1
Bab 3 Keadilan Historis
Bab ini mengeksplorasi respon historis terhadap peninggalan kekejaman di masa lalu dan pertanyaan tentang peran apa yang dimainkan oleh pertanggungjawaban historis dalam transisi
menuju demokrasi. Transisi – dari sefinisinya – menunjukkan adanya diskontinuitas sejarah. Perang, revolusi dan pemerintahan represif merupakan masa-masa gelap dalam sejarah suatu
bangsa yang mengancam kontinuitasnya. Pertanyaan yang timbul adalah: secara deskriptif, bagaimana masyarakat memperlakukan masa-masa cacat sejarah tersebut? Sejauh mana peran
respon historis terhadap pemerintahan otoriter di masa lalu? Dan secara normatif, dalam hal apa pertanggungjawaban historis merupakan hal yang korektif dan mendorong liberalisasi?
Suatu pandangan yang populer di kalangan analis politik kontemporer adalah bahwa penyidikan dan dokumentasi sejarah yang mengasimilasikan masa lalu yang buruk merupakan
hal yang diperlukan untuk mengembalikan kolektivitas pada masa-masa perubahan politik yang radikal. Klaim mereka adalah bahwa dengan menemukan “kebenaran” tentang
kesalahan-kesalahan negara di masa lalu, seperti melalui konstitusi baru atau pengadilan suksesor, hal tersebut membantu untuk meletakkan dasar bagi tatanan politik yang baru.
[P]emerintahan penerus memiliki kewajiban untuk menyelidiki dan menentukan fakta-fakta, sehingga kebenaran diketahui dan dijadikan bagian dari sejarah suatu bangsa ... Perlu ada
pengetahuan dan pengakuan: peristiwa-peristiwa di masa lalu harus diakui keberadaannya secara resmi dan diungkapkan secara terbuka. Pengungkapan kebenaran .... merespon tuntutan untuk
mendapatkan keadilan dari para korban dan memfasilitasi rekonsiliasi nasional.
1
Seperti klaim normatif konstitusi dan pengadilan di masa transisi, klaim normatif untuk menyusun dokumentasi sejarah yang resmi adalah bahwa ia memungkinkan pergeseran
menuju tatanan yang lebih liberal. Penyusunan sejarah kolektif tentang masa lalu yang represif dianggap meletakkan dasar yang diperlukan untuk masyarakat demokratis yang baru.
Dikatakan bahwa proses ini mutlak diperlukan untuk transisi menuju demokrasi: sejarah transisional yang diarahkan pada masa depan yang lebih baik menggambarkan suatu proses
dialektis dan progresif. Pandangan ini mewarisi semangat dari masa lalu, dari masa pencerahan – Immanuel Kant hingga Karl Marx, yang menganggap bahwa sejarah bersifat
menguniversalkan dan memberikan penebusan. Dalam pandangan ini, sejarah adalah pengajar dan hakim, dan kebenaran sejarah itu sendiri merupakan keadilan. Pandangan tentang potensi
liberalisasi dari sejarah inilah yang mendorong argumen kontemporer untuk pertanggungjawaban sejarah dalam transisi. Namun, asumsi bahwa “kebenaran” dan “sejarah”
1
Alice H. Henkin, “Conference Report”, dalam State Crimes: Punishment or Pardon, dalam Alice H. Henkin ed., Queenstown, Md: Aspen Institute, 1989, 4-5. Terdapat banyak penganjur pandangan ini dalam komunitas
diplomatik dan hak asasi manusia. Lihat misalnya Margaret Popkin dan Naomi Roht-Arriaza, “Truth as Justice: Investigatory Commissions in Latin America”, Law and Social Inquiry 20 Musim Dingin 1995: 79. Lihat juga
José Zalaquett, “Balancing Ethical Imperatives and Political Constraints: The Dilemma of New Democracies Confronting Past Human Rights Violations”, Hastings Law Journal 43 1992: 1425; Timothy Garton Ash, The
File: A Personal History
, New York : Random House, 1997.
2 adalah hal yang satu dan yang sama
2
menunjukkan suatu kepercayaan tentang adanya suatu sejarah yang otonom dan objektif tentang masa lalu, di mana konteks politik masa kini tidak
memiliki peran dalam pembentukkannya. Namun, teori modern tentang pengetahuan sejarah menentang konsepsi ini.
3
Bila sejarah disusun secara interpretatif,
4
tidak ada pemahaman atau “pelajaran” yang tunggal, jelas dan mutlak tentang masa lalu, namun yang ada adalah
pengakuan terhadap sejauh mana pemahaman tentang sejarah bergantung pada kondisi politik dan sosial.
Bagian-bagian dari sejarah dalam masa demikian, seperti akan ditunjukkan di bawah, tergantung tidak hanya pada peninggalan sejarah dan politik di suatu wilayah, namun juga
pada konteks khas transisi tersebut. Pandangan ideal tentang sejarah transisional sebagai “dasar”, atau sebagai titik awal, mengabaikan tinjauan sejarah yang sudah ada. Tinjauan
sejarah yang disusun pada masa transisi tidaklah berdiri sendiri, namun didukung oleh narasi nasional yang telah ada. Latar belakang berupa ingatan kolektif yang sudah ada menentukan
suatu masyarakat. Kebenaran transisional dikonstruksikan secara sosial dalam proses ingatan kolektif. Seperti tercermin pada praktik-praktik masyarakat dalam masa tersebut, tinjauan
sejarah tidaklah terlalu bersifat mendasar sebagaimana ia bersifat transisional.
Masa transisi adalah bagian dari sejarah yang diciptakan secara sadar. Masa tersebut adalah masa penciptaan sejarah dalam suatu konteks yang cenderung terpolitisasi dan
didorong oleh kepentingan politik. Politik memiliki implikasi epistemiknya. Kaitan erat antara penyalahgunaan kekuasaan dan pengendalian pengetahuan dijelaskan secara mendalam oleh
Friedrich Nietzsche dan Michel Foucault.
5
Namun, bahkan intuisi modern menolak penyelidikan sejarah yang secara eksplisit dipolitisasi, karena hal tersebut bertentangan
dengan pandangan ideal suatu filsafat sejarah yang dianggap merdeka dari pengaruh politik. Jadi, penyelidikan sejarah dalam masa transisi merupakan tantangan yang sukar. Sifat sejarah
yang dipolitisasi, terkait dengan pemerintahan represif, diungkapkan oleh respon-respon dalam transisi. Meskipun tinjauan-tinjauan sejarah masing-masing dikaitkan dengan rezim
politik yang berbeda, penggunaan pengetahuan dalam politik biasanya dikaburkan oleh para pemegang kekuasaan. Narasi sejarah selalu ada; semua rezim dikaitkan dan dikonstruksikan
oleh suatu rezim “kebenaran”.
6
Perubahan rezim politik dengan demikian berarti perubahan serupa dalam rezim kebenaran.
Ingatan kolektif adalah proses merekonstruksi masa lalu dengan cara pandang masa kini.
7
Namun, proses rekonstruksi ini memiliki bentuknya yang khas pada masa transisi. Pada
2
Lihat R.G. Collingwood, The Idea of History, New York: Oxford University Press, 1994.
3
Lihat Peter Novick, That Noble Dream: The “Objectivity Question” and the American Hostorical Profession, Cambridge: Cambridge University Press, 1988. Tentang narasi sejarah, lihat Hayden White, The Content of the
Form: Narrative Discourse and Historical Representation , Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1987, 13.
4
Lihat H.G. Gadamer, Truth and Method, New York: Crossroad, 1989.
5
Untuk diskusi lebih mendalam tentang peran ingatan dalam pembentukan masyarakat, lihat Friedrich Nietzsche, On the Genealogy of Morals
, terjemahan Walter Kaufmann dan R.J. Hollingdale, New York: Vintage Books, 1967; Michel Foucault, PowerKnowledge: Selected Interviews and Other Writings, 1972-1977, terjemahan Colin
Gordon et al., New York: Pantheon Books, 1980.
6
Lihat Foucault, PowerKnowledge.
7
Untuk karya mendasar tentang konstruksi ingatan kolektif, lihat Maurice Halbwachs, On Collective Memory, terjemahan Lewis A. Coser, Chicago: University Press, 1992. Dari perspektif sosiologi, lihat Iwona Irwin-
Zarecka, Frames of Remembrance: The Dynamics of Collective Memory, New Brunswick, N.J: Transaction Publishers, 1994; Natalie Zeman Davis dan Randolph Stern eds., “Memory and Countermemory”,
Representation 26 1985; Jonathan Boyarin ed., Remapping Memory: The Politics of Timespace, Minneapolis:
3 masa-masa transformatif, kaitan antara konstruksi sejarah kolektif dan politik dicoba untuk
diputuskan sekaligus dikaitkan dengan erat. Konstruksi sejarah pada masa-masa transformasi politik diciptakan dengan menarik garis diskontinuitas, namun pada saat yang sama, tetap ada
kontinuitas sejarah dan politik hingga titik tertentu. Sejarah transisional memiliki narasinya sendiri, namun mengaitkan dan mengambil benang-benang sejarah yang telah ada.
Perimbangan antara diskontinuitas dan kontinuitas, sebagaimana akan terlihat, adalah hal yang mendefinisikan praktik penciptaan sejarah transisional, membuatnya perlu dilakukan dengan
hati-hati, sementara sekaligus memberinya potensi transformatif yang sesungguhnya.
Suatu pemahaman tentang bagaimana politik yang sedang mendemokratiskan dirinya mempengaruhi konstruksi sejarah pada masa transformasi politik yang substansial pada
akhirnya dapat memberikan pemahaman lebih baik tentang peran sejarah dalam masa biasa. Pertanyaan tentang tinjauan sejarah pada masa perubahan politik yang mendasar adalah bagian
dari pertanyaan yang lebih luas tentang bagaimana masyarakat menciptakan kebenaran yang disepakati bersama. Konsensus epistemik dalam masyarakat dianggap diciptakan oleh
mekanisme transmisi kebudayaan; arti kebenaran dalam masyarakat mensyaratkan pemahaman bersama hingga titik tertentu.
8
Namun, dalam transisi, pemahaman bersama ini sering kali rapuh atau malah tidak ada. Apa yang terjadi bila suatu pemerintahan runtuh seperti
terjadi pada masa represi? Siapakah pemegang otoritas pada masa transisi? Masalah yang muncul dalam masa perubahan politik radikal timbul dari ketiadaan kesamaan pandangan.
Dalam masa ini, tidak ada pandangan tentang politik dan sejarah yang dimiliki bersama. Dalam transisi, kesamaan pandangan yang membentuk dasar bagi konsensus sosial yang baru
diharapkan bisa timbul dari tinjauan terhadap sejarah.
Bagaimana cara masyarakat mengkonstruksikan masa lalu mereka sedemikian rupa sehingga dipahami secara bersama sebagai kebenaran tentang pengalaman bersama?
Bagaimana mereka menentukan apa yang sebenarnya terjadi pada masa sejarah yang penuh perdebatan tentang kejahatan negara? Di bawah ini, proses-proses yang dilaksanakan dalam
konstruksi sejarah transisi akan dibahas. Karena teori kontemporer menekankan kaitan prinsip interpretif pada konteks sosial dan politiknya, sejarah transisional menunjukkan kaitan
tinjauan sejarah yang tertulis dengan bentuk dan format legal yang terjadi. Pertanggungjawaban yang didapatkan dari sejarah transisional diciptakan oleh bentuk-bentuk
dan praktik-praktik dalam suatu sistem hukum. Sejarah transisional mengungkapkan bagaimana bentuk dan praktik hukum tertentu memungkinkan produksi sejarah dan
mentransformasi kebenaran. Sejarah transisional juga menjelaskan kepada kita tentang peran sejarah dalam perubahan politik menuju sistem yang liberal.
Pengalaman beberapa negara yang dibahas dalam bab ini menjelaskan berbagai bentuk pertanggungjawaban sejarah. Di sini dijelaskan bagaimana masyarakat mencoba menjawab
pertanyaan tentang bagaimana mengkonstruksikan suatu kisah milik bersama dalam perubahan politik yang radikal. Juga dijelaskan tentang berbagai cara masyarakat transisional
menyusun sejarah bersama, dan peran hukum dalam konstruksi tersebut. Ingatan kolektif diciptakan dalam kerangka kerja, melalui simbol dan ritual. Dalam transisi, kerangka kerja
University of Minnesota Press, 1994; Susan A. Crane, “Writing the Individual Back into Collective Memory”, American Historical Review
20 1997: 1372. Untuk perspektif antropologi historis, lihat Gerald Silder dan Gavin Smith eds., Between History and Histories: The Making of Silences and Commemorations, Toronto: University
of Toronto Press, 1997.
8
Untuk penjelasan tentang pandangan ini, lihat Steven Shapin, A Social History of Truth, Chicago: University of Chicago Press, 1994.
4 yang lazim – politik, agama, sosial – mendapatkan ancaman; sehingga hukum beserta
kerangka dan prosesnyalah yang menyusun sebagian terbesar dari ingatan kolektif. Pada masa transisi, hukum berperan penting dalam membentuk ingatan sosial. Narasi sejarah transisional
diciptakan melalui berbagai tindakan legal, seperti pengadilan terhadap rezim lama, atau badan-badan birokratik yang bersidang untuk mengungkapkan sejarah, dan berbagai respon
legal lainnya yang mencoba menemukan kebenaran. Terakhir, kisah-kisah independen lainnya didapatkan dari inisiatif para jurnalis atau sejarawan, meskipun kisah-kisah ini pun bersumber
dari hukum sebagai otoritas dan batasannya.
Kisah sejarah dalam masa transisi politik mengambil berbagai bentuk. Sumber dan bentuk kebenaran transisional beragam: pengadilan, komisi kebenaran, sejarah resmi. Analisis
di sini menunjukkan suatu fakta yang selalu ada namun terutama menonjol pada masa transisi: “Masing-masing masyarakat memiliki rezim kebenarannya, ‘politik umum’ kebenarannya;
yaitu diskursus yang diterima secara umum dan berfungsi sebagai kebenaran”.
9
Berbagai rezim kebenaran, yaitu susunan kebenaran, amat terlihat jelas dalam konteks transisional.
Substansi rezim kebenaran transisional bergantung pada sifat rezim kebenaran yang telah ada, dan sejauh mana terjadi transformasi yang kritis. Sumber-sumber justifikasi sejarah
transisional menentukan arah transformasi politik. Melalui kerangka hukum, bahasa, prosedur dan peristilahan dalam keadilan, rekonstruksi ini bisa berjalan maju. Di bawah ini dijelaskan
beberapa contoh konstruksi ingatan kolektif dalam transisi. Sejarah Hukum: Keadilan Historis dan Pengadilan Pidana
Sejak dulu, proses pengadilan memiliki peran terpenting dalam penyusunan sejarah transisional. Sejarah bertindak sebagai “hakim” dalam proses peradilan pidana. Dalam
perdebatan kontemporer tentang keadilan transisional, masalah tersebut sering kali ditempatkan dalam kerangka “penghukuman atau amnesti”. Penghukuman dikaitkan dengan
ingatan kolektif, dan ketiadaan hukuman dikaitkan dengan amnesti kolektif.
10
Pertimbangkanlah peran penghukuman dalam usaha untuk mencapai keadilan historis. Pengadilan adalah suatu bentuk upacara yang lazim terjadi dalam penyusunan sejarah kolektif.
Namun selain itu, pengadilan juga merupakan cara terpenting untuk memproses peristiwa- peristiwa yang kontroversial.
11
Tujuan peradilan pidana umumnya adalah untuk menentukan tanggung jawab individual dan untuk menentukan kebenaran tentang suatu peristiwa yang
menimbulkan kontroversi. Meskipun nilai penting proses pengadilan pidana untuk menemukan kebenaran ini bervariasi antara sistem dan budaya hukum yang berbeda,
12
pada masa transisi, peran pengadilan untuk menyelesaikan kontroversi sejarah tidak bisa dibantah.
9
Foucault, PowerKnowledge, 131.
10
Untuk kritik terhadap penggunaan pengadilan pidana untuk tujuan ingatan kolektif, lihat Mark J. Osiel, “Ever Again: Legal Remembrance of Administrative Massacre”, University of Pennsylvania Law Review 144 1995:
463.
11
Tentang peran pengadilan sebagai ritus dalam ingatan sosial, lihat Paul Connerton, How Societies Remember, Cambridge: Cambridge University Press, 1989.
12
Bandingkan Mirjan Damaska, “Evidentiary Barriers to Conviction and Two Models of Criminal Procedure: A Comparative Study”, University of Pennsylvania Law Review 121 1973: 506, 578-86 menganggap bahwa
sistem kontinental lebih mementingkan penemuan kebenaran, dengan John H. Langbein, “The German Advantage in Civil Procedure”, University of Chicago Law Review 52 1985: 823.
5 Karena transisi merupakan masa konflik politik dan sejarah yang terkait, pengadilan
suksesor sering kali diadakan sebagai cara utama untuk mendapatkan keadilan historis. Pengadilan suksesor juga sering kali dilakukan untuk menyusun tinjauan sejarah dalam masa
transisi politik; bahkan sering kali inilah tujuan utamanya. Melalui pengadilan, usaha untuk menemukan kebenaran sejarah ditempatkan dalam kerangka pertanggungjawaban dan usaha
untuk menemukan keadilan. Dalam beberapa aspeknya, penggunaan pengadilan untuk melakukan penyelidikan sejarah tentang hal-hal kontroversial sesuai dengan intuisi kita
tentang fungsi epistemik penghukuman. Namun, sejarah transisional melalui pengadilan pidana melampaui pemahaman kita tentang peran pengadilan secara umum dalam
pertanggungjawaban pidana, namun ia tetap dibentuk oleh cara pandang pengadilan tersebut. Dalam konteks ini, pertanggungjawaban terhadap masa lalu mempengaruhi dan menyusun
suatu pandangan tentang keadilan historis. Sejarah transisional pasti akan menyusun suatu tinjauan yang spesifik tentang masa lalu suatu negara yang kontroversial.
