70 dapur tiba-tiba melihat kaki seribu berwarna orange bersih. Dewi merasa ada
yang aneh dengan warna kaki seribu itu, sebab biasanya kaki seribu berwarna merah gelap, lalu ia menjeri dan, tanpa basa basi, Agung membunuh kaki seribu
itu. “Kata ibu, kaki seribu itu ingon-ingonane bapak.” tutur Dewi.
80
Ingon- ingonan bapak Agung inilah yang dianggap Dewi masuk ke dalam tubuh Agung.
Senada dengan pernyataan itu, Triyani juga menyakini kalau Agung itu keblonan kemasukan, ingon-ingonan ayah dan mbahnya. Kakek Agung adalah
seorang yang hebat. Ia ramempan dibacok tidak terluka meski dilukai dengan benda tajam
dan bisa ngilang
menghilang tiba-tiba. Cerita tentang kehebatannya terjadi di era kolonial. Pada saat tentara kolonial mengepung
kakeknya Agung, ia bisa ngilang. Kalau ada musuh yang mengepung, langsung bisa ngilang menghilang.
81
2. Praktik Wacana Pasung Pada Agung Tri Subagyo
Banyak warga
mengatakan bahwa
Agung dipasung
karena membahayakan. “Kalau tidak dipasung itu berbahaya mbak,” kata Lia. Pernyataan
serupa juga dikatakan Triyani, Emy, Dewi, Sumaryanto dan warga Sri Gentan lainnya. Dengan serempak, tanpa berfikir panjang mereka menyatakan bahwa
Agung dipasung itu karena ia membahayakan. Tindakan yang paling ditakuti ialah ketika Agung membawa golok, sambil
keliling desa dan teriak-teriak mengumpat. Lia mengingat ketika itu Agung keliling desa sambil membawa golok. Orang-orang yang melihatnya lalu menutup
80
Wawancara dengan Emy, tetangga Agung, pada tanggal 29 Juli 2013
81
Wawancara dengan Triyani, tetangga Agung, pada tanggal 28 Juli 2013
71 pintu dan jendela rumahnya rapat-rapat. Lia bercerita tentang hal itu. Ketika itu
Lia pulang dari sekolah, orang-orang lalu berteriak “Agung ngamuk Agung ngamuk,” mendengar itu, ia langsung lari masuk ke rumah. Di dalam rumah sudah
ada ibu dan adiknya. Setelah Lia masuk, ibu dan adiknya lalu mengunci pintu. Di luar, ia mendengar suara Agung yang mengumpat-ngumpat, berteriak-teriak,
menyebut semua nama binatang. “ Di dalam rumah ia, adik dan ibunya hanya diam, tidak berani berbicara apapun, hanya diam dalam kesunyian. Bulu
kuduknya merinding mendengar teriakan Agung dari luar. Ketika itu desa sungguh sunyi. Semua orang menutup rapat-rapat pintu rumahnya.
“Ya… itu mbak, waktu itu kan, Agung bawa golok terus teriak-teriak, tak bunuh kowe, tak bunuh kowe, kan ya…nggak tahu itu, ndak ada apa-apa, marah-
marah, waktu itu ngejar-ngejar ibunya …wong neng kene barang di sekeliling rumah . Lha yo podo wedi pada ketakutan, dia marah-marah terus. Ngomong
semua nama binatang keluar. maksudnya nama binatang?. Ya..itu mbak, maaf ya..kayak asu…sama teman-temannya.. terus..dah kayak gitu.. lari-lari keliling
kampung. Waktu itu orang-orang takut semua. Pada takut keluar rumah. Langsung pada nutup rumah. Kenapa begitu?..Ya… Itu mbak..ndak ngerti, tiba-tiba aja
gitu… kayak gitu…bahaya mbak kalau dibiarin…” cerita Lia.
