1
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab I menjelaskan Pendahuluan yang berisi Latar Belakang,
Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian dan Sistematika Penulisan Tesis
1.1. Latar Belakang
Indonesia terdiri dari 17.840 pulau yang terletak diantara benua Asia dan Australia serta samudra
Hindia dan Samudra Pasifik. Pertemuan dua lempeng Eurasia-Pacific
dan Indo-Australia juga menjadikan
wilayah Indonesia sebagai kawasan ring of fire. Deretan 127 gunung api dan 76 diantaranya sangat aktif dan
berada diwilayah padat penduduk. Dengan 250 juta jiwa tinggal di wilayah ini maka tingkat risiko bencana
menjadi sangat
tinggi. Dapat
dikatakan Indonesia
secara geografis, geologis, hidrologis dan demografi rawan
bencana Direktorat
Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar dan Menengah, 2010. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2007 Tentang Penanggulangan Bencana, dikenal tiga jenis ancaman bencana Pertama ancaman bencana
alam natural disasters meliputi ancaman bencana letusan
gunung berapi,
gempa bumi,
kekeringan, tayphon angin topan dan tsunami, banjir, longsor dan
kebakaran hutan dan lahan. Kedua, ancaman bencana non alam. Yaitu meliputi wabah penyakit, mala-praktek
teknologi dan
kelaparan. Ketiga,
Bencana Sosial
meliputi kerusuhan sosial dan konflik sosial.
2
Pada aras internasional, masalah kebencanaan menjadi agenda penting dunia. Tahun 2005 dalam
Konferensi Dunia untuk Pengurangan Risiko Bencana World Conference on Disaster Reduction
di Kobe
Jepang, 168
negara termasuk
Indonesia menandatangani pesetujuan global bagi pengurangan
risiko bencana yang dituangkan dalam Hyogo Frame Work for Action HFA 2005 – 2015. Ada tiga tujuan
strategis dan lima pilar prioritas kegiatan HFA. Tujuan strategi tersebut adalah: pertama Integrasi yang lebih
efektif pengurangan risiko bencana ke dalam kebijakan pembangunan secara berkelanjutan, perencanaan dan
penyusunan program pada semua jenjang dengan secara
khusus memberikan
penekanan pada
pencegahan bencana,
mitigasi, kesiapsiagaan
dan pengurangan kerentananan.
Kedua, pengembangan
dan penguatan
kelembagaan, mekanisme dan kapasitas pada semua tingkat secara lebih khusus pada tingkat masyarakat,
yang dapat secara sistematis memberikan sumbangan terhadap pembangunan dalam menghadapi bahaya.
Ketiga, kerjasama
sistematis dari
pendekatan pengurangan risiko bencana ke dalam rencana dan
pelaksanaan program tanggap darurat, respon dan program pemulihan di dalam proses rekonstruksi dari
masyarakat yang terkena bencana. Lima prioritas kegiatan The Hyogo Frame Work for
Action HFA 2005-2015 adalah pertama, memastikan bahwa
pengurangan risiko
bencana ditempatkan
sebagai prioritas nasional dan lokal dengan dasar institusional yang kuat dalam pelaksanaannya. Kedua,
3
mengidentifikasi, mengevaluasi dan memonitor risiko- risiko
bencana dan
meningkatkan pemanfaatan
peringatan dini. Ketiga, menggunakan pengetahuan, inovasi
dan pendidikan
untuk membangun
suatu budaya aman dan ketahanan pada semua tingkatan.
Keempat, mengurangi
faktor-faktor risiko
dasar. Kelima, memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana
dengan respon yang efektif pada semua tingkatan. Memperkuat
kapasitas-kapasitas pada
tingkat komunitas untuk mengurangi risiko bencana pada
tingkat lokal,
dimana individu
dan komunitas
memobilisir sumberdaya lokal untuk upaya mengurangi kerentanan terhadap bahaya. Secara khusus, pada
kontek pendidikan, pengurangan risiko bencana sesuai HFA, pendidikan merupakan capaian tujuan kunci bagi
penggunaan pengetahuan,
inovasi dan
pendidikan untuk membangun budaya aman dan ketahanan di
semua tingkatan
Direktorat Jenderal
Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, 2010.
Belajar dari runtutan bencana gempa bumi Aceh dan Nias tahun 2004, Gempa Bumi Jawa Tengah dan
Daerah Istimewa Jogjakarta tahun 2006, erupsi Merapi, Tsunami Pangadaran Jawa Barat tahun 2006 dan
berbagai bencana
lainnya, maka
pemerintah menerbitkan kebijakan khusus manajemen bencana.
