Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana (Studi Erupsi Gunung Merapi) T2 942012005 BAB IV

(1)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

Strategi Manajemen Sekolah Berbasis

Bencana Erupsi (SMSBBE) Merapi

Pada bab IV membahas pertama: Peta Risiko Bencana Erupsi Merapi di SD Keningar 1 dan 2 Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang. Sub pokok bahasan meliputi Profil Desa Keningar, Profil Sekolah Dasar Negeri Keningar 1 dan 2, Peta Analisis Risiko Bencana SD Negeri Keningar 1 dan 2, Peta Kebutuhan dan Peran Strategi Sekolah, dan Prioritas Manajemen Sekolah Berbasis Bencana Erupsi Merapi. Kedua, Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana Erupsi (SMSBBE) Merapi di SD Negeri Keningar 1 dan 2. Sub bahasan: Latar Belakang, Landasan Kebijakan, Tujuan, Sasaran, Ruang Lingkup, Konsep, Materi, Kualifikasi Sumber Daya, Strategi SMSBBE Merapi, Perlaksanaan Strategi, Kekuatan dan Kelemahan serta Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Strategi.

4.1. Peta Risiko Bencana Erupsi Merapi di

SD Negeri Keningar 1 dan 2 Kecamatan

Dukun Kabupaten Magelang

4.1.1. Profil Desa Keningar Kecamatan Dukun

Kabupaten Magelang 4.1.1.1. Sejarah Desa Keningar

Belum ada penelitian ilmiah terkait sejarah desa Keningar. Meski demikian menurut kepercayaan masyarakat desa, sejarah Desa Keningar dimulai dari datangnya seorang pangeran dari Kasunanan


(2)

Surakarta yang bernama Pangeran Pandanarang ke wilayah lereng sebelah barat Gunung Merapi. Pangeran Pandanarang tersebut bermaksud mendaki ke puncak Gunung Merapi melalui lereng gunung sebelah barat. Dalam perjalanannya, pangeran Pandanarang tinggal sejenak di sebuah tempat dimana beliau bisa melihat pandangan yang luas ke segala penjuru wilayah (Banar). Daerah tersebut kemudian dikenal dengan nama Dusun Banaran atau tempat yang Banar (luas).

Sementara nama Keningar diyakini oleh warga masyarakat karena di tempat tersebut dahulu banyak tumbuh pohon Ningar, yaitu pohon sejenis kayu manis. Dalam perjalanan waktu dusun Keningar kemudian menjadi nama Desa Keningar. Dalam perjalanan waktu, dusun Keningar kemudian ditinggalkan sebagai tempat hunian karena dampak erupsi Merapi. Secara administratif pemerintahan Dusun Keningar tidak dikenal lagi dan masuk menjadi bagian dari Dusun Banaran. Tetapi sampai saat ini masyarakat tetap menyebut salah satu lokasi hunian penduduk di ujung timur desa Keningar dengan nama Dusun Keningar.

Di sekitar daerah dimana banyak ditemukan pohon Ningar, juga banyak di temukan sumber air yang tertampung di batu. Sumber air ini kemudian menjadi tempat minum banteng-banteng liar yang hidup di sekitar Merapi. Oleh masyarakat sekitar, tempat ini di sebut dusun Mbanteng atau Mbantengan yang dalam bahasa Jawa berarti tempat banteng-banteng berada. Di kemudian hari Dusun Mbanteng di kenal secara administrative masuk dalam bagian Dusun Gondangrejo. Meski demikian dalam komunikasi


(3)

sehari-hari masyarakat setempat tetap menggunakan sebutan Dusun Banteng untuk menunjuk satu lokasi di wilayah Desa Keningar.

Keningar termasuk salah satu desa di Kawasan Risiko Bencana (KRB) III / Ring I gunung Merapi di Kabupaten Magelang. Sebelum letusan Merapi tahun 1930, jarak pemukiman penduduk desa Keningar dengan puncak Merapi berkisar 3 kilometer saja. Tetapi letusan besar Merapi memaksa mereka beradaptasi dan tinggal menjauh dari puncak Merapi. Saat ini dusun terdekat berjarak 5,3 kilometer dari puncak Merapi.

Menurut dokumen RPJMDes (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa) Keningar 2012-2015, sebelum tahun sebelum 1930 an, Desa Keningar terdiri dari 6 dusun, yaitu Dusun Sisir I, Dusun Sisir II, Dusun Terus, Dusun Keningar, Dusun Banaran dan Dusun Gondangrejo/Banteng. Saat ini empat dusun telah pindah mengungsi tinggal, dua dusun saja yang masih tinggal di Desa Keningar, yaitu Banaran dan Gondangrejo/Banteng. Akibat letusan Merapi tahun 1930 penduduk dusun Sisir I, Dusun Sisir II dan Dusun Terus dipindah oleh pemerintah ke desa Sumber Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang. Sementara akibat letusan Merapi tahun 1961, penduduk Dusun Keningar I dipindah oleh pemerintah melalui program transmigrasi ke Dusun Padam Dulang, Desa Merapi Sari, Baradatu Sumatera Selatan. Wilayah bekas lokasi dusun Sisir I, dusun Sisir II, Dusun Terus dan Dusun Keningar berubah menjadi daerah pasir atau hutan pinus di kelola oleh Perusahaan Hutan Negara Indonesia (perhutani). Perubahan geografi dan


(4)

demografi tersebut diatas desa Keningar yang sem bergeser di Dusun Krajan. Dalam Rencana Pem Desa/RPJMDes 2012-20 berdiri, telah ada 5 kep Yaitu: Lurah To Senjoyo (1957 – 1987); Tohari (1 (2003 – 2012) dan Tarmuji

4.1.1.2. Geografi dan De

Desa Keningar Ke Magelang terletak di ketin Desa 210 hektar persegi. utara adalah Desa Krin Ngargomulyo, sebelah bara sebelah timur adalah wila Gambar 4.1. Peta Lokasi Desa Ke

Ket.: Adaptasi foto geospasial B

tas, saat ini pusat pemerintah emula di dusun Keningar juga jan.

embangunan Jangka Menengah 2015, sejak desa Keningar kepala desa yang memerintah. yo (sebelum 1957); Ali Dimedjo 1987 – 2003); Agus Sumarno uji (2013- sekarang).

Demografi Desa Keningar

Kecamatan Dukun Kabupaten etinggian 815 mdpl dengan luas gi. Batas Desa Keningar sebelah rinjing, sebelah selatan Desa barat Desa Sumber, batas desa ilayah Hutan Lindung Merapi. sa Keningar Tahun 2010

Desa Keningar diapit Sungai Senowo dan Sungai Cacaban yang berhulu di Puncak Merapi (lihat Gambar 4.1.).


(5)

Jarak Desa Keninga km yang terhubung oleh tempuh dalam waktu kura jarak dengan kota Mag dengan waktu tempuh k tersedia transportasi umu Gambar 4.2. Peta Desa

Desa Keningar m bagian lereng barat Gunu 589 jiwa dari 189 kepala laki dan 299 perempuan Keningar terbagi menjadi Dusun Gondang Rejo (RW Warga dan 5 Rukun Teta ditunjukkan data pem kependudukan Desa Kenin

gar dengan kecamatan Dukun 6 oleh jalan aspal dan dapat di urang dari 20 menit. Sementara agelang adalah 28 kilometer kurang dari 40 menit. Belum mum di Desa Keningar.

sa Keningar

merupakan desa terakhir di unung Merapi yang dihuni oleh keluarga, terdiri dari 290 laki-an. Secara administratif, Desa jadi Dusun Banaran (RW I) dan (RW II) yang terdiri dari 2 Rukun etangga. Di dalam Tabel 1.2.2. pembagian administratif dan eningar.


(6)

Tabel 4.1. Administrasi Tahun 2013

Dusun RW RT

Banaran/ Keningar

I 1 s/d

Gondang rejo II 5

Dari tabel 4.1. m merupakan dusun terbes atau 486 jiwa. Sementa tempat 33 KK atau 103 ji Keningar memiliki jalan u juga merupakan jalan eva erupsi Merapi. Sebaran Keningar terletak di sisi u perumahan penduduk d Dusun Gondangrejo, menghubungkan Desa Ke dan menuju ke Kecama menjadi jalur evakuasi wa Gambar 4.3. Peta Kepen

asi dan Kependudukan Desa Keningar

RT Jml

KK

Jumlah Jiwa

L P Jumlah

s/d 4 56 241 245 486

5 33 49 54 103

189 290 299 589 menunjukan Dusun Banaran rbesar yang dihuni oleh 56 KK ntara Dusun Gondang Rejo di 3 jiwa. Sesuai Gambar 4.3. Desa utama di sisi selatan desa yang evakuasi bagi warga jika terjadi n perumahan penduduk Desa i utara jalan raya, sebagian kecil di sisi selatan jalan desa. Di jo, terdapat jalan yang Keningar dengan Desa Sumber matan Dukun. Jalan ini juga warga Desa Keningar.


(7)

Mata pencaharian masyarakat usia produktif Desa Keningar, Kec. Dukun, Magelang tertinggi adalah 35% Buruh Tani, 31% Petani sawah dan ladang, 22% Peternak dan jenis pekerjaan lainnya 12%. Total dari 497 jiwa 304 merupakan pekerja laki-laki dan 197 jiwa merupakan pekerja perempuan. Peran perempuan dalam strukturs sosial desa ada sebagai ibu rumah tangga mengurus anak dan suami, mereka juga terlibat mengurus sawah atau ladang yang mereka miliki. Meskipun tetap warga desa meyakini peran perempuan desa dalam bekerja adalah untuk menambah penghasilan suami mereka.

Tabel 4.2. Jenis Pekerjaan Laki-laki dan Perempuan Desa Keningar Tahun 2013.

No Jenis Pekerjaan L P Total Persentase

1 Petani 87 68 155 31%

2 Buruh Tani 98 74 172 35%

3 Peternak 87 23 110 22%

4 Lain-lain 32 28 60 12%

TOTAL 304 193 497 100%

4.1.2. Dampak Erupsi Merapi Tahun 2010 bagi

Desa Keningar

Erupsi gunung Merapi tahun 2010 mengakibatkan fasilitas-fasilitas umum di Desa Keningar tidak bisa di gunakan selama satu setengah bulan lebih. Genting dan talang air rumah penduduk, Balai Desa Keningar dan SD Negeri Keningar 1 dan 2 rusak karena penuh debu dan pasir setebal 15 cm. Tiga rumah warga roboh dan 17 kandang milik masyarakat rusak dan roboh. Kompilasi data RPJMDes Keningar 2012, laporan Program Emergency Respon

LPTP tahun 2010, Laporan Program YLSKAR 2010 dan wawancara dan FGD menunjukan sebagai berikut.


(8)

Tabel.4.3. Perbandingan Kondisi Desa Keningar Sebelum dan Sesudah Erupsi Merapi Tahun 2010

Jenis Sebelum Erupsi Sesudah Erupsi

Jalan desa

Jalan utama untuk jalur evakuasi rusak sepanjang 1 km.

Jalan semakin rusak parah, aspal jalan sudah tidak terlihat, ketebalan abu lebih dari 15 cm Pertani

an

Luas lahan pertanian 60 ha. Tanaman sayuran (cabe, tomat, bunga kol, buncis dan kacang panjang) (60 %). (40%) padi.

100 % lahan pertanian rusak dan gagal panen. Kerugian ditaksir mencapai Rp 2.293.500.000 untuk tanaman sayuran dan Rp. 35.712.000 untuk tanaman padi.

Petern akan

Populasi ternak sapi 78 ekor dikelola secara individu dan kelompok dalamm kandang komunal di desa.

Ternak dijual 34 ekor, mati 1 ekor. Asumsi perekor dihargai Rp. 2.500.000 dari harga normal. Sementara ternak mati seharga Rp 15.000.000.

Total kerugian mencapai Rp 85.000.000 + 15.000.000 = 100.000.000

Air bersih

Ada 3 kelompok di dusun banaran yang mengatur distribusi air dari sumber air sungai cacaban untuk 140 kk atau sekitar 568 jiwa.

Instalasi saluran air bersih rusak:

 Kelompok I (Bpk. Sarmidi) penerima manfaat 16 KK kerusakan 26 lonjor ukuran 1,5 dim (104 meter).

 Kelompok II (Bpk. Parno) penerima manfaat 28 KK kerusakan 36 lonjor pipa ukuran 1,5 dim atau 144 m.

 Kelompok Balai desa 96 KK kerusakan pipa ukuran 2.5 dim sebanyak 55 lonjor (220 m) Rumah Tembok batu, lantai keramik

plester kasar. 1 WC rata-rata untuk 2-3 KK. 1 WC umum

3 rumah ambruk tertimpa bambu, 4 rusak berat, 4 rusak ringan.

Kandang Lantai tanah, dinding gedeg/papan, atap genting/seng. Ukuran rata-rata 3x2 m2, 1 kandang kelompok ukuran 5x6 m2

Kandang kelompok dan 17 kandang perorangan rusak karena atap terkena hujan abu dan pasir serta tertimpa pohon/bambu.

Sekolah Dinding tembok beratap genting dan asbes. Talang air dari seng galvanil. Penyangga atap dari kayu keras. Berlantai keramik/tegel, memiliki jendel kaca dan kisi-kisi sirkulasi udara.

SD Keningar 1: atap asbes, talang air, meja, kursi dan buku-buku sekolah rusak berat. Kerugian lebih dari 9 juta rupiah.

