Pengetahuan dan kuasa dalam wacana pasung di Sri Gentan Wringin Putih Magelang Jawa Tengah.

(1)

ABSTRAK

Hasrat orang untuk menghilangkan pasung sangat besar. Dari rakyat jelata hingga pejabat tertinggi di negeri ini satu suara yaitu tidak ingin ada pemasungan. hasrat itu bisa dilihat dari berbagai produk hukum yang dibuat pemerintah hingga berbagai pernyataan individu melalui media-media konvensional hingga blog-blog pribadi. Namun, rupanya hasrat itu tampak kontradiktif jika kita lihat dari cara orang membicarakan pemasungan. Banyak orang membicarakan pasung dengan melulu melabeli pinasung dengan stigma gila dan berbahaya.

Penelitian ini berusaha menganalisa cara orang membicarakan pemasungan itu dengan membatasi pada cara warga Sri Gentan, Wringin, Putih Magelang Jawa Tengah membicarakan pemasungan pada Agung Tri Subagyo. Teori yang dipilih untuk menganalisa adalah teori wacana Foucault dengan fokus mengetahui struktur diskursif dan kuasa yang menopang struktur itu serta implikasi dari relasi kuasa itu pada keluarga Agung.

Ada dua pengetahuan yang membatasi cara warga membicarakan pemasungan yaitu pengetahuan magis dan pengetahuan medis. Melalui pengetahuan magis, warga menyebut Agung edan dan gendheng yang kemudian menganggap kegendengan, keedanan itu sebagai sesuatu yang lekat dengan hantu, sesuatu yang menyeramkan, yang secara psikis membuat diri Agung tampak menyeramkan dan menakutkan. Implikasi sosialnya membuat masyarakat menjauhi dan menyingkiri Agung. Sedangkan melalui pengetahuan medis masyarakat menyebut Agung stres, yang berakibat pada perasaan tidak perlu menganalisa, apalagi berfikir tentang Agung. Status ilmiah pada pengetahuan medis membuat masyarakat merasa sah melabeli Agung sebagai orang yang sakit. Kedua pengetahuan ini saling membenarkan ide untuk mengasingkan Agung dari masyarakat. Operasi kuasa yang paling mencolok yang beroperasi adalah mekanisme penaklukan ingatan tentang Agung. Kuasa beroperasi melalui pemaknaan, pembatasan dan penyeleksian ingatan tentang tindakan-tindakan Agung sebelum dipasung, yang kemudian mengarahkan orang untuk selalu melihat Agung sebagai sebuah ancaman . Implikasi paling terlihat dari relasi kuasa pada keluarga Agung adalah histeria seorang ibu.


(2)

Lately it seems there is a strong eagerness to eradicate the practice of pasung , i.e. a local practice of physically restraining ‘mentally ill people in Indonesia. From commoners to government elite are calling for the abolishment of pasung. This can be seen in the form of various legal regulations issued by government as well as in personal statements on the mass media and personal blogs. However, it can be counterproductive because there is still a negative stigma toward the pinasung, or pasung patient. The pasung patient is believed to be ‘insane’ and ‘highly dangerous’.

This research is an attempt to analyse people’s perception and understanding about the practice of pasung in the area of Sri Gentan, Wringin Putih, Central Java, which involved one pasung patient named Agung Tri Subagyo. This research makes use Foucault’s Discourse Theory with its focus to understand structure and power which underlies the practice of pasung, and how it affect the way people see the pasung patient and his family.

There are two types of knowledge used by people to talk about the practice of pasung : magical knowledge and medical knowledge. Through the perspective of magical knowledge, the neighbourhood called Agung as ‘edan’ and ‘gendeng’ which equate him with ‘a ghost’, a terrifying creature rather than human being. Consequently, Agung is alienated by his society. He is no longer recognize as part of the community, properly speaking, he is expelled. While through the medical knowledge perspective, people short-sightedly called Agung as ‘stres’. Being stress his permanent identity. Medical labeling has been considered as a legitimation to regard Agung as a sick man. From both knowledge, the practice of pasung to Agung is justified. Furthermore, there was a control of memory about Agung. Power operates by giving meanings, imposing restriction, and selecting memories about Agung before he was physically restrained through pasung. Then, this memory control makes people see Agung as a threat who should be locked, chained :silenced. The real implication of this power relation in Agung’s family is seen clearly through his mother hysteria.


(3)

i

GENTAN WRINGIN PUTIH MAGELANG JAWA TENGAH

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Oleh Nur Izza Millati

096322011

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

2014


(4)

Putih, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah

Tesis

Oleh Nur Izza Millati

096322011

Telah disetujui oleh

Dr. St.Sunardi

Pembimbing I Tanggal

Dr. Katrin Bandel


(5)

iii

Gentan, Wringin Putih, Borobudur, Magelang, Jawa

Tengah

Tesis

Oleh Nur Izza Millati

086322011

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Tim Penguji

Ketua : Prof. Dr. A. Supratiknya ……….

Sekretaris/Moderator : Dr. G. Budi Subanar, S.J. ………

Anggota : 1. Dr. St. Sunardi ………

2. Dr.Katrin Bandel ………..

3. Prof. Dr.A.Supratiknya ………

Yogyakarta, 18 Juli 2014 Direktur Program Pascasarjana


(6)

Saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bernama Nur Izza Millati (NIM: 096322011), menyatakan bahwa tesis dengan judul: Pengetahuan dan Kuasa Wacana Pasung di Sri Gentan, Wringin Putih, Magelang ini merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri.

Di dalam tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain. Pemakaian, peminjaman/pengutipan dari karya peneliti lain di dalam tesis ini saya pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah, sesuai dengan peraturan yang berlaku, sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 18 Juli 2014 Yang membuat pernyataan,


(7)

v

Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Nur Izza Millati NIM : 096322011

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

Pengetahuan dan Kuasa Dalam Wacana Pasung di Sri Gentan, Wringin Putih, Magelang, Jawa Tengah

Dengan demikian, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelola dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Yogyakarta Pada tanggal : 20 Maret 2015 Yang membuat pernyataan:


(8)

ABSTRAK

Hasrat orang untuk menghilangkan pasung sangat besar. Dari rakyat jelata hingga pejabat tertinggi di negeri ini satu suara yaitu tidak ingin ada pemasungan. hasrat itu bisa dilihat dari berbagai produk hukum yang dibuat pemerintah hingga berbagai pernyataan individu melalui media-media konvensional hingga blog-blog pribadi. Namun, rupanya hasrat itu tampak kontradiktif jika kita lihat dari cara orang membicarakan pemasungan. Banyak orang membicarakan pasung dengan melulu melabeli pinasung dengan stigma gila dan berbahaya.

Penelitian ini berusaha menganalisa cara orang membicarakan pemasungan itu dengan membatasi pada cara warga Sri Gentan, Wringin, Putih Magelang Jawa Tengah membicarakan pemasungan pada Agung Tri Subagyo. Teori yang dipilih untuk menganalisa adalah teori wacana Foucault dengan fokus mengetahui struktur diskursif dan kuasa yang menopang struktur itu serta implikasi dari relasi kuasa itu pada keluarga Agung.

Ada dua pengetahuan yang membatasi cara warga membicarakan pemasungan yaitu pengetahuan magis dan pengetahuan medis. Melalui pengetahuan magis, warga menyebut Agung edan dan gendheng yang kemudian menganggap kegendengan, keedanan itu sebagai sesuatu yang lekat dengan hantu, sesuatu yang menyeramkan, yang secara psikis membuat diri Agung tampak menyeramkan dan menakutkan. Implikasi sosialnya membuat masyarakat menjauhi dan menyingkiri Agung. Sedangkan melalui pengetahuan medis masyarakat menyebut Agung stres, yang berakibat pada perasaan tidak perlu menganalisa, apalagi berfikir tentang Agung. Status ilmiah pada pengetahuan medis membuat masyarakat merasa sah melabeli Agung sebagai orang yang sakit. Kedua pengetahuan ini saling membenarkan ide untuk mengasingkan Agung dari masyarakat. Operasi kuasa yang paling mencolok yang beroperasi adalah mekanisme penaklukan ingatan tentang Agung. Kuasa beroperasi melalui pemaknaan, pembatasan dan penyeleksian ingatan tentang tindakan-tindakan Agung sebelum dipasung, yang kemudian mengarahkan orang untuk selalu melihat Agung sebagai sebuah ancaman . Implikasi paling terlihat dari relasi kuasa pada keluarga Agung adalah histeria seorang ibu.


(9)

vii

Lately it seems there is a strong eagerness to eradicate the practice of pasung , i.e. a local practice of physically restraining ‘mentally ill people in Indonesia. From commoners to government elite are calling for the abolishment of pasung. This can be seen in the form of various legal regulations issued by government as well as in personal statements on the mass media and personal blogs. However, it can be counterproductive because there is still a negative stigma toward the pinasung, or pasung patient. The pasung patient is believed to be ‘insane’ and ‘highly dangerous’.

This research is an attempt to analyse people’s perception and understanding about the practice of pasung in the area of Sri Gentan, Wringin Putih, Central Java, which involved one pasung patient named Agung Tri Subagyo. This research makes use Foucault’s Discourse Theory with its focus to understand structure and power which underlies the practice of pasung, and how it affect the way people see the pasung patient and his family.

There are two types of knowledge used by people to talk about the practice of pasung : magical knowledge and medical knowledge. Through the perspective of magical knowledge, the neighbourhood called Agung as ‘edan’ and ‘gendeng’ which equate him with ‘a ghost’, a terrifying creature rather than human being. Consequently, Agung is alienated by his society. He is no longer recognize as part of the community, properly speaking, he is expelled. While through the medical knowledge perspective, people short-sightedly called Agung as ‘stres’. Being stress his permanent identity. Medical labeling has been considered as a legitimation to regard Agung as a sick man. From both knowledge, the practice of pasung to Agung is justified. Furthermore, there was a control of memory about Agung. Power operates by giving meanings, imposing restriction, and selecting memories about Agung before he was physically restrained through pasung. Then, this memory control makes people see Agung as a threat who should be locked, chained :silenced. The real implication of this power relation in Agung’s family is seen clearly through his mother hysteria.


(10)

Pasung merupakan praktik hukuman yang dilaksanakan dengan mewacanakan pinasung sebagai orang gila dan berbahaya. Orang seringkali bersikap mendua menyikapi pemasungan. Banyak orang ingin menghapus pemasungan. Sebab, dianggap praktik ini tidak manusiawi. Namun, di sisi lain, banyak pula yang merasa tidak dapat hidup berdampingan dengan orang yang dianggap gila dan berbahaya. Perasaan dilematis semacam itulah yang sering mengemuka saat orang berbicara tentang pemasungan.

Penelitian ini berusaha mengupas bagaimana wacana pasung beroperasi di dusun Sri Gentan. Di dusun yang terletak di kabupaten Magelang ini, ada satu orang yang dipasung bernama Agung Tri Subagyo. Untuk menstrukturkan wacana itu, penelitian menggunakan teori Foucault yang berasumsi bahwa setiap tindakan itu selalu didasari pengetahuan serta kuasa tertentu yang menjadi latar belakangnya.

Dasar itulah yang kemudian menjadikan penelitian ini bertema pengetahuan dan kuasa wacana pasung di Sri Gentan, Wringin Putih, Magelang, Jawa Tengah. Penelitian ini merupakan sebuah proses belajar. Ini merupakan penelitian lapangan individual yang kali pertama saya lakukan. Sebagai proses belajar, tentu hasilnya masih jauh dari sempurna.

