ARTE MORIS DAN SENI VISUAL DI TIMOR LESTE

35

BAB II ARTE MORIS DAN SENI VISUAL DI TIMOR LESTE

2.1. Selayang Pandang Seni Rupa di Timor Leste 2.1.1. Pra Arte Moris : Situs Lenehara, Timor Bonita, dan Seni Visual dalam Pergerakan 2.1.1.a. Gambar di Gua Kapur Pengetahuan, tulisan, dan data tentang senirupa di Timor Leste yang ditemukan penulis dalam penelitian ini, dalam penyusunannya secara umum, memberikan perhatian yang mendasar dan cukup besar pada sisi kesejarahannya, baik sejarah kebudayaan Timor Leste secara umum maupun sejarah senirupanya sendiri. Dalam hal kesejarahan itu, ada beberapa titik yang dijadikan sebagai bagian yang penting bila bebicara tentang senirupa di Timor Leste. Salah satu sumber dari penelitian ini yang membahas tentang senirupa di Timor Leste adalah “A Contemporary Art Movement in Timor-Leste”, yang ditulis oleh Silva dan Barkmann 68 . Tulisan ini merupakan sebuah pengantar pameran seni yang diikuti oleh pihak Arte Moris dan diadakan oleh kerjasama Museum and Art Gallery Northern Teritory dan National Directorate of Culture Timor-Leste pada tahun 2008. Pengantar pameran ini memberikan sebuah gambaran umum yang singkat namun menghasilkan wacana senirupa kontemporer Timor – Leste yang cukup lengkap. Kedua penulis pengantar pameran tersebut adalah, Abilio da Conceciao Silva, yang merupakan direktur dari Heritage and Museum Departmen National Directorate of Culture Timor-Leste , dan Joanna Barkmann, seorang kurator dari 68 Lihat, Silva, Abilio d. C.dan Barkmann.2008 :A Contemporary Art Movement in Timor Leste,an essay .Museum and Art Gallery Northern Teritory in partnership with the Timor Leste National Directorate of culture. 36 Southeast Asian Art and Material Culture, MAGNT . Di dalam tulisan tersebut ada beberapa pokok penting yang dijadikan sebagai landasan tentang seni kontemporer, khususnya senirupa, di Timor-Leste. Pokok-pokok itu membentuk bentangan sejarah senirupa secara umum di Timor Leste yang mencakup bagian- bagian seperti bentuk-bentuk senirupa di jaman prasejarah, kolonialisme Portugis, masa Integrasi, dan masa awal kemerdekaan Timor-Leste. Pada pokok bahasan yang membicarakan tentang seni Timor-Leste di jaman pra-sejarah, situs Lene Hara dapat dikatakan sebagai salah satu bagian yang menjadi pusat pembicaraan. Di dalam pembahasaannya tentang senirupa Timor- Leste di zaman pra-sejarah, Silva dan Barkmann tidak secara langsung menyebutkan nama situs Lene Hara. Para penulis itu memberikan gambaran bahwa bentuk-bentuk senirupa berupa graffiti yang ditemui di jalanan di kota-kota di Timor-Leste Dili Ibu kota Negara, Baucau, Suai, dan Lospalos merupakan sebuah gema dari zaman purba, di mana kesamaan teknik penciptaan, yaitu dengan menggunakan media tembok atau batu seperti yang di temukan “inside limestone shelters and caves in the region of Tutuala, Baucau, and Baugia” 69 . Dapat dipastikan bahwa limestone shelters and caves yang dimaksud adalah Lene Hara dengan adanya fakta bahwa Tutuala merupakan bagian dari Distrik Lautem 70 , dan tulisan itu menggunakan referensi dari O‟Connor, seorang peneliti yang menulis tentang Lene Hara 71 . Situs Lene Hara merupakan sebuah situs peninggalan sejarah berupa gua kapur dan terletak di Distrik Lautem, Timor-Leste bagian timur. Situs ini 69 Ibid 70 Distrik Lautem, ibukotanya: Lospalos http:www.estatal.gov.tlDocumentsJORSERIE_I_NO_33_2009.pdf diakses pada 11 April 2013. 71 Silva, Abilio d. C. dan Barkmann, 2008. 37 beberapa kali menjadi acuan daalam penelitian tentang Timor-Leste di bidang arkeologi dan palaenthologi. Lene Hara juga memberikan sumbangannya pada penelitian di bidang kebudayaan, dan seni visual dengan adanya gambar-gambar di dinding-dinding gua kapurnya yang diciptakan dengan pewarna maupun melalui teknik mengukir. Gua Lene Hara telah dikunjungi oleh para aerkeolog dan para spesialis di bidang seni bebatuan sejak awal tahun 1960 72 . Kunjungan-kunjungan ini bertujuan mempelajari lukisan-lukisan di dinding bebatuan yang meliputi gambar stensil tangan, perahu, binatang, figure manusia, dan garis- garis motif dekoratif . Usia dari gambar-gambar dengan bahan pewarna tersebut tidak diketahui, kecuali sebuah potongan dari batu kapur yang memiliki kandungan pewarna berwarna merah. Men urut Profesor Sue O‟ Connor dari The Australian National University usia potongan batu tersebut adalah lebih dari 30.000 tahun 73 . Gambar-gambar pada Lene Hara atau petroglyphs mempunyai ciri khusus karena satu-satunya yang berasal dari era Pleistocene, bila dibandingkan dengan tipe-tipe ukiran wajah pada gua yang ditemukan di kawasan Melanesia, Australia, dan Pasifik. Menurut O‟ Connor Lene Hara merupakan satu-satunya tempat di pulau Timor dengan petroglyph berbentuk wajah. Menurut CSIRO Media 74 , pada februari 2011, beberapa ilmuwan pencari fosil menemukan gambar gambar berbentuk wajah yang terukir pada tembok gua bebatuan kapur di Lene Hara. Penentuan usia pada situs Lene Hara dengan system Uranium Isotope Dating yang dilakukan oleh University of Queensland menunjukkan bahwa usia sebuah gambar atau ukiran di tempat tersebut, 72 Ibid 73 http:www.scienceimage.csiro.aumediareleasemr11-14.html 74 Ibid 38 khususnya sebuah gambar matahari bersinar, „sun ray’, sekitar 10.000 atau 12.000 tahun. Sedangkan gambar-gambar wajah tak dapat dihitung usianya, tetapi diperkirakan berasal dari kurun waktu yang sama. Usia belasan hingga puluhan ribu tahun yang dimiliki oleh situs tersebut menjadikannya sebagai bagian pada halaman-halaman awal dalam pembahasan tentang dua hal yaitu sejarah identitas Timor-Leste, secara etnis dan nasional, dan sejarah kebudayaan Timor Leste. Pembahasan tentang identitas Timor-Leste secara etnis dengan menghadirkan situs purba sebagai salah satu titik awal pembahasan dapat dilihat di dalam buku Sejarah Perjuangan Rakyat Timor-Timur Untuk Sekolah Dasar 75 . Buku yang diterbitkan di tahun 1995 ini, di masa Integrasi, menulis bahwa pada sebuah gua di Kabupaten Lautem ditemukan lukisan-lukisan dinding gua berupa gambar telapak tangan, kendaraan, dan tubuh manusia. Gua tersebut terletak di daerah Tutuala dan bernama Ili Kere Kere 76 . Silva dan Barkmann mengemukakan bahwa gambar-gambar di situs di daerah Tutuala itu merupakan the nation’s ancient rock art heritage 77 . Sedangkan buku sejarah untuk SD yang ditulis oleh Susanto Zuhdi, SS. MA. dan Dra. Sri Sutjianingsih menggambark an peninggalan tersebut dengan penjelasan “Lukisan seperti ini juga ditemukan di Jawa dan Sulawesi” 78 . Kedua tulisan itu memiliki tujuan yang sama yaitu penggambaran identitas nasional atau etnis yang dibentuk dengan elemen sejarah. Silva dan Barkmann memakai situs di Tutuala sebagai pembentuk wacana identitas nasional Timor-Leste di bidang seni rupa. Zuhdi dan Sutjianingsih 75 Zuhdi, Sutjianingsih,Sri. Sejarah Perjuangan Rakyat Timor-Timur Untuk SD.1995 76 Ibid 77 Ibid 78 Ibid 39 memakai situs di Tutuala, bernama Ili Kere Kere, untuk membentuk wacana sejarah identitas daerah Timor-Timur sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia seperti halnya wilayah lainnya Jawa dan Sulawesi. Tidak satupun dari kedua tulisan menggunakan atau menyebutkan nama Lene Hara. 2.1.1.b. Cita Rasa Eropa : Timor Bonita Pembahasan di bagian ini sebagian besar didasarkan pada pokok-pokok yang ditemukan dalam tulisan Silva dan Barkmannn. Setelah pokok tentang masa pra sejarah, Silva dan Barkmann mengemukakan keadaan senirupa di Timor-Leste pada masa kolonialime Portugis. Pada bagian ini ditunjukkan adanya kegiatan pendidikan seni yang dilaksanakan di Timor-Portugis. Buku Motivos Artisticos Timorenses e a Sua Integracao yang terbit tahun 1987 dan ditulis oleh R. Cinatti menjadi rujukan untuk adanya kegiatan pendidikan ini 79 . Cinatti adalah seorang pengajar seni yang pada tahun 1947 bertugas di Dili High School di Lahane, Dili. Cinatti dalam masa tugasnya menemukan seorang murid yang berbakat dan dapat mewarisi kurikulum menggambar Western-Style yang diberikan Cinatti dan memakainya dalam menciptakan gambar landscape Timor yang unik 80 . Murid tersebut tidak diketahui identitasnya, Silva dan Barkmann menyimpulkan bahwa murid berbakat itu merupakan salah satu dari kelompok kecil seniman Timor- Leste yang terdiri dari pelukis-pelukis seperti Jose Martins Branco, Daniel Peloi, Sequito Calsona, dan Joao Soriano. Kelompok ini aktif berkarya di era Timor Portugis dengan gaya melukis romatis-realis, mereka mengadakan pameran di 79 Silva, Abilio d. C dan Barkmann, 2008. 