SD Keningar 2: atap asbes, talang air hancur, bangku, kursi, buku-buku perpustakaan sekolah hancur. Kerugian sekitar 8 juta

Menurut Tarmuji Kepala Desa Keningar, dibutuhkan sekitar satu bulan lebih untuk membersihkan semua debu dan pasir dari rumah


(9)

maupun fasilitas umum, untuk dapat ditinggali lagi seperti semula.

Pada tabel 4.3. di bawah tampak perbandingan kondisi umum desa sebelum erupsi Merapi tahun 2010 dan sesudah erupsi. Kerusakan utama disebabkan oleh hujan debu dan pasir yang mengakibatkan infrastruktur desa, perumahan, pertanian, peternakan, ketersediaan air bersih dan juga sekolah rusak dengan intesitas yang bervariatif. Dalam perhitungan kasar dengan menggunakan harga minimal, setidaknya Desa Keningar mengalami kerugian dibidang pertanian Rp. 2.329212.000, bidang peternakan Rp. 100.000.000; kerusakan infrastruktur air konsumsi rumah tangga Rp. 50.000.000 dan kerusakan rumah penduduk dan kandang ternak mereka. Total lebih dari 4 milyar rupiah yang diperlukan untuk mengembalikan infrastuktur desa kembali normal.

Kerusakan di infrastruktur sekolah SD Keningar 1 adalah atap asbes dan talang air hancur terkena hujan abu dan kerikil. Meja, bangku dan kursi kelas untuk belajar siswa dan buku-buku perpustakaan sekolah rusak berat. Beberapa tidak dapat dipakai kembali. Sementara lingkungan sekolah penuh dengan debu dan pasir dengan ketebalan lebih dari 15 centimeter. Menurut Ribut Augustinus, guru dan bendahara SD Keningar 1, pembersihan di kelas dan dan kantor dikerjakan guru bersama siswa. Sementara pembersihan lapangan lingkungan sekolah dikerjakan dan dibiayai secara gotong royong oleh seluruh warga desa Keningar selama lebih dari tiga hari.


(10)

Nilai kerugian fisik di SD Negeri Keningar 1 lebih dari 9 juta rupiah. Jumlah tersebut belum dihitung tenaga dan biaya gotong royong warga untuk membantu penataan dan pembersihan sekitar sekolah. Biaya perbaikan sekolah diambil dari kas cadangan sekolah dan bantuan dari wali murid karena menurut Slamet, Kepala Sekolah SD Keningar 1 tahun 2010 dan Ribut Augustinus Bendahara Sekolah SD Negeri Keningar 1, sampai saat inipun tidak ada bantuan dari pemerintah untuk perbaikan sarana-prasarana sekolah paska erupsi. Telah sering dilakukan pendataan kerasakan sekolah dari dinas-dinas tetapi belum ada realisasi. Memang ada bantuan rehabilitasi bangunan sekolah setelah beberapa tahun kemudian, tetapi bantuan pembangunan tersebut merupakan proposal pengajuan proyek ke pemerintah, bukan untuk respon perbaikan terhadap infrastruktur sekolah yang rusak karena bencana erupsi Merapi tahun 2010.

Informasi senada juga disampaikan oleh Giya guru dari SD Keningar 2. Perbaikan atap asbes dan talang air hancur pada bangunan WC siswa dan guru yang runtuh serta bangku dan kursi kelas siswa dan guru memerlukan lebih dari 8 juta rupiah. Dana perbaikan tersebut di ambil dari kas sekolah dan bantuan dari masyarakat. Bantuan dari pemerintah untuk perbaikan khusus infrastruktur sekolah korban bencana tidak ada.

Data diatas belum menyajikan kerugian secara immaterial seperti sakit, trauma maupun cacat. Meskipun tidak ada korban jiwa yang meninggal dari Desa Keningar, tetapi menurut Tarmuji kepala desa


(11)

Keningar, dampak psikis dari warga korban erupsi Merapi tahun 2010 adalah stress. Tarmuji mengatakan bahwa pada saat tinggal di pengungsian dan beberapa bulan sejak kembali ke pemukiman, emosi warga tampak tidak terkendali. Menjadi mudah marah pada hal-hal kecil dan sering kuatir atau merasa cemas. Tekanan dan tuntutan kepastian hidup mereka setelah kembali ke desa memang menjadi sedikit gamang melihat lahan pertanian, peternakan dan perikanan sebagai mata pencarian utama mereka rusak total. Kendala modal usaha untuk membangun kembali usaha mereka yang hancur juga diduga oleh Tarmuji sebagai salah satu beban pikiran para pengungsi. Hal senada dibenarkan oleh Suroto, Kepala Dusun Gondangrejo. Bahwa warga kemudian tampak aslinya jika menghadapi masalah yang berat.

Problem modal kembali mengolah lahan pertanian yang rusak menjadi kebutuhan mendesak warga. Oleh sebab itu banyak warga yang kemudian menjual simpanan yang mereka miliki seperti sapi, kambing atau tanah dengan harga lebih murah dari harga standar. Bahkan kebanyakan warga telah menjual ternaknya ketika beberapa minggu berada di pengungsian. Uang tersebut setidaknya untuk kepastian hidup korban selama di pengungsian. Beberapa lainnya untuk tambahan modal kerja.

Pada kontek dampak psikologi siswa di sekolah, beberapa siswa tampak ketakutan untuk kembali ke Desa dan memilih untuk tinggal di barak pengungsian. Menurut Giya, beberapa siswa yang tidak mau kembali ke Desa juga karena faktor semua kebutuhan sekolah,


(12)

mainan, baju dan lain-lain terpenuhi. Sehingga merasa betah memilih tinggal di pengungsian. Namun secara umum siswa juga merasa tertekan, takut dan cemas seperti orang tua mereka. Belum ada observasi secara klinis dilakukan oleh sekolah SD Negeri Keningar 1 dan 2 untuk mengetahui kondisi psikis siswa. Risiko lain yang di terima para siswa pada saat erupsi dan ancaman lahar dingin Merapi, pertama mereka harus kehilangan semua peralatan sekolah dan catatan sekolah mereka. Tidak terpikir oleh orang tua mereka untuk membawa kebutuhan sekolah anak-anak meskipun tersedia cukup waktu sejak peringatan dini disampaikan oleh pemerintah sampai keputusan untuk mengungsi. Termasuk baju, mainan dan berbagai kebutuhan bermain sehari hari mereka. Secara psikis ini tentu mempengaruhi fikiran anak-anak meskipun dengan intensitas yang berbeda-beda.

Kedua beberapa anak-anak harus berhenti bersekolah selama beberapa waktu karena situasi tidak memungkinkan. Terutama karena hidup berpindah-pindah dipengungsian yang kondisi dan prasarananya tidak memadai. Pengalaman penanganan bencana tahun 2010 menunjukan bahwa setidaknya anak-anak harus berpindah-pindah mengungsi mengikuti orang tua mereka selama 48 hari. Sehingga penyelenggaraan sekolah dilakukan secaraemergency/darurat di wilayah pengungsian dengan susah payah oleh para guru dan kepala sekolah dibantu oleh pemerintah desa. Situasi pengungsi yang berpindah-pindah kemudian juga menjadi kendala utama bagi penyelenggaraan sekolah darurat di pengungsian seperti yang dialami oleh SD


(13)

Negeri Keningar 1 dan 2. Padahal, situasi tersebut dihadapi oleh seluruh penduduk desa dan sekolah-sekolah yang tinggal di wilayah rentan erupsi Merapi.

Ketiga, tantangan faktor adaptasi tempat baru, suasana baru dan teman baru di dalam situasi sekolah darurat. Khususnya untuk anak perempuan, kebutuhan mereka menjadi lebih kompleks ketimbang anak laki-laki yang cenderung bebas bersosialisasi. Budaya patriarki membatasi perempuan untuk tidak memperbolehkan beraktifitas seperti laki-laki. Tetapi Sutarto AM, Slamet, Tarmuji, Ribut Agustinus, dan Giya memastikan bahwa anak-anak pengungsi lebih nyaman belajar dalam sekolah darurat di tenda-tenda atau tempat yang ditentukan bersama para pengungsi lainnya ketimbang dititipkan ke sekolah-sekolah sederajat di desa tempat mereka mengungsi. Faktor minder dominan pada kontek ini. Siswa pengungsi minder karena harus beradaptasi lagi dengan teman, guru dan suasana baru. Minder karena pakaian dan peralatan sekolah yang mereka miliki seadanya karena tertinggal di sekolah. Dan beberapa siswa juga minder karena merasa kemampuan belajar di kelas yang baru kuatir berbeda. Perbedaan kultur sekolah desa dan di kota mungkin juga menjadi faktor yang mempengaruhi siswa para pengungsi untuk lebih memilih bersekolah di tenda-tenda darurat daripada bergabung dengan siswa setempat yang bukan pengungsi.

4.1.3. Kepercayaan Masyarakat Tentang Merapi

Bagi anak-anak SDN Keningar 02 dan penduduk desa di kawasan Merapi, Merapi adalah hal yang biasa mereka dengar dari orang tua mereka maupun mereka


(14)

temu langsung. Khususnya bagi orang-orang tua yang telah mengalami berbagai letusan Merapi. Ada tanda-tanda lokal yang mereka percayai sebagai mitologi tentang aktivitas Gunung Merapi. Oleh sebab itu pada beberapa bagian, masyarakat tidak percaya pada penjelasan-penjelasan yang bersifat ilmiah khususnya yang bertentangan dengan keyakinan lokal mereka. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka, keyakinan tentang Merapi selalu dikaitkan dengan tokoh penting (sesepuh dan orang pintar) yang tinggal di desa Keningar. Baik didalam membaca tanda-tanda pesan perkembangan Merapi maupun tanda-tanda Bahaya Merapi.

Merapi bagi masyarakat setempat adalah simbol perubahan dan pemberi peringatan atas perilaku tidak terpuji manusia. Beberapa perilaku tersebut adalah tidak jujur, lupa kepada yang maha pencipta, merusak alam di sekitar Merapi, rakus dan haus akan kekuasaan. Merapi hidup dan memberi pepeling, kinasih dan pemberi kemakmuran bagi kehidupan ekonomi mereka yang agraris. Masyarakat desa Keningar percaya bahwa Merapi itu seperti mahluk hidup. Bisa menjadi pemberi petunjuk dan pemberi peringata. Sebagaimana di ungkapkan oleh Ribut Augustinus, Slamet, Tarmuji dan Giya tentang keyakinan warga Keningar terkait Merapi. Kepercayaan masyarakat ini menjadi tantangan sekaligus kekuatan tersendiri dalam menyusun sistem penanganan risiko bencana di kawasan ini, meskipun keyakinan ini diduga berkontribusi terhadap tingginya korban erupsi Merapi.


(15)

4.1.4. Sistem Peringatan Dini Risiko Bencana Erupsi Merapi

Merapi memiliki sistem peringatan dini/EWS (Early Warning System) yang merujuk pada hasil pengamatan intensitas aktivitas Merapi secara berkala. Sistem peringatan dini ini juga menjadi prosedur penyelamatan penduduk yang tinggal di sekitar Merapi. Secara umum dikenal berapa level peringatan dini mulai dari status Normal Aktif, Waspada Merapi, Siaga Merapi, dan Awas Merapi. Pengertian umum dari masing-masing tanda menandakan aktivitas Merapi dan langkah mitigasi, kesiapsiagaan dan respon bagi aktivitas penduduk di daerah sekitar Merapi. Pengamatan intensif ini dikelola oleh Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta melalui pusat pengamatan atau Pos Pengamatan yang terletak di sekitar Merapi. Proses dan hasil pengamatan ini juga terintegrasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat pusat, pemerintahan daerah serta pemerintah desa di wilayah kawasan Merapi.

Berdasarkan kompilasi berbagai sumber tentang pengertian dan konsekuensi masing-masing level sistem peringatan dini status Merapi, dapat diuraikansebagai berikut: Pertama Normal Aktif. Secara sederhana, peringatan ini digunakan untuk hasil pengamatan situasi Merapi yang berada pada kondisi normal. Itu artinya seluruh aktivitas Merapi aman bagi penduduk di sekitar dan juga pengunjung yang melakukan wisata pendakian Gunung Merapi.


(16)

Kedua Waspada Merapi. Peringatan ini ditandai dengan meningkatnya aktifitas Merapi sewaktu-waktu. Situasi ini bermakna Merapi tidak aman untuk pendakian atau wisata, tetapi aman untuk aktivitas penduduk sekitar sehari hari. Pada status waspada Merapi, terkadang terjadi hujan abu yang jatuh di wilayah kota-kota sekitar Merapi.

Ketiga Siaga Merapi. Adalah peringatan bahwa terjadi peningkatan frekuensi gempa multifase dan gempa vulkanik. Dalam level ini kegiatan pengungsian penduduk di radius 10 kilometer harus dipersiapkan untuk evakuasi. Hujan abu sebagai penanda peningkatan aktivitas Merapi terkadang terjadi. Aktifitas sekolah dan masyarakat masih berjalan normal seperti biasa.

Keempat Awas Merapi. Ditandai dengan tingginya gempa multifase dan gempa vulkanik dan titik api diam di puncak Merapi yang merupakan magma sudah berada di puncak Merapi. Peringatan ini meminta semua penghuni wilayah dalam radius 10 km dari puncak Merapi harus dievakuasi ke wilayah aman.