Alhamdulillah, saya dapat menuntaskan penelitian ini. Banyak pihak yang telah membantu saya menyelesaikan proses penelitian ini. Pertama dan terutama, saya haturkan terima kasih pada bapak Dr. ST.Sunardi yang telah membimbing saya dengan sangat sabar. Banyak hal yang saya dapatkan dari arahan-arahan serta diskusi-diskusi yang mencerahkan yang beliau berikan selama proses penyelesaian tesis ini. Sekali lagi,matur nuwun pak Nardi…

Saya juga mengucapkan terima kasih pada Dr. Katrin Bandel, yang telah memberikan banyak saran serta kritikan-kritikan tajam pada tesis ini. Terima kasih juga buat Romo Banar yang telah memberikan banyak data dan masukan-masukan berarti dan membuat saya semangat menyelesaikan tesis. Untuk Prof. Pratiknya, saya haturkan terima kasih banyak atas kesediaan membaca serta mencermati sekaligus mengkritisi tesis ini. Saya juga mengucapkan terima kasih banyak pada seluruh pengajar Ilmu Religi dan Budaya, yang telah memberikan banyak pengetahuan baru dan sangat berharga buat saya untuk merefleksikan ulang tentang banyak hal.


(11)

ix

meluangkan waktu dan tenaga untuk wawancara, dan ngobrol-ngobrol. Banyak pelajaran serta kesabaran yang luar biasa yang saya dapatkan selama berinteraksi dengan beliau dan keluarga. Harapan agar masyarakat dapat menerima dan memahami Agung mudah-mudahan terkabulkan dan mudah-mudahan segera. Saya juga mengucapkan terima kasih pada warga dusun Sri Gentan yang telah meluangkan waktu, di tengah kesibukan-kesibukan mereka untuk saya wawancarai. Terima kasih atas keramahan yang luar biasa saya dapatkan. Terutama, saya mengucapkan terima kasih pada keluarga Lia Amalia, Ibu dan bapak serta adik-adiknya, yang bersedia menerima saya dengan hangat dan menyenangkan sampai membuat saya begitu betah. Saya juga mengucapkan terima kasih pada keluarga Fiqoh, bapak, ibu dan suaminya, serta dua anaknya kecil mungil, yang telah menerima saya untuk menginap di rumahnya yang sangat hangat, sangat menyenangkan hingga membuat saya sering enggan balik ke Yogya.

Terima kasih pada mbak Desy, yang sangat telaten mengingatkan saya untuk segera merevisi tesis ini. Saya juga patut bersyukur selama kuliah di IRB mendapatkan teman-teman yang sangat menyenangkan dan membahagiakan, bersama kalian serasa bersama keluarga sendiri. Terima kasih buat pak Titus, Herlin, Leo, Lusi, mbak Lulud, pak Abed, pak Probo, Agus, Vita, Virus, Iwan, dan Anes, sungguh kalian memang diciptakan untuk selalu memberi keceriaan sampai hilang segala gundah gulana.

Terima kasih tak terhingga buat bapak dan Ibuk yang selalu mensupport keputusan-keputusan yang saya ambil sendiri awalnya, baik materi maupun non materi. Matur

nuwun ibuk,… bapak, ngapuntene nek sering damel deg-degan. Saya juga berterima kasih pada adik dan kakak-kakak, mbak-mbak saya, yang luar biasa mendukung saya untuk menyelesaikan tesis ini.

Terakhir tak lupa pada keluarga di Jogja. Keluarga besar Wisma Citra, yang begitu banyak telah membuat saya dapat begitu nyaman betah berlama-lama di kos, tanpa perlu merasa harus keluar. Dedek yang selalu memijat kalau aku sakit atau kecapean, Tari yang sering mengajak saya jalan-jalan saat sedang suntuk dan selalu menawarkan masakan-masakannya yang lezat, Umi, yang juga menjadi chef handal, hingga membuat saya selalu tak dapat menahan diri untuk tidak nyicipi sepiring

masakannya, (he…he), Yanul, si hitam manis yang selalu berbagi cerita, ida yang

selalu ceria, juga begitu mantab pijitannya, Anif dan Sisil yang bersedia kamarnya menjadi tempat umum, untuk makan atau nonton televise, Sinta dan Isti yang begitu


(12)

kalian. Tak lupa buat Takmir dan Affan yang menjadi saudara sekaligus keluarga di Jogja. Mbak Ifah dan Abang yang juga menjadi kakak-kakakku tercinta selama saya di Jogja.


(13)

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... XI BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

E. Tinjauan Pustaka... 10

F. Kerangka Teori ... 17

G. Metode Penelitian ... 25

H. Skema Penulisan ... 27

BAB II PEMBENTUKAN PENDERITA PENYAKIT JIWA DI INDONESIA... 30

A. Lahirnya Penderita Penyakit Jiwa ... 30


(14)

B. Stigmatisasi Pinasung... 44

1. Pelabelan Penderita Penyakit Jiwa pada Pinasung ... 44

2. Pelabelan Gila dan Berbahaya pada Pinasung ... 50

BAB III WACANA PEMASUNGAN MASYARAKAT ATAS DIRI AGUNG TRI SUBAGYO DAN DAMPKNYA BAGI KELUARGA ... 57

A. Pengetahuan Kegilaan Pada Agung Tri Subagyo ... 57

1. Praktik Wacana Kegilaan pada Agung Tri Subagyo ... 59

2. Praktik Wacana Pasung pada Agung Tri Subagyo ... 70

B. Jalinan Kuasa Masyarakat atas Tindakan Memasung Agung Tri Subagyo ... 78

1. Penghakiman Massal terhadap Agung Tri Subagyo ... 78

2. Pertanggunggjawaban Seorang Ibu atas Keselamatan Jiwa Seorang Anak ... 82

C. Dampak yang diterima Keluarga atas Tindakan memasung Agung Tri Subagyo… 84 1. Jeritan Bahagia Seorang Ibu atas Tunainya Tanggung Jawab ……….. 84

2. Jeritan Tangis Seorang Ibu atas Musibah Yang Harus Ia Pikul ... 88

BAB IV PRAKTIK WACANA MAGIS DAN MEDIS ... 89

A. Mengetahui Agung melalui YangMagis dan Medis ……… 89

1. Pengetahuan Magis: Hantuisasi Tubuh Agung ... 92

2. Pengetahuan Medis: Medikalisasi Tubuh Agung... 100

3. Hubungan Magis dan Medis ... 109

B. Penaklukan Ingatan dan Wacana Ketakutan... 113

C. Sisi Kelam Pasung; Histeria Seorang Ibu ... 127

Bab V PENUTUP ……….. 140


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat makan malam di rumah seorang teman di Magelang, terdengar nyanyian seorang lelaki yang memecah kesunyian. Teman saya mengatakan bahwa itu suara Agung, orang yang dipasung. Sontak saya kaget. Bagaimana mungkin di jaman sekarang masih ada pemasungan? Saya pikir hukuman seperti itu hanya ada pada abad pertengahan, saat hukuman langsung pada tubuh masih menjadi hal lumrah. Ada rasa kasihan yang langsung menyembul yang membuat saya merasa bahwa tidak patut hukuman semacam itu dikenakan.

Saat saya tanya alasan warga memasung Agung, teman saya, tanpa

basa-basi, menjawab “Dia itu kan gila dan membahayakan mbak,”. Pernyataan

semacam itu sungguh menggelitik rasa ingin tahu. Saya menangkap ada perbedaan mencolok antara apa yang saya rasakan dengan perasaan yang saya

tafsirkan dari cara ia menuturkan ‘gila dan berbahaya’. Ada semacam perasaan

marah yang membuatnya membenarkan pemasungan itu. Apa gerangan yang membuat teman saya merasa bahwa pemasungan itu sebagai sebuah kewajaran? Relasi macam apa yang sudah terbangun antara Agung dengan tetangga-tetangganya hingga membuat teman saya menganggap pasung itu wajar? Dua pertanyaan itulah yang mendorong saya untuk meneliti wacana pasung di dusun Sri Gentan, Wringin Putih Magelang ini.


(16)

Melongok dari segi kuantitas dan penyebaran wilayah, ternyata pemasungan ini dikenakan pada banyak orang dan terjadi di banyak daerah. Setidaknya di Magelang, selain di dusun Sri Gentan, terjadi juga di desa Wringin Anom dan Bedilan. Praktik ini juga terjadi di banyak Provinsi di Indonesia; Jawa timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera, Bali, Aceh, Kalimantan. Jumlah orang yang dipasung (selanjutnya saya singkat denganpinasung) juga mencengangkan. Jakarta Post menyebutkan terdapat sekira 20.000-30.000 pinasungdi Indonesia1.

Biasanya, pemasungan dilakukan dengan cara mengikat anggota tubuh; kaki, tangan atau leher. Alat yang digunakan bermacam-macam. Ada yang memakai kain2, rantai hingga kayu berlobang. Pemilihan alat tergantung keputusan pemasung. Biasanya, menimbang efektifitasnya. Misalnya, kalau diikat dengan kain sudah cukup membuat pinasung diam, tidak memberontak, maka cukup menggunakan kain dan digembok. Tetapi kalau pinasung agresif dan melawan, maka akan diikat dengan rantai atau dengan kayu yang berlobang. Intinya, hinggapinasunglunak dan tidak bisa melepas ikatan.

Tempat pemasungan dilakukan di dalam rumah, di salah satu kamar yang biasanya tertutup, di kebun, dibuatkan tempat sendiri seperti gubuk atau hanya dibuatkan atap untuk berteduh. Tempat-tempat itu biasanya tertutup dari pandangan orang luar.

Pasung sering digambarkan sebagai sebuah praktik memilukan, menyedihkan. Karena itu mengundang banyak simpati. Di berbagai media kita

1

A.Life in Chains, the Jakarta Post,Tuesday,04 May 2010 2

Metode ini lebih sedikit, jarang dipakai, saya hanya menjumpai dilakukan pada Etik, warga gunung Kidul, Karangmojo, lihat Kedaulatan Rakyat, Selasa Kliwon 28 Desember 2010, h.3, kebanyakan menggunakan rantai lalu digembok. Secara visual kita dapat melihat teknik ini


(17)

dapat menyaksikan, mendengar dan membaca berbagai deskripsi semacam itu. Isi dari pesan-pesan itu berupa kondisi-kondisi memilukanpinasung, yang bertujuan mengundang empati orang lain, dan tujuannya agar tidak ada lagi pemasungan. Sayangnya, pada saat bersamaan, banyak juga yang melabeli pinasung dengan aneka stigma. Seakan-akan dua hal itu dianggap sebagai sesuatu yang terpisah, seolah-olah tidak ada kaitan antara labelisasi dengan pemasungan. Singkatnya, kasihan dengan pinasung, tetapi tidak menolak dengan stigma yang ramai-ramai ditempelkan padapinasung.

Perasaan kasihan itu mungkin yang kemudian membuat banyak orang menolak keras praktik ini. Salah satu alasannya adalah karena menyalahi hak asasi manusia. Dasar yang diacu ialah resolusi PBB yang berbunyi:

"All persons with a mental illness... shall be treated with humanity and respect for the inherent dignity of the human person." (semua penderita penyakit jiwa harus diperlakukan secara manusiawi dan menghormati harkat martabat orang tersebut).UN Resolution 46/119[1]3

Minas dan Hervita merupakan dua peneliti yang menggunakan dasar itu untuk membicarakan pasung. Mereka menyakini kalau pemasungan merupakan bentuk hukuman yang tidak manusiawi, yang seharusnya tidak boleh dikenakan pada manusia. Dipengaruhi pengetahuan psikiatri, mereka memvonis pinasung menderita penyakit jiwa. Solusi yang mereka tawarkan ialah agar pemerintah segera menyediakan pelayanan kesehatan mental di daerah-daerah. Sebab mereka menganggap penyebab pemasungan itu ialah kurangnya fasilitas kesehatan jiwa.4

3

Dikutip dari Harry Minas dan Hervita Diatri, Pasung: Physical restraint and confinement of the mentally ill in the community. 2008 ( Versi PDF diunduh dari www.ijmhs. com/content/2/1/8) h. 1.

