Pertanyaan Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Prinsip Dasar Cedera Kepala

Pada dasarnya, fungsi GFAP masih belum diketahui sepenuhnya. GFAP berperan pada proses mitosis dengan menyesuaikan jaringan filamen pada sel. Selain itu, GFAP juga berperan dalam interaksi astrosit neuron dan komunikasi antar sel. Jika terjadi cedera otak, astroglia akan bereaksi dengan memproduksi GFAP yang lebih banyak, yang pada akhirnya akan dilepaskan menuju cairan SSP dan darah Zurek, 2012; Fedora, 2012. GFAP secara eksklusif dianggap diproduksi oleh astrosit, sehingga protein ini spesifik dijumpai di otak. Pengukuran kualitas hidup dapat menggunakan beberapa parameter, antara lain Glasgow outcome scale dan Barthel index. GOS merupakan suatu skala hasil akhir penderita cedera kepala yang dibagi secara hirarkis, mulai kematian sampai perbaikan total. Ini merupakan salah satu sistem penilaian yang paling banyak digunakan untuk menilai hasil akhir cedera otak akut. Teasdale, 1998. Skala Barthel merupakan skala untuk mengukur kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas sehari-hari, menggambarkan kemampuan seseorang untuk hidup mandiri setelah pulang dari rumah sakit. Skala ini telah mengalami beberapa kali perubahan, mulai dari skala 0-10 sampai menjadi 0-100. Skala ini banyak digunakan pada penderita kerusakan saraf, terutama setelah kejadian stroke Mahoney, 1965.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian diatas, diajukan pertanyaan penelitian “Apakah kadar Glial Fibrillary Acidic Protein GFAP serum berhubungan dengan tingkat keparahan penderita cedera kepala?” Universitas Sumatera Utara

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan kadar GFAP serum dengan tingkat keparahan penderita cedera kepala 2. Tujuan Khusus • Mengetahui karakteristik penderita cedera kepala di RSUP H. Adam Malik Medan • Mengetahui kadar GFAP serum penderita cedera kepala • Mengetahui hubungan kadar GFAP serum dengan GCS awal setelah resusitasi cedera kepala sedang dan berat • Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan gambaran CT scan menurut skor Marshall • Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan gambaran CT scan menurut skor Rotterdam • Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan lama rawatan • Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan Glasgow Outcome Scale tiga puluh hari pertama • Mengetahui hubungan kadar GFAP serum penderita cedera kepala dengan Barthel Index tiga puluh hari pertama • Mengetahui perbandingan kadar GFAP berdasarkan kejadian mortalitas selama tiga puluh hari pertama. Universitas Sumatera Utara

D. Manfaat Penelitian

1. Dari peneltian ini, akan didapatkan kadar GFAP serum yang akan memberikan tambahan pengetahuan mengenai patologi cedera kepala 2. Dengan didapatkannya kadar tertentu, klinisi dapat melakukan tindakan yang tepat serta terhindar dari terapi yang berlebihan maupun terapi yang tidak optimal 3. Dengan penanganan pasien yang tepat, dari segi ekonomi akan menurunkan biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat khususnya dan menurunkan beban negara pada umumnya. Universitas Sumatera Utara BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Prinsip Dasar Cedera Kepala