Early Warning System (EWS) tersebut merupakan pertanda awal secara umum yang memerlukan operasionalisasi lapangan. Setiap desa dan sekolah harus mengembangkan langkah-langkah operasional yang terus berkembang dengan mengadopsi pengalaman keberhasilan (best practice) penanganan korban dari tahun ke tahun. Pada kontek lembaga pendidikan seperti SD Negeri Keningar 1 dan 2, membutuhkan adaptasi dan adopsi berbagai level kebijakan lokal khususnya dalam siklus penanganan


(17)

risiko bencana di sekolah. Prinsip umum yang dikembangkan adalah bagaimana sekolah mampu menyusun sistem untuk meminimalisir jatuhnya korban siswa dan guru.

Menurut dokumen Badan Geologi, Pemantauan Gunung Merapi secara sistemik telah dilakukan sejak tahun 1920. Tahun 1953, pemerintah Indonesia telah melakukan pengamatan visual dan instrumental terhadap aktivitas vulkanik Gunung Merapi dengan membentuk 5 (lima) Pos Pengamatan Gunungapi atau disingkat PGA. Pada tahun 1980 an mulailah diterapkan pemantauan secara modern dan lengkap. Meliputi penerapan alat RTS (Radio Telemetry System) untuk akuisisi seismik analog, EDM (Elektronics Distance Measurement) serta pemantauan gas S02 menggunakan COSPEC (Correlation Spectrophotometry). Pada tahun 2000 semua peralatan tersebut semakin berkembang dan semua pos pengamatan dilengkapi dengan peralatan pemantauan standar (Wibowo, 2012). Tujuan utama dari pengamatan tersebut diatas adalah untuk mengurangi risiko bencana akibat erupsi Merapi. Melihat scup ancaman risiko bencana Merapi, pada tingkat teknis operasional lapangan, peringatan dini diatas perlu diterjemahkan dalam berbagai tingkat pemerintahan. Baik pada tingkat nasional, propinsi, kabupaten/kota maupun tingkat desa dan institusi seperti sekolah. Kebutuhan membangun peringatan dini akan menjamin pengurangan risiko bagi korban yang berada di risiko tinggi Merapi (KRB III).

Focus group discussion tanggal 23 Juli 2013 bersama komunitas sekolah SD Negeri Keningar 1 dan


(18)

2, Kepala Desa dan Perangkat Desa serta perwakilan masyarakat, operasionalisasi peringatan dini Merapi di tingkat desa selama ini dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, dalam kondisi status Merapi Normal Aktif dan Waspada Merapi, masyarakat desa Keningar belum ada kegiatan-kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap ancaman risiko bencana erupsi Merapi. Sampai saat ini, menurut penuturan Tarmuji Kepala Desa Keningar, belum pernah ada pendidikan-pendidikan khusus atau simulasi tentang manajemen bencana tingkat desa yang diselenggarakan oleh pemerintahan kabupaten Magelang. Kehidupan desa berjalan seperti tidak pernah ada bencana sebelumnya.

Kedua, pada saat status Siaga Merapi, atas inisiatif pemerintah desa dan masyarakat, dibangun posko penjagaan siaga Merapi di tingkat desa. Posko di dirikan di Dusun Banaran di pinggir jalan utama desa. Posko desa bertugas memantau situasi Merapi dengan berkomunikasi intensif melalui Handy Talky (HT) milik Desa Keningar yang terhubung dengan Kantor Kecamatan Dukun. Perkembangan status Merapi dari waktu ke waktu yang disampaikan oleh BPPTK di akses posko melalui HT ini melalui Kantor Kecamatan Dukun. Perkembangan informasi status Merapi diumumkan oleh petugas posko desa melalui pengeras suara di Masjid atau Mushola. Posko desa juga yang kemudian menjadi sumber informasi utama perkembangan status Merapi bagi sekolah SD Negeri Keningar 1 dan 2. Selain informasi dari posko desa, beberapa anggota masyarakat juga mengambil inisitif mengakses informasi melalui radio, handphone maupun televisi.


(19)

Ketiga, pada saat status Awas Merapi, posko desa mengkoordinir evakuasi warga Desa Keningar untuk mengungsi. Pada kejadian erupsi tahun 2010 dan tahun-tahun sebelumnya, tidak pernah ada kejelasan kemana penduduk Desa Keningar harus mengungsi. Keputusan lokasi pengungsian merupakan keputusan personal masing-masing keluarga maupun keputusan kolektif masyarakat desa. oleh sebab itu pengungsi tersebar di rumah saudara mereka, lapangan desa, kantor balai desa, gedung sekolah dan pekantoran,

selepan padi, rumah warga atau di gallery dan gedung olah raga. Pertimbangan utama pengungsian adalah lokasi aman yang dekat rumah mereka, sehingga sewaktu-waktu tetap bisa kembali ke rumah untuk memberi makan ternak yang ditinggalkan. Evakuasi pengungsian diprioritaskan oleh desa adalah, balita dan anak-anak, ibu hamil, manula dan orang yang sedang sakit. Pemuda dan perangkat desa masih tetap berjaga-jaga di desa sampai ada perintah untuk turun mengungsi.

Berdasarkan situasi tersebut, pertengahan tahun 2013, dalam pemberitaan Kompas (2013) Tribunnews .com (2013) dan Sindonews (2013), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten dengan Magelang bekerjasama dengan Merapi Recovery Response (MRR) UNDP/United Nations for Development

Program mulai menggagas program pengembangan Sistem Informasi Desa (SID) dengan konsep sister village atau desa saudara. SID juga memberi pelayanan kepada masyarakat untuk dapat mengakses informasi status Merapi melalui layanan SMS (short massage


(20)

services) di handphone. Sister Village (Desa Saudara) yang sedang pada saat ini ada 19 desa KRB III di tiga Kecamatan Sawangan (3 Desa), Kecamatan Srumbung (8 Desa) dan Kecamatan Dukun (8 Desa termasuk desa Keningar). Desa-desa tersebut nantinya berpasangan dengan Desa di Kecamatan Muntilan, Srumbung, Mungkid, Pakis, Candimulyo, dan Mertoyudan. Tujuan konsep sister village adalah mengurangi kepanikan warga korban erupsi, mempermudah evakuasi, mempermudah pendataan, dan juga mempermudah manakala menyampaikan logistik. Termasuk, meminimalisir keluarga pengungsi agar tidak terpisah.

Menurut Tarmuji Kepala Desa Keningar, desa saudara Desa Keningar adalah Desa Ngrajek Kecamatan Mungkid Kabupaten Magelang, sekitar 30 kilometer dari Desa Keningar. Meskipun demikian Tarmuji mengakui gagasan desa saudara masih gagasan awal. Sampai saat ini belum ada komunikasi dengan desa Ngrajek terkait konsep desa saudara ini.

4.1.5. Kondisi Sekolah Dasar Negeri di Keningar

Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang 4.1.5.1. Profil SDN Keningar 1 dan 2 Kecamatan

Dukun Kabupaten Magelang

Desa Keningar memiliki dua Sekolah Dasar yaitu SDN Keningar 01 dan SDN Keningar 02 dengan total murid di dua sekolah tersebut 162 siswa dikelola oleh 23 guru dan tenaga pendidik. Cukup kecil dibandingkan dengan sekolah rata-rata di Indonesia. Posisi wilayah desa Keningar, menempatkan desa dan sekolah ini sebagai salah satu desa rentan di lereng barat Gunung Merapi karena berada tepat di garis


(21)

muntahan lahar Merapi. Sekolah Dasar Negeri Keningar 1 terletak di ujung timur atas desa, sementara SD Negeri Keningar 2 terletak di ujung barat desa. Keduanya berada di tepi jalan utama desa sekaligus jalan evakuasi warga untuk mengungsi.

Pada tahun ajaran 2013/2014, Sekolah Dasar Negeri Keningar 1 Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang memiliki murid 103 siswa terdiri dai 48 laki-laki dan 55 perempuan. Dari jumlah murid tersebut 9 diantaranya merupakan murid dari desa Ngargomulyo, desa tetangga yang terletak disebelah selatan desa Keningar. Sementara sisanya adalah siswa dari Desa Keningar sendiri. Saat ini SD Negeri Keningar 1 memiliki 6 guru perempuan dan 6 guru laki-laki dan 1 penjaga sekolah.

SD Negeri Keningar 1 berdiri tahun 1964 di Gumuk yang sekarang masuk bagian dusun Banaran Desa Keningar. Inisiatif pendirian sekolah merupakan inisiatf warga masyarakat desa. Pada saat awal sampai beberapa tahun kemudian, penyelenggaraan sekolah masih menumpang di rumah warga belum menempati gedung sendiri. Sekitar tahun 1983/1984 mulai dibangun gedung sekolah yang lebih layak di Dusun Gumuk meskipun kemudian sudah tidak mencukupi lagi karena keterbatasan lahan yang tidak memungkinkan pengembangan sekolah. Oleh sebab itu sejak tahun 2010 SD Negeri Keningar menempati lahan sekolah yang sekarang ini di tempati di lahan bengkok

(tanah desa) setelah menerima dana bantuan dari instruksi presiden (inpres). Meskipun demikian karena keterbatasan infrastruktur bangunan sekolah, sampai


(22)

saat ini gedung yang dibangun baru mencukupi untuk penyelenggaraan sekolah bagi lima kelas. Oleh sebab itu penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar Taman Kanak-Kanak (TK) dan kelas 1 masih di lakukan di tempat asal di dusun Gumuk. Rencana kedepan semua penyelenggaraan sekolah di lakukan dilokasi yang baru sekarang ini.

Dalam sejara struktur organisasi sekolah, Kepala Sekolah SD Keningar 1 pertama adalah Bapak V. Paimin dilanjutkan Bapak M. E Sriluh. Pada waktu terjadi erupsi Merapi tahun 2010, kepala Sekolah SD Negeri Keningar 1 adalah Bapak Slamet S.Pd dan saat ini diganti oleh Ibu Titik Sulistiyowati S.Pd sampai sekarang. Tahun 2013 Struktur Organisasi Sekolah adalah Kepala Sekolah SD Negeri Keningar 1 membawahi 12 guru terdiri dari 6 guru kelas 1 sampai 6, Guru Agama Islam, Guru Agama Katolik, Guru Pendidikan Jasmani dan Kesehatan dan 2 guru Wiyata Bhakti serta dan 1 penjaga sekolah.

Komite Sekolah SD Negeri Keningar 1 dipimpin oleh Bapak Agus Sumarno sebagai Penasehat, Tarmuji Sebagai Ketua, Sungkono dan Slamet S.Pd sebagai Wakil Ketua, Kadar dan R Augustinus sebagai Sekretaris, Tupan dan Hj. Budi Lestari, S.Pd sebagai Bendahara, Tuhari, Rusdi dan Purwanto sebagai Anggota Komite. Kinerja dan fungsi Komite Sekolah berjalan baik dalam mendukung program sekolah dan mengkomunikasikan program sekolah ke masyarakat.


(23)

Gambar 4.4. Denah SD Negeri Keningar 1 Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang Tahun2013.

Sementara SD Negeri Keningar 2 Kecamatan Dukun merupakan salah satu Sekolah Dasar yang dibangun berdasarkan Instruksi Presiden (SD Inpres) pada zaman Presiden Soeharto. SD Inpres ini berdiri pada bulan Agustus 1975 dengan kepala sekolah pertama Bapak V Paimin yang merupakan pindahan Kepala Sekolah SD Negeri Keningar 1. Saat erupsi Merapi tahun 2010, kepala sekolah SD Keningar 2 adalah Bapak Sutarto AM yang kemudian digantikan oleh Bapak Dwi Waluyo MM.Pd sampai sekarang.

Tahun 2013 SD Negeri Keningar 1 memiliki 54 siswa terdiri dari 21 siswa laki-laki dan 33 siswa perempuan. Mereka berasal dari desa Keningar dan sebagian dari Desa Sumber. Berdasarkan Struktur Organisasi Sekolah SD Negeri Keningar 2, Kepala Sekolah yang membawahi 11 guru terdiri dari 6 Guru Kelas, Guru Agama, Guru Olah Raga, Guru Bahasa Inggris dan Penjaga Sekolah.


(24)

Gambar 4.5. Denah SD Negeri Keningar 2 Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang Tahun 2013

Komite Sekolah SD Negeri Keningar 1 dipimpin oleh Eko Kalisno, Sekretaris Supratik, Bendahara Riyanto, Anggota Komite Ari Wiyanto, Maret, Marjum dan Suyono. Komite Sekolah pada saat ini mendukung pada pelaksanaan program sekolah. Terutama selama waktu penyelenggaraan sekolah darurat di pengungsian. Komunikasi antara sekolah dan komite sekolah berjalan sesuai fungsi dan peran masing-masing. Tipikal sekolah yang diselenggarakan di desa menjadikan peran Komite Sekolah efektif mendorong komunikasi sekolah dengan pihak luar dan wali murid.

4.1.5.2. Pengalaman Sekolah Dasar Negeri Keningar 1 dan 2 dalam Manajemen Bencana

Pada saat erupsi Merapi terjadi tahun 2010, anak-anak sekolah sedang menjalani pembelajaran tengah semester di semester pertama tahun pelajaran 2010-2011. Bagi beberapa anak-anak SDN Keningar 1 dan 2 dan penduduk desa di kawasan Merapi,


(25)

bergolaknya Merapi yang besar barangkali baru pertama kali mereka temui. Tetapi bagi orang-orang tua telah mengalami berbagai letusan Merapi dari tahun ke tahun. Meskipun demikian, murid dan warga desa tetap saja cemas dan takut jika harus menghadapi letusan Merapi melanda desa Mereka.