82
Tindakan Agung marah-marah dengan nada keras itu ditujukan pada banyak orang, bukan hanya ibunya. Salah satu orang yang sering Agung umpat
adalah Muhajari. Menurut Lia, Muhajari adalah sesepuh desa yang dipercaya keluarga Agung untuk menasehati dan menyelesaikan masalah-masalah yang
timbul antara Agung dengan tetangga-tetangganya. Agung sering ngumpat- ngumpat Muhajari beberapa kali, “Yo..pak Muh itu juga sering diumpat
Agung..wah lek ngunek-ngunekne sak penak-penake Kalau mengumpat itu
82
Wawancara dengan Lia Amalia pada 05 Mei 2013
72 semaunya sendiri”. Tetapi yang membuat orang menutup pintu dan jendela
memang ketika Agung membawa golok sambil berkeliling dan mengancam akan membunuh ibunya.
Umpatan-umpatan dengan menyebut nama binatang seperti; asu, bajingan dan sebagainya adalah ucapan yang sangat tabu di masyarakat. Di desa itu semua
orang selalu sebisa mungkin berbicara dengan suara lembut. Sesama tetangga, terutama di kelas dhuwur, Agung bagian dari kelas ini, mereka selalu
menggunakan bahasa kromo. Anak-anak kecil selalu menggunakan bahasa kromo dengan orang tuanya. Terutama di kelas dhuwur, setiap anak selalu menggunakan
bahasa kromo dengan orang tuanya. Tetapi saudara-saudara Agung saat berbicara dengan ibunya menggunakan bahasa biasa, tidak kromo. Meski begitu, saudara-
saudara Agung juga selalu berbicara dengan nada sopan dan lembut. Dewi mengisahkan, sebelum marah-marah membawa golok, Agung juga berbicara
dengan cara bicara seperti orang pada umumnya. Ia tak mengetahui pasti bagaimana Agung bisa marah-marah sambil membawa golok seperti itu.
Tentang konflik antara Agung dengan ibunya, Dewi mengisahkan bahwa ibunya pernah melarang Agung berhubungan dengan perempuan di desa tersebut.
Perempuan yang dekat dengan Agung itu di desa tersebut juga dianggap orang gila. Agung sempat dekat dengan perempuan itu. Dewi menuturkan hubungan
mereka seperti orang ‘pacaran’. Ia pernah melihat Agung sedang petanan saling mencari kutu di rambut mereka, secara bergantian. Ceritanya, suatu hari Agung
membawa termos dan roti ke rumah perempuan tersebut. Ibu Agung melihat hal itu dari jauh. Sepulang dari rumah perempuan itu, Rufiah langsung marah pada
73 Agung. Menurut Dewi, ibunya khawatir kalau Agung terlalu dekat dengan
perempuan itu lalu ingin menikahi perempuan tersebut. Rufiah khawatir kalau sampai sangat dekat dan ingin menikah, padahal Agung tidak mandiri secara
ekonomis. Rufiah menyakini bahwa syarat utama menikah adalah orang itu harus dapat bertanggung jawab secara ekonomis pada keluarga dan syarat itu tidak ada
pada Agung ketika itu. Karenanya, Rufiah melarang keras anaknya untuk berhubungan dengan perempuan di desanya itu. Namun, Dewi tidak tahu persis
apakah konfllik itu yang memicu Agung hingga marah sambil membawa golok.
83
Hasna, tetangga Agung, menuturkan proses pemasungan. Ketika itu Agung dikejar beberapa orang lelaki. Mereka ada yang membawa pecut, sapu lidi,
tali dan sebagainya. Agung dikejar ramai-ramai. Banyak orang yang melihat adegan itu. Pengejaran itu sampai mengelilingi kampung, hingga orang-orang
yang ada di dalam rumah keluar, untuk melihat adegan itu. Orang-orangpun beramai-ramai menyaksikan adegan itu. Seingat Hasna, saat itu di pagi hari, saat
orang sedang bekerja. Ia juga melihat Agung dikejar bapak-bapak, sekira ada delapan orang yang mengejarnya, lalu di sekolah SD, di mana saat itu Hasna
masih sekolah SD di Sri Gentan, jarak antara sekolahan dengan tempat tinggal Agung sekira 600 meter. Di SD itulah orang-orang dapat menangkapnya. Mereka
beramai-ramai menakut-nakuti Agung agar mau melepaskan goloknya, setelah menakut-nakuti dengan banyak orang yang akan menggeroyoknya, akhirnya
Agungpun melepaskan golok, dan mereka menggiring dengan sedikit memaksa, setengah mendorong, sambil mengancam Agung jika tidak mengikuti keinginan
83
Wawancara dengan Dewi pada 05 Mei 2013
74 mereka, dengan pecut.
