Studi deskriptif pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali.
STUDI DISKRIPTIF PENGALAMAN PERKAWINAN REMAJA PUTRI YANG MENGALAMI KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN DI BALI
Made Ayu Wahyuning Prativi ABSTRAK
Penelitian ini betujuan untuk mendeskripsikan pengalaman perkawinan remaja putri yang menikah akibat kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) di Bali. Pertanyaan utama penelitian yang diajukan adalah bagaimana pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) di Bali. Pendataan dilakukan terhadap tiga subjek yang berada pada kisaran usia 19-20 tahun yang usia pernikahannya antara dua hingga tiga tahun melalui wawancara semi-terstruktur. Strategi penelitian adalah fenomenologi deskriptif, sehingga dapat memahami makna-makna psikologis yang berkaitan dengan perilaku individu dalam fenomena tersebut. Proses validasi yang digunakan adalah validitas member checking, paper trail, dan refleksivitas. Hasil penelitian ditemukan bahwa pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali mengalami rasa bersalah melanggar norma masyarakat, kebingungan identitas, keintiman dan kebutuhan akan adanya penerimaan dari pasangan, mertua, serta masyarakat. Remaja mengalami regresi ke tahap perkembangan sebelumnya. Kewajiban adat dianggap sebagai beban dalam perkawinannya. Pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali dibedakan menjadi dua tipe. Tipe pertama, diawal perkawinan merasa mengalami hal yang tidak diinginkan seperti merasa adanya ketidaksiapan, keterpaksaan, menuju kearah merasa memiliki tanggung jawab baru dan menjadi dewasa. Tipe kedua, diawal perkawinan merasa mendapatkan hal yang diinginkan karena dapat hidup dengan pasangan dapat terpenuhi menuju kearah merasa memiliki tanggung jawab baru dan menjadi dewasa. Hal ini dapat disimpulkan bahwa walaupun terdapat perbedaan diawal perkawinannya, kedua tipe bergerak kearah yang sama yaitu menyadari bahwa setelah menikah menjadi memiliki tanggung jawab baru dan menjadi dewasa.
(2)
DESCRIPTIVE STUDY MARRIAGE EXPERIENCE OF ADOLESCENTS UNWANTED PREGNANCY IN BALI
Made Ayu Wahyuning Prativi ABSTRACT
This research aimed to describe marriage experience of adolescents unwanted pregnancy in Bali. The central question is about how marriage experience of adolescents unwanted pregnancy in Bali. The data were collected from three subjects were adolescents who 19 years old until 20 years old with 2 years until 3 years age of marriage through semi-structured interview. Strategic of this research were descriptive phenomenology so it can explained psychological meanings of behavior from people with that phenomena. Validity process used member checking validity, paper trail and reflexivity. The result of study found that they experience guilt violate society’s norms, identity confusion, intimacy, and the need for acceptance with partner, parents in law and society. Adolescents experience a regression to earlier developmental stage. Customary obligation is considered as an expense in the marriage. The experience can be divided into two types: the first type, in early marriage was experiencing undesirable like feeling unpreparedness and under compulsion moving toward having new responsibilities and become adult. The second type, in early marriage was getting something to be desired because it can live with a partner moving towards having new responsibilities and become adult. It can be concluded that although there are differences in the beginning of marriage, the two types of moves in the same directions is realized that after marrying into having new responsibilities and become adult.
(3)
STUDI DESKRIPTIF PENGALAMAN PERKAWINAN
REMAJA PUTRI YANG MENGALAMI KEHAMILAN TIDAK
DIINGINKAN DI BALI
Skripsi
Diajukkan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Made Ayu Wahyuning Prativi NIM : 099114023
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
(4)
(5)
(6)
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Jika kamu berani bermimpi maka keajaiban akan datang karena keajaiban itu nyata bagi kamu yang berani bermimpi. Maka bermimpilah.”
“Tak selamanya Tuhan memberikan hal buruk namun bagi kamu yang berani menghadapi hal buruk maka Tuhan akan memberikan sesuatu yang
indah.”
“Tak perlu menjadi hebat hanya perlu menjadi diri sendiri, berdiri tegak dan hadapi. Akan ada orang-orang yang percaya akan dirimu disamping
mu, menggenggam tangan mu dan berdoa untuk dirimu.”
“Kehidpuan adalah seni. Selalu tampak abadi walau waktu berputar tanpa henti. Terlihat indah namun menyimpan segala getir kehidupan.”
Karya ini ku persembahkan untuk : Tuhan Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang selalu memberikan secercah sinar harapan. Orang tua serta saudara ku yang selalu mendukung setiap langkah ku serta kepercayaan. Keluarga besar ku yang memberikan banyak pelajaran. Serta sahabat-sahabat ku dan segenap orang-orang yang ku sayangi
(7)
(8)
vi
STUDI DISKRIPTIF PENGALAMAN PERKAWINAN REMAJA PUTRI YANG MENGALAMI KEHAMILAN TIDAK DIINGINKAN DI BALI
Made Ayu Wahyuning Prativi ABSTRAK
Penelitian ini betujuan untuk mendeskripsikan pengalaman perkawinan remaja putri yang menikah akibat kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) di Bali. Pertanyaan utama penelitian yang diajukan adalah bagaimana pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) di Bali. Pendataan dilakukan terhadap tiga subjek yang berada pada kisaran usia 19-20 tahun yang usia pernikahannya antara dua hingga tiga tahun melalui wawancara semi-terstruktur. Strategi penelitian adalah fenomenologi deskriptif, sehingga dapat memahami makna-makna psikologis yang berkaitan dengan perilaku individu dalam fenomena tersebut. Proses validasi yang digunakan adalah validitas member checking, paper trail, dan refleksivitas. Hasil penelitian ditemukan bahwa pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali mengalami rasa bersalah melanggar norma masyarakat, kebingungan identitas, keintiman dan kebutuhan akan adanya penerimaan dari pasangan, mertua, serta masyarakat. Remaja mengalami regresi ke tahap perkembangan sebelumnya. Kewajiban adat dianggap sebagai beban dalam perkawinannya. Pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali dibedakan menjadi dua tipe. Tipe pertama, diawal perkawinan merasa mengalami hal yang tidak diinginkan seperti merasa adanya ketidaksiapan, keterpaksaan, menuju kearah merasa memiliki tanggung jawab baru dan menjadi dewasa. Tipe kedua, diawal perkawinan merasa mendapatkan hal yang diinginkan karena dapat hidup dengan pasangan dapat terpenuhi menuju kearah merasa memiliki tanggung jawab baru dan menjadi dewasa. Hal ini dapat disimpulkan bahwa walaupun terdapat perbedaan diawal perkawinannya, kedua tipe bergerak kearah yang sama yaitu menyadari bahwa setelah menikah menjadi memiliki tanggung jawab baru dan menjadi dewasa.
(9)
vii
DESCRIPTIVE STUDY MARRIAGE EXPERIENCE OF ADOLESCENTS UNWANTED PREGNANCY IN BALI
Made Ayu Wahyuning Prativi ABSTRACT
This research aimed to describe marriage experience of adolescents unwanted pregnancy in Bali. The central question is about how marriage experience of adolescents unwanted pregnancy in Bali. The data were collected from three subjects were adolescents who 19 years old until 20 years old with 2 years until 3 years age of marriage through semi-structured interview. Strategic of this research were descriptive phenomenology so it can explained psychological meanings of behavior from people with that phenomena. Validity process used member checking validity, paper trail and reflexivity. The result of study found that they experience guilt violate society’s norms, identity confusion, intimacy, and the need for acceptance with partner, parents in law and society. Adolescents experience a regression to earlier developmental stage. Customary obligation is considered as an expense in the marriage. The experience can be divided into two types: the first type, in early marriage was experiencing undesirable like feeling unpreparedness and under compulsion moving toward having new responsibilities and become adult. The second type, in early marriage was getting something to be desired because it can live with a partner moving towards having new responsibilities and become adult. It can be concluded that although there are differences in the beginning of marriage, the two types of moves in the same directions is realized that after marrying into having new responsibilities and become adult.
(10)
(11)
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta segala
manifestasiNya yang telah memberikan tuntunan, kemudahan serta kelancaran
dalam proses pembuatan skripsi ini hingga dapat terselesaikan. Adapun hambatan
serta kesalahan yang ditemukan akan peneliti gunakan sebagai pembelanjaran
yang terbaik dalam pengalaman kehidupan.
Skripsi yang bejudul “Studi Deskriptif Pengalaman Perkawinan Remaja Putri yang Mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan di Bali” ini diajukan kepada Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma guna memenuhi syarat-syarat
kelulusan untuk mendapatkan gelar Sarjana Psikologi.
Saran dan kritik yang membangun akan sangat penulis harapkan demi
kelengkapan penulisan skripsi ini, mengingat keterbatasan kemampuan dan
kepekaan peneliti dalam menulis skripsi. Segala bentuk tukar pikiran, diskusi,
atau hal-hal yang dapat memperluas wawasan serta pandangan yang baru akan
peneliti terima dengan senang hati. Pada kesempatan ini peneliti ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko, M.Psi. selaku Dekan Fakultas
Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ibu Ratri Sunar A, M.Si. selaku Kepala Program Studi Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Bapak Victorius Didik Suryo Hartoko, M. Si., selaku dosen pembimbing
skripsi yang telah memberikan masukan, nasehat serta mengarahkan
(12)
x
4. Ibu Dr. Tjipto Susana, selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan masukan, nasehat serta mengarahkan peneliti dalam studi
mulai dari awal hingga akhir.
5. Ibu Dr. Ch. Siwi Handayani, M.Psi., yang telah mengajarkan tentang
makna kehidupan untuk tidak menyerah dalam setiap pembelajaran yang
diberikan oleh Tuhan.
6. Seluruh dosen Fakultas Psikologi yang sudah memberikan ilmu serta
pengetahuannya selama peneliti menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
7. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi (Mas Gandung, Bu Nanik, Pak Gie,
Mas Muji dan Mas Doni) yang telah banyak membantu selama masa studi
sehingga dapat berjalan dengan baik.
8. Kedua orang tua saya yang tercinta Putu Gde Budhyasa, SE. dan Made Sri
Yuliati yang selalu memberikan nasehat, dukungan, kekuatan dan doa
disetiap langkah saya.
9. Saudara-saudara saya (Putri, Arik dan Widya) dan keluarga besar saya
yang selalu memberikan dukungan untuk saya.
10.Ketiga subjek peneltian saya (AB, AD dan RD) yang telah bersedia untuk
membantu saya dalam penelitian ini.