80 Ibid 40 tahun 1950 dan di waktu-waktu setelahnya. Sampai di tahun 1990an kelompok ini telah menjadi senima-seniman senior yang mapan. 81 Dari segi tema karya dan gaya penciptaan yang digunakan, para pelukis di masa ini membawakan gaya realism-romantik dengan objek pemandangan alam. Sebagai perbandingan, dapat dilihat perkembangan senirupa di Indonesia yang ketika berada dibawah kolonialisme Belanda memiliki tema dan gaya yang sama yang kemudian diklasifikasikan sebagai aliran Mooi Indie. Menurut Sudjojono, salah satu pelukis besar Indonesia, Mooi Indie atau Hindia Molek adalah lukisan yang serba bagus, dan romantic bagai di surga, serba enak, tenang, dan damai 82 . Lukisan Mooi Indie identik dengan gambar pemandangan alam Indonesia dengan kecenderungan gaya naturalis-romantis yang digemari para turis asing. Jenis lukisan ini marak di era antara Raden Saleh 1807-1880 dan Sudjojono 1913- 1985 83 . Dapat disimpulkan bahwa tema-tema lukisan yang diciptakan oleh pelukis di Timor Leste pada era ketika Cinatti bertugas sebagai guru seni di Timor Leste, pada tahun 1940an, adalah keindahan alam dan obyek-obyek lain yang digambarkan dengan gaya naturalis dan romantis. Dapat diasumsikan bahwa, tema Timor Bonita Tetum : Timor cantik ini dikembangkan dan digunakan pada masa-masa beberapa tahun sebelum tahun 1940 dan juga pada beberapa tahun sesudahnya. 81 Ibid 82 Stanislaus Yangni.2012. Dari Khaos ke Khaosmos :Estetika Seni Rupa.Yogyakarta:Erupsi Akademia Institut Seni Indonesia, 15. 83 Ibid 41 2.1.1.c. Seni Visual di Masa Integrasi : Keberadaannya Dalam Perjuangan Kemerdekaan Selanjutnya pada bagian ini salah satu poin yang dibahas mengenai selayang pandang seni rupa atau seni lukis di Timor Leste adalah tentang sebuah titik momentum sejarah Timor Leste yaitu keadaan di masa integrasi. Pada masa ini sebuah ciri yang berhubungan dengan usaha pembentukan wacana tentang nasionalisme Timor Leste datang dari proses identifikasi diri dengan menempatkannya pada posisi yang berlawanan dengan wacana integrasi. Dari sudut para pejuang kemerdekaan Timor Leste, Integrasi dilihat sebagai sebuah okupasi yang bersifat sipil dan militer. Masa Integrasi atau okupasi ini memiliki banyak gambaran dan sebagian besar adalah kesuraman yang terjadi di Timor Leste ketika itu. James Traub dalam tulisannya, Inventing East Timor, menggambarkan bahwa pergerakan perjuangan kemerdekaan mengalami tekanan yang brutal dari pemerintah integrasi. Traub mengatakan, “ An independence movement was brutally suppressed between 1975 and 1983, and the region was effectively sealed off from the outside world until 1989. During this period about 200,000 people died from violence, hunger, and disease out of a population of fewer than a million. ” 84 Tekanan yang datang dari pemerintah integrasi ini berujung pada jatuhnya korban jiwa dan situasi keamanan yang tidak stabil pada wilayah tersebut secara umum. Sumber data yang lain memberikan gambaran tentang pembantaian secara massal yang terjadi selama masa pendudukan. John G. Taylor dalam tulisannya 84 Traub,James Inventing East Timor. Foreign Affairs, Vol. 79, No. 4 Jul. - Aug., 2000, pp. 74- 89P. Council on Foreign Relations.2000. 42 memberikan gambaran tentang kekerasan militer yang terjadi dalam rentang waktu antara tahun 1978 sampai dengan tahun 1985. Taylor reports that on November 23, 1978, Indonesian troops shot five hundred people who surrendered to them the day after the fall of Mt. Matebian; soon afterward there was a similar massacre of three hundred in Taipo, and in two further incidents in the east in April –May 1979, Indonesian forces murdered 97 and 118 people. Also in the east, Indonesians massacred Joao Branco and forty others at the end of 1979.In a September 1981 massacre southeast of Dili, four hundred people died, mostly women and children. In August 1983, sixty men, women, and children were tied up and bulldozed to death at Malim Luro near the south coast. On August 21 –22, troops burned alive at least eighty people in the southern vil lage of Kraras, and then made a “clean-sweep” of the neighboring area, in which another five hundred died. O f East Timor‟s twenty- thousand-strong ethnic Chinese minority, survivors numbered only “a few thousand” by 1985. 85 Situasi di masa Integrasi yang digambarkan penuh dengan bentuk-bentuk tindakan kekerasan ini memberikan kesan yang tepat tentang keadaan umum yang terjadi di Timor Leste di saat itu. Tekanan yang dilakukan oleh pemerintah baik dari pihak sipil maupun militer terhadap para pejuang kemerdekaan membuat pergerakan tersebut mengembangkan rupa-rupa strategi dalam menjalankan usaha mereka. Salah satu bentuk perjuangan kemerdekaan Timor Leste adalah melalui gerakan bawah tanah atau gerakan clandestine front. Menurut data dari Ben Kiernan dalam tulisan Traub, gerakan perjuangan kemerdekaan yang oleh TNI disebut sebagai bagian dari gerakan GPK Gerakan Pengacau Keamanan memiliki jumlah yang cukup besar dan juga jaringan yang tersebar di dalam kota, “In 1997, Korem 164 intelligence estimated that the GPK “clandestine front” had about fifteen hundred members in the capital, and in 1999 they were estimated to have six thousand members throughout the territory. 86 ” 85 John G. Taylor.1999. East Timor: The Price of Freedom London: Pluto. 86 Ibid 43 Di dalam berbagai bentuk dan cara untuk berjuang yang antara lain dapat berupa perjuangan bersenjata, dan pergerakan bawah tanah, seni visual turut digunakan. Pada bidang ini, peran yang diambil oleh seni visual adalah dengan menjadi media penyalur aspirasi para pejuang kemerdekaan dan gerakan tersebut. Dalam foto-foto, atau rekaman kejadian demonstrasi baik di Timor Leste, pada masa penyatuan dengan Indonesia, maupun di kota-kota besar lain di Indonesia 87 terlihat bagaimana spanduk-spanduk yang dibentangkan pada kesempatan itu memuat gambar-gambar atau figur tertentu. Selain membentang gambar bendera CNRM, Fretelin, para pemuda yang sebagian beberapa di antaranya adalah mahasiswa tersebut juga membawa gambar sosok yang dianggap sebagai simbol perlawanan mereka, seperti Xanana Gusmao. Gambar 1. Mahasiwa Timor Leste dalam demonstrasi menuntut referendum dengan membawa gambar Xanana Gusmao.Foto diambil dari buku: Gunn, Geoffrey C. 2005,500 Tahun Timor Loro Sae, Sa’he Institute for Liberation, Dili. Dalam bukunya Peace of Wall: Street Art From East Timor, Chris Parkinson mengemukakan bahwa gambar - gambar pada tembok yang terdapat di kota Dili, merupakan sebuah bentuk pernyataan yang dapat berfungsi sebagai 87 Lihat http:amrtimor.orgamrtindex.php?lingua=pt. Situs resmi AMRT Arkivu e Muzeu da Rezisténsia Timorense . Portugis: Arsip dan Museum Resistensi Timor Leste diakses pada Desember 2013. 44 sejarah masa lalu dan ancang- ancang untuk masa depan, “ boldly proclaimed assertion toward political allegiance are offset with colors moulded into messages of development and of harmony. Ghost, graphic, and historical reveal the past and revel the present. 