Keadilan Konstitusional Menuju Teori Keadilan Transisional

1

Bab 6 Keadilan Konstitusional

Bab ini akan membahas sifat dan peran konstitusionalisme dalam masa-masa perubahan politik. Dilema sentral dalam hal ini adalah bagaimana mendamaikan konsep konstitusionalisme dengan revolusi: masa-masa revolusi dan kelanjutannya adalah saat terjadinya gejolak politik, dan dengan demikian menimbulkan pertentangan dengan konstitusionalisme, yang lazimnya dianggap mengikat suatu tatanan politik yang mapan. Pertimbangkanlah klaim utama tentang kaitan konstitusionalitas dengan perubahan politik, dan terutama klaim modern tentang konstitusionalisme sebagai dasar demokrasi. Model ini paling tepat menjelaskan pandangan dari abad ke-18 tentang kaitan konstitusionalitas dengan hal-hal politis. Namun, model ini tidak dapat menggambarkan perkembangan konstitusional yang dikaitkan dengan perubahan politik selama setengah abad terakhir, sehingga memerlukan analisis tambahan. 1 Bab ini menyelidiki manifestasi kontemporer dari konstitusionalisme, terutama dalam gelombang terakhir perubahan politik substansial, dan menunjukkan bahwa ia menimbulkan paradigma baru tentang konstitusionalisme transisional, yang memberikan tinjauan alternatif konstitusionalisme dalam usianya yang telah mencapai tiga abad ini. Paradigma alternatif yang dijelaskan di sini memiliki dampaknya di luar masa transisi untuk memahami konstitusionalisme, tinjauan yudisial dan prinsip penafsiran yang relevan. Konstitusionalisme dalam masa-masa perubahan politik dikatakan memiliki kaitan “konstruktivis” dengan tatanan politik yang ada. Konstitusionalisme transisional tidak hanya diciptakan oleh tatanan politik yang ada, namun juga menciptakan perubahan. Inilah peran konstruktivis dari konstitusi. Konstitusi transisional dihasilkan dari berbagai proses, sering kali memiliki peran ganda: sebagai konstitusi konvensional, selain juga peran lain yang lebih radikal dalam transformasi politik. Penyusunan konstitusi transisional juga merespon pemerintahan lama, melalui prinsip-prinsip yang secara kritis menajamkan sistem politik yang baru dan mendorong perubahan politik lebih lanjut dalam sistem politik tersebut. Konstitusi transisional memandang ke belakang sekaligus ke depan, dan dilatarbelakangi oleh konsepsi keadilan konstitusional yang khas pada masa transisi. Model-Model Utama Penyusunan teori tentang sifat dan peran konstitusionalisme dalam masa-masa perubahan politik lazimnya dipandu oleh perspektif realis atau idealis yang saling bertentangan. Dalam pandangan realis, konstitusi dalam masa perubahan politik dianggap hanya mencerminkan kondisi perimbangan kekuasaan politik yang ada, dan dengan demikian, 1 Tentang penyusunan konstitusi kontemporer, lihat Julio Faundez, “Constitutionalism: A Timely Revival”, dalam Douglas Greenberg et al. eds., Constitutionalism an Democracy: Transitions in the Contemporary World, New York: Oxford University Press, 1993, 354, 356. Lihat umumnya John Elster dan Rune Slagstad, Constitutionalism and Democracy: Studies in Rationality and Social Change, New York: Cambridge University Press, 1988 kumpulan esai tentang kaitan konstitusionalisme dan demokrasi. 2 merupakan hasil dari perubahan politik. 2 Dalam pandangan kaum realis ini, tidak jelas apa yang membedakan penyusunan konstitusi dengan perundang-undangan lainnya: apa arti khusus konstitusi dalam transisi? Dengan demikian, pandangan ini tidak memberikan banyak penjelasan tentang signifikansi sifat dan peran konstitusionalisme dalam masa demikian. Pendekatan dominan dalam studi konstitusionalisme dalam masa perubahan politik timbul dari teoretisasi idealis tentang konstitusi, di mana terdapat klaim normatif tentang kaitan kuat antara revolusi dan penyusunan konstitusi. Kaitan erat ini tampak pertama kali dalam model konstitusi klasik dalam tulisan Aristoteles. Meskipun pemahaman klasik ini tidak dianggap merupakan bagian dari model idealis dalam pandangannya tentang kaitan konstitusi dan perubahan politik, namun ia memiliki kedekatan dengan model ini. Ekspresi modernnya tampak dalam karya-karya Hannah Arendt, dan suatu artikulasinya dalam masa kontemporer dapat ditemukan dalam karya Bruce Ackerman, yang dibicarakan dalam bab ini. Meskipun terdapat perbedaan dalam beberapa aspek penting, namun klaim-klaim ini memiliki keserupaan dalam anggapan mereka tentang potensi penyusunan konstitusi untuk mengadakan perubahan politik. Di bawah ini akan dibahas pandangan-pandangan tersebut, sebagai suatu triad dalam sejarah politik konstitusional. Konstitusionalisme dalam masa-masa transformasi politik menimbukan pertentangan mendasar antara perubahan politik radikal dan batasan terhadap perubahan yang merupakan ciri dari tatanan konstitusional. Dalam model idealis yang akan dibahas di bawah ini, dilema ini diselesaikan dengan menyatakan bahwa konstitusi berfungsi sebagai dasar dari tatanan politik yang baru: suatu klaim fondasionalisme konstitusional. Pandangan Klasik Dalam pandangan klasik, konstitusi dianggap sebagai tatanan politik mendasar negara, organisasi khusus yang menentukan struktur dan fungsi negara. Dalam pandangan Aristotelian, konstitusi merupakan entitas organik: “‘Konstitusi’ negara merupakan organisasi dari badan-badan di dalamnya ...”. 3 Dalam pemahaman ini, konstitusi bersifat normatif sekaligus deskriptif. “Asosiasi yang berupa negara ini eksis bukan agar anggota- anggotanya hidup bersama, namun untuk bertindak secara mulia”. 4 Dengan demikian, dalam pandangan klasik, perubahan politik revolusioner memiliki arti perubahan konstitusi. Transformasi politik radikal tidak mewajibkan pergantian kepemimpinan, 2 Untuk teori-teori realis dalam politik, lihat Arendt Lijphart, Democracies: Patterns of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-one Countries , New Haven: Yale University Press, 1984. Untuk studi kasus kontemporer, lihat Courtney Jung dan Ian Shapiro, “South Africa’s Negotiated Transition: Democracy, Opposition and the New Constitutional Order”, Policy and Society 23, 1995: 269. Untuk tinjauan realis tentang Konstitusi Amerika, lihat Charles A. Beard, An Economic Interpretation of the Constitution of the United States , New York: Macmillan, 1956. 3 Aristoteles, The Politics, terjemahan T. A. Sinclair, New York: Penguin Books, 1986. Lihat juga Charles H. MacIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, Ithaca: Cornell University Press, 1947, menjelaskan konsepsi kuno tentang konstitusi; Peter G. Stillman, “Hegel’s Idea of Constitutionalism”, dalam Alan S. Rosenbaum ed., Constitutionalism: The Philosophical Dimension, New York: Greenwood Press, 1988. 4 Aristoteles, The Politics, 198. 3 representasi atau keanggotaan, karena konstitusi-lah yang menentukan identitas suatu entitas politik. Bila konstitusi berubah, demikian pula entitas politik yang diaturnya: “Negara merupakan suatu bentuk asosiasi – asosiasi warga negara dalam bentuk konstitusi; sehingga bila konstitusi berubah dan menjadi berbeda, negara juga akan mengalami perubahan”. 5 Tinjauan klasik terhadap politik konstitusional ini adalah konstitusionalisme organik. Dalam pandangan klasik, kesatuan antara revolusi dan konstitusi menengahi dilema yang disebabkan oleh kaitan antara konstitusionalisme dengan perubahan politik. Isu-isu keadilan tetap menjadi masalah, meskipun terdapat pergerakan ke arah tatanan yang lebih demokratis. Namun, pandangan ini mengarah ke pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa kaitan antara penyusunan-ulang konstitusi dengan perubahan politik? Bagaimana kesadaran konstitusional baru yang mendefinisikan transisi dapat terjadi? Paradigma klasik ini melahirkan, namun tidak menjelaskan, teori tentang peran konstitusionalisme dalam proses perubahan politik. Klaim Modern Berbeda dari pandangan klasik, teori konstitusional modern menekankan batasan normatif terhadap kekuasaan negara terhadap hak-hak struktural dan individual. Namun, beberapa aspek dalam konseptualisasi klasik tetap dipertahankan dalam model modern ini, paling tidak dalam pandangan tentang sifat dan peran konstitusi dalam masa perubahan politik. Pandangan klasik menyetarakan konstitusi dengan tatanan politik, dengan implikasinya terhadap sifat dan peran utama konstitusi dalam masa perubahan politik. Peran paradoksal dari konstitusi-konstitusi modern adalah bahwa mereka dianggap memberikan pembatasan bagi pemerintahan meskipun dalam masa perubahan politik. Bagaimana cara mendamaikan pandangan modern tentang konstitusionalisme dengan perubahan konstitusional? Inilah dilema konstitusionalisme dalam konteks perubahan politik massif. Bagi Hannah Arendt, dilema ini diselesaikan dengan memikirkan ulang teori konstitusionalisme. Alih-alih mengkonseptualisasikan penyusunan konstitusi sebagai hal yang kontrarevolusioner dan merupakan kebalikan dari perubahan politik, “elemen yang paling revolusioner dari penyusunan konstitusi” adalah “peletakan dasar”. 6 Pandangan Arendt ini banyak merujuk pada penyusunan konstitusi Amerika. Dalam versi ini, dilema antara revolusi dan konstitusi tidak terlihat: kedua tindakan politik ini merupakan satu kesatuan. Konstitusi dianggap sebagai puncak revolusi: ia adalah “usaha dari seluruh bangsa untuk menciptakan badan politik yang baru”. 7 Pandangan Arendtian ini menyelesaikan pertentangan antara revolusi dan konstitusionalisme melalui pemikiran tentang dasar foundation. Para revolusioner di Amerika digambarkan sebagai para “peletak dasar” yang berusaha untuk menciptakan suatu dasar yang abadi. Dalam penyusunan konstitusi, tujuan mereka adalah “keinginan 5 Ibid., 176. 6 Hannah Arendt, On Revolution, New York: Viking Press, 1965, 142. Untuk tinjauan sejarah tentang perkembangan konstitusionalisme sejak Perang Saudara di Inggris hingga awal abad ke-20, lihat M.J.C Vile, Constitutionalism and the Separation of Powers, Oxford: Clarendon Press, 1967. 7 Arendt, On Revolution, 143. 4 untuk menciptakan Kota Abadi di bumi”, dan keinginan untuk membentuk pemerintah “yang mampu menghentikan siklus pergantian pemerintahan, dari menanjaknya hingga keruntuhan suatu imperium, dan membentuk suatu kota yang abadi”. 8 Pemikiran tentang peletakan dasar ini menyelesaikan dilema perubahan politik dengan konstitusi yang bersifat abadi. Meskipun bersifat paradoksal, perubahan revolusioner yang ingin dilakukan ini adalah tindakan peletakan dasar yang bersifat konstitutif. Konstitusionalisme Amerika dicirikan oleh paradoks perubahan konstitusional: yang revolusioner namun berlangsung abadi. Pandangan Amerika terhadap revolusinya ini mendorong timbulnya paradigma baru tentang konstitusionalisme sebagai dasar bagi tatanan demokratik. Dalam paradigma ini, konstitusionalisme adalah sesuatu yang berbeda dari arti klasiknya, yang diidentifikasikan dengan tatanan politik. Ia lebih menyerupai konstitusionalisme dalam arti Magna Carta, yang melindungi kebebasan- kebebasan negatif. Pemikiran tentang demokrasi konstitusional melampaui perlindungan terhadap hak-hak individual saja. “Penyusunan konstitusi” dianggap sebagai “tindakan revolusioner yang paling utama dan mulia”. 9 Suatu konstitusionalisme mendasar yang ideal memiliki potensi untuk mengesahkan seluruh sapuan normatif dari revolusi. Melanjutkan pemikiran Arendt, konstitusionalis Amerika, Bruce Ackerman, menyatakan klaim normatif yang kuat tentang penyusunan konstitusi sebagai dasar revolusi demokrasi. Dalam pandangan ini, penyusunan konstitusi merupakan tahap terpenting dan terakhir dalam revolusi liberal, suatu “momen konstitusional” revolusioner yang menunjukkan keterpisahan dari rezim lama dan berdirinya tatanan politik yang baru. 10 “Jika sasaran yang ingin dicapai adalah tranformasi terhadap norma-norma konstitusional, maka keterpisahan sama sekali adalah hal yang diharapkan ...”