11.Pipit dan Ayu Lestari yang bersedia untuk mencarikan dan
(13)
xi
12.Sahabat-sahabat saya di Bali terutama Kurcaci, Ngurah, yang senantiasa
memberikan dukungan dan bantuannya hingga saya dapat menyelesaikan
studi.dan Arya yang bersedia mengantar saya menjelajah perpus Unud.
13.Putu Ardika Yana, S.Psi., yang banyak membatu dalam proses pembuatan
penelitian ini.
14.Sahabat-sahabat saya di Fakultas Psikologi (Samira, Odil, Dina, Ayu,
Fani, Angel) yang memberikan dukungan serta perhatiannya, teman-teman
satu bimbingan dengan saya dan semua teman-teman saya di Fakultas
Psikologi yang telah bersedia berdinamika bersama saya baik suka
maupun duka.
15.Sahabat saya Widi, Krisna, Nover, yang memberikan dukungan dan
perhatian selama saya berada di Jogja.
16.Saudara-saudara saya di KMHD Universitas Sanata Dharma yang
memberikan perasaan seperti tetap berada di kampung halaman.
17.Serta seluruh pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terima
kasih banyak atas bantuan, doa serta dukungan selama ini.
Penulis,
(14)
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
HALAMAN LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR SKEMA ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
1. Manfaat Teoretis ... 7
(15)
xiii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9
A. Remaja ... 9
1. Psikososial Remaja ... 9
2. Remaja yang Mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan ... 12
B. Pengalaman Perkawinan dalam Adat Bali ... 14
1. Pengalaman Perkawinan ... 14
2. Perkawinan dalam Adat Bali ... 16
C. Kerangka Penelitian ... 20
D. Pertanyaan Penelitian ... 21
1. Central Question ... 22
2. Subquestion ... 22
BAB III METODE PENELITIAN ... 23
A. Jenis Penelitian ... 23
B. Fokus Penelitian ... 24
C. Subjek Penelitian ... 25
D. Metode Pengumpulan Data ... 25
E. Prosedur Analisis Data ... 29
F. Validitas Penelitian ... 30
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 33
A. Hasil Penelitian ... 33
1. Subjek AB ... 33
2. Subjek AD ... 43
(16)
xiv
4. Struktur Umum Keseluruhan Subjek ... 58
B. Pembahasan ... 62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 69
A. Kesimpulan ... 69
B. Keterbatasan Penelitian ... 70
C. Saran ... 70
1. Bagi subjek penelitian ... 70
2. Bagi keluarga, orang tua dan masyarakat ... 71
3. Bagi peneliti selanjutnya ... 71
DAFTAR PUSTAKA ... 72
(17)
xv
DAFTAR SKEMA
(18)
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Verbatim Subjek 1 (AB) ... 75
Lampiran 2. Verbatim Subjek 2 (AD) ... 80
Lampiran 3. Verbatim Subjek 3 (RD) ... 85
Lampiran 4. Transformasi Subjek 1 (AB) ... 90
Lampiran 5. Transformasi Subjek 2 (AD) ... 105
Lampiran 6. Transformasi Subjek 3 (RD) ... 121
Lampiran 7. Struktur Umum Subjek 1 (AB) ... 138
Lampiran 8. Struktur Umum Subjek 2 (AD) ... 144
Lampiran 9. Struktur Umum Subjek 3 (RD) ... 150
Lampiran 10. Struktur Umum Subjek 1, 2, dan 3 ... 156
(19)
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kasus kehamilan yang tidak diinginkan semakin banyak ditemui di
Bali. Putri (2009) mengungkapkan dalam acara workshop advokasi yang
digelar Kisara di Denpasar bahwa klinik Kisara yang baru beroperasi selama
empat bulan sudah menangani konseling 177 kasus kehamilan tidak
diinginkan (KTD). Data pada bulan September hingga Desember 2008
menunjukkan terdapat 155 kasus atau 88 persen terjadi pada usia 10-24 tahun,
sisanya 21 kasus atau 11,9 persen terjadi pada remaja putri berusia 21 tahun
keatas. Data ini bisa dipastikan di luar angka estimasi KTD di seluruh Bali
seperti dirilis oleh BKKBN. Data tahun 2006, tingkat KTD di Bali mencapai
18.582 kasus (Kompas.com, 2009).
Kelonggaran yang diberikan oleh orang tua di dalam keluarga Bali
memungkinkan terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dikalangan
remaja. Untuk mempertanggungjawabkan perilakunya tersebut, terdapat
remaja yang akhirnya memutuskan untuk melangsungkan perkawinan. Pada
masyarakat Bali terdapat budaya yang mengharuskan untuk membicarakan
keputusan-keputusan yang akan diambil dalam keluarga inti kepada keluarga
besar. Keluarga inti yang akan menikahkan anaknya harus mendapatkan
persetujuan dari keluarga besar. Setelah mendapatkan persetujuan dari
(20)
membicarakan perkawinan yang akan diselenggarakan tersebut. Hal ini
memungkinkan lingkungan tempat tinggal mengetahui perkawinan remaja
yang disebabkan oleh kehamilan tidak diinginkan ini. Remaja tersebut
memiliki tanggungjawab moral kepada kelurga dan masyarakat (Artadi,
2012).
Perkawinan yang biasa dilangsungkan oleh warga masyarakat adat
Bali adalah perkawinan yang dilangsungkan antara seorang laki-laki dengan
seorang perempuan yang lebih dikenal luas dalam masyarakat Bali dengan
istilah kapurusa atau purusa. Pihak perempuan meninggalkan rurmahnya
untuk melangsungkan upacara perkawinan ditempat kediaman suaminya dan
kemudian bertanggung jawab penuh meneruskan kewajiban (swadharma)
orang tua serta leluhur suaminya secara sekala (alam nyata) maupun niskala
(alam gaib).
Tujuan perkawinan menurut ajaran Hindu adalah untuk mendapatkan
anak (keturunan) yang berguna untuk menebus dosa-dosa orang tuanya. Anak
diumpamakan sebagai perahu yang akan mengantar seseorang atau roh yang
sedang menderita di neraka dan bertugas untuk menyelamatkan roh tersebut
dari penderitaan seperti yang diuraikan pada pasal 161 Buku IX Manawa
Dharmasastra. Anak laki-laki dipandang mempunyai kedudukan yang lebih
utama dibandingkan anak perempuan (Sagung Ngurah, 2009; Windia, 2011).
Menurut Jensen dan Suryani (1996) masyarakat Bali memiliki
hubungan yang erat dengan keluarga besar dan leluhurnya. Keluarga, leluhur,
(21)
penting dalam keberlangsungan perkawinan. Keberadaan anggota keluarga ini
berfungsi sebagai pengawas dan pengontrol dalam suatu keluarga inti.
Menurut Sudiasa (1992) masyarakat di Bali dipengaruhi oleh sistem
kekerabatan, kasta (suatu pelapisan sosial di Bali), status sosial-ekonomi
maupun pengaruh pariwisata.
Seseorang yang sudah menikah akan dihadapkan dengan
tanggungjawab terhadap upacara keagamaan yang diadakan secara teratur dan
menyita sebagian waktu dan usaha. Upacara yang dilaksanakan oleh
masyarakat Bali berhubungan dengan siklus hidup seseorang, keseharian dan
berkala sesuai dengan penanggalan kalender Bali. Upacara pada umumnya
melibatkan keluarga besar, banjar, atau seluruh desa. Maka perlu adanya
kesiapan dalam menghadapi kehidupan perkawinan (Jensen & Suryani, 1996).
Rumah tangga di Bali biasanya terdiri dari keluarga batih monogami,
ditambah dengan anak laki-laki yang sudah menikah bersama keluarga
batihnya serta dengan kerabat yang menumpang tinggal. Salah satu anak
laki-lakinya akan tetap tinggal bersama dengan orangtuanya untuk melanjutkan
atau menggantikan rumah tangga orangtuanya serta kewajiban adat
orangtuanya. Hal ini akan dilanjutkan secara turun temurun sesuai dengan
garis keturunan serta kasta yang dimiliki ketika menikah (Laksmiwati, 1999).
Walaupun masyarakat Bali lebih mengutamakan anak laki-laki, wanita
yang menikah memiliki peranan yang sangat penting dalam keberlangsungan
rumah tangganya, antara lain: menjadi pusat pemeliharaan
(22)
membangun kehidupan bermasyarakat dan dalam hal kesatuan ritual.
Kemudian seiring berkembangnya zaman terdapat penambahan peran pada
wanita yaitu membantu suami dalam penambahan pendapatan keluarga. Perlu
adanya kesiapan yang matang pada diri wanita untuk dapat menyelaraskan
peran dalam keluarga dengan peran dalam hubungan kemasyarakatannya.
Dari penjelasan diatas maka akan terjadi ketimpangan antara
kebebasan untuk berhubungan selama berpacaran dengan setelah menikah.
Remaja tersebut harus bertanggungjawab dengan tugas-tugas yang ada dan
mendapatkan evaluasi dari keluarga besar serta masyarakat adat. Perkawinan
yang disebabkan dari kehamilan tidak diinginkan ini akan menjadi berat
karena adanya unsur keterpakasaan yang membuat pasangan tersebut belum
memiliki kesiapan untuk membina keluarga. Hal ini mengakibatkan
permasalahan yang baru dalam rumah tangga. Selain itu, remaja putri yang
baru masuk ke dalam keluarga pihak laki-laki harus berhadapan dengan
serangkaian tugas-tugas sebagai wanita Bali yang sudah menikah.
Ngantung (2012) melakukan penelitian pada remaja putri di Salatiga
yang menikah karena mengalami kehamilan tidak diinginkan. Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa terdapat kendala pada penyesuaian diri dalam
perkawinannya antara lain, ekspektasi lingkungan untuk menyelesaikan
pendidikan belum dapat tercapai yang membawa remaja tersebut memiliki
perasaan bersalah, ketegangan psikologis, amarah, merasa menyesal dan
kecewa serta penundaan pada kebutuhan seksualnya. Selain itu, permasalahan
(23)
penyesuaian ini juga berasal dari remaja putri yang tidak mendapatkan peran
ideal dari suami karena suami masih mempertahankan perilaku remajanya.
Disisi lain, peran orangtua dirasa sangat mempengaruhi kesiapan remaja untuk
menjalani peran ibu sehingga remaja perlu memiliki kedekatan dengan
orangtua pasangan selama berpacaran.
Winata (2013) menemukan bahwa sepasang suami istri di usia remaja
yang menikah karena kehamilan tidak diinginkan di Surabaya lebih sering
menyelesaikan konflik dengan cara avoidance atau penghindaran.
