17 c.
Tujuan afektif, suara mungkin dapat diciptakan oleh musik latar, efek suara, suara narator.
5. Musik Campursari
Sejak zaman prasejarah, masyarakat Jawa telah mengenal seni. Kurang lebih 2000-1000 tahun sebelum Masehi, yaitu pada akhir zaman mesolitikum
telah dikenal barang-barang seni yang dibuat dari batu berupa perhiasan seperti cincin, kalung, gelang, patung-patung kecil, dan lain-lain. Barang-
barang yang mereka ciptakan, digunakan untuk peralatan upacara
persembahan kepada yang gaib.
Pada awalnya orang tidak sengaja menciptakan seni, hanya sekedar membuat sesuatu sebagai sarana untuk mengungkapkan rasa bakti, rasa takut,
rasa hormat, rasa senang, rasa haru, dan sebagainya yang tertuju kepada yang gaib. Dahulu pada waktu diselenggarakan upacara-upacara ritual, misalnya
upacara menebang pohon besar, peserta upacara adalah orang-orang yang
akan bekerja menebang pohon besar itu.
Mereka melakukan berbagai gerakan sambil mengelilingi pohon yang akan ditebang. Penonton pun mengiringi gerakan orang-orang tadi, sehingga
semua orang berpartisipasi aktif dan menghasilkan perpaduan yang unik. Akhirnya terciptalah tata pentas yang tersaji secara teratur. Pada saat itulah
muncul kehidupan estetis dan seni dengan segala variasinya. Kesenian Jawa mengalami perkembangan pesat setelah mendapat pengaruh kesenian Hindu.
Dilihat dari segi kelompok penganutnya, tampak bahwa agama Hindu telah
dianut oleh kalangan elite Jawa sejak abad ke 8 Masehi.
Seni merupakan salah satu bentuk norma hidup, Mangunpranoto berpendapat bahwa budaya manusia terwujud karena adanya perhubungan
norma hidup atau lingkungannya. Norma hidup terwujud dalam bentuk :
a. alam pikir
18 b.
alam budi c.
alam karya d.
alam tata susila e.
alam seni yang meliputi : 1
seni rupa 2
seni sastra 3
seni musik 4
seni tari 5
seni dramadan lain-lain. Kesenian tidak hanya terpaku pada satu jenis, begitupun halnya dengan
kesenian Jawa. Kesenian Jawa itu sendiri terbagi ke dalam beberapa kategori, antara lain seni tari, seni musik, dan lainnya. Jaap Kunst, seorang musikologis
Belanda yang terkenal, mengumpulkan bahan untuk karyanya yang mendalam tentang musik Jawa selama akhir tahun 1910-an dan 1920-an.
Pada tahun 1934 ia meninggalkan Hindia Belanda dan pulang ke negeri Belanda. Pada tahun yang sama, terbit dua jilid bukunya mengenati teori dan
tekhnik musik Jawa, Kunst pesimis terhadap masa depan musik Indonesia. Musik Indonesia terdiri dari berbagai jenis, salah satu jenis musik yang
berasal dari daerah Jawa adalah Campursari. Genre musik campursari merupakan salah satu bentuk hasil kreasi anak bangsa terhadap gamelan.
Campursari telah melalui masa kejayaannya, namun kini harus mengalami stagnasi. Pada awal kemunculannya, campursari sempat mengundang pro dan
kontra dari berbagai kalangan. Satu pihak berpendapat bahwa campursari dapat merusak tradisi, namun pihak lain menyatakan bahwa inovasi dalam
campursari mutlak diperlukan agar musik ini bisa diterima di berbagai
19 kalangan, tidak hanya warga negara Indonesia namun juga dalam tingkat
mancanegara.
RIWAYAT MUSIK CAMPURSARI TRADISI DAN INOVASI
Istilah campursari di dunia musik nasional mengacu pada campuran beberapa genre musik kontemporer Indonesia. Istilah campursari dikenal pada
awal tahun 1970-an ketika RRI Stasiun Surabaya memperkenalkan acara baru, yaitu lagu-lagu yang diiringi musik paduan alat musik berskala nada
pentatonis dan diatonis. Campursari adalah salah satu bentuk kesenian di Jawa yang merupakan perkawinan antara musik modern dengan musik etnik.