. Bagi Ackerman, suatu “tatanan yang sah” bergantung pada “usaha sistematik untuk menunjukkan prinsip-prinsip rezim baru”. Dalam teori konstitusional kontemporer, penyusunan konstitusi transformatif tidak terbatas pda revolusi; namun terdapat pula momen-momen konstitutif lainnya yang potensial. Dengan memperluas kemungkinan penyusunan konstitusi transformatif di luar masa revolusi, Ackerman memberikan suatu perbedaan antara politik biasa dan politik konstitusional dalam model modern ini. Dalam kerangka “demokrasi dualis”, perubahan politik atau konstitusi normal berjalan dalam jalur yang berbeda, dan menawarkan penyelesaian yang rapih terhadap dilema yang ditimbulkan konstitusionalisme dalam masa-masa revolusioner. Dengan mendefinisikan kategori “ganda” yaitu penyusunan keputusan “biasa” oleh pemerintah, dan penyusunan hukum “tingkat tinggi” oleh “rakyat”, dilema konstitusi dan perubahan politik radikal dapat diselesaikan. 11 Dalam demokrasi dualis, dilema awal konstitusional, perubahan konstitusional dan tinjauan konstitusional dihilangkan. Dalam model kontemporer, penyusunan konstitusi memiliki arti revolusi melalui penyusunan hukum tingkat tinggi, namun pembedaan antara penyusunan hukum tingkat tinggi dan rendah masih ambigu. Yang mencirikan penyusunan hukum tingkat tinggi adalah suatu proses yang khas dan penentuan waktu yang tepat. Ada saat-saat yang 8 Ibid., 232-34. 9 Ibid,. 157. 10 Bruce A. Ackerman, The Future of Liberal Revolution, New Haven: Yale University Press, 1992, 57. Lihat umumnya Michel Rosenfeld ed., Constitutionalism, Identity, Difference and Legitimacy: Theoretical Perspectives , Durham: Duke University Press, 1994 menganalisis kaitan antara konstitusionalisme dan identitas kelompok. 11 Bruce A. Ackerman, “Constitutional PoliticsConstitutional Law”, Yale Law Journal 99 1989: 453-547. 5 dianggap tepat sebagai saat penyusunan konstitusi, suatu jangka waktu penyusunan konstitusi atau “momen konstitusional”. Penyusunan konstitusi dilakukan sebelum pengesahan hukum dan institusi lainnya. 12 Penyusunan hukum tingkat tinggi juga berimplikasi proses pengambilan keputusan yang lebih teliti. “Jalur penyusunan hukum tingkat tinggi ... menggunakan prosedur khusus untuk menentukan apakah mayoritas rakyat memberikan dukungannya terhadap prinsip-prinsip dari suatu gerakan revolusioner yang akan dinyatakan dengan mengatasnamakan rakyat”. 13 Kaum fondasionalis memandang bahwa status khusus politik konstitusional ini berasal dari peran kedaulatan rakyat di dalam penyusunannya, melalui proses penyusuannya yang khusus. Politik konstitusional dianggap berkaitan dengan tingkat pertimbangan politis yang lebih tinggi, dan dengan demikian berbeda dari perpolitikan biasa. Konsepsi ini merujuk pada proses berdirinya Amerika Serikat, bahwa konvensi konstitusional Amerika ini memiliki konsensus luas. Namun klaim ini agak kontroversial. Mungkin proses-proses yang dianggap sebagai syarat fondasionalisme konstitusional perlu diinterpretasikan pada tingkat generalisasi yang lebih tinggi. Dengan pendekatan ini, kurangnya partisipasi dalam proses ratifikasi konstitusi bukanlah hal yang fatal, selama partisipasi dalam hal ini lebih tinggi dibandingkan dengan partisipasi politik biasa dalam masa itu. Suatu perspektif transisional membantu menjelaskan mengapa dalam masa- masa gejolak politik, bahkan partisipasi terbatas dari masyarakat sudah cukup untuk melegitimasi transformasi konstitusional. 14 Dalam paradigma kontemporer utama, terdapat klaim kuat tentang kaitan antara perubahan politik dan perubahan konstitusional. Pemikiran ideal tentang konstitusi bersifat memandang ke depan: tujuannya adalah untuk meninggalkan masa lalu dan bergerak menuju masa depan yang lebih cerah. Penyusunan konstitusi dianggap menjadi dasar bagi tatanan demokratis yang baru. Meskipun klaim-klaimnya dianggap berlaku universal, teori konstitusional kontemporer sendiri ditarik dari suatu konteks politik tertentu, yaitu revolusi di abad ke- 18. Sementara pemahaman modern tidak menganggap konstitusi sebagai tatanan politis suatu negara, seperti dalam pemahaman klasik, pandangan modern tentang politik konstitusional tak terlepaskan dari revolusi di masa lalu dan tatanan politik masa depan. Meskipun pengalaman Amerika dianggap mencontohkan penyusunan konstitusi yang mendasar, dalam tahun-tahun terakhir, suatu klaim preskriptif yang lebih luas juga diarahkan kepada negara-negara lain dalam proses transisi. Maka, dalam The Future of Liberal Revolution, pandangan fondasionalis diperluas ke transisi pasca-komunis kontemporer. Dengan merujuk pada proses penyusunan konstitusi Amerika Serikat, Ackerman menyerukan kepada negara-negara demokrasi baru di Eropa Timur agar menyisihkan politik biasa dan memuncakkan revolusi mereka dengan suatu konstitusi. 15 Namun pandangan tentang konstitusi sebagai dasar perubahan politik yang liberal hanya menawarkan penyelesaian teoretis terhadap dilema penyusunan konstitusi pasca-revolusi. 12 Ibid., 55. 13 Ibid., 14 14 Lihat Peter Berkowitz, “Book Review”, Eighteenth Century Studies 26 1993: 695 meninjau Bruce A. Ackerman, We the People: Foundations, Cambridge: Harvard university Press, Belknap Press, 1991 menunjukkan bahwa pemilihan umum untuk meratifikasi konstitusi biasanya diikuti oleh hanya sedikit pemilih. 15 Lihat Bruce A. Ackerman, The Future of Liberal Revolution, 193. Untuk argumen kontinental yang terkait, lihat Ulrich Preuss, Constitutional Revolution: The Link Between Constitutionalism and Progress, terjemahan Deborah Lucas Schneider, Atlantic Highlands: Humanities Press, 1995. 6 Lebih lanjut lagi, meskipun terdapat kontribusi teori konstitusional kontemporer terhadap perdebatan dalam ilmu politik tentang kriteria perubahan menuju liberalisasi, buku ini menganggap bahwa perubahan politik menuju liberalisasi terkait dengan berbagai respon legal, di luar respon konstitusional. Model dominan ini amat teridealisasi, dan dengan demikian, tidak dapat menjelaskan berbagai fenomena konstitusional yang terkait dengan masa-masa transformasi politik. Sebaliknya, konstitusionalisme kontemporer memerlukan pemikiran ulang terhadap teori dominan tentang kaitan perubahan politik dan perubahan konstitusional. Preseden konstitusional pada akhir abad ke-20 menunjukkan bahwa model ini terlalu membedakan antara politik biasa dan politik konstitusional. Seperti dijelaskan di bawah, konstitusionalisme pada masa perubahan politik radikal menunjukkan berbagai manifestasi politik konstitusional. Suatu Kontra-Tinjauan Transisional Bagian ini menunjukkan suatu tinjauan terhadap konstitusionalisme transisional dari sudut pandang yang berbeda, untuk menangkap dengan lebih baik perpolitikan konstitusional yang dikaitkan dengan masa-masa transformatif. Konstitusionalisme dalam masa-masa perubahan politik radikal mencerminkan transisionalitas dalam proses- prosesnya, sebagaimana ditunjukkan oleh perkembangan-perkembangan dalam masa- masa gejolak politik. Penyusunan konstitusi seperti dibicarakan di bawah sering kali diawali dengan konstitusi sementara, yang kemudian dijadikan dasar penyusunan konstitusi yang lebih permanen. Meskipun terdapat anggapan tentang hukum konstitusional sebagai bentuk hukum yang paling memandang ke depan dan abadi, penyusunan konstitusi transisional sering kali tidak permanen dan menunjukkan perubahan bertahap. Banyak dari konstitusi yang disusun dalam masa perubahan politik radikal secara eksplisit direncanakan untuk bersifat sementara. Sementara teori utama membayangkan konstitusi sebagai sesuatu yang monolitik dan abadi, konstitusi transisional memiliki beberapa ciri yang menunjukkan kesementaraannya, sedangkan ciri-ciri lainnya menjadi lebih mapan seiring berjalannya waktu. Model “konstruktivistik” yang diajukan di sini memiliki kesamaan dengan proses yang ditunjukkan dalam bentuk teridealisasi dalam teori Rawls tentang penciptaan konsensus politik secara bertahap. John Rawls menggunakan istilah konstruktivisme politik untuk menggambarkan timbulnya konsensus konstitusional secara bertahap sebagai hasil dari proses pengambilan keputusan secara bertahap yang menyempitkan ruang perbedaan antar-partai politik. Analisis di sini bersifat konstruktivistik pula dalam hal yang berbeda. Sama seperti pemikiran Rawls, pemikiran di sini menyatakan bahwa elemen-elemen konstitusional secara bertahap muncul melalui proses politik seiring perjalanan waktu. Namun, pemikiran di sini menganggap bahwa semua perubahan dalam tatanan konstitusional menimbulkan perubahan perspektif para partisipan, dan dengan demikian mengubah anggapan mereka tentang apa yang diizinkan dalam politik, dengan konsekuensinya terhadap potensi konsensus konstitusional. 16 Transisionalitas ini menimbulkan beberapa implikasi normatif. Dalam teori yang umum diterima, konstitusionalisme dianggap bersifat satu arah, memandang ke depan 16 Bandingkan dengan John Rawls, Political Liberalism, New York: Columbia University Press, 1993, 90- 99 mendefinisikan “konstruktivisme politik”. 7 dan sepenuhnya prospektif. Bila pemahaman politik retrospektif dicantumkan, bentuk ideal ini tidak tepat digunakan untuk menjelaskan fenomena konstitusional transisional. Sementara gambaran tentang suatu masyarakat politik pada titik nol konstitusional tepat untuk menggambarkan konstitusionalisme di abad ke-18, pada masa kontemporer, konstitusi yang disusun sebagai akibat perubahan politik lazimnya menggantikan rezim konstitusional yang telah ada, dan bukan hal yang sama sekali baru. Konstruksi tatanan konstitusional baru dalam masa peruahan politik radikal didukung oleh konsepsi transisional tentang keadilan konstitusional. Hukum konstitusional biasanya dianggap sebagai bentuk hukum yang paling memandang ke depan. Namun, konstitusionalisme transisional bersifat ambivalen; bagi generasi revolusioner, prinsip-prinsip keadilan konstitusional di dalamnya berkaitan dengan ketidakadilan di masa lalu. Dari perspektif transisional, apa yang dianggap adil secara konstitusional bersifat kontekstual dan terkait dengan pelanggaran di masa lalu. Studi tentang konstitusionalisme dalam masa-masa perubahan politik menunjukkan bahwa berbagai bentuk transisi akan menimbulkan perbedaan dalam hal kontinuitas konstitusional. Tipe-tipe konstitusi yang dipaparkan di sini, seperti tipe ideal Weber, tidak menggambarkan seluruh fenomena konstitusional yang ada, namun membantu memahami berbagai keragaman fenomena konstitusional. Mereka juga mencerminkan berbagai respon legal transisional lainnya yang memiliki modalitas- modalitas serupa. Bab-bab lain dalam buku ini telah membicarakan respon-respon legal transisional dalam bentuk ajudikatif dan punitif. Dengan modalitas kodifikasi, konstitusionalisme lebih mengekspresikan konsensus yang ada, alih-alih tujuan yang transformatif. Sementara, dalam modalitas transformatif, dalam konstitusionalisme kritis, konstitusi yang baru secara eksplisit merekonstruksi tatanan politik yang dikaitkan dengan ketidakadilan. Dalam bentuk transformatif yang lain, yaitu penggunaan konstitusi baru untuk mengembalikan tatanan konstitusional sebelum rezim pelaku pelanggaran, konstitusi demikian dapat dianggap bersifat restoratif. Bila konstitusi baru merupakan kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya, manifestasi kontinuitas konstitusional ini dapat dianggap “residual”. Seperti akan ditunjukkan dalam tinjauan perkembangan konstitusi dalam masa-masa perubahan politik, banyak konstitusi transisional mencerminkan aspek-aspek dari berbagai tipe di atas. Konstruksi konstitusi yang demikian dapat memediasi masa-masa perubahan politik. Dalam bab ini akan diinterpretasikan bagaimana terjadinya pergeseran dari pemerintaan non-liberal ke rezim yang lebih liberal, dan peranan konstitusi dalam konstruksi perubahan politik tersebut. Di bawah ini terdapat sejumlah kasus yang menggambarkan sifat dan peran konstitusionalisme dalam masa-masa transformasi politik. Fenomena konstitusionalisme transisional telah ada sejak masa kuno, yaitu konstitusi baru setelah revolusi Athena. Dengan terjadinya revolusi, timbul perdebatan tentang sistem politik baru yang diharapkan, yang berakhir dengan dua rancangan konstitusi, untuk masa krisis jangka pendek dan untuk “masa depan”. 