Dalam tinjauan sejarah di proses peradilan pidana, kebenaran ditemukan bersama dengan keadilan, dan dengan demikian berperan dalam proses delegitimasi rezim pendahulu,
dan melegitimasi rezim penerus. Meskipun keruntuhan militer atau politik bisa menjatuhkan pemimpin yang menindas, bila rezim tersebut tidak didiskreditkan secara terbuka, ideologi
politiknya bisa bertahan. Jadi, perdebatan di abad ke-18 tentang apakah raja Louis XVI perlu diadili dilihat oleh Thomas Paine sebagai kesempatan untuk mengungkapkan “kebenaran”
tentang kejahatan pemerintahan monarki: “Bila ia, sang raja, dilihat ... sebagai seorang tertuduh yang pengadilannya bisa mendorong negara-negara lain di dunia untuk mengetahui
dan membenci sistem monarki yang mengerikan, serta rencana busuk dan intrik dalam pemerintahan mereka sendiri, maka ia perlu diadili”.
13
Pengadilan suksesor penting lainnya, baik terhadap penjahat perang di Nuremberg atau junta militer Argentina, kini terutama
diingat bukan karena hukuman yang mereka jatuhkan terhadap individu-individu, namun tentang peran mereka dalam menyusun catatan yang abadi tentang tirani negara.
Proses pidana suksesor memungkinkan berbagai representasi sejarah dari peninggalan masa lalu yang kejam. Pengadilan memungkinkan representasi sejarah kolektif dengan jelas,
melalui penciptaan kembalinya dan dramatisasi tentang masa lalu, dalam proses pidana. Terlebih lagi, tinjauan sejarah ini biasanya dicatat dalam transkrip tertulis, yang sering kali
diterbitkan. Pada masa kontemporer, kemungkinan representasional ini sangat meningkat dengan media massa dan penyiaran proses pengadilan melalui televisi, yang menjadikannya
bagian dari budaya populer. Catatan tertulis dan lainnya dari pengadilan dan keputusan merupakan representasi yang abadi.
Bagaimana proses pidana mengkonstruksikan kebenaran?
14
Tidak ada jawaban tunggal, karena berbagai aspek penemuan kebenaran dihasilkan dari berbagai bagian dalam
proses pidana. Sebagai contoh, pengadilan pidana memungkinkan penyusunan catatan sejarah dengan standar kepercayaan hukum yang tinggi: dalam jurisprudensi Anglo-Amerika,
13
Michael Walzer ed., dan Marian Rothstein penrj, Regicide and Revolution: Speeches at the Trial of Louis XVI
, New York: Cambridge University Press, 1974, 129.
14
Untuk penelitian tentang kaitan prosedur pidana dengan kebenaran, lihat catatan kaki 12 di atas. Untuk pembicaraan tentang teori prosedur pidana “ekspresif”, lihat Ruti Teitel, “Persecution and Inqusition: A Case
Study”, dalam Irwin P. Stotzky ed., Transition to Democracy in Latin America: The Role of the Judiciary, Boulder: Westview Press, 1993.
6 “kebenaran yang tidak diragukan”.
15
Contoh utamanya adalah pengadilan dan keputusan di Nuremberg. Bukti-bukti kekejaman dalam pengadilan tersebut, yang sebagian besar berasal
dari arsip Jerman sendiri, mencakup 10 ribu dokumen tentang pembuatan kebijakan. Terdapat preferensi untuk merujuk pada dokumen sebagai barang bukti, karena pengakuan dianggap
memiliki kecenderungan politisasi. Menurut Penuntut Umum Robert Jackson, “kita tidak akan meminta Anda untuk mendakwa orang-orang ini atas kesaksian musuh-musuh mereka”. The
Trials of War Criminals Before the Nuremberg Military Tribunals
merupakan suatu catatan permanen tentang kebijakan penindasan Nazi, yang masih digunakan oleh para sejarawan dan
pakar lainnya.
16
Contoh lain yang lebih modern adalah pengadilan junta militer Argentina pada tahun 1983, yang memungkinkan pengungkapan masa lalu negara tersebut secara terbuka.
Pengadilan terhadap junta militer ini, karena sistem hukum Argentina mengikuti sistem Eropa, merupakan pengadilan pertama yang dilakukan secara terbuka. Selama pengadilan junta ini,
untuk pertama kalinya setelah kejatuhan pemerintahan militer, tindakan-tindakan penindasan oleh militer diungkapkan ke masyarakat melalui media secara terbuka selama jangka waktu
yang cukup lama. Kebenaran tentang apa yang terjadi ditentukan dari kesaksian para korban dan dilengkapi oleh organisasi non-pemerintah internasional, kelompok hak asasi manusia dan
pemerintah asing – semuanya menunjukkan kekejaman rezim lama.
17
Sebuah pengadilan suksesor lainnya, terhadap mantan “kaisar” Afrika Tengah, Jean- Bedel Bokassa, juga penting dalam hal representasinya tentang kediktatoran yang telah
berlalu. Setelah satu dekade pemerintahan represif, Bokassa digulingkan oleh Prancis dan diadili untuk tindakan-tindakan kekejaman, termasuk pembantaian politik dan bahkan
kanibalisme. Melalui siaran televisi dan radio di seluruh negara tersebut, pengadilan panjang terhadap Bokassa menciptakan narasi lisan yang jelas tentang kekejaman kediktatorannya.
18
Pada akhirnya, meskipun diberikan amnesti, pelaporan luas tentang proses pengadilan tersebut menjamin bahwa pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan rezim Bokassa tidak akan
dilupakan. Kekuatan pengadilan dalam membentuk ingatan kolektif dilihat dari perannya untuk membuat konstruksi sosial pengetahuan tentang suatu masa untuk jangka yang panjang.
Kekuatan peradilan pidana dalam konstruksi sejarah mungkin paling jelas tergambar dalam kaitan antara proses pidana yang berkaitan dengan Perang Dunia Kedua dan kisah-kisah
tentang masa tersebut. Penulisan sejarah historiografi pasca-perang merujuk pada pentingnya pengadilan dalam memandang dan menciptakan pemahaman sejarah. Kekuatan representasi
legal dalam konstruksi pemahaman sejarah ilmiah dan populer tentang kekejaman masa perang tampak dalam arah pemahaman sejarah hingga kini. Pemahaman sejarah dan legal
tentang penindasan berkembang secara sejajar, menunjukkan fungsi kuat hukum dalam konstruksi sejarah di masa transisi. Pemahaman sejarah awal tentang penindasan Nazi
bersesuaian dengan pemahaman hukum tentang pertanggungjawaban yang dikonstruksikan pada pengadilan pasca-perang. Pemahaman tentang pertanggungjawaban terhadap penindasan
di masa perang dimulai dengan memusatkan perhatian terhadap individu pada jajaran
15
In re Winship, 397 US 358, 364 1970; lihat John Calvin Jeffries, Jr. dan Paul B. Stephan III, “Defenses, Presumptions and Burden of Proof in Criminal Law”, Yale Law Journal 88 1979: 1325, 1327.
16
Lihat Norman E. Tutorow ed., War Crimes, War Criminals and War Crimes Trials: An Annotated Bibliography and Source Book
, New York: Greenwood Press, 1986, 18.
17
Lihat Human Rights Watch, An Americas Watch Report: Truth and Partial Justice in Argentina, an Update, New York: Human Rights Watch, 1991.
18
Lihat Alex Shoumatoff, African Madness, New York: Random House, 1988, 93-127.
7 kekuasaan tertinggi. Pemahaman ini kemudian akan bergeser, yaitu bahwa
pertanggungjawaban lebih tersebar pada seluruh jajaran. Dengan demikian, di Nuremberg, kejahatan yang terberat adalah “penyelenggaraan perang yang agresif”, dan yang diadili
adalah para petinggi militer. Bersamaan dengan sidang-sidang pengadilan awal terhadap para eselon tertinggi militer Jerman, mazhab sejarah pada masa itu pun memandang tanggung
jawab sebagai suatu hal yang top down dari atasan ke bawahan. Mazhab “intensionalis” ini menganggap kebijakan Nazi didominasi oleh Hitler; maka tanggung jawab untuk kekejaman
di masa perang harus dibebankan pada para petinggi.
Seiring jalannya waktu, timbullah pemahaman hukum yang lebih jelas tentang tanggung jawab, yang berjalan bersama dengan perubahan dalam pemahaman sejarah. Setelah
Nuremberg, pengadilan-pengadilan Control Council No. 10 menunjukkan konstruksi pertanggungjawaban yang memindahkan beban tanggung jawab kejahatan perang dari jajaran
tertinggi militer Jerman ke para elite sipilnya. Interpretasi sejarah dari masa ini bergeser dari mazhab intensionalis, yang menganggap tanggung jawab terkonsentrasi pada satu orang, ke
mazhab fungsionalis, yang menganggap tanggung jawab tersebar luas di seluruh sektor masyarakat Jerman, seperti di negara-negara lainnya.
19
Pengadilan tingkat bawah menunjukkan pergeseran pemahaman yang serupa. Persidangan Eichmann berlangsung
bersama dengan penulisan The Destruction of the European Jews oleh Raul Hilberg pada tahun 1961. Pada dekade-dekade selanjutnya, pengadilan diterapkan pada para kolaborator,
juga bagian jajaran kekuasaan yang lebih rendah. Kolaborator masa perang diadili di negara- negara yang sempat diduduki Jerman, terutama Belanda dan Prancis. Contoh penting
pengadilan tersebut adalah pengadilan Klaus Barbie pada 1987 dan Paul Touvier serta Maurice Papon pada 1990-an di Prancis. Proses hukum dilaksanakan di Amerika Serikat,
Inggris, Skotlandia dan Australia, kepada para pelaku penindasan yang melarikan diri ke negara-negara tersebut setelah akhir perang.
20
Pengadilan dianggap tidak tepat untuk representasi sejarah yang memadai karena peradilan pidana dianggap menyempitkan tanggung jawab ke tingkat individu,
21
sementara pertanggungjawaban untuk penindasan di masa modern jelas melampaui batasan tanggung
jawab individual. Namun, peradilan transisional kontemporer menengahi dua kutub individual-kolektif ini melalui konstruksi hukum mengenai motif dan kebijakan. Dalam hal
ini, interaksi antara konstruksi hukum maupun sejarah tentang pertanggungjawaban mendukung suatu pandangan yang kompleks tentang pelanggaran yang dilakukan individu
dalam masyarakat yang berubah. Perkembangan hukum ini bersesuaian dengan meningkatnya
19
Lihat Michael R. Marrus, The Holocaust in History, Hanover, N.H: University Press of New England, 1987, 36-51 tinjauan sejarah tentang perubahan dari intensionalis ke fungsionalisme, namun tidak mengaitkannya
dengan perkembangan hukum; Lawrence Douglas, “The Memory of Judgment: The Law, the Holocaust and Denial”, History and Memory, musim gugur-dingin 1996: 100. Tentang perubahan pemahaman sejarah tentang
pertanggungjawaban pidana, lihat Raul Hilber, Perpetratos, Victims and Bystanders, New York: Aaron Asher Books, 1992.
20
Lihat bab 2, catatan kaki 44. Lihat juga Public Prosecutor v Menten Belanda, Proceedings from December 1977-January 1981, diterjemahkan dan dicetak ulang dalam Netherlands Yearbook of International Law, Vol. 12
Alphen a.d. Rijn: Sijthoff Noordhoff, 1981. Untuk pembicaraan lebih mendalam tentang pengadilan- pengadilan tersebut, lihat bab 2 tentang peradilan pidana. Untuk tinjauan tentang perkembangan hukum tersebut,
lihat Ronnie Edelman et al., “Prosecuting World War II Persecutors: Efforts at an Era’s End”, Boston College Third World Law Journal
12 1991: 199.
21
Lihat Robert Goron, “Undoing Historical Injustice”, dalam Austin Sarat dan Thomas R. Kearny eds., Justice and Injustice in Law and Legal Theory,
Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994.
8 pemikiran tentang semakin diperlukannya intervensi kemanusiaan, yang menimbulkan
pertanyaan lebih lanjut tentang tanggung jawab moral dan hukum terhadap kekejaman. Terlepas dari apakah dalam hal ini hukum membentuk sejarah atau sebaliknya, dinamika
keseluruhannya tampak dengan jelas – bahwa pemahaman hukum dan sejarah mengalami pergerakan ke arah yang sama. Pada akhir abad ke-20, terdapat anggapan bahwa tanggung
jawab untuk penindasan di masa modern terletak pada individu, yang dilatarbelakangi oleh kebijakan yang sistemik. Pemahaman sejarah ikut berubah dengan merujuk pada kerangka
yang diterima. Maka, nilai sejarah pengadilan pasca-perang juga ikut berubah sejalan dengan pemahaman di atas. Pandangan bahwa pengadilan tersebut diarahkan untuk menentukan
tanggung jawab individual terhadap kejahatan perang telah berganti dengan pemahaman yang lebih kompleks tentang pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam negara dengan sistem kedaulatan hukum yang modern, pengadilan merupakan ritual untuk secara terbuka mengkontekstualkan dan mengisahkan pengalaman pelanggaran di
masa lalu. Dalam masa transisi, pengadilan memiliki peran yang bahkan lebih signifikan, karena ia tepat untuk digunakan merepresentasikan sejarah yang kontroversial, yang lazim
terjadi pada masa gejolak politik. Namun, ritual-ritual tentang perdebatan sejarah kasus demi kasus, sebagaimana dilakukan oleh proses pengadilan terhadap individu, sering kali gagal
menyikapi kekejaman besar-besaran yang merupakan ciri khas penindasan dalam negara modern.
Dilema Keadilan Politis Pengadilan-pengadilan suksesor menunjukkan bahwa dalam saat transisi, pengadilan bisa
digunakan sebagai kerangka pemahaman tentang tanggung jawab. Maka, meskipun pengadilan lazimnya dianggap menekankan pada tanggung jawab individual terhadap
kesalahannya, pengadilan transisional menengahi pemahaman tanggung jawab individual dan tanggung jawab kolektif. Meskipun pengadilan suksesor berpotensi untuk menciptakan suatu
rekaman sejarah tentang masa lalu yang gelap suatu negara, penggunaan pengadilan untuk tujuan tersebut menjadi tantangan bagi prinsip kedaulatan hukum. Timbul dilema yang sukar
ketika kebijakan penghukuman diterapkan terutama untuk menciptakan suatu rekaman sejarah, bila tujuan utama hukuman di masa transisi berada di luar sistem peradilan pidana di masa
normal. Ilustrasi kontemporer tentang hal ini adalah penggunaan pengadilan pasca-komunis, seperti tentang pemberontakan Hungaria 1956, untuk memberikan gambaran yang jelas
tentang masa sejarah yang semula kabur. Pengadilan-pengadilan tersebut berisiko dianggap dipengaruhi oleh kepentingan politik. Penyusunan sejarah publik dengan menggunakan hukum
pidana menimbulkan kecemasan tentang dikorbankannya hak-hak individual terhadap kepentingan masyarakat untuk menciptakan suatu catatan sejarah. Suatu kasus yang ekstrem
adalah pengadilan seorang yang tidak bersalah untuk menunjukkan satu titik dalam sejarah. Penggunaan pengadilan untuk kepentingan politis secara terang-terangan demikian hanya akan
menjadi “pengadilan sandiwara”. Bila negara-negara yang sedang mendemokratiskan dirinya menggunakan pengadilan untuk mencapai keadilan historis, mereka berisiko mengalami
politisasi – dan memberikan kesan bahwa tidak ada perubahan dibandingkan rezim sebelumnya.
Bahkan bila pengadilan ditujukan untuk mendorong perubahan ke arah yang lebih liberal dan menaati prosedur hukum, begitu mulai dilaksanakan, dampak pengadilan sering
9 kali tidak dapat dikendalikan. Arah penggambaran sejarah melalui pengadilan tidak dapat
diketahui sejak awal, paling tidak dalam sistem hukum adversarial [sistem hukum yang melibatkan pihak-pihak yang saling bertikai atau bertentangan], di mana prosesnya melibatkan
tinjauan-tinjauan sejarah yang bertentangan: pengadilan untuk kepentingan sejarah bisa gagal menyampaikan pesan normatifnya tentang liberalisasi, dan malah menggagalkan tujuan
pembangunan demokrasi yang sebenarnya ia emban. Suatu contoh yang terkenal adalah pengadilan Adolf Eichmann di Yerusalem. Dengan mengadili Eichmann pada tahun 1961,
pemerintah Israel berusaha memberikan gambaran yang jelas tentang sejarah Holocaust bagi generasi pertama bangsa tersebut yang lahir dan besar di Israel. Meskipun pengadilan tersebut
diusahakan untuk menunjukkan tanggung jawab Eichmann, proses tersebut tidak bisa mencegah timbulnya interpretasi sejarah lain yang lebih kontroversial, seperti tanggung jawab
para kolaborator di kalangan masyarakat Yahudi sendiri, yang dikisahkan oleh Hannah Arendt dalam Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil.
22
Demikian pula, ketika Klaus Barbie, sang “penjagal dari Lyons”, diadili di Prancis pada tahun 1988, publik berharap bahwa pengadilan tersebut akan memberikan gambaran jelas
tentang sejarah Prancis di masa pendudukan. Memang benar bahwa pengadilan tersebut memberikan dramatisasi sejarah masa perang. Berbagai pihak, termasuk lebih dari 30
kelompok korban, kelompok perlawanan dan kelompok komunis ikut serta dalam pengadilan dan menggunakan proses tersebut untuk menceritakan pengalaman mereka tentang
pendudukan. Para “saksi umum” tersebut tidak memberikan kesaksian tentang peristiwa- peristiwa spesifik, sebagaimana lazimnya dalam pengadilan, namun memberikan interpretasi
mereka tentang sejarah perang, menimbulkan persepsi bahwa tujuan pengadilan tersebut adalah untuk membantu menyatukan identitas politik Prancis yang retak. Pada akhirnya,
pengadilan tersebut memang memiliki dampak terhadap pemahaman sejarah Prancis di masa perang, namun sebagaimana halnya dengan pengadilan Eichmann, hasil akhirnya tidak seperti
yang diharapkan. Pembelaan Barbie terhadap tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan dijawabnya dengan tuduhan balik bahwa Prancis melakukan hal serupa di Aljazair, sehingga
beberapa pakar menilai bahwa pengadilan tentang kolaborasi Nazi ini bergeser menjadi genosida komparatif yang amat buruk “Anda juga melakukan hal yang sama dengan yang
saya lakukan”. Bahkan kesaksian pihak-pihak individual tersebut tampaknya mendukung pandangan universalis tentang penindasan masa perang, yang populer di kalangan kaum kiri
Prancis. Pada akhirnya tinjauan, sejarah yang dielaborasikan dalam pengadilan Barbie gagal menyampaikan tujuan politik yang lebih luas, dan hanya memberikan suatu pesan berpihak
yang sempit.