4


(18)

Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab pada pemasungan juga membicarakan pasung dengan fokus sama yaitu mengobjekkan pinasung. Pemerintah menyebut pinasung sebagai ODMK (orang dengan masalah kejiwaan). Langkah yang dilakukan untuk memberantas praktik ini ialah dengan memproduksi berbagai keppres, kepmen dan undang-undang.5 Wujud nyata dari keinginan itu, salah satunya, ialah dengan membuat sebuah program yang dinamai Indonesia bebas pasung 2014.

Nalini Muhdi Agung dari Departemen Kedokteran Jiwa Universitas Airlangga, Surabaya, mengatakan pemasungan tidak saja melanggar hak asasi manusia, tetapi juga melanggar metode penyembuhan yang tepat bagi penderita

gangguan jiwa. Ia berkata: “Seharusnya mereka diobati, bukan diisolasi.

Pemasungan dapat menjadikan penyakitnya kronis sehingga peluang untuk

sembuh menjadi lebih kecil,” katanya. Selain itu, pemasungan mengakibatkan

penderita mengalami sakit fisik, terutama di bagian tubuh yang diikat. Lambat laun, organ itu bisa mengecil karena tidak pernah difungsikan.6

Dengan demikian, cara orang membicarakan pasung ialah meneguhkan bahwa pemasungan itu tidak manusiawi, tidak sesuai dengan undang-undang pemerintah, tetapi pada saat bersamaan, pembicaraan pasung juga melulu melabeli pinasungdengan gila dan berbahaya atau penderita penyakit jiwa. Hampir semua media yang saya baca dengan seenaknya melabeli pinasung sebagai penderita

5

Larangan terhadap pasung, secara resmi telah dikeluarkan pemerintah berupa surat menteri dalam negeri no. PEM.29/15 tanggal 11 November 1977. Isinya berupa meminta seluruh gubernur untuk aktif mengambil langkah-langkah mengatasi kasus pemasungan di daerahnya. Hal ini juga didukung berbagai undang-undang kesehatan. Lebih lanjut tentang hal ini akan dibahas di bab II 6


(19)

penyakit jiwa, terkena gangguan jiwa.7 Tetapi sekaligus mengatakan secara implisit mengatakan ingin menghilangkan pemasungan. Singkatnya, ada sikap mendua ketika orang membicarakan pasung. Di satu sisi banyak orang ingin memberantasnya, tetapi di sisi lain juga beramai-ramai menuduh pinasung sebagai orang gila yang berbahaya dan juga penderita penyakit jiwa. Kalau menganggap pasung itu tidak manusiawi, konsekuensinya berarti ingin melepaskan pasungan, tetapi pada saat bersamaan dengan mengatakan bahwa pinasung itu mengidap penyakit, buat saya itu malah berlawanan dengan niat untuk menghilangkan pemasungan.

Pernyataan-pernyataan itu mengabaikan kompleksitas masalah yang timbul antara pinasung dengan tetangga-tetangganya. Hubungan antara pinasung dan tetangga-tetanganya ini penting diungkap untuk memahami condition of possibilities (situasi-situasi yang memungkinkan) yang mendorong orang untuk memasung Agung dan mendiamkannya.

Dengan demikian, banyak orang membicarakan pemasungan dengan berbagai macam pelabelan pada pinasung, sekaligus merasa bahwa labelisasi itu tidak ada dampak untuk pemasungan. Hal itulah yang menurut saya membuat orang terlena untuk selalu fokus memikirkan bagaimana caranya menyembuhkan pinasung. Orang kemudian menjadi lupa kalau pemasungan itu dipengaruhi berbagai macam kondisi yang memungkinkan terjadinya praktik itu.

7

Kadang wartawan menyebutPinasunggila dan kadang juga penderita penyakit jiwa, dan juga gangguan jiwa, label-label itu dengan mudah disebarkan media, lihat misalnya, untuk menyebut dengan kikir, kompas, yang memberitakan pemasungan dengan judul 200 orang gila bebas dari pasungan, kemudian didalam berita ditulisPinasungsebagai penderita gangguan penyakit jiwa. Tempo memberitakan tentangPinasungdiantaranya dengan menjulukiPinasungsebagai tak waras, bisa langsung terbaca dari judul pemuda tak waras dikerangkeng selama 12 tahun.


(20)

Cara orang melihat pemasungan melulu sebagai praktik menindNas, menyakiti pinasung. Bahwa pemasungan selalu dilihat sebagai sesuatu yang berdampak buruk pada pinasung. Tentu saja pembicaraan semacam ini tidak salah. Kita dapat melihat berbagai macam produk visual di google yang menggambarkan betapa pedihnya apa yang dialami pinasung. Namun, kalau kita selalu berkutat pada masalah itu, saya takut, jangan-jangan malah menjebak kita pada arah wacana yang kontraproduktif dengan hasrat untuk menghilangkan pemasungan.

Salah satu indikasi dari pra anggapan tersebut ialah bahwa cara membicarakan pinasung selalu mengarah pada bagaimana caranya agar cepat sembuh. Metode yang ditawarkan dan selalu dianggap sebagai metode yang tepat ialah dengan menjalankan perawatan medis. Seakan-akan tidak ada hubungan antara pemasungan dengan tumbuh suburnya institusi perawatan penderita penyakit jiwa. Orang melihat dua praktik ini sebagai sesuatu yang terpisah, yang tidak memiliki kaitan sama sekali, dengan menyatakan bahwa RSJ lebih manusiawi ketimbang pasung. Dan model-model pembicaraan semacam itu banyak orang kira bisa menyelesaikan pasung. Atau jangan-jangan sang pembicara juga mengetahui bahwa cara mereka membicarakan pasung semacam itu juga malah melanggengkan pemasungan?

Karena itu, kita bisa melihat pasung dari sisi lain, tidak melulu melihatnya sebagai hal yang menindas orang-orang yang dipasung, tetapi bisa melihat fungsi


(21)

sosial dari praktik ini.8 Sebab tidak mungkin pasung dilakukan kalau tidak didasari pemaknaan tertentu dan tidak memiliki tujuan tertentu pula.

Dengan demikian, saya tidak akan meneliti dari segi moralitas, dengan mencari tahu atau membandingkan rumah sakit jiwa (selanjutnya saya singkat dengan RSJ) dengan pasung hingga dapat membuat kesimpulan mana yang lebih baik. Saya malah meragukan kebenaran dari keyakinan banyak orang itu. Bukan berarti saya mengatakan kalau pasung itu lebih baik dari RSJ, tetapi saya berasumsi kalau dua praktik ini saling berkaitan. Nah, hubungan-hubungan antara pernyataan dengan praktik inilah yang menjadi minat saya dalam penelitian kali ini. Karenanya, saya tidak bermaksud menawarkan solusi pemasungan. Malah, penelitian ini akan mempertanyakan ide apa saja yang membentuk pola masyarakat sehingga ketika membicarakan pasung selalu mengarah pada pembicaraan-pembicaraan semacam itu.

Selanjutnya, saya berasumsi kalau ada struktur tertentu yang mengarahkan orang untuk selalu membicarakan pasung dengan cara demikian. Bahwa pola pembicaraan semacam itu bukan terjadi secara alamiah begitu saja. Pola hubungan ketika orang membicarakan pasung dengan fokus pada transformasi diripinasung, tentu perlu diteliti ulang, sebab arah semacam ini menjadikan pinasung menjadi objek pembicaraan.

8

Dalam discipline and punish, Foucault mengatakan do not concentrate the study of the punitive mechanisms on their repressive effect alone, on their punishment aspect alone, but situate them in whole seriess of their possible positive effects, even if these seem marginal at first sight.As s consequence, regard punishment as a complex social function. (jangan melulu berkonsentrasi membahas hukuman melulu dengan efek represif semata, meskipun itu awalnya tampak memarjinalkan. Konsewensinya, pandanglah hukuman sebagai sebuah fungsi sosial yang sangat kompleks). Lihat, Michel Foucault Disipline and Punish, The birth of The Prison, USA: Alan Sheridan, 1977, hlm.23


(22)

B. Rumusan Masalah:

Berdasarkan latar belakang yang telah saya uraikan, penelitian ini akan fokus mencari tahu tentang:

1. Pengetahuan apa yang mendorong warga dusun Sri Gentan memasung Agung?

2. Relasi kuasa macam apa yang membentuk serta melanggengkan pemasungan pada Agung?

3. Dampak semacam apa yang dirasakan keluarga Agung karena pemasungan ini?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui bagaimana kondisi-kondisi yang memungkinkan pemasungan dengan mengungkapkan struktur diskursif dari wacana pasung.

2. Memahami relasi kuasa yang membentuk serta melanggengkan pemasungan.

3. Memahami efek pemasungan pada keluarga Agung Tri Subagyo.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini membahas mengenai wacana pasung di dusun Sri Gentan, Wringin Putih Magelang. Pemahaman masyarakat tentang diri Agung serta bagaimana hubungan-hubungan yang selama ini terjadi yang dibentuk kuasa tertentu akan menstrukturkan pola pemikiran masyarakat dalam melihat pasung.


(23)

Jika selama ini penelitian-penelitian lebih fokus pada diri pinasung, kali ini saya membaliknya. Saya meneliti orang-orang yang hidup dengan orang yang dipasung. Bukan berarti saya pikir kesadaran pinasung tak perlu diteliti, tetapi karena saya pikir akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk meneliti hal itu, dan saya pikir pembicaraan tentang pasung selalu berkutat pada objektivikasi pinasungmelalui pengetahuan medis. Karenanya, mungkin akan lebih bermanfaat mengetahui bagaimana pandangan-pandangan tetangga pinasung yang membentuk dan kemudian melanggengkan pemasungan pada Agung. Dengan begitu, saya berharap bisa mengungkap struktur pengetahuan yang membentuk dan melanggengkan ide untuk mengeksklusi orang lain, yang tentu saya berharap munculnya bentuk-bentuk relasi baru dalam berhubungan dengan sesama

manusia, khususnya pada mereka yang dilabeli sebagai ‘orang yang dianggap gila’.

Bagi saya pribadi, penelitian ini berguna mengungkap ketakutan saya sendiri pada pinasung. Praksisnya, penelitian ini dapat memberi pengalaman personal tentang berkomunikasi langsung dengan pinasung, dengan harapan mewujud relasi-relasi baru antara orang yang dianggap gila dengan yang menamakan dirinya waras.

Bagi ilmu pengetahuan sosial, penelitian ini saya harap berguna memahami sejarah sosial terbentuknya wacana pasung terutama dalam menstrukturkan subjektivitas masyarakat tentang pinasung. Bagi masyarakat luas, saya berharap penelitian ini setidaknya akan membuka kesadaran mengenai bagaimana batasan-batasan yang membentuk kesadaran kita dalam membicarakan


(24)

pinasung. Dan tentu saya berharap dapat digunakan masyarakat Sri Gentan khususnya, untuk menimbang, merefleksikan ulang tentang pandangan-pandangan mereka, yang bisa jadi juga pandangan kita, tentang pinasung. Harapannya, tentu dapat kembali membuka ruang komunikasi antara warga dengan Agung.