17 Dengan transisi historis demikian, timbul dilema tentang mengaitkan perubahan politik revolusioer dengan penyusunan konstitusi. Seperti akan terlihat, proses konstitusional bertahap demikian terjadi pula dalam transisi kontemporer. 17 Lihat Aristoteles, The Athenian Constitution, terjemahan P.J. Rhodes, New York: Penguin Books, 1984, bab 29-33. 8 Pergeseran dari Pemerintahan Otoriter Dalam teori kontemporer, pandangan ideal tentang konstitusi adalah sebagai puncak revolusi dan dasar tatanan demokratis yang baru. Konstitusi dianggap melampaui sifatnya yang terpolitisasi, karena perpolitikan konstitusional melampaui perpolitikan biasa. Sebaliknya, dalam model realis, sifat dan peran konstitusi dalam transisi yang timbul dari negosiasi sangatlah dipolitisasi, dan konstitusi dianggap sebagai perpanjangan dari politik biasa. 18 Kedua pendekatan ini bertentangan dalam memandang tempat konstitusionalisme dalam politik transformatif. Namun, keduanya tidak dapat menerangkan sifat politik konstitusional dalam perubahan politik kontemporer. Peran konstitusi dalam masa pasca- otoritarianisme menunjukkan paradigma politik radikal, ia juga membantu mengkonstruksi keterbukaan politik yang memungkinkan terjadinya transisi. Konstitusi transisional menengahi pergeseran politik dari pemerintahan otoriter. Mereka mengkonstruksi masa-masa peralihan berupa perubahan politik substansial, meskipun tidak sepenuhnya demokratis. Konstitusi demikian bersifat transisional dalam beberapa aspek: prosesnya bersifat transien bertahan hanya untuk sementara waktu, dan instrumennya pun sebagiannya bersifat sementara. Konstitusi demikian sering kali masih mengandung unsur-unsur dari rezim konstitusional pendahulunya, yang dapat dianggap residual. Contoh konstitusi demikian tampak dalam transisi historis ternegosiasi di Eropa, selain dalam gelombang perubahan politik kontemporer. Meskipun perang merupakan titik balik terpenting yang dianggap sebagai batasan untuk membangun dasar konstitusional, pergeseran politik sering kali terjadi tanpa titik balik tersebut, sebagai hasil negosiasi politik yang berkepanjangan. Konstitusi transisional dapat diciptakan dalam pergeseran dari pemerintaan otoriter sebagai hasil perundingan. Bila rezim pendahulu belum runtuh dan pergeseran politik hanya tercapai setelah terjadi negosiasi, konstitusi memainkan peran yang tidak banyak dijelaskan oleh teori konstitusional yang lazim diterima. Konstitusi transisional tidak semata-mata menghentikan revolusi, namun juga berperan dalam membentuk transisi. Pada tahap awal proses ini, konstitusi dapat mendorong perubahan politik. Peran konstitusi transisional yang mendestabilisasi tatanan politik yang telah ada ini dapat dianalogikan dengan peran konstitusi pada masa biasa yang memapankan tatanan politik. Suatu gambaran kontemporer konstitusi yang membongkar tatanan politik adalah konstitusi Afrika Selatan pasca-apartheid. Konstitusi pasca-apartheid ini diibaratkan sebagai “suatu jembatan bersejarah yang mengaitkan masa lalu suatu masyarakat yang terbelah yang dicirikan oleh pertikaian, konflik, penderitaan luar biasa dan ketidakadilan, dengan masa depan yang didirikan oleh pengakuan terhadap hak asasi manusia, demokrasi dan koeksistensi damai ... bagi semua warga Afrika Selatan”. 19 Dengan wataknya yang seperti itu, konstitusi Afrika Selatan pasca-apartheid memberikan contoh 18 Lihat umumnya Juan J. Linz dan Alfred Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation: Southern Europe, South America and Post-Communist Europe , Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1996 suatu tinjauan tentang langkah-langkah transisi, 10. Lihat juga Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986. 19 Konstitusi Afrika Selatan, bab 15, § 251 “Kesatuan Nasional dan Rekonsiliasi”. Tatanan konstitusional lainnya yang mencerminkan kompromi politik demikian berkaitan dengan keberlanjutan kekuasaan eksekutif, yang diawasi dewan eksekutif transisional. 9 penggunaan konstitusi transisional setelah berakhirnya pemerintahan otoriter. Konstitusi ini mengandung kesepakatan politik dan pergeseran dari pemerintahan oleh minoritas terhadap mayoritas warga yang tidak memiliki hak politik, ke sistem demokrasi perwakilan. Pakta konstitusional ini memungkinkan terjadinya transformasi politik. Sejauh mana legitimasi konstitusional yang baru ini bisa didapatkan dari suatu kesepakatan yang diratifikasi parlemen era apartheid? Sejauh mana kaitan prosedural dengan rezim lama akan melemahkan proses konstitusional? Akar konstitusi transisional dalam rezim apartheid ini tidak lagi menjadi masalah besar karena sifatnya yang sementara. Perubahan konstitusional diawali dengan pengesahan konstitusi sementara oleh parlemen lama, yang disahkan dengan syarat akan disusun sebuah konstitusi lain yang prospektif. Pembukaan konstitusi 1993 sendiri menjelaskan bahwa ia akan berlaku sampai konstitusi yang final diberlakukan. 20 Konstitusi transisional Afrika Selatan 1993 mencerminkan modalitas yang kompleks. Sementara pada umumnya bersifat sementara, ia juga mengandung prinsip- prinsip konstitusional yang mengikat. Dalam strukturnya, konstitusi pasca-apartheid ini memiliki kemiripan dengan konstitusi Jerman pasca-perang. 21 Meskipun bersifat transisional, undang-undang dasar Jerman memiliki pasal-pasal inti tentang identitas politik liberal negara tersebut. Prinsip-prinsip yang mengikat ini berkaitan dengan kesetaraan dan hak-hak perwakilan. Dengan menegaskan perlindungan terhadap kelompok etnik dan ras, konstitusi Afrika Selatan mentransformasi peninggalan sejarah prasangka rasial dengan bergerak meninggalkan penindasan dan sistem apartheid, dan menetapkan nilai-nilai konstitusional yang liberal. 22 Konstitusi transisional terutama berguna dalam pergeseran dari pemerintahan militer. Dalam transisi di Eropa Selatan, misalnya, konstitusi 1978 pasca-Franco 20 Pembukaan Konstitusi Afrika Selatan menyatakan: “Dengan demikian diperlukan suatu provisi untuk mendorong kesatuan nasional dan restrukturisasi dan Pemerintahan Afrika Selatan yang berkelanjutan sementara suatu Dewan Konstitusional hasil pemilihan umum menyiapkan Konstitusi final ”...tekanan ditambahkan. 21 Rencana konstitusi kedua dianggap tidak sah oleh Pengadilan Konstitusional negara tersebut, berkaitan dengan prinsip-prinsip penggerak dalam konstitusi tersebut. Lihat In re Certification of the Constitution of the Republic of South Africa, 1996 4 SALR 744 CC Afrika Selatan. Konstitusi final disahkan tidak lama sebelum buku ini diterbitkan dalam bahasa Inggris. Bandingkan dengan Pasal 793 Undang-Undang Dasar jerman klausul tentang kepermanenan. 22 Schedule 4 menyatakan beberapa “prinsip konstitusional” yang tidak boleh diubah atau ditentang oleh konstitusi berikutnya, seperti: Konstitusi harus melarang diskriminasi ras, gender dan segala bentuk diskriminasi lainnya dan harus mendorong kesetaraan rasial dan gender serta kesatuan nasional. .... Sistem hukum harus menjamin kesetaraan semua orang di muka hukum dan proses hukum yang tidak memihak. Kesetaraan di muka hukum mencakup hukum, program dan aktivitas yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi mereka yang tertindas, termasuk mereka yang tertindas karena dasar ras, warna kulit atau gender. Konstitusi sementara Afrika Selatan, Akta 209 tahun 1993, sched. 4, pts. III dan V, dicetak ulang dalam Dion Basson, South Africa’s Interim Constitution: Text and Notes, Kenwyn, Afrika Selatan: Juta and Company, 1994. Cara kerja proses konsolidasi konstitusional ini dijelaskan dalam keputusan Pengadilan Konstitusional yang membatalkan rencana konstitusi berikutnya. Lihat catatan kaki 21 10 membantu mengarahkan Spanyol untuk menghindari pemerintahan militer. 23 Transisionalitas konstitusi ini dicerminkan dari tiadanya pencabutan kekuasaan militer secara mutlak; meskipun militer harus menaati pemerintahan konstitusional, banyak dari struktur pembagian kekuasaan yang baru masih belum didefinisikan. Meskipun pertanyaan kunci dalam transisi Portugal pada tahun 1974 adalah tentang tempat militer dalam rezim baru, angkatan bersenjata negara itu memainkan peran menentang kediktatoran dan mendatangkan liberalisasi. Dengan menciptakan struktur konstitusional yang memberikan tempat bagi angkatan bersenjata, konstitusi pasca-revolusi yang pertama memungkinkan transisi menuju demokrasi dengan merestrukturisasi alokasi kekuasaan sipil dan militer. 24 Di seluruh Amerika Latin, konstitusi transisional menjadi penengah antara rezim militer dan sipil. 25 Dengan pembatasan konstitusional terhadap kekuasaan negara yang memungkinkan terjadinya pelanggaran di masa lalu, struktur otoriter direkonstruksi untuk mengadakan transformasi politik. 26 Konstitusi Brazil 1988 diakui bersifat sementara: setelah lima tahun. diharapkan akan diadakan tinjauan terhadap konstitusi dan melakukan amendemen. Berdasarkan teori konstitusional yang lazim, sifat sementara dari konstitusi ini seharusnya tidak sesuai dengan tujuan utama konstitusi tertulis, yaitu untuk memelihara suatu pandangan tertentu tentang kekuasaan negara selama jangka waktu 23 Lihat Andrea Bonime-Blanc, Spain’s Transition to Democracy: The Politics of Constitution-Making, Boulder: Westview Press, 1987, 31; Jordi Solé Tura, “Iberian Case Study: The Constitutionalism of Democratization”, dalam Douglas Greenberg et al. eds., Constitutionalism and Democracy: Transition in the Contemporary World , New York: Oxford University Press, 1993, 292-94. Lihat umumnya O’Donnell dan Schmitter, Transitions: Tentative Conclusions, 37-72. Penundukan militer terhadap kekuasaan sipil masih belum lengkap, karena konstitusi masih memberikan tugas kepada militer untuk melindungi tatanan konstitusional. Menurut pasal 104 Konstitusi Spanyol: Pasukan dan Korps Keamanan yang merupakan alat- alat Pemerintah akan bertugas melindungi pelaksanaan hak-hak dan kebebasan secara bebas dan menjamin keamanan warga ... Suatu hukum organik akan menentukan fungsi, prinsip dasar untuk bertindak dan Statuta pasukan dan Korps Keamanan. 24 Untuk tinjauan tentang transisi, lihat Kenneth Maxwell, “Regime Overthrow and the Prospects for Democratic Transition in Portugal”, dalam Guillermo O’Donnell et al. eds, Transitions from Authoritarian Rule: Southern Europe, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986, 108-37. Lihat Tura, “Iberian Case Study”, 291-92. 25 Untuk tinjauan umum tentang transisi dan analisis terhadap Konstitusi 1988, lihat Keith S. Rossen, “Brazil’s New Constitution: An Exercise in Transient Constitutionalism for a Transitional Society”, American Journal of Comparative Law 38 1990: 773. 26 Untuk contoh tentang batasan baru terhadap penetaan keadaan siaga, lihat Pasal 136 dan 137, selain penyusunan undang-undang kepresidenan yang dikaitkan dengan keadaan darurat. Konstitusi Brazil menyatakan: “Kekuasaan legislatif dilaksanakan oleh Kongres Nasional “... Konstitusi Brazil, Pasal 44. Pasal 62 menyatakan: Dalam kasus penting dan urgen, Presiden Repblik bleh mengambil tindakan sementara yang berkekuatan hukum; namun, ia harus segera memberikannya kepada Kongres nasional, yang bila sedang dalam keadaan reses, harus bersidang dalam sidang istimewa dalam waktu lima hari. .... Tindakan semantara ini akan tidak berlaku sejak tanggal diterbitkannya bila tidak diubah kedudukannya menjadi hukum dalam tiga puluh hari setelah tanggal diterbitkannya, dan Konres Nasional harus mengatur semua hukum yang terkait yang mungkin timbul dari pengambilan langkah-langkah tersebut. 11 yang panjang. 