Kajian Behavior Sosiologi tentang Perilaku Kekerasan

commit to user 15 hingga mencari kesempatan untuk melepaskannnya dalam protes dan aksi massa. Neil Smelser memberikan pendekatan yang lebih komprehensif dalam munculnya perilaku kolektif. 11 Menurutnya, ada enam syarat pra- kondisi yang harus terjadi; struktural structural conducivenes, ketegangan struktural structural strain, kemunculan dan penyebaran pandangan, faktor pemercepat precipitating factors, Mobilisasi tindakan mobilization for action, dan pelaksanaan kontrol sosial operation of social control.

1.5.2.3. Kajian Behavior Sosiologi tentang Perilaku Kekerasan

Perilaku kekerasan dapat menimbulkan resiko bahaya dan kerugian bukan hanya orang lain tetapi juga pada pelaku kekerasan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam lingkup yang luas, baik dalam keluarga, sekolah, kampus dan masyarakat. Seperti halnya yang terjadi dalam bentrokan antara mahasiswa dan polisi di Universitas Hasanuddin UNHAS pasca unjuk rasa mahasiswa. Berbagai usaha penanggulangan telah dilakukan. Namun belum menemukan titik solutif bagi kedua pihak. Secara umum perilaku kekerasan dapat dikategorikan dalam dua bentuk, yakni kekerasan verbal dan kekerasan konflik. Berkowitz 1993 12 menggolongkan dua bentuk kategori utama agresi berdasarkan tujuan perilaku agresi, yaitu agresi instrumental instrumental aggression dan agresi kebencian hostfile aggression. Agresi instrumental berupa agresi 11 Jumadi, Ibid, hlm 21 12 Ibid, hlm. 15 commit to user 16 untuk mencapai tujuan, keinginan atau harapan tertentu. Sedangkan agresi kebencian lebih pada masalah agresi yang bertujuan untuk menyakiti, membunuh, atau menghancurkan lawan. Tindakan kekerasan juga dapat disebabkan oleh naluri insting. Setiap tingkah laku naluriah memiliki sumber energi yang disebut energi tindakan spesifik yang dikunci oleh mekanisme pelepasan bawaan. Naluri muncul dengan adanya stimulus yang bersumber dari lingkungan. Namun demikian perilaku kekerasan yang berlebihan bukan lagi bersifat sebagai pertahanan diri atau pemeliharaan kehidupan. Tidak ada alasan mutlak yang menjelaskan bahwa naluri agresi berpengaruh mutlak terhadap perilaku agresi dan kekerasan. 13 Martin Shaw dalam jurnalnya, Conceptual and Theoritical Frameworks of Organised Violence menyebutkan, “Conflict is after all a central category of sociology, and had long been recognised as such in Max Weber’s sociology, and the “conflict sociology” of the late 1950’s onwards e.g. Dahrendorf, 1959. Social relations of all kinds entail conflict, but conflict is not generally or necessarily violent. “Conflict” becomes euphemistic only in relation to violence: for when conflicts move from “normal” social and political antagonism into the realm of violence, their meaning and dynamics change in very significant ways, and this requires conceptual recognition which simple reference to “conflict” seems to deny. “Armed conflict” is more useful because it differentiates violent conflict from social conflict in general, but still seems an analytically blunt term because it lacks the coherent definition and theorisation that has been offered for “war”, “genocide”, etc.” 14 Hubungan sosial dari semua jenis menimbulkan konflik, tetapi konflik selalu kekerasan. Konflik adalah eufemistik hanya dalam kaitannya dengan kekerasan: untuk saat konflik dari antagonisme 13 Ibid, hlm. 18 14 Conceptual and Theoretical Frameworks of Organized Violence oleh Martin Shaw dalam International Jurnal of Conflict and Violence yang diunduh pada 7 Oktober 2010 pukul 22:07 WIB commit to user 17 normal sosial dan politik di bidang kekerasan, makna dan pertukaran dinamis dari cara yang sangat penting, tetapi hal ini membutuhkan pengakuan konseptual bahwa referensi tidak hanya untuk konflik. Konflik bersenjata lebih berguna karena membedakan konflik kekerasan dan konflik sosial pada umumnya, tetapi masih terlihat analitis tumpul panjang karena tidak memiliki definisi yang konsisten dari teori yang telah ditawarkan. Teori perilaku kekerasan selanjutnya adalah teori frustasi-agresi. 15 Teori ini dikemukakan oleh Wimbarti 1996, Dollard and Miller, dan Berkowitz 1993 yang berpandangan bahwa frustasi merupakan salah satu faktor penentu agresi dan kekerasan. Frustasi dapat terjadi pada seseorang yang tidak dapat memiliki sesuatu yang benar-benar diperlukan. Frustasi dapat mengantarkan seseorang untuk melakukan tindakan agresi dan kekerasan karena tidak terpenuhinya pengharapan dan tidak adanya kebebasan bertindak. Aktualisasi perilaku kekerasan tergantung faktor kondisional, sehingga frustasi bukan merupakan faktor secara langsung berhubungan dengan perilaku agresi dan kekerasan, kecuali ada faktor pendukung lainnya, seperti kemarahan, ketegangan, kejengkelan, dan hambatan proses informasi kemarahan yang menyertai frustasi.

1.5.3. Konsep-konsep yang Digunakan