E. Tinjauan Pustaka

Setidaknya terdapat dua penelitian mengenai pasung yang telah dilakukan di Indonesia. Pertama adalah penelitian Hervita Diatri dan Minas yang membahas pasung dari perspektif psikiatri. Kedua, penelitian Tri Hayuning Tyas dengan memakai perspektif budaya dan pskiatri.

Minas dan Hervita Diatri menulis sebuah artikel yang berjudul Pasung: Physical restraint and confinement (pasung) by communities. Artikel ini diterbitkan dalam sebuah jurnal online bio medio central, sebuah jurnal yang lebih banyak memuat perspektif psikiatri dalam memandang kegilaan.

Minas dan Hervita Diatri yang menjadi tim peneliti di Pasung Group Research di Melbourne University Australia, mengambil sampel penelitian di pulau Samosir, Sumatera. Ada dua fokus penelitian mereka, yaitu mengetahui kondisi klinis para pinasung serta mengetahui alasan keluarga dan komunitas memasung. Penelitian ini mereka lakukan sekaligus dengan menerapkan pengetahuan psikiatri mereka selama enam bulan di tempat tersebut. Asumsinya adalah bahwa pemasungan merupakan praktik yang tidak manusiawi, tindakan yang tidak boleh dilakukan pada manusia. Karenanya, pemerintah, LSM, RSJ dan pihak-pihak terkait harus melakukan upaya-upaya untuk mengatasi dan mencegah terjadi pemasungan.


(25)

Ada 15pinasung yang mereka teliti; delapan lelaki dan tujuh perempuan. Setelah mengunjungi dan meneliti kondisi para pinasung di pulau tersebut, keduanya menyimpulkan bahwa para pinasung itu kebanyakan menderita Shizofrenia. Dengan rincian, 13 pinasung menderita shizofrenia, dua orang menderita personality change and temporal hallucination dan dementia of unknown aetiology with behavioural disturbance. Rata-rata mereka dipasung selama 2-25 tahun. Hasilnya, setelah enam bulan melakukan pengobatan pada parapinasung, akhirnya 13 orang tidak dipasung lagi.9

Kebanyakan pemasungan dilakukan setelah keluarga melakukan pengobatan medis. Fakta ini sempat membuat kedua peneliti kaget, dengan menggunakan kata surprisingly. Mungkin mereka mengira kalau pinasung itu biasanya orang yang tidak mendapatkan perawatan medis sebelumnya, atau karena mereka berdua memercayai kalau seharusnya orang yang dirawat secara medis itu selalu dapat sembuh melalui perawatan medis. Sayangnya, mereka tidak mengelaborasi kekagetan itu lebih dalam.

Keluarga adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam pasung. Alasan keluarga memasung adalah karena takut pinasung akan kabur dari rumah, takut melakukan kekerasan, takut kalau pinasung bunuh diri serta keluarga tidak mampu merawat. Dari 15 pinasung, tujuh orang dipasung dengan alasan yang sama yaitu ketakutan keluarga, kalaupinasung melakukan kekerasan. Kekerasan itu berupa trauma dengan pengalaman yang pernah warga alami ketika pinasung masih bebas bergaul dengan masyarakat. Misalnya, ada seorang lelaki umur 26

9

Pasung: Physical restraint and confinement (pasung) by communities dalamwww.pasung


(26)

tahun yang menyerang ayahnya dengan pisau, ada juga lelaki umur 36 tahun yang berusaha menyerang pendeta, pemuda yang berumur 27 tahun membunuh 3 orang dan berusaha membakar rumah dan sebuah gereja di desanya. Sayang, tidak ada penjelasan tentang bagaimana peristiwa, bagaimana latar belakang para pinasung dan sebagainya. Hal itu tidak terjawab, sebab kedua peneliti memang fokus untuk mengklasifikasikan jenis penyakit jiwa yang diyakini keduanya diidap para pinasungini.

Dengan demikian, Hervita dan Minas melihat kondisi para pinasung melalui kacamata psikiatri tanpa meneliti bagaimana pengetahuan sosial masyarakat yang hidup dengan pinasung. Penelitian tentang pengetahuan masyarakat juga hanya mengetahui alasan mereka memasung tanpa ada penjelasan tentang bagaimana pembentukan kesadaran yang membentuk pola berpikir masyarakat untuk memasung anggota warganya.

Dengan lokasi penelitian di Bireun, Aceh, Hayuning Tyas (2008) meneliti pasung dari sudut pandang kultural-medis. Ia meneliti pendapat keluarga, orang yang dipasung serta perawat. Ia menanyakan bagaimana keluarga serta pinasung menjelaskan perilaku pinasung, alasan keluarga memasung dan cara keluarga mengevaluasi keefektifan pasung. Hasilnya, Tyas menemukan bahwa para pinasung ada yang sukarela menerima hukuman pasung itu, tetapi ada juga yang tidak. Mereka yang tidak suka ini biasanya menyalahkan keluarga yang memasung. Tekhnik penolakan para pinasung dengan cara tidak bersedia ketika diberi makan atau tidak mau minum obat. Ia fokus pada apa arti pasung buat keluarga serta apa arti pasung bagi pinasung dengan menghubungkan


(27)

tindakan-tindakan pinasung dalam proses ‘menyembuhkan diri’. Jadi, Tyas masih fokus

pada tindakan-tindakan medis serta persepsi masyarakat tentang pengobatan medis.

Pasung biasanya digunakan keluarga sebagai cara terakhir yang ditempuh setelah mereka mengusahakan pengobatan medis maupun dari dukun. Bagi keluarga, pasung berarti menyelamatkan dari kekejaman atau ketidakpastian hidup di luar.10Artinya, keluarga sendiri menyadari bahwa pasung itu tidak terkait untuk penyembuhan, hanya berfungsi sebagai pengendalian hasrat pinasunguntuk tidak melakukan aksi-aksi yang membahayakan lingkungannya. Dengan begitu, Tyas memandang bahwa pasung juga semacam hukuman pada pinasung karena melanggar aturan-aturan masyarakat. Dalam relasi sosial berarti di sini keluarga adalahagent yang berperan untuk menertibkan dengan cara menghukum anggota keluarga yang menyalahi aturan yang berlaku di masyarakat.

Secara medis Tyas meneliti tentang bagaimana ambigunya pemikiran perawat dalam merawat pinasung. Pengetahuan medis yang perawat pelajari selama ini berbeda dengan keyakinan mereka. Para perawat menyakini kalau kegilaan yang terjadi pada diripinasungitu disebabkan kemasukan roh, jin, syetan dan sebagainya. Tetapi mereka tidak percaya dengan tekhnik sembur yang dilakukan dukun dalam menyembuhkan orang gila. Mereka lebih percaya dengan kekuatan obat. Meskipun psikiater memandang bahwa ada dua penyebab penyakit gila yaitu dari sudut pandang spiritual serta sudut pandang bio-medis. Agama islam mempercayai adanya kekuatan supranatural seperti seorang dukun yang


(28)

dapat mengirim penyakit pada orang lain, maupun dimanfaatkan untuk menyembuhkan orang lain. Menurut Tyas, CMHN di Aceh salah kaprah dan gagal mengakomodir pengetahuan lokal dalam treatmentmereka. Artinya, adanya dua dasar pengetahuan yaitu medis dan non medis bukan an sich kesalahan psikiater karena selama pelatihan di Biren juga tidak ada materi pengetahuan lokal tentang penyakit mental itu. Di akhir penelitiannya, Tyas memberi saran pemerintah untuk segera menyediakan fasilitas kesehatan untuk para pinasung, serta mengakomodir pengetahuan budaya yang diyakini perawat. Kalau begitu, dalam hubungan ini Tyas telah meneliti produksi pengetahuan medis di Biren sekaligus mendeskripsikan pengetahuan masyarakat tentang kegilaan dengan masih berpaku pada wacana psikopatologi. Maksud saya, penelitian ini berpaku pada tindakan-tindakan keluarga serta pinasung yang terkait dengan tekhnik pengobatan.

Penelitian hampir sama dengan Hervita dan Minas dilakukan Sa'ad B. Malik and Iram Z. Bokharey (2001). Dalam artikelnya berjudul breaking the chain, keduanya menceritakan bagaimana pengalaman mereka dalam menangani penduduk yang dipasung di Shrine Pakistan. Karena hasrat keduanya untuk menyembuhkan pinasung secara massal di sebuah institusi pengobatan untuk yang dianggap gila, keduanya melakukan serangkaian aktifitas psikiatri untuk menyembuhkan para pinasung. Orang-orang itu mereka vonis sebagai penderita penyakit jiwa dengan berbagai macam klasifikasi penyakit jiwa. Diantaranya adalah shizofrenia, epilepsy, bipolar effective disorderdan sebagainya. Sebanyak 100 pasien yang berada di tempat yang disebut keduanya sebagai human zoo ini


(29)

kemudian mereka rawat dengan menggunakan tekhnik psikiatris dan akhirnya 100 pasien itu dapat ‘membaik’ perlahan-lahan, dalam arti secara medis.

Kevin O Browne menulis buku yang berjudul Landscape of Desire and Violence; Storied Selves and Mental Affliction in Central Java, Indonesia

diterjemahkan penerbit Jendela dengan “Lanskap Hasrat dan Kekerasan”. Dari

segi wilayah, agak rancu penelitian ini, karena dari judul aslinya central java (Jawa Tengah), tetapi data yang ia ungkapkan sebenarnya lebih banyak tentang Yogyakarta, meskipun ada sedikit yang ia lakukan di RSJ Magelang.

Ia meneliti mengenai pengetahuan masyarakat tentang kegilaan dikaitkan dengan pengetahuan medis. Fokus penelitiannya ialah tentang persepsi dan praktik-praktik yang berkaitan dengan kesehatan dan penyakit jiwa di Yogyakarta kontemporer,dan bagaimana kisah-kisah tentang hal itu mengungkapkan pandangan tentang politik dan puitika penderitaan diri dan sosial.

Ia berasumsi bahwa krisis ekonomi 1997 menyebabkan banyak orang mengalami guncangan jiwa. Merosotnya pendapatan keluarga, otomatis terjadi tekanan sosial hebat pada anggota-anggotanya, kondisi-kondisi inilah yang menurutnya memicu suburnya penyakit jiwa.

Masyarakat Jogja memahami kejiwaan melalui pengetahuan medis maupun kultural. Dua pengetahuan itu berkelindan dan menginternalisasi kesadaran masyarakat jogja. Hasilnya, Pertama, Kevin menemukan bahwa klasifikasi psikiatri tentang penyakit jiwa yang paling dikenal masyarakat ialah stress. Kedua, adanya pengetahuan kultural seperti jin, syetan, dedemit di Yogyakarta, yang telah menjadi pengetahuan umum masyarakat, sama sekali tidak


(30)

diakomodir dalam pengetahuan medis di Indonesia. Jadi, ia berkutat pada bagaimana pengetahuan medis digunakan di Yogya, dan sekaligus mengungkap tentang pengetahuan masyarakat tentang kegilaan yang terkait dengan pengetahuan medis, tetapi tidak ada analisis Foucaultdian dalam mengungkapkannya. Saya baca malah cenderung deskriptif dan ada condong potitifistik.

Lorna Rhodes meneliti tentang produksi sosial sebuah lembaga yang selain berfungsi sebagai penjara juga lembaga terapi di HMP Grendon Amerika Serikat. Penelitian Lorna berangkat dari pertanyaan bagaimana beroperasinya rezim institusi Grendon dengan niat mendisiplinkan penghuni-penghuni di dalamnya. Kedua adalah bagaimana strategi Grendon dalam memperlakukan para penghuni penjara tersebut. Dalam penelitian ini Lorna menggunakan kerangka teori Foucault dengan meneliti relasi kuasa yang terdapat di institusi Grendon.