88 ” Sebagai bentuk karya yang terdapat di tempat umum atau terbuka, graffiti memiliki potensi besar. Bila dilihat dari posisinya sebagai sebuah seni, bentuk visual tersebut mempunyai daya yang dapat melewati batas-batas yang bersifat emosi dan fisik, seperti yang dikemukakan Parkinson bahwa, “The street art is the powerful annunciation of emotion in what common place exist for population restricted by physical emotional borders. It is the media of the marginalized and its message restructure the past, the mundance and the forgotten and the present . 89 ” Di dalam buku yang oleh penulisnya disebut sebagai sebuah documenta tion of photographing East Timor’s Grafitti 90 , tema besar yang diangkat adalah tentang kumpulan grafitti yang ada di Timor Leste pasca masa krisis di tahun 2000an. Di dalam buku itu juga terdapat bagian yang membahas tentang sebuah proses rekonsiliasi dengan menggunakan seni visual khususnya grafitti pada ruang publik, yang dalam hal ini adalah penjara- penjara di kota Dili seperti penjara Balide atau Comarca Balide Prison dan penjara Becora. Menurut Parkinson, penjara Balide adalah sebuah tempat dengan nilai sejarah yang cukup penting sehubungan dengan era integrasi. Di masa okupasi atau integrasi, penjara Balide menjadi tempat di mana ribuan pejuang kemerdekaan dan rakyat sipil 88 Parkinson, Chris. 2009.Peace of Wall: Street Art From East Timor. 89 Ibid 90 Ibid 45 Timor Leste mengalami penyiksaan, kelaparan, interogasi yang brutal, dan eksekusi 91 . Tembok-tembok penjara yang merupakan penghalang kebebasan akhirnya menjadi media yang digunakan untuk menyalurkan ekspresi para tahanan. Kini bentuk-bentuk ekspresi itu menjadi sebuah relics yang mengandung nilai sejarah. Bentuk rekonsiliasi yang dilakukan adalah dengan menggunakan tempat tersebut sebagai markas nasional East Timor’s Comission for Reception, Truth,and Reconciliation Commissao de Acolhimento,Verdade e Reconciliacao de Timor Leste atau CAVR. Selanjutnya beberapa grafitti dipertahankan keberadaannya dalam proses pemugaran gedung tersebut 92 . Bentuk-bentuk grafitti itu berupa kata-kata curahan hati atau kutipan puisi yang menunjukkan semangat anti kolonialisme Gambar 2. Gambar 2. Graffiti di penjara Balide, gambar yang terletak di tengah merupakan kutipan puisi dalam bahasa portugis karangan penyair Francisco Borja da Costaseorang anggota Fretelin, yang berbunyi,“ Kau siksa tubuhku dengan rantai imperialsmeimu” Judul puisi “ The Trail of Your Journey ”.Foto dan keterangan diambil dari buku:Parkinson, C.Peace of Wall : Street Art from East Timor,Dili. Di dalam tulisan yang dibuat oleh Silva dan Barkmann juga terdapat bagian yang membahas tentang seni visual berbentuk Graffiti. Pembahasan 91 Ibid 92 Ibid 46 tersebut menjelaskan tentang graffiti yang terdapat di penjara Becora, “Graffiti was also engraved in Comarca Balide Prison from 1975 until 1999-declaration remaining as testimony to the personal endurance and aspiration held by political prisoners under torturous condition 93 ” . Silva dan Barkmann menambahkan bahwa ekspresi artistik pada pengalaman yang menyakitkan ini, dipadukan dengan seni kuno Timor di gua batu merupakan pembuka jalan utama untuk gerakan seni kontemporer Timor Leste pasca kemerdekaan 94 . Silva dan Barkmann menekankan pentingnya dua titik historis tersebut sebagai peletak dasar seni kontemporer Timor Leste pasca kemerdekaan dan sebagai sumber pengolahan daya kreatifitas seni bagi para pelaku seninya. 2.1.1.d. Tais : Warna dalam Sebuah Kebudayaan Visual Kebudayaan tenun ikat merupakan salah satu kebudayaan yang dari masyarakat Timor Leste yang juga dimiliki oleh daerah - daerah di gugusan kepulauan yang ada di Nusa Tenggara Timur seperti Flores, Sabu, Rote, Sumba, Alor, dan beberapa pulau lain di sekitarnya. Di Timor Leste hasil dari kebudayaan tenun ikat ini dikenal dengan nama Tais. Secara umum, Tais adalah kain tenunan yang diproduksi oleh kaum perempuan di Timor Leste dan juga di kawasan lain di gugusan pulau Nusa Tenggara Timur, dan memiliki peran penting dalam kegiatan adat. Untuk membahas tentang kegunaan Tais, pada bagian ini kita akan melihat kegunaan-kegunaan tenun ikat yang lebih luas dan umum, yaitu kegunaannya pada wilayah Nusa Tenggara Timur yang mencakup juga seluruh 93 Silva, Abilio d.C. dan Barkmann, 2008. 94 Ibid 47 pulau Timor Timor – Indonesia dan Timor Leste . Kegunaan tenun ikat di wilayah tersebut adalah sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutupi tubuh, sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada pestaupacara adat, sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam proses perkawinan mas kawin,sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian, sebagai denda adat untuk mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu, alat tukar, sebagai simbol prestise dalam strata sosial masyarakat, sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak desain tertentu akan melindungi mereka dari gangguan alam, bencana, roh jahat, sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang natoni 95 . Dalam tesisnya, Weaving the Country Together: Identitied and Traditions in East Timor , Natalie Pride membahas tentang bias dan ketakseimbangan yang ditemui dalam pendekatan pada sejarah Timor Leste lewat medium tekstil, tesis ini mencoba memberikan perspektif alternatif yang dapat dipakai untuk membahas wacana sejarah Timor Leste 96 . Dalam Tesis tersebut Pride membahas hal-hal seperti sejarah Tais dan hubungannya dengan budaya identitas masyarakat Timor Leste. Pride membahas bentuk-bentuk ritual tradis ional seperti “perburuan kepala” head hunting, sehubungan dengan Tais dengan warna dan pola yang dipakai untuk ritual-ritual tersebut. 97 95 Lihat ,situs Pemda NTT, http:nttprov.go.idsiteindex.php2013-07-22-06-19-20pesona- budaya115-tenun-ikat diakses pada Desember 2013. 96 Lihat Pride, Natalie. Weaving the Countru Together: Identitied and Traditions in East Timor Thesis. University of New South Wales. 2002. http:www.eastimorlawjournal.orgOTHERWRITINGSintroduction_identitiesandtraditionsine asttimor_natali_pride2002.html . Diakses pada Desember 2013 97 Ibid. 48 Tentang warna, Pride mengutip beberapa penelitian sebelumnya yang membahas warna yang dipakai dalam Tais, yaitu penelitian dari sejarawan Schulte Nordholt, yang menulis bahwa proposes : “Every political community or important more or less independent sub- section of a community has its own pattern…often alternately red and indigo.” 98 Merah dan indigo merupakan salah satu warna yang paling sering digunakan karena salah satu faktor pendukungnya adalah sumber- sumber alami, dan penguasaan teknik untuk menciptakan warna tersebut. Dilihat dari bentuknya, produk tenunan di Nusa Tenggara Timur terdiri dari tiga jenis yaitu : sarung, selimut dan selendang dengan warna dasar tenunan pada umumnya warna-warna dasar gelap, seperti warna hitam, coklat, merah hati dan biru tua. Hal ini disebabkan karena masyarakat pengrajin dahulu selalu memakai zat warna nabati seperti tauk, mengkudu, kunyit dan tanaman lainnya dalam proses pewarnaan benang, dan warna-warna motif dominan warna putih, kuning langsat, merah marun. 99 Sedangkan dilihat dari tempatnya, khususnya untuk yang berlokasi di Timor Leste, maka jenis-jenis warnanya adalah sebagai berikut. Pada tiga belas distrik yang ada di Timor Leste, masing-masing memiliki warna Tais yang berbeda-beda, di daerah enclave,Oecussi pengaruh Portugis pada Tais terlihat cukup kuat dengan adanya dominasi figur tanaman dan simbol religius dengan pemakaian waran hitam, oranye, dan kuning. Di daerah Ibukota, Dili warna-warna cerah dan pola garis yang penuh mendominasi warna-warna Tais, khususnya yang dijual di Pasar Tais. Di distrik Ermera warna hitam dan putih paling banyak 98 Ibid. 20 99 Lihat ,situs Pemda NTT, http:nttprov.go.idsiteindex.php2013-07-22-06-19-20pesona- budaya115-tenun-ikat diakses pada Desember 2013. 49 dipakai karena mencerminkan kebangsawanan dan sekaligus seabagai tanda banyaknya pemimpin tradisional yang tinggal di daerah itu. 100