23
Kejadian-kejadian tersebut menunjukan potensi politisasi dalam penggunaan pengadilan untuk mengkonstruksikan pemahaman sejarah transisional. Masalahnya timbul
dari usaha merespon terhadap kejahatan yang dilakukan dalam konteks politik, melalui cara- cara juridis yang secara eksplisit dirancang untuk menciptakan suatu laporan resmi dari
sejumlah versi sejarah yang bertentangan. Batasan ini menyulitkan penggunaan pengadilan
22
Lihat Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil, New York: Penguin Books, 1964, 135-50.
23
Lihat Alain Finkielkraut, Remembering in Vain: The Klaus Barbie Trial and Crimes against Humanity, terjemahan Roxanne Lapidus dan Sima Godfrey, New York: Columbia University Press, 1992. Lihat juga
Richard J. Golson ed., Memory, the Holocaust and French Justice: The Bousquet and Touvier Affairs, Hanover, N.H: University Press of New England, 1996 tentang pengadilan pasca-perang lainnya; Guyora Bider,
“Representing Nazism: Advocacy and Identity at the Trial of Klaus Barbie”, Yale Law Journal 98 1989: 1321.
10 untuk penciptaan sejarah. Seperti dibicarakan di muka, respon yang lazim adalah penggunaan
proses pidana yang terbatas yang tidak membebankan tanggung jawab sepenuhnya kepada individu, namun bisa membuat catatan untuk publik. Sanksi pidana terbatas ini memenuhi
kepentingan untuk penyidikan dan dokumentasi, karena dilakukan secara formal oleh badan peradilan yang netral, dengan standar pembuktian tinggi seperti dalam proses hukum. Bahkan
bila tidak ada pembebanan tanggung jawab individual, sanksi terbatas bisa memajukan rekaman sejarah dan konstruksi pengetahuan bersama tentang penindasan di masa lalu. Sanksi
terbatas dapat mencapai kepentingan epistemik hukum pidana. Terlebih lagi, bila dikonstruksikan dalam konteks juridis, pengetahuan bisa membebaskan: bila proses
pengadilan secara simbolis mengisolasikan kesalahan individu, masyarakat secara keseluruhan dibebaskan dari kesalahan.
Penghilangan dan Repesentasi Masa-masa represif sering kali dilihat sebagai lembaran hitam dalam sejarah suatu bangsa.
Anggapan tersebut paling jelas terlihat di Amerika Latin setelah masa pemerintahan militer dan kebijakan penghilangan di seluruh wilayah benua tersebut. Transisi di wilayah Amerika
terjadi setelah puluhan tahun kediktatoran militer dan represi yang brutal, yang mencakup penculikan, penahanan, penyiksaan dan penghilangan secara luas, yang semuanya dilakukan
atas nama “keamanan nasional” secara rahasia. Pengungkapan sejarah masa lalu yang terjadi pada masa transisi memperlihatkan betapa dalamnya kejahatan negara yang ditandai secara
khas dengan apa yang diistilahkan “impunitas”. Kendatipun model penghilangan di Amerika Latin tampaknya memberikan definisi baru bagi impunitas, namun kebijakan penghilangan –
seperti di Argentina – merujuk pada kebijakan fasis masa Perang Dunia Kedua untuk menahan dan melenyapkan para lawan politik “tanpa jejak”, untuk menghancurkan lawan politik dan
menimbulkan ketakutan pada masyarakat.
Bayangkan apa yang terjadi bila tubuh korban kejahatan dilenyapkan – mungkinkah kejahatan tersebut sebenarnya tidak pernah terjadi? Penghilangan berarti bukti utama
kejahatan, tubuh si korban, tidak dapat ditemukan.
24
Michel Foucault menganggap “tubuh ... secara langsung terkait dengan lingkup politik; penguasa mengendalikannya; mereka
berinvestasi pada tubuh, menandai tubuh, melatih tubuh, menyiksa tubuh.”
25
Selain bentuk- bentuk kontrol sosial tersebut, penindasan di Amerika Latin pada dekade 1970-an
menunjukkan kekuasaan negara yang koersif – menghilangkan tubuh korban, melenyapkan warga negara, menjadikan mereka apa yang kini dikenal desaparecidos orang hilang. Selama
pemerintahan militer di Argentina, lebih dari 10 ribu orang diculik, ditahan dan disiksa, dan akhirnya dihilangkan tanpa jejak. Seperti juga kerahasiaan dalam penculikan dan penahanan,
penghilangan korban merupakan hal yang endemis pada kejahatan impunitas ini. Semua langkah tindakan militer – penculikan, penahanan, penyiksaan dan akhirnya pembunuhan –
tidak bisa dibuktikan karena korban telah dihilangkan. Selama si korban tetap tidak
24
Untuk penjelasan mendetail tentang praktik penghilangan, lihat Nunca Más: Report of the Argentine National Commission on the Disappeared
seterusnya disebut saja sebagai laporan CONADEP, edisi bahasa Inggris, New York: Farrar, Strauss, Giroux, 1986, 447. Laporan CONADEP menyimpulkan bahwa banyak mayat yang
dimusnahkan untuk mencegah identifikasi.
25
Michel Foucault, Discipline and Punish: The Birth of the Prison terjemahan Alan Sheridan, New York: Vintage Books, 1979, 25.
11 ditemukan, militer tetap berjaya dan mempertahankan kekuasaannya. Penghilangan warga
negara merupakan pelaksanaan kekuasaan pada bentuknya yang paling keji dan kejam. Ketika rezim berganti dengan rezim yang memerdekakan, para korban yang
dihilangkan menjadi lambang pengalaman kediktatoran. Mereka yang dihilangkan adalah korban yang tidak berdaya; hilang pulalah politik tubuh yang tampaknya lenyap dalam jepitan
represi militer, juga negara yang lama. Penghilangan adalah kejahatan yang memiliki sifat tidak pasti. Apakah bila negara gagal menjelaskan nasib para korban dan menemukan mereka,
berarti kejahatan tersebut terus terjadi dan tidak berakhir? Penghilangan menimbulkan pertanyaan tentang apakah rezim penerus tetap harus bertanggung jawab terhadap kejahatan
tersebut. Terdapat pilihan yang sukar antara keadilan atau impunitas, antara menghukum militer atau membiarkan masa lalu terus berjalan. Apakah kesetimbangan kekuasaan yang
rapuh dan ketidakmampuan untuk menghukum militer berarti sama sekali tidak memberikan kesempatan bagi para korban dan mereka yang selamat untuk mendapatkan penyelidikan
pidana terhadap kasus-kasus mereka? Apakah tidak menghukum berarti sama dengan tidak mengetahui kesalahan yang dilakukan di masa rezim pendahulu dan bahwa negara terus
terlibat dalam kesalahan tersebut, utamanya kebijakan penghilangan?
Pertanyaan sukar yang dihadapi banyak negara yang baru beranjak dari pemerintahan represif adalah bagaimana menghadapi lembaran hitam sejarah yang ditimbulkan oleh
impunitas negara yang mencirikan penindasan di masa modern. Bagaimana cara merespon kebijakan penghilangan? Bagaimana cara menentukan apa yang terjadi pada sejumlah besar
orang yang dihilangkan dan dibunuh, yang terjadi karena pembunuhan administratif, oleh aparat keamanan modern, dan bagaimana cara melaporkan kekejaman tersebut? Penggunaan
pengadilan secara terbatas menunjukkan bahwa tingkat kejahatan yang sedemikian luas membuat sistem peradilan pidana tidak mampu menghadapinya. Demikian pula, respon
masyarakat terhadap penghilangan menunjukkan perkembangan sistem respon yang baru: respon birokratis terhadap pembunuhan birokratis.
Bagaimana menentukan kejahatan “impunitas”? Bagaimana cara membuktikan apa yang terjadi pada masa pemerintahan represif, ketika kebijakan penghilangan berarti korban-
korban yang dilenyapkan, saksi-saksi yang ketakutan dan pemerintah yang menutupi semua kejadian tersebut? Masalah pembuktian mengarah pada pembentukan apa yang kini dikenal
sebagai komisi kebenaran.
26
Lingkup penyidikan komisi kebenaran sesuai untuk menentukan fakta-fakta berkaitan pembunuhan massal oleh birokrasi, dengan skala kekerasan yang besar,
dengan jumlah peristiwa yang mencapai puluhan ribu. Komisi penyidikan demikian menjadi mekanisme terpenting untuk menyikapi kejahatan negara penindas modern, karena
pembunuhan birokratik memerlukan lawannya dalam bentuk institusional yang sebanding, suatu respon yang bisa menggambarkan kebijakan penindasan yang masif dan sistemik.
Bila mereka yang selamat dan para sanak korban yang dihilangkan menuntut agar rezim penerus mengungkapkan kebenaran tentang apa yang terjadi pada masa pemerintahan
junta, tuntutan mereka mendorong pembentukan komisi penyidikan. Mandat Komisi Nasional Orang Hilang CONADEP adalah untuk menentukan kebenaran tentang nasib mereka yang
dihilangkan dan tentang penindasan, namun tidak untuk menjawab pertanyaan tentang apa tindakan perbaikan yang kemudian akan dilakukan. Meskipun kelompok-kelompok korban
membuat petisi agar komisi tersebut dibuat oleh pemerintah, CONADEP merupakan
26
Untuk daftar yang lengkap, lihat Priscilla Hayner, “Fifteen Truth Commission – 1974 to 1994, A Comparative Study”, Human Rights Quarterly 16 1994: 597.
12 kompromi politik dan hanya setengah resmi. Tanpa kekuasaan pidana, komisi tersebut lebih
merupakan badan pencari fakta, alih-alih penyidik; mandatnya adalah untuk melaporkan apa yang terjadi pada masa pemerintahan militer. Setelah sembilan bulan, sebuah laporan yang
panjang lebar mengidentifikasi nama-nama mereka yang dihilangkan, siapa yang dianggap telah mati, dan mendokumentasikan sifat sistematis dari penindasan oleh junta militer tersebut.
Meskipun laporan tersebut menyebutkan nama-nama para korban, ia tidak menyebutkan nama pelaku, yang menimbulkan kontroversi. Namun, tanggung jawab dibebankan kepada berbagai
cabang dalam junta militer, dan pembebanan tanggung jawab ini kemudian menjadi dasar untuk proses pidana terhadap para komandan militer.
27
Komisi kebenaran sebagai respon terhadap penindasan militer masa lalu segera ditiru oleh negara-negara lainnya. Di semua negara yang mengalami transisi dari pemerintahan
militer yang brutal, timbul pertanyaan penting tentang apakah kesalahan-kesalahan yang terjadi di masa lalu akan dilupakan begitu saja. Komisi kebenaran timbul sebagai jawaban
terhadap impunitas, dan berjalan seiring dengan amnesti. Di seluruh wilayah Amerika – di Argentina, Cili, El Salvador, Honduras, Haiti dan Guatemala – tempat terjadinya kekerasan
besar-besaran terhadap penduduk, yang mengecilkan kemungkinan keberhasilan respon pidana, komisi kebenaran menjadi mekanisme sentral dalam transisi politik.
28
Dalam usaha untuk melakukan perubahan politik menuju sistem liberal di Cili, respon rezim penerus
terhadap pemerintahan militer yang represif di masa lalu adalah melalui penyelidikan sejarah oleh Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi.
29
Penyelidikan, yang dibatasi pada penemuan fakta-fakta tentang kebijakan penghilangan oleh militer, mencapai kesimpulan
bahwa kebijakan tersebut mempengaruhi ribuan warga sipil. Ketika perang saudara di El Salvador, yang memakan hingga 75 ribu korban tewas dan
ribuan lainnya terpaksa berpindah tempat tinggal, dan berlangsung selama sekitar sepuluh tahun, akhirnya selesai, kesepakatan perdamaian akhirnya mensyaratkan pembentukan
“komisi kebenaran” internasional untuk menyelidiki pelanggaran di masa lalu. Komisi yang dibentuk setelah konflik berkepanjangan sebagai hasil kesepakatan damai ini memiliki mandat
untuk mendokumentasikan “pelanggaran berat” oleh pasukan pemerintah maupun anti pemerintah selama perang saudara yang berkepanjangan ini.
30
Untuk pertama kalinya sejak transisi pasca-Perang Dunia Kedua, penyelidikan netral terhadap pelanggaran yang dilakukan
suatu negara dijalankan oleh suatu badan internasional. Serupa dengan itu, kesepakatan damai di Guatemala, setelah perang selama 36 tahun
yang menewaskan atau menghilangkan ratusan ribu orang, berhasil dicapai setelah ada
27
Lihat Human Rights Watch, An Americas Watch Report: 13-17.
28
“Komisi Klarifikasi Sejarah Masa Lalu” di Guatemala disepakati pada tanggal 23 Juni 1997 di Oslo, Norwegia. Lihat juga Accord on the Establishment of the Commission for Historical Clarification of Human Rights
Violations and Acts of Violence Which Have Inflicted Suffering upon the Guatemalan Population Guatemala,
1997; Popkin dan Roht-Arriaza, “Truth as Justice”, 79-116.
29
Komisi Kebenaran Cili ditetapkan dengan Ketetapan No. 355. “Hanya pada dasar kebenaran kita dapat memenuhi tuntutan mendasar akan keadilan dan menciptakan kondisi yang tidak dapat diabaikan untuk mencapai
rekonsiliasi nasional sepenuhnya” 25 April 1990. Lihat José Zalaquett, Pengantar Informe de la Comisíon Nacional de Verdad y Reconciliation
Laporan Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili terjemahan Philip E. Berrymann, dua jilid, Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1993, xxiii-xxxiii.
30
Lihat United Nations Observer Mission in El Salvador, El Salvador Agreements: The Path to Peace 1992, 16-17 memberikan sinopsis kesepakatan antara pemerintah El Salvador dan Frente Farabundo Marti para la
Liberacíon Nacional FMLN di bawah pengawasan Sekretaris Jenderal PBB.
13 kesepakatan untuk mencari kebenaran.
31
Komisi Klarifikasi Sejarah menemukan penindasan rasial dan bahkan genosida. Di Honduras, setelah lebih dari satu dekade penghilangan, Komisi
Perlindungan Hak Asasi Manusia dibentuk pada tahun 1992 untuk mengadakan penyelidikan. Laporan komisi ini pada tahun 1994 menemukan hampir 200 kasus penghilangan dan
menyebutkan nama beberapa perwira tinggi militer sebagai pelaku kejahatan tersebut.
32
Di Haiti, Komisi Nasional Kebenaran dan Keadilan dibentuk pada tahun 1995 untuk menentukan
kebenaran tentang pelanggaran-pelanggaran sangat serius terhadap hak asasi manusia yang dilakukan antara tahun 1991-1994 secara domestik maupun di luar negeri, dan untuk
membantu proses rekonsiliasi para warga Haiti.
33
Seperti di wilayah Amerika, di Afrika, setelah pemerintahan represif dan dalam konteks tumbuhnya demokrasi yang masih rapuh, dibentuklah komisi-komisi di Uganda, Chad
dan Afrika Selatan pasca-apartheid.
34
Uganda membentuk sebuah komisi penyelidikan pada tahun 1986, setelah dua dekade kekejaman di bawah rezim Idi Amin dan Milton Obete, yang
menewaskan hampir sejuta jiwa. Keserupaan antara pertanggungjawaban sejarah dan pidana tampak dalam hasil-hasil penelitian dan dokumentasi cermat tentang kejadian-kejadian
bermasalah, hasil penyelidikan komisi kebenaran, juga dalam penentuan tanggung jawab individual. Misalnya di Chad, setelah jatuhnya rezim Habré pada tahun 1990, sesuai anjuran
organisasi-organsisasi internasional, ditunjuklah sebuah komisi penyidikan untuk meneliti dan melaporkan kekejaman yang dilakukan oleh rezim tersebut. Kesimpulannya adalah bahwa
sekitar 40 ribu orang disiksa dan dieksekusi oleh aparat keamanan Habré. Laporan dokumentasi tersebut memiliki keserupaan dengan sanksi pidana, yaitu dalam aspek
pencatatan dan stigmatisasinya: para pelanggar diidentifikasi, dan bahkan foto para pelaku dimuat dalam laporan.
35
Pelaksanaan penyelidikan administratif sebagai alternatif terhadap hukuman juga dilakukan di Afrika Selatan. Penyelidikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan
terhadap apartheid disepakati untuk dilakukan sebagai bentuk kebijakan non-retributif. Amnesti akan diberikan sebagai pertukaran kerja sama dalam proses kerja komisi kebenaran.
36
Laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang jumlahnya berjilid-jilid itu membahas “terjadinya pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia oleh semua pihak yang berkonflik”,
dan juga struktur sejarah, institusional dan sosial yang lebih luas dari sistem apartheid. Dalam suatu masyarakat yang amat terpecah belah, kebenaran akan dijadian dasar bagi rekonsiliasi.
Bila tidak terdapat dorongan politik untuk melakukan penyelidikan resmi, konstruksi ingatan kolektif dan penyelidikan serta dokumentasi penindasan di masa lalu dilakukan oleh
31
Lihat Robert F. Lutz, “Essay: A Peace of the Peace: The Human Rights Accord and the GuatemalanPeace Process”, Southwestern Journal of Trade and Law in Americas 2 1995: 183.
32
Lihat Human Rights Watch, The Preliminary Report on Disappearance of the National Commissioner for the Protection of Human Rights in Honduras: The Facts Speak for Themselves
, New York: Human Rights Watch, 1994.
33
Order Arréte of March 28, 1995, membentuk “Commission Nacional de Verité et de Justice”.
34
Lihat Lynn Berat dan Yossi Shain, “Retribution or Truth-Telling in South Africa? Legacies of the Transitional Phase”, dalam Kader Asmal dan Ronald Suresh Roberts eds., Law and Social Inquiry 20 1995: 163;
Reconciliation through Truth: A Reckoning of Apartheid’s Criminal Governance, New York: St. Martin’s, 1997.
35
Untuk penjelasan tentang komisi Uganda dan Chad, lihat Jamal Benomar, “Coming to Terms with the Past: How Emerging Democracies Cope with a History of Human Rights Violations” makalah dipresentasikan di
Carter Center, Emory University, Human Rights Program, Juli 1992, 11-14.
