109 sepenuhnya dipengaruhi pengetahuan magis. Sebab pemasungan dilihat sebagai
hukuman yang primitif, yang kuno, harus ditinggalkan. Padahal, kalau kita perhatikan dari dua struktur diskursif di atas tidak ada perbedaan subtantif dalam
dua pengetahuan itu. Tak terdengarnya protes pelabelan penderita penyakit jiwa pada pinasung,
bahkan beramai-ramai orang mengikutinya,merupakan bukti betapa kuatnya pengaruh pengetahuan medis dalam membentuk cara berfikir kita tentang orang-
orang yang dianggap gila. Pun, begitu kuat pengaruh pengetahuan medis dalam membentuk pola pikir masyarakat Sri Gentan. Realitas bahwa Agung berkali-kali
dimasukkan ke RSJ dan hasilnya sama saja, dalam arti masyarakat belum dapat menerimanya, tidak dilihat sebagai kegagalan atau kesalahan pengetahuan medis.
Tetapi dilihat karena penyakitnya terlalu parah. Tubuh orang-orang gilalah yang selalu dianggap biang kerok dari ketakutan dan tingkah laku orang lain padanya.
3. Hubungan Magis dan Medis
Dari dua struktur diskursif dua pengetahuan itu tampak bahwa keduanya saling mempengaruhi, saling menopang satu dengan lain. Pengetahuan magis
mempengaruhi cara masyarakat berfikir tentang medis, dan sebaliknya. Dua pengetahuan ini saling menopang serta memperkuat ide memasung Agung.
Hubungan saling memengaruhi ini dapat kita cermati dari cara orang- orang menyamakan edan, gendheng dengan sakit jiwa, terkena gangguan jiwa
dan sebagainya. Orang-orang menyebut wong gendeng, edan lalu dengan semena- mena menyamakan dengan terkena sakit jiwa, gangguan jiwa dan sebagainya.
110 Dari segi hubungan objek pengetahuan, Edan menjadi ruang yang
menutupi pandangan masyarakat untuk sebatas melihat diri Agung sebagai sosok yang tidak ada sisi persamaan dengan orang lain. Edan menghapus persamaan-
persamaan antara Agung dengan orang lain dalam reaksi timbal baik, cara menangkap pembicaraan, tingkah laku. Muncullah perasaan bahwa ada perbedaan
yang esensial antara masyarakat dengan Agung. Perbedaan itu dianggap bukan sebuah akibat dari situasi sosial tertentu, tetapi dianggap sebagai pemberian, dari
sononya. Perbedaan ini bukan dianggap sebagai sesuatu yang harus dimaklumi, apalagi dinikmati, malah mengandung makna hirearkhi yaitu memunculkan rasa
superior orang-orang yang dianggap waras pada orang-orang yang dianggap sinting.
Dengan menganggap Agung stres berarti memandang bahwa sumber dari tuturan maupun tingkah laku ‘aneh’ itu adalah biologis, bukan sosiologis apalagi
politis. Keberadaan otak yang dipandang dari pengetahuan biologi berfungsi mengatur serta mencerna rangsangan dan memberi perintah bereaksi terhadap
rangsangan itu, kemudian ditafsirkan tidak dapat berfungsi, mandeg. Dan kerusakan biologis inilah yang dianggap memunculkan tingkah laku maupun
tuturan yang berbeda. Dua pengetahuan itu melihat tubuh Agung sebagai sumber kesalahan.
