Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kajian Pustaka

12 Keberadaan dari karya-karya seni di dalam komunitas Arte Moris merupakan sebuah bentuk pemaknaan para seniman di dalam komunitas tersebut atas hal-hal yang bersentuhan dengan mereka. Identitas kebangsaan sebagai orang Timor Leste merupaka salah satu dari hal tersebut. Dari pokok-pokok pikiran yang ada di dalam latar belakang ini, penulis mencoba menunjukkan adanya hubungan antara seni visual, dan sejarah dari Timor Leste khususnya sejarah perjuangannya yang meliputi masa-masa kekelaman dan konflik. Hubungan kedua hal tersebut dilihat sebagai dasar di mana gejolak untuk berbicara tentang identitas nasional kebangsaan menemukan tempatnya untuk bergerak. Hal-hal tersebut juga terangkai dalam sebuah bentuk jaringan ingatan kolektif yang dimiliki oleh para seniman sebagai individu di dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah

1. Bentuk-bentuk visual apa saja dari karya-karya itu yang dianggap bisa menjadi simptom memori kolektif tentang Identitas kebangsaan Timor Leste ? 2. Apa sumbangan proses identifikasi atas simbol-simbol dalam karya-karya tersebut pada pembentukan identitas kebangsaan Timor leste?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjawab beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Membahas karya-karya visual, dalam hal ini lukisan para seniman di Arte Moris, Timor Leste, dengan secara lebih khusus mengamati bentuk-bentuk visual di dalamnya yang berkaitan dengan tema identitas kebangsaan. 13 2. Bentuk-bentuk visual tersebut dianalisa dengan sudut pandang Psikonanalisa Lacanian, di mana mereka kemudian dikategorikan sebagai simptom. Salah satu tujuan penelitian ini adalah membahas simptom-simptom tersebut, pada keberadaan dan proses identifikasinya. Serta melihat hubungan serta peranananya dalam diskusi, pembahasan, dan pembentukan identitas kebangsaan, dalam hal ini identitas kebangsaan Timor Leste.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat pembentukan wacana identitas nasional kebangsaan yang ada tengah dihadapi Timor Leste sebagai sebuah negara yang berusia relatif muda. Bentuk identitas kebangsaan yang dibahas di dalam tesis ini adalah identitas kebangsaan Timor Leste yang dapat terlihat di dalam karya seni lukis para seniman-seniman muda di negara tersebut. Manfaat penelitian ini, secara umum, adalah memberikan perluasan dan ruang-ruang baru pada diskusi yang membahas hubungan antara karya seni dan identitas nasional dalam perspektif psikoanalisa Lacanian. Tulisan ini juga dapat bermanfaat untuk secara khusus menambah khazanah diskusi dan penelitian tentang Timor Leste dan perkembangannya di bidang seni visual serta wacana identitas nasionalnya.

E. Kajian Pustaka

Tema identitas kebangsaan dan hubungannya dengan seni, dalam hal ini seni rupa telah menjadi bahan kajian yang banyak dibahas dalam penelitian maupun tulisan-tulisan. Masalah identitas kebangsaan Timor Leste dapat ditemui dalam beberapa tulisan seperti pada sebuah buku yang ditulis oleh Martinho da Silva Gusmao yang berjudul, ”Timor Lorosae: Perjalanan menuju Dekolonisasi Hati- 14 Diri ” 19 . Buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia ini merupakan kumpulan esai yang ditulis oleh seorang pastor. Sebagian besar bercerita tentang pertentangan pendapatnya dengan beberapa politisi tentang keadaan di Timor Leste pasca rencana diadakannya referendum. Dalam beberapa argumentasinya dia menawarkan beberapa konsep yang dapat dipakai untuk “dekolonisasi” diri. Melalui sebuah esainya, di dalam buku itu, Gusmao memaparkan beberapa ide tentang usaha dekolonisasi bagi masyarakat Timor Leste 20 . Ada