36
Lihat Promotion of National Unity and Reconciliation Act 34 of 1995, Juta’s statutes of the Republic of South Africa,
jilid 1 1997, 801.
14 organisasi non-pemerintah dan masyarakat sipil, seperti oleh gereja. Komunitas yang paling
banyak menjadi korban penghilangan di wilayah Amerika mungkin adalah komunitas Maya di Guatemala. Sebelum berakhirnya perang selama tiga dekade, penyelidikan dilakukan oleh
sebuah organisasi gereja, REHMI Oficina de Derechos Humanos del Arzobispado Kantor Hak Asasi Manusia Keuskupan Agung atau disebut juga ODHA. Laporan tidak resminya,
dengan mandat untuk “mengembalikan ingatan sejarah”, berdasar pada pengakuan para korban, diharapkan untuk digabungkan dengan laporan resmi yang diharapkan akan disusun
setelah berakhirnya perang.
37
Temuan tidak resmi tentang penindasan rasial ini mengguncangkan seluruh negeri, dan kemudian dikonfirmasikan oleh laporan resmi, “Ingatan
tentang Kebisuan” The Memory of Silence. Di wilayah lain di benua tersebut, bila pemerintahan militer berakhir tanpa transisi politik yang jelas, seperti di Brazil, atau setelah
negosiasi yang berlarut-larut, seperti di Uruguay, penyelidikan oleh pemerintah tidak dapat dilakukan. Di Brazil, penyelidikan terhadap pelanggaran di masa lalu dilakukan oleh para
rohaniwan, yang menulis laporan berjudul “Tidak Akan Pernah Lagi” Never Again berdasar arsip yang secara rahasia “dicuri” dari militer. Hingga hari ini, laporan ini merupakan satu dari
amat sedikit catatan tentang represi militer Brazil pada dekade 1970-an, dan telah disebarluaskan di seluruh negeri.
38
Meskipun usaha penemuan kebenaran Brazil dan Uruguay tidak dilakukan oleh pemerintah, mereka meniru usaha pencarian kebenaran resmi di wilayah
tersebut, seperti Argentina, dan menunjukkan bagaimana pelaporan oleh pihak non- pemerintah pun dapat dianggap sebagai kebenaran sosial apabila ia mengikuti bentuk
transisional yang baku. Baik laporan Brazil maupun Uruguay memilik bentuk yang serupa dengan laporan pemerintah yang resmi. Dengan judul Nunca Más atau Never Again, laporan
tersebut mengikuti model laporan Argentina: dalam judul, sistematika, mandat penyelidikan dan sumber-sumber bukti, yang berasal dari sumber resmi pemerintah. Dengan cara ini,
bahkan laporan “tidak resmi” pun dapat dikatakan menghasilkan kebenaran yang “resmi”. Laporan Brazil, yang seluruhnya bersumber pada arsip pemerintah, meskipun bukanlah
catatan pengadilan, pada dasarnya merupakan pengakuan negara terhadap pelanggaran yang dilakukannya, yang didapatkan oleh para rohaniwan penting Brazil. Dan, karena penindasan di
Uruguay dicirikan oleh penahanan melanggar hukum dan penyiksaan bukan pembunuhan, ada korban yang selamat, sehingga para mantan tahanan bisa memberikan kesaksian sebagai
bukti langsung dalam catatan sejarah.
39
Dari namanya – Nunca Más – bahasa Spanyol yang berarti “tidak akan pernah lagi”, laporan-laporan kebenaran Amerika Latin diarahkan untuk mencegah terjadinya kejadian
serupa di masa depan, yang biasanya merupakan tujuan penghukuman.
40
Pencegahan kemungkinan terjadinya kejadian di masa depan pada umumnya merupakan justifikasi utama
untuk penghukuman, namun dalam masa transisi, kepentingan kedaulatan hukum dapat dicapai dengan cara-cara alternatif – penyelidikan administratif, misalnya. Popularitas
37
Lihat Rigoberta Menchú, I, Rigoberta Menchú: An Indian Woman in Guatemala, Editor: Elizabeth Burgos- Debrany, penerjemah: Ann Wright, London: Verso, 1984.
38
Untuk tinjauan demikian, lihat Lawrence Weschler, A Miracle, A Universe: Settling Accounts with Torturers, New York: Penguin Books, 1991.
39
Lihat Servicio Paz y Justicia, Uruguay, Nunca Más: Human Rights Violations, 1972-1985, terjemahan Elizabeth Hampsten dengan pengantar oleh Lawrence Weschler, Philadelphia: Temple University Press, 1992,
xxv.
40
Nunca Más adalah judul laporan Argentina dan Uruguay; sementara laporan Brazil berjudul Nunca Mais.
15 penyelidikan demikian sebagai alternatif peradilan pidana menunjukkan keserupaan antara
bentuk-bentuk pidana dan administratif dalam transisi. Kebenaran yang Diciptakan: Epistemologi Kebenaran Resmi
Pertimbangkanlah bagaimana cara penyelidikan dalam masa transisi bisa memberikan gambaran tentang cara mendapatkan kebenaran resmi. Penggunaan komisi kebenaran – bukan
pengadilan tradisional, namun merupakan bentuk penyelidikan setengah resmi – menantang intuisi kita tentang sifat dan bentuk keadilan historis. Sebagaimana akan dibahas lebih lanjut,
epistemologi kebenaran transisional berkaitan erat dengan struktur administratif, kekuasaan dan proses-proses dalam komisi kebenaran. Pengetahuan publik tentang masa lalu diciptakan
melalui proses panjang representasi oleh para pelaku, korban dan masyarakat luas, memberikan dasar bagi penyelidikan sejarah dengan konsensus sosial. Kebenaran tersebut
dicapai secara bersama-sama dan dilegitimasi melalui proses non-adversarial, yang mengaitkan pertimbangan sejarah dengan potensi konsensus. Mandat komisi kebenaran
merupakan kompromi yang tegas terhadap isu penting dalam keadilan transisional, yaitu “pengadilan atau impunitas”. Seperti penuntutan di pengadilan, kepada komisi-komisi
setengah resmi ini didelegasikan kekuasaan oleh eksekutif, yaitu yaitu kekuasaan melakukan penuntutan. Namun, kendatipun beberapa komisi kebenaran memiliki kekuasaan penyelidikan
yang luas, seperti kekuasaan untuk men-subpoena – seperti Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan – tidak ada yang memiliki kekuasaan yudisial sepenuhnya.
Konstruksi kebenaran publik yang dapat dipercaya bergantung pada proses ratifikasi lainnya di luar pemerintah, yang ditimbulkan oleh rakyat. Kebenaran transisional yang dapat diterima
secara sosial diciptakan dalam struktur demokrasi yang baru dibentuk, oleh dua narator: rakyat dan elite yang dipilih. Ketua komisi kebenaran biasanya dipilih dari warga negara yang
dihormati karena integritasnya, suatu elite moral. Sebagai suatu badan, komisi tersebut diharapkan berimbang secara politis dan netral. Masalah netralitas ini terutama penting dalam
transisi setelah perang saudara, sehingga misalnya komisi El Salvador beranggotakan warga- warga asing, yang berada di luar lingkup pertikaian golongan antara sesama warga El
Salvador. Hal yang sama terjadi dalam Komisi Klarifikasi Sejarah di Guatemala. Terdapat anggapan bahwa kebenaran haruslah tidak memihak, dan dengan demikian berada di luar
lingkup pertikaian domestik.
41
Apa yang merupakan “sejarah resmi”? Jika para komisioner menjadi otoritas moral dengan membawakan suara netralitas, para korban memberikan otoritas moral dengan
membawakan suara para korban, mereka yang mengalami penindasan oleh negara secara langsung. Para korban penindasan di masa lalu adalah sumber utama bukti dalam penyelidikan
sejarah. Komisi kebenaran bergantung pada kesaksian para korban, dan mereka yang paling banyak menderita akibat negara menjadi para saksi yang paling bisa dipercaya. Bila kesaksian
para korban dinarasikan oleh para komisioner yang merupakan aktor setengah resmi, kebenaran tersebut bisa menjadi milik bersama, suatu kisah nasional dan dasar konsensus
transisional.
41
Untuk pemikiran terkait, lihat Michel Foucault, The Birth of the Clinic, terjemahan A.M. Sheridan Smith, New York: Vintage Books, 1994.
16 Pengetahuan sosial tentang masa lalu dikonstruksikan oleh proses publik. Proses-
proses tersebut menghasilkan kebenaran yang mendemokratiskan yang membantu membangun suatu konsensus kemasyarakatan. Proses-proses tersebut juga merupakan ritual-
ritual kritis dan transformatif yang membalikkan kebijakan pengetahuan rezim yang lama. Sementara impunitas terjadi dalam masa pemerintahan represif yang lama, dan rezim militer
dikenal karena menutup-nutupi kebenaran, pemerintahan yang baru dikenal karena ketaatannya pada hukum. Hak untuk melakukan dengar pendapat, yang secara tradisional
merupakan bagian dari proses administratif, secara terbuka menegaskan hak partisipasi politik dan harga diri individual. Penyelidikan administratif bergantung pada partisipasi warga – yang
didorong oleh negara melalui insentif yang kuat, seperti ganti rugi bagi para korban dan imunitas bagi para pelaku. Afrika Selatan memberikan contoh bagaimana struktur insentif
yang tersirat dalam ketergantungan komisi administratif terhadap kesaksian dan pengakuan, yang dikaitkan dengan ganti rugi dan amnesti.
Terlepas dari insentif-insentif tersebut, proses-proses pengungkapan pengalaman tersebut dapat dikatakan sebagai suatu bentuk katarsis. Jika rezim pendahulu gagal melindungi
warganya dari pelanggaran oleh pasukan keamanan, dalam pemerintahan yang sedang melakukan liberalisasi, kesempatan untuk mengungkapkan pengalaman di muka pemerintahan
baru dapat mengembalikan sebagian dari harga diri yang dahulu dilanggar. Dampak kesaksian para korban menjadi lebih besar bila acara dengar pendapat komisi kebenaran dilakukan di
tempat-tempat publik di mana terjadi penindasan sebelumnya. Proses publik ini juga memberikan legitimasi kepada rezim yang baru. Mereka yang sebelumnya disiksa dan dipaksa
untuk membisu kini bisa secara terbuka mengungkapkan pengalaman mereka dalam masa penindasan.
42
Kisah-kisah mereka yang selamat dibandingkan satu sama lain, dan pola-pola penindasan sistematis menjadi terlihat. Selain bukti-bukti lain, kisah-kisah tersebut menjadi
penyusun kebenaran resmi. Kesaksian para korban dan saksi lainnya direkonstruksikan oleh para komisioner menjadi suatu kisah yang tunggal tentang penindasan negara. Laporan
kebenaran resmi ini merupakan suatu bentuk narasi yang spesifik, sehingga tidak mengherankan bahwa para ketua komisi sering kali adalah pengarang terkenal, seperti Ernesto
Sábato, ketua CONADEP Argentina.
Penyelidikan kebenaran transisional diberikan mandat untuk menentukan “apa yang terjadi” dalam masa pemerintahan yang kejam. Praktik komisi kebenaran menunjukkan
ketaatan pada prinsip-prinsip dokumentasi. Laporan-laporan kebenaran tersebut ditulis dalam gaya bahasa dokumentasi resmi. Perhatikanlah standar kepastian yang digunakan untuk
menentukan “kebenaran resmi”. Hukum Amerika menekankan standar pembuktian sebagai karakteristik utama yang membedakan pencarian kebenaran pidana dan perdata. Namun,
anggapan tentang standar pembuktian dan pelaporan ini menjadi aneh dari sudut pandang terhadap kebenaran dalam budaya hukum lainnya. Jadi, kebenaran menurut sistem hukum
kontinental merupakan suatu pemahaman yang tunggal, tanpa memperhatikan proses hukum pidana atau perdata.
43
Gabungan penyelidikan pidana dan perdata dalam komisi kebenaran transisional berusaha untuk menjalankan pendekatan tunggal serupa terhadap pertanyaan
tentang standar pembuktian yang tepat. Ketika pertanyaan tersebut diajukan oleh komisi kebenaran El Salbador, ia menggunakan aturan dua-sumber, yang merupakan standar
42
Lihat misalnya, Report of the Commission on the Truth for El Salvador kemudian Laporan Komisi Kebenaran El Salvador
April 1993, 229. Lihat juga Laporan CONADEP, 5.
43
Tentang kebenaran dalam sistem hukum kontinental, lihat Damaska, “Evidentiary Barriers”, 580.
17 pembuktian yang biasa digunakan oleh para sejarawan dan jurnalis. Standar pembuktian
minimal, “cukup bukti”, berkorelasi dengan banyaknya bukti yang mendukung, dan dengan demikian membutuhkan lebih dari satu sumber.
44
Laporan kebenaran bukanlah suatu tinjauan yang tergeneralisasi dan umum, namun merupakan catatan dokumentasi yang mendalam. Laporan biasanya memuat banyak detail:
laporan-laporan itu mencatat penghilangan berdasarkan nama jalan tempat terjadinya penculikan, nama tempat penahanan, nama panggilan para penyiksa, nama tahanan yang lain,
dan nama para saksi yang memberikan kesaksian.
45
Semua detail dicatat secara verbatim. Dalam bahasa yang sederhana dan terus terang, hal-hal yang semula tidak dipercaya menjadi
dapat dipercaya. Dengan semakin banyak detail, semakin banyak pula jawaban terhadap kebisuan negara di masa lalu. Semakin teliti dokumentasi, semakin sedikit variasi interpretasi
atau bantahan yang dimungkinkan. Satu hal penting dalam sejarah transisional adalah bahwa kebenaran resmi haruslah diketahui hingga sedetail mungkin. Mengetahui dengan mendetail
berarti menutup celah hal-hal di masa lalu yang karena kekejamannya dan dukungan negara, akan tidak dipercaya dan dilupakan. Kebenaran resmi tentang kejahatan negara harus
ditentukan berdasarkan dokumentasi yang teliti, dan paradigma tentang pelaporan resmi tentang kekejaman negara adalah laporan dalam bentuk yang literal. Ritual
pertanggungjawaban membalikkan praktik penghilangan, dan membatalkan kebijakan rahasia di masa lalu. Pelaporan secara literal merespon dan membatasi model narasi-narasi lain yang
bertentangan. “Laporan” menjadi cara dominan untuk mengisahkan pelanggaran hak asasi manusia dan kekejaman. Cara tersebut dapatlah dikatakan sebagai cara juridis.
46
Politik Ingatan: Mengaitkan Rezim Sejarah dan Rezim Politik
“My Dreams are like your vigils” Jorge Luis Borges, A Personal Anthology
Agar suatu kebenaran dapat dianggap “resmi”, diperlukan konsensus demokratik. Namun dalam transisi, proses demokratik sering kali belum dikonsolidasikan dengan baik, dengan
implikasi terhadap otoritas dan legitimasi penciptaan pengetahuan dalam masa transisi. Dengan demikian, dalam pencarian kebenaran masa transisi, ada usaha bersama untuk
menjadikan pertanggungjawaban sejarah dan politis dapat berjalan seiring. Rezim kebenaran transisional tidak berdiri sendiri, namun terkait erat dengan proses-proses dalam penciptaan
pengetahuan, selain narasi sejarah yang telah ada. Konsensus pada sejarah yang diciptakan didasarkan pada penyebarluasan dan penerimaan kebenaran di tingkat masyarakat. Dari mana
sumber kekuasaan kebenaran resmi? Proses hukum presentasi dan ratifikasi memberikan otoritas dan legitimasi dalam proses demokrasi. Begitu selesai, laporan kebenaran diberikan
kembali kepada aktor pemerintah yang memberikan kekuasaan kepada komisi kebenaran,
44
Lihat Laporan Komisi Kebenaran El Salvador, 24.
45
Laporan CONADEP, 49-51. Untuk kisah tentang sesi penyiksaan, dijelaskan secara mendetail oleh para korban, lihat Uruguay, Nunca Más, 102-03.
46
Untuk contoh, lihat Human Rights Watch, Annual Report, New York: Human Rights Watch, 1997.
18 biasanya eksekutif negara yang bersangkutan.
47
Penyebarluasan informasi merupakan langkah berikutnya, misalnya di Cili, setelah presentasi laporan Komisi Rettig kepada presiden,
laporan kemudian dipresentasikan kepada masyarakat luas.
48
Proses serupa terjadi dalam presentasi laporan komisi internasional El Salvador kepada PBB.
49
Ritual publik tentang pertanggungjawaban sering kali disertai dengan permintaan maaf dari pemerintah, Misalnya, di Cili pasca-pemerintahan militer, presiden secara terbuka
memaparkan hasil temuan komisi kebenaran kepada seluruh masyarakat, di sebuah stadion olahraga, yang semula pernah digunakan sebagai tempat penahanan dan penyiksaan. Hal ini
menggambarkan sekali lagi bahwa ritual-ritual kritis tersebut merupakan suatu pembalikan – penggunaan ritual-ritual represi dari masa lalu – terhadap ritual di masa lalu, dengan tujuan
untuk memberikan arti baru. Dalam presentasinya, Presiden Patricio Aylwin menyatakan bahwa penghilangan merupakan “eksekusi” yang dilakukan oleh “agen-agen negara”, secara
formal mengakui tanggung jawab negara dan meminta maaf kepada seluruh masyarakat.
50
Presiden Aylwin “mewakili seluruh negara, dan atas namanya, mengakui tanggung jawab negara, kepada para korban”.
51
Permintaan maaf transisional ini memberikan rehabilitasi secara terbuka bagi para korban, yang telah direndahkan oleh rezim lama, yang mengata-
ngatai mereka sebagai “musuh negara”. Tindakan ini memiliki konsekuensi di tingkat masyarakat, yang jauh lebih besar daripada permintaan maaf secara informal, dan
menunjukkan kedekatan antara keadilan historis dan reparatoris. Sementara dengan permintaan maafnya, presiden mewakili negara dan seluruh tanggung jawabnya kepada para
korban, ia juga menegaskan kebutuhan terhadap “tindakan pengakuan terhadap penderitaan” yang dialami seluruh bangsa.
