkan atas permohonan mereka yang disebut dalam Pasal 5 ayat 1 sub a, b, c dan d. 43 KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 220 MENKES SK III 2002 44 Model-model “terapi kerja” ini sudah ada sejak abad ke-17 di Eropa yaitu ketika kebutuhan akan buruh murah semakin meningkat, sehingga orang-orang miskin, gelandangan yang dikurung 43 Artinya, salah satu kriteria yang dipakai acuan para ahli medis untuk menilai orang itu sakit jiwa atau tidak ada dua yaitu kemampuan orang itu bersosialisasi serta kemampuan orang tersebut dalam memproduksi atau bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dua kriteria itulah yang kemudian membuat RSJ sedari dibentuk membuat teknik terapi kerja dalam mendisiplinkan penderita penyakit jiwa. Jadi, ada tuntutan pada penduduk untuk menjadi orang-orang yang melakukan sesuatu yang dapat diterima lingkungannya dan menjadi orang-orang yang produktif secara ekonomis. Undang-undang Kesehatan selanjutnya direvisi pada tahun 2009. Dalam Undang-Undang ini tidak disebutkan secara eksplisit tentang aturan-aturan bagi penderita penyakit jiwa, tetapi secara implisit termaktub di dalamnya. Pemerintah menyatakan bahwa menjaga kesehatan masyarakat itu merupakan bagian dari investasi berharga dalam menjalankan pembangunan, karena penduduk yang sehat dianggap dapat melancarkan pembangunan pemerintah. 45 Undang-undang kesehatan, seperti yang telah saya uraikan di atas menjadi pedoman cara orang membicarakan pinasung. Legalitas ini memberi ruang seluas- luasnya bagi pendirian institusi-institusi kesehatan seperti Rumah Sakit Jiwa, kemudian diarahkan untuk bekerja. Misalnya : di Jerman masing-masing tempat pengurungan memiliki spesialisasi pekerjaan. Di Bremen, Brunswick,Munich, Breslau dan Berlin tempat pemintalan, sedangkan di Hanover itu para tahanan disuruh untuk menenun. Baca : Foucault, 1977:51, Model seperti ini juga dianut di rumah sakit Lawang Malang sejak kali pertama rumah sakit jiwa ini dibentuk. Lihat profil rumah sakit lawang di www.rumahsakitjiwa Dr. Radjiman Wediodiningrat Lawang. 45 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN. Undang-undang Khusus Kesehatan Jiwa baru saja dibuat lagi dan disahkan pada bulan Juli 2014, sampai tesis ini ditulis belum bisa diakses materi undang-undang tersebut. Sebelumnya hanya ada pada tahun 1966, setelah itu dicampur dengan undang-undang kesehatan secara umum. 44 Panti Rehabilitasi Mental, 46 perguruan-perguruan tinggi jurusan patologi, psikiatri dan psikologi. Di ruang-ruang inilah keberadaan penderita penyakit jiwa dibentuk dan dikukuhkan. B . Stigmatisasi Pinasung 1. Pelabelan Penderita Penyakit Jiwa Secara resmi Pemerintah menanggapi tentang pemasungan ini pada tahun 1977 dengan diterbitkannya surat menerti dalam negeri no. PEM.29615 tanggal 11 November 1977. Surat ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indonesia, yang meminta kepada masyarakat untuk tidak melakukan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menyerahkan perawatan penderita di Rumah Sakit Jiwa. Surat tersebut juga berisi instruksi untuk para Camat dan Kepala Desa agar secara aktif mengambil prakarsa dan langkah-langkah dalam penanggulangan pasien yang ada di daerah mereka. 47 Lalu pada tahun 2002 masalah pasung secara eksplisit menjadi masalah kesehatan dengan dimasukkannya kebijakan-kebijakan untuk mengatasi pemasungan melalui dinas kesehatan. Surat keputusan KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 220 MENKES SK III 2002 memasukkan pemasungan sebagai masalah kesehatan Jiwa dalam rumpun 46 www.arif.rahmawan.blogspot . Com pada tanggal 26 September 2010 mencatat terdapat sekira 54 Rumah Sakit Jiwa di Indonesia baik yang swasta maupun negeri. 47 Sayang, saya belum dapat menemukan sejauh mana penanganan atau langkah-langkah yang diambil para gubernur pada tahun itu untuk mengatasi masalah ini, juga belum saya temukan, via internet tentang keputusan pemerintah dalam negeri ini. Keterangan ini saya dapat dari depkes. htm. Dengan artikel berjudul Menuju Indonesia Bebas Pasung. diunduh pada tanggal 09032013 45 masalah psiko-sosial. Psiko sosial didefinisikan sebagai masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadinya perubahan sosial. Perkembangan inilah yang kemudian membuat dan mengarahkan orang-orang untuk membicarakan pasung melulu melalui wilayah medis. 