Pembahasan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan

Dari hasil penelitian ditemukan bahwa pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali memiliki tema dasar yaitu rasa bersalah melanggar norma masyarakat, kebingungan identitas, keintiman, dan kebutuhan untuk adanya penerimaan mulai dari pasangan, mertua hingga masyarakat. Pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali dibedakan menjadi dua tipe. Tipe pertama, pengalaman perkawinan dialami sebagai dunia yang bergerak dari mendapatkan hal yang tidak diinginkan menuju ke arah yang lebih baik yaitu merasa memiliki tanggung jawab dan menjadi lebih dewasa dan tipe kedua, pengalaman dialami sebagai dunia yang berawal dari mendapatkan hal yang diinginkan menuju ke arah mempertahankan dengan merasa memiliki tanggung jawab dan menjadi lebih dewasa. Tipe pertama, diawal perkawinan remaja merasa menjalani sesuatu yang tidak diinginkannya. Mereka merasa adanya ketidaksiapan, keterpaksaan untuk menikah, kebingungan untuk menentukan pilihan yang akan diambilnya, merasa kehilangan kebebasan, dan ingin lebih diperhatikan oleh pasangannya. Mereka merasa telah berperilaku buruk yaitu mengecewakan harapan kedua orang tuanya, merasa malu dan terhukum karena telah melanggar norma masyarakat. Remaja tersebut merasa kecewa dan mengalami stress selama mengandung karena remaja merasa ditolak oleh orang tuanya. Namun, ketika remaja merasa diterima oleh orang tuanya perasaan yang muncul adalah perasaan diperhatikan. Remaja tersebut merasa berharga karena diterima oleh pasangannya. Tipe kedua, diawal perkawinan remaja menganggap perkawinan sebagai sesuatu yang diinginkannya. Remaja merasa senang karena keinginannya untuk hidup bersama pasangannya terpenuhi. Remaja merasa senang selama menjalani proses mengandungnya. Remaja mengalami kebingungan untuk mengambil keputusan dan mendapatkan bantuan dari pasangan untuk menentukan keputusan yang akan diambilnya. Remaja merasa berharga karena diterima oleh pasangannya. Ketika menjalani perkawinan baik tipe pertama maupun tipe kedua menganggap perkawinan sebagai sebuah tanggung jawab baru dalam hidupnya. Mereka merasa jauh lebih dewasa ketika menjalani perkawinannya. Mereka memiliki keinginan untuk menunjukkan kepada orang disekitarnya bahwa pilihannya untuk menikah sudah tepat. Mereka merasa diterima oleh mertuanya. Walaupun terdapat remaja yang mendapatkan penolakan dari ibunya, remaja tersebut tetap merasa mendapatkan penerimaan dari mertuanya. Remaja merasa diperhatikan, tidak dituntut, dan dibantu oleh mertuanya. Mereka merasa menjadi bergantung kepada mertuanya. Mereka berupaya untuk berperilaku sesuai dengan harapan mertuanya seperti berusaha menjadi lebih dewasa, mengikuti perkataan mertua, tidak membebani mertua dengan masalah pribadinya dan berusaha tidak membuat kesalahan. Remaja tersebut juga merasa diterima oleh masyarakat. Mereka merasa dimengerti dan diperhatikan oleh masyarakat walaupun kewajiban adat masih diwakilkan oleh mertua. Mereka tetap mengalami kecemasan akan mendapatkan penolakan dan kurang dapat bersosialisasi dengan masyarakat jika tidak mengikuti kegiatan adat. Mereka berupaya mengikuti kegiatan adat untuk mengurangi kecemasannya tersebut. Terdapat pula remaja yang mengalami kecemasan terhadap masa depannya karena akan memiliki beban kewajiban adat yang akan diturunkan oleh mertuanya ke pasangannya kelak. Ketika menjalani perkawinannya, tipe pertama, merasa membutuhkan bantuan dari pasangannya untuk membagi bebannya dalam mengurus anak. Remaja merasa pasangannya kurang mengerti, memperhatikan dan menghargai dirinya. Remaja berupaya untuk berperilaku baik terhadap pasangannya. Tipe kedua, merasa penerimaan yang ditunjukkan oleh pasangan menghadirkan perasaan diperhatikan dan dihargai oleh pasangannya. remaja berupaya untuk merawat pasangannya dengan baik untuk mengurangi kecemasan akan ditinggalkan oleh pasangannya Perasaan mengecewakan, rasa malu