27 Namun dari perspektif transisional, kritik ini tidak tepat. Jika sebuah rezim politik masih belum mapan, tidak logis untuk menekankan kemutlakan konstitusi. Kemungkinan untuk terjadinya reformasi yang dikaitkan dengan konstitusi interim pertama sering kali disyaratkan pada penundaan proses konstitusional yang diikuti oleh lebih banyak aktor politik. Konstitusi kontemporer Cili secara dramatis menunjukkan kemungkinan ini. Konstitusi 1991 membantu mengangkat negeri tersebut dari kediktatoran militer, dengan biaya yang harus dibayar oleh konstitusi. Konstitusi transisional pertama mempertahankan kontinuitas residual dengan pemerintahan yang baru saja berlalu, dengan mengakomodasi kediktatoran militer dalam struktur konstitusional. Dalam sejumlah amendemen konstitusional yang dilakukan secara berhati-hati, dan dinegosiasikan oleh junta militer yang berkuasa, dan oposisi politik, timbul harapan untuk mengembalikan demokrasi ke Cili. Amendemen konstitusional membatasi kekuasaan militer dan institusi yang mendukung kekuasaan militer, dan mencabut larangan terhadap partai oposisi dalam Senat. Perubahan transisional ini memungkinkan pembagian kekuasaan antara sipil dan militer, dan pergeseran menuju rezim demokrasi dan liberal. 28 Reformasi konstitusional bertahap yang serupa terjadi di Argentina, di mana hanya setelah terjadi dua kali pergantian pemerintaan, konstitusi baru dapat disahkan. Bahkan, konstitusi 1994 yang baru ini masih mempertahankan beberapa pasal dari Konstitusi 1853, meskipun mengganti beberapa bidang yang memerlukan perubahan, seperti batasan terhadap kekuasaan eksekutif. Dengan demikian, konstitusi baru ini mencerminkan gabungan dari ciri-ciri “residual” dan “kritis”. Kolombia memberikan gambaran historis tentang perubahan konstitusional yang memberikan batasan antara dua rezim. Dianalogikan dengan sebuah traktat, konstitusi Kolombia yang baru memungkinkan terjadinya perdamaian. Suatu krisis politik yang berkepanjangan antara pemerintah dan para gerilya meledak pada dekade 1980-an dengan keruntuhan negara secara parsial. 29 Krisis politik ini menandakan perlunya perbaikan terhadap konstitusi, namun masalahnya adalah bagaimana melaksanakan reformasi konstitusional tanpa adanya dukungan Kongres dan dengan ketidaktaatan terhadap hukum-hukum konstitusional yang sudah ada. Kolombia meninggalkan prosedur konstitusionalnya yang sudah lazim untuk memungkinkan perubahan konstitusional sementara, sebelum dilakukan reformasi konstitusional yang lebih menyeluruh. Dengan referendum tentang perubahan konstitusional, keputusan diambil untuk memilih dewan konstitusional untuk mengubah konstitusi. Referendum ini diikuti pemilihan anggota dewan tersebut. Pada saat tersebut, para mantan gerilyawan telah melakukan demobilisasi, menunjukkan peran penting sebagai kekuatan independen dalam 27 Untuk contoh argumen ini, lihat Rossen, “Brazil’s New Constitution”, 783. 28 Untuk tinjauan singkat tentang negosiasi yang terjadi, lihat “Chile: Chronology 1988-1991”, jilid 4 dalam Albert P. Blaustein dan Gilbert H. Flanz eds., Constitutions of the Countries of the World, Dobbs Ferry, N.Y: Oceana Publications, 1994, 33-36. Pasal 9 tentang partai politik mengalami amendemen, selain Pasal 95 dan 96, yang melemahkan Dewan Keamanan nasional. 29 Daniel T. Fox dan Anne Stetson, “The 1991 Constitutional Reform: Prospects for Democracy and the Rule of Law in Colombia”, Case Western Reserve Journal of International Law 24 1992: 143-44. 12 perpolitikan dan pemilihan umum, dan akhirnya akan berperan penting dalam penyusunan konstitusi. 30 Hal-hal itu membentuk proses transisi; mereka memberikan ruang politik dan membatasi proses politik sedemikian rupa sehingga memungkinkan pergeseran menuju pemerintahan yang lebih demokratis. Konstitusi Kolombia merupakan contoh mekanisme konstruktif dalam transformasi politik. Dengan sifatnya yang secara sadar ditetapkan sementara, ia ditujukan untuk merestrukturisasi tatanan politik yang labil. Karena pelanggaran-pelanggaran terberat terjadi dalam pembagian kekuasaan eksekutif dan legislatif, konstitusi baru memberikan kekuasaan legislatif yang luar biasa kepada presiden, dan juga membentuk “kongres mini” untuk bertugas selama kongres yang baru belum terbentuk. Aturan-aturan sementara diberlakukan untuk mengatur pemilihan umum bebas yang pertama, membentuk tatanan politik yang baru, memberikan amnesti bagi kejahatan di masa lalu, 31 dan mengintegrasikan para mantan gerilyawan. Konstitusionalisme memiliki arti keterlepasan dari masa lalu, dan kemudian diikuti penggabungan kembali ke dalam sistem politik yang baru. Konstitusi transisional yang dibicarakan di atas secara eksplisit memiliki kepentingan politis, karena mereka semua meratifikasi berbagai ciri kesepakatan politik yang sering kali berjalan bersama dengan konstitusi transisional dan juga mengarahkan perubahan konstitusional. Fakta bahwa kesepakatan tersebut sering kali tidak dicapai berdasarkan partisipasi politik secara luas menentang asas demokrasi dalam penyusunan konstitusi tersebut. Bahkan, sifat terpolitisasi konstitusi tersebut tampak jelas dalam kemiripannya dengan tindakan pidana transisional. Dalam pergeseran dari pemerintahan yang kejam, konstitusi transisional sering kali meratifikasi amnesti terhadap pelanggaran politik di masa lalu. Peran kesepakatan amnesti transisional dalam menengahi transisi telah dibahas dalam bab 2 tentang peradilan pidana. Maka, dalam masa transisi, konstitusi menggariskan batasan terhadap hal-hal yang boleh dipolitisasi dan apa yang tidak. Dalam konteks perubahan politik, konstitusi tidak hanya merupakan puncak atau tahapan akhir dari revolusi, namun menjadi alat dalam penciptaan transformasi. Dengan demikian, ia sering kali merupakan mekanisme sementara yang memfasilitasi transformasi politik. Konstitusi transisional menunjukkan kesepakatan dan struktur politik sementara, dan menciptakan ruang politik yang baru untuk mengkonstruksikan transisi politik. Lebih lanjut lagi, dengan dikukuhkannya beberapa norma konstitusional yang penting, konstitusi transisional bisa menjadi respon konstruktif terhadap pemerintahan represif di masa lalu. Sementara sifat transisional konstitusi ini terutama berkaitan dengan struktur kekuasaan negara, prinsip-prinsip normatif yang berkaitan dengan norma-norma hak individual dimaksudkan menjadi bersifat transformatif dan abadi, yang memandu identitas demokrasi liberal negara. Terdapat suatu hukum tingkat tinggi, yang bahkan lebih tinggi dari konstitusi, yang bisa dianggap sebagai “konstitusi dari konstitusi”. 30 William C. Banks dan Edgar Alvarez, “The New Colombian Constitution: Democratic Victory of Popular Surrender?” University of Miami Inter-American Law Review 23 1991: 55-57. Lihat Foz dan Stetson, “The 1991 Constitutional Reform”, 142, 145. 31 Lihat Konstitusi Kolombia, Pasal Peralihan 6 menjelaskan Konstituante Nasional, Pasal Peralihan 39 memberikan kepada presiden “kekuasaan luar biasa” untuk menerbitkan “keputusan yang berkekuatan hukum” dalam jangka waktu tiga bulan, dan Pasal Peralihan 30 tentang amnesti. 13 Penyusunan konstitusi transisional, hingga batasan tertentu, mencerminkan ide- ide yang lazim tentang negara dan perubahan politik. Tidak seperti model konstitusional yang dominan, konstitusi transisional bersifat fleksibel dalam mengukuhkan norma- norma, seperti terlihat dalam tahapan-tahapan konstitusional sementara yang berkaitan dengan isu-isu konstitusional yang kontroversial. Seiring perjalanan waktu, perubahan pada konstitusi akan mengubah lingkup politik lebih lanjut, yang mendorong perubahan konstitusional. Paradigma konstitusional konstruktivistik yang dibicarakan di sini berakar pada analisis komparatif terhadap praktik politik dalam masa transisi dan pemikiran induktif, dan memiliki kemirian dengan beberapa model teoretik proses pembangunan konsensus konstitusional secara bertahap. 32 Akhirnya, alih-alih mengekspresikan konsensus masyarakat yang sudah ada, prinsip-prinsip normatif dalam konstitusi- konstitusi ini paling bisa dijelaskan dalam tinjauan transisional, karena tujuannya mencerminkan kemungkinan penggunaan konstitusi untuk transformasi. Keadilan Konstitusional sang Pemenang Arah penyusunan konstitusi setelah berakhirnya perang tampaknya mengikuti aturan ideal pemutusan dari masa lalu dan peletakan awal yang baru. Meskipun konstitusionalime pasca-perang menuntut adanya pemutusan dari masa lalu, tidak berarti bahwa model konstitusional ini selalu melalui proses-proses demokratis dan menjunjung kedaulatan rakyat. Dua ilustrasi yang dibicarakan di sini adalah Jerman Barat dan Jepang pasca-perang, yang mensahkan skema konstitusionalnya setelah kemenangan Sekutu dan penyerahan tanpa syarat. Konstitusi Jerman maupun Jepang sama-sama menggambarkan konstitusionalisme yang jelas-jelas transisional, yaitu “konstitusi sang pemenang”. Hingga titik tertentu, konstitusi ini dipaksakan. Tujuan transisional konstitusi pasca- perang ini terlihat dalam beberapa fungsi kritisnya: seperti tercermin dalam mandat substantifnya, Undang-Undang Dasar Jerman dan Konstitusi 1946 Jepang dirancang untuk mentransformasi peninggalan represif di masa lalu. Mungkin kasus paling ekstrem dari keadilan konstitusional pemenang adalah konstitusi pasca-perang Jepang. Dengan disahkan di bawah dominasi Amerika, dan dirancang oleh suatu kelompok kecil di bawah arahan Jenderal Douglas MacArthur, dan dipaksakan kepada parlemen Jepang untuk ratifikasi, 33 konstitusi Jepang 1946 tidak bisa dianggap sebagai suatu ekspresi kedaulatan rakyat dalam konteks pendudukan ini. Signifikansi partisipasi masyarakat dalam penyusunan konstitusi tidak terlalu besar dalam negara-negara yang memiliki tradisi pemerintahan otoriter. Seperti konstitusi MacArthur, konstitusi Meiji sebelumnya juga dirancang oleh beberapa anggota elite. Meskipun awalnya tidak demokratis, otoritas konstitusi yang masih berlanjut ini menunjukkan bahwa terdapat beberapa mekanisme lain yang melegitimasi konstitusi pemenang seiring perjalanan waktu. Hingga titik tertentu, konstitusi pemenang di Jepang ini merupakan versi yang ekstrem dari proses konstitusional yang dalam abad ke-20 lazim terjadi dalam transisi. Dalam masa transisi politik, setelah perang atau pemerintahan represif, proses 32 Lihat Rawls, Political Liberalism, 133-72. 33 Untuk tinjauan mendalam tentang sejarah penyusunan konstitusi Jepang, lihat Kyoko Inoue, MacArthur’s Japanese Constitution: A Linguistic and Cultural Study of Its Making , Chicago: University of Chicago Press, 1991. 14 konstitusional sering kali dimoderatori oleh pasukan pendudukan atau negara-negara yang berpengaruh. Mungkin bentuk intervensi yang paling moderat adalah peran penasihat konstitusional yang dimainkan oleh aktor internasional, nasional atau NGO. 34 Tingkat intervensi aktor-aktor ini mempengaruhi bagaimana proses penyusunan konstitusi ini dapat dianggap mencerminkan kedaulatan rakyat. Mungkin legitimasi konstitusi pasca-perang bergantung pada mandatnya dan sejauh mana proses konstitusional tersebut dapat mengembangkan norma-norma demokratis untuk membentuk struktur politik dalam transisi. Dalam hal ini, banyak bagian dari konstitusi 1946 yang mencerminkan modalitas transisional yang bersifat transformatif dan kritis. Tujuan eksplisit konstitusi tersebut adalah untuk mengubah kecenderungan politik ke arah militerisme dan nasionalisme imperialistik. Kekuasaan Jepang untuk menyatakan perang dihilangkan sama sekali, dan peran kaisar diturunkan, dari semula setengah dewa menjadi hanya figur. 35 Terdapat usaha secara luas untuk menggantikan rezim legal yang lama dan menggerakan Jepang menuju sistem formal demokrasi egaliter. 36 Konstitusi 1946 Jepang menunjukkan beberapa aspek kritis dalam memberikan respon retributif terhadap rezim lama. Pembatasan terhadap kekuasaan kaisar tampak sebagai alternatif jelas terhadap peradilan pidana. Respon ini menunjukkan kemiripan antara peradilan pidana dan penyusunan konstitusi dalam masa-masa gejolak politik. Seperti didiskusikan lebih awal, konstitusi sering kali digunakan untuk mengakui pelanggaran pidana di masa lalu, sekaligus mengampuninya. Dalam kondisi demikian, konstitusi menarik garis untuk membatasi parameter politik demokratis yang dimungkinkan. Dengan membatasi kekuasaan kaisar, konstitusi baru memberikan kompromi terhadap ancaman penghukuman yang mendestabilisasi peran kekaisaran. 