Ada dua asumsi yang berkembang sehubungan cedera kepala, yaitu ada suatu cedera biologis yang berkembang beberapa waktu setelah cedera awal terjadi secondary insult; dan intervensi yang ditujukan langsung pada secondary insult dapat menyebabkan terjadinya perbedaan yang bermakna. Dalam beberapa dekade terkahir kita telah lebih banyak memahami faktor-faktor yang memperburuk hasil akhir setelah cedera kepala, seperti hipotensi dan hipoksia. Sampai saat ini terdapat sejumlah besar penelitian mengenai intervensi yang bertujuan memperbaiki fisiologis sistemik dan intrakranial yang mungkin mengurangi secondary insult, antara lain: pemilihan cairan resusitasi, pengaturan tekanan darah, pengaturan suhu tubuh, pengaturan tekanan intrakranial, parameter oksigenasi, dan teknik ventilasi. Sebagai hasil dari semuanya itu, beberapa institusi telah menerbitkan guidline klinis penanganan cedera kepala Park, 2008. Selain penelitian yang disebutkan diatas, terdapat penelitian lain yang bertujuan mengurangi cedera sekunder yang terjadi akibat proses subseluler mis: toksisitas akibat reactive oxygen species, overstimulasi resptor glutamat, influks kalsium yang berlebihan, dan proses inflamasi yang berlebihan, tapi sampai saat ini belum dapat menghasilkan terapi obat spesifik. Ini kemungkinan terjadi akibat kompleksitas mekanisme cedera sekunder Park, 2008. Universitas Sumatera Utara 1. Mekanisme Biologis Dasar Walaupun cedera primer sudah dapat mengakibatkan kerusakan otak yang bermakna, cedera sekunder dapat memperparah cedera primer secara drastis. Cedera sekunder merupakan reaksi biologis yang multipel, paralel, saling berinteraksi, dan saling tergantung gambar 1. Secara umum, kerusakan sel saraf akan terjadi berkepanjangan akibat kegagalan sel saraf menghasilkan energi, cedera dan disfungsi glia pembengkakan astrosit, gangguan ambilan kembali neurotransmiter, dan astrositosis reaktif, inflamasi invasi mikroglia ke tempat cedera dan pelepasan sitokin proinflamasi, destruksi dan stenosis dari pembuluh darah kecil, eksitotoksisitas dan gangguan homeostasis neuron, dan kerusakan white matter yang progresif Park, 2008. Universitas Sumatera Utara Gambar 1. Jaras utama yang terjadi saat cedera sekunder setelah cedera kepala. Gangguan sirkulasi mikro seperti stenosis 1 dan kerusakan sawar darah otak dapat terjadi akibat pembengkakan astrosit 2. Proliferasi astrosit astrogliosis, 3 terjadi khas pada cedera SSP. Disfungsi ini menyebabkan kembalinya glutamat yang sulit diambil 4 dan depolarisasi saraf melaluli mekanisme eksitotoksik. Pada cedera white dan gray matter, influks kalsium 5 merupakan kunci dari sejumlah jaras molekuler yang menyebabkan kematian sel. Pada neuron, influks kalsium dan zink melalui channel pada reseptor AMPA dan NMDA menyebabkan eksitotoksisitas 6, pembentukan radikal bebas, disfungsi mitokondria, dan modifikasi reseptor post sinap. Influks kalsium pada akson 7 menyebabkan terjadinya degradasi protein yang menyebabkan diskoneksi akson 8. Sel inflamasi juga dapat menyebabkan cedera sekunder melalui pelepasan sitokin proinflamasi 9 yang berkontribusi pada jaras kematian sel atau modifikasi reseptor post sinap.Sumber: Park 2008. Astrosit, juga dikenal sebagai astroglia, merupakan sel terbanyak pada SSP. Astrosit merupakan sel yang mengekspresikan GFAP sebagai filamen intermediet. Walaupun awalnya astrosit dianggap hanya berfungsi sebagai tambahan pada jaringan saraf, saat ini diketahui astrosit memiliki peran aktif di otak. Banyak penelitian menunjukkan bahwa astrosit mengkespresikan ion channel, baik ligand-gated maupun voltage-gated Malarkey, 2008, memiliki fungsi membersihkan neurotransmitter dan ion pada sinaps Bogen, 2008, serta peranan yang langsung dan aktif pada sinaps