dan rasa terhukum yang dialami oleh remaja dikarenakan terjadi perubahan pola berpikir bahwa dirinya berasalah sama seperti pandangan orang disekitarnya. Ditinjau dari psikoanalisa Freud, rasa bersalah muncul karena ego ditekan oleh super ego. Ego dianggap melanggar norma-norma masyarakat. Jika hal tersebut terus ditekan oleh lingkungan maka akan berkembang menjadi menyalahkan diri self-blamming . Remaja akan mengingat kembali aturan moral yang ditanamkan orang tua, standar sosial, dan penilaian masyarakat Monika, 2010. Adanya penolakan dari orang tua tentang keadaan subjek seperti membenarkan pemikiran remaja bahwa dirinya bersalah sehingga memperbesar pemikiran bahwa dirinya buruk. Kebingungan untuk menentukan pilihan yang akan diambilnya dan merasa kehilangan kebebasan menunjukkan remaja mulai mengalami kebingungan identitasnya. Katika remaja memiliki permasalahan yang harus dipecahkan, remaja mengalami kesulitan untuk menentukan keputusan yang akan diambilnya. Hal ini menunjukkan remaja tersebut gagal untuk membentuk identitasnya sehingga memerlukan bantuan dari orang lain yang dipercaya dan lebih memiliki peran otoritas. Menurut Erikson dalam papalia, 2008 kebingungan identitas atau peran, dapat memperlambat pencapain kedewasaan psikologis remaja tersebut. Erikson 1982, dalam Papalia, 2008 menjelaskan banyak remaja mencari komitmen yang dapat dijadikan pegangan. Komitmen ini dapat mempengaruhi kemampuan mereka memecahkan krisis identitasnya. Remaja merasa dapat mengatasi krisis identitas dengan mengembangkan moral kesetiaan seperti mempertahankan loyalitas, keyakianan atau perasaan yang dimiliki oleh orang tercinta. Loyalitas dipilih berdasarkan keinginanya sendiri tidak lagi berasal dari keinginan orang tua sehingga remaja memiliki keinginan untuk menunjukkan bahwa pilihannya untuk menikah dengan pasangannya sudah tepat. Ketika remaja menjalani perkawinannya, mereka mulai membentuk identitas dirinya. Komitmen dalam perkawinan dianggap sebagai identitas baru yang dimiliki oleh dirinya sehingga remaja merasa perkawinan sebagai tanggung jawab baru di dalam kehidupannya. Intimasi yang dimiliki remaja berbeda dari intimasi orang dewasa yang melibatkan komitmen yang lebih besar, pengorbanan, dan kompromi. Wanita mengembangkan identitasnya melalui intimasi, bukan sebelumnya Erikson, 1982, dalam Papalia, 2008. Hal ini dapat menunjukkan remaja merasa mendapatkan keinginannya melalui pernikahan dikarenakan remaja tersebut mencoba mencari identitasnya melalui intimasi dengan komitmen perkawinan bersama orang yang dicintainya. Namun, remaja tersebut menjadi memiliki keinginan untuk dapat lebih dimengerti dan diperhatikan oleh pasangannya dikarenakan remaja tersebut tidak melibatkan komitmen yang lebih besar dan pengorbanan seperti intimasi yang dimiliki oleh orang dewasa. Penerimaan yang ditunjukkan oleh lingkungan sekitarnya seperti pasangan, keluarga, dan masyarakat dapat membantu remaja dalam menjalani perkawinannya. Penerimaan ini akan memberikan perasaan berharga, diperhatikan, serta dihargai atas hal-hal yang dilakukan selama menjalani perkawinananya. Remaja berpikiran bahwa harus berperilaku seperti yang diharapkan oleh lingkungan agar dapat diterima secara positif oleh lingkungannya. Hal ini menimbulkan kecemasan atau ketakutan akan adanya penolakan jika tidak berperilaku seperti yang diharapkan oleh lingkungannya. Menurut Rogers dalam Alwisol, 2010 remaja akan terpaksa untuk menghambat potensi yang dimiliki jika tidak sesuai dengan pandangan orang sekitarnya. Remaja akan menjadi tidak bebas dan terhambat dalam perkembangannya menjadi lebih dewasa. Remaja yang mendapatkan penolakan dari orang tua akan mengalami perpindahan rasa nyaman ke dalam hubungannya dengan mertua yang memberikan penerimaan terhadap dirinya. Selain itu, remaja yang merasa bersalah telah mengecewakan orang tua akan mencari figur baru yang dapat dijadikan tempatnya bersandar dan mendapatkan