37 Seperti pengadilan para raja di abad ke-18, batasan konstitusional terhadap kedaulatan kekaisaran menggariskan batasan normatif antara pemerintahan lama dengan rezim baru. Penyusunan konstitusi demikian, seperti pengadilan, memberikan legitimasi publik dan formal terhadap transformasi dari sistem politik lama. 38 Keadilan sang pemenang tidak berjalan sepenuhnya di Jerman. Meskipun Jerman menyerah tanpa syarat, perubahan politik dalam Perang Dingin memberikannya posisi tawar dalam rekonstruksi konstitusionalnya. Penguasa pendudukan memang mendorong, namun tidak mengendalikan rekonstruksi konstitusional. Maka, meskipun Sekutu menyerukan agar suatu badan konstituante bersidang untuk merancang konstitusi yang akan disahkan melalui plebisit umum, Jerman menentang tuntutan untuk menyusun 34 Untuk suatu tuduhan bahwa konstitusi gagal menciptakan otoritas dan stabilitas, lihat Arendt, On Revolution , 144-45. 35 Lihat Konstitusi Jepang, Bab III, Pasal 9. Bab I Konstitusi Jepang membahas perihal kekaisaran. Dalam Pasal 1, ia dijadikan “simbol negara”. Pasal 3 menyatakan: “Saran dan persetujuan Kabinet akan menjadi syarat untuk semua tindakan kaisar dalam hal kenegaraan, dan kabinet akan bertanggung jawab”. Pasal 4 menyatakan: “Kaisar ... tidak memiliki kekuasaan yang berkaitan dengan pemerintahan”. 36 Misalnya, Pasal 14 dalam Bab I menyatakan: “Semua warga setara di muka hukum dan tidak akan terdapat diskriminasi dalam hubungan politik, ekonomi dan sosial karena ras, kepercayaan, jenis kelamin, status sosial atau akar keluarga ... Kebangsawanan tidak akan diakui ... Tidak ada privilese yang diberikan bersama semua bentuk penghargaan ...” 37 Lihat Ian Buruma, The Wages of Guilt: Memories of War in Germany and Japan, New York: Farrar, Strauss, Giroux, 1994, 153-76. 38 Lihat umumnya Norman E. Tutorow ed., War Crimes, War Criminals and War Crime Trials: An Annotated Bibliography and Source Book , New York: Greenwood Press, 1986, 257-82 mendaftar sumber- sumber pengadilan kejahatan perang di Asia. 15 konstitusi permanen, dan mensahkan Basic Law yang dirancang untuk bersifat transitoris, untuk “menciptakan tatanan baru dalam kehidupan politik dalam masa transisional”. Basic law ini dirancang untuk diratifikasi oleh badan legislatif, dengan proses pleno untuk penyusunan konstitusi ditunda hingga setelah rencana reunifikasi, namun momen konstitusional ratifikasi ini tidak pernah terjadi. 39 Dalam model konstitusional yang lazim, kesementaraan Basic Law ini tidak dapat dijelaskan dengan baik. Namun, paradigma konstitusionalisme transisional dapat menjelaskan provisionalitas Basic Law ini dan komitmen normatifnya. Tujuan utamanya bersifat transformatif: untuk melawan penyalahgunaan kekuasaan yang memungkinkan terjadinya kejahatan oleh rezim lama. 40 Dengan demikian, Basic Law mengikuti model konstitusi kritis yang dijelaskan di atas. Tidak seperti konstitusi abad ke-18, dalam Basic Law, norma-norma konstitusional tentang ancaman terhadap demokrasi tidak hanya mencakup penyalahgunaan kekuasaan, namun mencapai kebijakan kekuasaan itu sendiri. Hal ini paling dapat dijelaskan melalui perspektif transisional. Arti keadilan konstitusional dalam perspektif transisional dikonseptualkan dan dikonstruksi berdasarkan rezim konstitusional dan politik yang mendahuluinya. Di Jerman, pelajaran dari Republik Weimar mengarahkan pemikiran konstitusional masa pasca-perang. Keberhasilan fasisme dianggap timbul dari skema konstitusional Weimar, yang menggabungkan eksekutif yang kuat dan legislatif yang lemah, yang memungkinkan timbulnya gerakan subversif. Untuk merespon hal ini, Basic Law secara agresif melawan kecenderungan fasis dalam tatanan politik yang berpuncak pada kediktatoran Nazi. Dalam Basic Law, kekuasaan kepresidenan dijadikan simbolis. Serupa dengan cara konstitusi Jepang pasca-perang memperlakukan kaisar, presiden Federal di Jerman tidak diberi kekuasaan; kekuasaan disebarkan kepada parlemen. 41 Seperti juga konstitusi Jepang, Basic Law Jerman juga mencerminkan bagaimana mekanisme pidana dan konstitusional memberikan respon alternatif bagi pemerintahan yang buruk di masa lalu. Baik penghukuman maupun penyusunan konstitusi memberikan batasan normatif terhadap penyalahgunaan kekuasaan negara seperti di masa lalu. Kedaulatan baru akan tercapai ketika Sekutu menghentikan proses pengadilan pendudukan dan Jerman memberikan komitmen untuk menyusun konstitusi. 42 Basic Law Jerman melarang penindasan rasial dan religius yang banyak terjadi pada masa rezim Nazi. Misalnya Pasal 3 3 menyatakan bahwa “tidak seorang pun boleh diprasangkai atau diberikan keuntungan karena jenis kelamin, keturunan ras, bahasa, daerah asal, kepercayaan atau opini agama dan politiknya”. 43 Sementara hak-hak kesetaraan demikian lazim terdapat dalam konstitusi modern, Basic Law memberikan perlindungan lebih dari sekadar 39 Lihat Basic Law for the Federal Republic of Germany 1949, diterjemahkan dalam Peter H. Merkl, The Origin of the West German Republic , New York: Oxford University Press, 1963, app. 213, hal. 319. Lihat juga Klaus H. Goetz dan Peter J. Cullen ed., Constitutional Policy in Unified Germany, Portland, Ore: Frank Cass, 1995 kumpuan artikel tentang konstitusionalisme Jerman. 40 Lihat Merkl, Origin of the West German Republic, 22-24, 80-89. 41 Bab V, berjudul “Presiden Federal”, tersusun oleh delapan pasal. Pasal 61 berkaitan dengan impeachment . Basic Law for the Federal Republic of Germany, diumumkan oleh Dewan Parlementer, 23 Mei 1949, dicetak ulang dalam Flanz, Constitutions of the World, jilid 7, Dobbs Ferry, N.Y: Oceana Publications, 1996. 42 Untuk tinjauan historis, lihat Frank M. Buscher, The War Crimes Trial Program in Germany, 1946-1955, New York: Greenwood Press, 1989, 161. 43 Basic law, Pasal 33. Pasal 41 menyatakan: “Kebebasan beragama dan berpikir bebas dan kebebasan menyatakan agama dan falsafah hidup tidak boleh dilanggar”. 16 perlindungan konvensional. Struktur normatif yang diciptakan oleh Basic Law sering kali dikatakan sebagai “demokrasi militan”. 44 Demokrasi militan mungkin merupakan konsep yang paradoksal, namun menunjukkan tujuan transformatif utama dari instrumen ini. Dengan memberikan persyaratan demokratis bagi individu dan partai politik, elemen-elemen non-liberal akan disingkirkan dari kehidupan politik. Suatu tatanan konstitusional yang militan tidak hanya siaga menghadapi penyalahgunaan kekuasaan negara, tetapi juga kedaulatan rakyat. 45 Konstitusionalisme transisional berjalan secara berbeda dari intuisi umum tentang peran konstitusionalisme. Perlindungan terhadap penindasan serupa di masa depan tidak terbatas pada pernyataan tentang hak-hak individual; konstitusi transisional tidak hanya memberikan batas terhadap mayoritas politik, namun juga pada sistem politik yang tidak liberal. Pandangan bahwa fasisme merupakan ekspresi politik yang bersifat populis mengarah pada usaha untuk membatasi ekspresi demikian, bahkan bila dilakukan oleh mayoritas sekalipun, yang merupakan suatu tindakan paradoksal dalam usaha mempertahankan demokrasi konstitusional. Sebagai instrumen konstitusional sementara, Basic Law mencerminkan berbagai tingkat transisionalitas dan kekokohan konstitusional. Beberapa norma konstitusional bersifat sementara, sedangkan yang lainnya yaitu yang berkaitan dengan nilai-nilai normatif liberal seperti perlindungan hak kesetaraan individual bersifat amat kukuh dan tidak dapat diutak-atik, 46 dan dengan demikian mendefinisikan identitas politik liberal negara tersebut. Basic Law Jerman, seperti diinterpretasikan pengadilan konstitusional negara itu, menjadi penjaga negara liberal. Ia bisa dibandingkan dengan konstitusi pasca- apartheid Afrika Selatan 1993. Konstitusi pasca-perang ini menggambarkan konstitusionalisme dalam abad ketiganya. Dalam pergeseran meninggalkan pemerintahan otoriter, dengan latar belakang rezim konstitusional yang sudah ada, konstitusi demikian memainkan fungsi kritis: merekonstruksi kecenderungan konstitusional masa lalu yang terkait dengan kebijakan non-liberal. Sementara penyusunan konstitusi pasca-otoritarianisme sering kali tidak memiliki legitimasi melalui proses konstitusional penuh yang ada dalam model fondasionalis, delegitimasi terhadap rezim yang lama membuka jalan untuk rekonstruksi konstitusional. Konstitusi pasca-perang tidak dapat dijelaskan dalam model konstitusional yang diidealisasi, karena tidak bisa dianggap sebagai ekspresi sepenuhnya konsensus masyarakat dan agenda revolusioner. Sering kali bahkan konstitusi merupakan hasil proses politik yang bertentangan dengan itu. Ketiadaan konsensus masyarakat dalam proses penyusunan konstitusi dan ketiadaan komitmen demokratis yang terdapat dalam pandangan tentang konstitusi sebagai dasar politik juga tampak dalam prinsip 44 Lihat Donald P. Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, edisi kedua, Durham: Duke University Press, 1997. Untuk ilustrasi tentang prinsip konstitusional ini dalam Keputusan Pengadilan Konstitusional Federal, lihat, Socialist Reich Party Case, 2 BverfGE 1 Jerman 1952, diterjemahkan dalam Kommers, Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, 218. Lihat juga Donald P. Kommers, “German Constitutionalism: A Prolegomenon”, Emory Law Journal 40 1991: 854. 45 Partai-partai politik yang “tujuannya atau tindakan pengikutnya, berusaha untuk melemahkan atau menyingkirkan tatanan mendasar demokrasi bebas atau mengancam eksistensi Republik Federal Jerman, dianggap inkonstitusional”, Basic Law, Pasal 21 § 2. Individu kehilangan hak konstitusionalnya untuk berekspresi bila terjadi penyalahgunaan ucapan, pers, pendidikan dan berkumpul “untuk melemahkan tatanan mendasar demokrasi bebas” Pasal 18. Lihat bab sebelumnya “Keadilan Administratif”. 46 Lihat Basic Law, Pasal 74 § 3 menetapkan bahwa “prinsip-prinsip mendasar” dalam Pasal 1 dan 20 tidak boleh diamendemen :hingga jangka waktu yang tidak terbatas” atau “abadi”. 17 normatif konstitusi-konstitusi tersebut. Konstitusi modern biasanya dirancang sebagai struktur untuk membatasi kekuasaan negara, namun konstitusi transisional melawan kecenderungan tidak liberal secara lebih luas. Dalam teori realis, konstitusi dapat dijelaskan melalui perimbangan kekuasaan. Namun, anggapan tentang konstitusionalisme sebagai produk perimbangan kekuasaan tidak dapat menjelaskan transisi total, seperti setelah berakhirnya perang, penyerahan tanpa syarat dan keruntuhan rezim lainnya. Baik model idealis maupun realis mengasumsikan bahwa kemenangan rezim revolusioner terhadap rezim pendahulunya memiliki arti bahwa penyusunan konstitusi akan sepenuhnya memandang ke depan. Namun, karena struktur normatif konstitusional tersebut tidak dijelaskan oleh tipe ideal atau penjelasan berdasarkan perimbangan kekuasaan masa kini, mereka menunjukkan suatu model konstitusi transisional yang khas. Revolusi Damai dan Konstitusinya Apa implikasi bagi konstitusionalisme revolusi damai? Seperti dalam banyak transisi pasca-otoritarianisme, keruntuhan komunisme terjadi setelah jatuhnya rezim komunis yang berkuasa, atau perubahan politik sebagai hasil negosiasi. 47 Perubahan politik di bekas blok Soviet pada umumnya terjadi secara damai, perubahan konstitusional di kawasan ini tidak mengikuti model dominan yang berpola pada revolusi gaya abad ke-18. Revolusi damai demikian biasanya tidak memiliki satu titik balik pemutusan dengan rezem lama, sehingga tidak berpuncak pada perubahan konstitusional secara mendasar. Bertahun-tahun setelah perubahan politik, di sebagian besar negara di kawasan tersebut, terdapat kontinuitas konstitusional. Yang terjadi adalah munculnya konstitusionalisme transisional yang menunjukkan aspek-aspek residual. Bahkan negara-negara yang berada dalam tahapan reformasi ekonomi yang lebih lanjut masih bergantung pada dokumen- dokumen era komunis yang telah direvisi. 48 47 Lihat Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, Norman: University of Oklahoma Press, 1979, 23-24. Tentang transisi Eropa Timur, lihat umumnya Timothy Garton Ash, The Magic Lantern: The Revolution of ’89 Witnessed in Warsaw, Budapest, Berlin and Prague, New York: Random House, 1990; Ivo Banac ed., Eastern Europe in Revolution, Ithaca: Cornell University Press, 1992; John Feffer, Shock Waves: Eastern Europe after the Revolutions, Boston: South End Press, 1992,dan Ken Jowitt, New World Disorder: The Leninist Distinction, Berkeley: University of California Press, 1992. 