Penghindaran yang pertama yaitu menghindar untuk menenangkan diri agar
mereka dapat berpikir dengan benar, dan yang kedua yaitu menghindar karena
memang mereka tidak ingin membahas konflik yang ada. Hal ini dikarenakan
ketidaksiapan atau ketakutan mereka terhadap pengungkapan konflik. Jika
konflik tidak dihindari maka akan berisiko terhadap perpecahan. Mereka
khawatir dengan adanya perpecahan dengan alasan anak. Dari penghindaran
ini terdapat ketidakpuasan sehingga menimbulkan konflik yang tidak
diungkapkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Dewata (2004) mengenai motivasi pada
mahasiswa yang masih berusia remaja menikahi pasangannya karena hamil
diluar nikah memperoleh hasil bahwa motivasi mereka menikah paling besar
dikarena faktor tanggungjawab dan cinta. Selain itu, faktor kebersamaan dan
kesamaan serta faktor komunikasi kurang mendominasi motivasi perkawinan
tersebut. Penyesalan sudah tidak diperdulikan lagi, hanya mengharapkan yang
(24)
Dari penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa perkawinan remaja
yang mengalami kehamilan tidak diinginkan tersebut terdapat kendala
penyesuaian diri didalam perkawinannya karena ekspektasi lingkungan,
ketegangan psikologis, emosi negatif, penundaan kebutuhan seksual serta
kehadiran anak di awal tahun pernikahan. Mereka cenderung menggunakan
penghindaran dalam menyelesaikan konflik agar tidak terjadi perpecahan.
Motivasi yang dimiliki dalam perkawinan paling besar berasal dari faktor
tanggung jawab dan cinta.
Penelitian yang ditemukan hanya membahas sebuah aspek namun
kurang menjelaskan pengalaman perkawinan remaja yang mengalami
kehamilan secara menyeluruh. Penelitian tersebut kurang menjelaskan
bagaimana remaja tersebut mengalami dunia perkawinannya. Hal ini yang
membuat peneliti ingin mendeskripsikan pengalaman perkawinan remaja putri
akibat kehamilan tidak diinginkan agar dapat lebih mengerti bagaimana dunia
yang dimiliki oleh remaja tersebut. Menurut Rogers (dalam Alwisol, 2011)
untuk dapat memahami tingkahlaku individu perlu untuk melihat
pengalamannya secara utuh sehingga akan dapat lebih memahami mengenai
dunia yang dijalaninya dari perspektif remaja tersebut. Hal ini akan
berhubungan dengan pembentukan struktur self dan hubungannya dengan
lingkungannya. Remaja putri yang menikah karena kehamilan tidak
diinginkan akan memiliki unsur keterpaksaan dan tidak memiliki kesiapan
(25)
Hal ini dirasa penting untuk diteliti karena penelitian mengenai
pengalaman perkawinan remaja akibat kehamilan tidak diinginkan masih
jarang diteliti terutama di Bali, sedangkan perempuan di Bali ketika sudah
menikah akan dihadapkan dengan tugas-tugas yang berat setelah memasuki
jenjang perkawinan serta terdapat peran keluarga besar dalam mengontrol dan
mengawasi perkawinannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang diajukan dalam
penelitian ini adalah bagaimana pengalaman perkawinan remaja putri yang
mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) di Bali?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan untuk mendeskripsikan pengalaman
perkawinan remaja putri yang menikah akibat kehamilan yang tidak
diinginkan (KTD) di Bali.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dalam
bidang psikologi, terutama pada psikologi perkembangan dan sosial.
Melalui deskriptif pengalaman ini dapat mengambarkan mengenai
(26)
2. Manfaat Praktis
a. Bagi subjek penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membantu subjek penelitian
dalam mengerti dan menyadari konflik yang terjadi pada dirinya dan
perkawinannya sehingga dapat menentukan langkah selanjutnya dalam
menghadapi perkawinan di usia remaja. Selain itu, penelitian ini
diharapkan dapat membantu subjek penelitian untuk lebih menyadari
perannya di dalam keluarga serta masyarakat.
b. Bagi masyarakat dan orangtua
Penelitian ini diharapkan dapat menyadarkan orangtua
mengenai perkawinan di usia remaja sehingga dapat lebih
membimbing remaja agar lebih memikirkan perkawinan yang akan
dijalankan nantinya. Selain itu, dapat membantu remaja dalam
memberikan pengetahuan mengenai perannya di dalam keluarga serta
masyarakat setelah melangsungkan perkawinan. Penelitian ini
diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat dalam
(27)
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Remaja
1. Psikososial Remaja
WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia, 1974) mendefiniskan bahwa
remaja adalah periode perkembangan pubertas atau peralihan biologis
serta perkembangan psikologis dari kanak-kanak menjadi dewasa (dalam
Sarwono, 2008). Papalia (2008) menjelaskan perubahan yang terjadi mulai
dari fisik, kognitif dan psikososial. Periode ini berada pada kelompok usia
10-24 tahun. Mereka sudah mulai mempersiapkan diri menuju kehidupan
dewasa, termasuk dalam aspek seksualnya. Masa remaja merupakan
puncak perkembangan emosi. Dalam tahap ini mulai mementingkan orang
lain dan harga diri (Muss, 1968, dalam Sarwono, 2008).
Remaja adalah masa eksplorasi dan eksperimen seksual, masa
fantasi dan realitas seksual, masa mengintergrasikan seksualitas ke dalam
identitas seseorang. Remaja memiliki rasa ingin tahu dan seksualitas yang
hampir tidak dapat dipuaskan (Santrock, 2012). Menurut Erickon (1968)
pada tahap remaja seseorang dihadapkan pada pencarian identitas. Pada
tahap ini seseorang berusaha mengembangkan perasaan akan eksistensi
diri yang koheren, termasuk pada peran yang dimainkan di dalam
masyarakat. Identitas dan intimasi berkembang beriringan pada diri
(28)
berkembang melalui penjalinan hubungan daripada pencapaian identitas
secara terpisah. Wanita akan menilai diri mereka berdasarkan tanggung
jawab mereka dan kemampuan mereka memperhatikan orang lain dan diri
sendiri (dalam Papalia, 2008).
Relasi teman sebaya menjadi lebih kuat di dalam tahap remaja.
Remaja yang tidak yakin dengan identitas sosialnya cenderung akan lebih
menyesuaikan diri dengan teman sebayanya. Teman sebaya akan lebih
cenderung menyesuaikan diri ketika ada seseorang yang menurut mereka
memiliki status yang lebih tinggi (Brown, dkk, 2008, Prinstein, dkk, 2000,
dalam Santrock, 2012).
Masa remaja sebagian besar harga diri berkembang dalam konteks
hubungan dengan teman sebaya. Harga diri wanita lebih bergantung pada
koneksi dengan orang lain. Wanita memiliki harga diri tinggi menonjolkan
diri mereka dalam cara kolaboratif bukan kompetitif (Thorne &
Michaelieu, 1996, dalam Papalia, 2008). Beberapa riset mengungkapkan
bahwa wanita memiliki harga diri yang lebih rendah daripada pria
terutama di akhir masa remaja.
Remaja memiliki tendensi untuk memiliki emosi yang kuat. Hal ini
sangat mempengaruhi pengambilan keputusan pada remaja. Ketika remaja
dalam situasi yang emosional dapat menghambat kemampuannya dalam
mengambil keputusan. Remaja membutuhkan lebih banyak kesempatan
(29)
realistis. Remaja harus dibiasakan masuk ke dalam proses pengambilan
keputusan terutama yang menyangkut dirinya sendiri.
Remaja akan lebih sering membahas abatraksi seperti cinta,
keadilan dan kebebasan. Para remaja putri lebih cenderung
menghubungakan seks dengan cinta. Hal ini menyebabkan terdapat alasan
untuk berubungan seksual pra nikah karena ingin menunjukkan rasa
cintanya terhadap pasangannya (Sarwono, 2008).
Elkind (1998, dalam Papalia, 2008) menyatakan bahwa remaja
terkadang menunjukkan keyakinan diri mereka spesial, mereka memiliki
pengalaman yang unik, serta tidak tunduk pada peraturan sehingga
terdapat remaja yang menyatakan bahwa tidak ada yang jatuh cinta
sedalam dirinya. Selain itu, remaja tersebut juga kurang memiliki
pengalaman serta strategi efektif untuk memilih sehingga mengikuti
kemauan dari pasangan untuk melakukan hubungan seksual pra nikah
demi menunjukkan rasa cintanya. Hubungan seksual pra nikah ini dapat
menyebabkan kehamilan tidak diinginkan.
Remaja putri lebih melihat penilaian moral kepada tanggung jawab
untuk menunjukkan kasih sayang dan menghindari hal yang
membahayakan. Dalam tahap penalaran moral Kohlberg (dalam Papalia,
2008), remaja menginternalisasikan standar figur otoritas. Mereka peduli
tentang menjadi baik, memuaskan orang lain dan mempertahankan tatanan
sosial. Mereka akan menganggap perilakunya salah jika melanggar
(30)
baik jika mematuhi hukum yang berlaku dimasyarakat. Perkembangan
moral bergerak dari kontrol eksternal terhadap standar sosial yang
diinternalisasikan ke prinsip moral personal.
2. Remaja yang Mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan
Kehamilan tidak diinginkan merupakan kehamilan yang terjadi
karena tidak adanya perencanaan dan kesiapan terhadap kehamilan
tersebut (Monika, 2010). Hal ini akan memberikan dampak yang serius,
seperti perasaan bersalah, depresi, marah, penyesalan, dan penyalahan diri.
Akibat psiko-sosial lainnya adalah ketegangan mental dan kebingungan
akan peran sosial yang tiba-tiba berubah dari gadis menjadi seorang ibu.
Terkadang menimbulkan cemoohan dan penolakan dari masyarakat
sekitarnya (Sarwono, 2008). Hal ini dikarenakan remaja sering kali
berasumsi bahwa hal yang dipikirkan oleh orang lain sama dengan yang
dipirkannya sehingga peristiwa ini akan mempengaruhi self-concept
remaja tersebut. Remaja akan cenderung merasa gagal, mencemarkan
nama baik keluarga, perasaan bingung, cemas, malu, bersalah bercampur
dengan depresi, pesimis terhadap masa depan terkadang disertai dengan
benci dan marah terhadap diri sendiri maupun pasangan hingga nasib.