Selama satu bulan dia mewawancarai 17 penghuni yang tinggal ditempat tersebut selama lima tahun ke atas dan juga terhadap tujuh staff yang bekerja di sana. Dari wawancara tersebut, menggunakan konsep kekuasaan Foucault, Lorna menyimpulkan bahwa relasi kuasa yang beroperasi di Grendon memang tidak seimbang. Tubuh para penghuni didisplinkan sedemikian rupa untuk mengikuti apa yang diingini staffnya. Salah satu strategi yang diterapkan ialah dengan membuat jadwal tetap apa yang harus dilakukan para penghuni tersebut. Sehingga antara orang yang direhabilitasi dengan pengelola terdapat hubungan yang tak sebanding. Banyak peraturan yang dibuat di lembaga tersebut tidak memerhatikan keinginan penghuni-penghuni di dalamnya. Hasrat pengelola dalam


(31)

menertibkan penghunilah yang berperan. Sehingga hasrat penghuni ditenggelamkan dan model institusi semacam ini sama dengan model penjara pada umumnya. Di sini Lorna menunjukkan bahwa kuasa yang beroperasi adalah kuasa sang pengelola yang telah disebarkan melalui berbagai peraturan dengan mendisiplinkan tubuh para penghuni di dalamnya.11

Dari kelima penelitian itu, penelitian saya lebih mirip dengan penelitian Lorna dalam hal kerangka teori yang digunakan yaitu kerangka teori Foucault. Jika dibandingkan dengan penelitian Tyas, penelitian saya berbeda kerangka teori yang digunakan dengan konteks yang berbeda tentunya. Jika Tyas berpusat pada masalah bagaimana pandangan keluarga serta orang dipasung terhadap pasung itu sendiri, serta bagaimana perawat mengobati orang-orang yang dipasung dengan paradoks yang terjadi antara pengetahuan medis perawat dengan pengetahuan kultural mereka, maka penelitian saya akan berkutat pada pembentukan objek kegilaan melalui kacamata masyarakat. Bagaimana wacana pasung beroperasi membentuk satu suara kebenaran berupa legitimasi pasung. Jika saya memfokuskan diri untuk meneliti pembentukan objek kegilaan yang selama ini terjadi, maka tentu berbeda dengan fokus penelitian Hervita dan juga Minas, serta Karim yang berusaha memahami praktik pasung melalui kacamata psikiatri.

F. Kerangka Teori

Pasung merupakan sebuah praktik sosial. Sebagai sebuah tindakan sosial tentu tidak terjadi begitu saja. Selalu ada pemaknaan-pemaknaan tertentu dengan

11

Lorna A.Rhodes, 2008,This Can't be Real:Continuity atHMP Grendon, USA: University of Washington, makalah tidak diterbitkan.


(32)

tujuan-tujuan khusus yang mendorong tindakan itu. Sebab tidak mungkin masyarakat memasung tanpa ada kepentingan-kepentingan tertentu yang mendasari serta mengarahkan tindakan itu.

Di sini saya membatasi menganalisa pasung dengan wacana Foucauldian. Foucault menyebut praktik sosial sebagai praktik diskursif.12 Implikasi melihat pasung sebagai praktik diskursif adalah pasung akan dibaca sebagai sebuah tindakan yang dilakukan berdasarkan pengetahuan-pengetahuan serta kekuasaan yang menjadi dasar sekaligus pendorong tindakan itu. Jadi, ketika seseorang memasung, ia terperangkap dalam pengetahuan serta kekuasaan tertentu yang mengarahkan, mendorong dan akhirnya membuatnya memutuskan memasung. Wacana di sini berarti sebuah pernyataan yang mempunyai implikasi langsung pada perbuatan.13

Berdasarkan hal itu, yang menjadi fokus kajian bukan pinasung, tetapi pernyataan-pernyataan masyarakat sekitar tentang Agung. Bagaimana pengetahuan serta kuasa mempengaruhi serta membentuk cara mereka memahami Agung? Di sini Agung dilihat sebagai subjek sosial yang dihasilkan dari efek-efek diskursif dan relasi kuasa.14 Masyarakat melakukan sesuatu bukan berdasarkan pengetahuan maupun kuasa yang secara sadar mereka bentuk sendiri. Di sini mereka terperangkap dalam sebuah wacana yang mengarahkan cara berpikir hingga bertindak. Jadi, subjek di sini bukan subjek Cartesian “Aku

12

Norman Fairelough, Discourse and Social Change.Cambridge: Polity Press in association with Blackwell Publishing Ltd; 2006. hlm 41.

13

Ibid

14


(33)

berpikir maka aku ada” yang diandaikan secara sadar subjek melakukan sesuatu,

tetapi subjek Foucault ialah subjek yang terbelenggu, subjek yang menyerahkan ke-adaan-nya pada sebentuk wacana tertentu.

Pengetahuan dan kuasa itu merupakan dua elemen penting yang dijadikan titik utama kajian dalam wacana Foucauldian. Wacana bukan saja hal-hal yang membatasi, tetapi juga sesuatu yang memungkinkan untuk menulis, berbicara, serta berpikir dalam batas-batas historis. Foucault lebih tertarik bertanya tentang pertanyaan-pertanyaan politis mengenai kontrol, manajemen, pengawasan, dan teknik politik, serta lebih banyak fokus perhatiannya pada wacana dan pengetahuan tentang tubuh dan politisasi tentangnya.15

1. Pengetahuan

Pada dasarnya jika kita mengetahui sesuatu berarti kita mengkonsumsi ide-ide tertentu yang telah diproduksi seseorang. Itu berarti bahwa Ide-ide-ide itu adalah buatan manusia. Dalam menciptakannya tentu ada sejarah tertentu yang memungkinkan ide-ide itu bisa diproduksi atau dalam bahasa Foucaultconditions of possibility16. Saat kita melihat pasung, itu berarti ide-ide tertentu yang mendorong masyarakat melakukannya.

Secara rinci Foucault mendefinisikan pengetahuan itu sebagai apa saja yang dapat diucapkan seseorang dalam sebuah praktek diskursif dan hanya ditujukan untuk fakta tersebut; wilayahnya terbentuk dari objek-objek berbeda yang akan atau tidak mendapat status ilmiah (pengetahuan psikiatri di abad ke-19 bukan sebuah kesimpulan mengenai kebenaran yang dapat dipikirkan, tetapi

15

Ibid. hlm.30 16


(34)

terdiri dari seluruh praktik, keistimewaan-keistimewaan dan penyimpangan-penyimpangan yang bisa orang bicarakan dalam wacana psikiatri); pengetahuan juga sebuah ruang di mana subjek mendapat posisi dan berbicara tentang sebuah objek dalam wacana yang ia bicarakan. Jadi, pengetahuan masyarakat Sri Gentan tentang Agung berarti meliputi pernyataan-pernyataan mereka tentangnya.

Yang penting diingat, pengetahuan itu merupakan produk manusia. Dalam

arti ia bukan sesuatu yang sudah dari ‘sananya’ seperti itu. Tetapi pengetahuan -pengetahuan itu memiliki konteks yang membentuk serta memungkinkannya ada (conditions of possibilities). Keberadaannya terkait dengan sebentuk kuasa tertentu. Lebih lanjut, Foucault mengatakan pengetahuan itu merupakan ladang atau wilayah koordinasi dan subordinasi pernyataan di mana lahirnya konsep-konsep dan koordinasi maupun subordinasi itu dibatasi, diterapkan, dan ditranformasi. (dalam level ini, pengetahuan sejarah alam pada abad ke-19, bukan ringkasan apa yang telah dikatakan, tetapi seluruh tipe-tipe dan tempat konsensus yang dapat berintegrasi antara yang sudah dinyatakan dengan yang baru dinyatakan). Terakhir, pengetahuan itu dibatasi oleh kegunaan kemungkinan-kemungkinan dan apropriasi yang ditawarkan wacana. (Karenanya, pengetahuan politik ekonomi di era klasik yang menopangnya bukan tesis-tesis berbeda-beda tetapi ditopang oleh totalitas artikulasi dalam wacana dan praktik-praktik non diskursif) .17

Untuk mengetahui bagaimana aturan-aturan dalam pengetahuan itu, Foucault menyebutnya Archeology of Knowledge. Secara lebih rinci tentang

17

Michel Foucault,The Archeology of Knowledge, Terj. A.M Sheridan Smith, 1972: Lavistock Publication. Hal. 182


(35)

metode ini telah diuraikan Norman Faireclough dalam sebuah buku berjudul Discourse and Social Change.

Arkheologi merupakan metode yang fokus mengkaji pernyataan-pernyataan. Foucault menyamakan statementsebagai pernyataan-pernyataan yang karena status dan posisi pengucap tertentu memberikan konteks ilmiah di mana statement itu berada. Statement sebagai suatu unit terkecil yang menandakan adanya distribusi suatu format diskursif, itu merupakan hasil dari kondisi- kondisi

yang memungkinkan adanya sebuah wacana terhadap ‘aturan-aturan formasi’

yang menentukan yaitu: objek-objek, enunciative modalities, subjek-subjek, konsep-konsep, dan strategi-strategi. Berikut penjelasannya :

a. The formation of objects

Yang dimaksud objek di sini ialah objek pengetahuan. Itu berarti sesuatu yang dibicarakan dalam pengetahuan. Objek yang diomongkan itu berubah-ubah menyesuaikan struktur diskursif. Objek-objek itu dibentuk wacana-wacana tertentu. Perubahan-perubahan itu terbentuk dari hubungan antara praktik-praktik diskursif dan praktik non diskurisf. Ia dibatasi dengan sangat ketat melalui pola-pola tindakan, sistem-sistem norma, tekhnik-tekhnik,tipe-tipe klasifikasi,model-model pengkarakterisasian; hubungan yang membentuk aturan-aturan struktur bagi objek.


(36)

b. The Formation of Enunciative Modalities

Enunciative Modalities ialah gaya bertutur, cara orang membicarakan sesuatu. Pembicaraan seseorang itu terbatas. Ia tidak bicara dengan bebas. Pembicaraan itu dibatasi ruang sosial, identitas sosial. Ketika orang itu berbicara bukan hanya memilih kata tetapi juga mengambil posisi aman. Dalam arti pilihan-pilihan itu menjelaskan dan melanggengkan identitas sosialnya. Karena itu sifatnya sangat subjektif.

Subjek sosial tidak terpisah dari wacana-wacana yang membentuknya, tidak bebas, tetapi dialah fungsi statement itu. Fungsi itu tidak dilihat dari orang yang yang mengatakan dan apa yang ia katakan, tetapi dari penentuan posisi apa yang harus diambil subjek tersebut serta laksanakan, jika ia menjadi subjek sosial statement tersebut. Jadi, otoritas orang di masyarakat menentukan arti pernyataan-pernyataan itu bagi pendengarnya. Misalnya, ketika saya mengatakan bahwa Agung itu tidak apa-apa, tidak berbahaya, orang-orang yang mendengar tidak menganggap hal itu sebagai sesuatu yang berarti. Tetapi kalau misalnya pernyataan itu dikatakan seorang dokter jiwa, barulah orang akan mempercayainya. Jadi, bukan nilai dari pernyataan itu yang selalu diperhatikan, namun siapa yang mengatakan yang sangat berpengaruh pada nilai pernyataan tersebut.