84
Orang-orang sudah ramai berkumpul di rumah Agung. Mereka mengerumuni dan melihat prosesi Agung dipasung. “Waktu itu halaman
rumah sampai penuh.” Kenang Dewi. Saat akan dipasung energi Agung sangat kuat. Orang-orang yang bertugas
mengikatnya harus mengeluarkan energinya sekuat tenaga. Bahkan mereka harus berulang-ulang berusaha sekeras tenaga mengikat kaki Agung dengan rantai.
Radhin, orang yang ikut memasung Agung, menceritakan saat itu dia diminta ibu Agung untuk membantu mengikatnya. “ Saya heran mbak waktu itu…orang satu
saja kok sampai 8-10 orang ndak mempan. Saya saat itu terheran-heran mbak..orang satu saja kok harus banyak orang yang ikut mengikat, ndak kuat. Itu
sampai nggak kuat.” Katanya. Ia sendiri ketika itu memegang tubuh Agung, sampai berkeringat, menggos-menggos sampai kehabisan nafas, dengan tujuh
orang yang harus membantunya, ada yang memegang tangan Agung, ada yang memegang kakinya, ada yang memegang perutnya, satu kaki dua orang,
tangannya juga, dan ada bagian yang mengikatkan rantainya. “ Itu kuat sekali mbak Agung, sampai orang-orang kewalahan, banyak orang yang harus
memegang” katanya.
85
Rufiah menyatakan bahwa ia memasung Agung diantaranya karena ia takut kalau Agung dibiarkan malah akan terlantar di jalan. Ia takut Agung kabur
dari rumah dan hidup menggelandang, karena banyak orang yang tidak senang dengan keberadaannya. Untuk meletakkan Agung di rumah sakit jiwa dia sudah
84
Wawancara dengan Hasna, tetangga Agung, pada 04 September 2013
85
Wawancara dengan Radhin, orang yang ikut memasung Agung, pada 07 September 2013
75 tidak bisa, karena sudah delapan kali ia ke rumah sakit jiwa dan dokter bilang
Agung sudah sembuh. Berdasarkan pengalamannya itu, ia sudah lelah mengurus ke RSJ. Hasilnya, selalu saja Agung kumat kembali gila saat di rumah.
Sedangkan kalau tidak dipasung, ia khawatir anaknya itu akan lari dari rumah, hidup menggelandang di rumah. Begini tuturnya, “ Daripada aku ra ngerti
mangan opo. Ben ranok seng ngece. Aku ki ngerti, wong-wong kuwi jahat, pernah ngantem sirae..emange aku ra ngerti. Wong wes ngerti gendheng dikonokno
ngono. Mbok dimaklumi. Tapi aku meneng wae. Ben ra rame. daripada aku ndak tahu Agung makan apa. Biar tak ada lagi yang melecehkan. Saya tahu orang-
orang itu jahat. Mereka pernah menghantam kepala Agung. Orang-orang itu mukul kepalanya,..saya tahu itu. Sudah tahu gila kok dibegitukan. Seharusnya kan
memaklumi. Saya diam saja. Biar tidak ada konflik” tegas Rufiah.