Hyogo Framework for Action kemudian dirativikasi oleh pemerintah
Indonesia dengan
menyusun Undang-
Undang Nomor
24 Tahun
2007 tentang
Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah Nomor
21 Tahun
2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana.
4
Laporan assessment
Direktorat Pendidikan
Jenderal Manajemen Sekolah Dasar dan Menengah 2010, ada 1.306 kejadian bencana selama lima tahun
terakhir. Dampaknya adalah secara kuantitatif 70 sekolah di Indonesia berada di risiko sedang hingga
tinggi bencana. Sampai dengan tahun 2011, 194.844 ruang kelas di bawah Kementerian Pendidikan dalam
kondisi rusak berat. Sementara 208.214 ruang kelas di Kementerian Agama rusak berat, sisanya 51.036 rusak
ringan Badan
Nasional Penanggulangan
BencanaBNPB, 2012.
Kejadian bencana
selain merenggut
jiwa juga
berdampak langsung
pada meningkatnya kerentanan sekolah dan seluruh civitas
sekolah dan menghambat pencapaian pembangunan nasional di bidang pendidikan dan capaian Millenium
Development Goals tahun 2015 2010. Khususnya capaian
kedua dan
ketiga yakni
mewujudkan pendidikan
dasar untuk
semua dan
mendorong kesetaraan gender.
Situasi diatas merupakan ancaman serius atas amanat Undang-Undang Dasar 1945 untuk pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa
yang diatur dengan undang-undang. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 C ayat 1, Pasal 31 dan Pasal 32 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin atas hak dasar warga negara di bidang
pendidikan UUD
1945, 2002.
Jaminan penyelenggaraan
sekolah di
“situasi apapun”
5
merupakan hak dasar warga dan musti dijamin oleh Negara. Sebagaimana dituangkan didalam Bab IV. Hak
dan Kewajiban Warga Negara, Orang Tua, Masyarakat, dan Pemerintah, Pasal 5 Undang Undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 23 tahun 2003 Depdiknas, 2003.
Penyelenggaraan pendidikan dasar untuk semua juga
menjadi perhatian
dunia sesuai
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia DUHAM Perserikatan
Bangsa Bangsa PBB tahun 1948 dan deklarasi PBB tentang Hak Atas Pembangunan yang di adopsi oleh
Sidang Umum PBB Desember 1986. Hak pendidikan ini diperkuat didalam Keputusan Konferensi UNESCO di
Yom Tien Thailand tahun 1990. Konsep Gerakan The Education for All EFA diwujudkan dalam Forum
Pendidikan Dunia The World Education Forum di Dakkar tahun 2000. Dalam forum tersebut, 164 negara
menandatangani dan
didukung lembaga
pengembangan, civil society dan sektor swasta di tingkat internasional untuk mencapai 6 enam sasaran
EFA pada tahun 2015.
1 Expand early childhood care education. 2 Provide free compulsory primary education for all. 3
Promote learning and life skills for young people adults. 4 Increase adult literacy by 50 per cent. 5
Achieve gender parity by 2005, gender equality by 2015. 6 Improve the quality of education.
Dari penjelasan
diatas, narasi
konsep dan
implementasi Hyogo Frame Work for Action, Education for All, Millenium Development Goals MDG’s terkait
pengurangan risiko
bencana dan
jaminan hak
6
pendidikan menekankan
nilai-nilai lokalitas
invidu maupun
komunitas, perspektif
gender yakni
perempuan, anak-anak,
lanjut usia
dan different
abilityberkebutuhan khusus.
Dua perspektif
ini menjadi acuan untuk menuntun ketepatan respon
berdasarkan kebutuhan, akses dan partisipasi yang berbeda bagi setiap korban bencana Badawi, 2013.
Termasuk keyakinan bahwa setiap korban bencana secara gender memiliki karaktek paparan bencana yang
berbeda tergantung pada kontek lokal baik secara ekonomi, politik, sosial dan budaya Badawi, 2012.
Problem kebencanaan
diakui menghambat
capaian pembangunan akses, mutu dan akuntabilitas pendidikan. Laporan Human Development Indexs HDI
yang dikeluarkan oleh UNDP tahun 2011, Indonesia berada pada peringkat 124 dari 178 negara. Tahun
2013 peringkat HDI Indonesia naik menjadi 121 dari 186 negara. Peringkatnya di bawah Filipina 114 dan
Thailand 103 dan sedikit diatas Vietnam 127 UNDP, 2012. Problem faktor risiko bencana maupun akses,
mutu dan
akuntabilitas pendidikan
menghadapi tantangan posisi wilayah dan penduduk Indonesia yang
tersebar di puluhan ribu pulau besar-kecil mulai dari Sabang sampai Merauke Djalal, 2011. Sementara
sistem infrastruktur,
akuntabilitas dan
kinerja birokrasi di bidang pendidikan dan pemerintahan juga
belum cukup merata kemampuannya antar daerah paska ditetapkannya kebijakan otonomi daerah Tilaar,
2006. Khususnya
kemampuan di
dalam mengintegrasikan
kebencanaan dengan
pendidikan
7
dengan perspektif lingkungan dan gender Badawi, 2013.