2.2. Kisah Arte Moris

Pada bagian ini, pembahasan akan difokuskan pada sejarah Arte Moris sebagai sebuah sekolah fine art di Timor Leste dan perkembangan keadaannya sampai di saat penelitian ini dilakukan. Kisah historis tersebut akan meliputi tahap-tahap awal di mana ditemukan adanya pribadi - pribadi yang memiliki peranan dalam pendirian sekolah tersebut. Pada bagian selanjutnya akan diteruskan dengan pemaparan tentang para seniman yang hidup di dalam Arte Moris sebagai sebuah komunitas, serta sistem kebersamaan yang dibangun di dalamnya. Karya para seniman berupa lukisan, dan karya lain-lainnya serta gambaran keterlibatan Arte Moris dalam bidang aktivisme seni rupa di Timor Leste akan menjadi bagian akhir dalam pembahasan ini.

2.2.1. Yahya Lambert : Indonesian Connection

Arte Moris : East Timor’s non-for-profit Free Art School Cultural Center , adalah nama yang tercetak pada bagian atas kartu nama para seniman di Arte Moris. Jenis huruf yang digunakan untuk menulis nama Arte Moris pada kartu nama tersebut Gambar., sekaigus menjadi logo dari sekolah, organisasi, dan komunitas ini, yang juga terdapat pada tempat-tempat seperti papan nama di 100 Sacchetti, Maria José. Tais: The Textiles of Timor-Leste . Timor-Leste Government Tourism Office. 2005. Retrieved on 7 February 2008. 50 depan gedung sekolah, situs resmi, dan juga produk-produk yang dihasilkan seperti baju kaos, kartu pos dan hasil kerjainan lainnya. Gambar 3. Kartu nama para seniman di Arte Moris.Kartu nama pada gambar adalah milik Eugenio Pereira atau Zeny, yang berposisi sebagai Visitor Resepeionist di dalam manajemen Arte Moris. Foto: dok. Penulis, 2012. Arte Moris merupakan salah satu dari beberapa komunitas yang bergerak di bidang seni-kebudayaan yang hadir di masa ketika Timor Leste baru meraih kemerdekaannya. Masa awal kemerdekaan atau masa restorasi ini disambut oleh kaum muda, yang berdasarkan sejarah turut berada di garis depan perjuangan kemerdekaan, dengan berbagai bentuk pengungkapan ekspresi kebebasan. Sebuah ekspresi keterlepasaan dari masa-masa kelam dan mencekam, dari masa-masa krisis dan konflik. Kunjungan pertama penulis ke Arte Moris dilakukan pada tanggal 11 januari 2012. Lembaga tersebut terletak di Comoro, daerah di bagian barat kota Dili, yang merupakan ibu kota negara Timor Leste. Gedung yang dipakai oleh sekolah tersebut adalah sebuah gedung peninggalan dari masa integrasi. Gedung tersebut dahulunya adalah Museum Nasional Propinsi Timor-Timur. Sejak digunakan dari tahun 2003, gedung tersebut berfungsi sebagai kantor, sekolah, tempat pusat kegiatan Arte Moris dan juga sebagai asrama bagi para seniman senior. Para pelukis, pematung, musisi dengan predikat senior, sebagian besar adalah siswa angkatan awal dari lembaga tersebut, tinggal dalam ruang-ruang 51 yang dengan daya kreatif mereka diciptakan menjadi kamar, tempat mereka tinggal. Para seniman senior ini menjadi pengajar sekaligus pengurus harian kegiatan organisasi di komunitas tersebut. Secara etimologi, nama Arte Moris berasal dari gabungan bahasa Tetum dan bahasa Portugis yang berarti “Seni yang hidup”, Living Art Arte. Portugis : seni , Moris. Tetum : hidup . Arte Moris didirikan pada Februari 2003 oleh seorang seniman yang berkewarganegaraan Swiss; Luca Gansser,dan istrinya Gabriela Gansser, atau Gaby, yang adalah seorang kordinator seni antar budaya. 101 Proses pembentukan ini dimulai dengan bergabungnya sekelompok pemuda Timot Leste, di bawah kordinasi Luca dan Gaby, yang berbakat di bidang seni rupa. Kelompok ini adalah pertama pada sekolah seni tersebut. “They Luca and Gabriela Gansser fostered with a dedicated group of approximately fifteen senior artists who, in association with visiting Australian, German, Italian, and Swiss artists, teach junior students . 102 ”. Sebelum kedatangan Luca dan Gabriela Gansser, pemuda-pemuda di Timor Leste yang tertarik pada seni rupa telah menyalurkan hasrat seni mereka dengan membentuk kelompok-kelompok yang melaksanakan kegiatan berkarya. Yahya Lambert, seorang seniman berdarah Maluku, adalah tokoh yang beberapa kali menjadi acuan dalam cerita perkembangan seni rupa di Timor Leste pada pertengahan tahun 1990an 103 . Sebuah laporan jurnalistik berbahasa Inggris dari Inter Press Service , yang ditulis oleh Matt Crook mengemukakan catatan biografis yang cukup lengkap tentang Yahya Lambert dan kisahnya dalam 101 Ibid 102 Ibid 103 Kisah tentang Yahya sebagian besar diambil dari laporan jurnalistik ini. Crook, M.2009. Inter Press Service-Noticias Financieras Groupo de Diarios America. 52 berkegiatan seni. 104 Saat wawancara dalam artikel itu dilakukan, April 2009 di Timor Leste, Yahya telah menghabiskan dua puluh delapan tahun di Timor Leste dan usianya di saat itu adalah tiga puluh tujuh tahun. 105 Alasan dari Yahya berada di Timor Leste adalah impiannya,” My life is first for the art and for my dream of the academy. Once I set up the academy, then I will go back to Indonesia 106 ”. Inti kegiatan seni yang dilakukan Yahya adalah dengan mendirikan kelompok seni yang disebutnya dengan nama Sanggar, In all of East Timor I have 346 students. I have four Sanggars active here. I set up the Sanggars because with art you can move your character. 107 Sanggar –sanggar ini bergerak sejak pertengahan tahun 1990an. Di Kabupaten atau distrito Manatuto, pada tahun 1996 Ia mendirikan Sanggar Matan Tetum : es yang berfokus pada karya seni tanah liat. Di Becora, Dili, Ia mendirikan Sanggar Cultura Portugis: Budaya yang berkarya dengan batik, sedangkan di distrito Oecussi terdapat Sanggar Cusin Tetum: Porselen, yang berkonsentrasi pada kegiatan melukis dengan cat minyak. Di antara semua sanggar itu, yang menjadi pusat dari semua sanggar-sanggar yang tersebar di seluruh distrik adalah Sanggar Masin Tetum : garam, yang berlokasi di Dili. Dalam kegiatan keseniannya, Yahya dan Sanggar Masin tercatat sebagai salah satu seniman yang mencoba bentuk kreatifitas yang baru di Timor Leste 108 . Yahya melakukan eksplorasi-eksplorasi baru dalam wacana penciptaan seni di 104 Ibid 105 Ibid 106 Ibid 107 Ibid 108 Ibid 53 Timor Leste melalui bentuk karyanya yang menggunakan kain tenun ikat tradisional Timor, tais, sebagai media pengganti kanvas. “Artist Yahya Lambert recalls one of his earliest experiments of painting on tais was displayed at the Becora Culture Centre in Dili in 1996. This innovation achieved recognition within the wider Indonesian educational jurisdiction at the time as an alternative and distincly East Timorese medium of art. 109 ” Bentuk eksplorasi yang dilakukan Yahya ini, menurut Silva dan Barkmann, selain menarik perhatian pemerintah Integrasi khususnya bagian kebudayaan dan pendidikan pada waktu itu, juga merupakan sebuah bentuk perubahan yang membebaskan para seniman muda Timor Leste dari gaya dan isi karya yang konservatif, ”The development of contemporary arts in this period signalled a break by young artists with the tradisional, conservative styles and content 110 .” Yahya Lambert melakukan banyak kegiatan dan proyek seni dengan kelompok-kelompok lembaga swadaya masyarakat dan aktif bekerja sebagai pengajar fotografi dan desain grafis pada sanggarnya 111 . Hasil karya seni dari kegiatan ini dijual dengan maksud untuk mengumpulkan dana bagi rencananya untuk mengirimkan para siswanya belajar ke Indonesia. Indonesia menjadi pilihan, karena alasan finansial dan kemudahan dalam hal berkomunikasi,” People in East Timor can speak Indonesian, and in Indonesia its cheaper for the school. Id like to send them to Australia or another place, but I dont have the money. We dont have support from the government. The support comes from the 109 Silva, Abilio d. C. dan Barkmann.2009,1. 110 Crook,M.2009. 111 Ibid 54 students in here -- we work together, 112 Yahya, di tahun 2009 itu, telah mengirimkan 12 anggota sanggarnya ke Yogyakarta, untuk belajar di Institut Seni Indonesia, dan dia sedang mengusahakan untuk mengirimkan 7 anggota sanggarnya lagi 113 . Gambar 4. Sebuah karya fotografi dari Yahya Lambert. Foto : dok. Penulis, 2012. Impian utama dari Yahya adalah sebuah akademi seni yang tidak terikat pada pemerintah. Ia mengharapkan adanya suatu bentuk akademi seni yang bebas sehingga kerjasama dalam bidang ini, terutama dengan negara-negara lain, tidak akan menemui kesulitan dan masalah birokrasi, “I think art should be free and independent and then the other countries can come and work with us. 114 Harapan ini menemui kendala, pemerintah Integrasi pada waktu itu, tahun 1998, menolak untuk memberikan dukungan bagi Yahya dan sangar-sanggarnya. I tried in 1998 to go to the government and talk. They told me they had no plans to support my students with money. The government said no because their priority is not art. 115 112 Ibid 113 Ibid 114 Ibid 115 Ibid 55 Yahya Lambert merupakan seorang seniman yang dikenal dalam perkembangan dunia komunitas senirupa di Timor Leste, terutama pada masa pertengahan tahun 1990an. Beberapa seniman senior di Arte Moris pernah berproses atau melewati masa-masa berkarya bersamanya. Jose de Jesus Amaral atau Tony, seorang pelukis dan pengukir senior di Arte Moris, menuturkan bahwa di tahun 2001 dirinya dengan bergabung kelompok pemuda seniman yang dibetuk oleh Yahya. Menurut Tony, Yahya memiliki hubungan dengan seniman Indonesia dari kelompok Taring Padi yang berpusat di Yogyakarta. 116 Beberapa kali, seniman-seniman Taring Padi berkunjung ke Dili.Tony dan beberapa seniman yang tergabung dalam kelompok Yahya tersebut, merasa terinspirasi dengan jalan seni yang dianut Taring Padi. Selanjutnya, Tony dan beberapa seniman dalam kelompok itu bertemu dengan Luca Gansser yang sedang mulai membangun Arte Moris dan bergabung dengan kelompok tersebut. Sama halnya dengan Tony, Avelino Cancio Silva atau Abe salah satu pelukis senior di Arte Moris pernah bergabung dengan Yahya Lambert. Di tahun 2002, Abe dan sekitar 20 orang pemuda bergabung dengan kelompok yang dibentuk Yahya 117 . Salah satu bentuk kegiatan kelompok ini adalah berkeliling, berjalan-jalan di seputar kota untuk menggambar. Sampai pada suatu masa Yahya membawa kelompok ini untuk bertemu Luca dan Gaby dalam rangka kerja sama atau kolaborasi dalam kegiatan seni. Abe menceritakan bahwa kerjasama antara kelompok Yahya dan Luca ini berujung pada perbedaan pendapat, sehingga terjadi perpecahan. Beberapa seniman termasuk Abe memilih untuk bergabung 116 Wawancara penulis dengan Tony.Dili,13Januari 2012. 117 Wawancara penulis dengan Abe. Dili, 12 Januari 2012. 56 dengan Luca di Arte Moris, sedangkan yang lain memilih untuk bergabung dengan Yahya. Beberapa sanggar yang didirikan oleh Yahya masih berdiri sampai saat terakhir kali penulis mengunjungi Timor Leste. Sebagian besar seniman di Arte Moris pernah bergabung dengan salah satu dari sanggar-sanggar tersebut. Eugenio Pereira atau Zeny, menuturkan bahwa sanggar-sanggar tersebut masih aktif mengadakan kegiatan yang kesenian. 118 Menurut Douglas Kammen, seorang peneliti yang banyak melakukan kajian tentang Timor Leste, dan juga memiliki sebuah lukisan karya Yahya lambert, Yahya telah meninggalkan Timor Leste dan menetap di Indonesia dan masih aktif melakukan kegiatan kesenian. 119