86
Rufiah melihat kenyataan banyaknya orang gila yang hidup di jalanan, yang terlantar dan tidak diberi sandang, pangan yang cukup. Ia tidak tega
membayangkan Agung akan makan apa serta akan menjadi seperti apa jika dibiarkan. Ia takut anaknya itu kabur, menghilang dari kampung hingga tak
diketahui kabarnya. Dengan memasung anaknya ia bisa merawat dan memastikan kondisi
Agung baik-baik saja. Setiap hari ia menyediakan makanan untuk Agung. Kadang ia masak sendiri, kadang beli. Tetapi lebih sering masak sendiri. Ia memberi
Agung makanan setiap hari, sebanyak tiga kali sehari; pagi, siang dan malam. Setelah memberi makanan, tak lupa ia memberikan rokok. Selain itu ia juga
86
Wawancara dengan Rufiah pada 18 Juli 2011
76 membersihkan tempat Agung dipasung setiap hari dan rutin memandikannya
minimal dua minggu sekali. Ia mengatakan tak tega kalau membiarkan Agung di jalanan.
Dibandingkan dengan perlakuan negara pada orang-orang gila yang diambil di jalan, tentu perlakuan keluarga jauh lebih baik. Pemerintah
menempatkan orang-orang yang dianggap gila di panti asuhan-panti asuhan dengan makanan sangat minim dan buruk, bahkan kurang serta dengan fasilitas
yang jauh dari memadai. Itulah alasan yang kali pertama diungkapkan Rufiah saat saya bertanya tentang alasan memasung. Ia dan keluarga tidak dapat
membayangkan anaknya hidup di jalanan. Ia takut kalau membiarkan, akan ada orang-orang yang berbuat jahat. Daripada tidak tahu makan apa, di mana serta
bagaimana orang lain memperlakukan Agung, lebih baik mengikatnya.
87
Gambar V. Perlakuan pemerintah pada orang-orang gila dijalanan setelah diletakkan di panti asuhan Cindelaras. Foto oleh John Stanmeyer
88
87
Wawancara dengan Rufiah, ibu Agung, pada tanggal 18 Juli 2011
88
Foto diambil dari website VII photo
77 Tetangga yang terlibat langsung dengan pemasungan Agung, semisal
Radhin merasa takut kalau pasungan Agung dilepas akan balas dendam dengannya. “ Ya….saya takut kalau dia dilepaskan itu kan dia bisa balas dendam
ke orang-orang yang memasung.” Hal senada disampaikan Ma’ruf. Ia khawatir kalau pasungan Agung dilepas akan mencelakai orang-orang yang pernah
memasungnya atau orang yang ikut dalam proses pemasungan. Sebab, menurutnya, Agung itu sewaktu ngamuk juga ngamuk-ngamuk dengan orang-
orang yang pernah dimintai tolong ibunya membawanya ke RSJ. Mengenai kekhawatiran tentang kemungkinan Agung membalas dendam ini juga diteguhkan
Radhin. Ia mengisahkan bahwa ketika ia disuruh mengambil buah kelapa Rufiah, ketika itu Agung melihatnya akan mengambil buah kelapa dan Agung langsung
berdiri dan melempari saya, “Saya dilempar itu lho…maaf itu lho mbak…kotorannya yang dibungkus plastik.”
89
Ingatan Agung terhadap orang-orang yang pernah ikut memasung atau tidak menyenangkan buatnya itu memang masih melekat betul di benak Agung.
Rufiah mengatakan kalau Agung sering menyebut orang-orang yang dimusuhinya itu sambil berteriak-teriak dan mengancam akan membunuh mereka. “Wong
koyok ngunu kuwi akeh dendame barang kok, Orang seperti itu-Agung- banyak dendam sama orang-orang” Rufiah menjelaskan bahwa Agung banyak dendam
terhadap orang-orang yang dianggap Agung pernah berbuat jahat padanya.