48 Pemerintah menjadi terbiasa mengkaitkan pemasungan dengan kesehatan jiwa, bahkan melulu begitu. Pemerintah menyebut pinasung sebagai ODMK orang dengan masalah kejiwaan Karenanya, mereka memberi otoritas para dokter jiwa dengan pengetahuannya untuk “menyembuhkan” pinasung. Melalui departemen kesehatan dan para dokter jiwa, pinasung disebut sebagai orang dengan masalah kejiwaan yang disingkat ODMK yang terlantar, 49 karena tidak “dirawat” di RSJ. Berdasarkan Undang-undang kesehatan, orang-orang yang telah divonis mengidap penyakit jiwa itu akan dirawat pemerintah. Berbagai progam dibuat pemerintah dalam rangka agar tidak ada lagi pemasungan. Diantaranya adalah program Indonesia bebas pasung. Awalnya program ini dicetuskan dengan menyebut Indonesia bebas pasung 2010, lalu ternyata karena masih belum dapat dilaksanakan dengan maksimal dalam arti masih banyaknya orang yang dipasung maka pemerintah mengeluarkan program berupa Indonesia bebas pasung 2014. Program ini dilakukan dengan cara, selain melalui seminar-seminar, diskusi-diskusi, cara yang terekspos di media yang diterapkan pemerintah dengan cara dinas kesehatan mengambil langsung 48 Baca KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 220 MENKES SK III 2002, masalah kesehatan dalam point b yang dimasukkan dalam masalah psiko-sosial. 49 www.depkes.go.idindex.php?vw=2id=1242 pada tanggal 09 Maret 2013 46 pinasung dari rumahnya lalu ditempatkan ke rumah sakit jiwa. 50 Cara seperti itu dianggap efektif mengeliminir pemasungan. Dasar itulah yang dipakai berbagai media untuk memberitakan pinasung. Hampir semua media mengikuti stigma dengan menyatakan kalau pinasung itu orang yang menderita penyakit jiwa, penderita gangguan jiwa, gila, tak waras. Efeknya, kita menjadi terbiasa dan merasa bahwa yang menjadi masalah dalam pemasungan itu memang diri pinasung, bukan lainnya. Undang-undang kesehatan jiwa menjadi dasar media dalam memberitakan pasung. Banyak media yang melihat pasung dari sisi tidak bertanggungjawabnya pemerintah pada pinasung. Padahal pemerintah wajib menjaga serta melindungi kesehatan warga. Ini berasal dari keyakinan para awak media kalau pinasung itu orang yang jiwanya sakit, karena itu yang perlu dianggap serius adalah bagaimana caranya supaya pinasung itu segera diatasi dengan menuntut pemerintah bertanggung jawab untuk segera memindahkan pinasung dari kurungan di rumahnya ke RSJ. Setelah melabeli pinasung sebagai orang yang menderita penyakit, maka ukuran yang dipakai dalam menilai pinasungpun menggunakan kriteria yang dibuat pemerintah. Dengan melekatkan berbagai definisi tentang pinasung melalui ukuran-ukuran yang telah dibuat pemerintah dalam Undang-undang Kesehatan. 50 www.antara.com . Judul berita, Akhir 2009, Aceh Bebas Orang Terpasung, pada tanggal 15 November 2008 47 Cara pandang pemerintah itu diikuti media-media, para dokter dan akhirnya menjadi persepsi umum dalam membaca pemasungan. Cara dokter memandang pinasung sama dengan pandangan pemerintah. Hanya tentu dokter menggunakan kosa kata medis dalam mengklasifikasikan pinasung, yang tidak mudah dipahami orang-orang yang tidak belajar pengetahuan itu. Dalam pandangan dokter jiwa, pinasung adalah orang yang menderita Shizofrenia dan Gangguan Bipolar. Kedua penyakit itu disebut sebagai jenis penyakit jiwa berat. “Ciri-ciri orang yang diklasifikasikan menderita penyakit jiwa berat itu adalah orang mengalami gangguan dalam fungsi sosial dengan orang lain, serta dalam hal fungsi kerja sehingga tidak produktif, kata Dr Tun Kurniasih Bastaman, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Pernyataan tersebut sama dengan bunyi Undang –undang Kesehatan 2009 yang menyebutkan bahwa orang yang sehat jiwanya adalah orang yang sehat secara sosial dan produktif secara ekonomi. Para dokter jiwa kemudian memiliki legitimasi untuk menjadikan pinasung sebagai objek pengetahuan medis. Diantaranya, pernyataan Dr. Tun yang menyebut pinasung terkena gangguan Jiwa Berat, dengan gejala biasanya juga diikuti gejala dengan efek kuat misalnya Delusi, Halusinasi, Paranoid, ketakutan berat, yang biasanya disebut gejala psikosis. Untuk mengatasi orang dengan gangguan itu, pemerintah membuat obat, yang disebut three in one pils: CPZ chlorpromazine, Halo haloperidol and THF Trihexiphenidyl Tyas, 2008: 44. 