48 Hongaria, misalnya, masih menggunakan konstitusi era Soviet yang telah diperbaiki. Lihat Andrew Arato, “The Constitution Making Endgame in Hungary”, East European Constitutional Review 5 musim gugur 1996: 31. Lihat umumnya Péter Paczolay, “The New Hungarian Constitutional State: Challenges and Perspectives”, dalam A. E. Dick Howard ed., Constitutional Making in Eastern Europe, Washington, D.C: Woodrow Wilson Center Press, 1993, 21; Edith Otlay, “Toward the Rule of Law – Hungary”, Radio Free Europe and Radio Liberty Research Report 1992: 16. Dalam sebagian besar masa transisinya, Polandia menggunaan Konstitusi Kecil, suatu konstitusi sementara yang hanya menjelaskan struktur umum sistem politik. Lihat Andrzej Rapaczynski, “Constitutional Politics in Poland: A Report on the Constitutional Committee of the Polish Parliament”, University of Chicago Law Review 58 1991: 595. Baru pada bulan April 1997 dicapai konsensus tentang konstitusi baru. Lihat Andrzej Rzeplinski, “The Polish Bill of Rights and Freedoms: The Case Study of Constitution-Making in Poland”, East European Constitutional Review 2 musim panas 1993: 26. Lihat juga Wiktor Osiatynski, “A Bill of Rights for Poland”, East European Constitutional Review 1 musim gugur 1992: 29. Di Rusia, perdebatan tentang legitimasi parlemen era Soviet dan konstitusi mengarah pada krisis yang berpuncak pada keputusan 18 Apa yang diakibatkan perubahan politik yang mulus – atau revolusi damai – terhadap perubahan konstitusional? Bila revolusi dengan kekerasan memiliki arti pemutusan dengan rezim konstitusional lama, revolusi damai berarti terdapat kontinuitas. Dilema ketegangan antara konstitusionalisme dan perubahan politik menjadi hilang, karena tidak terdapat diskontinuitas. Seperti dalam transisi hasil negosiasi lainnya, konstitusi berperan dalam meratifikasi kesepakatan yang mengkonstruksi pergeseran politik, 49 selain mengembalikan tatanan konstitusional dari masa sebelum revolusi. 50 Konstitusionalisme pasca-komunis menunjukkan beberapa kemiripan antara teori perubahan politik yang berlangsung seperti “domino” setelah keruntuhan Soviet, demikian pula terjadi pada perubahan konstitusionalisme. Perubahan konstitusional terjadi melalui negosiasi, bukan melalui kedaulatan rakyat. Sebaliknya, perubahan konstitusional yang pertama terjadi melalui tawar menawar antara elite-elite politik. Dalam revolusi damai, rezim pendahulu tidak diruntuhkan, namun diturunkan dengan hati-hati. Amendemen konstitusional digunakan untuk meratifikasi pergeseran dari satu rezim politik ke rezim politik lainnya. Dalam transisi ternegosiasi, perubahan konstitusional pertama adalah untuk mencabut tatanan kekuasaan. Di seluruh kawasan ini, amendemen konstitusional digunakan untuk mencabut privilese partai komunis. Proses amendemen di Hongaria dan Polandia, misalnya, langkah pertamanya adalah mencabut kekuasaan dari partai komunis yang dominan, dan melindungi partai-partai minoritas. Jadi, perubahan konstitusional pasca-komunis lebih berkaitan dengan pembatasan kekuasaan partai daripada pembatasan kekuasaan negara. Di sini terdapat kemiripan dengan Basic Law Jerman, dan respon konstitusional terhadap totalitarianisme. Babak pertama perubahan konstitusional ini bersifat sementara, mencerminkan kemiripan dengan respon legal transisional lainnya. Proses konstitusional di wilayah ini bukanlah tahap puncak dalam perubahan revolusioner, namun terkait erat ekstrakonstitusional. Lihat umumnya Dwight Semler, “The End of the First Russian Republic”, East European Constitutional Review 3 musim dingin 1994: 107; Vera Tolz, “The Moscow Crisis and the Future of Democracy in Russia”, Radio Free Europe and Radio Liberty Research Report 1993: 1. Di Estonia, pemilihan umum di tahun 1992 diadakan sesuai konstitusi 1938 yang komunis. Pemilihan presiden dan anggota parlemen pada tanggal 20 September 1992 dijalankan sesuai dengan aturan dalan Konstitusi 1938. Lihat “Constitutional Watch”, East European Constitutional Review 1 musim gugur 1992: 2, 5. Di Albania, hingga tahun 1994, konstitusi baru belum disahkan. Lihat Constitutional Watch: East European Constitutional Review 3 musim semi 1994: 2. “Undang-Undang tentang Perihal Konstitusional yang Utama” yang bersifat sementara masih tetap berlaku. 49 Lihat umumnya Paczolav, “New Hungarian Constitutional State”, 21; Jon Elster, “Constitutionalism in Eastern Europe: An Introduction”, University of Chicago Law review 58 1991: 447 tinjauan dan analisis terhadap transisi menuju demokrasi konstitusional di Eropa Timur. Bagi sebagian besar negara di bekas blok Soviet, pergeseran menuju rezim yang dipilih secara demokratis dilakukan melalui pembicaraan antara partai komunis dengan oposisi. Lihat umumnya Jon Elster ed., The Roundtable Talks and the Breakdown of Communism , Chicago: University of Chicago Press, 1996 tinjauan mendalam tentang proses tawar menawar yang memungkinkan transisi. Di Hongaria, proses penyelesaian negosiasi dengan penyusunan rancangan konstitusi berlangsung dalam proses yang selalu terancam runtuhnya konsensus politik. Dengan demikian, proses amendemen konstitusi tidak dilakukan melalui pertimbangan yang panjang, dan segera diputuskan oleh Parlemen yang mensahkan amendemen tersebut. Lihat Arato, Constitution-Making Endgame in Hungary , 685. 50 Lihat András Sajó, “Preferred Generations: A Paradox of Restoration Constitutions”, Cardozo Law Review 14 1993: 853-57. Untuk diskusi tentang fenomena kontinuitas konstitusional di Eropa Tengah dan Timur, lihat umumnya Preuss, Constitutional Revolution, dan Andrew Arato, “Dilemmas Arising from the Power to Create Constitutions in Eastern Europe”, dalam Michel Rosenfeld ed., Constitutionalism, Identity, Difference and Legimacy, Durham: Duke University Press, 1994, 165. 19 dengan proses politik yang bertahap. Perubahan konstitusional seperti itu terkait dengan perubahan politik, sehingga tidak dapat dipisahkan. Namun, legitimasi perubahan di Hongaria secara jelas digambarkan “transisonal”, juga amendemen terhadap konstitusi era Stalin di Polandia dikatakan sebagai “Konstitusi Kecil”. Lima tahun setelah revolusi, Polandia dan Hongaria akhirnya mengadakan perubahan konstitusional yang mendalam, mengarah ke suatu deklarasi tentang hak-hak asasi. 51 Alih-alih mengikuti model ideal penyusunan konstitusi sebagai ekspresi mendasar konsensus politik yang sudah ada, di sini amendemen konstitusional dilaksanakan paling awal, yang meletakkan dasar untuk perubahan politik lebih lanjut. Jadi, konstitusionalisme revolusi damai menantang pemahaman fondasionalis tentang kaitan antara konstitusi dan revolusi. Satu wajah lain dari konstitusionalisme pasca-komunis adalah konstitusionalisme “restoratif”. Di bekas Cekoslowakia, revolusi dimulai pada bulan November 1989, dengan demonstrasi memperingati lima puluh tahun penutupan universitas-universitas di Cekoslowakia oleh pasukan pendudukan Jerman. Hal ini menggarisbawahi nilai historis pendudukan politik di wilayah tersebut. Pada akhir pendudukan politik, terdapat dorongan untuk kembali ke tatanan konstitusional yang telah ada sebelum pendudukan. Oleh penulis, dimensi dari konstitusionalisme transisional ini dikatakan sebagai “konstitusionalisme restorasi”. 52 Di blok bekas komunis, konstitusionalisme restorasi banyak terjadi, menunjukkan keinginan untuk kembali ke rezim konstitusional sebelum era komunis. Di bekas Cekoslowakia, Konstitusi 1920 menjadi dasar rancangan untuk konstitusi “baru” setelah revolusi. Di Latvia, elemen-elemen konstitusi 1922 beserta undang-undang yang disahkan oleh parlemen telah berlaku sejak bulan Mei 1990. Konstitusi 1938 menjadi dasar rancangan konstitusi baru di Estonia, dan dasar rancangan konstitusi Georgia adalah konstitusi 1921. 53 Kembali ke konstitusi restorasi ini memungkinkan negara-negara tersebut mampu menghindari rezim konstitusional yang terkait dengan komunisme. Namun, beberapa negara kembali ke struktur konstitusional restoratif ini hanya karena nostalgia dan keinginan untuk mencapai stabilitas. Bahkan, penggunaan istilah restorasi ini menunjukkan adanya tarikan normatif dari tatanan lama. Namun, restorasi pasca-komunis diragukan memberikan stabilitas. Meskipun rezim- rezim ini merupakan ekspresi identitas tradisional dan nasional, mereka tidak bisa dianggap mencerminkan konsensus sosial yang ada. Namun, konstitusi restorasi memiliki daya tarik normatif yang bisa menghindarkan dilema awal konstitusional. Dengan konstitusionalisme restorasi, tidak ada awal yang baru, hanya kembali ke tatanan yang telah ada. Konstitusionalisme demikian menghilangkan ketegangan yang terdapat dalam konstitusionalisme dalam masa perubahan politik. 51 Tentang Hongaria, lihat “Constitution Watch: Hungary”, East European Constitutional Review 5 musim dingin 1996: 10, tentang Polandia, lihat “Constitution Watch: Poland”, East European Constitutional Review 5 musim dingin 1996: 16-17. 52 Restorasi memiliki kemiripan dengan perubahan “reaksioner”. Lihat Albert O. Hirschman, The Rhetoric of Reaction: Perversity, Futility, Jeopardy , Cambridge: Harvard University Press, Belknap Press, 1991, 1- 10 tentang perubahan “reaksioner”. 53 Lihat Lloyd Cutler dan Herman Schwartz, “Constitutional Reform in Czechoslovakia: E Duobus Unum?” University of Chicago Law Review 58 1991: 531-36; Constitution Watch: Latvia”, East Euroean Constitutional Review 2 musim semi 1993: 8-9; “Constitution Watch: Estonia”, East Euroean Constitutional Review 1 musim gugur 1992: 5; Rancangan Konstitusi Georgia arsip Center for the Study of Constitutionalism in Eastern and Central Europe, University of Chicago. 20 Kasus-kasus ini menggambarkan berbagai modalitas konstitusionalisme transisional. Bila terdapat perubahan konstitusional, ia tidak berlangsung melalui lembaga atau prosedur khusus, namun secara bertahap, melalui negosiasi dan proses politik biasa. Perubahan konstitusional demikian tidak dapat dilepaskan dari proses perubahan politik. Banyak bagian dari tatanan konstitusional baru ini bersifat residual, mencerminkan kontinuitas konstitusional. Perubahan konstitusional yang transformatif dalam hal ini sering berarti kembali ke tatanan politik dan konstitusional yang sudah ada sebelum totalitarianisme, suatu bentuk konstitusionalisme restorasi. Konstitusi Amerika: Tinjauan Transisional Akhirnya, kita akan membahas konstitusi Amerika, contoh utama dalam paradigma penyusunan konstitusi fondasional. Meskipun memiliki status ini, kasus Amerika ini tidak sepenuhnya sesuai dengan model teoretik yang dominan, sehingga menunjukkan bahwa model ini tidak lengkap dan harus ditunjang dengan model lainnya. Pengisahan kembali penyusunan konstitusi Amerika dari perspektif transisional menambahkan narasi lain terhadap tinjauan yang lazim diterima. Dalam versi idealnya, revolusi Amerika berpuncak dengan penyusunan konstitusi. Konstitusi ini mengandung hal-hal yang bersifat temporer yang berkait dengan revolusi, sekaligus hal-hal yang bersifat permanen. 54 Namun, kaitan antara konstitusi Amerika dan revolusi Amerika mencerminkan konstitusionalisme transisional baik dalam proses maupun mandat normatifnya. Terdapat suatu kemajuan bertahap dari konstitusionalisme yang memandang ke belakang menuju konstitusionalisme yang memandang ke depan. Revolusi tidak langsung memuncak pada konstitusi yang fondasionalis, namun menghasilkan sejumlah dokumen yang bersifat konstitutif. Seperangkat perubahan konstitusional yang digerakkan oleh revolusi mendorong diterimanya Konstitusi pada tahun 1787. Rangkaian dokumen konstitutif ini diawali dengan pernyataan justifikasi dalam Deklarasi Kemerdekaan untuk melepaskan diri dari rezim lama. Bahkan, ketika para perintis bangsa bersidang pada tahun 1787, tujuannya adalah untuk mengamendemen traktat konstitutif yang sudah ada. 55 Dalam lima tahun pertama setelah revolusi, Articles of Confederation merupakan respon transformatif dan kritis terhadap suatu rezim yang dicirikan oleh kekuasaan negara yang minimal. Meskipun beberapa pakar menyatakan bahwa Konstitusi 1787 menginporporasikan Deklarasi, klaim serupa tidak diterapkan terhadap Articles of Confederation. Namun secara implisit, Konstitusi memiliki kontinuitas dengan Articles of Confederation. 