sebuah modal dasar, menurut Gusmao, yang telah dimiliki oleh masyarakat Timor Leste yaitu dasar kebudayaan yang kuat. “kekuatan perjuangan kita terletak dalam resistensi kebudayaan. Kebudayaan kita memiliki karakter yang unik, sehingga sulit dicari sebuah titik paling lemah atau paling kuat untuk dikalahkan 21 ”. Sisi keunikan dari kebudayaan ini tak dijelaskan secara lebih luas kecuali lewat pembahasan tentang bahasa Tetum dan kehadiran budaya campuran atau Mestico. Gusmao lebih banyak mengkritik cara pandang budaya lain, dalam hal ini dari sisi historis kedatangan Portugis dan Indonesia ke Timor, yang telah menghasilkan suatu definisi tentang budaya Timor tersendiri yang cenderung bias. Modal dasar kebudayaan yang kuat tersebut adalah sebuah dasar untuk melaksanakan dekolonisasi diri. Proses ini akan didukung dengan keberadaan bahasa Tetum,khususnya Tetum Dili, yang lahir sebagai hasil negosiasi dari masyarakat asli Timor dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang datang dari luar. Menurut Gusmao, bahasa Tetum adalah sebuah karakter khas. 19 Gusmao,Martinho G. da Silva.2003. Timor Lorosae: Perjalanan menuju Dekolonisasi Hati-Diri. Malang:Dioma. 20 Ibid 21 Ibid 15 Tetum Dili ialah sebuah Tetum yang tidak pribumi, tidak Portugis, dan tidak Indonesia. Tetum Dili adalah sebuah “Tetum prokem” yang tanpa struktur, tanpa bentuk dan bergaya popularistik. Ia berbeda dengan Tetum Soibada, Viqueque dan Suai Atambua yang relatif terstruktur secara gramatikal, sintaktik,dan semantik 22 . Posisi bahasa ini juga berhubungan, atau bisa dikatakan hadir secara bersamaan, dengan keberadaan budaya campuran, atau mestico cultural yang hadir karena proses penjajahan. Kebudayaan campuran ini mewarnai identitas masyarakat Timor dan Gusmao mengkritisi bagian-bagian dari kebudayaan campuran seperti adanya rasa “setengah” menjadi orang Timor, atau sikap apatisme dan oportunistik yang dinilainya dapat membawa kerugian. Secara umum pandangan Gusmao merupakan sebuah pembacaannya atas masalah identitas masyarakat Timor Leste, khususnya tentang wacana dekolonisasi, di masa awal kemerdekaan tulisan dibuat tahun 1999 dan salah satu aspek yang ditekankannya adalah peranan Gereja Katholik dalam proses tersebut. Dekolonisasi kognisi , atau yang juga disebut Gusmao sebagai “aspek emosional ” adalah masalah yang belum selesai atau paling terbelakang prosesnya dibanding dekolonisasi politik dan ekonomi 23 . Menurut Gusmao Gereja punya solusi berupa solidaritas pastoral dan rekonsiliasi, akan tetapi faktanya adalah di sisi lain ada pihak Negara dengan cara dan kepentingan tersendiri. Gesekan dari dua pihak inilah yang akan menciptakan tertimbunnya banyak pergolakan emosional di arus bawah sadar kognisi yang berpotensi untuk meletus. 24 Dengan demikian, dari pemaparan Gusmao kita melihat adanya sisi-sisi identitas yang dipandang sebagai dasar yang berpotensi kuat, dengan sisi sejarah kolonialitas dan 22 Ibid 23 Ibid 24 Ibid 16 resistensinya, untuk membahas pembentukan identitas kebangsaan Timor Leste, yaitu bahasa Tetum. Douglas Kammen dalam esainya yang berjudul “Subordinating Timor: Central Authority and the Origins of Communal Identities in East Tim or” 25 , membahas tentang identifikasi orang Timor berdasarkan konsep Timor-Barat dan Timor-Timur atau yang lebih dikenal dengan istilah Kaladi dan Firaku sebagai fokus bahasannya. Wacana Kaladi dan Firaku telah berkembang sejak masa kolonial dan menjadi salah satu bentuk identifikasi yang membentuk corak identitas dan kedirian masyarakat Timor Leste. Kammen memaparkan dalam penjelasan historis yang cukup detail tentang perkembangan wacana ini dari masa kolonial hingga