Remaja yang mengetahui dirinya mengandung akan mengalami
perubahan pikiran, perasaan dan sikap. Pandangan masyarakat akan
mempengaruhi pola pikir remaja yang melakukan hal tersebut sehingga
(31)
Ditinjau dari psikoanalisa, rasa bersalah muncul karena ego ditekan oleh
super ego. Ego dianggap melanggar norma-norma masyarakat. Bila rasa
bersalah terus ada, bahkan terus ditekan oleh lingkungan masyarakat maka
itu akan berkembang menjadi self blaming (menyalahkan diri). Self
blaming ini antara lain: berdosa, merasa terisolasi dari lingkungannya,
berpikir buruk mengenai dirinya, dan menjadi sulit mempercayai orang
lain (menjadi tertutup). Terkadang remaja tersebut, menjadi tidak dapat
menyalurkan emosi negatifnya seperti: kecemasan, malu, tidak berdaya,
menyesal. Remaja tersebut akan mengingat kembali aturan moral yang
ditanamkan orangtua, standar sosial, dan penilaian masyarakat. Remaja
akan keluar dari fase aman menuju fase tidak aman. Ketika itu akan mulai
muncul stressor-stressor dari internal maupun eksternal. Remaja yang
mendapatkan dukungan dari orang tua akan memiliki self blaming yang
tidak begitu besar (Monika, 2010).
Emosi berkaitan dengan harga diri. Emosi-emosi negatif seperti
kesedihan, berkaitan dengan harga diri yang rendah, sementara emosi
positif, seperti kegembiraan berkaitan dnegan harga diri yang tinggi.
Remaja yang mengalami kehamilan tidak diinginkan yang memiliki emosi
negtif akan memiliki harga diri yang rendah. Pengaruh pengalaman
lingkungan dapat memberikan kontribusi yang labih besar terhadap emosi
remaja. Pengalaman yang menekan pada remaja akan sangat
mempengaruhi perubahan dalam emosi remaja. Banyak remaja yang
(32)
meningkatkan kemampuan kognitif dan kesadaran dari remaja tersebut
(Santrock, 2007).
Remaja yang tiba-tiba mengandung akan memiliki kebingungan
identitas (atau peran), yang akan memperlambat pencapaian kedewasaan
psikologis. Identitas terbentuk ketika remaja berhasil memecahkan tiga
masalah utama: pilihan pekerjaan, adopsi nilai yang diyakini dan dijalani,
dan perkembangan identitas seksual yang memuaskan. Erikson (dalam
Papalia, 2008) menjelaskan bahwa intimasi remaja berbeda dari intimasi
orang dewasa yang melibatkan komitmen yang lebih besar, pengorbanan,
dan kompromi.
B. Pengalaman Perkawinan dalam Adat Bali 1. Pengalaman Perkawinan
Sebuah perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan wanita yang bertujuan untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1
Undang-undang No. 1 Tahun 1974). Perkawinan ini bersifat sakral
sehingga ikatan ini juga berfungsi untuk mengontrol hubungan seks yang
layak pada suatu pasangan.
Pernikahan adalah suatu yang sangat sakral dan tidak hanya
melibatkan pasangan yang akan berkomitmen, namun terdapat orang lain
yang memiliki bagian didalamnya seperti anak, mertua, saudara, keluarga
(33)
Menurut Walgito (dalam Kertamuda, 2009) terdapat hal yang harus
diperhatikan untuk melangsungkan suatu perkawinan yaitu: kematangan
fisologis, kematangan psikologis, kematangan sosial-ekonomi, jangkauan
masa depan serta pengertian perbedaan pria dan wanita. Seseorang yang
menikah harus siap dengan segala beban yang timbul dan bertanggung
jawab penuh. Hal ini yang menentukan usia yang tepat untuk mulai
membina perkawinan.
Dari perkawinan yang dijalani oleh seseorang akan membentuk
sebuah pengalaman. Pengalaman adalah suatu hal yang pernah dialami,
dirasai dan dijalani (Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa).
Schwant (dalam Polkinghorne, 2005) menjelaskan bahwa pengalaman hidup merupakan dunia berdasarkan pada bagaimana individu hidup, merasakan, mengalami, memberi rasa, serta pencapaian individu. Menurut
Georgi, suatu pengalaman didasarkan pada pengalaman sebelumnya yang
akan mempengaruhi pengalaman selanjutnya. Hal ini dikarenakan
pengalaman bergerak secara berkelanjutan terus menerus.
Menurut Rogers (dalam Alwisol, 2010) pengalaman adalah segala
sesuatu yang berlangsung di dalam diri individu pada saat tertentu,
meliputi proses psikologik, kesan-kesan sensorik dan aktivitas motorik.
Individu menanggapi dunianya berdasarkan realita subjektifnya. Hal ini
yang menggerakkan tingkah laku individu tersebut. Untuk dapat
(34)
orang tersebut yaitu, persepsi, sikap dan perasaan yang dimiliki oleh
seseorang tersebut dalam memandang dunia yang dimilikinya.
Pengalaman perkawinan merupakan dunia yang didasari oleh suatu
yang dialami, dirasai, dan dijalani seseorang dalam suatu ikatan lahir batin
antara dirinya dan pasangannya dengan melibatkan anak, mertua, saudara,
keluarga besar serta masyarakat yang lebih luas lagi.
2. Perkawinan dalam Adat Bali
Masyarakat di Indonesia terikat dalam hukum nasional dan hukum
adat. Hukum adat dapat diatur berdasarkan dengan kebijakan dari tiap
daerah. Hal ini juga berlaku di Bali. Masyarakat Bali memiliki nilai-nilai
sosial budaya dan kepercayaan yang berdasarkan pada ajaran agama Hindu
(Kusumajaya, 1999; Paramadnyaksa, 2009). Menurut sosiologi agama,
agama menciptakan suatu ikatan bersama yang dapat mempersatukan
anggota-anggota masyarakat dalam memenuhi kewajiban-kewajiban
sosialnya. Hal ini pula yang menjadi dasar pengaturan masyarakat Bali
(Nottingham, 2002).
Hukum adat Bali memiliki tiga hal pokok yang menjadi konsep
dasar dari hukum adat Bali yaitu Tri Hita Karana (Setia, 2005; Wati, 2008;
Artadi, 2012). Konsep ini antara lain upaya untuk menyeimbangkan
hubungan antara manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan
manusia, dan hubungan antara manusia dengan alam. Hal ini merupakan
(35)
kehidupan masyarakat Bali dalam upaya untuk dapat mengendalikan
ketimpangan masyarakatnya (Subadra, dkk, 2006; Artadi, 2012).
Dalam hukum adat Bali terdapat wadah yang berfungsi untuk
mengorganisir masyarakat secara bulat yang disebut dengan desa adat.
Desa adat terbagi dalam konsep banjar-banjar yang terbungkus oleh sarana
keagamaan yang menjadi sumber kewajiban dan hak-hak yang mengatur
masyarakat didalamnya. Dalam hubungan antar warga desa ini, terdapat
aturan-aturan yang tertuang ke dalam awig-awig. Awig-awig mengatur
batas pekarangan, pitra yadnya (kegiatan keagamaan di tempat
persembahyangan desa), penataan kebiasaan pergaulan hidup yang berupa
tata susila, sopan santun dalam pergaulan seperti halnya cara bertegur sapa
hingga tolong menolong. Aturan-aturan ini ditaati secara turun temurun
dan perlu dilaksanakan sebagai pegangan tanpa adanya paksaan dari
siapapun (Artadi, 2012).
Awig-awig ini berfungsi untuk mempererat ikatan menyama braya
(persaudaraan) diantara masyarakat Bali. Masyarakat yang sudah menikah
akan dihadapkan dengan kerja adat yang biasa disebut dengan ngayah dan
nguopin. Ngayah merupakan kegiatan gotong royong karma banjar adat
dalam berbagai kegiatan mulai dari ritual keagamaan hingga masalah
sosial kemasyarakatan dan masyarakat yang terlibat tidak mendapatkan
upah (Setia, 2008). Menurut Dharmapatni (2012), nguopin hampir sama
dengan ngayah hanya saja nguopin dalam skala yang lebih kecil yaitu
(36)
dalam suatu banjar. Kegiatan tersebut mengurus mulai dari perkawinan,
kelahiran hingga kematian.
Krama banjar adat yang tidak ikut serta dalam kegiatan ngayah
akan mendapatkan sanksi berupa denda namun besarnya tidak seragam di
masing-masing banjar adat. Jenis ngayah antara lain memperbaiki
lingkungan, bekerja menyiapkan sarana upacara, menjenguk dan
mengantar ke kuburan saat ada kematian dan lain-lain. Namun hal yang
menjadi titik berat disini, warga banjar bukannya takut membayar denda
melainkan berapa kali sudah kena denda. Hal ini berkaitan dengan
semakin banyak tidak ikut serta dalam kegiatan ngayah maka semakin
besar sanksi sosial yang akan diterimanya. Sanksi tersebut seperti
pelaksanaan perkawinan tidak dibantu oleh banjar (Setia, 2008; Artadi,
2012).
Kegiatan ngayah dan nguopin bermanfaat untuk memupuk rasa
tolong menolong antara masyarakat. Kegiatan ini tetap berlangsung karena
adanya rasa balas budi. Jika sebelumnya sudah pernah dibantu maka yang
bersangkutan membantu ketika ada upacara. Selain itu, kegiatan ini
bertujuan untuk memenuhi kewajiban sosialnya. Dalam kegiatan ini
diharapkan warga banjar memiliki kesadaran akan perannya sebagai warga
banjar dan mengerti akan tugas yang harus dilakukannya (Dharmapatni,
2012).
Perkawinan yang biasa dilangsungkan oleh warga masyarakat adat
(37)
dengan seorang perempuan. Masyarakat adat di Bali menganut sistem
kekeluargaan patrilineal atau kebapaan yang lebih dikenal luas dalam
masyarakat Bali dengan istilah kapurusa atau purusa. Pihak perempuan
meninggalkan rurmahnya untuk melangsungkan upacara perkawinan
ditempat kediaman suaminya dan kemudian bertanggung jawab penuh
meneruskan kewajiban (swadharma) orang tua serta leluhur suaminya
secara sekala (alam nyata) maupun niskala (alam gaib).
Tujuan perkawinan menurut ajaran Hindu adalah untuk
mendapatkan anak (keturunan) yang berguna untuk menebus dosa-dosa
orang tuanya. Anak diumpamakan sebagai perahu yang akan mengantar
seseorang atau roh yang sedang menderita di neraka dan bertugas untuk
menyelamatkan roh tersebut dari penderitaan seperti yang diuraikan pada
pasal 161 Buku IX Manawa Dharmasastra (Ngurah, 2009; Swastika,
2010).
Dalam setiap keluarga atau rumah tangga, kelahiran anak yang
Suputra merupakan dambaan utama. Suputra berarti anak yang baik, dalam
hal ini adalah anak yang berbhakti kepada orang tua dan leluhurnya.
Memperoleh keturunan merupakan tuntutan demi kelangsungan hidup dan
kehidupan suatu keluarga, baik secara biologis dan atau secara adat,
budaya, dan agama (Swastika, 2010).