2.2.2. Luca dan Gabriela Gansser : Seni Sebagai Terapi

Luca Gansser adalah seorang pelukis berkebangsaan Swiss yang belajar melukis secara self-taught. Ia lahir Bogota, Kolombia pada 27 Agustus 1945. Sebelum menjadi penduduk Lugana, Swiss, pada tahun 1982, Luca menghabiskan masa hidupnya di Meksiko dan Italia. Di Lugana Ia bekerja sebagai pelukis dan film set designer . 120 Menurut keterangan dalam salah satu katalog pameran tunggalnya, Luca disebut sebagai, “ modern nomad and his painting are reservoir of his global exploration ” 121 Dalam sebagian besar masa hidupnya Luca telah berkeliling dunia dan memiliki pengalaman berkarya dengan seniman-seniman lokal di negara-negara seperti Rusia, Afrika Selatan, dan Australia. Perjalanannya ini membuka wawasan 118 Wawancara penulis dengan Zeny.Dili,13Januari 2012. 119 Diskusi penulis dengan Douglas Kammen.Singapura,Mei 2012. 120 Informasi biografis tentang Luca Gansser bersumber dari Katalog Pameran; Luca Gansser: Angkor Mio and Works in Kuk-Kuk 9697 , Carpe Diem Galleries, Bangkok.1997. 121 Ibid 57 Luca, dan sebagian besar karyanya terinspirasi dari masyarakat lokal dan tradisional yang dikunjunginya. 122 Setelah mengadakan pameran di berbagai tempat, ”from mexico to Zurich, from Mapotu to Moscow” 123 , pada tahun 1997 Luca berkesempatan untuk pertama kalinya mengadakan pameran di Asia Tenggara yaitu di Bangkok, di mana Ia menampilkan karya berupa lukisan dan patung yang bertemakan konflik di Angkor Wat. 124 Kedua pasangan suami istri, Luca dan Gabriela Gansser tiba di Timor Leste pada tahun 2002. 125 Kedatangan mereka ke Timor Leste berdasarkan ketertarikan untuk melihat negara muda yang baru lahir pada waktu itu. Setelah melakukan perjalanan mengunjungi seluruh bagian dari negara itu selama satu bulan, mereka menemukan kenyataan bahwa pemuda di negara itu sebagian besar adalah pengangguran dan menemukan adanya tanda-tanda bakat di bidang seni visual melalui graffiti-graffiti yang ada. Kedua pasangan itu kemudian mencoba meneruskan niat mereka untuk membantu mengatasi keadaan itu. “after all this suffer, we think its important for this young people to express themselves, because it is also not the culture, really, to talk about it a lot. But if you can paint or illustrate them...So we decide to contact or find young people and to interest them to join a kind of art community. 126 ” Pada video wawancara dengan jurnalis dari www. Jockcheetham.com, di tahun 2005, Luca Gansser menyebutkan bahwa setelah Ia membentuk komunitas Arte Moris, dengan memulainya dari nol, dan biaya yang diiusahakannya sendiri akhirnya datang bantuan dari pemerintah Timor Leste berupa pemberian 122 Ibid 123 Ibid 124 Ibid 125 Video wawancara dengan Gabriela Gansser di www.SupremeMaster TV.com.2009. 126 Ibid 58 bangunan untuk keperluan sekolah, kantor, dan tempat tinggal, yaitu gedung bekas Museum Propinsi Timor- Timur, di Comoro.” But its already almost three years we are together. I was started up in a small rented house then slowly I moved. And finally we recieve from the gouvernment, this building, because in the begining I funded with my own money. 127 ” Gambar 5.a. Luca Gansser sebelah kiri,berkaca matadalam workshop self-potrait di Arte Moris tahun 2009. Foto: Diambil dari video ”Arte Moris Presentation”. dok. Arte Moris, 2009. Gambar 5.b. Gabriella dan Luca Gansser. Foto: dok. Arte Moris, 2013. Apa yang dilakukan Luca menjadi perhatian bagi tokoh-tokoh di pemerintahan Timor Leste. Jose Ramos Horta, yang saat itu menjabat sebagai presiden Timor Leste bersedia unuk diangkat oleh Arte Moris sebagai Honorary 127 Video wawancara Luca Gansser di www.jockcheetham.com.Dili, Juli 2005. 59 Patron. Mengenai Arte Moris, Jose Ramos Horta berpendapat bahwa dirinya punya harapan bahwa suatu saat Arte Moris dapat menjadi sebuah akdemi seni yang formal.” It Arte Moris is started by Mr. Luca and his wife Gabbie, building up from zero an outstanding art school that engages hundreds of young East Timorese ... I would hope or my dream that Arte Moris turns into, become, a formal fine art school that is recognized and supported by the gouvernment 128 .” Dasar dari pembentukan Arte Moris sebagai fine art school, cultural center, and artists’ association 129 , adalah pemahaman para pendirinya terhadap konflik di masa lalu yang baru saja dilewati oleh masyarakat Timor Leste. Ingatan akan masa lalu ini dilihat sebagai memori kolektif yang telah memberikan penderitaan mental bagi masyarakat Timor Leste, lebih khususnya para pemudanya. Luca Gansser menyebutkan bahwa semua siswanya di Arte Moris memiliki pengalaman konflik yang traumatik ini, “all of the students were, and some are still traumatized by the Indonesian brutality. But through art, art is a therapy which can heal this problem. 130 ”. Luca percaya bahwa masalah trauma yang dihadapi oleh para pemuda ini bisa diselesaikan dengan menggunakan seni sebagai terapi. Menurut Luca, seni dapat menjadi media yang memberikan kesempatan untuk berekspresi dan mengembangkan harga diri, suatu hal yang menurutnya menjadi kekurangan dasar pada masyarakat Timor. “Because you gave the means to be able to express themselves and to develope self-esteem which is the biggest lacking thing of Timorese. 131 ” 128 Video wawancara Jose Ramos Horta di www.SupremeMaster TV.com.2009. 129 Situs resmi Arte Moris:Http:www.artemoris.tpindex.html 130 Video wawancara Luca Gansser di www.jockheetham.com.Dili,Juli 2005. 131 Ibid 60 Arte Moris, di masa-masa awal berdirinya, telah melalui masa di mana banyak karya dengan tema ingatan kelam, atau dark memory dihasilkan. Gabriela Gansser menyatakan bahwa, “at the beginning they had many pictures that were very grim and dark, that had a lot to do with rape; many were full of violence, because in every East Timorese family there are victims of those times 132 .” Pada kunjungan penulis di awal tahun 2012, jumlah lukisan dengan tema tersebut sudah sangat minim. Keterangan dari pihak Arte Moris menyebutkan bahwa lukisan- lukisan tersebut telah terjual, atau dipindahkan dari ruang Collection, yang menjadi semacam galeri untuk umum. Sebagian dari lukisan bertema ingatan kelam itu masih dapat dilihat dalam dokumentasi video yang menunjukkan keadaan Arte Moris di masa-masa awal. 133