Araque, 2008. Selain itu juga terdapat laporan yang menunjukkan Universitas Sumatera Utara bahwa astrosit berperan mengatur fungsi oligodendrogliosit Ishibashi, 2006 dan sel punca saraf Petros, 2006. Tabel 1. Fungsi Astrosit Ransom, 2012 Hal Fungsi Homeostasis Kalium Uptake atau redistribusi kalium Neurotransmitter Uptake glutamat Fungsi pernapasan Mendeteksi pH darah dan memodulasi lepasan neuron Metabolisme Siklus glutamat glutamin Sintesis dan melepaskan glutamin Fungsi ammonium Fiksasi ammonium Metabolisme glikogen Memecahkan glikogen menjadi laktat Detoksifikasi radikal bebas otak Pengikatan radikal bebas Sinyal Interaksi neuron-astrosit yang dimediasi transmitter Melepaskan transmitter Pengaturan aliran darah Melepaskan produk siklooksigenase yang dimediasi oleh reseptor glutamat Pengaturan adenosin Menyesuaikan adenosin melalui adenosin kinase untuk mengatur eksitabilitas Tropik Sekresi faktor tropik bFGF, GDNF Melepaskan faktor tropic Pengaturan sinaptogenesis Melepaskan faktorsynaptogenesis Pemandu akson Ekspresi molekul yang menarik akson Pada beberapa kelainan SSP, astrosit akan bereaksi, menyebabkan pengaktifan astroglia, yang dikenal dengan astrogliosis Eng, 1994. Astrogliosis ditandai dengan peningkatan filamen intermediet yang disertai dengan hipertrofi dan peningkatan jumlah astrosit. Peningkatan filamen intermediet, terutama GFAP dan vimentin, Universitas Sumatera Utara merupakan penanda utama astrogliosis. GFAP merupakan filamen intermediet yang paling utama pada astrosit matur dan memegang peranan penting dalam integritas sitoskeleton astrosit. Peningkatan jumlah GFAP saat astrogliosis sudah terbukti pada beberapa penelitian Guo, 2007. O’Callaghan 1991 menyatakan bahwa GFAP merupakan penanda astrogliosis yang sensitif dan langsung meningkat setelah cedera. Kadar vimentin, filamen intermediet astrosit yang lain, sangat beragam, mulai dari sangat sedikit sampai minimal, bergantung pada subpopulasi astrosit. Fungsi astrosit yang reaktif belum diketahui sepenuhnya. Dampak astrogliosis sendiri dilaporkan dapat menguntungkan maupun merugikan. Jika berkepanjangan, astrogliosis akan membahayakan dengan membatasi regenerasi akson, memperlambat perbaikan fungsional, serta menyekresikan senyawa neurotoksik dalam jumlah besar Araque, 2001. 2. Peranan Astrogliosis Reaktif setelah Cedera SSP a. Perlindungan Neuron Pada keadaan normal, astrosit mempertahankan homeostasis pada SSP untuk menyokong survival dan fungsi pemrosesan informasi neuron. Setelah aktivasi, astrosit mengeluarkan sejumlah besar molekul yang menguntungkan sel saraf yang sudah cedera dengan mengatur berbagai proses biologis. Trauma Malhotra, 1997, iskemia Wakasa, 2009, infeksi Okamoto, 2005, penyakit saraf Sofroniew, 2009, dan senyawa kimia El-Fawal, 2008 telah terbukti dapat memacu terjadinya astrogliosis. Aktivasi astrosit lokal ini terjadi pada seluruh kejadian kerusakan SSP, tanpa dipengaruhi regio otak yang terlibat ataupun jenis sel yang rusak. Meskipun pengetahuan astrogliosis ini telah ada dalam abad terakhir, penanda aktivasi glia Universitas Sumatera Utara masih didokumentasi dalam waktu dekat ini. Walaupun kegunaan signifikan dari astrogliosis masih belum jelas diketahui, terdapat pendapat bahwa astrogliosis berperan dalam perbaikan karena segera terjadi dengan setelah cedera otak Norenberg, 2005. Sebagai contoh fungsi tropik dari astrosit, astrosit yang teraktivasi meningkatkan ekspresi faktor neurotopik, seperti glial-cell-derived