Tidak mengkaitkan tuturan maupun tindakan itu sebagai akibat dari tindakan- tindakan orang lain pada Agung, atau sebagai sebuah pemaknaan-pemaknaan
personal diri Agung terhadap berbagai masalah yang sedang dihadapinya, tetapi akibat dari sebuah kondisi yang sudah dari sononya, atau dalam bahasa Rufiah, “
111 Iku memang takdir Allah apa yang terjadi pada Agung itu sudah ditentukan
Allah.” Keduanya menganggap ada perubahan bentuk secara biologis yang
menyebabkan kegilaan. Pengetahuan Magis menjustifikasi bahwa tubuh Agung telah dibajak makhluk halus, sehingga yang masyarakat lihat bukan Agung yang
sebenarnya, tetapi jadi-jadian. Sedangkan pengetahuan medis menganggap bahwa secara biologis ada kerusakan pada otak Agung, sehingga berimplikasi pada
tingkah laku nya yang ‘aneh’. Jadi, perubahan tubuh dari struktur semula, yaitu dibayangkan ada standar tertentu pada tubuh manusia, mengubah ‘kemanusiaan’
seseorang. Ini seakan mau mengatakan bahwa manusia pada bentuknya yang asli atau yang alamiah itu, bentuk tubuh manusia yang benar itu, akan membuat
orang-orang patuh pada norma-norma yang berlaku di masyarakat. Itu berarti pada dasarnya, masyarakat mensyaratkan kepatuhan individu-individu jika ingin
dianggap bagian masyarakat. Ini berarti pembentukan dan pengawetan wong gendeng, edan, penderita penyakit jiwa, merupakan strategi masyarakat menopang
dan mengawetkan sistem nilai yang berlaku. Dengan demikian, kemampuan pengetahuan mendefinisikan realitas objek
itu berakibat mengubah konstelasi sosial.
113
Dengan menyebut Agung gendheng, edan, stres, yang kata-kata itu mengandung seperangkat definisi, maka kemudian
menempatkan Agung bukan bagian dari masyarakat, tetapi sebagai entitas lain, yang harus didisiplinkan, diarahkan, dibentuk untuk dapat menjadi bagian dari
masyarakat.
113
Haryatmoko, Basis nomor 07-08, th ke-59, 2010
112 Ide untuk mengekslusi subjek penderita penyakit jiwa yang dikokohkan
dengan menjamurnya RSJ di kota-kota besar di Indonesia merupakan realitas yang semakin meneguhkan dan membenarkan ide untuk mengeksklusi orang-
orang yang dianggap gila. Ide memasung wong edan lalu mendapat dukungan dengan didirikannya RSJ-RSJ itu. Mengapa? kita lihat bahwa penyakit-penyakit
lain tidak begitu dilekatkan dengan ruang eksklusi kecuali penyakit jiwa ini. hanya penyakit jiwa yang memiliki ruang khusus, yang mengumpulkan orang-
orang yang dianggap gila dalam satu ruang, untuk disingkirkan dari hiruk pikuk masyarakat. Ide semacam itu tidak jauh dengan ide memasung yang membuat
ruang tersendiri bagi orang-orang yang dianggap gila. Malah jika memasung keluarga dapat memastikan dan menjamin makanan untuk pinasung, sementara
jika di RSJ, tergantung pada kebaikan para perawat atau institusi di dalamnya. Status ilmiah pada institusi RSJ memperkuat ide membenarkan mengeksklusi
pada yang disebut wong edan, gendheng. Sedangkan dari subjek sosial yang dimunculkan, kita melihat bahwa para
dokter dengan para dukun merupakan orang-orang yang diberi otoritas untuk mengatakan kebenaran tentang kegilaan. Yang itu berarti kegilaan bagi
masyarakat bukan sesuatu yang dapat difikirkan langsung, tetapi cara berfikir tentang kegilaan itu mengikuti pendapat-pendapat yang dituturkan orang-orang
yang dianggap ahli tersebut, selalu melalui perantara. Secara subtantif ide semacam ini kemudian membenarkan pengontrolan, pendisiplinan pada orang-
orang yang dianggap gila. Bahkan dianggap bahwa orang-orang gila itu memang seharusnya dikontrol, didisiplinkan oleh orang-orang yang waras.
113
B. Penaklukan Ingatan dan Wacana Ketakutan