Definisi Riba Jenis-Jenis Riba

Pemaparan di atas untuk menunjukkan bahwa masih banyak keragu-raguan akan teori perbankan syari’ah yang justru terjadi bukan sebatas orang awam namun juga praktisinya sendiri, ‘alim, dan ‘abid. Supaya Anda tidak ragu, maka alangkah baiknya kita pelajari konsep-konsep perbankan syari’ah. Tulisan ini akan menjabarkan secara ringkas konsep-konsep dasar perbankan syari’ah. Tulisan akan dimulai dari permasalahan pokok dunia perbankan, yaitu masalah riba dan bunga. Masalah ini akan dibahas agak panjang karena inilah substansi permasalahan perbankan konvensional. Baru kemudian mengarah pada sistem operasional, mudharabah, penjualan murabahah dengan harga lebih tinggi daripada harga kontan, baru kemudian penjelasan singkat beberapa istilah dalam bank syari’ah. Karena keterbatasan tempat, maka tulisan ini akan dipadatkan. Apabila ingin menggali lebih dalam, maka dapat membaca berbagai referensi mengenai bank syari’ah yang tersebar di toko-toko buku, perpustakaan, maupun internet. Harapannya, kita semua dapat berperan dalam mengembangkan bank syari’ah di Indonesia dalam dua ranah, yaitu teori dan prakteknya.

A. RIBA

1. Definisi Riba

Riba berasal dari kata rab atau rib an yang berarti bertambah atau tumbuh. 7 Meski secara bahasa diartikan bertambah atau tumbuh, secara syara’ makna riba bukan diartikan segala aktivitas yang membuat harta bertambah atau tumbuh. Aktivitas-aktivitas ekonomi yang menambah atau menumbuhkan harta secara benar 7 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 2000, hlm. 137. menurut syari’ah tentu bukan masuk kategori riba, misal jual-beli, berdagang, dan berinvestasi. Sedangkan yang masuk kategori riba adalah pengambilan tambahan harta dari harta pokok atau modal secara batil. 8 Batil dalam hal ini tentulah batil secara syari’at, berdasarkan nash-nash Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Ibnu al-Arabi al-Maliki dalam kitab Ahkam Al-Qur’an mengatakan: “Pengertian riba secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Qur’ani yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syari’ah.” 9

2. Jenis-Jenis Riba

Disebutkan oleh Sura’i Abdul Hadi 1999 bahwa ulama fiqih membagi riba menjadi dua macam, yaitu riba fadhl dan riba nas+’ah. 10 Diterangkan oleh Muhammad bahwa riba fadhl merupakan riba jual beli sedangkan riba nasi’ah merupakan riba utang- piutang. 11 Sebagian pakar menambahkan satu jenis lagi, yaitu riba jahiliyah yang pada dasarnya merupakan bagian dari riba nas+’ah. Sedangkan sebagian yang lain menambah lagi, yaitu riba qardh. Muhammad Syafi’i Antonio misalnya, menyebutkan empat pembagian riba, yaitu riba qardh dan riba jahiliyah untuk riba utang-piutang sedangkan riba fadhl dan riba nas+’ah untuk riba jual beli. 12 Dalam hal ini, riba nas+’ah dimaknai oleh Antonio seperti halnya riba nas,’ riba penundaan pada barang ribawi. Kemudian, 8 Lihat Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2005, hlm. 37. 9 Ibid., hlm. 38. 10 Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, Edisi Revisi, Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan AMP YKPN, 2005, hlm. 42. 11 Lihat ibid., loc. it. 12 Lihat Antonio, op. cit., hlm. 41. Antonio menambahkan riba qardh yang sebenarnya esensinya adalah riba nas+’ah. Penulis akan memaparkan kerancuan pembagian jenis-jenis riba. a. Riba nas+’ah - . Secara bahasa, nas+’ah - .0 berarti tangguh; bayaran kemudian. 13 Riba nas+’ah disebut juga riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat utang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko al-ghunmu bil ghurmi dan hasil usaha muncul bersama biaya al-kharaj bi dhaman. 14 Pengertian dari kalimat tersebut adalah bahwa keuntungan dan hasil usaha didapat tanpa resiko dan biaya. Jadi, perjalanan waktulah yang menyebabkan tambahan pada utang-piutang. Itulah esensi dari riba nas+’ah. 15 Di sini, riba nas+’ah memiliki esensi yang sama dengan riba qardh yang disebutkan oleh Antonio. Adapun, Antonio mengartikan riba qardh sebagai suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang diisyaratkan terhadap yang berutang muqtaridh. 16 Sungguh sebuah kedzaliman apabila seseorang menginginkan keuntungan dan hasil usaha tanpa adanya resiko dan biaya, kemudian dia meminjamkan barang ribawi kepada orang lain untuk kemudian meminta tambahan atas barang yang dipinjamkan tersebut. Padahal, orang yang meminjamkan tersebut tidaklah mengeluarkan suatu resiko 13 Yunus, op. cit., hlm. 449. 14 Anonim, Macam Riba: Riba Nasi-ah 2, Online, http:www.halalguide.infocontentview69046 , 2006. 15 Meski secara bahasa nas+’ah merupakan tangguh; bayaran kemudian, perlu dipahami bahwa penjualan dengan angsuran atau pembayaran kemudian bukanlah termasuk jenis riba. Meski harga suatu barang misalkan lebih mahal dibandingkan harga barang jika dibayar dengan kontan, itu bukan riba. Itu adalah harga yang berbeda yang diterapkan dengan kondisi yang berbeda. Tidak ada dalil yang melarang penjualan dengan sistem angsuran. Justru, sistem angsuran memudahkan orang lain dalam membeli. Lihat subbab “Kebolehan Bagi Bank Menjual Barang dengan Harga Lebih Tinggi Daripada Jika Dibeli Kontan”. 16 Antonio, loc. it. dan biaya apapun namun meminta tambahan. Misal saja seseorang memiliki uang seharga Rp. 1.000.000.000. Jika dia menabung di bank konvensional dengan bunga 6 per tahun, maka dalam setahun dia akan mendapatkan Rp. 60.000.000 tanpa berbuat apa-apa. Hitung saja dalam sebulan dia akan mendapatkan Rp 5.000.000. Itu gaji yang sangat banyak untuk ukuran Indonesia saat ini. Padahal, Rp. 5.000.000 tersebut dia dapat misalnya hanya dengan tidur-tiduran atau bersenang-senang tanpa perlu berpikir resiko dan biaya. Sungguh suatu kedzaliman. Maka, sungguh enak bagi orang kaya raya apabila riba nas+’ah ini tidak dilarang oleh Islam. Riba nasi’ah merupakan riba yang dilarang dalam Al-Qur’an dalam empat tahap. Berikut ini merupakan tahapan larangan riba nas+’ah pada Al-Qur’an: a. Tahap pertama adalah Q.S. ar-R1m 30: 39, ayat ini diturunkan di kota Mekkah sebelum Hijriyah. Tafsir ayat ini menunjukkan bahwa riba masih merupakan indikasi bukan keharusan. Namun jelas menolak bahwa riba seolah-olah dapat menolong mereka yang membutuhkan perbuatan yang diridhai Allah. b. Tahap kedua adalah turunnya Q.S. an-Nis, 4: 160-161. Ayat ini diturunkan di kota Madinah setelah Hijriyah. Ayat ini juga belum secara tegas melarang perbuatan riba. Ayat ini membicarakan tentang orang-orang Yahudi yang telah melanggar hukum Taurat dengan memakan riba walaupun telah dilarang. Untuk itu Allah mengancam orang-orang Yahudi dengan balasan yang keras. c. Tahap ketiga adalah turunnya Q.S. 2li Imr,n 3: 130. Ayat ini turun setelah kaum muslim mengalami kekalahan dalam perang Uhud pada tahun ketiga Hijriyah. Ayat ini merupakan peraturan pertama yang melarang kaum muslim memakan riba. Selain itu, ayat ini juga menjelaskan bahwa sifat umum riba adalah berlipat ganda. d. Tahap keempat adalah turunnya Q.S. al-Baqarah 2: 275-279. Ayat ini diturunkan ketika suku Thaq+f dari Arab menagih riba. Padahal suku ini telah memeluk Islam pada bulan ramadhan pada tahun ke-9 Hijriyah. Perlu dicatat bahwa Mekkah sudah dikuasai oleh Islam setahun sebelumnya. Ayat-ayat terakhir yang menyangkut riba tersebut secara tegas mengharamkan segala bentuk riba, bahkan Allah dan rasul-Nya menyatakan perang terhadap pengambil riba. Selain itu, ayat-ayat ini secara tegas memberikan tuntutan bahwa: 1 jual beli tidak identik dengan riba dan karenanya diperbolehkan; 2 bagi yang telah memakan riba harus segera berhenti menagih sisa riba. 17 b. Riba Jahiliyah 3 Riba jahiliyah merupakan utang dibayar lebih dari pokoknya karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan. 18 Adapun sebenarnya, riba jahiliyah ini termasuk riba nas+’ah. Termasuk riba nas+’ah karena ada manfaat atau tingkat kelebihan tertentu dari utang-piutang. Disebut jahiliyah karena riba inilah yang dikenal dan dipraktekkan oleh masyarakat Arab jahiliyah sebelum Nabi Muhammad saw. diutus. Tafsir Qurthuby menjelaskan: 19 “Pada jaman jahiliyah para kreditur, apabila utang sudah jatuh tempo, akan berkata kepada debitur, “Lunaskan hutang anda sekarang, atau anda tunda pembayaran itu dengan tambahan.” Maka pihak debitur harus menambah jumlah kewajiban pembayaran hutangnya dan kreditur menunggu waktu pembayaran kewajiban tersebut sesuai ketentuan baru. 17 Muhammad, op. cit., hlm. 36-37. Muhammad mengutip dari Mudrajad Kuncoro dan Suhardjono, Manajemen Perbankan Teori dan Aplikasi, Edisi Pertama, Yogyakarta: BPFE, 2002, hlm. 588-590. 18 Antonio, loc. it. 19 Dalam Anonim, Macam Riba: Riba Jahiliyah 3, Online, http:www.halalguide.infocontentview69146 , 2006. c. Riba fadhl 45 dan riba nas,’ . Hukum riba fadhl berdasarkan pada banyak hadits, salah satunya: 4567 4567 8 9 7 : 7 ; : = 6?67 A? B: 6C ? A 67- 67DE F67 67 F67 67 6 7G 6 7G BH BH I67 I67 7G6: 6C 7 A? 7 : 7 J6B 67 9 K7 6 6?7 7 Diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan cash. Barangsiapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya dia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah.” H.R. Muslim Hadits seperti tersebut di atas menunjukkan larangan memperjualbelikan enam bahan tersebut dalam dua bentuk: 1 Pertama, menjual sesuatu dengan jenisnya barang ribawi – pen dengan pelebihan tafadhul diantara keduanya, yaitu salah satu dari pada kedua imbalannya lebih banyak daripada yang lain. Ini adalah riba fadhl, yaitu riba penukaran lebih, karena di dalamnya terdapat kelebihan bagi salah satu dari kedua imbalannya dari yang lain dengan kesamaan dalam jenis dan manfaatnya barang ribawi – pen. 2 Kedua, dalam penjualan barang ribawi – pen tidak terjadi saling terima taqabudh di tempat penjualan. Yang demikian ini disebut riba nasa’ penundaan. Riba ini bukanlah riba nas+’ah. 20 Terdapat perbedaan di kalangan ulama terkait dua riba ini. Ada yang menganggap tidak ada riba kecuali riba nas+’ah sedangkan yang lain menganggap dua hal tersebut termasuk riba karena diterangkan oleh hadits-hadits. Ibnu Abbas r.a. termasuk orang yang berpendapat bahwa tidak ada riba kecuali riba nas+’ah. Dia bersandar kepada apa yang diriwayatkannya sendiri, Utsman bin Zaid dan Abdullah bin az-Zubair dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda: 21 L KL - . “Tidak ada riba kecuali pada riba nas ’ah.” H.R. Bukhari Banyak sekali perbedaan pandangan di kalangan para ulama mengenai barang ribawi. Kaum zhahiriyah yang tidak membuka pintu qiyas membatasi barang ribawi pada enam hal tersebut sedangkan ulama lainnya menggunakan qiyas dan juga saling berbeda pendapat. Secara ringkas disebutkan oleh Muhammad Syafi’i Antonio bahwa barang ribawi meliputi: 1 emas dan perak, baik dalam bentuk uang maupun dalam bentuk lainnya; 20 Abu Zahrah, Muhammad Abu Zahrah, Beberapa Pembahasan Mengenai Riba, diterjemahkan oleh Abdullah Suhaili, Teluk Betung: Zaid Suhaili, 1974, hlm. 81. 21 Ibid., hlm. 82. 2 bahan makanan pokok, seperti beras, gandum, dan jagung, serta bahan makanan tambahan, seperti sayur-saturan dan buah-buahan. 22 3. Bunga = Riba?