Selaras dengan
hal tersebut,
Tilaar 2006
menegaskan bahwa Negara pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menjalankan 1. Tersedianya
sarana seperti gedung dan tempat pelaksanaan wajib belajar
lainnya appealability
2. Keterjangkauan
accessibility sarana pelaksanaan wajib belajar. 3. Penerimaan
acceptability yaitu
diterima tidaknya
bentuk kelembagaan
pendidikan oleh
rakyat 4.
Kesesuaian adaptability yaitu kesesuaian lembaga- lembaga pendidikan dengan kebutuhan lingkungannya
2006:164-165. Khusus tentang adaptability, di dalam Latar
Belakang Surat
Edaran Direktorat
Jenderal Manajemen
Pendidikan Dasar
dan Menengah
Kementerian Pendidikan
Nasional Nomor
70aMPNSE2010 tentang
Pengarusutamaan Pengurangan
Risiko Bencana
di Sekolah
2010, mengakui bahwa:
Rendah kesiapsiagaan
komunitas sekolah
dan minimnya pengetahuan tentang bencana alam, yang
disebabkan karena: 1. Belum ada kebijakan nasional dibidang
pendidikan tentang
penanggulangan bencana 2. Di era desentralisasi pendidikan: upaya-
upaya pengurangan risiko bencana ke dalam kegiatan pembelajaran di sekolah belum banyak dilakukan. 3.
Baru ada beberapa propinsi yang sudah memiliki kebijakan dalam bentuk peraturan daseran tentang
penanggulangan be
ncana. Sementara tujuan dari Surat Edaran ini lebih
pada capaian non fisik pada semua jenis bencana sesuai dengan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2007
Tentang Penanggulangan Bencana:
8 Strategi
Pengarusutamaan Pengurangan
Risiko Bencana di Sekolah secara umum berarti rencana
kegiatan jangka panjang yang diutamakan untuk pendidikan pengurangan risiko bencana di sekolah,
agar dapat
digunakan sebagai
acuan mengintegrasikan materi pembelajaran pendidikan
kebencanaan kedalam
kurikulum tingkat
satuan pendidikan, bagi semua satuan pendidikan dasar dan
menengah.
Terkait dengan terbitnya surat edaran tersebut, Badan Penanggulangan Bencana juga menerbitkan
Peraturan Kepala
Badan Nasional
Penanggulangan Bencana Nomor 04 Tahun 2012 tentang Pedoman
Penerapan SekolahMadrasah Aman dari Bencana, tertanggal 30 April 2012. Dengan latar belakang yang
tidak jauh beda, peraturan Kepala BNPB ini memiliki tujuan lebih teknis dengan menggunakan kerangka
kerja struktural fisik dan non struktural non fisik khusus
pada bahaya
bencana Gempa
Bumi dan
Tsunami:
1. Mengidentifikasi lokasi sekolahmadrasah pada prioritas rawan bencana gempa bumi dan tsunami;
2. Memberikan
acuan dalam
penerapan SekolahMadrasah Aman dari bencana baik secara
struktural dan non struktural 2012.
Dari penjelasan diatas, kondisi ideal yang hendak dicapai dari kebijakan pengurangan risiko bencana di
bidang pendidikan adalah pertama, sekolah mampu mengidentifikasi
kerentanan dan
kapasitas yang
dimiliki sesuai dengan kapasitas lokal. Kedua, sekolah mampu
mengintegrasikan materi
pembelajaran pendidikan
kebencanaan dalam
kurikulum satuan
pendidikan dasar
dan menengah.
Ketiga, sekolah
mampu mengenali,
menyusun dan
mengevaluasi program pengurangan risiko bencana di sekolah baik
9
secara fisik
structural, maupun
non fisik
non- structural dalam bentuk berbagai kebijakan di satuan
pendidikan. Keempat, sekolah mampu membangun kerjasama masyarakat multi-actor partnership dengan
di dukung
oleh pemerintahan
daerah setempat.