(37)

Yang dimaksud konsep di sini adalah kategori-kategori, elemen-elemen inti yang dipakai untuk menamai sesuatu. Misalnya; kategori-kategori inti yang orang bicarakan tentang kegilaan itu selalu memakai konsep eksklusi, penjara, dan sebagainya. Foucault menyatakan bahwa dalam pembentukan konsep-konsep dalam formasi

diskursif melalui deskripsi bagaimana “field statement” berhubungan

dengan formasi diskursif, di mana konsep-konsepnya “nampak dan bersirkulasi”, tergorganisir.

d. The Formation of strategies

Yang dimaksud strategi di sini ialah langkah-langkah yang disarankan untuk mengatasi masalah-masalah yang diajukan. Dalam penelitian ini misalnya, akhirnya setelah orang-orang menetapkan kategori-kategori lalu mau diapakan orang gila. Strategi-strategi itu memungkinkan tema atau teori itu ada, juga dapat memungkinkan berbagai realitas itu hadir. Aturan-aturan formasi diskursif itu menentukan tema dan teori-teori mana yang dapat terlihat dan yang disembunyikan.

2. Kekuasaan

Foucault mengatakan bahwa kekuasaan pertama harus dipahami sebagai bermacam hubungan kekuatan, yang imanen dalam bidang hubungan kekuatan itu berlaku, dan yang merupakan unsur-unsur pembentuk dan organisasinya. Hubungan-hubungan kekuatan itu tidak stabil, tetapi labil.18

18

Michel Foucault, Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, Terj.Rahayu S. Hidayat. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia dan FIB Universitas Indonesia Forum Jakarta-Paris, 2008, h. 121


(38)

Kekuatan-kekuatan itu dihubungkan melalui sebuah lingkaran kebenaran yang dianut masyarakat dan tidak ditanyakan ulang. Di sini kebenaran dipahami sebagai sesuatu yang sengaja diproduksi kuasa untuk mendukung serta menopang keberadaannya. Jadi, kebenaran itu merupakan fungsi (a function) dari sesuatu yang dapat ditulis, dikatakan dan dipikirkan.19 Kebenaran dapat diartikan sebagai sistem prosedur-prosedur yang sudah ditentukan atau diatur bagi produksi, regulasi, distribusi, sirkulasi, dan operasi pernyataan. Kebenaran terhubung dalam sebuah relasi sirkular dengan sistem-sistem kekuasaan yang memproduksi dan menopangnya, dan berimplikasi pada kekuasaan yang telah memproduksi dan

meluaskannya ‘regime of truth’.20

Tekhnik yang menambahkan kekuasaan dalam analisis disebut genealogi. Genealogi ini fokusnya pada hubungan-hubungan yang saling menguntungkan antara sistem kebenaran dan modalitas kekuasaan. Genealogi merepresentasikan sebuah pusat wacana. Kejelasan sistem pengetahuan dan kebenaran dilengkapi aturan-aturan wacana yang dipahami bersifat otonom-dan akhirnya hubungan praktik non-diskursif dengan praktik diskursif rupanya diregulasikan aturan-aturan tersebut.

Pengaruh kekuasaan itu dapat dengan mudah terlihat dalam diri kita. Karenanya, kekuasaan itu menyebar, tidak terpusat tetapi berkembang dari bawah melalui tekhnik-tekhnik mikro (misalnya, ‘examination’ secara medis atau pendidikan), yang berkembang dalam institusi-institusi misalnya di RSJ, penjara,

19

Alex Machoul &Wendy Grace,A Foucoult Primer, Discourse, Power and Subject, London and New York; 1992 h. 91


(39)

dan sekolah-sekolah dalam periode modern awal. Tekhnik-tekhnik itu memasukkan pengetahuan dan kuasa dalam masyarakat modern.

Lebih jelas tentang hubungan kekuasaan itu dari bawah itu dijelaskan Foucault yaitu tidak ada-dalam asas hubungan kekuasaan, ataupun sebagai matriks umum-suatu oposisi biner dan global antara pendominasi dan yang didominasi; dualitas itu berulang-ulang dari atas ke bawah, dan pada kelompok yang semakin lama semakin terbatas sampai ke bagian terdalam dari masyarakat. Sebaiknya dianggapkan bahwa berbagai hubungan kekuatan yang terbentuk dan berfungsi dalam perangkat produksi, keluarga, kelompok terbatas, lembaga, digunakan sebagai landasan-landasan perbedaan, yang dampaknya luas dan merasuki seluruh masyarakat. Perbedaan-perbedaan itu membentuk serangkaian garis merah yang merasuki berbagai pertentangan lokal, dan mengaitkannya kembali; tentu saja, pada gilirannya, semuanya itu menghasilkan distribusi ulang, penyetaraan, homogenisasi, penataan deret, pengkonvergensian. Dominasi dominasi besar adalah dampak hegemonis yang dihasilkan secara berkelanjutan oleh intensitas segala pertentangan.21

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode arkeologi dan genealogi, yang operasinya telah dijelaskan di atas.

1. Sumber Data

21

Michel Foucault,. Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, Terj.Rahayu S. Hidayat. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia dan FIB Universitas Indonesia Forum Jakarta-Paris, 2008, h. 122


(40)

Saya membagi sumber data dalam penelitian ini menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah serangkaian data yang telah saya kumpulkan mengenai pemasungan di dusun Sri Gentan, Wringin Putih, Magelang. Sedangkan data sekunder penelitian ini berupa sumber-sumber kepustakaan yang dapat membantu memetakan dan membaca pasung. Dalam hal ini data sekunder berupa undang-undang kesehatan pemerintah RI, data tentang sejarah lahirnya penderita penyakit jiwa di Indonesia, serta buku-buku teoritis yang dapat membantu menganalisa hasil penelitian, khususnya buku-buku karangan Foucault, dalam penelitian ini akan banyak menggunakan wacana Foucauldian, seperti yang diuraikan Norman Faireclough dalamDiscourse and Social Changes.

2. Tekhnik Pengumpulan Data

a. Wawancara: saya mewawancarai beberapa orang yang saya anggap merepresentasikan ‘kelas sosial’, seperti kelas sosial Pinasung, orang-orang yang terlibat pemasungan, sesepuh desa, pemimpin struktural seperti lurah desa pada saat Agung dipasung, keluarga dan Agung. Saya memilih tekhnik wawancara ini secara fleksibel, santai, tidak kaku. Dalam arti saya berbicara dengan responden dengan tidak kaku dengan sejumlah pertanyaan yang telah saya siapkan dengan kertas. Tetapi saya mewawancarai seperti ngobrol-ngobrol biasa. Khusus ngobrol-ngobrol dengan Agung, saya mengikuti dari cara ia menjawab. Menyesuaikan dengan dirinya. Kalau saya tidak


(41)

paham, maka saya lebih banyak diam. Wawancara kadang saya lakukan dengan alat perekam, tetapi kadang saya ingat-ingat hasil wawancara dan langsung saya catat setelah wawancara.

b. Observasi; Observasi ini fokus pada aktifitas warga sehari-hari, cara mereka berelasi, serta mengamati aktifitas Ibu dan Agung selama dipasung. Pengamatan-pengamatan tentang hal itu kemudian saya catat dan dokumentasikan dalam sebuah catatan lapangan serta kadang-kadang saya abadikan dalam sebuah gambar.

3. Tekhnik Pengolahan Data

Semua data yang telah saya kumpulkan saya pilah sesuai dengan kebutuhan. Data itu saya klasifikasikan sesuai dengan rumusan masalah yang telah saya jabarkan. Model pengklasifikasian menyesuaikan sub bab-sub bab yang saya rancang. Setelah itu data-data tersebut dianalisa dengan paradigma wacana Foucauldian dengan metode yang telah diuraikan Norman Fairclough.

H. Skema Penulisan

Bab Pertama berisi Pendahuluan. Bab ini menjelaskan kegelisahan akademik yang menjadi latar belakang penelitian ini. Hal itu meliputi: permasalahan apa saja yang ingin saya gali selama penelitian, kerangka teori apa yang saya gunakan untuk melihat praktik pasung, apa manfaat dan tujuan yang saya jadikan acuan, serta metode yang saya pakai untuk menjawab permasalahan tersebut. Bagian ini menjadi bab yang paling krusial dalam melihat arah penelitian dan menentukan seluruh isi tesis.


(42)

Bab kedua mengkaji tentang pembentukan penderita penyakit jiwa. Bab ini merupakan deskripsi mengenai pembentukan penderita penyakit jiwa di Indonesia. Pertanyaan dasar dari bab ini adalah bagaimana pembentukan ide subjek penderita penyakit jiwa, serta bagaimana keberadaan itu dilanggengkan serta bagaimana pengaruh pembentukannya pada labelisasi pinasung. Bab ini dibagi menjadi dua bagian. Pertama, lahirnya penderita penyakit jiwa, yang terbagi menjadi dua sub bagian yaitu penderita penyakit jiwa di era kolonial dan dilanggengkannya subjek itu di Indonesia. Kedua, stigmatisasi pinasung yang terbagi menjadi dua yaitu pelabelan penderita penyakit jiwa dan gila dan berbahaya.

Bab ini mendeskripsikan hasil penelitian lapangan. Poros pertanyaan pada bab ini bagaimana beroperasinya wacana pasung pada masyarakat Sri Gentan serta bagaimana praktik pasung pada Agung Tri Subagyo berlangsung. Untuk itu bab ini dibagi menjadi dua bagian. Pertama, detail mengenai bagaimana Agung menjalani hidup dalam pemasungan, yang kemudian saya bagi lagi menjadi dua sub bagian yaitu tentang fakta bahwa ternyata tidak ada tetangga yang menemui Agung, sehingga hanya ibu Agung yang setiap hari merawatnya dan beberapa orang yang datang padanya, sub bab kedua yaitu tentang pengalaman saya menemui Agung selama di pasungan, untuk mendeskripsikan bagaimana pengaruh wacana ketakutan yang ditanamkan pada diri saya memengaruhi cara saya bersikap pada Agung dan pertemuan dengan Agung itu akhirnya membuat

saya memiliki pandangan yang ‘berbeda’ dalam melihat pinasung. Kedua, saya mendeskripsikan relasi sosial sebelum Agung dipasung. Bagian ini saya bagi


(43)

menjadi tiga sub bagian yaitu Agung yang seram, kondisi keluarga dan lingkungan dan siapa saja yang mempunyai otoritas memasung.

Bab empat berisi analisa pengetahuan dan kuasa. Bab ini merupakan analisa pengetahuan dan kuasa dalam wacana pasung. Di Sri Gentan ternyata ada dua pengetahuan yang mempengaruhi cara orang membicarakan Agung yaitu pengetahuan magis dan medis, lalu membaca hubungan keduanya. Selanjutnya, dianalisa kuasa apa yang melanggengkan struktur kuasa tersebut.

Terakhir bab V berupa kesimpulan dari seluruh penelitian yang telah dijabarkan dari bab I hingga bab IV. Selain itu juga berisi saran untuk penelitian selanjutnya.


(44)

BAB II

PEMBENTUKAN PENDERITA PENYAKIT JIWA DI INDONESIA

Dari segi bentuk hukuman yang digunakan, pasung mengingatkan orang pada model hukuman abad pertengahan. Banyak yang menganggap bahwa hukuman dengan menjadikan tubuh sebagai objek hukuman itu sudah tidak layak dilakukan di era sekarang. Karenanya, banyak orang menilai model eksklusi Rumah Sakit Jiwa lebih baik dan lebih manusiawi daripada pasung. Dengan begitu, ide mengeksklusi orang yang dianggap gila tidak dihilangkan dengan adanya RSJ, malah diawetkan.