Campursari itu sendiri sebenarnya berangkat dari seni tradisi Jawa, dimana dipadukannya seni gending dengan berbagai alat musik, baik alat musik
tradisional maupun modern, konvensional dan elektrik. Tapi sesungguhnya, paduan antara musik tradisional Indonesia dengan
musik Barat bukanlah sesuatu yang baru. Jauh sebelum campursari ada banyak musisi kelas dunia yang sudah melakukannya, antara lain Claude
Achille Debussy dari Perancis, Bella Bartok komponis Hungaria, Lalu Collin Mc Phee komponis Amerika, Wheeler Backet. Dari Indonesia ada F.A
Warsono, Guruh
Soekarno Putra
bersama grup
Guruh Gipsy
memperkenalkan paduan musik Bali dan musik Barat. Campursari berasal dari dua kata yaitu campur dan sari. Campur berarti
berbaurnya instrumen musik baik yang tradisional maupun modern. Sari berarti eksperimen yang menghasilkan jenis irama lain dari yang lain. Para
seniman memadukan dua unsur musik yang berbeda yaitu instrumen musik etnik yaitu gamelan dan instrumen musik modern seperti gitar elektrik, bass,
drum serta keyboard, sehingga dapat dikatakan bahwa campursari adalah musik hybrida hasil perkawinan silang antara musik barat dan tradisional.
20 Kesenian ini memerlukan beberapa pemain musik, tak kurang dari hampir
sepuluh orang untuk menghasilkan irama yang sangat merdu. Munculnya musik campursari pada awalnya berangkat dari musik
keroncong asli langgam, campursari tetap menggunakan dasar-dasar keroncong. Ada yang cenderung ke musik karawitan, ada yang cenderung ke
keroncong. Campursari diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan jenis musik Jawa modern, lirik-lirik lagunya masih mengadopsi lirik gending Jawa
tradisional walaupun tidak semua, karena sebagian besar dari senimannya berusaha menciptakan lagu campursari itu menyesuaikan dengan keadaan
zaman yang sedang berlangsung. Campursari awalnya dipopulerkan oleh Ki Nartosabdho melalui setiap
pertunjukkan wayang kulit yang dimainkannya. Ki Nartosabdho nama aslinya adalah Sunarto. Ia lahir di Wedi, Klaten, Jawa Tengah, tanggal 25 Agustus
1925 dari keluarga kurang mampu. Ayahnya Partinojo seorang pembuat sarung keris. Sunarto kecil tidak dapat melanjutkan sekolah karena
keterbatasan biaya. Beranjak remaja, Sunarto hijrah ke Jakarta untuk menopang
ekonomi keluarganya
dengan mencari
uang melalui
kemampuannya dalam bidang seni lukis. Ia juga turut memperkuat orkes keroncong “Sinar Purnama” sebagai pemain biola.
Pada tahun 1945, Sunarto berkenalan dengan Ki Sastrosabdho. Sunarto benar-benar ditempa kemampuannya dalam mengenali dan mendalami
instrumen gendang. Lewat Ki Sastrosabdho pula, Sunarto mengenal dunia pewayangan. Antara Ki Sastrosabdho dan Sunarto adalah ibarat satu kesatuan
sebagai bapak dan anak, oleh karena itu kemudian Ki Sastrosabdho menganugerahi nama belakangnya kepada murid kesayangannya ini menjadi
Nartosabdho. Ki Nartosabdho merupakan pembaharu dunia pedalangan tahun 80-an, menggabungkan musik modern dengan musik gamelan sehingga
menghasilkan harmoni dengan nuansa tradisi Jawa, namun hal tersebut memunculkan kontroversi.
21 Sementara campursari zaman modern dipelopori oleh Anto Sugiyarto
atau yang lebih dikenal dengan nama Manthous beserta saudara-saudaranya di awal tahun 1993 . Manthous dilahirkan di desa Playen, Kabupaten Gunung
Kidul, Yogyakarta Ketika berusia enam belas tahun ia hijrah ke Jakarta untuk ngamen, malang melintang di dunia musik, ikut bergabung dengan Kroncong
Bintang Jakarta. Tahun 1993 Matnhous mendirikan grup musik campursari “Maju Lancar”. Manthous dengan kepekaan musikalitasnya mengadakan
inovasi besar-besaran terhadap campursari lama. Ia mencoba menggabungkan alat-alat musik tradisional Jawa klasik, seperti kendang, gong dan gender,
dipadu dengan alat musik keroncong seperti ukulele, cak dan cuk, seruling, bass betot, serta instrumen lainnya.
Manthous juga mencoba bereksperimen dengan memasukkan instrumen pengganti bass betot dan gitar klasik, yaitu dengan memasukkan bass dan
gitar elektrik serta keyboard untuk menggantikan seruling dan ukulele. Kehadiran keyboard ini semakin menghidupkan musikalitas campursari.