Keluarga yang dibentuk melalui perkawinan diharapkan menjadi
keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi hajat
(38)
sayang antara anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi,
harmonis serta mampu mengamalkan, menghayati dan memperdalam serta
melaksanakan nilai-nilai sradha dan bhakti (Swastika, 2010).
Dalam ajaran agama Hindu, sangat disalahkan jika terdapat
perasaan berkorban dan dikorbankan. Semuanya adalah suatu pengabdian.
Sangat keliru jika orang tua merasa berkorban untuk anaknya, begitupula
sebaliknya. Seorang suami sangat keliru jika merasa berkorban dan
terpaksa melakukan sesuatu untuk istri serta anaknya. Pada dasarnya
semua pihak sadar dan paham bahwa semua yang dilakukan merupakan
kewajiban pengabdian dengan jalinan kasih sayang diantara sesama
anggota keluarga dan pelakasanaan amanat dari Ida Sang Hyang Widhi
Wasa (Swastika, 2010).
C. Kerangka Penelitian
Masa remaja merupakan periode perubahan pubertas dimana terjadi
perubahan fisik, kognitif dan psikososial dari masa kanak-kanak menjadi
dewasa. Pada tahap ini merupakan masa mengintergrasikan seksualitas ke
dalam identitas seseorang. Remaja akan dihadapkan dengan pencarian
identitas yang di dalamnya terdapat peran keluarga, teman sebaya dan
masyarakat. Remaja akan lebih sering membahas abatraksi seperti cinta,
keadilan dan kebebasan. Para remaja putri lebih cenderung menghubungakan
(39)
seksual pra nikah karena ingin menunjukkan rasa cintanya terhadap
pasangannya.
Ketika terjadi kehamilan tidak diinginkan terdapat remaja yang
memutuskan untuk menikah. Padahal intimasi remaja berbeda dari intimasi
orang dewasa yang melibatkan komitmen yang lebih besar, pengorbanan, dan
kompromi. Perkawinan tersebut tidak hanya melibatkan sepasang suami istri
melainkan melibatkan keluarga besar hingga masyarakat. Seperti halnya
perkawinan yang terdapat di Bali. Remaja tersebut akan dihadapkan dengan
tugas-tugas sebagai wanita Bali yang sudah menikah seperti kegiatan adat dan
mendapatkan evaluasi keluarga besar. Seseorang yang sudah menikah akan
dihadapkan dengan tanggungjawab terhadap upacara keagamaan yang
diadakan secara teratur dan menyita sebagian waktu dan usaha. Remaja sering
kali berasumsi bahwa hal yang dipikirkan oleh orang lain sama dengan yang
dipikirkannya. Hal ini yang memberikan warna berbeda dalam pengalaman
perkawinan karena memberikan beban yang lebih kepada remaja yang
menikah karena mengalami kehamilan tidak diinginkan di Bali. Selain
menikah karena keterpaksaan dan tidak adanya kesiapan, remaja tersebut
dihadapkan dengan serangkaian tugas sebagai wanita Bali yang sudah
menikah serta memiliki tanggung jawab moral.
D. Pertanyaan Penelitian
Pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak
(40)
1. Central Question
Central question adalah pertanyaan utama pada penelitian. Central question pada penelitian ini adalah bagaimana pengalaman perkawinan
remaja putri yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD) di
Bali?
2. Subquestion
Subquestion adalah pertanyaan yang mengarah pada pertanyaan penelitian
utama. Subquestion pada penelitian ini adalah bagaimana penerimaan
lingkungan terhadap perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan
(41)
23
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif sebagai
pandangan berpikir yang berfokus pada pengalaman subjektif manusia
(Moleong, 2008). Menurut Denzin dan Lincoln (1987; dalam Moleong, 2008)
penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk menafsirkan
fenomena. Penelitian ini berfungsi memahami sikap, pandangan, perasaan,
dan perilaku individu maupun kelompok masyarakat. Selain itu, penelitian ini
juga digunakan untuk mencari dan menemukan pengertian atau pemahaman
tentang fenomena dalam konteks khusus.
Jenis penelitian ini digunakan oleh peneliti karena pengalaman
perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD)
di Bali dapat hadir dalam konteks yang berbeda. Pengalaman perkawinan pada
remaja ini melibatkan sikap, pandangan, perasaan dan perilaku dirinya dan
masyarakat dalam kehidupan sosial budaya di Bali.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan fenomenologi.
Menurut Smith (2009), tujuan dari analisis fenomenologi ini untuk
mengeksplorasi secara detail bagaimana subjek penelitian memahami dunia
pribadi dan sosialnya. Selain subjek berusaha untuk menjelaskan dunianya,
(42)
proses ini, aspek yang penting adalah bahasa, kognitif, afeksi untuk dapat
berhubungan dengan pemikiran dan keadaan emosional subjek.
Strategi penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah analisis
fenomenologi deskriptif. Analisis fenomenologi deskriptif ini bertujuan untuk
mengklarifikasi situasi yang dialami oleh seseorang dalam kehidupan
sehari-hari. Fenomenologi deskriptif ini juga berusaha untuk dapat menangkap
sedekat mungkin bagaimana pengalaman tersebut dialami dalam konteks
terjadinya pengalaman itu. Selain itu, analisis ini berusaha untuk menemukan
makna-makna psikologis yang terkandung dalam pengalaman tersebut (Giorgi
dalam Smith, 2009).
B. Fokus Penelitian
Penelitian ini berfokus pada pengalaman perkawinan yang dimiliki
oleh remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan (KTD) di Bali.
Pengungkapan bagaimana dunia dipandang sebagai suatu hal berdasarkan
yang dialami, dirasakan, serta dijalani oleh individu dari perspektif subjektif
individu tersebut. Suatu pengalaman berasal dari pengalaman sebelumnya dan
akan mempengaruhi pengalaman selanjutnya sehingga hal ini akan berkaitan
dengan urutan waktu dari suatu pengalaman. Hal ini berkaitan dengan
pengalaman perkawinan remaja putri yang mengalami kehamilan tidak
diinginkan, kemudian terikat dengan sosial budaya yang memiliki hukum adat
(43)
C. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah remaja putri di Bali yang menikah pada
usia 19-20 tahun. Subjek sudah menikah selama 2-3 tahun. Subjek bertempat
tinggal di Bali dari lahir hingga menikah. Subjek memutuskan untuk menikah
setelah mengetahui bahwa dirinya mengalami kehamilan tidak diinginkan
(KTD). Ketika menikah, subjek tetap melanjutkan studinya.
D. Metode Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan wawancara
semi-terstruktur. Hal ini berguna untuk memberikan kebebasan kepada subjek
penelitian untuk memberikan respon pada pertanyaan yang diutarakan oleh
peneliti. Pelaksanaan tanya-jawab mengalir seperti dalam percakapan
sehari-hari. Peneliti menggunakan dua pertanyaan utama dalam proses wawancara
yang berfokus untuk mengungkap tujuan dan fokus penelitian. Kemudian
melakukan probing dari pernyataan yang diutarakan subjek penelitian.
Proses pengumpulan data melalui wawancara ini, terdapat beberapa
tahap sebagai berikut:
1. Mencari subjek yang bersedia untuk dijadikan subjek penelitian. Subjek
berjenis kelamin perempuan dan berada pada usia remaja yaitu sekitar
19-20 tahun. Subjek menikah karena mengalami hamil sebelum menikah
dengan rentang usia perkawinan 2-3 tahun. Subjek telah ditentukan
(44)
2. Membangun rapport dan menjelaskan mengenai penelitian yang akan
dilakukan. Peneliti menjelaskan bahwa subjek diminta untuk menjelaskan
pengalaman perkawinan akibat dari kehamilan tidak diinginkan di Bali.
Peneliti juga meminta ijin akan merekan percakapan selama proses
wawancara. Hal ini berfungsi agar subjek penelitian mengerti mengenai
proses pengumpulan data dan bersedia untuk berproses pada penelitian ini.
3. Kemudian menentukan waktu yang tepat untuk memulai proses
wawancara. Hal ini berfungsi agar aktivitas subjek penelitian tidak
terganggu sehingga proses wawancara dapat berjalan dengan baik. Subjek
pertama pada tanggal 12 dan 19 Oktober 2013, subjek kedua tanggal 11
dan 18 Oktober 2013, dan subjek ketiga tanggal 10 dan 17 Oktober 2013.
4. Menentukan dua pertanyaan utama dalam proses wawancara. Hal ini
berfungsi agar peneliti tidak terkesan menuntun subejk dalam menjelaskan
pengalamannya dan mendapatkan data apa adanya. Peneliti menggunakan
dua pertanyaan utama yaitu :
a. Bagaimana awal mulanya kamu bisa menikah?
b. Bisa diceritakan bagaimana pengalaman kamu sekarang menjadi
perempuan yang sudah menikah?
Kemudian peneliti melakukan probing dari pernyataan yang diutarakan
oleh subjek penelitian.
Contoh :
Bisa kakak ceritakan bagaimana awal mulanya kakak bisa menikah? Ya awalnya itu kakak hamil. Terus karena takut dosa, kakak memilih menikah aja terus suami kakak juga memilih menikah karena takut gimana-gimana
(45)
kalo gugurin kandungannya itu. Ya kakak juga takut kan kalo misalnya gugurin kandungan. Kakak memilih menikah karena suami minta menikah, sama kakak juga takut itu. Terus akhirnya bilang sama orangtua kalo kita mau nikah. Kakak pacaran baru 6 bulan tapi udah kenal lama dari SMA. Kita sama-sama dari Jembrana tapi beda banjar. Jadi itu mental kakak gak siap, finansial gak siap semuanya gak siap, tak jalan-jalanin aja ya. Sambil jalan aja belajarnya. Terus kakak tinggalnya di Denpasar atau di Jembrana, kan kakak kuliah di Denpasar? Kakak kos di Denpasar sama suami sama anaknya kakak. Jadinya kakak sama suami harus bagi tugas. Kalau pagi sampe sore suami kakak yang jaga anak dirumah. Kakak ke kampus buat klinik ini terus sore sampe malem suami kakak yang kerja, jadi kakak yang jaga anak dirumah.