Representasi kebenaran secara publik, melalui lembaga eksekutif, memberikan ekspresi tentang pertanggungjawaban politik masa transisi dan menggambarkan dilema
tanggung jawab suksesor dalam masa transisi. Ketika rezim kebenaran baru dipresentasikan, dan wakil rezim baru meminta maaf kepada seluruh masyarakat atas nama negara untuk
tindakan-tindakan yang dilakukan pada masa pemerintahan yang lama, terlihat adanya kontinuitas negara dan kedaulatan hukum. Apologi transisional memberikan kontinuitas
tanggung jawab negara, sekaligus merupakan diskontinuitas – melepaskan masa lalu. Tentu saja permintaan maaf resmi memainkan peranan dalam mengakui kesalahan yang dilakukan
pemerintah. Permintaan maaf oleh eksekutif merupakan bentuk pengakuan resmi oleh pemerintah tentang kesalahannya di masa lalu, terutama dalam lingkup hubungan
internasional.
52
Sementara ini merupakan praktik umum dalam tingkat negara, pengalaman transisional menunjukkan penggunaan tindakan ini pada tingkat domestik, antara pemerintah
baru dan warga negaranya. Sebagai puncak usaha pencarian kebenaran, permintaan maaf transisional berperan serta dalam menggerakan pergeseran rezim politik.
47
Meskipun di Afrika Selatan wewenang diberikan oleh parlemen, laporan akhir diserahkan kepada Nelson Mandela.
48
Lihat Informe Rettig, Informe de la Comisíon Nacional de Verdad y Reconciliation, Februari 1991 selanjutnya disebut saja Laporan Rettig, xxxii.
49
Lihat Julia Preston, “2,000 Salvadoreans Helped UN Build Atrocities Case”, Washington Post, 16 Maret 1993.
50
Pidato Presiden Patricio Aylwin kepada rakyat Cili, ditranskripkan oleh British Broadcasting Corporation, 5 Maret 1991.
51
El Murano, 5 Maret 1991.
52
Untuk perspektif sosiologis tentang pentingnya permintaan maaf, lihat umumnya Nicholas Tavuchis, Mea Culpa: A Sociology of Apology and Reconciliation
, Stanford University Press, 1991.
19 Jika mandat komisi kebenaran adalah untuk menentukan apa yang terjadi pada masa
pemerintahan yang lama, maka semata-mata mengumpulkan fakta belumlah memenuhi mandat ini. Yang sedang dipermasalahkan adalah sejarah suatu bangsa yang masih belum
jelas. Dengan demikian, komisi kebenaran, seperti juga pengadilan suksesor, adalah forum pertanggungjawaban sejarah publik tentang peristiwa-peristiwa traumatik, karena transisi
berarti pergeseran atau pergantian rezim kebenaran. Dalam pergeseran dari pemerintahan militer, kebenaran yang sedang dipermasalahkan adalah tentang karakter kekerasan pada masa
pemerintahan sebelumnya. Dalam kisah versi militer, kekerasan yang ia lakukan adalah “perang”, mereka yang dihilangkan adalah “gerilyawan”, dan represi dijustifikasi sebagai
“perang terhadap pemberontak”. Pengisahan inilah yang dicoba dijawab oleh laporan kebenaran transisional, memberikan kebenaran dari pihak suksesor sebagai pengganti
kebenaran versi rezim lama.
53
Mengubah anggapan lama tentang tindakan negara dimungkinkan melalui “kategorisasi” dan “emplotment” dalam narasi yang baru. Kategorisasi
dan emplotment adalah cara-cara dalam narasi transisional untuk memberikan gambaran baru dan legitimasi baru terhadap kisah-kisah tentang masa lalu. Agar tindakan negara di masa lalu
dianggap tidak sah, perlu pelaporan fakta-fakta dengan cara sedemikian rupa sehingga perbedaan-perbedaan relevan menjadi terlihat, melalui penggunaan kategori paralel, dalam
konteks pemerintahan represif di masa lalu. Sebagai contoh, laporan Cili disusun berdasarkan kategori tindakan negara, membedakan korban “kekerasan politik” dari korban “pelanggaran
hak asasi manusia”.
54
Representasi kedudukan dan tindakan para pelaku dan korban menjadi elemen untuk rekonstruksi representasi pelanggaran-pelanggaran di masa lalu yang telah ada. Apa yang
terjadi pada masa pemerintahan yang lama direpresentasikan dalam perubahan kategori kekerasan. Selain fakta-fakta yang baru ditemukan, terdapat renegosiasi terhadap representasi
bahasa kekerasan politik: “konflik bersenjata”, “pemberontakan”, “terorisme politik”, “kejahatan terhadap kemanusiaan”, dan “genosida”. Transformasi sejarah terjadi melalui
representasi eksplisit dalam bentuk rekategorisasi fakta-fakta kontroversial – terutama sifat dan justifikasi kekerasan politik di masa lalu. Sebagai contoh, dalam transisi dari
pemerintahan militer, kebenaran yang kritis adalah yang berkaitan dengan keamanan nasional negara dan doktrin-doktrinnya. Laporan suksesor memberikan respon yang kritis terhadap
klaim rezim militer pendahulu dengan menyatakan bahwa kekerasan negara tidak bisa dijustifikasi oleh doktrin keamanan nasional dalam apa yang disebutnya perang melawan
subversi, dan bahwa mereka yang dibunuh bukanlah teroris politik, melainkan warga negara biasa, dan penghilangan tidak bisa dijustifikasi atas alasan keamanan. Ketika laporan Nunca
Más
Argentina menyimpulkan bahwa seperlima jumlah korban penghilangan adalah pelajar,
55
jadi mereka dikategorikan sebagai “warga sipil tidak bersenjata”, representasi demikian merupakan revisi yang kritis yang memaksakan perubahan atau transisi dalam rezim
kebenaran. Representasi demikian melawan justifikasi kekerasan politik di masa lalu. Untuk alasan inilah, biasanya sebagian besar isi laporan komisi kebenaran memuat identifikasi dan
kategorisasi para korban secara sistematis, dengan implikasi yang berat terhadap rezim lama. Dengan menyatakan bahwa para korban adalah warga sipil yang tidak bersenjata, dan bukan
kombatan, laporan komisi kebenaran menolak rezim kebenaran militer dengan klaimnya
53
Lihat Laporan CONADEP, 448-49.
54
Lihat Laporan Rettig, 39-40.
55
Lihat Laporan CPNADEP, 448
20 bahwa ia melakukan perang melawan terorisme, dan dengan demikian menegaskan bahwa apa
yang terjadi adalah penindasan sistematis yang disponsori oleh negara. Namun usaha untuk menarik garis baru dalam penggolongan kekerasan politik yang
dapat dijustifikasi membutuhkan kehati-hatian. Penggolongan itu memiliki banyak risiko politisasi, dan batasannya pun tipis, terutama bila yang hendak dibedakan adalah kekerasan
politik dan kekerasan hak asasi manusia. Risiko itu makin kentara jika dengan pengisahan keduanya dalam satu laporan, usaha tersebut memberikan arti bahwa keduanya memiliki
keserupaan secara juridis dan moral. Rezim kebenaran yang mendukung perdamaian, kedaulatan hukum dan sasaran politik rezim suksesor tidak selalu adil bagi sejarah, dan
dengan demikian bisa tidak stabil dan berumur pendek. Kebenaran selalu bersifat khas untuk rezim politik tertentu.
Ketegangan yang tersirat dalam transisi sejarah ini, sementara memberikan pemahaman yang bergeser tentang kekerasan di masa lalu, terlihat dalam transisi pasca-perang
saudara, yang memiliki bentuk pertanggungjawaban sejarah yang khas: kesepakatan, yang dinegosiasikan setelah konflik yang menyerupai perang saudara, bergantung pada tinjauan
sejarah untuk memajukan rekonsiliasi, yang merupakan tujuan politis. Penghentian konflik sering kali memerlukan komitmen bersama untuk mengadakan penyelidikan sejarah oleh
kedua belah pihak, yang melibatkan representasi kekerasan dari kedua pihak. Dengan demikian, komisi pasca-perang saudara sering kali mendapat mandat untuk menyusun tinjauan
sejarah yang tunggal yang mewakili kedua pihak dalam perang saudara. Terdapat kesepakatan politik untuk memberikan representasi sejarah tentang tanggung jawab bersama, meskipun
peran negara tetap dominan. Tinjauan demikianlah yang paling jelas menunjukkan kaitan rezim kebenaran dengan rezim politik.
Terdapat banyak ilustrasi kesepakatan hasil perundingan yang menghentikan konflik di Amerika Tengah dan Afrika. Perang saudara di El Salvador dan Guatemala berakhir dengan
kesepakatan untuk melakukan penyelidikan bilateral terhadap kekerasan yang dilakukan rezim dan oposisi, dengan hasil tunggal berupa laporan.
56
Setelah perang saudara, tujuan konsiliatoris dari komisi kebenaran merupakan inti transisi. Dalam transisi pasca-perang
saudara kontemporer, suatu laporan penyelidikan resmi yang memuat pelanggaran yang dilakukan oleh militer dan oposisi memberikan suatu bentuk rekonsiliasi berdasarkan sejarah.
Maka, dalam laporan kebenaran El Salvador, pengisahan tentang perang saudara di negeri itu, yang disebutkan sebagai “tindakan kekerasan yang serius”, disusun secara formal dalam dua
bagian setara, yang masing-masing berjudul “Kekerasan terhadap Pihak Lawan oleh Agen Negara” dan “Kekerasan terhadap Pihak Lawan oleh Frente Farabundo Marti para La
Liberaci
όn Nacional”. Perimbangan antara kekerasan negara dan oposisi dilakukan dengan contoh-contoh kasus yang paradigmatik. Laporan Komisi Klarifikasi Sejarah Guatemala
merujuk masa lalu negara itu sebagai “pertikaian antar-saudara” yang dilakukan oleh pasukan keamanan negara dan pemberontak.
57
Dengan jumlah korban yang besar dari perang saudara di El Salvador dan Guatemala, mandat komisi kebenaran untuk mencapai rekonsiliasi
bergantung terhadap penyelidikan terbatas pada kasus-kasus contoh – dari kedua belah pihak.
56
Lihat “Guatemalan Foes Agree to Set up Rights Panel”, New York Times, 24 Juni 1994, rubrik Internasional.
57
Guatemala’s “Memory of Silence”: Report of the Commission for Historical Clarification Kesimpulan, 1, tersedia di
http:hrdata.aaas.orgcereportenglishconc.1.html . Lihat Report of the Truth and Reconciliation
Commission “Rangkuman dan Panduan isi” 9-11, tersedia di
http:www.truth.org.zafinalexecsum.htm .
Komisi Klarifikasi Sejarah dibentuk melalui Kesepakatan Oslo, 23 Juni 1997.
21 Jadi, dua jenis kekerasan, yang dilakukan negara dan oposisi, dipaparkan secara sejajar, dalam
suatu jilid laporan kebenaran.
58
Sejarah yang dikisahkan ini berimbang, dan merupakan suatu narasi yang diciptakan untuk mendukung kesepakatan politik.
Kesepakatan serupa menjadi hukum di Afrika Selatan. Mandat komisi kebenaran di negara ini adalah untuk menyelidiki pelanggaran rezim pendahulu, sekaligus juga pelanggaran
yang dilakukan aktor-aktor non negara.
59
Suatu permasalahan kesetaraan moral dimunculkan oleh Laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Fokus jilid kedua dari
laporan ini adalah para pelaku. Sementara laporan itu dimulai dengan pemaparan tentang peran negara, tepat setelah bagian ini adalah pembicaraan tentang “gerakan pembebasan” dan
peran mereka dalam pelanggaran. Kesetaraan lebih lanjut tampak dalam proses pencarian kebenaran. Para pelaku dan korban secara umum dianggap setara; para pelaku dianalogikan
dengan para korban, dan dengan demikian, memiliki kedudukan yang sama.
Yang bersalah maupun yang tidak sama-sama korban ... Keluarga dari mereka yang disiksa, dilukai atau mengalami trauma diberdayakan untuk menemukan kebenaran, dan para pelaku
diberikan kesempatan untuk mengakui kesalahan mereka. Negeri ini memulai proses panjang namun penting untuk menyembuhkan luka-luka masa lalu ...
60
Implikasi etis dan politis dari narasi transisional demikian diperlihatkan oleh “laporan” Hannah Arendt tentang pengadilan utama kejahatan Nazi di Israel.
61
Laporan pengadilan Arendt ini berisikan sekumpulan argumen normatif, yang utamanya membahas tanggung
jawab Eichmann sebagai pelaku terhadap para korbannya. Pemaparan peran birokratis Eichmann yang dibandingkan dengan peran para korbannya dalam satu laporan yang sama
inilah yang dianggap mendukung klaim utama Arendt tentang “begitu biasanya” kejahatan.
Risiko politisasi keadilan historis transisional digambarkan dalam laporan kebenaran transisional. Bila perundingan damai sepakat untuk bersama-sama menggabungkan
penyelidikan terhadap kejahatan negara bersama dengan kejahatan pihak lainnya, pilihan komisi untuk menyelidiki kasus-kasus tertentu memiliki risiko tampak sebagai versi sejarah
dari “pengadilan sandiwara”. Timbul pertanyaan tentang sejauh mana kesepakatan politik sebelum terbentuknya komisi membatasi independensi dan bahkan menentukan arah
penyelidikan sejarah. Representasi politik berada pada spektrum kontinuitas dan diskontinuitas, dengan implikasinya yang terkait bagi kemungkinan perubahan ke arah
demokrasi. Bila kedua jenis kekerasan diselidiki oleh satu komisi, terdapat gambaran kontinuitas, bahwa pelanggaran negara bersifat relatif, bahwa aparat penindasan negara serupa
saja dengan oposisi politik. Proses bersama penyelidikan dan pelaporan kekerasan dari kedua pihak ini menempatkan keduanya dalam kategori yang paralel dan memberikan perbandingan
58
El Salvador Truth Commission Report, 6-7. Lihat Mark Deanner, “The Truth of El Mozote”, New Yorker, 6 Desember 1993, 6-7.
59
Lihat Promotion of National Unity and Reconciliation Act 34 of 1995 merujuk pada sasaran “membuat gambaran selengkap mungkin ... tentang pelanggaran berat hak asasi manusia ... termasuk ... perspektif para
korban dan motif serta perspektif orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran”, 801; Alex Boraine et al. eds., Dealing with the Past: Truth and Reconciliation in South Africa, CapeTown: Idasa, 1994.
Lihat juga Emily H. McCarthy, “South Africa’s Amnesty Process: A Viable Route toward Truth and Reconciliation”, Michigan Journal of Race and Law 3 musim gugur 1997: 183.
60
Azanian Peoples Organization AZAPO and Others v. President of the Republic of South Africa 1996 4 SALR 671, 683-84 CC.
61
Arendt, Eichmann in Jerusalem.
22 yang kontroversial: dengan menempatkan kedua macam kekerasan dalam satu dokumen,
melalui penyejajaran keduanya, terciptalah representasi simetris dan bahkan anggapan bahwa kejahatan yang mereka lakukan sebanding – ekuivalen secara moral.
Narasi transisional dapat distrukturkan sedemikian rupa untuk menceritakan berbagai kisah. Sebagai contoh, ada pertanyaan tentang seberapa luas analisis sejarah perlu dilakukan
dalam proses penyelidikan kasus-kasus tertentu. Dengan latar belakang sejarah yang panjang, kisah yang terlihat adalah kekerasan siklik. Bila tinjauan sejarah diorganisasikan sedemikian
hingga menggunakan kategori dan penilaian sejarah yang telah ada, sifat dan penyebab kekerasan menjadi tampak terlalu terdeterminasi dan tidak mengakui perubahan.
62
Komisi-komisi transisional bisa juga membentuk rezim-rezim kebenaran yang transformatif secara radikal. Bila laporan kebenaran dari rezim penerus menunjukkan represi
di masa lalu dalam kategori-kategori yang bersesuaian dengan “sejarah” versi rezim lama, representasi ini memajukan respon yang kritis. Pembantahan sejarah versi lama secara
transformatif bergantung pada penggunaan kategori juridis yang merespon rezim kebenaran lama. Respon dan bantahan ini merupakan satu bentuk pertanggungjawaban historis. Model
ini memungkinkan dengan prinsip-prinsip dokumentasi, representasi dan penguatan kebenaran dalam versi yang baru. Dengan mentransformasi kategorisasi lama, laporan kebenaran
mengungkapkan sifat-sifat pelanggaran negara. Hasil yang dicapai oleh dokumentasi yang dilakukan komisi kebenaran adalah suatu versi baru sejarah yang dapat dipercaya. Dalam hal
ini terdapat keserupaan antara keadilan historis dan peradilan pidana: sebagaimana halnya pengadilan memutuskan “kebenaran” dari satu pihak tentang suatu hal yang dipermasalahkan,
demikian pula penyelidikan kebenaran transisional berpuncak pada keputusan serupa. Kebenaran atau Keadilan: Kebenaran sebagai Pendahulu Keadilan?
Pertimbangkanlah peran narasi sejarah yang diciptakan pada masa transformasi politik. Hingga sejauh mana pengisahan kebenaran transisional merupakan bentuk keadilan? Apakah
mereka merupakan pendahulu, atau alternatif terhadap keadilan? Hingga sejauh mana pertanggungjawaban sejarah merupakan sasaran dalam masa transisi, dan bukan cara untuk
mencapai sasaran lain? Sejauh mana konstruksi kebenaran bersifat performatif, dan sejauh mana bersifat instrumental? Sebuah fungsi performatif utama dalam konstruksi kebenaran
transisional adalah “rekonsiliasi”, yaitu dengan membawa para pelaku dan korban dalam dengar pendapat komisi, dan melalui kesaksian mereka, berpartisipasi dalam proses negara.
Selain kesaksian para korban, komisi juga bergantung pada pengakuan para pelaku. Ini merupakan hal penting bila rekonsiliasi menjadi sasaran. Dengan mempertemukan para pelaku
dan korban untuk membicarakan pengalaman mereka, penyelidikan komisi kebenaran merupakan dramatisasi bersama-sama tentang masa lalu. Bila korban dan pelaku menceritakan
pengalaman mereka, terdapat penyembuhan dan kemungkinan perubahan diri tentang pengalaman yang sudah terjadi. Namun, meskipun proses tersebut memiliki fungsi katarsis
yang penting, masih terdapat potensi konflik laten antara kebutuhan para korban dan pelaku dan kepentingan negara. Dalam berbagai transisi, para korban telah menentang undang-
undang amnesti untuk mengendalikan dan mendapatkan pemenuhan “hak” mereka untuk
62
Lihat Guatemala’s “Memory of Silence” “Kesimpulan dan Saran”.
