Pengetahuan Medis: Medikalisasi Tubuh Agung

100 Dengan pemahaman semacam itu, lahirlah subjek sosial yang diberi otoritas mengoreksi orang-orang yang dikategorikan dalam kelompok ketiga. Mereka disebut dukun atau yang juga sering disebut orang-orang pintar. Biasanya kelompok ini berasal dari kelompok pertama. Mereka dianggap mampu mengeluarkan makhluk halus dari tubuh Agung. Fungsinya ialah mengubah orang-orang yang dikendalikan roh halus agar menjadi orang-orang biasa. Seorang dukun bertugas mengeluarkan roh halus dari tubuh orang gila. Dalam arti serangkaian tindakan dan pernyataan dukun tentang kegilaan bukan untuk menghilangkan hirearki khayali itu. Malah sebaliknya, fungsinya ialah melanggengkan serta menegaskan bahwa hirearki itu memang benar-benar nyata adanya. Dengan begitu, keberadaan dukun menegaskan bahwa masyarakat tidak bisa mempengaruhi Agung. Mereka diposisikan selalu membutuhkan perantara untuk dapat mengerti kegilaan. Sehingga seolah-olah adanya roh dalam tubuh Agung mengharuskan mereka menjauh, menyingkiri, jangan sampai dekat-dekat, mereka hanya dapat berelasi langsung kalau dukun sudah berhasil mebngeluarkan makhluk halus itu dari tubuh Agung.

2. Pengetahuan Medis: Medikalisasi Tubuh Agung

Di sini saya membatasi pengetahuan medis sebagai jenis pengetahuan yang dipakai orang setempat yang dipinjam dari dokter. Pengetahuan ini diproduksi melalui berbagai media, institusi-institusi yang menopang 101 keberadaannya seperti Rumah Sakit Jiwa dengan berbagai praktik di dalamnya, perguruan-perguruan tinggi jurusan patologi, psikologi, neurologi dan sebagainya. Agung sering mendapat julukan sebagai orang stres. Stres merupakan nama yang dipakai untuk menandai perubahan sikap seseorang. Dari bertingkah laiknya orang kebanyakan, berubah di luar kebiasaan. “Tidak apa-apa kok dulu,” kenang Markisah, lalu tanpa sebab yang jelas, tiba-tiba saja tingkah lakunya jadi aneh. 108 Masyarakat sudah sangat biasa menyebut stres untuk menandai berbagai emosi atau perilaku seseorang. Tetapi, dalam konteks Agung, stres digunakan warga Sri Gentan sebagai kata lain dari kegilaan. Rufiah mengatakan penyebab Agung stres adalah karena ada syaraf yang rusak. Jadi, stres dikaitkan dengan fungsi biologis tubuh. Ibarat mesin, ada kabel putus atau rusak sebab bebannya melebihi kapasitas. Diandaikan setiap syaraf itu mempunyai kuota. Karena terlalu tinggi keinginannya, melebihi kuota yang dimiliki otaknya, dapat menyebabkan syarafnya jebol, rusak. Gejalanya terlihat dari terlalu tinggi angan-angannya. Misalnya, ia ingin punya uang satu truk. “Agung iku pernah kerjo sedino, teko isuk sampek bengi. Sampek turu neng kebon. Tak takoi to?ngopo kerjo koyok ngunu kuwi? Jarene, pingin duwe duit sak truk, yo…iku seng gawe stres. Angan-angane terlalu tinggi, raiso jangkau dewee dewe, makane lek punya angan-angan itu ndak usah yang tinggi-tinggi. Seng biasa-biasa wae. Rasah spaneng wae. Mengko stress.Agung itu pernah kerja seharian, dari pagi sampai malam, hingga tidur di kebun. Saat itu saya tanyakan, kenapa kerja seperti itu? dia mengatakan ingin punya uang satu truk, ya…itu yang menyebabkan stres. Keinginannya terlalu tinggi, tidak bisa dijangkau. Karena itu kalau bermimpi itu jangan tinggi-tinggi, yang biasa-biasa saja. Tidak usah 108 Wawancara dengan Markisah, tetangga Agung, pada tanggal 27 Juli 2013 102 tinggi-tinggi, yang biasa-biasa saja, tidak usah terlalu ambisius ” kenang Rufiah 109 Saat mengatakan hal itu, Rufiah ingin marah pada anaknya. Ia seperti sedang marah pada khayalan anaknya yang terlalu tinggi. Angan-angan Agung itu baginya terlalu mengada-ngada, terlalu dibuat-buat. Seakan-akan ia menyakini kalau angan-angan Agung tidak tinggi, maka tidak mungkin stres. Masyarakat memandang tingkah laku aneh, tidak sesuai dengan norma, yang dianggap membahayakan, sebagai akibat dari kerusakan organ tubuh. Ada kerusakan fungsional pada otak. Dan, meski warga tidak tahu persis bagian syaraf mana yang rusak, mereka yakin betul bahwa hal itu memang benar adanya. Tindakan-tindakan serta perilaku Agungpun dianggap salah. Seolah-olah setiap pernyataan dan tindakannya tidak mengandung kebenaran sama sekali. 