48 Untuk membentuk pribadi yang sehat dari segi ekonomi maupun sosial, pemerintah bertugas memproduksi para ahli di bidang ini. Karena itulah, sekolah- sekolah kedokteran, RSJ terus dibangung. Para psikiater, psikolog juga terus diproduksi melalui institusi-institusi pendidikan kesehatan. Sebab itu, posisi dokter adalah sebagai medium pemerintah untuk merawat serta menyembuhkan pinasung agar dapat diterima masyarakat dan bekerja. Bahkan pemerintah memberikan otoritas penuh pada sang dokter untuk melakukan intervensi pada orang gila yang didiagnosis dokter telah menderita penyakit jiwa berat. Jika pasien menolak tindakan dokter, dokter berhak memaksa pasien tersebut. Karena pinasung dimasukkan dalam kategori OMDK yang berat, maka dokter berhak memutuskan tindakan apa yang akan dilakukan padanya. 51 Alasan pemerintah memasukkan seseorang ke rumah sakit jiwa selalu, dikatakan, demi kepentingan ketertiban dan keamanan umum. Jika masyarakat merasa ada orang gila seperti itu, maka pihak berwenang di desa, pejabat keamanan berhak memasukkan orang-orang tersebut ke rumah sakit jiwa. 52 Ada tiga institusi kesehatan yang telah disiapkan pemerintah untuk melaksanakan tugas melayani pinasung. Institusi ini dirancang secara legal formal untuk menjalankan visi pemerintah menjamin kesehatan jiwa penduduk. Pertama adalah Puskesmas. Puskesmas merupakan institusi kesehatan yang pertama menjadi rujukan penduduk untuk mendeteksi serta mengobati jiwa pinasung. Diah Setia Utami, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan, 51 Undang-undang Kesehatan 2009, pasal 56 52 Lihat Undang-undang kesehatan 1992 pasal 26 49 mengungkapkan Kemenkes telah memberikan pelatihan kepada para dokter di puskesmas agar siap dan berani menangani kasus-kasus skizofrenia dan gangguan jiwa lainnya termasuk kondisi gawat darurat. Mereka sudah dilatih dalam waktu lima hari, bagaimana penanganan dan tanggap darurat terhadap kondisi-kondisi tersebut, kata Diah. 53 Jika puskesmas masih belum mampu menangani, maka pasien dibawa ke Rumah Sakit Umum. Tetapi jika RSU tidak mampu, maka akan dirujuk ke rumah sakit jiwa. Pemerintah membuat program yang diberi nama Indonesia Bebas Pasung yang awalnya telah dibuat sejak 2010, kemudian karena masih banyak ketidakmampuan pemerintah maka kemudian diperpanjang dengan program Indonesia bebas pasung 2014. 54 Program ini dijalankan dengan cara dinas kesehatan masing-masing daerah menjemput langsung pinasung, lalu melepaskan pasungan, kemudian membawa pinasung ke rumah sakit jiwa. 55 Aksi ini berarti memindahkan otoritas penanganan. Saat dipasung, pinasung sepenuhnya di bawah pengawasan dan kontrol keluarga, ketika dibawa ke RSJ berada dalam pengawasan dan kontrol dokter jiwa. Metode mekanik yang ditawarkan dan selalu dijadikan solusi dalam masalah pasung ini ialah dengan cara mendisiplinkan pemasung ke RSJ. Ini berawal dari keyakinan pemerintah bahwa penyebab utama orang dipasung itu karena ketidakmampuan keluarga membiayai biaya RSJ. Banyak media yang 53 health.liputan6.comread654297apa-pun-yang-terjadi-pasung-penderita-gangguan-jiwa. pada tanggal 03 September 2013 54 Kegiatan ini dilakukan telah dimulai sejak tahun 2009, yaitu ketika Indonesia menjadi tuan rumah 55 www.depkes. htm 50 mengikuti pandangan itu. Ini manandakan bahwa tanggung jawabkesehatan itu dianggap sebagai tanggung jawab individual. Karena komodifikasi penyakit jiwa itu berakibat pada keharusan mengakses RSJ dengan hanya menggunakan uang, maka pemerintah berdiri seolah sebagai pihak yang melindungi yang miskin ini. Caranya, membuat proyek yang diberi nama program jamkesmas Jaminan Kesehatan Masyarakat dan Jamkesda Jaminan Kesehatan Daerah. Khusus untuk pinasung yang tidak memiliki Jamkesmas maupun Jamkesda, pemerintah menetapkan memberi kemudahaan pelayanan dengan cara keluarga memperlihatkan, KK, KTP serta keterangan miskin dan pinasung, katanya, maka orang itu akan mendapatkan pelayanan gratis. 56 Bukan pemiskinannya yang diselesaikan, tetapi masalah yang diakibatkan pemiskinan yang seolah diselesaikan dengan proyek-proyek.

2. Pelabelan Gila dan Berbahaya