23 mendapatkan pengetahuan. Contoh utamanya adalah ibu-ibu Plaza de Mayo di Argentina dan
keluarga Biko di Afrika Selatan.
63
Selain potensi konflik ini, kebenaran menimbulkan konsekuensi lain. Perubahan interpretasi memberikan justifikasi untuk perubahan politik lainnya. Begitu rezim kebenaran
baru ditetapkan, ia memiliki konsekuensi lebih lanjut karena ia menjadi standar untuk menentukan klaim-klaim lainnya. Dengan demikian, pertanggungjawaban sejarah
mengarahkan dinamika dalam transisi. Bila terdapat respon yang baru saja dikonstruksi, ia mengubah latar belakang politis dan hukum. Jadi, “kebenaran” bukanlah suatu respon yang
otonom; rekonstruksi terhadap fakta-fakta sosial tidak bisa dilepaskan dari praktik-praktik kemasyarakatan lainnya. Bila “kebenaran” terungkap, ketika pengetahuan-pengetahuan kritis
tertentu diakui secara terbuka, pengetahuan bersama ini menggerakkan respon-respon legal lainnya, seperti sanksi bagi pelaku pelanggaran, reparasi bagi para korban dan perubahan
institusional.
Di beberapa negara, eksplorasi terhadap masa lalu diawali dengan mandat untuk melakukan penyelidikan secara umum. Beberapa menganggap pencarian kebenaran sebagai
tahap awal yang mengarah pada proses legal lainnya, seperti pengadilan, sementara ada pula anggapan bahwa penyelidikan kebenaran merupakan alternatif independen dari respon-respon
lainnya. Sebagai contoh, laporan Argentina, Nunca Más, adalah tahap pertama dalam proyek negara itu untuk menyikapi masa lalunya. Sementara pada umumnya komisi kebenaran tidak
mengungkapkan nama pelaku pelanggaran,
64
di Argentina, bila terdapat kecurigaan, komisi menyampaikan daftar nama-nama yang ia temukan kepada pengadilan, dan kecurigaan
tersebut akan mengarah pada pengadilan terhadap individu pelaku pelanggaran. Pengungkapan pelanggaran di masa lalu memiliki konsekuensi lain, yaitu pengadilan. Peran transisional
penyelidikan resmi sebagai tahap pertama dalam keseluruhan respon ini serupa dengan masa biasa. Misalnya, di Kanada dan Australia, penyelidikan sejarah untuk menyelidiki peran
negara-negara tersebut dalam Perang Dunia Kedua berpuncak pada pengadilan pidana. Kecuali bila penyelidikan kebenaran dikekang secara apriori, ia akan mengarah ke berbagai
respon: pengadilan, sanksi lain, ganti rugi kepada korban dan perubahan struktur.
Kebenaran atau keadilan? Sekali lagi, usaha penyelidikan kebenaran di beberapa negara bukanlah dianggap sebagai pendahulu, namun sebagai alternatif penghukuman.
65
Dalam konteks-konteks ketika pengadilan tidak dimungkinkan atau secara politis tidak dianjurkan, proses penyelidikan sejarah disarankan sebagai alternatif terhadap pengadilan.
Sebagai contoh, di Cili, El Salvador, Guatemala dan Afrika Selatan, di mana keadilan retributif tidak dijalankan, penyelidikan-penyelidikan yang dikendalikan dengan ketat,
tampaknya bisa mencapai kepentingan negara untuk “menghukum” dalam bentuknya yang lain. Dalam laporan komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili, kebenaran itu sendiri merupakan
suatu “putusan moral”.
63
Lihat AZAPO and Others, 1996 4 SALR 671 CC. Lihat “Quien está contra la Nación?” Madres de la Plaza de Mayo
, januari 1985, 11.
64
Hampir semua komisi kebenaran memiliki suplemen yang bersifat rahasia, kecuali laporan komisi kebenaran Chad, yang memuat daftar nama pelaku pelanggaran beserta foto mereka.
65
Bandingkan Naomi Roht-Arriaza, “State Responsibility to Investigate and Prosecute Human Rights Violations in International Law”, California Law Review 78 1990, 449, dengan José Zalaquett, “Confronting Human
Rights Violations Committed by Former Governments: Applicable Priciples and Political Constraints”, Hamline Law Review
13 1990: 623.
24 Sering kali ada anggapan bahwa kebenaran harus dibayarkan dengan keadilan. Namun,
seperti dibicarakan di muka tentang peradilan pidana, konstruksi pengetahuan publik tentang masa lalu yang penuh penindasan memiliki berbagai bentuk, sehingga pilihan antara
penyelidikan pidana atau penyelidikan sejarah tidak identik dengan pilihan antara keadilan atau kebenaran. Yang menjadi pertanyaan adalah “kebenaran” yang bagaimana?
Ciri utama rezim kebenaran dalam masa transisi berkaitan dengan sejauh mana masyarakat yang baru dapat mentolerir berbagai representasi “kebenaran”. Bila transisi bisa
dicapai dengan janji adanya rekonsiliasi di masa depan antara berbagai elemen masyarakat yang terbagi-bagi, terdapat usaha untuk mencapai pandangan yang serupa tentang sejarah.
Konsensus sejarah terkait erat dengan pembangunan konsensus politik. Dengan demikian, sering kali terdapat usaha untuk membatasi versi-versi lain dari sejarah, dan diberikanlah
insentif bagi para korban dan pelaku untuk berpartisipasi dalam proses sejarah resmi. Pengampunan dan amnesti yang ditawarkan dan dijanjikan digunakan untuk mencegah
timbulnya versi lain dari sejarah yang bisa melemahkan versi sejarah yang resmi, yang tampak dalam penyelidikan kontemporer di Afrika Selatan. Batasan yang diterapkan untuk mencegah
munculnya versi-versi lain dari sejarah merupakan semacam “aturan pengendali”.
66
Bentuk- bentuk aturan pengendali lainnya tampak dalam konstitusi transisional, yang akan dibicarakan
di bagian lain bab ini. Kebenaran tidak selalu sama dengan keadilan; namun ia juga tidak selalu terpisah.
Pemahaman yang lebih baik adalah yang menganggap bahwa kebenaran adalah suatu elemen dari keadilan. Dengan demikian terdapat kedekatan antara pertanggungjawaban sejarah dan
bentuk-bentuk pertanggungjawaban transisional lainnya, yang semuanya membangun pengetahuan bersama tentang masa lalu. Sejarah transisional memajukan tujuan epistemik dan
ekspresif yang diasosiasikan dengan sanksi pidana. Kedekatan lain antara pertanggungjawaban historis dan pidana adalah pembebanan tanggung jawab individual untuk pelanggaran-
pelanggaran di masa lalu. Hal ini tampak jelas dalam Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Afrika Selatan pasca-apartheid, di mana pengakuan sejarah dijadikan syarat untuk pemberian
amnesti individual, kasus demi kasus. Sebagaimana dalam skema pidana, pengakuan individual ini memiliki unsur-unsur penghukuman, karena penyelidikan dilakukan untuk
menetapkan kesalahan individu, dengan temuannya kemudian diungkapkan dalam masyarakat dalam proses ritual yang formal. Pengungkapan pelanggaran para pelaku itu dengan sendirinya
merupakan bentuk penghukuman yang tidak formal, “memalukan” dan memberikan sanksi sosial bagi para pelakunya. Bentuk sanksi ini memiliki risiko pengutukan yang tidak terbatas,
dan pada akhirnya dapat mengancam kedaulatan hukum.
67
Satu kaitan lain antara keadilan historis dan bentuk-bentuk keadilan lainnya adalah pengungkapan kejahatan di masa lalu dapat memberikan suatu macam reparasi atau pemulihan
bagi para korban, juga menarik garis pembatas antara rezim. Pengungkapan kisah para korban dapat “meluruskan” sejarah, seperti tuduhan kejahatan politik di masa sebelumnya, seperti di
Amerika Latin, di mana banyak korban yang dihilangkan dituduh melakukan subversi. Rehabilitasi reputasi yang serupa memainkan peranan penting di Eropa Timur dan Rusia.
Rehabilitasi tahanan politik dari masa Stalin, yang berjumlah ribuan, masih merupakan kerja
66
Lihat Stephen Holmes, Passions and Constraint, Chicago: University of Chicago Press, 1995 membicarakan peran konstitutif “aturan pengendali”.
67
Untuk analisis kritis tentang tindakan mempermalukan, lihat James Whitman, “What is Wrong with Inflicting Shame Sanctions?” Yale Law Journal 107 1998: 1055.
25 penting dari organisasi hak asasi manusia di sana, yang terutama dikerjakan oleh Memorial,
organisasi yang dibentuk pada akhir dekade 1980-an untuk mengungkapkan penindasan politik. Pelurusan sejarah bagi para korban dilakukan dengan berbagai cara, dengan
mengalahkan tuduhan di pengadilan, mengesahkan perundang-undangan, memberikan permintaan maaf dalam laporan kebenaran dan menerbitkan bantahan terhadap versi sejarah
rezim lama. Di sini terlihat tujuan korektif dari keadilan historis transisional. Tujuan kebenaran dalam hal ini adalah mengembalikan harga diri para korban, termasuk
mengembalikan perdamaian dan rekonsiliasi.
Nilai penting keadilan historis menunjukkan kedekatan dengan bentuk-bentuk keadilan transisional lainnya dalam liberalisasi, dengan tujuannya yang korektif, yang tampak dalam
banyaknya saran-saran yang diberikan dalam laporan kebenaran, yang bersifat struktural. Sebagai contoh, ketika komisi kebenaran El Salvador melaporkan bahwa tanggung jawab
untuk pelanggaran berat hak asasi manusia berada pada komando tertinggi militer, ia menyarankan untuk mengadakan “pembersihan” pada perwira-perwira tinggi dalam struktur
tersebut.
68
Ketika pemerintahan represif di Amerika Latin dianggap disebabkan karena tidak ada badan peradilan yang independen, sebagaimana dapat dibaca dari berbagai laporan tentang
pelanggaran hak asasi manusia di daerah itu, maka laporan-laporan tersebut sering kali menyarankan diperkuatnya badan-badan peradilan; demikian pula perubahan mendalam
tentang budaya hukum, terutama yang menyangkut hak asasi manusia.
69
Usaha pertanggungjawaban transisional ini sering kali menjadi institusi permanen, seperti komisi
kebenaran Uganda, yang kemudian berubah menjadi badan hak asasi manusia permanen untuk menyelidiki pelanggaran yang dilakukan oleh rezim baru yang dipilih secara terbuka.
70
Hal serupa terjadi di Cili, di mana Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi kemudian menjadi Badan
Pemulihan dan Rekonsiliasi Nasional Cili, yang juga menyikapi kasus-kasus baru yang muncul belakangan.
71
Akhirnya, penyebarluasan laporan kebenaran dalam masyarakat baru pasca represi dilakukan sebagai usaha untuk mengubah opini publik tentang tirani negara. Laporan
kebenaran biasanya mengungkapkan bahwa di masa lalu masyarakat luas menerima teror negara begitu saja. Penerimaan masyarakat, terutama di tingkat elite, mengungkapkan bahwa
pelanggaran hak merupakan hal yang bisa diterima sebagai ganti kendali yang lebih kuat terhadap oposisi; dan sikap inilah antara lain yang memungkinkan kuatnya penindasan militer
di suatu wilayah.
72
Jika penghukuman menunjukkan tindakan-tindakan apa saja yang tidak akan ditolerir oleh masyarakat, banyak masyarakat pasca-rezim militer yang belum mencapai
konsensus tentang apa yang tidak bisa diterima, dan lebih spesifiknya, bahwa kediktatoran merupakan tindakan kriminal. Interpretasi kritis laporan kebenaran terhadap rezim pendahulu,
seperti juga dilakukan oleh proses pengadilan, bisa memecahkan kebekuan yang menjadi ciri pemerintahan represif di masa lalu. Pada akhirnya, toleransi masyarakat terhadap penindasan
oleh negara akan berkurang.
68
Laporan Komisi Kebenaran El Salvador, 176.
69
Lihat misalnya Laporan CONADEP, 386-425. Lihat juga Laporan Rettig, 117-29.
70
Lihat Human Rights Watch, Commission of Inquiry Investigates Causes of Abuses in Uganda, New York: Human Rights Watch, 1989.
71
Lihat Informe Sobre Calificación de Victimas de Violaciónes de Derechos Humanos y de la Violencia Politica, Corporación Nacional de Reparación y Reconciliación
Chile, 1996.
72
Lihat misalnya Jacobo Timerman, Prisoner without a Name, Cell without a Number, New York: Knopf, 1981.
26 Dengan peran komisi kebenaran dan laporan-laporannya dalam mengubah sikap
masyarakat terhadap represi oleh negara, bagaimana transformasi ini memungkinkan keadilan historis dalam arti pertanggungjawaban? Bagaimana narasi laporan resmi itu membangun
perasaan pertanggungjawaban historis? Dalam hal apa kebenaran ini bisa dianggap sebagai keadilan historis? Meskipun laporan kebenaran transisional pada umumnya mengklaim untuk
tidak berperan sebagai “pengadilan”,
73
klaim demikian sebenarnya merujuk pada arti sempit dari pengadilan. Dari bentuk penyelidikan dan pelaporan kebenaran, ritual formal dengan
berbagai tuduhannya yang mendetail, penyelidikan kebenaran memiliki keserupaan dengan proses pidana. Laporan-laporan tersebut dapat dikatakan merupakan bentuk keputusan
pengadilan, karena tinjauannya tentang sejarah menggunakan bahasa hukum dalam merespon pelanggaran hak individual. Tinjauan sejarah ini ditulis dalam bahasa hukum, dengan
peristilahan status, hak, kesalahan, kewajiban, klaim dan perizinan. Bila para pelaku tidak dituding secara individu, seperti biasanya dilakukan dalam laporan kebenaran, subjek
keputusan tersebut adalah masayarakat luas. Model peninjauan ini lebih kemprehensif daripada model peradilan pidana. Paling tidak, laporan kebenaran demikian memungkinkan
perasaan keadilan historis secara luas, kalau bukan menuntut pertanggungjawaban dari para pelaku, mengembalikan harga diri dan pemulihan bagi para korban. Dalam peradilan pidana,
tinjauan ini, seperti proses ajudikasi, bersifat kasus demi kasus. Sementara, penyelidikan administratif bisa memfokuskan sejarah secara lebih luas, sehingga memahami konteks luas
peninggalan sejarah, struktur sosial dan politik suatu negara, yang semuanya terkait dengan masalah pertanggungjawaban terhadap kesalahan. Dalam penyelidikan sejarah yang lebih luas,
para pelaku dan korban dikaitkan lagi dalam penyelidikan terhadap kebijakan penindasan oleh negara.
Proses komisi kebenaran menggambarkan respon sejarah terhadap pemerintahan represif, juga kaitan antara rezim politik dan sejarah. Dengan memberikan respon yang kritis
terhadap representasi sejarah, hukum dan politik dari rezim masa lalu tentang penindasan di masa lalu, laporan kebenaran resmi merupakan bentuk pertanggungjawaban dalam masa
transisi dan merespon klaim bahwa semua hal tersebut bersifat politis. Dalam proses komisi kebenaran, kebenaran politik dikonstruksikan secara instan, menunjukkan bagaimana
perubahan rezim kebenaran berkaitan dengan perubahan rezim politik. Sifat khas bentuk- bentuk dan proses-proses dalam sejarah transisi menunjukan sifat instrumental dari respon-
respon tersebut, yang sering kali dipolitisasi dalam arti bahwa kebenaran yang relevan adalah pengetahuan umum yang diperlukan untuk mendorong transformasi masyarakat. Oleh respon
transisional yang penting ini, diciptakanlah suatu “kebenaran” yang secara terbuka dan eksplisit merupakan konstruksi politik, yang mengarahkan transisi.
Kita kembali ke pertanyaan di awal bab ini: apa sifat dan peran sejarah dalam transisi? Transisi menunjukkan kerangka sosial penyelidikan sejarah. Meskipun pada umumnya
dikatakan bahwa kerangka sosial dan politik pada suatu masa mempengaruhi konstruksi ingatan kolektif,
74
kaitan pada masa biasa ini tidak terdapat dalam masa transisi. Pembangunan ingatan kolektif pada masa transformasi radikal dicirikan oleh konteks kerangka transisional
yang relevan. Proses pencarian kebenaran resmi, seperti komisi sejarah, secara eksplisit dirancang untuk mencapai masa depan yang lebih demokratis. Di sinilah tampak tujuan
73
Lihat misalnya Nunca Más, pembukaan.
74
Lihat Maurice Halbwachs, On Collective Memory ed.: Lewis A. Coser, Chicago: University of chicago Press, 1992.
27 transformatif sejarah, suatu peran politis yang mengarah ke depan, dalam rekonsiliasi dan
liberalisasi nasional. Kebenaran yang tercipta adalah tentang masa lalu “yang dapat diterima” untuk masa depan yang lebih baik. Sejarah transisional memiliki peran ganda untuk
mengecilkan sekaligus menunjukkan kembali hal-hal yang direpresi di masa lalu. Yang tercipta adalah narasi liberalisasi yang performatif, yang dalam konteks politik suatu negara
dapat membantu proses liberalisasi. Keadilan Historis setelah Totalitarianisme
Tiang utama sistem totaliter masa kini adalah keberadaan satu sumber utama semua kebenaran dan semua kekuasaan, suatu “pemikiran sejarah” yang terinstitusionalisasi.
.... Dalam masa pasca-totaliter, kebenaran dalam arti seluas-luasnya memiliki nilai yang amat
penting, yang tidak dikenal dalam konteks-konteks lainnya. Dalam sistem ini, kebenaran memiliki peran yang jauh lebih besar dan sangat berbeda sebagai faktor kekuasaan, atau sebagai
kekuatan politik yang signifikan. Bagaimana kekuatan kebenaran bekerja? Bagaimana kebenaran sebagai faktor kekuasaan bekerja? Bagaimana kekuatannya – sebagai kekuatan – dapat
terlaksana?
Václav Havel, Open Letters: Selected Writings, 1965-1990
Hegel menyatakan bahwa semua fakta dan tokoh besar dalam sejarah muncul dua kali. Ia lupa menambahkan: yang pertama kali sebagai tragedi, yang kedua sebagai lelucon yang tidak lucu.