Saya tidak akan membandingkan dua model tekhnik hukuman itu dengan sudut pandang moral, dengan menilai mana yang lebih baik atau mana yang buruk. Tetapi bab ini akan menguraikan tentang asal mula terbentuk dan dilanggengkannya ide memindahkan pinasung ke RSJ. Bagian ini akan diawali dengan menelusuri akar terbentuknya subjek penderita penyakit jiwa di era kolonial, kemudian dibentuk dan dilanggengkannya subjek itu di Indonesia. Setelah itu akan dibahas stigmatisasi dengan melabeli pinasung sebagai penderita penyakit jiwa serta gila dan berbahaya.

A. Lahirnya Penderita Penyakit Jiwa

Saat ini cara kita memandang kegilaan kuat dipengaruhi pengetahuan medis. Pengaruh itu melalui proses panjang. Indikasinya, dapat kita cermati dari


(45)

persepsi umum yang bisa kita baca dari beberapa media, orang-orang di sekitar dalam membicarakan kegilaan yang lebih banyak menggunakan perspektif medis daripada sudut pandang sosial, budaya, politik dan sebagainya. Selain itu, kita juga dapat mencermati dari berbagai lembaga yang didirikan yang dianggap memiliki otoritas berbicara tentang kegilaan semisal Rumah Sakit Jiwa, perguruan tinggi-perguruan tinggi patologi, psikiatri dan sebagainya, yang membuat kita melulu berfikir tentang kegilaan dari perspektif medis.

Kaitan pandangan medis terhadap pemasungan adalah pada umumnya orang membicarakan pemasungan sering fokus pada pinasung, dan dari banyak sudut pandang yang dapat ditelisik dari pinasung itu, banyak yang menstigma mereka sebagai orang gila. Sedikit dari stigma itu bisa kita baca di beberapa media misalnya, Tempo menyebut pinasung sebagai pemuda tak waras22, penderita penyakit jiwa23, Sindo menyebut pinasung dengan keterbelakangan mental24, Kompas menyebut orang gila25, mengalami gangguan jiwa26 dan sebagainya.

Ada dua era secara legal formal yang akan dibahas di bawah ini tentang pembentukan subjek penderita penyakit jiwa yaitu pembentukan penderita penyakit jiwa di era kolonial dan tumbuh serta diawetkannya subjek itu di Indonesia.

22

www.tempointeraktif.compada tanggal 08 Februari 2011 23

http://www.tempo.co/read/news/2012/11/24/140443744/Mengerem-Laju-Penderita-Gangguan-Jiwa pada tanggal 11 Juli 2014

24

www. sindonews.com pada tanggal 9 Januari 2012 25

www.kompas.com10 Juni 2010 26


(46)

1. Penderita Penyakit Jiwa di Era Kolonial

Kebiasaan mengatakan pinasung menderita penyakit jiwa itu melalui proses panjang, tidak begitu saja ada. Untuk mengetahui asal usul kebiasaan itu, yang begitu mudah menyebut pinasung sebagai penderita sakit jiwa, terkena gangguan, dapat kita telisik melalui akar pembentukan penyakit jiwa di era pemerintah kolonial.

Cikal bakal lahirnya subjek penderita sakit jiwa di era kolonial bisa kita telusuri dari penempatan ruang khusus buat orang-orang yang dianggap gila. Ruang eksklusi itu dibentuk oleh Pemerintah Agung Belanda, yang pada awalnya menempatkan orang-orang yang dianggap gila bersama dengan orang-orang miskin nasrani di sebuah panti asuhan fakir miskin. Saat itu hanya orang Eropa yang diasingkan di panti itu. Mereka adalah pegawai kompeni baik negeri maupun swasta yang dianggap melanggar aturan-aturan pemerintah. Saat itu, kaum pribumi yang dianggap gila masih dapat berjalan-jalan bebas di tempat umum, belum ada keinginan pemerintah mengeksklusi mereka.

Pengasingan pegawai pemerintah kolonial itu tepatnya terjadi pada tahun 1717. Pada tahun itu, pemerintah Agung mengeksklusi Joost Blondeel, pengemas minuman dalam botol ke panti Asuhan. Blondeel dianggap gila karena terlalu lama dan sering menenggak arak dalam jumlah yang sangat banyak. Sebagai konsekuensi dari perbuatannya, pemerintah menyita seluruh hartanya. Hasil penyitaan sebesar 587 ringgit dan delapan kelip, termasuk tujuh budaknya, dengan seorang anak Batavia, diangkut ke panti Asuhan. Dewan Diakoni, yang menjadi pengawas panti asuhan, juga menyita rumahnya. Konon penyitaan harta


(47)

itu untuk membayar utang-utang Joost, serta membiayai perawatannya selama di panti asuhan. Kisah yang hampir sama juga dialami Cornelis van Heusden.27

Saat itu panti asuhan didirikan sebagai tempat mengontrol moral kaum miskin. Mereka terdiri dari budak Asia yang beragama nasrani dan sudah tidak dapat bekerja, mantan pegawai kompeni yang sudah tak berdaya, para pelayar jompo dan jatuh miskin, pribumi nasrani yang miskin dan tak berdaya. Eksklusi ini bertujuan menjaga iman orang-orang miskin nasrani agar tidak berpindah agama. Karena itu, perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan moralitas Kristen, seperti minum, melakukan hubungan seks di luar pernikahan, perilaku tak senonoh dan sebagainya, akan mencabut hak-hak anggota mendapat santunan dari panti asuhan. Untuk mengontrol anggota, dewan diakoni terus memantau dan mengawasi perilaku sehari-hari para penghuni serta orang-orang yang dapat tunjangan, supaya mereka selalu menjalankan ajaran-ajaran Kristen protestan.28

Di era itu, kegilaan dianggap sebagai takdir yang harus dipikul oleh yang bersangkutan. Karena itu, yang dianggap cara terbaik menangani orang gila adalah memasukkan ke bilik-bilik gelap. Dengan diasingkan dan diberi ruang sendiri, diharapkan orang yang dianggap gila itu mengoreksi perbuatannya. Ada anggapan umum bagi bangsa Eropa di Batavia saat itu bahwa kegilaan itu merupakan akibat dari tindakan-tindakan individual seseorang, karenanya, orang gila harus dieksklusi dengan menggunakan harta kekayaannya sendiri untuk membayar perawatannya.

27

Hendrik Niemeijer E.2012.Batavia, masyarakat Kolonial Abad XVII, Jakarta : Corts Foundation dan Masup Jakarta, 2012, h. 335-336

28 Ibid


(48)

Jika yang dianggap gila itu pegawai negeri, maka keputusan memasukkan ke panti asuhan sepenuhnya berada di tangan pemerintah Agung. Tetapi jika pegawai swasta, harus berdasarkan pertimbangan pihak pengadilan golongan swasta, yang kadang juga meminta pertimbangan dari ahli medis serta persetujuan dari ketua lingkungan. Setelah masuk ke panti Asuhan, orang-orang yang

dianggap gila ini langsung berada di bawah“perwalian” (pengawasan) dewan diakoni. Karena itu, orang-orang gila yang diasingkan hanyalah orang-orang Eropa. Mereka dimasukkan ke panti asuhan lebih karena perasaan malu pemerintah kolonial ketika itu terhadap pribumi serta etnis-etnis lain. Perasaan malu ini timbul sebab sikap mereka dianggap merendahkan derajat bangsa Eropa yang menempatkan dirinya sebagai ras paling tinggi diantara penduduk Pribumi, China, Eurasia serta ras-ras lain yang ada di Batavia saat itu.29 Apalagi jika perilaku tak senonoh bangsa Eropa, yang tidak sesuai dengan ajaran Kristen, diketahui masyarakat luas. Hal itu dianggap dapat mencoreng citra baik yang dikonstruk kompeni saat itu. Pengasingan ke Panti Asuhan merupakan usaha dari pemerintah mengontrol para pegawai agar selalu menjaga dirinya bermoral Kristen, yang intinya untuk menjaga citra baik kompeni.30

Pada pertengahan abad ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda tumbuh menjadi kekuatan raksasa. Nusantara saat itu di bawah langsung kekuasaan pemerintah Hindia Belanda, pasca dikuasai Inggris dan VOC. Masa ini ditandai dengan tumbuh suburnya modal para borjuis Eropa di hampir seluruh

29

Batavia sebelumnya dikenal sebagai Jacattra. Batavia di era itu merupakan pelabuhan perdagangan internasional. Para pedagang dari China, Portugis, termasuk VOC, India, Afrika dan sebagainya.


(49)

pulau jawa serta beberapa pulau luar jawa. Penemuan-penemuan teknologi baru membuat kolonial memiliki kemudahan menguasai kekayaan alam Nusantara. Pembangunan sarana-sarana untuk melancarkan eksploitasi, seperti rel kereta api, jalan raya, kantor-kantor pemerintahan, bank-bank, masif dilakukan. Perusahaan-perusahaan raksasa seperti pabrik gula, pertambangan, perkebunan, tumbuh pesat. Karenanya, semakin banyak kaum borjuis Eropa berdatangan ke Nusantara untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

Sebagai cara melancarkan pembangunan korporasi, didirikanlah berbagai institusi untuk mengatur penduduk. Sekolah-sekolah yang dapat memproduksi ketrampilan tertentu, rumah sakit- rumah sakit untuk mengobati orang-orang Eropa maupun Pribumi yang berduit mulai didirikan. Rumah Sakit Jiwa (selanjutnya saya singkat RSJ) adalah satu dari sekian banyak institusi yang

diproduksi dalam rangka memuluskan “pembangunan manusia” itu. Inilah awal

industrialisasi nusantara, yang dilakukan dengan cara memandang masyarakat sebagai sekumpulan tubuh yang harus diatur dan ditertibkan dengan memproduksi orang-orang yang mau bekerjasama mendukung tumbuh kembangnya industri.

Kali pertama pemerintah Kolonial Belanda mendirikan RSJ pada tanggal 1 Juli tahun 188231 di Bogor ( Buitenzorg), kemudian pada tahun 1902 dibuat RSJ di Lawang. Bentuk rumah sakit jiwa ini mengikuti praktik eksklusi yang berkembang di Eropa ketika itu. Seperti dikatakan Foucault bahwa pembuatan

31

Tahun inilah tahun pembentukan konsep populasi dengan membuat statistik penduduk. Denys Lombard mencatat bahwa terjadi peningkatan drastis kehadiran orang-orang Eropa di Indonesia pada akhir abad ke-19. Bahkan jumlah mereka yang datang 20 kali lipat dari awal abad ke-19. Sensus tahun 1882, penduduk Eropa yang di Indonesia pada tahun 1882,43.738 orang, jumlah itu rata-rata tersebar di pulau jawa. Lihat: Denys Lombard : Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan ,Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi: 1996. Hal.78


(50)

ruang eksklusi khusus untuk orang-orang gila melalui tahapan medis ini terjadi pada akhir abad ke-18, ketika pengobatan dilakukan dengan menggunakan standarnormality(kenormalan) dalam melihat penyakit.32

Jika sebelumnya panti asuhan hanya diperuntukkan orang Eropa yang dianggap gila, di RSJ-RSJ inilah pribumi yang dianggap gila mulai dieksklusi. Era ini adalah masa-masa mulai penghapusan kerja paksa. Para penduduk yang jadi buruh mulai mendapatkan upah, walau sangat sedikit.33 Lalu untuk penduduk macam apa yang dimasukkan ke rumah sakit jiwa ini?

