Sumber Data Teknik Pengujian Instrumen

Ha :Salah satu dari sebelas motif wisatawan domestik tidak menjadi motif wisatawan domestik berkunjung ke Candi Ratu Boko. Langkah-langkah atau prosedur perhitungan Cochran Q-Test adalah sebagai berikut ini : 1. Perumusan Hipotesis Sebelum melakukan pengujian, terlebih dahulu menentukan hipotesis, hipotesis dirumuskan kedalam dua bentuk yaitu H0 dan Ha. H0 : ingin rekreasi, ingin menambah pengetahuanwawasan, ingin berfoto di area Candi, ingin melihat Candi yang merupakan bekas Keraton Istana Raja, ingin menikmati suasana Candi, diajak oleh teman, harga tiket yang terjangkau, lokasinya mudah dijangkau, dan melihat informasi di media cetak atau media elektronik, ingin mendapatkan pengalaman baru, diajakan oleh keluarga Ha : Salah satu dari sebelas motif wisatawan domestik tidak menjadi motif wisatawan domestik berkunjung ke Candi Ratu Boko. 2. Melakukan pengujian Menguji semua motif yang dirumuskan dalam Ho. H0 diterima :apabila psig α = 0,05 atau apabila nilai Qhitung Qtabel H0 ditolak :apabila psig α = 0,05 atau apabila nilai Qhitung Qtabel 3. Bila hasil perhitungan menolak H0 Maka langkah sekanjutnya adalah menghilangkan nilai Cj terendah kemudian melakukan perhitungan statistik dengan menggunakan rumus Cochran Q-test 4. Apabila hasil perhitungan tersebut masih menolak Ho maka selanjutnya harus menghilangkan Cj terendah kedua. Kemudian dilakukan kembali perhitungan statistik dengan rumus Cochran Q-test . Langkah-langkah diatas harus dilakukan sampai pada perhitungan statistik memperoleh hasil menerima H0 dan dapat disimpulkan motif apa saja yang menentukan wisatawan domestik berkunjung ke Candi Ratu Boko.

BAB IV GAMBARAN UMUM CANDI RATU BOKO

A. Lokasi dan Sejarah Candi Ratu Boko

Secara administratif Candi Ratu Boko terletak di dua dusun dan dua desa yaitu Dusun Dawung, Desa Bokoharjo, dan Dusun Sumberwatu, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Dearah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis, Candi Ratu Boko terletak di Bukit Baka yang merupakan perbukitan dengan ketinggian 110-229 m di atas permukaan laut dan Luas Candi Ratu Boko ± 25 hektar, Candi ini berada dalam kawasan yang banyak ditemukan Candi, antara lain Candi Dawangsari, Candi Barong, Candi Banyunibo, dan di sebalah barat terdapat Candi Watugudig, Candi Ratu Boko dan Candi Ijo di sebelah timur, di sebelah selatan terdapat tinggalan yang berbeda dengan Candi-Candi pada umumnya. Tinggalan yang ada di Candi Ratu Boko bervariasi antara lain, gapura, batur talut, kolam dan gua. Temuan arkeologi prasasti yaitu prasasti A, B berangka tahun 856 M dan C semua mengandung keterangan tentang pendirian lingga yaitu Lingga Krrtivisa, Lingga Tryambaka dan Lingga Hara. Prasasti lain yang ditemukan yaitu Prasasti Pereng 862M mengandung keterangan pendirian sebuah bangunan suci untuk Dewa Siwa yaitu Candi Badraloka. Adapun tinggalan arkeologi 51 lainnya yang bersifat Hinduisme adalah Arca Darga, Arca Ganesha, miniature Candi, Yoni dan Prasasti dari lempengan emas. Sementara itu tinggalan arkeologi yang bersifat Buddhisme ditunjukkan dengan ditemukannya runtuhan stupa, arca Dhyani Buddha dan stupika. Di Candi ini juga ditemukan sejumlah benda-benda keramik yang diantaranya beasal dari Dinasti Ming Abad 14-17, Dinasti Sung Abad 11- 13 M bahkan juga dijumpai dari masa yang lebih tua seperti Dinasti T’ang Abad 8-9M. Dari hal tersebut dapat diperkirakan juga penghunian Candi Ratu Boko berlangsung cukup lama. Candi Ratu Boko pertama kali oleh Van Boeckholtz pada tahun 1790. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Taguh Asmar dan Bennet Bronson, Candi Ratu Boko merupakan pemukiman yang dihuni beberapa fase. Fase I Candi Ratu Boko merupakan pemukiman tetap yang dihuni antara tahun 600-825 M. Pada akhir fase ini diperkirakan lokasi ini diperkirakan sezaman dengan prasasti Abhayagiriwihara yang berangka tahun 714 Saka 792M. Pada fase II Candi Ratu Boko dihuni antara tahun 775825 M – 10251050 M. Pada fase ini diperkirakan lokasi ini dihuni oleh penganut Siwaistis. Sekitar tahun 856 M, kompleks Candi Ratu Boko menjadi kediaman penguasa penganut agama Hindu yang bernama Rakai Walangi Pu Kumbayoni yang beraga Hindu. Pada fase III, Candi Ratu Boko dihuni 10251050 – 12501400 M. Fase IV diperkirakan sekitar 12501400 M – 1850 M merupakan lokasi yang tidak berpenghuni. Observasi selanjutnya dilakukan oleh F.D.K Bosch pada tahun 1915 dan berkesimpulan bahwa Candi Ratu Boko merupakan sebuah keraton. Selanjutnya W.F Stuterheim mengadakan pengamatan di Candi tersebut pada tahun 1926. Kemudian pada tahun 1938 Van Romond mengadakan penelitian. Pada masa Van Romond inilah mulai dilakukan pemugaran. Pemugaran Candi Ratu Boko sudah dimulai sejak masa penjajahan Belanda. Pemugaran pertama kali dilakukan pada tahun 1938 oleh Van Romond. Teknologi pemugaran pada masa itu sudah menggunakan kerangka beton bertulang dan menggunkan perekat semen. Kemudian pada masa pendudukan Jepang usaha pelestarian Candi Ratu Boko terus dilakukan dengan melakukan penggantian batu-batu outer stone berupa batu andesit yang hilang. Sehingga diganti dengan batu putih. Pemasangan batu putih sengaja dibuat tidak rapi atau menonjol, cara tersebut digunakan orang Jepang untuk menandai komponen batu baru. Pada masa pemerintahan RI pemugaran dilakukan mulai tahun 1949. Pemugaran terus berlanjut dengan berhasil memugar beberapa bangunan antara lain tahun 1950-1954 pemugaran difokuskan pada gapura I dan gapura II. Kemudian tahun 1960-1965 berhasil menyelesaikan pemugaran gapura kolam. Pemugaran di Candi Ratu Boko semakin dilakukan secara intensif dalam rentang waktu tahun 19781980 sampai sekarang, dengan memugar berbagai bangunan antara lain gapura, talut kolam, pagar pendapa batur keputren, batur paseban, tangga selasar dan candi pembakaran. Pemugaran dilaksanakan oleh Bagian Proyek Pelestarian Pemanfaatan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Daerah Istimewa Yogyakarta dan setelah itu dilaksanakan oleh Balai