kepercayaannya. Pada saat itu, remaja mengalami regresi ke tahap perkembangan sebelumnya. Remaja tersebut kembali mencari rasa aman untuk mendapatkan rasa percaya dari mertua. Penerimaan yang ditunjukkan oleh mertua akan memberikan kesempatan kepada remaja untuk bergantung menggantikan figure orang tuanya. Hal ini dikarenakan remaja merasa tidak dapat bergantung lagi dengan orang tuanya karena telah berperilaku tidak sesuai yang diharapkan oleh orang tuanya. Dalam penalaran moral Kohlberg dalam Papalia, 2008, remaja menginternalisasikan standar figur otoritas. Mereka peduli tentang menjadi baik, memuaskan orang lain dan mempertahankan tatanan sosial. Mereka akan menganggap perilakunya salah jika melanggar peraturan dan menyakiti orang lain. Mereka percaya bahwa akan lebih baik jika mematuhi hukum yang berlaku dimasyarakat. Perkembangan moral bergerak dari kontrol eksternal terhadap standar sosial yang diinternalisasikan ke prinsip moral personal. Hal ini dianggap dapat membantu dirinya untuk terhindar dari perasaan cemas akan adanya penolakan dari lingkungan seperti mertua dan masyarakat. Kewajiban adat dianggap sebagai beban dalam perkawinan remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali. Hal ini dikarenakan terdapat sanksi yang akan diterima oleh warga banjar yang tidak dapat mengikuti kegiatan adat tersebut seperti membayarkan sejumlah uang yang sudah disepakati oleh seluruh warga banjar. Namun, terdapat hal penting yang harus diperhatikan yaitu bukan dari banyaknya uang yang harus dibayarkan melainkan terdapat tanggung jawab moral yang dimiliki oleh seseorang dalam menjalankan kewajibannya di dalam masyarakat. Selain itu, ketika seseorang tidak dapat mengikuti kegiatan adat akan memunculkan perasaan malu, bersalah, serta kekhawtiran akan dikucilkan oleh warga banjar lainnya Setia, 2008; Artadi, 2012. Remaja yang menikah karena mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali sebagian besar perannya dalam kegiatan adat digantikan oleh mertuanya dan masyarakat pun menunjukkan adanya penerimaan akan hal tersebut. Walaupun masyarakat menunjukkan adanya penerimaan tetap saja memunculkan kecemasan akan adanya penolakan bagi remaja tersebut. Hal ini dikarenakan remaja merasa pernah melanggar norma masyarakat dan tidak ingin melanggar aturan lagi seperti tidak pernah mengikuti kegiatan adat. Remaja akan berupaya untuk dapat mengikuti kegiatan adat walaupun tidak mengikuti kegiatan adat mulai dari tahap persiapan. Menurut mereka kedatangannya saat hari puncak acara dapat memperlihatkan usaha mereka untuk tetap dapat bersosialisasi sesuai dengan kewajiban masyarakat Bali yang sudah menikah. 69

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali mengalami rasa bersalah melanggar norma masyarakat, kebingungan identitas, keintiman dan kebutuhan akan adanya penerimaan dari pasangan, mertua, serta masyarakat. Penolakan yang tunjukkan oleh orang tua serta rasa bersalah telah mengecewakan orang tua membuat remaja mengalami perpindahan rasa nyaman ke dalam hubungannya dengan mertua. Hal ini membuat remaja menjadi bergatung dengan mertua seperti menggantikan peran remaja dalam kegiatan adat. Masyarakat adat juga menunjukkan adanya penerimaan dalam hal tersebut. Walaupun demikian, remaja tetap memiliki kecemasan akan adanya penolakan jika tidak mengikuti kegiatan adat. Hal ini membuat kewajiban adat dianggap menjadi beban dalam perkawinan remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali. Penerimaan yang ditunjukkan oleh mertua dan masyarakat menjadi peran penting dalam keberlangsungan perkawinan remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali. Pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali dibedakan menjadi dua tipe. Tipe pertama, diawal perkawinan merasa mengalami hal yang tidak diinginkan seperti merasa adanya ketidaksiapan, keterpaksaan, menuju kearah merasa memiliki tanggung jawab baru dan menjadi dewasa. Tipe kedua, diawal perkawinan