90
89
Wawancara dengan Radhin pada 07 September 2013
90
Wawancara dengan Rufiah pada 18 Juli 2011
78
B . Jalinan Kuasa Masyarakat atas tindakan Memasung Agung Tri Subagyo 1. Penghakiman Massal Terhadap Agung Tri Subagyo
Saat kali pertama mewawancarai masyarakat Sri Gentan, ketika saya mengatakan niat meneliti Agung, banyak yang memperingatkan saya agar berhati-
hati. Bahkan, ada pula yang melarang saya meneliti. Bariroh misalnya mengatakan bahwa baginya, membicarakan Agung berarti membicarakan aib
keluarga. Karenanya, ia tidak berani menguraikan secara detail tentang Agung. “Untuk mendekati keluarga Agung sangat riskan. Saya takut, ndak berani kalau
mbak bertanya langsung ke keluarganya, karena hal itu sangat sensitif. ” Ketika membicarakan Agung, ia melihat kiri-kanan, memastikan tidak ada orang lain
yang nguping mendengarkan. Padahal saat itu kami ada di ruang tamu rumahnya, yang berjarak sekira 100 meter dari rumah Agung. Karena sangat
khawatir dampak buat saya jika meneliti Agung, ia menyuruh saya berhati-hati ketika berbicara Agung, terutama pada keluarganya. Ia tidak berani sedikitpun
menanyakan apalagi membahas Agung secara terbuka. Jika bertemu atau berpapasan tak sengaja dengan Rufiah, ia hanya akan menyapa sewajarnya,
sebagai tanda baik dengan tetangga. Tetapi sedikitpun tak menanyakan kondisi Agung.
91
Tetangga-tetangga yang lain juga melakukan hal yang sama dengan Rufiah. Mereka lebih sering diam dan berusaha menghindar dari pembicaraan
tentang Agung. Mereka khawatir apa yang mereka katakan akan menyakiti
91
Wawancara dengan Bariroh pada 06 April 2010
79 keluarga Agung. Membicarakan kegilaan dianggap sama dengan membicarakan
aib keluarga yang dianggap ‘gila’. Karenanya, sebelum berbicara, banyak yang menyuruh saya berjanji untuk tidak mengatakannya pada keluarga Agung,
“Jangan bilang ya mbak…kalau saya yang bilang” begitu setiap kali mereka memberi penjelasan tentang Agung.
Rufiah juga merasa tidak nyaman berlama-lama bertetangga. Buatnya, bertetangga itu susah. Ia merasa tidak nyaman jika berkumpul atau sekedar
ngobrol-ngobrol dengan tetangganya. Ia memilih sibuk di rumah; membersihkan rumah, memasak, berkebun atau jika sudah senggang menonton televisi. Kadang-
kadang saja ia bertemu tetangga, itupun karena ada keperluan yang sangat penting. Misalnya, saat berbelanja di pasar gayu, yang jaraknya sekira 500 meter
dari rumahnya. Ia ‘terpaksa’ bertemu tetangga-tetangganya atau jika ada tetangganya yang ‘gawe’ atau hajatan, misalnya acara pernikahan, maka ia akan
ikut ‘ngrewang’ membantu masak.
92
Sebelum dipasung, warga pernah melakukan kekerasan fisik maupun psikis pada Agung. Markisah, tetangga Agung, mengisahkan ketika itu para
tetangga mengabarkan tentang sekelompok pemuda yang memukuli Agung. Ia mengisahkan Agung dipukuli di gang jalan oleh pemuda-pemuda kampung, tetapi
para tetangganya juga tidak tahu penyebab peristiwa itu. Berita itu dibenarkan Rufiah. Ia mengenang peristiwa itu sebagai peristiwa traumatik. Ia marah bukan
main. Bahkan saat bercerita ke saya, darahnya seperti mendidih. Matanya melotot dengan nada kesal. Ia masih menyimpan amarah dengan orang-orang yang
92
Wawancara dengan Rufiah pada 18 Juli 2011
80 melakukan kekerasan pada anaknya itu. Saat itu, ia terkejut ketika melihat Agung
ke rumah dengan kepala berdarah-darah. “Saya bilang pada mereka, mbok jangan dendam sama orang lain, wong koyok ngono orang seperti itu, mbok dimaklumi
Maklumi saja” Melihat anaknya yang pulang babak belur, ia hanya mengelus dada. Agung hanya diam saja. Rufiah membersihkan darah dan luka di pelipisnya.