Keempat hal tersebut idealnya mampu diintegrasikan secara
operasional oleh
satuan pendidikan
dalam konsep
Manajemen Berbasis
Sekolah MBS
dan Undang-Undang SISDIKNAS Nomor 23 Tahun 2003.
Kemampuan ini oleh disebut Tilaar 2006 sebagai kemampuan adaptability sekolah atau Mulyasa 2012
sekolah terintegrasi dengan kebutuhan lingkungan. Pada kontek implementasi manajemen bencana
di sekolah di kawasan Merapi, berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan BencanaBNPB per tanggal
30 November 2010, erupsi Merapi mengakibatkan setidaknya 61.154 jiwa mengungsi, 341 jiwa meninggal
dan 368 jiwa harus rawat inap. Awan panas dan material
letusan Merapi
juga menyebabkan
3.307 bangunan
rumah, sekolah,
puskesmas dan
pasar rusak.
Nilai kerugian
mencapai Rp
4,23 triliun
Kompas, 2012. Sekurangnya ada 156 sekolah tingkat SD. SMP dan SMA rusak berat di kabupaten Magelang,
Klaten dan Boyolali di Provinsi Jawa Tengah serta di Kabupaten
Sleman, Daerah
Istimewa Yogyakarta
Republika.co.id, 2011.
Sementara guru
yang mengungsi setidaknya 1.882 orang dengan jumlah
siswa sebanyak 18.345 orang Republika.co.id, 2010. Erupsi Merapi tahun 2010 memaksa anak-anak
harus berpindah-pindah mengungsi mengikuti orang tua mereka setidaknya selama 48 hari. Sehingga
10
penyelenggaraan sekolah dilakukan secara darurat di wilayah pengungsian wawancara dengan Giya guru SD
Negeri Keningar 2 dan Tarmuji Kepada Desa Keningar. Situasi
pengungsian berpindah-pindah
yang disebabkan kenaikan intensitas aktifitas erupsi Merapi
juga menjadi kendala utama penyelenggaraan sekolah darurat.
Padahal situasi
tersebut dialami
oleh setidaknya 61.54 jiwa serta 156 sekolah di Kawasan
Rawan Bencana KRB III dengan radius di atas 20 kilometer dari puncak Merapi. Salah satunya Desa
Keningar Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang yang hanya 4 kilometer dari puncak Merapi.
Berdasarkan laporan
penelitian awal
penulis yang
diterbitkan oleh
Pusat Penelitian
dan Studi
Gender PPSG Universitas Kristen Satya Wacana tahun 2013,
menunjukkan fakta-fakta
Pertama, Secara
khusus SD Negeri Keningar 1 dan 2 belum mengenal konsep-konsep pengurangan bencana meski mereka
sadar bahwa sekolah mereka berada langsung di wilayah
risiko paparan
bencana erupsi
Merapi. Pemetaan kerentanan dan kapasitas sekolah belum
pernah dilakukan
ataupun di
perintahkah oleh
Kemendiknas. Bahkan Kepala sekolah dan guru belum mengetahui jika ada edaran dari Kemendiknas tentang
Strategi Pengarusutamaan
Pengurangan Risiko
Bencana di Sekolah maupun dari Peraturan Kepala BNPB tentang hal yang sama.
Kedua, belum ada pendidikan, pelatihan maupun simulasi bencana kepada guru, kepala sekolah yang
mengajar dan tinggal di wilayah rentan bencana. Pengajaran tentang kebencanaan kepada siswa atas
11
inisiatif Kepala Sekolah dilekatkan pada guru olah raga, itupun
masih sangat
terbatas. Ketiga,
perintah pengungsian bagi siswa sekolah inisiatifnya masih pada
kepala sekolah
bukan perintah
dari Kementerian
Pendidikan Nasional
Kabupaten Magelang.
Secara khusus, sampai letusan besar tanggal 26 Okober 2013
sore hari, anak anak pagi harinya masih masuk
sekolah, tetapi kemudian kepala sekolah berinisiatif untuk memulangkan anak lebih awal. Meski telah ada
perintah untuk mengungsi dari Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi KegunungapianBPPTK sejak
25 Oktober
2010 BPPTK,
2010. Kemendiknas
setempat belum
memberikan perintah
untuk meliburkan sekolah. Kejadian yang sama dialami oleh
SD Negeri Keningar 1 dan 2 pada waktu letusan Merapi di tahun 2004 yang terjadi tepat jam sekolah sekitar
jam 12 siang. Arah tujuan lokasi pengungsian juga tidak jelas dan sangat tergantung pada orang tua anak,
tokoh masyarakat setempat maupun pertimbangan personal lainnya.