2.2.3. Artistas :Para Seniman di Gedung Bekas Museum

Kesan yang paling dirasakan, oleh penulis, saat mengunjungi Arte Moris adalah suasanaannya yang sangat kontemplatif. Para seniman di dalam komunitas ini bekerja, entah di dalam kamar masing-masing yang merangkap studio, atau di pekarangan sekitar gedung utama, dalam suasana yang hening dan seolah terbawa dalam ritme dari kegiatan yang sedang dikerjakan. Pada saat kunjungan dilakukan,di bulan Januari 2012, sekolah sedang libur, dan para seniman sedang mengurus persiapan untuk acara ulang tahun sekolah yang akan jatuh pada bulan februari. Beberapa batang kayu ditebang dari pohon-pohon yang ada di pekarangan sekitar, dan dipotong serta dicat berbentuk pensil dengan ukuran 132 Hein,2009. von Hein, M. “Timorese Artists Seek Reconciliation.” dw.de. diakses 21 Jun. 2012http:www.dw.dedwarticle0,,4610291,00.html. 133 Video wawancara Luca Gansser di www.jockheetham.com.Dili,Juli 2005. 61 tinggi lebih dari satu meter, dan berdiameter antara 20 sampai 30 centi meter. Sebuah mobil bermerek TATA, buatan India dihias dengan grafiti dengan teknik pengecatan airbrushing. 2.2.3.a. Residence Artists Dalam penelitian ini, penulis mewawancarai beberapa pelukis yang tinggal di Arte Moris. Pada Januari 2012, terdapat kira-kira lebih dari 21 orang seniman yang tinggal di sekolah tersebut 134 . Mereka yang tinggal di asrama ini menempati berbagai ruang yang tersebar di tiga gedung utama yang ada di pekarangan tersebut. Para seniman yang tinggal di Arte Moris terdiri dari dua kelompok besar yaitu para seniman residen dan seniman senior. Tugas utama dari seniman residen adalah menjadi tenaga pengajar dan menduduki posisi-posisi atas dalam susunan manajerial di Arte Moris. Sedangkan para senior bertugas sebagai asisten bagi kelompok residen. 135 Di bagian ini, penulis akan memberikan gambaran tentang para pelukis residen di Arte Moris, mereka antara lain; Jose de Jesus Amaral atau Tony 29, Avelino Cancio Silva atau Abe 31, dan Moises Daibela Pereira atau Pelle 26. Usia para seniman di Arte Moris secara umum, dari penampilan fisik dapat dikatakan rata-rata berada di atas 25 tahun. Jose de Jesus Amaral atau Tony 29 mulai berkegiatan kesenian saat Ia dengan aktif mengikuti kegiatan seni jalanan atau street art yang dilakukannya bersama beberapa teman yang memiliki ketertarikan yang sama. Bentuk kegiatan 134 Data pengajar aktif di Arte Moris. 21 orang guru yang mengajari mata pelajaran seperti :Sketches, Instalasi, Foto, Filme, CollageMultimedia, Pintura, Eskultura, Papier Mache, Mangrove, Handicraft, Performance Pinta, Graffiti, Etching. Sumber data: dok. Arte Moris,2012. 135 Ibid 62 mereka adalah membuat grafiti di jalan-jalan di kota Dili 136 . Dalam rentang waktu tahun 2001-2002, Tony bertemu dengan seorang seniman yang dianggap sebagai guru baginya, Tony memakai istilah mestre tetum: guru, seniman itu adalah Yahya Lambert. 137 Bersama kelompok Yahya, Tony mendapatkan banyak pelajaran seni rupa, yang sebagian besar adalah tentang seni grafiti. Proses yang dilewati dengan Yahya membawa Tony untuk mengenali kelompok seniman Taring Padi dari Indonesia. Tony terinspirasi dengan cara-cara aktifis Taring Padi membawa isu sosial-politik dalam karya-karya mereka. Kelompok seniman ini kemudian bertemu dengan Luca Gansser yang sedang pada masa-masa awal membangun Arte Moris. Tony dan beberapa seniman kemudian memilih untuk bergabung dengan Arte Moris. 138 Pada tahun 2008, Tony mendapat beasiswa untuk tingkat Bachelor di The National Art School, di Sydney Australia. Tahun 2010, Ia kembali ke Arte Moris dan mendapatkan posisi sebagai salah satu pengajar senior. Dalam berkarya, Ia banyak menggunakan tema-tema budaya, khususnya budaya tradisional Timor Leste dan memiliki minat utama pada aliran surealisme. Tema kehidupan masyarakat sehari-hari di Timor Leste menjadi hal utama dalam karya-karyanya di rentang waktu tahun 2001 sampai 2004. Dua hal menjadi fokus Tony, kebudayaan Timor, dan kekerasan dalam yang melibatkan pemuda hau nia arte halai ba kultura ho violensia. Tetum : seni saya merujuk pada kebudayaan dan kekerasan. 139 136 Wawancara penulis dengan Tony. Dili, 2012. 137 Ibid 138 Ibid 139 Ibid 63 Gambar 6. Tony, Avo Illiomar,2010. Cat minyak pada kanvas. Foto : dok. Penulis 2012. Salah satu karya Tony yang berbicara tentang kebudayaan dan kekerasan adalah lukisannya yang berjudul “Avo Illiomar” Tetum: Nenek Illiomar Illiomar:nama daerah di Timor Leste Gambar 6. Dalam Lukisan ini, Tony menggambarkan seorang perempuan berusia tua, yang mengenakan tais, kain tradisional Timor, dan perhiasan tradisional, kabauk ,di kepalanya. Lukisan ini dibuat berdasarkan kisah pribadi pelukisanya. Avo Illiomar adalah nenek dari salah seorang sahabat Tony, yang selalu memberikan tais tenun ikat Timor untuk keperluan karya-karyanya. Lukisan ini adalah bentuk ucapan terimakasih Tony kepada avo Illiomar. Menurut Tony, lukisan ini mengandung makna sifat kelembutan dari kebudayaan Timor. Kelembutan ini dipakainya untuk menjawab pendapat umum tentang masyarakat Timor yang ulun toos Tetum:kepala batu dan suka kekerasan. 140 Avelino Cancio Silva atau Abe 31 adalah seorang pelukis senior di Arte Moris yang berasal dari Ossu, Viqueque. Sebelum bergabung dengan Arte Moris, Abe merupakan mahasiswa di UNTL Universitas Nasional Timor Leste. 141 Perkuliahan ini hanya ditempuh selama empat semester, kemudian 140 Ibid 141 Wawancara penulis dengan Abe. Dili, Januari 2012. 64 ditinggalkannya, setelah Ia menemukan bahwa jalan hidupnya ada pada seni lukis, atau yang disebutnya dengan dalan arte nian jalan seni. 142 Di tahun 2002, Abe mulai mengikuti jalan seninya. Ia bergabung dengan kelompok seniman yang dibentuk oleh Yahya Lambert dan mendapat pengalaman serta pendidikan di bidang seni. 143 Ssama seperti Tony,pada kemudian hari, Abe juga termasuk dalam kelompok yang memilih untuk bergabung dengan Luca dan Arte Morisnya. Sebagai seorang pelukis senior di Arte Moris, Abe berpendapat bahwa gaya lukisannya masih berada pada level belajar. Ia menuturkan bahwa surealisme adalah aliran lukisan yang diminatinya 144 . Tema alam dan politik merupakan sumber inspirasi utamanya. Sebagian besar karyanya dapat dirangkum dalam tiga tema besar ; manusia, alam, dan kebudayaan. 