Merujuk Focus Group Discussion (tanggal 23 Juli 2013) dengan kepala sekolah, guru, kepala desa dan sesepuh desa Keningar yang terlibat langsung dalam penanganan bencana erupsi Merapi 2010. Digambarkan situasi sekolah SD Negeri Keningar 1 dan 2 pada saat pada saat erupsi Merapi tahun 2010 sama dengan kejadian erupsi Merapi tahun 2006. Digambarkan oleh Slamet Kepala Sekolah SD Negeri Keningar 1 tahun 2010 dan Sutarto Kepala Sekolah SD Negeri Keningar 2 tahun 2010 bahwa erupsi Merapi pada tahun 2006 terjadi siang hari persis pada waktu jam sekolah anak-anak. Semua orang di sekolah panik. Langsung naik kendaraan truk atau pick up yang disediakan untuk pergi mengungsi. Sehingga banyak anak anak terpisah dari orang tuanya, asal ikut mengungsi begitu saja. Kejadian letusan Merapi tahun 2010 juga hampir mirip. Tidak ada perintah untuk meliburkan anak oleh Kemendiknas Kabupaten Magelang, meskipun telah ada pengumuman status awas Merapi. Itu yang membuat panik dan kebingungan sekolah karena memang tidak berani meliburkan jika tidak ada perintah dari kemendiknas.

Situasi yang sama dialami oleh sekolah di desa lain, seperti digambarkan oleh Titik Sulistiyowati, Kepala Sekolah SD Keningar 1 Tahun 2013. Pada


(26)

waktu erupsi tahun 2010 Titik Sulistyowati masih sebagai guru SDN Ngargomulyo 1, tetangga Desa Keningar yang juga merupakan wilayah KRB III.

Pada saat itu, Merapi telah pada tingkat awas Merapi (sejak 21 Oktober 2010) tetapi sampai hari Selasa pagi tanggal 26 Oktober belum ada seruan untuk libur dari Dinas Pendidikan Kabupaten sehingga anak-anak masih masuk seperti biasa. Tetapi pagi itu saya tahu bahwa situasi Merapi makin berbahaya karena saya dapat SMS dari anak saya yang kebetulan mendapatkan SMS dari temannya di BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika) bahwa kemungkinan tiga jam lagi Merapi akan meletus. Apalagi sudah ada seruan semua orang yang bekerja di ladang untuk segera pulang dan mengungsi, saya waktu itu juga bingung bagaimana seharusnya. Apalagi kemudian suasana menjadi gelap gulita karena debu, semua anak-anak dan guru panik sehingga akhirnya diputuskan untuk memulangkan anak-anak ke orang tua mereka.

Dari hasil interview dengan Bapak Giya, guru SDN Keningar 2 pada Rabu 5 Juni 2013:

Pada waktu tanggal 21 Oktober 2010, pemerintah meningkatkan status Merapi menjadi Siaga Merapi. Tetapi aktivitas penduduk masih seperti biasa. Saya masih mengajar seperti biasa, waktu letusan tahun 2010 saya masih mengajar di salah satu sekolah dasar di Dieng Wonosobo. Begitu dapat berita saya langsung pulang dan evakuasi. Baru pada saat 26 Oktober 2010 masyarakat desa mulai mengungsi keseluruhan ke Lapangan Garonan, Taman Kanak-Kanak (TK) Banyubiru dan Balai Desa Banyudono selama delapan hari. Setelah letusan meluas dan ada perintah evakuasi sampai 20 kilometer. Pengungsi tersebar ke enam tempat, yaitu Selepan Padi Desa Bojong, Lapangan Tembak Salaman, Kantor KPU (Komisi Pemilihan Umum) Kabupaten Magelang, Balai Pertemuan Desa Borobudur, SMP Margoningsih Muntilan dan SMA Fanlite Muntilan.

Penjelasan serupa juga didapatkan dari Kepala Desa Keningar Tarmuji pada Rabu 5 Juni 2013:


(27)

Seperti biasanya, masyarakat mengungsi dengan memilih tempat pengungsiannya sendiri-sendiri, dengan pertimbangan dekat dengan keluarga atau saudara. Tetapi secara umum masyarakat desa Keningar pindah ke Garonan, Taman Kanak-Kanak (TK) Banyubiru dan Balai Desa Banyudono selama delapan hari. Semua mengungsi dengan berbekal seadanya, yang punya ternak ditinggalkan begitu saja. Lah mau gimana lagi. Biasanya kalau mengungsi juga begitu.

Pada saat hari ketiga di pengungsian di tempat pertama di Lapangan Garonan, Taman Kanak- Kanak (TK) Banyubiru dan Balai Desa Banyudono. Kepala sekolah SDN Keningar 1 dan 2 meminta kepada guru untuk mengidentifikasi sebaran siswa mereka di pengungsian. Mengidentifikasi sebaran siswa-siswa yang berasal dari Desa Keningar dan sekitarnya bukanlah perkara mudah karena lokasi pengungsian tersebar. Pilihan arah pengungsian merupakan keputusan pribadi masing-masing keluarga maupun warga. Koordinasi dan perintah dilakukan melalui Short Message Services (SMS) dan telepon. Inisiatif pengidentifikasi sebaran pengungsian siswa merupakan inisiatif sendiri meskipun tanpa perintah dari Kecamatan maupun Dinas Pendidikan (wawancara dengan Giya, Slamet dan Sutarto).

Kondisi ini digambarkan oleh Budi Lestari, guru SD Negeri Keningar 1 sebagai berikut (Wibowo, 2012).

Siswa-siswa kami dari SD Negeri Keningar 1 ternyata berada di beberapa tempat pengungsian. Ada yang dibalai desa Dukun, di Kantor KPRI Dukun, di Balai Desa Banyudono, Di SD Banyubiru 1 dan juga yang dilapangan Garonan. Sungguh mengenaskan! Kami tidak mampu melaksanakan kegiatan belajar mengajar dalam keadaan siswa tercecer di beberapa tempat.


(28)

Begitu mendapatkan perintah dari Kepala Sekolah, maka semua guru mulai mendata sebaran anak-anak siswa di pengungsian. Pendataan juga dilakukan dengan cara sederhana, mencari informasi dari tetangga di desanya tentang dimana orang tua murid mereka mengungsi. Kebiasaan, kedekatan dan kekerabatan masyarakat desa menjadi kekuatan di dalam mendapatkan informasi yang akurat tentang kondisi anak-anak siswa SDN Keningar 1 dan 2. Pendataan juga dilakukan melalui SMS dan telepon. Barulah kemudian di datangi satu persatu. Giya menuturkan:

Dan tiga hari kemudian langsung sudah memulai kegiatan belajar mengajar (KBM) seadanya dimulai dari jam 08.00 – 10.30 atau kadang sampai jam 11.00. Materi belajar adalah CALISTUNG (Baca Tulis dan Berhitung). Semua anak di kelas digabung menjadi satu di tempat darurat. Praktis kami tetap menyelenggarakan sekolah selama di pengungsian, kecuali libur empat hari di awal kejadian bencana sesuai edaran dari Dinas Pendidikan Nasional.

Pengajaran CALISTUNG dipakai oleh para guru untuk anak-anak di bawah kelas 5 dan 6. Pertimbangannya adalah untuk anak- anak di usia tersebut fokus utamanya adalah baca tulis dan berhitung, menyanyi, menggambar dan bermain (Budi Wijayatno, Guru SD Keningar 2). Pertimbangan lainya adalah beberapa pelajaran selain CALISTUNG pada usia tersebut akan memberatkan siswa yang sedang dalam kondisi trauma di pengungsian. Selain CALISTUNG, metode pembelajaran cenderung student centered atau terfokus pada kebutuhan siswa melalui proses belajar sambil bermain dan bersosialisasi


(29)

dengan teman sebaya. Situasi belajar sambil bermain membuat siswa tidak terlalu memikirkan masalah di pengungsian (wawancara M Fatkhurrahman, Guru SDN Keningar 2). Pembagian tugas mengajar guru juga dilakukan sesuai perintah dari Kepala Sekolah SDN Keningar 2 secara bergantian. Di SD Negeri Keningar 1 dan 2, semua tenaga guru dan penjaga sekolah didistribusikan bergantian di tempat-tempat pengungsian (wawancara Titik Sulistiyowati, Giya, M Fatkhurrahman). Kesadaran pengelolaan kelas di situasi darurat dengan belajar CALISTUNG dan bermain berangkat dari pengalaman merespon bencana sebelumnya.

Dalam catatan Nurkhayati, Guru SD Negeri Keningar 2 (Wibowo, 2012), sebagai guru dia harus mendatangi siswa-siswa yang berada di berbagai tempat di pengungsian untuk memberi materi pembelajaran.

Disamping itu, bimbingan dan permainan juga aku sampaikan untuk mengantisipasi agar siswa-siswaku terhindar dari trauma. Pembelajaran dibuat sistem kelompok dengan metode bervariasi. Tema keimanan, ketagwaan dan kemanusiaan selalu kusisipkan pada setiap materi pelajaran. Semua itu untuk membuat siswa tidak jenuh.

Di kelas darurat tidak tersedia modul pembelajaran khusus yang disiapkan atau diedarkan untuk panduan mengajar. Tantangan nyata justru muncul pada waktu perintah mengungsi menjauhi puncak Merapi sejauh 20 kilometer. Pengungsi dari desa Keningar kemudian berpindah tempat dan tersebar di empat wilayah dengan radius jarak yang berjauhan. Pendekatan pendataan juga dilakukan


(30)

dengan cara yang sama seperti di pengungsian yang pertama. Distribusi guru dan tenaga pengajar menjadi tantangan terberat, karena selain harus mengurus keluarga yang mengungsi, mereka juga harus tetap mengajar ke siswa mereka meskipun jaraknya cukup jauh karena beberapa tempat pengungsian berjarak lebih dari 25 kilometer dari tempat tinggal pengungsian para guru. Oleh sebab itu beberapa guru dan juga anak-anak merasa tertolong dengan adanya relawan yang mengajar mereka di kelas untuk bermain maupun untuk healing.

Mengenai ketersediaan alat belajar dan infrastruktur sekolah, anak-anak justru menyukai fasilitas belajar di barak-barak pengungsian. Karena selalu mendapatkan semua kebutuhan sekolah separti seragam, buku, sepatu, topi, dasi, pencil dan pulpen, dan buku bacaan baru. Bantuan tersebut di dapat dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pemerintah dan para relawan. Sementara menurut Giya dan didukung oleh M Fathkurrahman dan Budi Wijayatno, bantuan untuk guru justru tidak ada. Pada akhir pengungsian, karena semua mendapatkan bantuan baru, ditemukan beberapa siswa tidak mau kembali sekolah ke tempat asalnya dengan berbagai alasan. Mereka lebih kerasan tinggal di tempat pengungsian.

Pemahaman tentang bantuan yang terpilah antara siswa laki-laki dan perempuan, menurut dari hasil Focus Group Discussion (FGD) guru SDN Keningar 2 pada Kamis, 20 Juni 2013, mereka menyatakan bahwa secara umum apapun bentuk bantuannya diterima. Bantuan juga tidak secara spesifik dipilah


(31)

untuk laki-laki dan perempun maupun berdasarkan kebutuhan usia. Apapun bantuan diterima, meskipun di dalam kenyataannya, banyak bantuan dari non pemerintah justru yang telah terpilah berdasarkan jenis kelamin, kelompok umur, ketimbang bantuan dari pemerintah.

Melihat sumber daya yang dimiliki guru, mereka menyatakan tidak ada pembekalan khusus dari sekolah, dinas pendidikan atau pemerintah terkait pengelolaan sekolah darurat bencana. Bagi guru senior, apa yang mereka lakukan dalam penyelenggaraan sekolah darurat adalah murni berdasarkan pengalaman penanganan bencana pada tahun sebelumnya. Sementara pembelajaran kelas rangkap -kelas bersama dimana semua tingkatan kelas belajar dalam satu satu ruang- didapatkan Giya dan guru- guru lainnya dari kurikulum Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Meski pada waktu itu mereka juga mengaku tidak tahu mengapa harus belajar tentang kelas paralel. Sekarang para guru-guru yang lulusan PGSD baru merasakan manfaatnya.

Dalam kegiatan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), pembagian peran antara guru dan kepala sekolah lebih melekat pada fungsional, Kepala Sekolah mengelola dan memastikan pelaksanaan KBM berjalan serta berkomunikasi dengan kepala sekolah yang lain maupun dengan dinas. Meskipun demikian tidak ada pembahasan khusus tentang standar pelaksanaan sekolah darurat, peran guru, peran kepala sekolah maupun peran dinas pendidikan. Semua berjalan dalam situasi emergency, yang penting kegiatan KBM


(32)

berjalan untuk anak-anak. Hal yang sama juga terjadi pada monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan sekolah darurat di pengungsian. Keseluruhan guru mengaku tidak ada monitoring dan evaluasi terkait pengeloalan sekolah darurat dari dinas pendidikan maupun pemerintah sampai sekarang. Dokumen monitoring standar minimal pelaksanaan sekolah darurat juga belum ada. Sampai pelaksanaan sekolah darurat selesai dan para pengungsi kembali beraktifitas di desa asal. Sekolah kembali berjalan seperti sediakala dan seperti kebiasaan pembelajaran sehari-hari layaknya sekolah normal kebanyakan. Proses pembelajaran atas pengalaman berhenti dan menguap begitu saja.