neurorhophic factors GDNF dan BDNF. Penelitian pada tikus transgenik GFAP-GDNF melaporkan bahwa saat terjadi peningkatan GDNF pada astrosit, terjadi peningkatan jumlah subpopulasi motoneuron tertentu dengan mengurangi kematian sel terprogram saat perkembangannya Oppenheim, 2000. Astrosit juga diketahui memegang peranan penting dalam mengatur glutamat ekstrasel serta membatasi eksitotoksisitas glutamat terhadap neuron dan sel lainnya Struzynska, 2009. Karena itu, gangguan aktivitas astroglia potensial memperparah disfungsi sel saraf. Ablasi astrosit reaktif setelah cedera SSP pada tikus transgenik meningkatkan kematian neuron dan memperberat degenerasi jaringan secara signifikan Myer, 2006. b. Astrositosis Reaktif dan Sawar Darah Otak Sawar darah otak merupakan struktur dinamis yang dapat berubah bentuk akibat beberapa faktor, seperti sitokin, faktor angiogenik, toksisitas glutamat, dan stres oksidatif Weiss, 2009. Astrosit memegang peranan penting untuk mempertahankan sawar darah otak setelah cedera SSP. Ablasi astrosit reaktif setelah cedera SSP akan mengganggu sawar darah otak. Sawar darah otak sendiri terdiri dari beberapa struktur yang dikenal sebagai unit neurovaskular, yang terdiri dari sel endotel dan ujung astrosit yang dipisahkan oleh lamina basal pada permukaannya. Astrosit juga menyekresikan beberapa faktor angiogenik, seperti angiopoietin 1 dan Universitas Sumatera Utara neurotropin yang diduga berperan dalam pembentukan kapiler otak baru Igarashi, 1999. Pada tingkat molekuler, peningkatan ekspresi protein tight junction terlihat disertai dengan adanya faktor yang dihasilkan astrosit Haseloff, 2005. c. Astrogliosis Reaktif Menghambat Regenerasi Akson Aktivasi astrosit yang berkepanjangan akan berefek buruk pada pertumbuhan akson. Astrosit yang mengalami hipertrofi akan menyebabkan penumpukan matriks ekstrasel pada tempat cedera, terutama terdiri dari kondroitin sulfat proteoglikan Cafferty, 2007 Reaksi ini menyebabkan pembentukan struktur padat yang menghambat regenerasi akson. Jaringan parut yang terbentuk akibat astrogliosis reaktif terjadi akibat proses ini. Peningkatan regenerasi akson terjadi pada tikus transgenik yang mengalami defisiensi GFAP dan vimentin Menet, 2003. Karena itu, membatasi astrogliosis dapat saja memperbaiki regenerasi akson sesudah cedera saraf. d. Astrositosis Reaktif Potensial untuk Toksisitas Saraf Astrosit reaktif dapat menghasilkan sitokin proinflamasi dan sitotoksik yang berbahaya untuk neuron atau oligodendrosit pada otak yang cedera, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut Oleszak, 1998. Ekspresi nitric oxide synthase meningkat pada astrosit pada beberapa kelainan neurologis. Nitrit oksida yang dihasilkan akan merusak sel saraf, oligodendrosit, dan sel jenis lain Estevez, 1998. TNF-a juga diekskresikan oleh astrosit reaktif setelah cedera otak. Jika astrogliosis dihambat dengan obat-obatan secara in vivo, produksi sitokin akan berkurang dan cedera saraf akan dihambat. Universitas Sumatera Utara Astrogliosis dilaporkan berhubungan dengan durasi kerusakan sel saraf pada otak dan diyakini menjadi komponen dasar dari berbagai keadaan patologis sel saraf, termasuk epilepsi Miyazaki, 2003, multipel sclerosis Lycke, 1998, amyotrophic lateral sclerosis Ferri, 2004, infeksi HIV Sporer, 2005, stroke Hayazakawa, 1979, dan iskemia otak Zhu, 2007. Cedera saraf akibat cedera otak akut juga berhubungan erat dengan terjadinya astrogliosis.

B. Glial Fibrillary Acidic protein GFAP