56 Suatu skema kekuasaan negara yang lebih ekspansif baru diciptakan setelah disahkannya Konstitusi 1787. Penambahan 54 Untuk tinjauan, lihat Paul W. Kahn, Legitimacy and History: Self-Government in Constitutional Theory, New Haven: Yale University Press, 1992, 58-59 tentang proses konstitusionalisme yang bergeser dari revolusi ke pemeliharaan. 55 Lihat Richard B. Bernstein, Are We to Be A Nation? The Making of the Constitution, Cambridge: Harvard University Press, 1987, 106. Untuk argumen bahwa kontinuitas antara revolusi Amerika dan Konstitusi Amerika Serikat adalah bagian dari suatu pengalaman politik yang utuh, lihat David A. J. Richards, “Revolution and Constitutionalism in America”, Cardozo Law Review 14 1993: 577-78. 56 Sebagai contoh, Serikat mengambil alih hutang Konfederasi. Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Artikel VI, § 1. 21 Bill of Rights dan amendemen pasca-Perang Saudara ke dalam Konstitusi Amerika menunjukkan tahap-tahap konstitutif berikutnya. 57 Dengan sudut pandang ini, sejarah penyusunan Konstitusi Amerika memiliki kemiripan dengan konstitusionalisme transisional. Transisi ini tidak terlalu dramatis, dengan jarak waktu antara Revolusi Amerika dan disahkannya Konstitusi, dan sifat transisi Amerika dari monarki terbatas, bukan dari bentuk kediktatoran yang lebih buruk. Transisi demikian tampak konservatif dibandingkan model lainnya yang dibicarakan di sini; instrumen konstitusional Amerika sendiri mencerminkan hal ini. Bahkan, bisa dianggap terdapat kontinuum transisi dalam hal nuansa dan lingkup perubahan ke arah liberalisme. Dari perspektif transisional, Konstitusi Amerika bukanlah instrumen dasar yang monolitik, namun suatu dokumen yang kontekstual. Penggambaran proses penyusunan Konstitusi Amerika sebagai peletakan dasar secara sadar mengabaikan keberadaan konflik antara para perintis bangsa dan juga tujuan penyusunannya. 58 Analisis transisional menunjukkan Konstitusi yang tidak tampak ini, bagian-bagian yang terkait erat dengan kondisi sejarah dan politik masa tersebut. Bahwa provisi-provisi tersebut cenderung diabaikan oleh para pakar kontemporer mungkin disebabkan karena sifatnya yang temporer. Satu ciri utama yang menunjukkan transisionalitas konstitusi Amerika adalah provisinya untuk amendemen. 59 Karena proses amendemen sukar dijelaskan dalam model teoretik yang dominan, ia mendorong perdebatan yang panas antara para pakar. Banyak teori konstitusional kontemporer berfokus pada pertanyaan tentang bagaimana mendamaikan pandangan fondasionalis idealis kontemporer tentang konstitusi yang abadi, dengan perubahan konstitusional, baik yang didasarkan pada proses amendemen Artikel V, melalui prinsip-prinsip interpretasi konstitusional yang berbeda dari pemandangan awal, atau dengan cara-cara lainnya. 60 Paradigma yang ditunjukkan dalam bab ini beranggapan bahwa proses amendemen tidak bisa dilihat secara terpisah dari aspek-aspek lain dari perubahan konstitusional. Dalam rangkaian penyusunan Konstitusi Amerika, struktur konstitusional yang mendahuluinya adalah syarat sebelum tercapainya pengakuan terhadap hak-hak individual. Transisionalitas juga menandakan provisi konstitusional tentang hak, yang terutama bersangkutan dengan isu perbudakan yang kontroversial. Konstitusi 1787 menunda semua perubahan tentang peraturan federal tentang perdagangan budak hingga 57 Untuk klaim bahwa terdapat tiga tahapan konstitutif, lihat Ackerman, We the People: Foundations, Cambridge: Harvard University Press, Belknap Press, 1991, 40, 58. 58 Bandingkan “James Madison to Thomas Jefferson, 4 Februari 1790”, dalam Marvin Meyers ed., The Mind of the Founder: Sources of Political Thought of James Madison , edisi revisi, Hannover, N. H: University Press of New England, 1981 untuk Brandeis Uniersity Press: 175-79 menggambarkan skeptisisme tentang keuntungan perubahan dan revisi konstitusional yang terlalu sering, dengan “Thomas Jefferson to James Madison, 30 January 1787”, dalam Merril D. Peterson ed., The Portable Thomas Jefferson , Harmondsworth, Inggris dan New York: Penguin Books, Viking Portable Library, 1977, 415, 417 menyatakan bahwa “sedikit pemberontakan kadang kala akan menjadi hal yang baik”. 59 Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Artikel V “Kongres, bila dua pertiga dari kedua kamarnya menganggap perlu, akan menyarankan amendemen untuk konstitusi, atau dengan permintaan badan legislatif dari dua per tiga negara-negara bagian, akan bersidang untuk menyarankan amendemen ... . Tentang rposes amendemen, lihat Sanford Levinson ed., Responding to Imperfection: The Theory and Practice of Constitutional Amendment , Princeton: Princeton University Press, 1995. 60 Lihat Akhil Reed Amar, “Philadelphia Revisited: Amending the Constitution Outside Article V”, University of Chicago Law Review 55 1988: 1044 mengevaluasi apakah Artikel V merupakan satu- satunya sumber perubahan konstitusional. 22 tahun 1898. 61 Terlihat bahwa keputusan ini memiliki dua sisi. Ada satu konstitusi untuk saat ini, saat ketika perdebatan politik dibatasi dan solusi federal dipaksakan. Penggunaan redaksi provisional dalam dokumen ini membiarkan kemungkinan penyelesaian prospektif yang lain. Analisis ini didukung oleh pelarangan eksplisit dalam Artikel V terhadap amendemen demikian hingga tahun 1808. 62 Dalam kasus yang mungkin paling berpotensi menimbulkan masalah di negara itu, Konstitusi hanya menawarkan prinsip pemandu yang sementara. Suatu perspektif transisional juga menjelaskan pemahaman khas tentang keadilan konstitusional. Perlindungan konstitusi terhadap kebebasan dan konsep tirani yang terkait bisa lebih dipahami dalam konteks pemerintahan kolonial. 63 Respon konstitusional yang utama, yang sering kali dianggap sebagai puncak pencapaian dalam Konstitusi, adalah rekonstruksi kekuasaan negara. Bahkan, pembelaan Federalis terhadap skema kekuasaan negara yang baru ini disusun berdasarkan argumen sejarah, berdasarkan pengalaman tirani yang dicirikan oleh kedaulatan parlementer Inggris. 64 Respon kritis Konstitusi terhadap pemerintahan monarki adalah definisinya tentang kekuasaan eksekutif; suatu respon yang lebih keras terhadap besarnya kekuasaan eksekutif tampak dalam instrumen konstitusional sementara yang diciptakan setelah Revolusi. 65 Hal serupa tampak dalam konstitusi negara-negara bagian, yang membatasi kewenangan dan kekuasaan para gubernur. 66 61 Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Artikel I, § 9, klausul 1 “Migrasi atau pengimporan orang-orang demikian seperti dianggap layak oleh negara-negara bagian yang sudah ada, tidak akan dilarang oleh Kongres sebelum tahun seribu delapan ratus delapan ...”. Konstitusi juga memiliki provisi tentang penangkapan dan ekstradisi budak yang melarikan diri. Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Artikel IV, § 2, klausul 3. 62 Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Artikel V. 63 Lihat Gordon S. Wood, The Creation of the American Republic, 1776-1787, Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1969 tentang dampak masa pemerintahan kolonial dalam embentuk Serikat. 64 Lihat James Madison, The Federalist, No. 47, ed. Clinton Rossiter, Middletown, Conn: Wesleyan University Press, 1961, 301 “akumulasi semua kekuasaan, legislatif, eksekutif dan judikatif, dalam tangan yang sama, baik seseorang, beberapa atau banyak, dan baik berdasarkan keturunan, penunjukkan diri atau pemilihan, dapat dianggap sebagai definisi tirani itu sendiri”. 65 Pada masa Articles of Confederation 1791, ketidakpercayaan terhadap sentralisasi kekuasaan sedemikian kuat sehingga Kongres tidak dapat menarik pajak dan mengatur perdagangan. Pasal VIII menyatakan: Biaya yang akan dikeluarkan untuk pertahanan atau kesejahteraan bersama, dan diizinkan oleh sidang Kongres Amerika Serikat, akan ditanggung dari perbendaharaan bersama, yang akan ditunjang oleh beberapa negara bagian, sesuai dengan nilai semua tanah dalam masing-masing negara bagian ... Pajak untuk melunasi hal itu akan ditetapkan dan dilaksanakan oleh otoritas dan arahan badan legislatif negara hukum. Pasal IX, selanjutnya, menyatakan: Amerika Serikat dalam sidang Kongres, harus mempunyai hak istimewa dan eksklusif dan kekuasaan atas ... masuk ke dalam perjanjian-perjanjian dan aliansi, dengan syarat bahwa tak ada perjanjian komersial yang akan dibuat dari mana kekuasaan legislatif atas Negara bersangkutan dihalangi atas ... pelarangan terhadap ekspor dan impor dari berbagai jenis barang atau komoditi apa pun .... Untuk argumen yang menganjurkan suatu bacaan atas Konstitusi Amerika dalam perspektif warisan sejarahnya berkenaan dengan Articles of Confederation, kendati tidak sama sekali eksplisit bersifat sebagai 23 Kalau kebanyakan pemerintahan monarkis beralih dari sistem eksekutif yang kuat ke sistem parlementer, maka Amerika Serikat tampak unik dan khas dalam peralihan ke sistem presidensil. Anomali Amerika ini paling baik dijelaskan dalam suatu analisis transisional. 67 Justifikasi untuk struktur kekuasaan eksekutif bersandar pada pengalaman historis dari pemerintahan monarkis sebelumnya. Alasan dalam argumen para Federalis untuk kekuasaan eksekutif yang dikedepankan itu didasarkan pada refleksi ke belakang, ke masa pemerintahan raja. Sementara kekuasaan raja tak terbatas, maka kekuasaan presiden dengan masa pemerintahan empat tahun bisa mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Gambaran lain dari kekuasaan presidensil yang dikedepankan itu memiliki justifikasi yang analog: Karena hak veto raja itu bersifat mutlak, maka tidak demikian dengan presiden; presiden mempunyai hak veto yang terbatas dan dipakai seperlunya saja untuk hal yang memang sangat perlu. Pemaparan kekuasaan monarkis dalam sejarah digunakan untuk menjustifikasi atau memperkuat dukungan terhadap ide kekuasaan presidensil dalam hal membuat perjanjian dan kekuasaan menyatakan perang yang terbatas. 68 Provisi-provisi Konstitusi yang berkenaan dengan pemerintahan republikan juga menganjurkan suatu fungsi transformatif. Pertama, penyusunan-ulang konstitusi terhadap tatanan politik terjadi melalui redefinisi terhadap partisipasi, keanggotaan, dan kepemimpinan politik. Gambaran anti-aristokratik tampak dalam sejumlah provisi konstitusi, paling jelas tampak dalam pernyataan soal larangan atas “kebangsawanan”. Persyaratan kualifikasi dan jangka waktu bagi partisipasi dan representasi politik memperlihatkan adanya respon yang kritis terhadap tatanan politik yang lama. 69 Alokasi kekuasaan militer dan sipil memperlihatkan respon terhadap penyalahgunaan kekuasaan transisional, lihat Akhil Reed Amar, “The Bill of Rights as a Constitution”, Yale Law Journal 100 1991: 1131. 66 Lihat Daniel A. Farber dan Suzanna Sherry, A History of the American Constitution, New York: West Publishing, 1990, 80-81. 67 Lihat Karl Lowenstein, “The Presidency Outside the United States: A Study in Comparative Political Institutions”, Journal of Politics 11 1949; 462. 68 Lihat Alexander Hamilton, The Federalist No. 69, ed. Clinton Rossiter, Middletown, Conn.: Wesleyan University Press, 1961, 415-20. 69 Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Pasal I, 9, cl 8 Tak ada gelar kebangsawanan yang boleh diberikan oleh Amerika Serikat: Dan tak satu Orang pun yang memimpin Kantor apa pun atau Perusahaan atau Kartel apa pun di bawah mereka, yang boleh, tanpa Persetujuan dari Kongres, menerima berbagai anugerah, Pengahargaan, Jabatan atau Gelar, dari berbagai jenis apa pun, dari RajaRatuPangeran siapa pun, atau dari Negara asing”, Pasal I, 10, cl I “Tak ada Negara yang boleh … memberikan berbagai Gelar Kebangsawanan”; Alexander Hamilton, The Federalist No. 84, ed. Clinton Rossiter, Middletown, Conn.: Wesleyan University Press, 1961, 511-14; Konstitusi Amerika Serikat, Pasal I, 2, Pasal II, 1, Pasal III, 1. Lihat juga James Madison, The Federalist Nos.52,53, ed. Clinton Rossiter, Middletown, Conn.: Wesleyan University Press, 1961, 327-32. 