5. Melakukan wawancara semi-terstruktur
a. Subjek pertama
Pada subjek pertama, rapport dilakukan dengan cukup cepat
karena sifat subjek yang ramah dan terbuka dengan orang baru. Selain
itu, sebelumnya subjek penelitian sudah diberitahukan akan menjadi
subjek penelitian. Setelah melakukan rapport dilanjutkan dengan
menjelaskan inform concern. Namun ketika memulai wawancara,
subjek terlihat sedikit sulit untuk menjelaskan pengalamannya. Subjek
juga terlihat berhati-hati ketika bercerita. Walaupun demikian subjek
tetap menceritakan dengan baik setiap pengalamannya. Proses
wawancara dilakukan dua kali. Wawancara yang pertama dilakukan
(46)
wawancara yang pertama kemudian mengutarakan pertanyaan dari
hasil wawancara yang pertama. Wawancara dilakukan sekitar 30
menit.
b. Subjek kedua
Subjek kedua tidak memiliki kendala untuk berinteraksi dengan
orang baru. Subjek juga cukup kooperatif karena subjek dan peneliti
berada diusia yang sama sehingga peneliti tidak perlu melakukan
rapport terlalu lama kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan inform concern. Sebelumnya subjek penelitian sudah diberitahukan akan
menjadi subjek penelitian. Subjek terlihat senang menceritakan
pengalaman perkawinannya. Beberapa kali subjek bertanya mengenai
perkembangan anak. Proses wawancara dilakukan dua kali.
Wawancara yang pertama dilakukan sekitar 30 menit. Ketika
wawancara kedua, peneliti menceritakan hasil wawancara yang
pertama kemudian mengutarakan pertanyaan dari hasil wawancara
yang pertama. Wawancara dilakukan sekitar 40 menit.
c. Subjek ketiga
Pada subjek ketiga, rapport dilakukan dengan sangat cepat
karena subjek sangat terbuka dan santai. Setelah rapport dilanjutkan
dengan menjelaskan inform concern. Sebelumnya subjek penelitian
sudah diberitahukan akan menjadi subjek penelitian. Di awal
wawancara, subjek sedikit bingung untuk menjelaskan
(47)
pengalamannya. Proses wawancara dilakukan sebanyak dua kali.
Wawancara pertama berlangsung sekitar 35 menit dan wawancara
kedua berlangsung sekitar 40 menit.
6. Selama proses pewawancaraan, peneliti menggunakan alat perekam dan
mencatat beberapa hal yang berguna untuk melengkapi data yang
diperoleh. Setelah wawancara, peneliti membuat transkrip wawancara.
E. Prosedur Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
fenomenologi deskriptif. Terdapat empat langkah yang ditempuh antara lain:
1. Langkah pertama, membaca deskripsi yang telah didapatkan dari subjek
penelitian. Kemudian data tersebut harus dieksplisitkan. Sudut pandang
yang digunakan merupakan sudut pangdang menyeluruh (holistik).
2. Langkah kedua, penyusunan atau pembuatan bagian-bagian deskripsi.
Pada langkah ini, peneliti menentukan satuan-satuan makna (meaning
units).
3. Langkah ketiga, peneliti membuat transformasi makna selanjutnya.
Transformasi ini bertujuan untuk mengubah data yang implisit menjadi
data eksplisit sehingga akan mendapatkan makna psikologis yang dialami.
4. Langkah keempat, menyusun struktur umum. Struktur ini didapatkan
(48)
F. Validitas Penelitian
Validitas penelitian merupakan upaya pemeriksaan terhadap akurasi
hasil penelitian dengan menerapkan prosedur tertentu. Pada penelitin ini
validitas penelitian menggunakan member checking. Metode ini dapat
dilakukan dengan membawa laporan akhir atau deskripsi-deskripsi atau
tema-tema spesifik kepada subjek penelitian untuk mengecek, mengoreksi,
menambahkan atau mengubah hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti
agar sesuai dengan pengalaman subjek. Hal ini memberikan kesempatan bagi
subjek untuk berkomentar tentang hasil penelitian (Creswell, 2010). Selain
itu, peneliti juga menggunakan metode validitas paper trail (Smith, 2009).
Validitas ini dapat tercapai bila antara temuan dan kesimpulan bersifat
rasional dan dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke dalam data
mentahnya. Peneliti dapat memperlihatkan proses analisis secara detail dan
lengkap.
Proses member checking ketiga subjek dilakukan dalam waktu yang
berbeda-beda. Hal ini dikarenakan peneliti harus mengikuti jadwal kegiatan
dari ketiga subjek penelitian yang sudah mulai padat. Dalam proses member
checking ini, peneliti menggunakan bantuan media elektronik. Peneliti
mengirimkan naskah yang berisikan struktur dasar pengalaman dari
masing-masing subjek melalui email. Kemudian peneliti dan subjek penelitian
menentukan jadwal untuk melakukan video call menggunakan web camp
untuk membahas isi dari struktur umum pengalaman tersebut. Hal ini
(49)
penelitian yaitu peneliti berada di Jogja dan subjek peneltian berada di Bali.
Walaupun demikian, peneliti tidak menemukan masalah dalam menjelaskan
isi struktur umum pengalaman tersebut. Hal ini dikarenakan subjek penelitian
cukup dapat memahaminya dengan membaca naskah yang sudah dikirimkan
oleh peneliti. Peneliti dan subjek penelitian sempat berdiskusi mengenai
hasil-hasil yang ditemukan. Subjek penelitian sempat menanyakan kaitan
antara satu tema dengan tema yang lain sehingga subjek penelitian lebih
memahami dan memunculkan insight dari hal-hal yang dialaminya.
Peneliti juga menggunakan prinsip transparansi yaitu refleksivitas.
Refleksivitas ini digunakan untuk mengeksplisitkan pertimbangan mengenai
cara-cara spesifik seorang peneliti yang dapat mempengaruhi penelitian. Hal
ini memungkinkan adanya pengaruh terhadap data ataupun cara interpetasi
penelitian (baik dari latar belakang atau ketertarikan yang dimiliki peneliti).
Peneliti memiliki ketertarikan mengenai fenomena-fenomena yang
terjadi dilingkungan remaja terutama mengenai gaya pacaran yang sangat
bebas. Peneliti banyak menemukan remaja yang ketika pacaran sudah
melakukan hubungan seks pra nikah dan tidak jarang hingga berakibat
kehamilan tidak diinginkan. Peristiwa ini dianggap sebagai hal yang sudah
biasa terjadi dikalangan remaja tersebut. Walaupun demikian, belum dapat
dipastikan mengenai perkawinan yang dijalaninya. Hal ini berkaitan dengan
tugas perkembangan remaja tersebut. Seorang remaja yang menjalani
perkawinan ini akan mengambil tugas perkembangan yang seharusnya
(50)
seorang yang memutuskan untuk menikah akan dihadapkan dengan tugas
adat yang wajib untuk diikuti. Selain itu, pertemuan dengan keluarga besar
ketika ada kegiatan adat maupun kegiatan keagamaan akan mempengaruhi
jalannya suatu perkawinan.
Oleh karena itu, peneliti memutuskan untuk melakukan penelitian
mengenai pengalaman perkawinan remaja yang mengalami kehamilan
sebelum menikah. Diharapkan dapat menjelaskan dan memberikan informasi
mengenai perkawinan yang dijalani oleh remaja tersebut sehingga akan
mengetahui kebutuhan yang dimiliki oleh remaja untuk menjalani
perkawinannya. Selain itu, penelitian mengenai perkawinan juga jarang
ditemukan padahal dalam proses perkawinan akan menentukan
perkembangan anak dari hasil perkawinan tersebut sehingga perkawinan
(51)
33
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Peneliti mendapatkan tiga subjek yang kisaran usia pernikahannya 2-3
tahun, usia menikah 19-20 tahun dan masih melanjutkan studinya. Hal ini
dimaksudkan agar latar belakang ketiga subjek tidak terlalu jauh berbeda. Dari
ketiga subjek ini akan menghasilkan dua jenis data yaitu profil subjek dan
struktur umum. Hasil yang ditemukan adalah struktur umum pengalaman
remaja putri yang mengalami kehamilan tidak diinginkan terdiri dari
pengalaman sebelum menikah, pengalaman saat mengandung setelah menikah
dan pengalaman perkawinan. Hasil yang terakhir berupa penggabungan
struktur umum dari ketiga subjek. Berikut adalah data-data peneltian yang
telah ditemukan :
1. Subjek AB a. Profil Subjek
Subjek yang pertama berinisial AB yang menikah ketika
berusia 19 tahun karena mengalami kehamilan yang tidak diinginkan
sebelum menikah. AB berpacaran dengan pasangannya selama 6 bulan
dan sudah mengenal sejak SMA. Saat ini usia perkawinannya sudah
menginjak dua setengah tahun. AB memiliki seorang anak dan suami
(52)
akhir di sebuah Universitas swasta di Bali yang mengambil jurusan
kedokteran gigi.
AB berasal dari keluarga yang berkasta Dewa salah satu kasta
yang tinggi di Bali sedangkan suami AB hanya berasal dari keluarga
yang biasa tidak memiliki kasta tinggi. AB merupakan anak kedua dari
dua bersaudara. AB tinggal bersama dengan ibunya karena sejak AB
duduk di bangku sekolah dasar kedua orangtuanya bercerai. Sejak
kecil AB sudah tidak menjalin komunikasi dengan ayahnya karena
ayah AB sudah menikah lagi. AB dan kakaknya sejak kecil hanya
dibiayai oleh ibunya yang merupakan seorang perawat rumah sakit.
Ibu AB kurang merestui AB menikah dengan suaminya. Ibu
AB menginginkan AB menikah dengan seseorang yang memiliki kasta
yang sama, memiliki pendidikan yang tinggi dan memiliki pekerjaan
dokter yang sama seperti AB. Hal ini dikarenakan suami AB hanya
menempuh pendidikan hanya sampai D1 kemudian bekerja di sebuah
hotel di Bali. Penghasilan suami AB kurang dapat memenuhi
kebutuhan rumah tangganya. Pendidikan AB masih dibiayai oleh
ibunya dan kebutuhan sehari-hari masih memerlukan bantuan dari
mertuanya.
Dalam kesehariannya AB berperan sebagai ibu rumah tangga
dan juga menjadi seorang mahasiswi kedokteran yang sudah klinik.
AB hanya tinggal bertiga dengan anak dan suaminya di sebuah
(53)
pendidikan berjarak cukup jauh dari tempat tinggal mertuanya. AB dan
suaminya hanya sesekali pulang ke rumah mertuanya ketika AB tidak
memiliki jadwal perkuliahan dan jika terdapat acara keagamaan. AB
dan suami harus saling membagi tugas dalam menjaga anaknya. Pagi
hari jika AB pergi klinik maka suaminya yang menjaga anaknya
sedangkan sore harinya jika suaminya bekerja maka AB yang menjaga
anaknya.
AB berasal dari Jembrana dan suami AB juga berasal dari
daerah yang sama namun hanya berbeda banjar. Setelah menikah, AB
tercatat sebagai warga dari banjar tempat suami AB berasal. Di banjar
tersebut memiliki aturan jika warga banjar tidak dapat mengikuti
kegiatan adat maka mendapatkan sanksi berupa membayarkan
sejumlah uang yang sudah disepakati oleh seluruh warga banjar.