Awal mula penduduk pribumi yang diklasifikasikan sebagai penderita penyakit jiwa, berdasarkan klasifikasi Psikiater Hindia Belanda di Batavia, kali pertama tentang sindrom psikiatri ada empat yaitu: ngamuk, latah, koro34 dan neurasthenia dunia tropis. Menariknya, dari klasifikasi yang dibuat, psikiater juga mengkategorikan ras mana yang biasanya mengidap penyakit tersebut. Dari keempat jenis penyakit itu ada dua yang ditujukan pada pribumi yaitu ngamuk dan latah. Koro diidentikkan dengan orang-orang China, sedangkan Neurasthenia pada orang-orang Eropa.35 Dari adanya tiga ras yang ditonjolkan, menunjukkan pembedaan yang sengaja diproduksi pemerintah dalam memandang diri etnis-etnis tersebut. Jika pribumi banyak menjadi buruh murah begitupun dengan orang-orang China. Hubungan antara Pemerintah Agung dengan ras China

32

Foucault,1994:35 33

Untuk gambaran tentang bagaimana kehidupan para buruh di kebun-kebun luar jawa pada awal abad ke-20 lihat Suyono. RP.Capt, Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial, 2005, Jakarta: Grasindo.

34

Pada pembahasan selanjutnya, saya tidak membahas Koro. Pertama karena koro ini dilekatkan pada orang-orang China, yang tidak berelasi langsung dengan bahasan pasung.

35


(51)

mengalami pasang surut, sama dengan hubungan Eropa dengan Jawa. Hubungan antara orang-orang China dengan Eropa semakin tidak harmonis pasca 1740 yaitu saat banyak orang China dibantai kompeni. Karena itulah, menurut Onghokam, hubungan antar ras pada akhir abad ke-20 semakin panas.36

Psikiater Hindia Belanda menggambarkan kegilaan orang-orang pribumi sebagai jenis kegilaan yang tidak bermoral dan tidak rasional. Cara prikiater mengklasifikasikan penyakit jiwa dengan bahasa yang peyoratif, tidak rasional, primitif dan sebagainya. Tekhnik pengklasifikasian melalui justifikasi medis ini adalah tekhnik kontrol kolonial pada pribumi agar tunduk, supaya para penduduk tidak berani melawan terang-terangan pemerintah kolonial pada saat itu.

Berbeda dengan penggambaran penyakit jiwa pada orang-orang Eropa, cara psikiater mendeskripsikan neurasthenia dunia tropis secara biologis. Penyebabnya karena ada pergantian cuaca pada tubuh mereka. Secara biologis hal yang alamiah, kalau tubuh orang-orang Eropa itu sulit menerima cuaca yang baru yaitu cuaca tropis. Untuk kesembuhan penyakit neurasthenia ini, para psikiater menyarankan untuk "naik", mengunjungi sebuah sanatorium di pegunungan yang sejuk di Jawa atau latihan fisik atau pergi cuti ke Belanda. Saran ini diikuti dengan keputusan Pemerintah Kolonial Belanda membangun RSJ di daerah yang dingin yaitu Bogor dan Malang. Selain itu, obat-obat yang diproduksi menyembuhkan penyakit neuratanasia juga banyak tersebar saat itu. Di koran-koran Hindia

36


(1)

kesalahan dianggap terletak secara biologis, ada dalam tubuh Agung. Implikasi sosiologisnya, pernyataan-pernyataan, tindakan-tindakan Agung dimaknai dan diprediksi selalu seperti itu.

Dalam praktik pasung, kedua pengetahuan ini saling memengaruhi, saling menopang antar satu dengan lainnya. Tubuh Agung dibentuk dan diawetkan sebagai wong edan, gendheng, stres. Dua pengetahuan itu lalu saling membenarkan mengeksklusi Agung.

Dengan begitu, kedua pengetahuan itu berpengaruh langsung dalam relasi sosial. Melalui dua pengetahuan itu orang-orang menciptakan sekaligus membatasi dunia Agung. Tubuh dan diri Agungpun diringkus dalam kotak edan, gendheng serta stres. Dominasi pengetahuan medis di dusun Sri Gentan tampak dari banyaknya orang yang percaya atau taqlid buta dengan pengetahuan ini. Kepercayaan pada kebenaran pengetahuan ini juga mendominasi kesadaran masyarakat dalam memandangpinasung, ini dapat kita lihat dari banyaknya orang yang mencomot begitu saja label penderita penyakit jiwa, penderita gangguan jiwa dan sebagainya yang kemudian menghegemoni kesadaran banyak orang dalam melihatpinasung.

Kedua pengetahuan itu diawetkan di Sri Gentan, sebab mempunyai peran yang sangat penting yaitu mempertahankan norma-norma dan sistem nilai yang dianut masyarakat. Karenanya, operasi wacana itu memiliki efek positif bagi eksistensi masyarakat, dengan mensyaratkan kepatuhan pada individu-individu di dalamnya.


(2)

Strategi kuasa paling mencolok di dusun Sri Gentan dalam rangka menopang dan membenarkan pengetahuan itu ialah dengan menaklukan ingatan penduduk tentang diri Agung. Dengan hanya mengingat Agung melalui sepotong peristiwa yaitu saat Agung membawa golok sambil teriak-teriaktak bunuh kowe, tak bunuh kowe. Sepotong peristiwa itu lalu dibumbui dengan penafsiran stereotipikal yang mengarahkan pandangan orang untuk selalu memandang Agung sebagai ancaman. Kebenaran narasi itu terletak pada masifnya produksi pengetahuan itu oleh masyarakat sekitar.

Sisi terkelam dari adanya pengetahuan dan kuasa semacam itu, secara psikologis, yang nampak paling menonjol adalah histeria seorang ibu. Histeria itu terbentuk dari keinginannya menjadi bagian dari masyarakat, selalu ingin menjadi bagian masyarakat, tetapi selalu dianggap gagal. Berkali-kali mencoba menjadi bagian masyarakat, sudah berkorban, ingin menjadi bagian masyarakat, saat memasung menyangka sudah bisa menjadi bagian masyarakat, tetapi tetap saja ia merasa gagal.

Tetapi dalam setiap kekuasaan selalu ada perlawanan. Dalam arti ini, bagi ibu Agung, pemasungan merupakan sikap perlawanan seorang perempuan terhadap relasi kuasa yang beroperasi pada tubuhnya dan tubuh anaknya. Melalui pemasungan, seorang ibu bisa mencegah segala dampak buruk yang ditimbulkan relasi kuasa. Jika secara umum orang mengartikan pemasungan sebagai sebuah tindakan yang menindas, yang menyalahi hak asasi manusia, bagi ibu Agung,


(3)

Penelitian ini masih jauh dari sempurna. Faktor utama mungkin karena keterbatasan saya dalam memahami serta mengaplikasikan analisis wacana Foucaultdian, sehingga terdapat banyak operasi wacana yang belum terungkap. Banyak detail-detail yang sangat mungkin terlewatkan. Karenanya, penelitian-penelitian lanjutan sangat penting dilakukan, sebab masih minimnya kajian tentang pasung yang menggunakan perspektifcultural studies. Di sini, saya hanya meneliti satu praktik pasung yang terjadi di dusun Sri Gentan Wringin Putih Magelang, dengan analisa pengetahuan dan kekuasaan Foucaultdian.

Dengan banyaknya praktik pasung di Indonesia dan minimnya penelitian tentangnya, tentu banyak pula hal yang belum terungkap dalam penelitian ini. Karenanya, penelitian-penelitian lanjutan masih sangat diperlukan, mengingat begitu masifnya produksi pengetahuan medis dalam memandang pemasungan. Dengan banyaknya pisau bedah dalam Cultural Studies, dengan lebih mengedepankan keperpihakan pada pinasung, saya pikir dapat membuka ruang komunikasi antara orang-orang yang dianggap gila dengan yang waras yang selama ini tersumbat. Salah satu contoh penelitian lanjutan itu misalnya, pisau bedah wacana Lacanian yang dapat mengungkapkan subjektifitas dengan detail, tentu akan membuka dapat memberi harapan baru untuk membuka komunikasi antara yang dianggap gila dengan yang waras.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Browne.O,Kevin. 2001.Lanskap Hasrat dan Kekerasan. Terj. Apri Danarto, Sigit Djatmiko, Ekandari. Yogyakarta: Jendela Grafika.

Budiawan, 2004, Mematahkan Pewarisan Ingatan, Wacana Anti Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca Soeharto, Elsam, Jakarta; Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat

Fairelough Norman. 2006. Discourse and Social Change.Cambridge: Polity Press in association with Blackwell Publishing Ltd

Foucault, Michel.1977. Madness And Civilization, A History Of Insanity in The Age of Reason. Tr. Richard Howard. USA: Tavistock.

---. 1977. Disipline and Punish, The birth of The Prison, Tr. Alan Sheridan, USA

---.2008. Ingin Tahu Sejarah Seksualitas, Tr.Rahayu S. Hidayat. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia dan FIB Universitas Indonesia Forum Jakarta-Paris

Geertz, Clifford. 1981. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Tr. Aswab Mahasin. Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya.

Kusno Abidin. 2007.Penjaga Gardu di Perkotaan Jawa, Januari, Tr. Chandra Utama. Yogyakarta: Ombak.

---.2009.Ruang Publik, Identitas Dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto, Tr.Lilawati Kurnia,Yogyakarta : Ombak

Vries J.J de. 1989. Jakarta Tempo Doeloe, Tr dan disusun: Abdul Hakim, Jakarta: Pustaka Antar kota


(5)

Lombard Denys.1996, Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan , Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi

Pamberton , 1994, John, ,On The Subject of Java,USA: Cornell University Lorna A.Rhodes, 2008,This Can't be Real:Continuity atHMP Grendon, USA:

University of Washington, makalah tidak diterbitkan.

Machoul Alex & Grace Wendy. 1992.A Foucoult Primer, Discourse, Power and Subject , London and New York

Storey John. 2008, Pengantar Komprehensif Teori dan Metode, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop Terj. Layli Rahmawati, Yogyakarta; Jalasutra Suyono. RP.Capt 2005, Seks dan Kekerasan Pada Zaman Kolonial, Jakarta:

Grasindo.

Sunardi St. 2006,Nietzche, Yogyakarta; LKiS

Website

Malik Sa'ad B. and Bokharey Iram Z., breaking the chain,diunduh dalam bentuk PDF dari the psychiatrist,formerly bulletin.

Minas, Harry dan Diatri, Hervita. 2008. Pasung: Physical restraint and confinement of the mentally ill in the community. ( Versi PDF diunduh dari www.ijmhs. com/content/2/1/8)

No name. javapost.com. Geestesziek in NederlandIndie diunduh pada tanggal 26 Februari 2013, Tr.Antonius Cahyadi

Tyas, Hayuning Tri,Family experience of dealing with “the deviant“ in Bireuen, Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia” tidak diterbitkan, Amsterdam Master’s in Medical Anthropology.(Versi PDF diunduh dari http://amma.socsci.uva.nl/theses/tyas.pdf. Pada bulan tanggal 16 Agustus 2012)

www.arif.rahmawan.blogspot. com pada tanggal 26 September 2010


(6)

http://www.tempo.co/read/news/2012/11/24/140443744/Mengerem-Laju-www. health.liputan6.com/read/654297/apa-pun-yang-terjadi-pasung-penderita-gangguan-jiwa. pada tanggal 03 September 2013

www.rumahsakitjiwaradjimanwediodiningrat.com

WWW.BeritaTV.comdiunduh pada November 2012

www.depkes.go.id/index.php?vw=2&id=1242 pada tanggal 09 Maret 2013 www.tempointeraktif.compada tanggal 08 Februari 2011

www. sindonews.com pada tanggal 9 Januari 2012 www.kompas.compada tanggal 10 Juni 2010 www.kompas.compada tanggal 28 Juni 2010 www.antara. com pada tanggal 15 November 2008

UNDANG-UNDANG KESEHATAN

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 220 / MENKES / SK / III / 2002

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Kesehatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1966 TENTANG KESEHATAN JIWA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1992 TENTANG K E S E H A T A N

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN