1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kasus kehamilan yang tidak diinginkan semakin banyak ditemui di
Bali. Putri 2009 mengungkapkan dalam acara workshop advokasi yang digelar Kisara di Denpasar bahwa klinik Kisara yang baru beroperasi selama
empat bulan sudah menangani konseling 177 kasus kehamilan tidak diinginkan KTD. Data pada bulan September hingga Desember 2008
menunjukkan terdapat 155 kasus atau 88 persen terjadi pada usia 10-24 tahun, sisanya 21 kasus atau 11,9 persen terjadi pada remaja putri berusia 21 tahun
keatas. Data ini bisa dipastikan di luar angka estimasi KTD di seluruh Bali seperti dirilis oleh BKKBN. Data tahun 2006, tingkat KTD di Bali mencapai
18.582 kasus Kompas.com, 2009. Kelonggaran yang diberikan oleh orang tua di dalam keluarga Bali
memungkinkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dikalangan remaja. Untuk mempertanggungjawabkan perilakunya tersebut, terdapat
remaja yang akhirnya memutuskan untuk melangsungkan perkawinan. Pada masyarakat Bali terdapat budaya yang mengharuskan untuk membicarakan
keputusan-keputusan yang akan diambil dalam keluarga inti kepada keluarga besar. Keluarga inti yang akan menikahkan anaknya harus mendapatkan
persetujuan dari keluarga besar. Setelah mendapatkan persetujuan dari keluarga besar, akan diadakan pertemuan dengan warga
banjar
untuk
membicarakan perkawinan yang akan diselenggarakan tersebut. Hal ini memungkinkan lingkungan tempat tinggal mengetahui perkawinan remaja
yang disebabkan oleh kehamilan tidak diinginkan ini. Remaja tersebut memiliki tanggungjawab moral kepada kelurga dan masyarakat Artadi,
2012. Perkawinan yang biasa dilangsungkan oleh warga masyarakat adat
Bali adalah perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan
istilah
kapurusa
atau
purusa
. Pihak perempuan meninggalkan rurmahnya untuk melangsungkan upacara perkawinan ditempat kediaman suaminya dan
kemudian bertanggung jawab penuh meneruskan kewajiban swadharma orang tua serta leluhur suaminya secara sekala alam nyata maupun niskala
alam gaib. Tujuan perkawinan menurut ajaran Hindu adalah untuk mendapatkan
anak keturunan yang berguna untuk menebus dosa-dosa orang tuanya. Anak diumpamakan sebagai perahu yang akan mengantar seseorang atau roh yang
sedang menderita di neraka dan bertugas untuk menyelamatkan roh tersebut dari penderitaan seperti yang diuraikan pada pasal 161 Buku IX Manawa
Dharmasastra. Anak laki-laki dipandang mempunyai kedudukan yang lebih utama dibandingkan anak perempuan Sagung Ngurah, 2009; Windia, 2011.
Menurut Jensen dan Suryani 1996 masyarakat Bali memiliki hubungan yang erat dengan keluarga besar dan leluhurnya. Keluarga, leluhur,
dan masyarakat saling terikat erat dan saling bergantung. Hal ini juga berperan
penting dalam keberlangsungan perkawinan. Keberadaan anggota keluarga ini berfungsi sebagai pengawas dan pengontrol dalam suatu keluarga inti.
Menurut Sudiasa 1992 masyarakat di Bali dipengaruhi oleh sistem kekerabatan, kasta suatu pelapisan sosial di Bali, status sosial-ekonomi
maupun pengaruh pariwisata. Seseorang
yang sudah
menikah akan
dihadapkan dengan
tanggungjawab terhadap upacara keagamaan yang diadakan secara teratur dan menyita sebagian waktu dan usaha. Upacara yang dilaksanakan oleh
masyarakat Bali berhubungan dengan siklus hidup seseorang, keseharian dan berkala sesuai dengan penanggalan kalender Bali. Upacara pada umumnya
melibatkan keluarga besar,
banjar
, atau seluruh desa. Maka perlu adanya kesiapan dalam menghadapi kehidupan perkawinan Jensen Suryani, 1996.