Jarang sekali AB dapat mengikuti kegiatan agama atau kegiatan adat
dari tahap persiapan hingga pelaksanaan. Terkadang AB hanya dapat
mengikuti pada saat hari pelaksanaan. Hal ini dikarenakan AB harus
segera menyelesaikan pendidikannya yang sudah terlambat dari
teman-teman seangkatannya. AB berupaya keras untuk segera menyelesaikan
pendidikannya agar dapat bekerja dan membantu perekonomian
(54)
b. Deskripsi Pengalaman Subjek AB
Sebelum menikah, AB merasa mendapatkan hal yang tidak
diinginkannya. AB merasakan bahwa dirinya telah mengecewakan
orang tuanya karena sejak berpacaran orang tua AB tidak merestui
hubungannya namun AB tetap menjalaninya hingga mengalami
kehamilan sebelum menikah. Hal ini dikarenakan keluarga AB tidak
dapat menerima pasangan AB yang memiliki pendidikan dan
pekerjaan tidak seperti harapan orang tua AB. Selain itu, pasangan AB
tidak berasal dari keluarga yang berkasta sama dengan keluarga AB.
“Sebenarnya dari awal gak direstui sama mama. Soalnya dia kan
kerja gak kuliah, kuliahnya cuma sampe D1 aja. Mama kan nyuruhnya cari dokter ngapain nyari yang kayak gitu. Dulu pernah kakak dijodohin sama saudara jauh biar sama-sama dewa (salah satu kasta yang tinggi di Bali). Kan kakak sama suami kakak
kastanya beda.” (24, 36)
“Diem-diem pacaran. Itu dah waktu ketahuan hamil tu dah. Tapi
bilang sih kakak mau nikah terus di suruh pulang nanti omongin di
rumah aja. Gak marah tapi keliatan kecewa.” (25)
Walaupun AB merasa telah mengecewakan orang tuanya, AB
tetap merasa dirinya berharga karena pasangannya bersedia
bertanggung jawab terhadap dirinya dan memiliki kekhawatiran
terhadap keselamatan dirinya jika menggugurkan kandungannya.
“Kakak memilih menikah karena suami minta menikah. suami
kakak juga memilih menikah karena takut gimana-gimana kalo
gugurin kandungannya itu” (2-3)
Hal ini memunculkan perasaan bingung karena AB dihadapkan
(55)
menyuruhnya menggugurkan atau mengikuti pasangannya yang
bersedia menikahinya.
“Sebenarnya waktu mama tau itu kakak disuruh ngugurin. Niang
(nenek) juga nyuruh ngugurin. Tapi suaminya kakak bilang
jangan. Itu dah kan jadinya bingung .” (71)
AB menjadi memiliki perasaan kecewa terhadap sikap orang
tuanya yang tidak seperti harapannya. Orang tuanya menunjukkan
adanya penolakan terhadap keadaannya saat itu.
“Gak nyangka kakak, kakak pikir mamanya kakak kan baik gak mungkin nyuruh ngugurin pasti bisa nerima. Itu dah syok kakak.”
(72)
Kemudian setelah menikah, AB menjadi mengalami stress saat
mengandung. AB merasa mendapatkan hukuman atas hal yang sudah
dilakukannya. AB merasa malu dengan masyarakat tempat tinggalnya
terdahulu yang seperti memandang dirinya negatif.
“Waktu hamil stress itu dah. Jadinya jelek rasanya kalo inget-inget
waktu masa-masa hamil pertama itu. Kayak masa-masa kelam
gitu.” (73)
“Ini dah kayak di kasih hukuman. Ya gitu siapa suruh ngelanggar makanya kan gini jadinya.” (69)
“Waktu itu kan kakak masih hamil besar. Malu aja. Ya malu aja
karena nikah muda terus udah hamil lagi.” (55)
Didalam pengalaman perkawinannya, AB memiliki keinginan
untuk dapat dimengerti oleh pasangannya akan keadaannya. Hal ini
dikarenakan AB merasa memiliki tanggung jawab namun tidak
(56)
“Jadi itu mental kakak gak siap, finansial gak siap semuanya gak
siap” (5)
“pulang klinik (kuliah) langsung ngurus rumah. Kalau dulu
sebelum nikah, pulang kuliah bisa tidur-tiduran gak ada yang dipikirin. Tapi kalau sekarang belum ngurus rumah, anak, suami jadinya capek. Berantem masalah kecil. Pulang telat, rumah berantakan, ya masalah kecil gitu aja.” (8-9)
AB merasa bergantung terhadap orangtua dan mertuanya untuk
mengatasi permasalahan di dalam rumah tangganya. Hal ini
memunculkan keinginan untuk dapat berguna di dalam rumah tangga
dengan cara secepatnya menyelesaikan pendidikan kemudian mencari
pekerjaan. Selain itu, AB juga memiliki keinginan untuk dapat
dihargai oleh orang tuanya karena AB merasa orang tuanya belum
dapat menerima keadaannya yang sudah menikah namun masih
bergantung secara finansial. AB ingin menunjukkan bahwa pilihannya
tepat dan tidak ingin meniru pengalaman orang tuanya yang bercerai.
“Tapi nyeselnya nikah muda gara-gara enggak bisa bantuin
suami. Jadi nyeselnya itu udah nikah masih minta-minta. soalnya belum lulus kuliah. kalo minta uang pulang, dibilang dah makanya kan mama udah bilang kan sekarang masih minta-minta uang jadinya. Tak bilang aja doain biar cepet lulus terus nanti kalo udah lulus kan udah bisa nyari uang jadinya gak minta-minta lagi. Makanya sekarang pengen cepet-cepet lulus. Terus sering dibilangin benerin nyari biar gak sama kayak mama gitu. Makanya kakak lebih seneng cari yang baik tapi gak kaya biar gak ditinggal apa lagi suka-suka selingkuh walaupun kaya ya” (31, 37)
“Yang membiayai kuliah masih orangtua kakak tapi kalau masalah
biaya hidup itu suami kakak tapi masih dibantu sama mertua kakak. Kalau biaya kuliah, kakak langsung minta sama
orangtuanya kakak” (13)
“Makanya mending cari orang baik tapi gak kaya biar gak ditinggal apa lagi suka-suka selingkuh walaupun kaya ya. Itu dah
(57)
kayak mama kan ujung-ujungnya cerai biayain anaknya sendiri.” (22)
“Tapi kadang-kadang emang cerita sama mertua soalnya nanti keliatan jelek kalo cerita sama orangtua aja, nanti suaminya kakak keliatan jelek dimata orangtuanya kakak. Jadi orang rumah gak tau kalo misalnya ada masalah jadi tak tutup-tutupin aja. Biar
keluarga besar kakak gak tau.” (16)
Selama menjalani perkawinannya, AB merasa ibunya tetap
belum dapat menerima perkawinannya. Walaupun ibu AB tidak dapat
menerima keadaan dirinya, AB merasa dapat diterima oleh mertuanya
karena merasa mendapatkan perhatian dari mertuanya. AB merasa
mertua tidak terlalu menuntut dirinya dan mendapat banyak bantuan
dari mertuanya. Walaupun demikan, AB tetap memiliki ketakutan akan
adanya penolakan dari mertuanya sehingga memunculkan perasaan
malu jika meminta bantuan kepada mertuanya. AB merasa tidak ingin
membebani mertuanya.
“Sampe sekarang sebenarnya mama masih sering bilang “bisa kok kamu nyari yang lain” (20)
“Mertuanya kakak itu baik kali. Udah kayak keluarga banget.”
(42)
“Terus kalo misalnya udah ada upacara tu gak terlalu sering
maksa biar bisa mejejaitan (persiapan upacara) paling kakak cuma disuruh sembahyangnya aja.” (35)
“Masih lebih enggak malu minta sama orangtua sendiri daripada
minta sama mertua ya. Apalagi masih baru-baru nikah gitu kan
(58)
AB merasa ibunya mulai dapat menerima perkawinannya
karena pasangan tidak seperti ayah AB. Selain itu, ibu AB senang
dengan kehadiran cucunya.
“Tapi kalo sekarang udah enggak. Udah seneng. Soalnya
mamanya kakak seneng sama cucunya. Ini sekarang lagi kesini
mau jengukin cucunya.” (61)
“Cerai soalnya dia nikah lagi sama suka-suka selingkuh gitu.
Makanya mending cari orang baik tapi gak kaya biar gak ditinggal apa lagi suka-suka selingkuh walaupun kaya ya. Itu dah kayak mama kan ujung-ujungnya cerai biayain anaknya sendiri. Gara-gara itu mama udah mulai nerima kakak nikah sama suaminya kakak. Terus mamanya kakak seneng juga liat cucunya jadinya itu udah keliatan bisa nerima kalo kakak sekarang udah nikah sama
suaminya kakak.” (22-24)
AB juga merasa masyarakat di lingkungan barunya dapat
menerima dirinya. Hal ini dikarenakan di lingkungannya yang baru
sudah terbiasa dengan adanya menikah muda karena mengalami
kehamilan sebelum menikah sehingga AB merasa masyarakat dapat
mengerti akan keadaan dirinya. AB mendapatkan bantuan dari
mertuanya dalam menjalankan perannya di dalam kegiatan adat karena
AB harus mengikuti perkulihan. Masyarakat pun tidak keberatan akan
hal tersebut. Namun, AB merasa kurang dapat bersosialisasi dengan
masyarakat yang memunculkan ketakuatan akan adanya penolakan
dari masyarakat jika jarang mengikuti kegiatan adat. AB merasa
kegiatan adat tersebut merupakan kewajiban bagi wanita Bali yang
sudah menikah.