4.1.5.3. Kelemahan Pelaksanaan Sekolah Darurat

Pengalaman pelaksanaan sekolah darurat selama 48 hari diakui oleh para guru ada kelemahan mendasar. Pemakluman karena situasi darurat menjadi pembenar atas kelemahan tersebut. Pertama, konsentrasi siswa dan guru terpecah karena situasi bencana yang mereka hadapi. Bagi Guru faktor harus mengurus keluarga di pengungsian, mengurus barang-barang dan hewan yang ditinggal di rumah asli mereka yang ditinggalkan atau bahkan faktor jarak dan gangguan kesehatan karena debu vulkanik. Kedua, tidak tersedianya bahan-bahan pegangan yang dijadikan bahan pengajaran bagi siswa di sekolah darurat. Semua proses KBM berjalan karena guru telah hapal materi dan improvisasi sendiri. Ketiga, pembekalan khusus tentang pengelolaan sekolah darurat tidak pernah mereka dapatkan. Juga termasuk perspektif gender dalam respon bencana, baik di


(33)

pengungsian maupun pada saat penyelenggaraan sekolah darurat. Padahal mereka adalah para guru yang tinggal dan bertugas di wilayah risiko tinggi bencana erupsi Merapi. Keempat, kurangnya dukungan bantuan bagi guru dan tenaga pengajar dalam bentuk insentif transportasi, seragam guru, ataupun jaminan kesehatan mereka. Semua proses pelaksanaan sekolah darurat dilakukan secara suka rela. Kelima, belum tersedianya infrastruktur yang memadai sebagai tempat penyelenggaran sekolah darurat. Kebutuhan papan tulis, kapur, alat tulis guru, buku pegangan guru relatif tidak tersedia dalam daftar bantuan bagi korban bencana. Semua fokus bantuan ke anak-anak korban, tidak untuk guru dan tenaga pengajarnya. Semua temuan tersebut di atas diakui oleh para guru sebagai salah satu kelemahan di dalam penyelenggaraan sekolah darurat.

Hasil Focus Group Discussion (FGD) dengan para guru tanggal 20 Juni 2013 dapat disimpulkan bahwa penyebab utamanya adalah sejak awal, pemerintah tidak menyiapkan standar penyelenggaraan pendidikan disertai dengan standar pengelolaan situsi darurat yang terintegrasi dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) bagi sekolah-sekolah wilayah risiko tinggi bencana. Padahal cukup banyak sekolah-sekolah di daerah aman yang bisa dipakai sebagai tempat belajar mengajar anak-anak pengungsi dengan konsep menitipkan penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar sementara di sekolah tersebut. Konsep integrasi penyelenggaraan sekolah darurat akan berjalan dengan baik jika sejak awal disiapkan infrastruktur pengungsian yang


(34)

terintegrasi dengan pusat shelter, layanan kesehatan, dapur umum dan pusat informasi bencana maupun fasilitas lain yang relevan. Sesuai dengan konsep mitigasi dalam Pasal 44 huruf c dalam UU Nomor 24 Tahun2007 tentang Penanggulangan Bencana Nasional.

4.1.5.4. Harapan Tinggi Guru dan Kepala Sekolah SD Keningar 1 dan 2

Meski demikian, hasil FGD dan wawancara mendalam Kamis, 20 Juni 2013 dengan guru, orang tua murid, pejabat desa dan kepala sekolah di dua sekolahan tersebut juga menunjukkan harapan yang tinggi para guru terhadap pengalaman pengelolaan sekolah darurat. Pertama, Dinas Pendidikan menyusun kebijakan khusus bagi sekolah-sekolah risiko tinggi bencana dengan mengintegrasikan manajemen sekolah dengan kondisi risiko bencana seperti manajemen evakuasi, mitigasi dan kesiapsiagaan sekolah, kurikulum, infrastruktur, shelter dan layanan kesehatan. Kedua, ada pendidikan atau pelatihan khusus bagi para guru dan Kepala Sekolah terkait penyelenggaraan sekolah-sekolah risiko tinggi bencana, termasuk pada saat situasi darurat. Ketiga, memperhatikan dukungan bantuan teknis dan peningkatan kemampuan bagi para guru-guru dalam penyelenggaraan sekolah di situasi darurat.

4.1.5.5. Pengurangan Risiko Focus pada Kekuatan dan Inisiatif Lokal

Penjelasan di atas menegaskan penyelenggaraan sekolah di dalam studi kasus ini sangat tergantung kepada inisiatif lokal, leadership Kepala Sekolah dan kesadaran para guru sebagai pendidik yang tertanam


(35)

untuk bertanggung jawab terhadap anak didiknya. Termasuk juga inisiatif dukungan pemerintahan dan masyarakat desa. Mereka dengan suka rela mencari muridnya yang sedang dalam situasi tidak aman.

Meskipun penyelenggaraan sekolah bagi korban bencana masih merupakan inisiatif lokal dan belum menjadi kesadaran sistemik, tetapi pengalaman tersebut dapat menjadi pembelajaran penting untuk diadopsi di dalam prosedur baku penyelenggaraan sekolah-sekolah di wilayah rawan bencana. Yang terjadi justru sebaliknya. Disaat situasi bencana erupsi Merapi berlalu, perlakuan terhadap sekolah-sekolah di wilayah risiko tinggi bencana tetap saja sama seperti sekolah-sekolah lainnya yang berada di wilayah dengan risiko ancaman bencana rendah. Kehidupan di ruang pendidikan berjalan seperti biasa. Persiapan khusus mitigasi, kesiapsiagaan di sekolah bagi situasi khusus (bencana) juga belum masuk di dalam pengajaran para siswa, guru dan kepala sekolah. Sangat disayangkan jika pengalaman berlalu tanpa mengubah kesadaran.

4.1.6. Analisis Risiko Bencana SD Negeri Keningar 1 dan 2

4.1.6.1. Peta Hazards/Bahaya SD Keningar 1 dan 2. a. Konsep dan ruang lingkup Peta Hazards/Bahaya

Menurut IIR, Hazard atau bahaya adalah a potential event that could couse loss of life or damage to property or the environment (IIRR, 2007). Atau adalah keadaan atau fenomena alam yang dapat berpotensi menyebabkan korban jiwa, kerugian harta benda dan kerusakan lingkungan (Nurjanah, 2012). Sementara menurut UU no 24 tahun 2007 tentang


(36)

Penanggulangan Bencana menyebutkan hazards

adalah sesuatu kejadian atau peristiwa yang bisa menimbulkan bencana.

Ruang lingkup ancaman bahaya atau hazards, merupakan semua kejadian yang menyebabkan ancaman langsung maupun tidak langsung atas ruang lingkup kehidupan manusia, khususnya di SD Negeri Keningar 1 dan 2. Ancaman rikiko bencana berbentuk ancaman jiwa, kerugian harta/benda, kerusakan infrastruktur sarana-prasarana kehidupan sosial dan budaya maupun lingkungan hidup. Pada kontek sekolah, ancaman bahaya dapat dikhususkan pada semua kejadian yang dapat menggangu keselamatan jiwa civitas sekolah, kerugian benda, kerusakan infrastruktur sarana-prasarana sekolah dan hilangnya jaminan penyelenggaraan sekolah dan pemenuhan kebutuhan dasar pendidikan bagi siswa.

b. Sekolah Berada di Garis Ancaman Bahaya Tinggi Erupsi Merapi

Berdasarkan pemetaan selama proses penelitian, bentuk-bentuk hazards/bahaya erupsi Merapi adalah, lava, awan panas, Debu vulkanik, Banjir bandang (lihat tabel 4.4). Bentuk-bentuk hazards/ bahaya ini dikenali oleh masyarakat dari kebiasaan sehari-hari yang mereka hadapi disaat erupsi Merapi. Beberapa istilah lokal dan istilah ilmiah digunakan untuk memudahkan dalam mengenali risiko ancaman bahaya yang mereka hadapi tanpa mengurangi substansi dari ancaman yang dirasakan oleh masyarakat setempat.


(37)

Tabel 4.4. Ancaman/Bahaya Erupsi Merapi bagi SD Negeri Keningar 1 dan 2 Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang

Bentuk Ancaman Tanda-tanda Kekuatan Ancaman Waktu/ kecepatan Dampak Bagi sekolah Aliran lava, magma, lahar (800-1200 C) Gempa vulkanik, Ada titik api dipuncak Merapi, suara gemuruh, hewan turun, Peringatan awas Merapi Makin rendah kekentalan lava makin jauh jangkauannya ; radius 10-15 kM, Mengalir di sungai Senowo/Caca ban. 100 km/jam, 5 menit dari lokasi sekolah. Ancaman jiwa guru dan murid; menghancurka n infrastruktur sekolah; KBM tidak berjalan. Awan panas (piroklast ik), wedus gembel (600-800 C) Menghangusk an semua yang dilewati 100 KM/jam, tergantung kekuatan arah angin. 5 menit dari lokasi sekolah

Ancaman jiwa guru & murid; menghancurka n infrastruktur sekolah; KBM darurat di pengungsian Gas beracun Meracuni manusia, hewan dan tumbuhan Tergantung lokasi, kekuatan & arah angin, waktu paparan tidak dapat di prediksi. Ancaman jiwa guru dan murid; KBM di sekolah berbahaya mengancam jiwa siswa dan guru Hujan Abu/keri kil Gempa vulkanik, tergantung arah tiupan angin, Peringatan awas Merapi Hujan abu berlangsung tiba-tiba; konstan. Langit gelap, jarak pandang terbatas. Tergantung kekuatan semburan & arah angin; mencapai ratusan km, 30 menit sampai 60 menit. Kematian; Gangguan ISPA & mata akut bagi guru & siswa; Merusak infrastruktur sekolah & KBM

Banjir Lahar Dingin, banjir bandang Hujan di puncak Merapi; Suara gemuruh Diikuti aliran lumpur, pasir, batu di DAS sungai; Berlangsung saat hujan.

30 men 1 satu jam setelah hujan di puncak Merapi, Ancaman jiwa siswa/guru di lokasi paparan; kerusakan infrastruktur untuk pergi ke sekolah


(38)

Tabel diatas menjelaskan bahwa ancaman bahaya/hazards erupsi Merapi bagi SD Negeri Keningar 1 dan 2 adalah pertama ancaman aliran lava/magma atau Lahar dalam istilah masyarakat setempat. Magma ini menurut masyarakat dan civitas sekolah ditandai dengan meningkatnya aktivitas gempa vulkanik, adanya titik api diam di puncak Merapi, serta suara gemuruh yang keras dari dalam perut Merapi. Tanda-tanda lain adalah hewan-hewan yang biasa hidup di area hutan lindung Merapi turun ke desa. Biasanya ada Macan, Babi Hutan, Kijang atau Ular yang turun dari daerah puncak Merapi masuk ke perkampungan penduduk. Pada kondisi ini biasanya BPPTK dan Badan Geologi telah menyampaikan seruan Awas Merapi.

Kekuatan ancaman aliran lava/magma ataupun lahar adalah semakin cair atau rendah kekentalannya semakin jauh jarak luncuran alirannya. Aliran lava/magma atau lahar bisa dengan kecepatan sampai 100 km/per jam dengan mengikuti bidang miring dan hulu Sungai Senoyo dan Sungai Cacaban yang mengapit Desa Keningar. Dampak aliran lava, magma atau lahar adalah ancaman jiwa guru dan siswa, dapat menghancurkan infrastruktur sekolah dan kegiatan belajar mengajar tidak dapat terselenggara karena tidak aman. Meskipun jarang terjadi korban meninggal karena guguran lava, magma atau lahar, tetapi lokasi sekolah SD Negeri Keningar 1 dan 2 yang persis berada di garis paparan bahaya yang hanya berjarak 5,3 km saja dari puncak Merapi.

Kedua, ancaman bahaya awan panas atau wedus gembel. Ancaman ini ditandai dengan meningkatnya


(39)

aktivitas gempa vulkanik Merapi, ada titik api/magma diam di puncak Merapi, suara gemuruh, hewan dan binatang buas turun dari areal puncak Merapi dan di dahului oleh guguran lava/magma/lahar dan kekuatannya mencapai 100 km/jam sesuai kekuatan arah erupsi dan tiupan angin. Awan panas atau wedus gembel dapat mencapai lebih dari radius 12 kilometer dari puncak Merapi dan menghancurkan semua mahluk hidup yang dilewati. Ancaman keselamatan jiwa siswa dan guru, kerusakan infrastruktur dan penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar tidak dapat terlaksana di lokasi sekolah. Melihat kekuatan dan jangkauan awan panas, maka posisi sekolah SD Negeri Keningar 1 dan 2 yang hanya sekitar 5,3 kilometer dari puncak, merupakan titik paparan bahaya awan panas/wedus gembel. Catatan jatuhnya korban meninggal dan luka-luka karena erupsi Merapi, korban terbanyak disebabkan oleh terpaan awan panas atau wedus gembel ini.