Lalu, menasehati anaknya itu agar tidak berbuat macam-macam. Saat itu Agung hanya diam. Sebenarnya, bukan sekali itu saja Agung dipukuli, ia juga pernah
melihat ada orang yang ‘ngantem’ melempar batu ke Agung. Tetapi saat saya bertanya, siapa yang sering memukuli Agung, dia menjawab “Saya tahu…tetapi
saya tidak mau dendam, saya hanya berdoa pada Tuhan ben wong seng koyok ngono iku biar orang yang seperti itu disepuro karo gusti Allah dimaafkan
Allah”.
93
Katanya, lebih baik diam daripada menimbulkan masalah dengan tetangga. Dalam hatinya
ingin protes, tak dapat terima tindakan itu, tetapi ia hanya mendiamkan saja. Dia memilih memendamnya dalam hati. Jika ia
mempermasalahkan hal itu, ia merasa malah akan memperumit posisinya dan posisi anaknya.
Anak-anak kecil juga sering menjadikan Agung sebagai bahan ejekan. Kala itu, sebelum Agung dipasung, Anak-anak kecil di desa Sri Gentan ketika itu
senang sekali menjadikan Agung sebagai objek ejekan. Saat melihat Agung seolah menyaksikan mainan. Ketika melihat Agung dari jauh, mereka akan bergerombol.
Lalu, mengikutinya di belakang. Seperti pasukan yang dikomando, anak-anak itu seakan sudah hafal betul apa yang harus mereka lakukan dan katakan. Sambil
93
Wawancara dengan Rufiah tanggal 18 Juli 2011
81 mengikuti Agung dari belakang, mereka mengolok-ngolok ‘ wong edan- onok
wong edan’ . Olok-olokan itu akan berhenti jika Agung melihat mereka ke
belakang sambil melolot. Jika sudah seperti itu, mereka akan ngibrit, lari kocar- kacir. Olok-olokan ‘Wong edan-wong edan itu seringkali dilakukan anak-anak
kecil, sebelum Agung membawa golok dengan mengelilingi kampung.
94
Rufiah sering mendengar orang-orang membicarakan anaknya. Kadang, saat ia berjalan ia mendengar orang-orang berbisik-bisik tentang ‘keedanan’
Agung. Ia pernah tak sengaja mendengar orang-orang berbisik ‘kenapa wong edan koyok ngono ra dipasung wae? kenapa orang gila seperti itu tidak dipasung
saja” Menurutnya, tetangga-tetangga sering mengolok-ngolok dan menjelek- jelekkan Agung di belakang.
95
Saat Agung telah dicap sebagai wong edan, orang-orang banyak yang tidak percaya dengan apa yang dikatakannya. Dianggap apa yang dikatakan
Agung bukan sebuah kebenaran. Mereka enggan berbicara dengan Agung, sebab dianggap tidak penting berbicara dengan wong edan. Ketika Agung berbicara
dengan mereka, mereka akan menganggap hal itu seperti angin lalu. Lia berkata dia tidak pernah menyapa Agung. Perlakuan itu berbeda dengan perlakuannya
pada tetangga-tetangganya. Jika dengan tetangga-tetangga lain ia tersenyum dan menyapa atau sekedar bertanya basa-basi, misalnya bertanya ‘bade teng pundi?
mau kemana?”, dengan Agung dipastikan dia hanya diam saja, bahkan tidak melihatnya sama sekali. Mendiamkan Agung, tanpa menyapanya, apalagi sengaja
94
Wawancara dengan Markisah pada 05 Mei 2013
95
Wawancara dengan Rufiah pada 18 Juli 2011
82 mengajaknya bicara merupakan hal yang dianggap sebuah kewajaran di kampung
ini. Dulu, ketika Agung mulai sering ke kuburan dan bertingkah aneh, orang- orang tidak ada yang menyapa Agung seperti mereka menyapa tetangga lainnya.
96
2. Pertanggungjawaban Seorang Ibu Atas Keselamatan Jiwa Seorang Anak