Karl Marx, The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte
Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa
Milan Kundera, The Book of Laughter and Forgetting
“Hidup dalam kebenaran” merupakan slogan banyak kelompok penentang rezim Komunis.
75
Namun, setelah perubahan politik, apa arti sebenarnya dari “hidup dalam kebenaran?” Bagaimana bergeser dari “hidup dalam kebohongan” ke masyarakat yang terbuka?
Kediktatoran tradisional, seperti militer di Amerika Latin, cenderung menggunakan kekuasaannya dengan kerahasiaan, penghilangan dan impunitas, untuk memerintah di luar
sejarah. Bila hal ini merupakan kaitan pengetahuan dan kekuasaan dalam masa rezim pendahulu, respon transisionalnya adalah untuk secara terbuka mengkonstruksikan tinjauan
sejarah kolektif tentang masa yang dipermasalahkan. Sebaliknya, setelah komunisme, penyelidikan kebenaran resmi tidak menjadi pilihan respon yang umum. Respon ini
tampaknya tidak tepat dalam konteks transisi dari pemerintahan totaliter, di mana sejarah resmi negara memainkan peran integral dalam represi. Sejarah progresif menurut ideologi
Marxis merupakan usaha untuk merasionalkan negara totaliter. Di seberang Tembok Berlin, simbol penindasan totaliter adalah aparat keamanan negara dan metode pengawasannya. Yang
mencirikan totalitarianisme adalah totalitas kekuasaan negara, termasuk usaha untuk
75
Václav Havel, “The Power of the Powerless”, dalam Open Letters: Selected Writings, 1965-1990 ed.: Paul Wilson, New York: Random House, Vintage Books, 1992, 147-48.
28 menguasai budaya dan sejarah sepenuhnya. Usaha ini mencakup penggunaan sejarah negara
untuk tujuan politis secara terbuka.
76
Suatu pertanyaan yang sukar adalah, apa yang perlu dilakukan dengan sejarah negara yang diciptakan oleh rezim lama ini? Misalkan kata arsip, yang memiliki akar arche, yang
berarti “awal” sekaligus “pemerintahan”. Dalam masa transisi, kaitan antara pemerintahan dan awal normatifnya menjadi tampak amat jelas.
77
Sementara setelah kediktatoran, terdapat konsensus tentang pentingnya pengungkapan sejarah masa lalu, dalam transisi pasca-komunis
tidak ada konsensus demikian. Dengan runtuhnya rezim, timbul pertanyaan tentang apa yang perlu dilakukan dengan sejarah versi lama ini. Setelah komunisme berakhir, anggapan bahwa
perlu dilakukan penyusunan sejarah resmi untuk keberhasilan transisi tampak salah sama sekali. Setelah pemerintahan totaliter yang menindas, apa arti kebenaran transisional yang
resmi? Karena peninggalan penggunaan politis sejarah resmi oleh rezim totaliter, transisi dari komunisme biasanya tidak melakukan proses peninjauan sejarah tentang penindasan di masa
lalu.
Pergeseran dari pemerintahan totaliter tidak diwarnai dengan penyelidikan sejarah dalam skala besar yang dikaitkan dengan pergeseran politik dari kediktatoran militer. Keadilan
historis transisional memiliki arti lain yang spesifik bagi rezim-rezim pengganti komunisme. Bila penindasan di bawah kediktatoran di Amerika Latin terjadi dalam bentuk penghilangan
dan ketidakpastian, di bawah pemerintahan komunis, penindasan memiliki bentuk yang lebih material dalam totalitas kendali negara terhadap konstruksi peristiwa-peristiwa sejarah.
Peninggalan ini mempengaruhi respon sejarah dalam transisi. Dengan adanya dokumentasi “sejarah” oleh rezim lama yang merasuk ke semua unsur kehidupan masyarakat, seperti juga
kendali terhadap semua bidang lainnya, apa arti kebebasan? Dalam arti apa mengetahui sejarah dapat membebaskan? Sejarah siapa? Pengetahuan siapa?
Sementara tidak banyak keinginan untuk menciptakan sejarah resmi tentang masa pemerintahan komunis yang berkepanjangan, respon transisional diarahkan untuk
mengungkapkan kebenaran tentang momen-momen politik yang kritis dalam represi di masa lalu dan mendapatkan akses pada sejarah yang semula ditutup-tutupi. Penyelidikan sejarah
pasca-totaliter berfokus untuk menjelaskan penerapan pemerintahan yang menindas. Pengetahuan ini saja bersifat anti-totaliter: seperti juga pada keadilan suksesor pasca-
pemerintahan militer, penyelidikan pasca-komunis ini ditujukan untuk melawan representasi lama tentang momen-momen politik yang penting. Arti keadilan historis transisional
didefinisikan dalam konteks sejarah negara yang lama. Dengan merespon representasi lama ini, tinjauan demikian merupakan bentuk tinjauan yang kritis.
Pertanggungjawaban sejarah dikembangkan dari momen-momen politis penting dari suatu negara yang menarik garis batas antara kebebasan dan penindasan. Di Rusia, pembukaan
arisp KGB dan Partai Komunis adalah hal yang amat politis. Ini berperan penting dalam pengujian terhadap konstitusionalitas Partai Komunis, dengan akses pada arsip-arsip yang
memungkinkan terungkapnya tindakan-tindakan melanggar hukum yang dilakukan partai
76
Lihat Karl Marx dan Friedrich Engels, “Manifesto of the Communist Party”, dalam The Marx-Engels Reader, edisi kedua ed:. Robert T. Tucker, New York: W.W. Norton, 1978.
77
Webster’s New Collegiate Dictionary, entri “archive”. Untuk pembahasan eksegesis lebih lanjut tentang topik ini, lihat Jacques Derrida, Archive Fever: A Freudian Impression terjemahan Eric Prenaowitz, Chicago:
University of Chicago Press, 1996.
29 tersebut selama bertahun-tahun.
78
Politisasi arsip-arsip di Rusia ini dapat pula dilihat dengan tidak adanya perundang-undangan; akses didapatkan berkat adanya izin dengan keputusan
presiden yang mengalihkan isi arsip-arsip dari Partai dan KGB kepada negara.
79
Bagi negara- negara Eropa Timur yang sedang mengalami transisi dari pemerintahan totaliter, pertanyaan
utama dalam keadilan historis adalah “penindasan siapa?” Masa totaliter ini bisa dianggap sebagai masa pendudukan oleh kekuatan asing, atau penindasan dari dalam. Pertanyaan
sejarah ini memiliki dampak politis dan hukum yang penting. Di seluruh wilayah ini, terdapat usaha untuk merekonstruksi celah-celah sejarah yang penting dan titik-titik balik politik yang
penting yang berkaitan dengan penerapan pemerintahan komunis yang represif: bagi Hungaria, represi terhadap pemberontakan 1956, bagi Cekoslowakia, 1968 dan 1989, dan bagi
Polandia, 1981. Penyelidikan sejarah dilakukan untuk menerangi lembar-lembar hitam dalam perang dingin.
Di bekas Cekoslowakia, paling tidak terdapat dua momen penting: yang pertama adalah kekerasan terhadap pemberontakan 1968 di Praha. Kebenaran sejarah selengkapnya
tentang invasi ini menjadi subjek Komisi Penyelidikan Peristiwa-Peristiwa 1967-1970 dari pemerintahan Cekoslowakia, yang dimungkinkan dengan runtuhnya kendali Soviet di wilayah
tersebut, yang pada akhirnya memungkinkan dibukanya arsip-arsip negara-negara yang terlibat dalam invasi Agustus 1968 itu. Komisi yang dibentuk pada tahun 1989 ini
menyelesaikan tugasnya pada tahun 1992, dan mengalihkan dokumentasinya pada Institut Sejarah Modern. Momen kedua adalah revolusi pada tahun 1989. Suatu penyelidikan yang
terkait dengan penyelidikan di atas dilakukan terhadap peristiwa 17 November 1989 dan represi pemerintah terhadapnya. Sebuah penyelidikan resmi oleh “Komisi 17 November” yang
dibentuk parlemen, dilakukan dengan puncaknya berupa penyiaran sidang Dewan Federal untuk menyampaikan laporan komisi tersebut pada tanggal 22 Maret 1991. Pemaparan yang
terbuka dan amat politis ini mengarah pada “lustrasi”
80
dan menunjukkan penggunaan pengetahuan tentang masa lalu sebagai cara pembersihan, suatu kebijakan yang akan dibahas
dalam bab 5. Di Warsawa, harapan untuk adanya perubahan politik muncul dan dihancurkan pada
tanggal 13 Desember 1981. Pada hari itu, pimpinan politik Polandia masa itu, Jenderal Wojciech Jaruzelski menerapkan hukum perang untuk menghancurkan gerakan oposisi
Solidaritas. Setelah tahun 1989, momen sejarah itu menjadi subjek Komisi Pertanggungjawaban Konstitusional yang dibentuk oleh Sejm parlemen.
81
Sementara Polandia tidak melakukan kebijakan retribusi penghukuman, penyelidikan parlementer
terhadap peristiwa Desember 1981 ini merupakan satu dari sedikit tindakan yang memandang ke belakang yang dilakukan. Pertanyaan penting yang mendorong penyelidikan itu adalah:
Siapa yang bertanggung jawab atas masa represif yang dikenal sebagai “invasi internal” Polandia ini? “Kita” atau “mereka”? Sejauh mana represi di negara itu merupakan tanggung
jawab internal dan eksternal? Baik eksternal atau tidak, sejauh mana tindakan kekerasan
78
Untuk tinjauan tentang hal ini, lihat David Remnick, “The Trial of the Old Regime”, New Yorker, 30 November 1992, 104-21.
79
Keputusan No. 82, 83, 24-08 1991. Tentang arsip Rusia, lihat Vera Tolz, “Access to KGB and CPSU Archives in Rusia, Politics” Vol. 1 No. 16 17 April 1977; N. Ohitin dan A. Roginsky, “Remarks on Recent
Status of Archives in Rusia” dalam Truth and Justice: The Delicate Balance, The Inst. For Constitutional and Legislative Policy C.E.U. 19930.
80
Lihat Jan Obrman, Laying the Ghosts of the Past laporan tentang Eropa Timur, No. 24, 14 juni 1991.
81
Lihat Tadeusz Olszaski, “Communism’s Last Rulers: Fury and Fate”, Warsaw Voice, 18 November 1992.
30 terhadap Solidaritas yang dilakukan selama 19 bulan itu dapat dijustifikasi untuk mencegah
invasi Soviet? Apakah tindakan tersebut diperlukan? Bahkan tanpa penyelidikan pidana lebih lanjut, rezim Jaruzelski minimal harus memberikan pertanggungjawaban historis.
Tanggal 31 Oktober 1956 adalah titik balik bagi Hungaria, hari terjadinya penindasan terhadap pemberontakan rakyat yang melawan kediktatoran. Yang mendorong penyelidikan
transisional adalah pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab terhadap penindasan pada tahun tersebut. Pemerintahan pada masa itu atau Soviet? Kita atau mereka? harapan
untuk mendapatkan fakta-fakta sejarah yang independen tentang masa itu didorong oleh adanya akses terhadap arsip-arsip Soviet. Namun pada akhirnya, akses tersebut tidak
memberikan banyak penjelasan dan tidak menjawab pertanyaan pertanggungjawaban historis, seperti apakah peristiwa tahun 1956 tersebut merupakan undangan dari pemerintah terhadap
pasukan pendudukan, atau invasi berskala penuh?
82
Ada cukup bukti yang menunjukkan kerja sama dan kolusi antara Soviet dan aparat partai komunis setempat dalam represi pada tahun
1956. Laporan-laporan yang ada menunjukkan bahwa para pemimpin Partai Pekerja Sosialis Hungaria yang beraliran komunis dan para komandan militer bertanggung-jawab terhadap
tewasnya ribuan orang dalam pemberontakan itu.
83
Meskipun penyelidikan terhadap peristiwa itu dimulai dengan penyelidikan tentang pasukan pendudukan asing “mereka”, berdasar pada
konsep tanggung jawab yang eksternal, penyelidikan tersebut kemudian mengarah pada konsep tanggung jawab yang lebih internal – mengarah pada pertanyaan: Siapa “kita”?
Penyelidikan sejarah ini akan mengarah pada pertanggungjawaban pidana yang telah dibicarakan pada bab 2 buku ini.
Di Jerman-bersatu, seperti di negara-negara lain di wilayah itu, penyelidikan sejarah dimulai dengan permasalahan tanggung jawab kolektif nasional. Di negara ini dilakukan
penyelidikan sejarah yang lebih luas daripada negara-negara lainnya di wilayah yang sama. Komisi Parlementer Eppelman, yang dinamakan sesuai ketuanya, seorang oposan Jerman
Timur, mendapatkan mandat yang jauh lebih luas untuk menyelidiki tidak hanya tanggung jawab terhadap pendudukan namun juga alasan lebih luas terjadinya penindasan.
84
Komisi tersebut ditugaskan untuk menyelidiki dukungan rakyat terhadap rezim Partai Persatuan
Sosialis SED, bahkan juga meninjau peran Ostpolitik – kebijakan Jerman Barat yang akomodasionis – dalam mendukung kediktatoran di Jerman Timur.
85
Fokus penyelidikan ini terletak pada tanggung jawab sejarah secara luas, dan seiring jalannya penyelidikan, dilakukan
penyelidikan yang spesifik terhadap kolaborator dan perlawanan. Baik Komisi 17 November Cekoslowakia maupun penyelidikan 1956 di Hungaria merangsang adanya penyelidikan
82
Jane Perlez, “Hungarian Arrests Set Off Debate: Should ’56 Oppressors Be Punished?” New York Times, 3 April 1994, rubrik Internasional, A14.
83
Lihat “Almost 1,000 Killed in Hungarian Uprising: Fact-finding Committee”, Agence France Presse, 22 November 1993, tersedia di Lexis, News Library. Jumlah yang didokumentasikan secara resmi jauh lebih kecil
daripada yang dihilangkan – mungkin ribuan. Lihat Julius Strauss, “Hunary Uprising Killers May Be Tried”, Daily Telegraph,
Budapest, 2 Desember 1993; “Almost 1,000 Victims in ’56 Mass Shootings”, MTI Hungarian News Agency
, 22 November 1993, tersedia di Lexis, News Library.
84
Pada tanggal 13 Mei 1992, parlemen Jerman memberikan mandat kepada Komisi Eppelmann “untuk menyelidiki struktur, strategi dan instrumen kediktatoran komunis, masalah pertanggungjawaban untuk
pelanggaran hak asasi manusia dan hak kemasyarakatan”. Lihat Stephen Kinzer, “German Panel to Scrutinize East’s Rule and Repression”, New York times, 30 Maret 1992, rubrik Internasional, A7.
85
Lihat Timothy Garton Ash, In Europe’s Name: German and the Divided Continent, New York: Random House, 1993.
31 pidana,
86
dan berakhir dengan pembersihan administratif berskala besar dari jabatan politik.
87
Kebenaran tentang apa yang terjadi di negara-negara tersebut berakhir pada ujian atau pengadilan terhadap kesetiaan politik – suatu hal yang bisa dianggap sebagai kebenaran para
warga negara. Kontinuitas dalam respon sejarah dan administratif dalam masa transisi di wilayah ini menunjukkan bahwa pengundang-undangan aturan yang kritis merupakan
rekonstruksi kebenaran dan menunjukkan pengetahuan kolektif yang tidak dapat dipisahkan dari kekuatan politik dan rekonstruksi hal-hal yang bersifat politis.
Keadilan Historis dalam Bayang-Bayang Komunisme
Siapa yang mengendalikan masa lalu mengendalikan masa depan; siapa yang mengendalikan masa kini mengendalikan masa lalu.
George Orwell, Nineteen Eighty-Four
Sejauh mana arsip-arsip yang disusun dalam masa pemerintahan represif dapat diandalkan dalam masa transisi? Dapatkah arsip-arsip itu diandalkan sebagaimana terjadi pada pergeseran
administratif biasa dalam sistem demokrasi yang berjalan baik? Arsip merujuk pada catatan pemerintah dan tempat penyimpanannya – kedudukan penguasa. Dalam transisi dari
pemerintahan totaliter, pengendalian terhadap sejarah negara menjadi sangat terkait dengan pengendalian terhadap kekuasaan politik. Pada masa pemerintahan totaliter, kebenaran terletak
dalam konteks pengendalian ideologis yang dipaksakan. Dalam konteks ini, apa arti transformasi normatif? Inilah pertanyaan penting tentang apa yang perlu dilakukan terhadap
arsip lama di wilayah ini. Pertanyaan ini amat terkait dengan politik masa transisi: rahasia- rahasia masa lalu politis tidak bisa dilepaskan dari pengendalian masa depan politik;
penyelidikan sejarah memberikan jalan bagi politik pengungkapan.
Bagaimana cara menyelesaikan dilema peninggalan sejarah totaliter? Tindakan yang paling radikal adalah dengan memusnahkan arsip-arsip tersebut, suatu auto-da-fé.
88
Pemusnahan arsip-arsip tersebut berarti menarik garis tegas yang memisahkan kedua rezim. Sejarah bisa dimulai lagi. Memusnahkan arsip-arsip tersebut bisa dijustifikasi dengan alasan
bahwa arsip-arsip tersebut tidak dapat diandalkan dan kemungkinan berisikan kebohongan. Melindungi arsip-arsip lama memberikan kepada rezim-rezim selanjutnya kekuasaan luar
biasa untuk menghancurkan reputasi individual, sehingga mempertahankan peninggalan totaliter. Sementara, memusnahkan arsip tampaknya akan menjamin agar sejarah tidak
berulang.
86
Lihat “Czechoslovakia: Former Top Police Officials Jailed”, Reuters, 30 Oktober 1992, Perlez, “Hungarian Arrests Set Off Debate”; “Former Government Officials Sentenced to Prison Terms”, CTK National News Wire,
30 Oktober 1992, tersedia di Lexis, News Library, arsip CTK.
87
Tentang Republik Ceko, lihat Helsinki Watch Report, Czechoslovakia: ‘Decommunization’ Measures Violate Freedom of Expression and Due Process Standards
, New York: Human Rights Watch, 1992.