pada pengaruhnya pada konstelasi politik Timor Leste, bahkan salah satu faktor dasar konflik di tahun 2006. Pada dasarnya, konsep ini bersifat geografis, Firaku merujuk pada kelompok suku-suku yang mendiami daerah bagian timur dari negara tersebut yang dikarakterkan keras kepala dan pemberontak, sedangkan Kaladi berarti suku-suku yang mendiami daerah bagian barat yang cenderung dikarakterkan lebih tenang dan dapat bekerja sama. Akan tetapi bila dilihat lebih dalam, konsep ini dibentuk oleh sisi lain yang cukup kuat yaitu bahasa, dan juga kebudayaan makanan yang dimiliki oleh suku-suku dalam kategori pembagian tersebut. Tulisan Kammen menunjukkan variasi yang cukup banyak tentang pemahaman yang pernah dibuat konsep pembedaan suku ini. Konsep-konsep tersebut menurut Kammen, merujuk 25 Lihat Kammen.D. Subordinating Timor: Central Authority and the Origins Of Communal Identities In East Timor. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde BKI 166-23 2010:244-269 Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde.2010. 17 pada satu kesimpulan tentang sebuah ide dasar yang menjadi landasan pembedaan ini. Sebuah dasat yang bersifat alami, yaitu kebudayaan makanan. Adalah jelas bahwa kata caladascallades merupakan bentuk jamak dari bahasa Portugis untuk kata keladi dari bahasa MelayuTetum, dan tidak seperti kepercayaan umum bahwa adalah kata itu merupakan perkembangan dari bahasa Portugis calado yang berarti tenang. Peran makanan dalam kemunculan sebuah identitas kolektif adalah salah satu fitur penting pada bagian awal dari Timor yang modern. 26 Pembahasan yang disusun oleh Kammen memberikan sebuah gambaran bahwa pada dasarnya identitas kolektif yang ada pada suatu kelompok berasal dari hal-hal yang merupakan sisi-sisi natural dari komunitas tersebut. Pada perkembangannya konsep-konsep tersebut mengalami perluasan atau penyempitan sesuai dengan kepentingan dari pihak-pihak yang menggunakan bentuk identifikasi tersebut. Hal tersebut seperti tulisan dari Mendes Corrêa, seorang antropolog, yang dibuat pada tahun 1944 yang dikutip oleh Kammen,” Fir acos dan Caladi, Belos dan Atoni, semua „kerajaan‟, lebih dari empat puluh bahasa dan dialek, aneka ras, pusat-pusat kekuatan,telah diatur untuk bermusuhan satu dengan yang lainnya” 27 . Kolonialisme Portugis telah memakai konsep Kaladi dan Firaku sebagai bagian dari politik penjajahan mereka, dan pada masa Timor Leste modern, konsep identifikasi ini mungkin untuk dipakai menjadi dasar atau bagian dari pergerakan-pergerakan politik di negara tersebut. Kammen menyimpulkan bahwa identifikasi ini secara jelas mencerminkan sebuah gambaran sosial-ekologi yang dalam dan yang membentuk hubungan kekuasaan di negara tersebut yaitu “ 26 Ibid 27 Ibid 18 perbedaan antara mereka yang makan nasi dan mereka yang bergantung pada keladi, jagung, atau menahan lapar pada masa paceklik tahunan”. Hal ini merangkum sebuah bentuk cara bertahan hidup dan sehubungan dengan kebudayaan makanan dari orang Timor Leste sekaligus bagaimana hal tersebut telah menjadi sebuah identitas yang di dalamnya terdapat perbedaan seperti posisi geografis, ras, bahasa, ideologi politik, dan tentu saja yang paling penting kemampuan ekonomi. Perihal konsep kebangsaan Timor Leste dan pembahasan-pembahasan tentang konstruksinya, terutama masih berkaitan dengan konsep timur dan barat, dapat kita lihat pada esai berikut ini. Damien Kingsbury dalam esainya yang berjudul “National Identity in Timor-Leste: Challenges and Opportunities 28 ”, memberikan sebuah argumen dasar bahwa konsep timur dan barat ini “had serious implications for the fledgling country‟s attempts at building a cohesive national identity to serve as the basis for its future development.” 