145 Lukisan Study Potrait Gambar 7, adalah hasil karya Abe yang merupakan sebuah refleksi yang cukup jelas dari jalan seni yang dipilihnya. 146 Lukisan itu merupakan sebuah bentuk gambaran dari tingkatan pencapaian dirinya yang oleh Abe sendiri dinilai masih berada pada posisi belajar. Sesuai dengan tema-tema yang menjadi perhatiannya. Lukisan ini mengandung dua tema yang selalu menjadi bahan inspirasi Abe dalam berkarya, yaitu manusia dan budaya. 147 Pada lukisan tersebut, Abe menunjukkan kemauannya untuk belajar berekspresi dengan aliran realisme. Lukisan itu menggambarkan figur seorang lelaki tua, kemungkinan besar adalah seorang lelaki Timor yang mengenakan pakaian barat, kemeja putih, dengan aksesoris tradisional seperti ikat kepala dari 142 Ibid 143 Ibid 144 Ibid 145 Ibid 146 Ibid 147 Ibid 65 kain batik, dan Ia digambarkan sedang memegang sebuah pedang portugis Gambar 7. Gambar 7. Abe, Study Portrait.2003 Cat minyak pada kanvas.Foto :dok. Penulis 2012 Sebagai seorang pelukis di komunitas Arte Moris, Moses Daibela Pereira atau Pelle 26, dikenal dengan gaya lukisannya yang menunjukkan tingkat kedetailan yang kuat dengan menggunakan bentuk-bentuk garis yang tipis. 148 Pelle juga cukup banyak berkarya dengan menggunakan tais. Metode menggunakan tais ini telah dilakukan oleh seniman-seniman Timor Leste sejak pertengahan 1990an. 149 Selain melukis dengan media tais, para pelukisi juga melakukan percobaan pada media alternatif, seperti menggunakan batang pohon bakau. 150 Pelle bergabung dengan Arte Moris pada tahun 2004. Kesukaannya pada seni lukis sudah mulai dirasakannya sejak usianya masih kecil. Perkenalan dengan seni ini dimulai dengan keinginannya untuk belajar menggunakan media-media 148 Pengamatan penulis pada lukisan-lukisan karya Pelle.Dili,januari 2012. 149 Wawancara penulis dengan Pelle.Dili,12 Januari 2012. 150 Ibid 66 untuk berkarya dari yang paling sederhana hingga yang membutuhkan kemampuan khusus 151 . Sebelum menjadi anggota di Arte Moris, Pelle sama sekali tidak memiliki pengalaman apa-apa dalam menggunakan alat melukis seperti kuas, dan Ia pun tidak memiliki pengalaman bergabung dengan kelompok seni lain selain Arte Moris. Semua kemampuan melukis dengan menggunakan media selain pensil dipelajarinya di Arte Moris. 152 Lukisan Pelle, Lakoi Timor Hanesan Nee Tetum :tidak ingin Timor menjadi begini,Gambar 8 merupakan sebuah karya yang menunjukan salah satu cirinya, yaitu memakai dan mengolah corak dan motif tais. Pelle menceritakan bahwa, lukisan itu diciptakan berdasarkan foto yang dilihatnya dari sebuah media cetak yang menampilkan berita tentang kondisi kekeringan yang terjadi di sebuah negara di Afrika. Keadaan yang buruk itu olah Pelle diolah sebagai sebuah harapan dan juga peringatan bahwa, sesuai dengan judulnya, Ia memiliki keinginan agar Timor Leste tidak mengalami masalah yang sama seperti yang disaksikannya dalam berita itu. 153 151 Ibid 152 Ibid 153 Ibid 67 Gambar 8.Pelle, Lakoi Timor Hanesan Nee,2006.Cat minyak pada kanvas. Foto:dok.penulis 2012 Dalam hal identitas nasional, Pelle berpendapat bahwa sebuah identitas nasional merupakan kombinasi dari elemen sejarah dan budaya dalam sebuah masyarakat. Dengan demikian, dalam konteks masyarakat deperti di Timor Leste, menurut Pelle, elemen yang paling dasar dalam pembentukan identitas nasional adalah nilai-nilai yang didapatkan dari kolonialisme sebagai sebuah aspek sejarah, dan kesadaran kolektif masyarakat Timor Leste sebagai bagian dari masyarakat internasional. 154 2.2.3.b.Seniman Senior Seniman senior yang ditemui penulis di Arte Moris adalah, August Godinho atau Agus 28. Dari segi fisik Agus terlihat lebih muda dibandingkan para seniman senior lainnya mungkin karena sifatnya yang murah senyum. Wawancara dilakukan di kamar nara sumber yang merangkap studionya. Beberapa karya yang sedang dalam proses pembuatan terlihat di dalam studio tersebut. Agus berasal dari distrik Aileu, dan bergabung dengan Arte Moris pada 154 Ibid 68 tahun 2010. Jumlah angkatannya waktu itu adalah 55 orang 155 . Saat pertama kali bergabung para siswa ini akan disebut seniman Junior. Dari angkatan tersebut, yang memilih untuk menjadi anggota komunitas dan menetap di Arte Moris ada 2 orang. Sedangkan siswa yang lain memilih untuk tidak bergabung dalam komunitas setelah mereka menyelesaikan program dari kursus-kursus yang ada di Arte Moris. Perkenalan Agus dengan dunia seni dan kegiatan-kegiatannya dimulai dari saat Ia bergabung dengan salah satu sanggar yang dibentuk oleh seniman-seniman seperti Abe dan Tony. Nama sanggar tersebut adalah Sanggar Bulak Tetum: Gila dan berlokasi di Kintal Kiik, Dili. 156 Sanggar tersebut adalah salah satu dari sejumlah sanggar di Dili yang sebagian besar dibentuk oleh para seniman muda, baik yang bergerak sendiri maupun yang berada di bawah naungan Yahya Lambert, dan sanggar-sanggar ini lahir sebelum Arte Moris dibentuk. 157 Di Arte Moris, salah satu pencerahan yang dialami oleh Agus adalah ketika Ia belajar tentang teknik penempatan cahaya dalam menciptakan lukisan. Bagi Agus, pengetahuan tentang nakukun Tetum: gelap, dan naroman Tetum: terang sebagai suatu teknik dalam melukis merupakan sebuah titik awal yang semakin membuatnya masuk lebih dalam ke dunia seni lukis. 158 Di Arte Moris Agus belajar tentang pentingnya presentasi dari sebuah karya. Hal ini dipelajarinya langsung dari para seniman residen yang memiliki kebiasaan untuk memberikan presentasi sebagai pengantar atas karya yang mereka ciptakan. Sosok 155 Wawancara penulis dengan Agus.Dili,16 Januari 2012 156 Ibid 157 Ibid 158 Ibid 69 para reisden ini pulalah yang menjadi salah satu alasannya untuk bergabung dalam Arte Moris. 159 Gambar 9. Agus, Contenti.2011.cat minyak pada kanvas. Foto: dok.Penulis 2012. Contenti Tetum: bahagia Gambar 9 adalah salah satu hasil karya lukisan Agus yang diselesaikannya pada tahun 2011. Lukisan ini merupakan hasil perenungan Agus terhadap bentuk dan simbol-simbol kebudayaan tradisional Timor Leste dan hubungannya dengan persaannya.. Dalam lukisan dapat dilihat figur seorang wanita yang sedang tertawa, contenti, dan Ia tampak mengenakan tais , dan mortein kalung tradisional Timor. Menurut, Agus lukisan ini mewakili pendapat dan perasaan pribadinya bahwa segala sesuatu yang berhugungan dengan adat tradsional Timor selalu membuatnya merasa senang. 160 159 Ibid 160 Ibid 70