24 oleh rezim militer. 70 Suatu perspektif transisional menjelaskan pemahaman kontemporer tentang hak-hak, seperti Amendemen Kedua. 71 Suatu gambaran jelas tentang konstitusionalisme transisional ada dalam Rekonstruksi, suatu masa pergolakan tentang bagaimana mentransformasi Serikat. Amendemen Rekonstruksi tampak sangat memandang ke belakang, karena mereka secara normatif membangun struktur status konstitusional pemisahan oleh Konfederasi. 72 Amendemen tersebut merespon kejahatan perbudakan dengan menerapkan kewajiban baru terhadap negara-negara bagian selatan; hanya dengan mengakui prinsip kesetaraan di muka hukum, negara-negara bagian tersebut dapat masuk kembali ke dalam Serikat dan direpresentasikan secara setara dalam Kongres. 73 Syarat memegang jabatan dalam Amendemen IV mendiskualifikasi para pendukung Konfederasi. 74 Pelucutan politik dalam Rekonstruksi tidak berumur panjang; hampir semuanya dicabut oleh Kongres pada tahun 1872. 75 Namun, mereka tetap ada dalam teks Konstitusi Amerika sebagai ekspresi abadi politik ekstrakonstitusional. Pemahaman terhadap kaitan transisional antara hukum konstitusional dan politik pasca-Perang Saudara memiliki implikasi mendalam bagi perdebatan kontemporer tentang interpretasi amendemen Rekonstruksi. 76 Suatu perspektif transisional dapat mengevaluasi jurisprudensi Rekonstruksi dalam konteks transformasi politik, dengan implikasi bagi kontroversi kontemporer. 70 Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Pasal I, 8, cls. 11-16 yang memberikan kepada Kongres suatu kekuasaan militer yang signifikan, Amendemen II “Suatu kelompok Milisi yang tertata dengan baik, yang dipandang perlu untuk keamanan sebuah negara yang bebas, hak rakyat untuk menjaga dan mempunyai Angkatan Bersenjata, harus dilarang”, Amendemen III “Tak boleh ada prajurit yang dalam masa damai ditempatkan di suatu rumah tanpa persetujuan dari sang Pemilik, tidak juga dalam waktu perang, kecuali dengan cara yang ditentukan dan disahkan secara hukum”. 71 Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen II; Sanford Levinson, “Comment: The Embarassing Second Amendment”, Yale Law Journal 99 1989: 648 mencatat bahwa salah satu dasar Amendemen Kedua adalah “kecemasan terhadap korupsi politik dan tirani oleh pemerintah”. 72 Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen XIV, § 4 “Amerika Serikat maupun negara lainnya tidak akan menanggung atau membayar hutang atau kewajiban yang ditimbulkan dari bantuannya terhadap insureksi atau pemberontakan melawan Amerika Serikat ... semua hutang, kewajiban dan klaim demikian akan dianggap ilegal dan tidak sah”. 73 Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen XIV, §§ 1-2 74 Amendemen Keempat-belas menyatakan: Tidak seorang pun dapat menjadi Senator atau Wakil dalam Kongres, atau Pemilih Presiden dan Wakil Presiden, atau memegang jabatan apa pun, sipil atau militer, dalam Amerika Serikat, atau dalam negara-negara bagiannya yang mana pun, yang sebelumnya telah mengambil sumpah, sebagai anggota Kongres, atau sebagai pejabat Amerika Serikat, atau sebagai anggota badan legislatif negara-negara bagiannya yang mana pun, untuk menjunjung Konstitusi Amerika Serikat, [namun] telah melakukan insureksi atau pemberontakan terhadap [Konstitusi] tersebut, atau memberikan bantuan kepada musuh-musuh [Konstitusi]. Namun Kongres bisa, dengan melakukan pemungutan suara yang dispakati dua per tiga dari masing-masing kamar, mencabut pelucutan tersebut. Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen XIV, § 3. Bagian ini mulai diberlakukan pada bulan Juli 1868. 75 Lihat Kenneth M. Stampp, The Era of Reconstruction, New York: Knopf, 1970, 170. 76 Bandingkan Raoul Berger, Government by Judiciary: The Transformation of the Fourteenth Amendment, Cambridge: Harvard University Press, 1977, 167 menyatakan bahwa “para penyusunnya bertujuan untuk melarang diskriminasi dengan memperhatikan privilese tercantum” dan bahwa mereka tidak bertujuan “untuk menjangkau sasaran yang tidak dijelaskan dalam Civil Rights Act dan dikonstitusionalkan dalam amendemen”, dengan Robert J. Kaczorowski, “Revolutionary Constitutionalism in the Era of the Civil War and Reconstruction”, New York University Law Review 61 1986: 881-903, 910-35 menjelaskan amendemen dalam konteks teori republikan tentang kewarganegaraan federal dan sifat generik hak-hak asasi. 25 Bab ini telah menunjukkan berbagai cara memahami Konstitusi Amerika Serikat dari perspektif transisional. Dengan menawarkan pandangan yang lebih kontekstual tentang sifat dan peran konstitusionalisme, diskusi di atas melengkapi model yang telah lazim diterima. Konstitusionalisme transisional memiliki implikasi bagi interpretasi konstitusional. Suatu perspektif transisional memberikan pandangan yang unik bagi perdebatan tentang relevansi “tujuan semula” terhadap signifikansi kontemporer berbagai pasal konstitusi yang relevan. 77 Perspektif transisional memiliki kemiripan dengan model interpretasi konstitusi “ketaatan” fidelity yang menganggap bahwa konstitusi harus diteliti berdasarkan konteks sejarah dan politiknya. Dari perspektif transisional, masalah dengan teori interpretatif kaum originalis ini adalah bahwa mereka biasanya memiliki anggapan tentang suatu tujuan transformatif lain yang bersifat lebih dinamis. Perspektif transisional ini menambahkan pemahaman konstitusi sebagai kodifikasi, yaitu suatu tujuan yang transformatif dan dinamis. Penyelidikan interpretatif yang relevan adalah tentang sejauh mana konstitusi dianggap transisional dan apakah ia bersifat transformatif. Dengan perjalanan waktu, ciri-ciri transisional dari konstitusi akan tampak secara dinamis, baik menghilang atau meluas dalam tujuan transformatifnya. Gabungan dari tujuan-tujuan semula yang mungkin ini memberikan pendekatan yang lebih kontekstual bagi relevansi tujuan semula. Jadi, perspektif transisional menawarkan prinsip yang khas untuk interpretasi konstitusional, dengan konsekuensinya bagi pendekatan-pendekatan yang sudah ada. Konstitusionalisme Transisional: Beberapa Kesimpulan Teori konstitusional yang lazim diterima tidak cukup untuk menjelaskan fenomena konstitusional yang terkait dengan perubahan politik substansial, terutama pada akhir abad ke-20. Ide-ide utama konstitusionalisme modern adalah respon gaya abad ke-18 terhadap pemerintahan pra-modern dan batasannya terhadap tatanan politik. Namun, konstitusionalisme dalam abad ketiganya bersifat normatif sekaligus transformatif dalam merespon tatanan politik yang sudah ada. Konstitusionalisme demikian menunjukkan dialog antara berbagai modalitasnya: kritis, residual dan restoratif. Dengan demikian, paradigma ini membantu menjawab dilema batas minimal yang diciptakan oleh proses penyusunan konstitusi dalam masa revolusioner. Konstitusionalisme transisional menjembatani perubahan politik radikal dengan mendamaikan dikotomi pemahaman tentang kaitan hukum dan politik. Lebih lanjut lagi, transisi menunjukkan bagaimana 77 Lihat umumnya Berger, Government by Judiciary membela originalisme; Robert H. Bork, The Tempting of America: The Political Seduction of the Law , New York: Free Press, 1990; Robert H. Bork, “The Constitution, Original Intent and Economic Rights”, San Diego Law Review 23 1986: 823. Lihat juga Paul Brest, “The Misconceived Quest for the Original Understanding”, Boston University Law Review 60 1980: 204 mengkritik originalisme; Henry Monaghan, “Our Perfect Constitution”, New York University Law Review 56 1981: 374-87 mengkritik Brest; H. Jefferson Powel, “Riles for Originalist”, Virginia Law Review 73 1987: 659 menawarkan prinsip-prinsip tentang interpretasi originalis; Mark V. Tushnet, “Following the Rules Laid Down: A Critique of Interpretivism and Neutral Principles”, Harvard Law Review 96 1983: 786-804 membantah kemungkinan originalisme tanpa dasar komunitarian. Untuk perspektif tentang originalisme yang menunjukkan relevansinya sebagai dasar, lihat Jed Rubenfeld, “Reading the Constitution as Spoken”, Yale Law Journal 104 1995: 1119, yang menjelaskan originalisme sebagai model interpretasi “commitmentarian”. Tentang “ketaatan” pada konstitusi, lihat umumnya Larry Lessig, “Fidelity in Translation”, Texas Law Review 71 1993: 1165. 26 konstitusionalisme memperkuat demokrasi. Pada masa biasa, konstitusionalisme sering tampak bertentangan dengan demokrasi sederhana, namun dalam masa transisi, konstitusionalisme memainkan peran unik dalam memfasilitasi pergeseran menuju rezim yang lebih liberal. Konstitusionalisme transisional memberikan paradigma alternatif. Paradoks utama paradigma ini adalah bahwa seperti dalam konsepsi pra-modern, konstitusionalisme tidak berdiri terpisah dari tatanan politik, namun terkait amat erat dalam politik transformasi. Namun, seperti dalam konsepsi modern, konstitusi transisional juga melampaui tatanan politik biasa. Paradigma transisional ini mengelaborasikan kaitan yang lebih beragam antara politik kontitusional dengan politik biasa: Konstitusi konstitusional tidak saja merupakan kodifikasi konsensus yang sudah ada, namun juga mentransformasi konsensus tersebut. Lebih lanjut lagi, kedua konsepsi tujuan konstitusional ini tidak mutually exclusive; keduanya bisa terdapat dalam satu instrumen. Mereka sering kali terlihat demikian, misalnya dalam Konstitusi Amerika Serikat. Jadi, pandangan yang dikemukakan di sini melengkapi teori konstitusional yang lazim. Yang membedakan paradigma konstitusional transisional adalah kaitan konstruktifnya dengan tatanan politik yang sedang berubah. Konstitusionalisme transisonal mencakup berbagai tahap, dari instrumen sementara untuk membentuk tatanan politik sementara dalam jangka waktu terbatas, hingga hukum yang kukuh untuk memandu identitas politik utama suatu negara. Dalam perannya untuk memutuskan diri dari masa lalu, konstitusi transisional meratifikasi tatanan politik baru untuk meliberalisasi ruang politik, memungkinkan tatanan yang lebih liberal. Konstitusionalisme transisional bervariasi dari watak sementara hingga amat kukuh, bertugas untuk memelihara tatanan konstitusional di masa depan. Paradigma konstitusional transisional menjelaskan kontribusi khusus penyusunan konstitusi dalam masa-masa perubahan politik. Dengan mengabaikan kecenderungan umum untuk menggabungkan konstitusionalisme dengan perubahan politik radikal, paradigma yang dikemukakan di sini memberikan ruang dan bahasa untuk mengkritik sifat dan peran konstitusionalisme dalam masa transformasi. Paradigma konstitusionalisme transisional juga memiliki implikasi bagi pemahaman tentang kekuatan normatif konstitusionalisme dan kaitannya dengan penggunaan lain dari hukum. Konstitusionalisme kritis merupakan respon transformatif yang eksplisit terhadap pemerintahan represif di masa lalu. Dengan memberikan respon kritis terhadap rezim lama ini, konstitusionalisme transisional memberikan suatu rasa keadilan. Respon konstitusional kritis terhadap rezim politik pendahulu ini memberikan justifikasi bagi transisi dengan mendelegitimasi berbagai aspek rezim lama dan melegitimasi rezim penggantinya. Dengan memberikan ekspresi pertanggungjawaban secara normatif, konstitusionalisme bertumpang tindih dengan hukum-hukum normatif lainnya, seperti hukum pidana, dalam masa-masa luar biasa tersebut. Norma-norma konstitusional postmodern-kontemporer melampaui struktur kekuasaan negara untuk memandu pemahaman normatif yang lebih luas terhadap tatanan sosial. Akhirnya, perspektif konstitusional transisional memberikan gambaran kemajuan konstitusional. Pandangan tentang kemajuan ini tidak bersifat mutlak atau universal, tetapi terbatas dan kontekstual. Pemahaan terhadap sejarah ketidakadilan di masing-masing negara memungkinkan konstruksi batasan konstitusional yang benar-benar responsif terhadap peninggalan politik, historis dan konstitusional suatu negara. 1

Bab 7 Menuju Teori Keadilan Transisional