Selain itu Manthous juga memasukkan seperangkat drum untuk menambah kesempurnaan musik campursari. Musik campursari yang diciptakan,
biasanya bernuansa segar dan penuh dengan keriangan. Munculnya album Campursari Gunung Kidul CSGK mengawali
kesuksesan Manthous. Berkat penemuan kreatifnya itu, Manthous mendapatkan penghargaan sebagai “Seniman Inovatif” pada tahun 1996 dari
PWI Cabang Yogyakarta. Manthous juga menyabet beberapa penghargaan dalam ajang Panasonic Award maupun Ami Sharp Award. Penghargaan
terkahir diperolehnya pada tahun 2001 untuk kategori Artis Tradisional Kontemporer terbaik serta Album Tradisional Kontemporer terlaris. Sejak
tahun 2000-an muncullah bentuk campursari yang merupakan campursari gamelan dan keroncong, serta campuran keroncong dan dangdut dari Didi
Kempot.
22 Kapasitas Manthous sebagai seorang seniman tidak diragukan lagi.
Manthous telah malang melintang di belantika pemusikan Indonesia. Hasil lagu ciptannya juga sudah sangat banyak, misalnya lagu Kangen yang sempat
hits lewat alunan vokal Evitamala, Gethuk yang dibawakan oleh Nur Afni Oktavia, atau lagu Mbah Dukun yang dinyanyikan oleh Nomo Koeswoyo.
Kesuksesan Manthous tersebut juga mengorbitkan beberapa nama penyanyi atau pesinden yang telah ada, antara lain Anik Sunyahni, Minul, Lilis Diana,
hingga Yati Pesek, lewat lagu Nyidam Sari, Tahu opo tempe, Rondho Kempling, loro bronto dan sebagainya yang masih merupakan lagu ciptaan
Manthous. Sayangnya, dikarenakan sedang mengalami sakit sampai dinyatakan
terkena stroke, Manthous sekarang tidak bisa lagi menciptakan mahakarya seni yang pernah digagasnya sendiri ini. Walaupun demikian, alunan
gending-gending campursari masih sering terdengar di setiap pojok tempat, baik di rumah makan, bus-bus antar kota atau propinsi, radio-radio lokal, dan
di acara-acara hajatan. Salah satu maestro lawas yang memiliki lagu-lagu diakui oleh dunia
dalam album karya emasnya yang diluncurkan pada 19 Oktober 2008 adalah Gesang Martohartono lahir pada 1 Oktober 1917 di Surakarta, dan meninggal
pada 20 Mei 2010. Salah satu karyanya adalah lagu yang berjudul Caping Gunung
23
Caping Gunung
Vokal: Nurhana Ciptaan: Gesang
Dek jaman berjuang, njur kelingan anak lanang Biyen tak openi, gek saiki ono ngendi..
Jarene wis menang, keturutan sing digadang Biyen ninggal janji, gek saiki opo lali
Neng nggunung, tak cadhongi sego jagung Yen mendhung, tak silihi caping nggunung
Sukur biso nyawang, gunung ndeso dadi rejo Bene ora ilang, nggone podho loro lopo
Lagu ini memiliki makna sangat mendalam. Sebagai anak kampung yang terlahir di kaki gunung Lawu, saya merasakan pesan yang sangat kuat dari
lagu ini. Jangan pernah melupakan kampung halaman. Jangan pernah melupakan orang-orang kampung yang ikut berjasa menghantarkan
keberhasilan kita. Setelah sukses dan tinggal di kota, jangan menjadi orang yang lupa diri,
tidak mengingat lagi masyarakat yang sangat berharap peran anak-anak kampung yang telah sukses bekerja di kota. Ayolah membangun desa, jangan
lupa tengok desa asalmu. Bangun kemakmuran warga, bangun kesejahteraan mereka
Lagu dari Gesang Martohartono dimofikasi oleh Dhimas Tedjo menjadi musik instrumental gamelan campursari yang digunakan peneliti dalam
penelitian yang dilakukan. Musik yang digunakan peneliti, yaitu: a.
Pamitan
24 b.
Caping gunung c.
Andeng-andeng d.
Ali-ali e.
Luntur f.
Jembatan merah g.
Nusul h.
Bengawan solo i.
Sandang pangan j.
Ora menangi k.
Payungan l.
Ngimpi m.
Rahayu Yang merupakan karya dari Gesang Martohartono.
Dari sejarah dan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa campursari adalah salah satu kesenian Jawa yang merupakan campuran antara musik
modern dengan musik etnik tradisi jawa dengan lagu-lagu yg diiringi menggunakan paduan alat musik berskala nada pentatonis dan diatonis.
6. Musik Instrumental