110 Akibatnya, lahir pembedaan antara kualitas syaraf otak mereka dengan Agung. Agung kemudian dibayangkan otaknya rusak sehingga tak berfungsi. Masyarakat merasa bahwa otak merekalah yang dapat berfungsi dengan baik. Pemahaman semacam ini melahirkan subjek sosial yaitu para dokter yang bertugas menyembuhkan orang-orang yang sakit syarafnya itu. Dalam bayangan masyarakat, metode penyembuhan medis jauh lebih rumit daripada cara yang dilakukan para dukun. Media penyembuhan yang 109 Wawancara dengan Rufiah pada tanggal 06 Mei 2013 110 Stereotype bahwa tindakan-tindakan dan pernyataan-pernyataan orang gila itu selalu dianggap tidak memiliki nilai kebenaran sama sekali, tentu berakibat buruk pada orang-orang yang dianggap gila. Kompas pernah memberitakan bahwa ada Pinasung diperkosa tetangganya, saat ia mengadu ke orang tuanya, malah diacuhkan, baru saat kandungannya membesar, orang tuanya sadar kalau anaknya itu benar. 103 dipakai dukun, biasanya mudah ditemui sehari-hari, misalnya dengan menggunakan air, kemenyan. Sementara para dokter menggunakan serangkaian metode yang sifatnya eksklusif. Orang biasa, tanpa melalui serangkaian pendidikan yang menghabiskan dana tak sedikit, dianggap tak mungkin dapat melakukannya. Cara yang digunakan para dokter ini sulit dijangkau, bahkan sekadar membayangkan saja, terlalu rumit bagi orang-orang awam. Kita ambil salah satu contoh, proses produksi obat. Pembuatan obat ini hanya dapat dilakukan para ahli, menggunakan dosis dengan ukuran-ukuran tertentu, bahan- bahan diolah menggunakan peralatan canggih. Prosedur-prosedur semacam itu tak bisa dilakukan orang-orang biasa. Meski sama juga, mereka tak dapat melakukan sesuatu yang dilakukan dukun. Tetapi setidaknya lebih mudah melakukan apa yang dilakukan para dukun daripada serangkaian metode yang dilakukan para dokter. Dan pemahaman semacam ini, tumbuh dan terus dikukuhkan, sebab mereka ditempatkan dan menempatkan diri sebagai orang awam yang tidak dapat langsung memahami kegilaan. Jadi, adanya praktik medis, yang eksklusif, semakin melebarkan jarak antara orang-orang yang diklasifikasikan sebagai orang stres dan sehat. Bahkan dengan serangkaian metode medis itu seakan-akan benar-benar nyata adanya sebuah kelompok yang disebut orang waras dan kelompok orang-orang gila. Kerumitan semacam itulah yang membuat orang-orang memercayai dengan begitu saja atas kebenaran pengetahuan medis. Metode yang digunakan para dokter membuat mereka yakin kebenaran yang mereka katakan tentang 104 Agung. Keyakinan bahwa Agung sakit diperkuat dengan metode-metode medis, yang sebenarnya tidak persis diketahui warga. Kebenaran pengetahuan medis itu bahkan diperkuat dengan aturan pemerintah. Pemerintah telah menetapkan orang-orang yang divonis menderita penyakit jiwa harus dirawat jiwa. Orang-orang yang stres harus melalui serangkaian pengobatan medis untuk menjadi ‘normal’. Caranya, ialah dengan membentuk undang-undang kesehatan untuk melegitimasi posisi orang-orang yang berhak mengatur dan menentukan apa yang harus dilakukan pada orang- orang yang divonis sebagai menderita penyakit jiwa. Undang-undang itu menjamin tumbuhnya institusi-institusi kesehatan dan memberi otoritas para dokter untuk mengintervensi langsung tubuh yang diidentifikasi menderita penyakit jiwa. Pemerintah mengokohkan kebenaran struktur itu melalui pendirian rumah sakit jiwa, perguruan tinggi jurusan psikiatri, patologi, psikologi, dengan distribusi pengetahuan melalui berbagai media, dari media konvensional sampai media-media lokal. Legitimasi pemerintah pada pengetahuan medis, menjadi semacam raksasa, yang kemudian membentuk kebenaran umum. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan yang selalu diacu setiap orang membicarakan kegilaan. Hampir semua berita yang saya baca tentang pasung selalu merujuk pengetahuan ini untuk menilainya. Tugas psikiater adalah memperbaiki orang-orang yang divonis menderita penyakit jiwa. Para dokter adalah orang-orang yang diberi otoritas untuk mengatakan, menganalisa selanjutnya memutuskan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang divonis menderita penyakit jiwa. Psikiater 105 mempunyai kuasa menentukan apa yang harus dilakukan orang-orang yang dianggap menderita penyakit jiwa. Lahirlah sebuah hubungan yang sekarang sudah dianggap kebenaran umum yaitu hubungan antara dokter dan pasien. Para dokter adalah orang yang mempunyai otoritas mengatur orang ‘gila’. Sedangkan pasien ialah objek yang akan disembuhkan dan dikoreksi. Karena itu, serangkaian tindakan, serta cara para dokter mengeluarkan pernyataan itu ditentukan posisi di atas, ditentukan sepenuhnya oleh pola hubungan yang diproduksi pengetahuan medis. Para Psikiater memiliki otoritas yang jauh lebih besar dan dikukuhkan otoritasnya daripada masyarakat pada umumnya. Mereka telah menjalani serangkaian pendidikan, dengan waktu yang cukup lama serta biaya yang tidak sedikit. Karenanya, masyarakat semakin menyakini kalau yang paling benar berbicara tentang Agung itu hanya para psikiater, bahwa untuk mengetahui kebenaran tentang kegilaan, mereka harus menjalani serangkaian proses pendidikan, praktik-praktik klinis, tidak dapat langsung begitu saja memahami dan mengerti Agung. Ada serangkaian latihan khusus yang harus dilalui seseorang jika ingin berhubungan dengan orang-orang yang diklasifikasikan gila. Dengan menggunakan keyakinan semacam itulah, Hervita dan Diatri merasa mempunyai otoritas untuk melabeli para pinasung yang ditelitinya sebagai penderita shizofrenia, personality change and temporal hallucination dan dementia of unknown aetiology with behavioural disturbance. 111 Hal ini sama 111 Minas ,Harry dan Diatri, Hervita. 2008. Pasung: Physical restraint and confinement of the mentally ill in the community. Versi PDF diunduh dari www.ijmhs. comcontent218 106 dengan yang dilakukan Saad B Malik dan Iram Z. Bokhaery yang mengklasifikasikan orang-orang yang diikat di negaranya dengan berbagai macam penyakit jiwa seperti shizofrenia, epilepsy, bipolar effective disorder dan sebagainya. 112 Mereka merasa memiliki otoritas untuk mengklasifikasikan tubuh dan diri pinasung melalui pengetahuan medis. Karena sangat kuatnya pengaruh pengetahuan ini dan sangat hegemonik, saya tidak menjumpai kata-kata yang menyiratkan keraguan mereka dalam mengklasifikasi para pinasung pada wilayah medis ini. Dalam melabeli para pinasung mereka menggunakan, apa yang disebut Foucault, normality standard standar kenormalan dalam melihat penyakit. Orang-orang yang dipasung dicermati, diperhatikan tingkah lakunya, lalu dinilai dari cara dia berkata atau bertindak, di cari unsur-unsur yang berbeda dari tingkah laku atau tuturan-tuturannya yang berbeda dengan orang pada umumnya. Implikasi pengetahuan itu, Agung dipandang sebagai pasien abadi. Diyakini bahwa benar-benar sakit tubuhnya. Ia adalah pasien yang tidak disembuhkan, yang tidak tertangani. Ia sedang sakit dan tidak mungkin sembuh tanpa perawatan dan pengobatan medis yang panjang untuk memperbaiki syarafnya. Syarafnya tidak mungkin sembuh, malah kemungkinan lebih parah jika dibiarkan. Pemasungan melegitimasi angggapan bahwa syarafnya rusak, bahkan, seperti pernyataan Rufiah, “Syarafnya rusak parah.” Kerusakan syaraf inilah yang dianggap mempengaruhi tindakan-tindakan yang tidak masuk di akal orang biasa. 112 Malik Saad B. and Bokharey Iram Z., breaking the chain, diunduh dalam bentuk PDF dari the psychiatrist,formerly bulletin. 