2.3. Ragam Karya

Salah satu sumber data dari penelitian ini adalah karya seni yang dihasilkan oleh para seniman di Arte Moris. Menurut Illiwatu Danabere, Director dari sekolah tersebut, jumlah lukisan yang dihasilkan sejak berdirinya Arte Moris di tahun 2003, telah berjumlah ratusan lebih 161 . Lukisan yang telah tercipta, hadir dengan beragam tema, dan beragam media yang merupakan hasil dari proses kreatif para senimannya. Pihak Arte Moris memiliki sebuah ruangan yang digunakan sebagai ruang, Arte Moris Collection Room, atau seringkali disebut juga Galeri Arte Moris, untuk memamerkan hasil karya-karya lukisan maupun karya lainnya. Proses pemilihan karya yang akan dipasang ditentukan oleh para seniman yang mengurus ruang galeri tersebut. Dalam kunjungan ke Arte Moris, penulis berkesempatan untuk mengamati dan memotret lukisan-lukisan, baik yang ada di ruang koleksi, studio pribadi para seniman, maupun yang tersebar di ruang-ruang lain di Arte Moris. Beberapa lukisan yang akan dibahas pada bagian ini adalah lukisan-lukisan yang telah dipilih, dan diinterpreatasi, dan sikelompokan berdasarkan tema-tema tertentu. Proses ini di dasarkan pada slah satu metode kritik seni ,yaitu interpretasi. Menurut Nooryan Bahari, metode interpretasi adalah suatu cara menafsirkan hal- hal yang terdapat dibalik sebuah karya, dan menafsirkan makna, pesan atau nilai yang dikandungnya. Setipa penafsiran dapat mengungkap hal-hal yang berhubungan denga pernyataan di balik struktur bentuk, misalnya unsur psikologis 161 Wawancara penulis dengan Iliwatu 13 Januari 2012 71 pencipta karya, latar belakang sosial budaya, gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu senimannya 162 Lukisan –lukisan ini oleh penulis dikelompokkan dalam empat kelompok besar yang meliputi bagian-bagian ; Adat Tradisional dan Simbol-Simbolnya, Politik, Trauma, dan Eksplorasi. Dasar dari pengelompokkan ini adalah pengamatan yang dilakukan oleh penulis terhadapa kandungan-kandungan makna yang terdapat unsur-unsur visual yang terdapat di dalam lukisan. Lukisan yang memiliki kesamaan dalam unsur-unsur visual tertentu kemudian dimasukan ke dalam satu kelompok.

2.3.1 Adat Tradisional dan Simbol-Simbolnya

Lukisan-lukisan yang berada di dalam kelompok ini disatukan berdasarkan persamaan yang dimiliki mereka dalam hal unsur-unsur adat tradisional Timor Leste, lebih khususnya simbol-simbol dari unsur-unsur itu. Beberapa unsur adat tersebut sebagian besar berbentuk material seperti pakaian dan perlengkapannya tais, martein kalung, kaibauk hiasan kepala berbentuk tanduk kebau , alat musik babadok ketipung, dan rumah adat. Unsur lain juga terdapat dalam bentuk mitos atau cerita rakyat tentang simbol-simbol tertentu, dan juga kegiatan adat seperti tarian tradisional. 162 Lihat Bahari, N.2008 Kritik Seni: Wacana, Apresiasi, dan Kreasi. Yogyakarta.12. 72 Gambar 10. Tony and Cesario, Liurai,2003. Cat minyak pada kulit kerbau. Dok. Penulis 2012 Gambar 11.Gibrael, Be Nain Timor, 2003. Cat minyak pada peralatan dari anyaman bambu. Dok. Penulis 2012 73 Gambar 12. Pele, Untitled,2012. Cat minyak pada Tais. Foto: Dok. Penulis 2012. Gambar 13 . Anas, Hadomi Cultura, 2009. Cat minyak pada papan. Dok. Penulis 2012 74 Gambar 14. Abe, Performance,2005,Cat minyak pada kanvas. Foto dok. Penulis, 2012. Gambar 15. Ajanu, Tak berjudul, 2009. Cat minyak pada papan. Foto:dok.penulis,2012. Gambar 16. Grinaldo, Arte No Cultura,2003. Cat minyak pada kanvas. Foto:dok. Penulis, 2012. 75 2.3.2. Politik Kategori Politik berisi lukisan-lukisan yang memiliki kandungan wacana politik. Wacana politik meliputi konsep bernegara dengan simbol-simbolnya seperti bendera, dan tokoh-tokoh kenegeraan serta pengetahuan sejarah. Di dalam lukisan-lukisan ini, terdapat pula unsur-unsur adat tradisional yang dipadukan dengan unsur-unsur konsep politik. Penggambaran ini dapat terlihat pada cara seniman memadukan kedua unsur tersebut berdasarkan daya kreasinya . Gambar 17. Apepy, The Babadok, 2003. Cat minyak pada dua papan yang digabungkan. Foto : dok. Arte Moris, 2012. Gambar 18. Emeldea, Timor, cat minyak pada kanvas. Foto :dok. Arte Moris, 2012. 76 Gambar 19.Cesario, Bidu, cat minyak pada kanvas. Foto :dok.Arte Moris, 2012. Gambar 20. Cesario, Xanana, 2003. Cat minyak pada kanvas. Foto:dok. Penulis ,2012. 77 Gambar 21.Grinaldo, Proklamasaun RDTL 1975, 2005. Cat minyak pada kanvas. Foto: dok. Penulis, 2012. Gambar 22. Ino,Foho Banderia,2004 .Cat minyakk pada kanvas. Foto: dok. Penulis, 2012. Gambar 23.Pelle, Lakoi Timor Hanesan Nee, 2006. Cat minyak kanvas. Foto: dok. Penulis, 2012. 78

2.3.3. Trauma

Jumlah lukisan dalam kelompok ini merupakan yang paling sedikit dibandingkan dengan kelompok lain. Lukisan Violasaun Sexual Gambar karya Corrie, merupakan lukisan yang diciptakan dari era-era awal Arte Moris yang seperti telah dijelaskan sebelumnya merupakan sebuah masa di mana banyak lukisan yang dibuat dengan tema dark memory. Lukisan-lukisan ini merefleksikan dialog-dialog dari para seniman dengan kekerasan sebagai bagian dari pengalaman mereka. Gambar 24. Corry, Violasaun Sexual , 2003.cat minyak pada kanvas. Foto : dok. Penulis, 2012. 79 Gambar 25. Tito, Tragedy, 2005. Cat minyak pada kanvas. Foto : dok. Penulis ,2012. Gambar 26. Zeny, 1999, 2011. Cat minyak pad kanvas. Foto : dok. Penulis, 2012. 80

2.3.4. Eksplorasi

Kategori ini disusun berdasarkan pengamatan yang dilakukan penulis terhadap beberapa lukisan yang dinilai mengandung tema-tema yang bersifat eksploratif. Letak perbedaan kelompok ini dengan kelompok lainnya adalah adanya kecenderungan karya-karyanya untuk mengolah tema-tema yang secara umum berbeda dengan kategori-kategori sebelumnya. Kecenderungan ini terlihat pada sisi-sisi seperti pemilihan objek, perpaduan unsur-unsur warna, garis, bentuk dan unsur visual lainnya. Bentuk-bentuk eskplorasi lain dari karya-karya di dalam satuan klasifikasi ini adalah pada media yang digunakan. Contohnya penggunaan tanah liat Gambar 33 , tikar Gambar 32, serta batang pohon bakau Gambar 34. Gambar 27. Pelle, Taiscape,2007. Cat minyak pada kanvas. Foto :dok. Penulis,2012. 81 Gambar 28. Mong, Fishes, 2012.Acrylik pada kanvas. Foto: dok. Penulis, 2012. Gambar 29. Mong, Untitled, 2011, mixed media pada kanvas. Foto:dok. Penulis 2012. 82 Gambar 30. Zeny, What’s Happened Next In The World, 2011.cat minyak pada kanvas. Foto: dok. Penulis 2012. Gambar 31. Pelle, Monkey,2010.cat minyak pada and temprung kelapa dan papan. Foto:dok.penulis, 2012. 83 Gambar 32. Hasil latihan melukis pada tikar oleh pelukis senior dan yunior.Foto : dok. Penulis, 2012. Gambar 33. Hasil karya seniman yunior dengan menggunakan media tanah liat. Foto: dok.penulis, 2012. 84 Gambar 34. Penggunaan batang bakau untuk meciptakan karya seni.Foto : dok.penulis, 2012. 85

BAB III MEMBACA SEBUAH PERGULATAN : IDENTITAS NASIONAL