Ketiga, ancaman bahaya gas beracun. Ancaman gas beracun merupakan ancaman ikutan dari guguran lava. Ciri-ciri terjadi peningkatan aktivitas Merapi, ada titik api diam di puncak Merapi, hewan buas di area puncak Merapi turun, ditemukan hewan atau tumbuhan mati di area gas beracun serta aktivitas guguran lava dan awan panas/wedus gembel yang meningkat. Paparan gas beracun tergantung lokasi dan kekuatan arah angin. Meskipun belum ada peta yang jelas tentang ancaman gas beracun di Merapi tetapi melihat lokasi sekolah yang hanya 5,3 km dari puncak


(40)

Merapi, sekolah perlu mempertimbangkan ini untuk membangun konsep respon dini bagi civitas sekolah.

Keempat, ancaman bahaya hujan abu/kerikil. Ancaman hujan abu vulkanik, sekolah SD Negeri Keningar 1 dan 2 berada di garis paparan langsung erupsi Merapi tahun 2010. Huja abu vulkanik ditandai dengan meningkatnya gempa vulkanik, arah tiupan angin menuju ke barat dan ada peringatan bahaya Merapi dari yang berwenang. Kekuatan ancaman bahaya hujan abu karena terkadang berlangsung tiba-tiba meski tampak kondisi Merapi tenang. Sementara pada saat erupsi Merapi, hujan abu dan kerikil berlangsung konstan. Langit gelap dan jarak pandang sangat terbatas. Pada kondisi paparan akut bagi korban, abu vulkanik dapat mengakibatkan sesak nafas, gangguan akut ISPA (Instalasi Saluran Pernapasan Atas) dan gangguan mata akut bagi siswa dan guru serta civitas sekolah lainnya. Pada kejadian hujan abu yang terus menerus merusak infrastruktur sekolah seperti genting, talang air, meja, bangku, kursi, buku-buku dan mempercepat korosi.

Kelima, ancaman bahaya banjir lahar dingin, banjir bandang. Ancaman ini ditandai dengan hujan deras di puncak Merapi dan disertai suara gemuruh. Banjir lahar dingin biasanya melalui Sungai Senowo dan Sungai Cacaban yang mengapit Desa Keningar. Ancaman bahaya banjir lahar dingin meningkat jika sebelumnya terjadi erupsi muntahan lahar/lava yang memenuhi sungai dan areal rendah lainnya dengan pasir dan batu muntahan dari puncak Merapi. Ancaman jiwa bagi siswa dan guru yang berada di


(41)

lokasi rentan dekat dengan bantaran sungai Senowo dan Cacaban. Pada waktu erupsi Merapi Tahun 2010, pos pengungsian masyarakat yang tersebar di berbagai tempat di daerah bawah sekitar kota Magelang, Muntilan, Boyolali, Sleman, Klaten dan Jogjakarta, diminta untuk menjauhi bantaran sungai dan kembali naik ke atas untuk menghindari luapan banjir lahar dingin (Slamet, Giya dan Tarmuji).

Berdasarkan paparan ancaman bahaya/hazards

diatas, maka dapat disimpulkan bahwa ancaman erupsi Merapi bagi Sekolah SD Negeri Keningar 1 dan 2 Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang adalah Lava/magma/lahar, Awan panas/Wedus Gembel, Gas Beracun, Hujan Abu/Kerikil dan Banjir Lahar Dingin. Masyarakat civitas sekolah mengenali tanda-tanda kekuatan dan dampaknya terhadap keberlanjutan hidup mereka. Masyarakat civitas sekolah menyadari bahwa lokasi SD Negeri Keningar 1 dan 2 berada di dalam jangkuan paparan ancaman bahaya secara langsung karena berjarak 5,3 km dari pusat ancaman bahaya dan ancaman bahaya akan datang dalam jangka waktu 5 menit sampai 60 menit dari tenggat.

4.1.6.2. Peta Kerentanan SD Keningar 1 dan 2 a. Konsep dan Ruang Lingkup Peta Kerentanan

Konsep kerentanan yang dimaksud adalah sekumpulan kondisi dan atau suatu akibat keadaan baik karena faktor fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang berpengaruh buruk terhadap upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan bencana. Kerentanan juga merupakan kondisi dimana system tidak dapat menyesuaikan dengan dampak dari suatu


(42)

perubahan (Olmos, 2001. Fussle 2007). Kerentanan masyarakat merupakan kondisi masyarakat yang tidak dapat menyesuaikan dengan perubahan ekosistem yang disebabkan oleh suatu ancaman tertentu (Fussel, 2007). Yaitu suatu kondisi yang dipengaruhi oleh proses fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan yang dapat meningkatkan risiko terhadap dampak bahaya (Herawaty dan Santosa, 2007). Dalam kontek lingkup sekolah, kerentanan sekolah adalah segala kondisi dimana system sekolah tidak mampu menyesuaikan atas perubahan kondisi tertentu karena ancaman tertentu baik secara fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan.

Ruang lingkup analisis kerentanan digunakan sebagai (1). Alat diagnostic untuk memahami masalah-masalah dan faktor-faktor penyebab kerentanan (2). Alat perencanaan sebagai dasar penetapan prioritas kegiatan serta urutan kegiatan yang direncanakan (3). Alat pengukur risiko untuk menilai risiko secara spesifik (4) alat untuk pemberdayaan dan mobilisasi kelompok masyarakat yang rentan (Benson et al, 20017) (Djuraidah, 2009). Ruang lingkup kerentanan meliputi kerentanan fisik (infrastruktur), sosial kependudukan dan ekonomi (Nurjanah, 2012), merupakan fungsi dan paparan (exposure), daya adaptasi dan sensivitas sosial atas ancaman (Herawaty dan Santosa 2007). Kerentanan dalam kontek ekonomi menggambarkan tingkat kerapuhan ekonomi menghadapi ancaman bahaya. Meliputi presentase rumah tangga yang bekerja di sector rentan dan rumah tangga miskin (Nurjanah, 2012).


(43)

Faktor utama kerentanan adalah kurangnya akses terhadap sumber daya meliputi informasi, pengetahuan dan teknologi, serta terbatasnya akses terhadap kekuatan dan keterwakilan politik, modal sosial, koneksi dan jejaring sosial, adat kebiasaan dan nilai budaya (Cutter et al 2003). Kerentanan individu, organisasi, wilayah maupun komunitas akan berbeda-beda secara temporal dan spasial (Olmos, 2001. IPCC, 2001). Kerentanan merupakan tiga komponen yaitu:

exposure (paparan), sensitivity (kepekaan) dan adaptive capacity (kemampuan adaptasi) (IPCC, 2001, Olmos, 2001, Fussel, 2007).

Ruang lingkup bentuk kerentanan sekolah sebagai organisasi atas risiko bencana meliputi (a). Letak lokasi sekolah. Mengenali kerantanan karena lokasi dan tingkat kerentanannya yang dihadapi di lokasi sekolah SD Negeri Keningar 1 dan Keningar 2 (b). Ketersediaan infrastruktur sekolah yang relevan dengan kebutuhan respon bagi pengurangan risiko bencana yang di hadapi oleh siswa, guru dan civitas sekolah lainnya. Identifikasi infrastruktur untuk mengetahui apakah infrastruktur sekolah telah mendukung upaya pengurangan risiko bencana erupsi Merapi. Termasuk juga ketersedian kebijakan-kebijakan sekolah yang terkait bagi pengurangan risiko bencana erupsi Merapi di SD Negeri Keningar 1 dan 2. (c). Tingkat kemampuan, keahlian dan pengetahuan civitas sekolah di dalam mengelola risiko bencana. Tingkat kemampuan meliputi juga meliputi bagaimana komunitas sekolah mendapatkan keahlian tersebut (d). Konflik di sekolah/masyarakat lingkungan sekolah.


(44)

Konflik disini adalah mengenali relasi sosial antar civitas sekolah dan potensi konflik yang menghambat upaya sekolah melakukan perubahan (e). Perilaku yang mendukung terhadap pengurangan risiko bencana erupsi Merapi. Pertanyaan utama adalah bagaimana perilaku (budaya) siswa, guru, kepala sekolah dan civitas sekolah lainnya bagi pengurangan ancaman risiko bencana erupsi Merapi? Apakah faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut?

b. Sekolah Dasar Keningar Rentan Terhadap Erupsi Merapi

Hasil pemetaan kerentanan sekolah di SD Negeri Keningar 1 dan 2 sesuai hasil focus group discussion dan wawancara mendalam dengan narasumber utama dituliskan Tabel 4.5. Kerentanan SD Negeri Keningar 1 dan 2 pada ancaman bahaya aliran lava, awan panas dan gas beracun dan hujan abu adalah pertama Lokasi dan Infrastruktur Sekolah. Lokasi SD Keningar 1 dan 2 berada di Kawasan Risiko Bencana III. yaitu berada di garis jangkauan aliran lava, awan panas dan gas beracun yang bisa mencapai lebih dari 12 km pada saat erupsi Merapi di tahun 2010. Sejarah letusan Merapi tahun 1930 dan 1961 meratakan empat dusun Desa Keningar yang hanya berjarak 3 sampai 4 kilometer dari puncak Merapi. Demikian juga pada paparan hujan abu vulkanik. Lokasi SD yang hanya 5,3 km dari puncak Merapi tentu sangat rentan, mengingat daya jangkau hujan abu bisa mencapai ratusan kilometer sesuai dengan kekuatan tiupan angin.


(45)

Tabel 4.5. Peta Kerentanan SD Negeri Keningar Bentuk Ancaman Lokasi & Infrastruktur Sekolah Pengetahuan & Keahlian Konflik dan Perilaku

Aliran lava 1) Lokasi SD di KRB III di garis aliran lava, awan panas & gas beracun di lereng barat Merapi

2) Berjarak 5,3 km dari puncak

3) Letusan 1930 & 1961 4 dusun pindah & transmigrasi

4) KBM tidak aman 5) Alat-alat

keselamatan dasar bagi guru/siswa belum ada (Masker, kacamata, penutup kepala, tabung oksigen, P3K) 6) Sekolah belum

memiliki standar manajemen sekolah berbasis

pengurangan risiko bencana (protap). 7) Prosedur dan lokasi

pengungsian belum jelas.

1) Kepala sekolah, guru, orang tua & siswa belum terlatih tanggap bencana. 2) Manajemen sekolah pengurangan risiko bencana belum difahami sekolah. 3) Pengajaran risiko bencana Merapi belum masuk kurikulum 4) Manajemen sekolah darurat belum terencana (materi, SDM, alat-alat)

5) Guru, wali murid & siswa

mengungsi terpencar. 6) Inisitif sekolah

kuat.

1). Tidak ditemukan konflik di dalam mengelola sekolah, komite dan desa. 2). Masyarakat mempercayai Merapi marah karena perilaku manusia yang merusak. 3). Kepercayaan masyarakat terhadap tokoh mistik lokal sangat kuat. 4). Beberapa anggota masyarakat baru mengungsi jika tokoh panutan menyarankan mengungsi. Awan panas Gas beracun dan Hujan Abu Vulkanik Banjir Lahar Dingin

1) Sungai Senoyo dan Cacaban penuh material lumpur, pasir/batu

2) Instalasi saluran air minum dan irigasi rusak

3) Infrastruktur tidak mendukung pelaksanaan sekolah darurat. 4) Lokasi pengungsian

belum jelas (terpencar) & tidak aman terhadap risiko banjir.

1). Peta risiko bencana lahar dingin belum tersedia. (2). Pengetahuan masyarakat dan sekolah tentang banjir lahar dingin masih lemah. Pengungsian berpindah-pindah menghindari erupsi dan banjir lahar dingin.


(46)

Pada saat erupsi Merapi terjadi Sekolah Dasar Keningar 1 dan 2 tidak aman untuk aktivitas belajar mengajar. Atap dan sarana belajar tertutup abu lebih dari 15 cm (letusan 2010) sehingga seluruh masyarakat dan civitas sekolah harus mengungsi dan menyelenggarakan sekolah darurat di lokasi pengungsian.

Kerentanan karena faktor infrastuktur sekolah juga tampak dari minimnya ketersediaan alat-alat keselamatan dasar. Meskipun SD Negeri Keningar 1 dan 2 berada pada lokasi rentan paparan bahaya guguran lava/magma/lahar, awan panas, gas beracun dan hujan abu vulkanik, tetapi di sekolah belum menyediakan alat-alat keselamatan dasar jika terjadi ancaman bahaya tersebut bagi guru dan siswa dan seluruh civitas sekolah. Alat-alat keselamatan dasar meliputi masker, kacamata, penutup kepala, tabung oksigen dan P3K atau sejenisnya yang mencukupi untuk memberikan pertolongan pertama bagi kemungkinan jatuhnya korban guru dan siswa di sekolah.

Pada sisi manajemen sekolah, meskipun seluruh civitas SD Negeri Keningar 1 dan 2 sadar bahwa mereka beradai di wilayah bahaya erupsi (KRB III), tetapi sampai saat ini sekolah belum memiliki standar manajemen sekolah berbasis pengurangan risiko bencana yang baku. Kebijakan standar manajemen ini dapat berbentuk protap yang bisa menjadi acuan seluruh civitas sekolah jika terjadi ancaman bahaya tersebut. Protap ini meliputi jalur dan prosedur evakuasi serta lokasi pengungsian jika ancaman bahaya terjadi pada saat anak-anak dan guru sedang


(47)

dalam proses belajar mengajar. Misalnya prosedur baku sekolah pada saat hujan debu sementara masih memungkinkan kegiatan belajar mengajar berlangsung. Atau prosedur baku sekolah pada saat semua civitas sekolah harus evakuasi ke pengungsian. Faktor kerentanan infrastuktur sekolah juga dipengaruhi olah belum jelasnya lokasi dan prosedur pengungsian yang terintegrasi dengan kebijakan desa dan pemerintah.