Keempat, sekolah
belum terintegrasi
dengan kebencanaan.
Pengelolaan sekolah
darurat juga
merupakan inisiatif kepala sekolah, guru dan tokoh masyarakat
setempat yang
mereka juga
korban sekaligus
pengungsi. Kesiapan
penyelenggaraan sekolah darurat yang terpadu dengan shelter, dapur
umum, pusat pengobatan dan healing centre, faktanya belum berjalan efektif Badawi, 2013.
Kelima, minim dokumen rujukan baik dalam bentuk
kebijakan operasional
maupun dukungan
penelitian ilmiah. Dokumen penelitian risiko bencana
12
letusan Merapi yang banyak tersedia adalah dalam perspektif manusia secara umum, ekologi maupun
geologi. Penelitian-penelitian ilmiah tentang peta risiko bencana dan manajemen bencana letusan Merapi bagi
insititusi dan civitas sekolah maupun pusat pendidikan belum tersedia. Padahal ketersediaan dokumen rujukan
dalam bentuk penelitian akan menjadi tumpuan hidup mati
ratusan sekolah
dan pusat
pendidikan dan
puluhan ribu civitas akademik di berbagai level berada di wilayah risiko tinggi paparan ancaman bencana
letusan Merapi. Temuan-temuan
awal diatas,
menunjukkan bahwa kondisi ideal sebagaimana di tetapkan dalam
kebijakan pengarusutamaan
pengurangan risiko
bencana di sekolah, khususnya di SD Negeri Keningar 1
dan 2
belum tercapai.
Pelaksanaan strategi
manajemen bencana
yang terintegrasi
berbasis resilience
daya tahan
sekolah masih
jauh dari
harapan. Kondisi ini dialami oleh semua sekolah di wilayah risiko tinggi bencana erupsi Merapi Badawi,
2013. Penyebab
utama belum
berjalannya pengarusutamaan bencana di sekolah secara umum
adalah birokratik-sentralistik dan sub-ordinasi birokrasi pendidikan dan problem partisipasi Rivai, et, al.,
2009. Faktor lain adalah rendahnya penghargaan dan adaptasi kebijakan atas pengalaman kepala sekolah,
guru, orang
tua murid
dan masyarakat
dalam mengelola bencana Badawi, 2013
Telah ada
inisiatif pemerintah
lokal untuk
menyelesaikan masalah tersebut. Diantaranya adalah Surat
Keputusan Bupati
Sleman Nomor
253kep
13
KDHA2011 tentang Penggabungan dan Ganti Nama Kelembagaan Sekolah Dasar tertanggal 29 Juli 2011.
Surat keputusan ini ditujukan bagi total 224 Sekolah di Kabupaten
Sleman yang
terkena dampak
erupsi Merapi. Re-grouping
dilakukan bagi sekolah yang berada di Kawasan Rawan Bencana KRB III yang
berada diradius di bawah 20 kilometer dari puncak Merapi. Re-grouping 224 sekolah ini terdiri dari Taman
Kanak-Kanak 72 TK, 90 Sekolah Dasar, SMPMTS 26 sekolah, jenjang SMAMA 16 sekolah, 15 SMK dan SLB
5 sekolah. Pilihan kebijakan tersebut juga masih perlu dikaji,
melihat perdebatan
dan penolakan
civitas sekolah, siswa, orang tua, guru maupun stakeholder
karena tidak menyelesaikan problem utama. Yaitu tingginya kerentanan dan rendahnya kapasitas sekolah
terkait bencana. Apalagi belum tersedia peta risiko bencana
di sekolah-sekolah
tersebut yang
tentu berbeda-beda bentuk paparan dan intensitasnya.
Berdasarkan situasi problematik di atas, peneliti tertarik
untuk mengkaji
bagaimana pengalaman
penyelenggaraan sekolah darurat di SD Negeri Keningar 1 dan 2 ini bisa menjadi modal untuk membangun
kebutuhan strategi
manajemen sekolah
yang terintegrasi
dengan konsep
Early Warning System
Merapi secara umum. Penelitian berbasis pengalaman sekolah dalam penanganan bencana erupsi Merapi
tahun 2010
di SD
Negeri Keningar
01 dan
02 Kecamatan
Dukun Kabupaten
Magelang juga
merupakan penelitian pengembangan Sugiyono, 2013 pada tingkat awal untuk mengisi kekosongan khazanah
penelitian di issues terkait. Focus penelitian adalah
14
merumuskan strategi
manajemen sekolah
berbasis bencana erupsi Merapi di SD Negeri Keningar 01 dan
02 Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang
1.2. Masalah Penelitian