29 Di dalam analisanya, Kingsbury melakukan pengamatan atas dua distrik di Timor Leste yaitu Bobonaro dan Viqueque. Bobonaro dilihat sebagai perwakilan dari daerah barat, sedangkan Viqueque perwakilan bagian timur, dan dasar dari klasifikasi ini adalah peran dua distrik tersebut pada pemilihan umum tahun 2007. Pada tahun 2007, penduduk Viqueque dengan luar biasa bersuara untuk partai yang kemudian menjadi partai yang memegang pemerintahan, Fretelin, dengan memberikan dukungan berupa enam puluh persen suara dalam pemilu di wilayah tersebut. Terpisah jauh dari Ibu Kota, Dili, Bobonaro adalah distrik yang dapat dikatakan kurang perhatian, dan terhitung di antara wilayah-wilayah yang ber hubungan dengan „barat‟. Bobonaro bersuara melawan Fretelin, dengan hanya memberikan enam 28 Lihat, Kingsburry, D.2006. National identity in Timor-Leste: challenges and opportunities.South East Asia Research. 29 Ibidl.132 19 belas persen suara. Dari studi kasus inilah, tulisan ini bermaksud untuk mengukur tantangan dan kesempatan dari penyatuan nasional di Timor Leste. 30 Kingsbury memberikan uraian yang panjang tentang proses pemerintahan di Timor Leste sebelum dan sesudah Pemilu 2007. Dari situ dia menganalisa bagaimana perbedaan yang bersumber dari konsep timur dan barat mempengaruhi orang Timor Leste dalam melihat dirinya maupun orang-orang lain, khususnya dari suku-suku yang lain di negara tersebut. Sejarah pergerakan atau resistensi mempengaruhi wacana ini dan konflik tahun 2006 dapat disebut bahwa terjadi sebagai puncak dari pemakaian wacana identifikasi ini. Identitas timur dan dan barat berakar dari unsur bahasa yang menjadi pemersatu sekaligus pembeda dalam komunitas suku-suku di Timor Leste. 31 Dari pembahasannya Kingsbury memberikan sebuah pendapat bahwa dalam konteks konflik tahun 2006 yang terjadi di Timor Leste, kelompok masyarakat di Dili, Ibu Kota negara, berdasarkan survey 32 merasa keadaan mereka jauh lebih aman dengan posisi yang lebih netral dalam konflik timur-barat tersebut, dan dengan bahasa Tetum sebagai bahasa kelompok masyarakat di Dili, yang merupakan Lingua Franca sehingga secara langsung terhindar dari konflik yang juga punya latar belakang linguistik tersebut. Berdasarkan data ini, Kingsbury mengajukan sebuah ide tentang civic identity atau identitas kekotaan yang dapat menggantikan etnisitas dan kemudian menjadi basis untuk menjadi identitas 30 Ibid hal 134 31 Ibid 32 Ibid 20 kebangsaan, 33 ” In that civic identity can replace ethnicity as the basis for national identity, unity can cohere around common core civic themes, which can in turn reflect a sense of civic nationalism.” Ide ini diakuinya bukan sebagai ide yang dominan di dalam tulisannya dengan alasan sehubungan dengan realita di Timor Leste, hal ini akan membutuhkan waktu dalam perkembangannya. Persamaan yang paling terlihat dari ketiga penulis di atas adalah adanya fokus atau penekanan yang cukup kuat diberikan pada aspek bahasa. Gusmao melihat posisi bahasa Tetum sebagai sebuah modal yang dapat dipakai untuk apa yang dia sebut dengan dekolonisasi hati-diri 34 . Bagi Kammen dan Kingsbury bahasa merupakan salah satu akar yang membentuk identifikasi timur-barat yang hadir di Timor Leste. Kammen menunjukkan bahwa identifikasi tersebut merupakan jalan masuk untuk membahas relasi kekuasaan di Timor Leste. Sedangkan secara lebih khusus, Kingsbury melihat bahwa ada sebuah dasar yang dapat dipakai untuk membentuk identitas kebangsaan, yaitu identitas kekotaan, civic identity 35 dengan bahasa Tetum sebagai bagian penting dari bentuk identifikasinya.

F. Kerangka Teoritis