Kedua. Pengetahuan dan keahlian. Kerentanan pengetahuan dan keahlian civitas sekolah terkait dengan ancaman bahaya aliran lava, awan panas, gas beracun dan hujan abu vulkanik teruraikan sebagai berikut: Kepala Sekolah, guru, siswa dan wali murid belum terlatih menjalankan tanggap bencana meskipun mereka semua sadar membutuhkan pemahaman bencana erupsi Merapi di sekolah. Oleh sebab itu, manajemen sekolah berbasis pengurangan risiko bencana belum difahami oleh sekolah meskipun civitas SD Negeri Keningar 1 dan 2 sadar mereka berada di wilayah risiko tinggi ancaman bahaya erupsi Merapi. Sekolah juga belum memberikan pengajaran tentang risiko bencana Merapi dalam kurikulum pendidikan sekolah bagi siswa, pembekalan bagi guru dan kepala sekolah. Guru, wali murid dan siswa mengungsi terpencar tidak dalam satu tempat. Manajemen sekolah darurat belum terencana materinya, kebutuhan sumber daya manusia serta dukungan alat-alat dan kebijakan operasionalnya. Meskipun SD Negeri Keningar 1 dan 2 memiliki pengalaman bagaimana dengan inisiatif lokal mengelola sekolah darurat selama pengungsian di tahun 2010. Guru, wali murid dan siswa mengungsi


(48)

terpencar tidak di lokasi yang sama sehingga menyulitkan didalam menyelenggarakan sekolah darurat.

Ketiga, konflik dan perilaku. Dari sisi ancaman konflik internal di sekolahan, tidak ditemukan konflik

interest di internal sekolah, komite sekolah dan desa yang menghambat berjalannya kebijakan sekolah. Pada sisi perilaku masyarakat termasuk guru, orang tua murid dan siswa, mempercayai Merapi marah karena perilaku manusia yang merusak. Pendekatan pemahaman normatif masih sangat kental. Oleh sebab itu kepercayaan masyarakat terhadap tokoh mistik lokal sangat kuat. Beberapa anggota masyarakat termasuk guru, wali murid dan siswa, baru mengungsi jika tokoh panutan memerintahkan untuk mengungsi.

Sementara kerentanan SD Negeri Keningar 1 dan 2 terkait ancaman bahaya banjir lahar dingin adalah

pertama, Lokasi dan Infrastruktur. Pada waktu ancaman banjir lahar dingin terjadi di Merapi, kondisi sungai dan bantaran sungai penuh dengan material lumpur, pasir dan batu muntahan dari erupsi Merapi. Instalasi saluran air minum dan irigasi teknis/non teknis rusak oleh muntahan lava/lahar. Meski masyarakat telah mengungsi dari desa Keningar, tetapi infrastruktur pengungsian belum tersedia serta lokasi pengungsian belum jelas dan tidak aman terhadap ancaman bahaya banjir. Sehingga lokasi dan infrastruktur pengungsian tidak mendukung pelaksanaan seolah darurat di tempat pengungsian.

Kedua, pengetahuan dan keahlian. Kerentanan di bidang pengetahuan adalah peta risiko bencana lahar


(49)

dingin dari pemerintah yang terbaru belum tersedia dan difahami oleh sekolah dan masyarakat. Sehingga pengetahuan masyarakat dan sekolah tentang banjir lahar dingin masih kurang. Risiko ancaman bahaya banjir lahar dingin lebih banyak terasa pada saat masyarakat dan civitas sekolah berada di pengungsian.

Ketiga, konflik dan perilaku. Kerentanan pada kondisi ini dipengaruhi oleh perilaku pengungsian berpindah-pindah menghindari erupsi Merapi dan banjir lahar dingin. Faktornya adalah belum disediakannya tempat pengungsian yang baku bagi masyarakat oleh pemerintah. Sehingga lokasi pengungsian tersebar di berbagai tempat. Dalam kondisi ini, keputusan penentuan lokasi pengungsian juga berada dalam pertimbangan dari masing-masing keluarga dan warga masyarakat. Faktor lain yang mempengaruhi adalah informasi tentang lokasi aman dan ketersediaan jaminan logistik yang memadai masih simpang siur. Tanggung jawab pengadaaan logistik merupakan tanggung jawab pemerintah desa, kepala sekolah dan guru-guru yang secara sukarela mengambil peran tersebut.

4.1.6.3. Peta Kapasitas/Ketahanan Internal dan

Ekternal Sekolah

a. Konsep dan ruang lingkup Kapasitas/Ketahanan Sekolah

Secara operasional, pengertian kapasitas adalah penguasaan sumber daya, cara dan kekuatan yang dimiliki masyarakat yang memungkinkan mereka mempersiapkan diri, mencegah, menjinakkan, menanggulangi, mempertahankan diri serta dengan


(50)

cepat memulihkan diri dari akibat bencana (Paripurno, 2011; Heijmans, 2012). Berdasarkan pengertian tersebut, sumber daya/kapasitas sekolah akan dilihat dari penguasaan sumber daya, cara dan kekuatan yang dimiliki oleh sekolah dan stakeholdernya. Meliputi (1). Kapasitas sekolah dalam mempersiapkan diri terhadap risiko bencana. (2). Kapasitas sekolah dalam mencegah risiko bencana (3). Kapasitas sekolah dalam menjinakkan bahaya (4). Kapasitas sekolah dalam menanggulangi risiko bencana (5). Kapasitas sekolah dalam mempertahankan diri (6). Kapasitas sekolah dalam memulihkan (recovery) bencana Erupsi

Ruang lingkup peta kapasitas dan ketahanan sekolah meliputi: (a). Kepemilikan aset sekolah; (b). Ketersediaan makanan dan alat-alat keselamatan; (c). Kapasitas keluarga wali murid, guru dan dukungan masyarakat; (d). Pengetahuan lokal sekolah dan masyarakat sekitar; (e). Tanggung jawab pemerintah dan organisasi masyarakat.

b. Kapasitas/Ketahanan Sekolah Rendah Terhadap Risiko Erupsi Merapi

Berdasarkan ruang lingkup peta kapasitas diatas, hasil assessment dan Focus Group Discussion tanggal 27 November 2012 menunjukan temuan sesuai tabel 4.6. dibawah ini. Kapasitas dan ketahanan sekolah SD Negeri Keningar 1 dan 2 dilihat dari kepemilikan, lahan dan bangunan sekolah. Bangunan SD Negeri Keningar 1 dan 2 merupakan bangunan permanen diatas tanah milik Negara. Artinya sekolah dibangun diatas tanah bukan sewa atau milik perorangan sehingga jaminan keberlanjutan sekolah dapat dipastikan. Sementara


(51)

ketersediaan alat-alat meliputi alat-alat keselamatan dasar dan produk-produk kebijakan manajemen sekolah bagi pengurangan risiko bencana erupsi belum tersedia.

Tabel 4.6. Peta Kapasitas/Ketahanan Sekolah SD Negeri Keningar 1 dan Keningar 2

Kepem ilikan Ketersedi aan Alat Kapasitas SDM Pengetah uan Lokal Dukung an Masyara kat Tanggung Jawab Pemerintah Lahan dan bangun an sekolah perman en milik Negara Alat-alat keselamat an dasar risiko bencana erupsi bagi guru dan siswa belum tersedia Kebijakan manaje men sekolah bagi pengurang an risiko bencana belum ada Sekolah belum memiliki protap emergency respon Pemaham an manajem en sekolah bagi pengurang an risiko bencana rendah. Guru, siswa dan wali murid belum terlatih menajeme n bencana (evakuasi) Guru berkomit men tinggi menduku ng kebijakan sekolah Sekolah memiliki pengalam an mengelola bencana erupsi. Sekolah memiliki pengalam an menyeleng garakan sekolah darurat. Komite sekolah berjalan dengan baik Masyara kat dan wali murid menduk ung se mua ke bijakan sekolah (1). Sekolah gratis; (2). dana program emergency, rekonstruksi, rehabilitasi sekolah; (3). Dukung an teknis (alat-tools dan kebijak an operasio nal) diknas kurang; (4). Respon pemerintah lambat. (5). Belum ada pendidikan kebencana an bagi kepala sekolah & guru.

Dukungan sumber daya manusia sebagai pemangku utama kapasitas dan ketahanan sekolah menunjukkan pemahaman manajemen sekolah bagi pengurangan risiko bencana masih rendah. Kepala Sekolah, guru, siswa dan wali murid belum terlatih manajemen bencana erupsi Merapi seperti protap


(52)

evakuasi dan pengungsian dan standar keselamatan dasar di sekolah. Meskidemikian guru, siswa dan wali murid terbukti memiliki komitmen tinggi mendukung kebijakan sekolah dalam menghadapi situasi bencana erupsi Merapi tahun 2010. Sementara pengetahuan lokal yang dimiliki oleh sekolah adalah sekolah memiiki pengalaman mengelola respon darurat dan evakuasi siswa, guru dan wali murid di saat erupsi Merapi. Sekolah juga memiliki pengalaman menyelenggarakan sekolah darurat bagi siswa di pos-pos pengungsian.

Pada aspek dukungan masyarakat, Komite Sekolah di SD Negeri Keningar 1 dan 2 berjalan dengan baik serta masyarakat dan wali murid mendukung semua kebijakan sekolah. Peran komite sekolah atau setidaknya secara personal, dalam penanganan pengungsian dan sekolah darurat cukup tinggi komitmennya. Pada aspek dukungan pemerintah, sekolah SD Negeri Keningar 1 dan 2 didukung oleh penetapan kebijakan sekolah gratis pada tingkat dasar sesuai dengan amanat Undang-Undang Sisdiknas Nomor 23 Tahun 2003. Tersedia juga lokasi dana dari pemerintah pusat dan daerah bagi program emergency respons, rekonstruksi, rehabilitasi & pembangunan sekolah. Meskipun demikian, civitas sekolah di SD Negeri Keningar 1 dan 2 menyatakan bahwa dukungan pendanaan dari pemerintah bagi rekonstruksi dan rehabilitasi sekolah paska bencana sangat minim. Demikian juga pada dukungan teknis (alat-tools dan kebijakan operasional) bagi sekolah terkait pengurangan risiko bencana juga tidak memadai. Dukungan dari dinas pendidikan setempat maupun


(53)

pada tingkat nasional dirasakan oleh civitas sekolah dan masyarakat masih kurang. Pada saat bencana erupsi Merapi terjadi civitas sekolah juga menilai bahwa respon pemerintah lambat. Bahkan pendidikan kebencanaan bagi kepala sekolah dan guru-guru di sekolah-sekolah di wilayah KRB III khususnya di SD Negeri Keningar 1 dan 2 belum pernah dilakukan.

Deskripsi kapasitas dan ketahanan sekolah SD Negeri Keningar 1 dan 2 diatas menghadapi kelemahan dan kekuatan yang mendasar. Kekuatan dan kapasitas civitas sekolah SD Negeri Keningar 1 dan 2 dapat diuraikan sesuai dengan tabel 4.7 di bawah ini.

Pertama, Bentuk Ancaman Pra Erupsi. Semburan abu vulkanik yang terjadi sewaktu-waktu. Bentuk ancaman ini sekolah memiliki kekuatan bahwa sekolah sudah terbiasa dengan aktifitas Merapi baik dalam kondisi tenang pra erupsi maupun dalam kondisi erupsi. Dibuktikan sekolah mampu menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar standar sesuai dengan amanat undang-undang 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Tanda-tanda bahaya erupsi Merapi juga difahami civitas sekolah meskipun satu sisi belum tersedia respon standar yang tentukan oleh sekolah bagi civitas sekolah. Pada sisi lain, kelemahan SD Negeri Keningar 1 dan 2 adalah belum menyediakan alat-alat standar keselamatan bagi siswa dan guru pada saat terjadi erupsi Merapi. Alat-alat standar keselamatan yang dibutuhkan adalah masker, tabung oksigen, kacamata, penutup kepala dan obat-obatan Pertolongan Pertama pada Kecelakaan (P3K).


(54)

Tabel 4.7 Peta Kekuatan dan Kelemahan Kapasitas SD Negeri Keningar Bentuk Ancaman Kekuatan Sekolah Kelemahan Sekolah Pra Erupsi Sembu ran abu vulkanik terjadi sewaktu-waktu (1). Sekolah terbiasa aktifitas Merapi. (2). Mam pu selenggarakan sekolah standar. (3). Tanda bahaya erupsi Merapi di fahami sekolah.

Alat-alat standar keselamatan siwa, guru spt masker, kacamata, penutup kepala, oksigen & P3K belum tersedia. Belum ada peta risiko erupsi Merapi. Kebencanaan belum diajarkan ke siswa/guru/kepala sekolah. Belum ada standar manajemen pengurangan risiko bencana.

Saat Erupsi Aliran lava/mag ma, Awan panas, Gas beracun, Hujan Abu/keri kil

(1). Informasi sta tus Merapi. (2). HP dimiliki guru, wali murid.

Informasi status Merapi belum sampai ke semua lapisan masyarakat rentan. Sumber informasi rujukanbelum jelas (simpang-siur).

Pengalaman mana jemen bencana

Belum diintegrasikan sbg manajemen sekolah pengurangan risiko bencana

Dukungan Negara & luar tinggi (LSM/Universitas)

Berjalan sendiri-sendiri belum terkoordinasi dalam rencana aksi bersama.