Rumah tangga di Bali biasanya terdiri dari keluarga batih monogami, ditambah dengan anak laki-laki yang sudah menikah bersama keluarga
batihnya serta dengan kerabat yang menumpang tinggal. Salah satu anak laki- lakinya akan tetap tinggal bersama dengan orangtuanya untuk melanjutkan
atau menggantikan rumah tangga orangtuanya serta kewajiban adat orangtuanya. Hal ini akan dilanjutkan secara turun temurun sesuai dengan
garis keturunan serta kasta yang dimiliki ketika menikah Laksmiwati, 1999. Walaupun masyarakat Bali lebih mengutamakan anak laki-laki, wanita
yang menikah memiliki peranan yang sangat penting dalam keberlangsungan rumah tangganya, antara lain: menjadi pusat pemeliharaan kepentingan-
kepentingan rumah tangga, pendidikan anak terutama dalam hal moral,
membangun kehidupan bermasyarakat dan dalam hal kesatuan ritual. Kemudian seiring berkembangnya zaman terdapat penambahan peran pada
wanita yaitu membantu suami dalam penambahan pendapatan keluarga. Perlu adanya kesiapan yang matang pada diri wanita untuk dapat menyelaraskan
peran dalam keluarga dengan peran dalam hubungan kemasyarakatannya. Dari penjelasan diatas maka akan terjadi ketimpangan antara
kebebasan untuk berhubungan selama berpacaran dengan setelah menikah. Remaja tersebut harus bertanggungjawab dengan tugas-tugas yang ada dan
mendapatkan evaluasi dari keluarga besar serta masyarakat adat. Perkawinan yang disebabkan dari kehamilan tidak diinginkan ini akan menjadi berat
karena adanya unsur keterpakasaan yang membuat pasangan tersebut belum memiliki kesiapan untuk membina keluarga. Hal ini mengakibatkan
permasalahan yang baru dalam rumah tangga. Selain itu, remaja putri yang baru masuk ke dalam keluarga pihak laki-laki harus berhadapan dengan
serangkaian tugas-tugas sebagai wanita Bali yang sudah menikah. Ngantung 2012 melakukan penelitian pada remaja putri di Salatiga
yang menikah karena mengalami kehamilan tidak diinginkan. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa terdapat kendala pada penyesuaian diri dalam
perkawinannya antara lain, ekspektasi lingkungan untuk menyelesaikan pendidikan belum dapat tercapai yang membawa remaja tersebut memiliki
perasaan bersalah, ketegangan psikologis, amarah, merasa menyesal dan kecewa serta penundaan pada kebutuhan seksualnya. Selain itu, permasalahan
ini dikarenakan kehadiran anak ditahun pertama perkawinan. Kendala
penyesuaian ini juga berasal dari remaja putri yang tidak mendapatkan peran ideal dari suami karena suami masih mempertahankan perilaku remajanya.
Disisi lain, peran orangtua dirasa sangat mempengaruhi kesiapan remaja untuk menjalani peran ibu sehingga remaja perlu memiliki kedekatan dengan
orangtua pasangan selama berpacaran. Winata 2013 menemukan bahwa sepasang suami istri di usia remaja
yang menikah karena kehamilan tidak diinginkan di Surabaya lebih sering menyelesaikan konflik dengan cara
avoidance
atau penghindaran. Penghindaran yang pertama yaitu menghindar untuk menenangkan diri agar
mereka dapat berpikir dengan benar, dan yang kedua yaitu menghindar karena memang mereka tidak ingin membahas konflik yang ada. Hal ini dikarenakan
ketidaksiapan atau ketakutan mereka terhadap pengungkapan konflik. Jika konflik tidak dihindari maka akan berisiko terhadap perpecahan. Mereka
khawatir dengan adanya perpecahan dengan alasan anak. Dari penghindaran ini terdapat ketidakpuasan sehingga menimbulkan konflik yang tidak
diungkapkan. Penelitian yang dilakukan oleh Dewata 2004 mengenai motivasi pada
mahasiswa yang masih berusia remaja menikahi pasangannya karena hamil diluar nikah memperoleh hasil bahwa motivasi mereka menikah paling besar
dikarena faktor tanggungjawab dan cinta. Selain itu, faktor kebersamaan dan kesamaan serta faktor komunikasi kurang mendominasi motivasi perkawinan
tersebut. Penyesalan sudah tidak diperdulikan lagi, hanya mengharapkan yang terbaik untuk masa depan keluarganya.
Dari penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan tersebut terdapat kendala
penyesuaian diri didalam perkawinannya karena ekspektasi lingkungan, ketegangan psikologis, emosi negatif, penundaan kebutuhan seksual serta
kehadiran anak di awal tahun pernikahan. Mereka cenderung menggunakan penghindaran dalam menyelesaikan konflik agar tidak terjadi perpecahan.
Motivasi yang dimiliki dalam perkawinan paling besar berasal dari faktor tanggung jawab dan cinta.
Penelitian yang ditemukan hanya membahas sebuah aspek namun kurang menjelaskan pengalaman perkawinan remaja yang mengalami
kehamilan secara menyeluruh. Penelitian tersebut kurang menjelaskan bagaimana remaja tersebut mengalami dunia perkawinannya. Hal ini yang
membuat peneliti ingin mendeskripsikan pengalaman perkawinan remaja putri akibat kehamilan tidak diinginkan agar dapat lebih mengerti bagaimana dunia
yang dimiliki oleh remaja tersebut. Menurut Rogers dalam Alwisol, 2011 untuk dapat memahami tingkahlaku individu perlu untuk melihat
pengalamannya secara utuh sehingga akan dapat lebih memahami mengenai dunia yang dijalaninya dari perspektif remaja tersebut. Hal ini akan
berhubungan dengan pembentukan struktur self dan hubungannya dengan lingkungannya. Remaja putri yang menikah karena kehamilan tidak
diinginkan akan memiliki unsur keterpaksaan dan tidak memiliki kesiapan dalam membina keluarga.
Hal ini dirasa penting untuk diteliti karena penelitian mengenai pengalaman perkawinan remaja akibat kehamilan tidak diinginkan masih
jarang diteliti terutama di Bali, sedangkan perempuan di Bali ketika sudah menikah akan dihadapkan dengan tugas-tugas yang berat setelah memasuki
jenjang perkawinan serta terdapat peran keluarga besar dalam mengontrol dan mengawasi perkawinannya.
B. Rumusan Masalah