107 Dengan semakin kokoh dominasi pengetahuan medis, maka membentuk dua subjek yaitu kumpulan orang-orang yang jiwanya sehat, yang dianggap tipe ideal dengan yang sakit jiwanya, yang dianggap harus mengikuti dan mengubah dirinya menjadi subjek yang sehat jiwanya. Seolah-olah yang sehat ini sebagai subjek tetap yang tidak perlu berubah. Serangkaian proses yang dilakukan para dokter itu tak terjangkau masyarakat, sehingga semakin sempitlah ruang komunikasi antara yang dianggap gila dan waras, bahkan terpotong. Para tetangga Agung merasa dirinya sebagai orang yang sehat jiwanya, yang tak butuh dikoreksi, tidak ada yang salah dengan tindakan mereka. Yang perlu diteliti, dipandang, dikoreksi adalah orang-orang yang divonis rusak syarafnya. Melalui pengetahuan inilah, apa yang Agung alami sekarang; makan, buang air besar dan kecil sering dinilai sebagai sesuatu yang menjijikkan. Sebab tidak bersih, tidak sesuai dengan ukuran-ukuran cara hidup orang-orang biasa. Lahirlah kata-kata ‘gilani’. Benar-benar tidak ada sedikitpun ketertarikan untuk mengenal Agung. Sekadar membayangkan saja sudah jijik. Seolah tengah hadir materi yang membuat tubuh merinding, perut mual. Hingga seorang menolak melihat, apalagi mendekat. Kalau bisa, jangan sampai melihatnya. Tubuh seakan membaui sesuatu yang busuk, mata seolah melihat materi-materi yang membuat siapapun menjadi sangat jijik. Sehingga ketika mengatakan gilo, orang yang mengatakan itu cepat-cepat ingin mengakhiri dan ingin segera cepat berlalu bayangan itu. 108 Di sisi lain, selain jijik, pengetahuan ini juga membuat orang-orang heran, mengagumi kekuatan fisik tubuh Agung. Tetapi kekaguman itu tidak membuat mereka ingin meniru, malah cenderung menganggap hal itu sebagai sesuatu yang aneh, sebagai sesuatu yang membuat mereka merasa bahwa ada yang janggal dalam tubuh Agung. Psikiter, pemerintah memposisikan masyarakat sebagai pihak yang tidak dapat memikirkan, menganalisa, lalu mengambil langkah-langkah untuk kegilaan. Kegilaan menjadi wilayah eksklusif medis, yang menjadi objek pengetahuan. Pun pandangan ini membuat mereka merasa tidak memiliki kapasitas untuk menelaah, memikirkan, serta mengambil tindakan terhadap kegilaan. Kegilaan kemudian melekatkan mereka dengan institusi medis dengan perangkatnya, tubuh Agung dibatasi dalam pengertian maupun penafsiran ruang semacam itu. Pengetahuan medis melahirkan citra kemoderan. Sedangkan pengetahuan magis dinilai primitif, ketinggalan zaman. Citra kemodernan mungkin terbentuk dari anggapan bahwa pengetahuan medis itu lebih rasional, lebih dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, sedangkan pengetahuan magis dianggap sebagai takhayyul belaka. Seakan ada anggapan bahwa pengetahuan magis merupakan bagian masa lalu pengetahuan medis. Dan, dibayangkan hubungan dua pengetahuan ini sebagai sejarah continue. Dalam arti pengetahuan medis dianggap merupakan langkah maju dari yang magis. Implikasinya, dua hal itu sering dilihat sebagai hal yang selalu beroposisi biner. Yang magis jelek, perlu ditinggalkan, sedangkan yang medis merupakan sesuatu yang baik, yang bahkan harus ditaati. Sehingga sering dianggap pemasungan 109 sepenuhnya dipengaruhi pengetahuan magis. Sebab pemasungan dilihat sebagai hukuman yang primitif, yang kuno, harus ditinggalkan. Padahal, kalau kita perhatikan dari dua struktur diskursif di atas tidak ada perbedaan subtantif dalam dua pengetahuan itu. Tak terdengarnya protes pelabelan penderita penyakit jiwa pada pinasung, bahkan beramai-ramai orang mengikutinya,merupakan bukti betapa kuatnya pengaruh pengetahuan medis dalam membentuk cara berfikir kita tentang orang- orang yang dianggap gila. Pun, begitu kuat pengaruh pengetahuan medis dalam membentuk pola pikir masyarakat Sri Gentan. Realitas bahwa Agung berkali-kali dimasukkan ke RSJ dan hasilnya sama saja, dalam arti masyarakat belum dapat menerimanya, tidak dilihat sebagai kegagalan atau kesalahan pengetahuan medis. Tetapi dilihat karena penyakitnya terlalu parah. Tubuh orang-orang gilalah yang selalu dianggap biang kerok dari ketakutan dan tingkah laku orang lain padanya.

3. Hubungan Magis dan Medis