Komite Sekolah didukung budaya gotong royong warga.

Prosedur & jalur evakuasi di sekolah belum ada.

Lokasi pengungsian akhir (TPA) tidak jelas Banjir Lahar Dingin Masyarakat mengenali banjir lahar dingin.

Peta ancaman risiko bencana banjir lahar dingin belum ada.

Lokasi pengungsian aman belum jelas.

Sekolah Darurat Pengalaman mengelola sekolah darurat di pengungsian.

Lokasi pengungsian terpencar, darurat & belum terencana.

Pengalaman belum dijadikan kebijakan manajemen sekolah.

Paska bencana Inisitif penyelenggaraan KBM tinggi. Dukungan rehabilitasi & rekonstruksi sekolah tinggi dari masyarakat, LSM dan Universitas.

Sekolah rusak, penuh debu pasir; KBM belum siap dalam satu bulan. Pengalaman penanganan bencana belum menjadi materi ajar & kebijakan sekolah.

Kegiatan mitigasi dan kesiapsiagaan sekolah terhadap bencana belum disusun karena dukungan kemendiknas kurang.


(55)

Termasuk penting juga adalah tersedianya tenaga terlatih yang bisa menjalankan fungsi pertolongan pertama pada saat terjadi kecelakaan. Tenaga terlatih ini dapat dilekatkan pada fungsi salah satu guru yang dilatih khusus untuk menjalankan fungsi tersebut. Menghidupkan kembali program dokter kecil yang pernah dijalankan oleh siswa sekolah dasar di tahun 80 dan 90 an dengan melatih siswa menghindari kecelakaan dan melakukan pertolongan pertama pada saat erupsi.

Kelemahan mendasar pada pra erupsi adalah semua pengalaman dan kekuatan sekolah belum dirumuskan dalam peta risiko bencana yang bisa dijadikan rujukan kebijakan manajemen dan pengajaran sekolah. Bentuk secara operasional adalah pengalaman penanganan risiko bencana erupsi Merapi belum secara khusus dimasukan dalam materi ajar bagi siswa dan peningkatan kapasitas guru/kepala sekolah. Tujuan pembelajaran risiko bencana erupsi Merapi adalah dapat meningkatkan pemahaman, kewaspadaan dan kedewasaan siswa belajar hidup bersama risiko bencana. Memahami situasi dan respon yang harus dilakukan pada saat terjadi ancaman bahaya erupsi Merapi. Termasuk kebijakan operasional sekolah terkait dengan pengurangan risiko bencana,

emergency respon, evakuasi, pengungsian dan sekolah darurat.

Pengalaman pembelajaran kebencanaan juga penting dijadikan bahan peningkatan kapasitas sumber daya guru dan kepala sekolah. Bagi guru peningkatan kapasitas tentang manajemen bencana dapat


(1)

dapat merupakan (1).Pertukaran informasi antar sekolah dalam pelaksanaan pendidikan pengurangan risiko bencana (2). Kerjasama kegiatan antar sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan pengurangan risiko bencana di sekolah masing-masing. (3). Penyediaan data dan informasi pendidikan kebencanaan yang dapat diakses oleh sekolah. (4). Simulasi dan penyelenggaraan bersama Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana erupsi Merapi.

4.2.4. Pelaksanaan Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana Erupsi (SMSBBE) Merapi Efektivitas pelaksanaan Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana Erupsi (SMSBBE) Merapi di SD Negeri Keningar 1 dan 2 membutuhkan dukungan para pelaksana dan penerima manfaat dari strategi manajemen ini. Oleh sebab itu penting mengidentifikasi peran-peran ideal yang dibutuhkan dari komunitas sekolah untuk mendapatkan kinerja capaian Strategi-Manajemen Sekolah Berbasis Bencana Erupsi (SMSBB) Merapi secara optimal.

4.2.4.1. Peran Stakeholder dalam Pelaksanaan Strategi.

a. Peran Kepala Sekolah

Peran menonjol Kepala sekolah dalam pelaksanan strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana Erupsi Merapi adalah sebagai Manager dan sebagai motor penghubung antara sekolah dan masyarakat. Sebagai manager, kepala sekolah berperan dalam planning, organizing, directing, coordinating, controlling dan evalution sekolah. Sebagai seorang penghubung antara sekolah dan masyarakat, kepala


(2)

sekolah berperan membangun sinergi antara sekolah dan masyarakat desa dalam Pelaksanaan Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana erupsi Merapi. b. Peran guru

Guru berperan memberikan masukan konsep, metode, strategi dalam siklus manajemen program sekolah kepada Kepala Sekolah. Pada sisi lain, guru merupakan juga menjadi leader dalam menggagas rumusan tertentu. Peran guru paling sering adalah sebagai garda terdepan didalam implementasi kebijakan Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana Erupsi Merapi. Sebagai garda tedepan dalam implementasi, guru melayani siswa, orang tua dan masyarakat. Peran guru sebagai pendidik, pemberi contoh menjadi penting untuk budaya aman di sekolah. c. Peran Murid

Murid sebagai penerima manfaat utama pelaksanaan Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana Erupsi Merapi berperan penting dalam penerapan konsep strategi. Peran murid adalah mempelajari dan menerapkan strategi manajemen dalam kehidupan sehari-hari.

d. Peran Orang Tua Murid

Orang tua murid merupakan penerima manfaat tidak langsung. Perannya adalah memastikan praktek dan prosedur manajemen sekolah berbasis bencana dipraktekan oleh anak di sekolah dan luar sekolah (rumah). Pemahaman dan contoh orang tua akan prosedur dan standar respon bencana erupsi Merapi akan mempengaruhi anak-anak dan memudahkan sekolah untuk membangun budaya sadar bencana.


(3)

e. Peran Komite Sekolah

Komite sekolah menonjol dalam peran memberikan masukan kebutuhan pengembangan, mengkomunikasikan program dan gagasan sekolah kepada pihak luar.

f. Peran Desa

Desa merupakan tumpuan berjalannya sistem Manajemen Sekolah Berbasis Bencana Erupsi Merapi. Tumpuan utama karena peran Desa adalah memastikan tersedianya sumber daya (baik fisik maupun financial) bagi sekolah. Sinergi sekolah dan desa berpengaruh signifikan bagi mengurangi dampak bahaya, pengurangan kerentanan dan peningkatan kapasitas komunitas sekolah.

4.2.4.2. Kekuatan dan Kelemahan Strategi

Kekuatan dan kelemahan pelaksanaan strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana Erupsi Merapi dapat jelaskan sebagai berikut:pertama, kekuatan paling menonjol dari konsep SMSBBE Merapi di SD Negeri 1 dan 2 adalah konsep ini di susun oleh nararumber /partisipan yang merupakan pelaku dan penerima manfaat langsung strategi yang dirumuskan. Oleh sebab itu artikulasi mereka sangat jelas dan di dukung oleh ingatan kolektif yang kuat. Hampir tidak ada batasan lagi antara kepentingan sekolah dan kepentingan desa. Integrasi gagasan sudah bisa berjalan sejak penelitian dijalankan. Letusan Merapi tahun 2010 adalah kejadian penting dalam hidup mereka sehingga partisipan/narasumber sangat antusias menceritakan ulang. Termasuk memberikan masukan bagaimana gagasan perbaikan ke depan. Oleh sebab itu produk


(4)

SMSBBE Merapi operasionalisasinya dekat dengan kebutuhan sekolah dengan karakter seperti Desa Keningar. Kedua, rumusan SMSBBE Merapi di SD Negeri Keningar 1 dan 2 merupakan konsep operasional pertama yang disusun sekolah di wilayah KRB III kawasan Merapi. Oleh sebab itu konsep SMSBBE Merapi merupakan percontohan awal dan mengcover kebutuhan manajemen sekolah untuk menyelesaikan problem dasar. Yaitu keselamatan, keamanan, kesehatan dan kepastian hidup.

Kelemahannya adalah pertama, konsep SMSBBE Merapi di SD Negeri Keningar 1 dan 2 belum teruji pada bencana erupsi Merapi yang nyata. Butuh waktu apakah strategi berjalan dengan baik untuk menyempurnakan aplikasi strategi ini. Kedua, strategi pengurangan risiko bencana erupsi Merapi pada tingkat desa belum jelas prosedur dan mekanisme. Padahal konsep SMSBBE Merapi di SD Negeri Keningar 1 dan 2 bersandar pada kebijakan strategi tingkat desa.

4.2.2.3. Monitoring dan Evaluasi Pelaksanaan Strategi

a. Monitoring

Monitoring merupakan upaya untuk mengendalikan proses pelaksanaan program agar program berjalan sesuai dengan perencanaan yang telah di tetapikan. Pengendalian yang baik akan mampu meningkatkan performance capaian program dengan dampak yang optimal. Pemantauan dilakukan pada saat program berjalan. Tujuan utama monitoring adalah mendapatkan informasi tentang perkembangan program yang diterapkan terutama untuk memastikan


(5)

kegiatan-kegiatan berjalan efektif. Dalam kontek monitoring SMSBBE Merapi di SD Negeri Keningar 1 dan 2 pertanyaan utama dalam monitoring adalah:

1) Apakah kegiatan yang direncanakan telah berjalan sesuai perencanaan yang telah ditetapkan?

2) Bagaimana perkembangan masing-masing kegiatan tersebut?

3) Sejauh manakah kesesuaian antara rencana kegiatan dan pelaksanaan kegiatan SMSBBE Merapi di SD Negeri Keningar 1 dan 2?

4) Apa saja hambatan yang dihadapi dalam menjalankan kegiatan SMSBBE Merapi di SD Negeri Keningar 1 dan 2?

5) Bagaimana kinerja pelaksana kegiatan SMSBBE Merapi di SD Negeri Keningar 1 dan 2?

b. Evaluasi

Pelaksanaan evaluasi penerapan Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana Erupsi Merapi di SD Negeri Keningar 1 dan 2 dilaksanakan untuk menilai capaian tujuan program pada akhir periode tertentu. Evaluasi ditujukan untuk mendapat informasi apakah tujuan strategi SMSBBE yang telah ditetapkan tercapai. Evaluasi juga untuk mendapatkan dampak pelaksanaan dari program terhadap sekolah dalam jangka waktu tertentu.

Pendekatan yang digunakan di dalam proses evaluasi adalah pendekatan partisipatif. Prinsip pendekatan ini adalah proses evaluasi tidak untuk menilai salah benar secara top down. Tetapi lebih dinamis, produktif dan mengarah pada kesetaraan peran semua partisipan evaluasi untuk memperbaiki SMSBBE.


(6)

Indikator capaian evaluasi penerapan SMSBBE Merapi jangka panjang adalah (1). Menurunnya jumlah korban dampak erupsi Merapi bagi komunitas Sekolah SD Negeri Keningar 1 dan 2. (2). Meningkatnya derajat kesehatan komunitas sekolah SD Negeri Keningar 1 dan 2 (3). Meningkatnya kepercayaan diri dan rasa aman komunitas sekolah SD Negeri Keningar 1 dan 2 terkait ancaman bahaya erupsi Merapi. Ruang lingkup capaian evaluasi jangka pendek adalah:

1) Berkembangnya upadate peta risiko bencana di SD Negeri Keningar 1 dan 2 selama kurun waktu tertentu. 2) Berjalannya integrasi pendidikan kebencaanaan dalam kegiatan belajar mengajar, kegiatan intra, ektrakurikuler dan kondisi darurat tentang budaya siaga bencana di SD Negeri Keningar 1 dan 2.

3) Peningkatan sumber daya guru dan siswa bagi pengurangan risiko bencana di SDN Keningar 1 dan 2. 4) Berkembangnya kelembagaan-kelembagaan Sekolah yang memperkuat upaya mencapai tujuan program SMSBBE Merapi di SD Negeri Kenigar 1 dan 2.

5) Berkembangnya fasilitas, alat-alat dan kebijakan sekolah yang langsung mengarah pada pencapaian tujuan SMSBBE Merapi di SDN Keningar 1 dan 2. 6) Kegiatan koordinasi dan supervisi terhadap

pelaksanaan SMSBBE Merapi di SD Negeri Keningar 1 dan 2 oleh Kepala Sekolah.

7) Relevansi perangkat-perangkat program sekolah dengan SMSBBE Merapi di SDN Keningar 1 dan 2. 8) Konsep-konsep perbaikan terhadap pelaksanaan


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana (Studi Erupsi Gunung Merapi)

0 0 18

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana (Studi Erupsi Gunung Merapi) T2 942012005 BAB I

0 0 16

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana (Studi Erupsi Gunung Merapi) T2 942012005 BAB II

0 0 24

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana (Studi Erupsi Gunung Merapi) T2 942012005 BAB V

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Manajemen Sekolah Berbasis Bencana (Studi Erupsi Gunung Merapi)

0 3 67

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan pada Sekolah Dasar T2 BAB IV

0 0 49

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Strategi Peningkatan Mutu dan Citra (Image) Sekolah T2 BAB IV

0 1 70

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Evaluasi Manajemen Berbasis Sekolah Di SD Negeri Genuk 01 Ungaran Baratabupaten Semarang T2 BAB IV

0 0 48

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Manajemen Kurikulum Pendidikan Katekisasi (Studi di Gereja Protestan Maluku) T2 BAB IV

3 5 46

T2__BAB IV Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Magister Manajemen Pendidikan Program Pascasarjana FKIPUKSW T2 BAB IV

0 0 34