“Kayaknya udah tau nikah muda pasti hamil dah. Ngapain lagi
nikah muda pasti karena hamil walaupun enggak ada nanya pasti
(59)
“Sejauh ini sih gak ada gimana-gimana kalo kakak masih diwakilin sama mertua. Orang-orang di banjar juga ngerti kayaknya, kakak tinggalnya jauh terus masih kuliah juga. Mertua kakak juga gak ada cerita apa-apa ya. Di sana itu banyak eh gak juga, ada lah yang nikah-nikah muda gini tapi gak tinggal di sana banyak tinggalnya di Denpasar atau kerjanya di Denpasar gitu. Jadinya kalo gak ikut kegiatan gitu jarang lah diomonging gitu kayakanya. Gak tau juga di belakang tapi kaliatannya kayak bukan
hal baru juga di tempatnya kakak itu.” (37-38)
“Tapi karena kakak jarang ikut-ikut kegiatannya jadi gak terlalu
kenal sama orang disana. Jadinya kalau dateng ngobrolnya sama yang kakak kenal atau sering ketemu aja. Kalau yang enggak terlalu kakak kenal atau yang enggak kakak kenal, kakak enggak ajak ngobrol. Cuman yang kakak kenal-kenal aja.” (48)
“Sebenernya gak enak, malu kalo misalnya gak pernah dateng tu
takutnya nanti diomongin gak pernah mau datang gak mau berinteraksi gitu. Soalnya itu kan kewajiban juga kalo udah nikah. Jadi disempet-sempetin pulang ya walau cuma sehari tapi disempetinlah pulang, biar dapet nongol aja keliatan buat bantu-bantu. Tapi biasanya kakak kalo ada kegiatan, hari H nya kakak datengnya. Waktu odalannya atau waktu acara kawinannya. Bantu di hari H nya, kalo waktu proses persiapannya gak bisa
bantu-bantu.” (40-42)
c. Struktur Umum Subjek AB
Diawal perkawinan, AB menganggap perkawinan sebagai
sesuatu yang tidak diinginkannya. AB merasakan adanya
ketidaksiapan untuk menikah dan mengalami kebingungan untuk
menentukan pilihan yang diberikan oleh figur otoritas seperti orang tua
dan pasangan. AB merasa telah mengecewakan harapan orang tuanya.
AB mengalami penolakan dari orang tua sehingga AB merasa kecewa
terhadap orang tuanya. AB merasa stress selama menjalani proses
(1)
163
oleh pasangan
- Ketakutan akan ditinggalkan pasangan
- Merasa bergantung kepada keluarga
- Ketakutan akan adanya penolakan dari mertua
- Merasa dapat diterima
“Yang membiayai kuliah masih orangtua kakak tapi kalau masalah biaya hidup itu suami kakak tapi masih dibantu sama mertua kakak. Kalau biaya kuliah, kakak langsung
minta sama orangtuanya kakak” “Masih lebih enggak malu minta
sama orangtua sendiri daripada minta sama mertua ya. Apalagi masih baru-baru nikah gitu kan
malu ya minta sama mertua.”
“Mertuanya kakak itu baik kali.
bilang sama dia. Kalau pergi kemana-mana enggak bilang dia marah. Mungkin sekarang lebih nambah ya karena udah nikah jadi keberadaan aku itu dipantau sama
dia.”
“Cuma yang lebih penting kalau
ngurus suami, kalau gak diurusin ya kasian ya nanti malah nyari yang lain
lagi.”
“Tapi mungkin hal-hal yang kita bener-bener kurang pengalaman baru minta bantu sama ibu. Soalnya kan kita masih banyak yang belum kita
ngerti ya.”
“Kalau aku sih ngikut ibu aja. Kalau
disuruh gini ya gini disuruh gitu ya
gitu.”
“Kita semua saling mengutarakan
“Waktu itu aku pernah lama tinggal
dirumah orangtua ku semingguan soalnya lagi sibuk kuliah anaknya baru 3 bulan terus mertua kerja ngajar gak ada pembantu makanya aku titipin ke ibu ku kan soalnya ibu juga gak sibuk cuma jaga percetakan aja.”
“Kalo mertua lebih ke cucunya ya.
Pernah mertua ku bilang gini biarin aja dia dirumah kalo RD mau jalan-jalan, kesana dah, biarin aja dia dirumah gitu.
Diem dirumah aja ya wah sama nenek.” “Terus mertua juga baik jadi gak terlalu
(2)
164
Struktur Umum Uraian
Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 oleh mertua
- Dianggap belum dewasa oleh mertua
- Merasa dihargai oleh mertua
- Merasa mendapatkan perhatian dari mertua
Udah kayak keluarga banget.”
“Jadi biasa aja dia, malah sering
nyuruh bawa anaknya kakak ke rumah mertua kalo misalnya ngerasa repot ngurus anak sambil kuliah. Tapi kakaknya yang gak
apa yang menjadi masalahnya terus entar ditanyain ke semuanya kira-kira bagus gak bener gak kalo milih gitu. Mertua juga kok kalo misalnya mau beli apa gitu biasanya nanya-nanya juga. Jadi pendapat semua itu
penting buat mau mutusin sesuatu.” “Dibilang mantu cuma status aja sih.
Masih lebih dianggap kayak anak sama ibu. Dibebasin mau kemana mau ngapain ya silahkan. Kalau sempat masak ya masak kalo enggak
juga gak kenapa.”
“Tapi mereka gak terlalu ikut
campur kalo menyangkut masalah pribadi ya. Kayak masalah kuliah. Cuma kadang-kadang nanya aja, kuliahnya udah sampe mana, ada yang kurang-kurang gak, ada yang perlu dibantu gak. Ya yang gitu-gitu
aja.”
“Kadang-kadang mertua ikut campur kalo kita ada masalah gitu. Tapi tetep
kita yang lebih mutusin ya.”
“Suami ku kan anak terakhir ya, dia dah
paling manja, ibunya bilang gitu. Ini dah paling manja dari semuanya.
(3)
165
- Merasa mendapatkan bantuan mertua dalam kegiatan adat
- Masyarakat mengerti akan dirinya
- Merasa diterima oleh masyarakat
mau, baru-baru ini aja tak titipin
sama mertuanya kakak.”
“Kalo acara odalan dateng tapi kalo
ada acara kawinan gitu mertuanya yang wakilin. Soalnya kan kakak disini masi klinik masih kuliah jadi
jarang ikut, jarang pulang juga.” “Sejauh ini sih gak ada gimana -gimana kalo kakak masih diwakilin sama mertua. Orang-orang di banjar juga ngerti kayaknya, kakak tinggalnya jauh terus masih kuliah juga. Mertua kakak juga gak ada cerita apa-apa ya.”
“Di sana itu banyak eh gak juga,
ada lah yang nikah-nikah muda gini tapi gak tinggal di sana banyak tinggalnya di Denpasar atau kerjanya di Denpasar gitu. Jadinya kalo gak ikut kegiatan gitu jarang lah diomonging gitu kayakanya. Gak tau juga di belakang tapi kaliatannya kayak bukan hal baru
“Masih diwakilin sama ibu. Masih
mertualah yang ngurus. Belum jadi tanggung jawab aku sepenuhnya
masih ibu yang pegang.”
“Terus orang-orang banjar juga enggak gimana-gimana. Ya cuma kadang-kadang ada ibu-ibu yang
bilang sama ibu, “kok gak mantunya yang kesini?” terus ibu selalu jawab, “iya dia masih kuliah kasih dah dia serius dulu kuliahnya nanti kalau udah selesai kuliah udah lulus baru dia yang gantiin urusan
mebanjarnya”.
“Kalau dilihat dari orang-orang sekitar aku tinggal mereka gak mandang gimana-gimana ya. Soalnya disana banyak yang nikah muda jadi liat aku nikah muda gini
udah biasa aja bagi mereka.”
“Lingkungan juga gak pernah nanyain
soalnya mereka udah tau aku keliatan sibuk. Pagi kuliah malem praktek jadinya keliatan sibuk ya padahal gak ada apa. Namanya juga orang desa ya gak tau gitu jadinya aku dianggep kerja
mungkin sama mereka.”
“Disini sering nikah muda terus
dirumah ku juga banyak yang nikah muda gara-gara hamil. Udah biasa
(4)
166
Struktur Umum Uraian
Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3
- Kurang dapat bersosialisasi di dalam masyarakat
- Takut akan ada penolakan dari masyarakat jika tidak mengikuti kegiatan adat
juga di tempatnya kakak itu.” “Tapi karena kakak jarang ikut-ikut kegiatannya jadi gak terlalu kenal sama orang disana. Jadinya kalau dateng ngobrolnya sama yang kakak kenal atau sering ketemu aja. Kalau yang enggak terlalu kakak kenal atau yang enggak kakak kenal, kakak enggak ajak ngobrol. Cuman yang kakak kenal-kenal
aja.”
“Sebenernya gak enak, malu kalo
misalnya gak pernah dateng tu takutnya nanti diomongin gak pernah mau datang gak mau berinteraksi gitu.”
“Aku juga takut bersosialisasi di
kegiatan kayak gitu kan terus aku
juga udah bilang gitu sama ibu.”
“Jadi sebenernya pengen aja ikut -ikut. Kan kita bakal tinggal disana, terus hal-hal yang kayak gitu, kita bisa dikenal. Jangan sampe kita tinggal disana hidup disana tapi kita malah enggak tau orang disana terus kita juga gak dikenal, kan malu ya. Soalnya itu kan wajib jadi harus
(5)
Lampiran 11
(6)
LEMBAR PERSETUJUAN (Informed Consent)
Saya mahasiswi S1 Fakultas Psikologi Program Studi Psikologi, ingin memohon bantuan anda untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini dalam pemenuhan tugas akhir (skripsi). Saya ucapkan terima kasih atas kesediaan anda untuk menjadi partisipan penelitian yang akan saya lakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk menggali gambaran pengalaman perkawinan remaja yang dijalankan oleh perempuan di Bali. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara. Anda sebagai partisipan dalam penelitian ini akan diberikan pertanyaan yang membantu anda dalam menceritakan pengalaman yang anda miliki terkait dengan topik penelitian ini. Anda diharapkan dapat menceritakan pengalaman yang anda miliki secara benar dan jujur. Kegiatan wawancara akan direkam menggunakan alat rekam yang sudah disedikan oleh saya.
Manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah mendapatkan gambaran mengenai perkawinan yang dijalankan pada usia remaja, mendapatkan cara pandang baru mengenai remaja serta mendapatkan pola-pola perkawinan yang terjadi ketika melangsungkan perkawinan usia remaja bagi perempuan di Bali terkait dengan kebudayaan yang melebur bersama dengan agama yang dianutnya serta hokum adat yang harus dijalaninya. Anda sebagai partisipan memiliki peran penting dalam memberikan sumbangsih bagi keilmuan psikologi dan memberikan pertimbangan pada penerus masa depan dalam memutuskan masa depan perkawinannya.
Peneliti tidak akan membagikan hasil pengumpulan data kepada siapapun kecuali dosen pembimbing peneliti. Nama anda akan dirahasiakan dengan menggunakan inisal. Identitas Anda akan disimpan secara rahasia. Jika anda ingin mengundurkan diri dari penelitian ini, anda dapat melakukannya kapan saja tanpa hukuman atau denda. Jika anda memiliki pertanyaan, anda bebas menanyakannya kepada peneliti. Tanda tangan anda menyatakan bahwa anda menyetujui untuk ikut serta dalam penelitian ini. Atas perhatian dan kerjasamanya saya ucapkan terima kasih.
Partisipan Penelitian Peneliti