88
Lihat John Elster, “Political Justice and Transition to the Rule of Law in East-Central Europe” dipresentasikan pada konferensi yang disponsori University of Chicago, Center for Constitutionalism in Eastern and Central
Europe, tidak diterbitkan, Praha, 13-15 Desember 1991. Untuk diskusi tentang perdebatan di wilayah ini, lihat “Truth and Justice, The Delicate Balance: The
Documentation of Prior Regimes and Individual Rights”, Kertas Kerja No. 1 Central European University, Institute of Constitutional and Legislative Policy: Lokakarya di Budapest tentang masalah arsip, 1993.
32 Namun, pemusnahan arsip tampaknya terlalu radikal. Bagaimana jika pemusnahan
arsip tidak dengan sendirinya meredakan kecurigaan tentang kolaborasi di masa lalu? Kecurigaan ini bisa tetap bertahan, didorong oleh sumber-sumber lainnya. Suatu konsekuensi
yang lebih signifikan dari pemusnahan arsip adalah hilangnya catatan dari suatau masa yang panjang dalam sejarah suatu bangsa. Pada umumnya, pergantian pemerintahan dalam negara
demokrasi mengasumsikan suksesi kearsipan,
89
karena arsip negara – seperti milik negara yang lainnya – merupakan elemen identitas nasional. Analogi dengan negara-negara
demokrasi yang sudah mapan mempersulit kontinuitas pengarsipan dan pengungkapan arsip- arsip lama. Bahkan, kontinuitas demikian tampaknya ciri dari sistem yang menaati kedaulatan
hukum. Namun apakah analogi tersebut tepat? Pertimbangan lain dari kedaulatan hukum menunjukkan diskontinuitas dan meninggalkan arsip-arsip lama. Pertimbangkanlah masalah
etika bila sebuah rezim baru masih bergantung pada informasi yang didapatkan secara paksa dan rahasia, dengan invasi terhadap privasi atau malah lebih buruk lagi, pelanggaran berat
terhadap hak asasi manusia. Di negara-negara demokratis yang sudah mapan, terdapat batasan terhadap pengumpulan informasi oleh pemerintah, yang antara lain terkait pada perlindungan
reputasi dan hak-hak harga diri individual. Di negara liberal, tidak ada tempat bagi arsip seperti yang diciptakan oleh negara totaliter. Apakah sebaiknya pelanggaran oleh rezim
pendahulu dipermasalahkan oleh rezim penggantinya? Tentu saja, hal ini kurang menjadi masalah bagi rezim pengganti. Namun, bila usaha pencarian fakta dilakukan di bawah masa
rezim represif yang lama, dengan bergantung pada catatan milik rezim lama, pergeseran dari rezim lama ke rezim pengganti ini seakan-akan sama dengan pergantian administrasi dalam
kedaulatan hukum yang kontinu. Ketergantungan pada arsip-arsip milik rezim lama menyulitkan pemantapan pemerintahan liberal.
Namun, pada saat yang sama, karena masalah pengarsipan ini mengancam legitimasi rezim baru, pengungkapan arsip-arsip rezim lama memberikan lambang keterbukaan dalam
masyarakat. Setengah abad represi oleh pasukan keamanan negara menuntut adanya keterbukaan sebagai jawaban. Alternatif terhadap hal ini adalah “komisi kebenaran” seperti di
Amerika Latin, yang akan mengambil alih kontrol terhadap arsip-arsip yang ada. Namun, setelah pemerintahan Komunis, komisi kebenaran tidak menjadi pilihan di wilayah ini.
Berbagai respon transisional ini tidak dapat dijelaskan oleh perspektif realis yang umum, karena berbagai respon negara ini tidak dapat dihitung dengan perimbangan kekuasaan
yang sederhana. Pertanyaan tentang apakah terdapat penyelidikan terbuka sukar untuk dijelaskan dalam kerangka pemahaman umum kekuasaan politik. Pada masa transisi,
pengetahuan dan kekuasaan sangatlah terkait, saling tersusun dan menyusun satu sama lain. Tindakan-tindakan bekas blok komunis yang berbeda dari tindakan negara-negara lain yang
juga mengalami transisi akan dapat dijelaskan dengan melihat arti sosial partai, ideologi, dan penguasa sejarah dan kebenaran di komunitas yang bersangkutan. Konstruksi sejarah
transisional dibentuk oleh konteks peninggalan sejarah dan politik di suatu wilayah. Hal sebaliknya juga terjadi, konteks politik dan budaya yang baru juga akan mempengaruhi pilihan
fakta-fakta untuk dimuat dalam sejarah, selain bentuk proses penciptaan kebenaran.
Negara-negara bekas blok Komunis berusaha keras untuk menyikapi peninggalan arsip-arsip masa lalunya. Pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan dengan arsip-arsip
tersebut menimbulkan perdebatan publik, terutama di negara-negara yang aparat keamanannya
89
Lihat Lung-Chu Chen, An Introduction to Contemporary International Law, New Haven: Yale University Press, 1989, 428-29.
33 paling represif. Hal ini sekali lagi menunjukkan bagaimana peninggalan masa lalu masih dapat
mempengaruhi respon transisional. Jerman-bersatu dan bekas Cekoslowakia, misalnya, menggunakan berbagai pendekatan untuk menyikapi peninggalan negara represif dari masa
lalu. Masing-masing negara tersebut bereksperimen dengan berbagai tingkat kebebasan dan akses terhadap arsip dari masa pemerintahan yang lalu. Pada akhirnya, dicapai kesimpulan
yang merupakan kompromi, bukan pemusnahan arsip-arsip tersebut maupun akses sepenuhnya.
Di balik Tembok Berlin, tidak ada simbol penindasan Komunis yang lebih jelas daripada tumpukan tinggi arsip-arsip polisi Jerman Timur “Stasi”. Selama 40 tahun, negara
melalui kementerian keamanan dan dengan dukungan Partai Komunis mengumpulkan dokumentasi tentang warganya sendiri. Jumlahnya saja sudah luar biasa: dari 18 juta warga
negara, lebih dari sepertiganya diawasi oleh negara.
90
Dikatakan bahwa ada “enam juta” arsip, angka yang sama dengan jumlah korban Holocaust, yang menunjukkan analogi sejarah dengan
penindasan masa Perang Dunia Kedua dan mendukung argumen bahwa pada saat ini, Jerman akan “mengambil tindakan” terhadap masa lalunya.
91
Dengan perubahan politik, timbul pertanyaan tentang apa yang dilakukan dengan arsip-arsip negara. Jika represi dilakukan dengan kerahasiaan, keadilan dicapai dengan
mengungkapkan kebenaran. Sejak awal reunifikasi Jerman, terdapat dukungan kuat dari masyarakat untuk mengungkapkan arsip-arsip ini. Maka, disahkanlah Undang-Undang tentang
Arsip Dinas Keamanan Negara bekas Republik Demokratik Jerman UU Arsip Stasi untuk “memberikan kepada warga negara individual kemungkinan akses terhadap data pribadi yang
disimpan yang menyangkut dirinya, sehingga ia bisa mengetahui apa pengaruh dinas keamanan negara terhadap dirinya”.
92
Namun, seperti kemudian menjadi jelas bahkan bagi korban penindasan di masa lalu, kebebasan informasi tidak selalu merupakan hal yang baik.
Pengungkapan arsip seseorang bisa berarti penemuan bahwa ia telah dimata-matai oleh anggota keluarga atau teman, yang merusakkan hubungan karier, persahabatan bahkan
pernikahan.
93
Terlebih lagi, sejak awalnya, pengungkapan arsip Stasi tidaklah mudah, dan menunjukkan bahwa hal ini memiliki dua sisi. Meskipun undang-undang ini menurut namanya
ditujukan untuk mengembalikan hak-hak korban, ia tidak mengalih-pindahkan hak negara terhadap arsip ini, sehingga para korban hanya mendapat akses terbatas.
Terlebih lagi, meskipun arsip tersebut mencatat korban pengawasan negara, mereka juga berkaitan dengan para anggota aparat keamanan. Dengan aspek gandanya, pengungkapan
arsip tidak bisa dikatakan semata-mata dilakukan demi hak para korban. Tujuan yang lain adalah untuk “menjamin dan mendorong penilaian kembali terhadap dinas keamanan negara
90
Lihat Amos Elon, “East Germany: Crime and Punishment”, New York Review of Books, 14 Mei 1992; Stephen Kinzer, “East Germans Face Their Accusers”, New York Times Magazine, 12 April 1992; “Ex-E. German
Security Police Moved Over 100,000 Files Abroad”, Reuters Library Report, 29 April 1991, tersedia di Lexis, News Library – Wires; Richard Meares, “German Debates How to Open Pandora’s Box of Stasi Files”, Reuters
North American Wire , 22 April 1991, tersedia di Lexis, News Library – Wires.
91
Lihat Joachim Gauck, Die Stasi-Akten, Reinbeck bei Hamburg: Rowohlt, 1991.
92
Brochure of the Federal Commissioner for the Records of the State Security Service of the Former German Democratic Republic on the Task, Sructure and Work of This Authority
. Kalimat serupa tampil dalam pendahuluan undang-undang arsip Stasi. Lihat Act Regarding the Records of the State Security Service of the
Former German Democratic Republic , 20 Desember 1002.
93
Hal ini menjadi subjek banyak eksplorasi jurnalistik yang substansial; lihat misalnya Jane Kramer, Letter from Berlin, New Yorker,
25 November 1991; Jane Kramer, Letter from Europe, New Yorker, 25 November 1992; Timothy Garton Ash, The File: A Personal History, New York: Random House, 1997.
34 secara historis, politis dan juridis”.
94
Dengan demikian, arsip ini digunakan pula untuk “pembersihan” administrasi negara.
95
Hasil kerja komisi independen yang semula ditujukan untuk mengatur akses terhadap arsip Stasi segera dijadikan cara untuk penyingkiran para
kolaborator. Begitu kebijakan ini mulai dijalankan, UU arsip Stasi ini tidak sanggup mencapai sasarannya. Pertanyaan tentang apa kepedulian masyarakat terhadap arsip tersebut tidak bisa
dijawab secara abstrak; dan tidak bijaksana untuk beranggapan bahwa terdapat konsensus masyarakat tentang pengungkapan arsip tersebut. Bahkan para korban memiliki konflik
kepentingan berkaitan dengan arsip tersebut, namun undang-undang yang mengatur arsip tersebut tidak memberikan panduan untuk penyelesaiannya. Ketika pada masa transisi arsip
negara sekali lagi digunakan untuk menyingkirkan orang-orang dari kehidupan masyarakat, bayang-bayang masa lalu yang penuh penindasan sekali lagi jatuh di atas masyarakat tersebut.
Arsip siapa dan kebenaran siapa? Siapa yang paling berkepentingan dengan sejarah versi lama? Hingga sejauh mana arsip rezim lama merupakan “hak” mereka yang namanya
tercantum di dalamnya?
96
Atau apakah sebaiknya akses diberikan bagi pihak ketiga, seperti jurnalis, sejarawan dan lain-lainnya? Arsip-arsip rezim lama ini menimbulkan banyak
pertanyaan yang tidak hanya berkaitan dengan para pelaku dan korban. Penyelesaian dilema- dilema tersebut memerlukan akomodasi terhadap kepentingan masyarakat dan individu dalam
mengungkapkan masa lalu, sambil juga melindungi hak-hak privasi, dan juga kepentingan kemasyarakatan lainnya dalam mengendalikan akses. Pertanyaannya adalah apakah kebijakan
yang mengatur akses korban juga harus mengatur akses ke arsip-arsip tersebut untuk tujuan lain yang lebih sensitif. Pengalihan sejarah rezim lama ke tangan-tangan pribadi, seperti terjadi
di Jerman-bersatu, merupakan bentuk respon kritis terhadap rezim lama. Jika sebelumnya seluruh informasi berada di tangan negara, kebijakan negara penerus ini adalah untuk
mengalihkannya ke pihak lain.
Cekoslowakia menggunakan pendekatan sebaliknya, karena rezim penerus pun tetap mempertahankan kendali negara terhadap arsip-arsip lama. Di Republik Ceko, seperti di
Jerman, pada dasarnya prinsip yang memandu tindakan terhadap arsip-arsip lama adalah pengungkapan: tampak dalam kebijakan resmi yang disebut “lustrace” atau “lustration”
lustrasi, dari bahasa Latin lustrare “menyorot” masa lalu.
97
Namun, sejak awal transisi, tujuan dan risiko lustrasi tampak jelas, karena pembukaan arsip-arsip lama bisa berarti
mengklarifikasikan masa lalu, namun juga bisa menyingkirkan para mantan Komunis dan kolaborator dari kehidupan politik. Sebenarnya aneh bahwa keterbukaan yang lebih besar
masih akan berakhir dengan penyingkiran politik. Pada pemilihan umum bebas yang pertama, masih dalam bayang-bayang arsip itu, arsip-arsip tersebut menjadi ujian politik utama bagi
demokrasi. Ketika arsip-arsip tersebut digunakan sebagai cara “pemaksaan” untuk mendorong para kandidat politik menarik diri atau mendiskualifikasikan diri sendiri, timbul kontroversi
yang sedemikian besar sehingga perlu disusun undang-undang untuk mengatur arsip tersebut.
Dalam undang-undang lustrasi ini, akses terhadap arsip-arsip tersebut tetap berada di bawah kendali pemerintah secara total. Yang lebih parah adalah bahwa komisi yang
mengontrol arsip-arsip itu dengan tujuan lustrasi juga diberikan kekuasaan untuk memutuskan
94
UU Arsip Stasi, § 1 2.
95
Ibid., § 1 3.
96
Misalnya di Polandia, “hak” untuk mendapatkan informasi dan akses terhadap dokumen dalam arsip diberikan kepada para “korban”, yang didefinisikan sebagai orang yang “secara rahasia datanya dikumpulkan oleh aparat
keamanan secara sengaja”. Lihat The Polish Acces to Files Act of 1998.
97
Screening “Lustration” Law; Act No. 4511991 Cekoslowakia, 1991.
35 apakah orang-orang yang dilustrasi akan dicopot dari jabatan mereka.
98
Kekuasaan untuk menentukan tentang kebenaran masa lalu, selain untuk membentuk domain politik masa kini,
dikonsentrasikan pada institusi yang sama – yang seperti pada masa komunisme, pada Kementerian dalam Negeri. Peninggalan sejarah yang berkelanjutan ini juga terjadi di negara-
negara lain di wilayah ini. Lustrasi menunjukkan dengan jelas garis tipis antara politik ingatan dan politik pengungkapan. Institusi yang dahulu pada masa komunisme menggunakan
dokumentasi negara sebagai senjata untuk menindas, kini tetap melakukan hal yang sama pada masa transisi. Sementara pada masa lalu, arsip-arsip tersebut mendokumentasikan tuduhan
subversi, kini yang didokumentasikan adalah tuduhan kolaborasi. Di Eropa Timur, arsip-arsip lama ternyata masih digunakan untuk mengontrol politik. Sejarah masa lalu ini masih
digunakan untuk menghukum, menyingkirkan dan mendiskualifikasi. Bayangan tentang pencopotan massal karena tidak “bersih diri” ini, yang mengulang sejarah masa lalu,
mengingatkan kita pada pandangan Marxis tentang keberulangan sejarah.
Apa yang tampak dalam masa transisi di wilayah ini adalah bahwa pertanyaan tentang bagaimana cara mengatur arsip-arsip lama tidak dapat dipisahkan dari pertanyaan tentang apa
peluang penggunaannya di masa transisi. Dalam masa perubahan politik yang radikal, usaha pencarian keadilan historis menggarisbawahi apa yang dikatakan sebagai kebenaran.
Meskipun tampak paling jelas pada masa transisi, hal ini juga dapat ditemukan dalam sistem demokrasi dan hukum pada masa biasa. Aturan yang mengatur pengetahuan dalam hukum
selalu bergantung pada tujuan dan kegunaannya; aturan menunjukkan kaitan pengetahuan dengan prospek penggunaannya menurut hukum. Mak, pertanyaan yang relevan dalam hukum
menjadi: pengetahuan digunakan untuk mendefinisikan dan melaksanakan klaim, hak dan kewajiban hukum yang mana? Kedaulatan hukum membentuk kaitan antara pengetahuan dan
kekuasaan. Jadi, bila pengetahuan sejarah menjadi dasar bagi peradilan pidana, hukum Amerika mensyaratkan standar pembuktian yang tertinggi “tidak ada keragu-raguan”. Untuk
keperluan publik lainnya, seperti syarat untuk partisipasi dalam lingkup publik, pembuktiannya haruslah “dengan bukti yang jelas dan meyakinkan”. Terakhir, pengetahuan
sejarah yang menjadi dasar hak atau kewajiban perdata harus didukung oleh “banyaknya bukti yang mendukung”, standar kebenaran yang paling banyak ditaati oleh jurnalis dan sejarawan.
Dalam tinjauan konstitusionalnya terhadap lustrasi, Pengadilan Konstitusional Cekoslowakia memutuskan bahwa pertanyaan tentang aturan pembuktian manakah yang
berlaku terhadap arsip-arsip negara tergantung pada keterandalan dan peluang penggunaannya. Meskipun ia menegaskan konstitusionalitas undang-undang lustrasi, beberapa bagian arsip
dianggap tidak meyakinkan, sehingga tidak konstitusional untuk dijadikan dasar pengekangan hak-hak politik seseorang.
99
Standar pengetahuan sejarah sebagai masalah konstitusional dikaitkan dengan kegunaan arsip-arsip tersebut. Dalam keputusannya, pengadilan menarik
garis tipis antara diskontinuitas dari sistem totaliter yang lama dan kedaulatan hukum. Prinsip keadilan historis bukan pertanyaan yang bisa dijawab secara abstrak, namun dipandu oleh
berbagai standar pembuktian yang berkaitan dengan masalah politik tertentu. Pertanyaan tentang aturan apa yang mengatur akses terhadap arsip rezim lama bergantung pada prospek
penggunaannya untuk kepentingan politis. Pendekatan ini menyerupai pendekatan kasus demi
98
Ibid., Pasal 4 dan 11 memberikan akses bagi Kementerian dalam Negeri Federal terhadap arsip-arsip dan menugaskan kepada Komisi Kementerian dalam Negeri Federal untuk mendapatkan temuan.
99
Costitutional Court Decision on the Screening Law, Ref. No. P1. US192 Cekoslowakia, 1992.
36 kasus terhadap informasi pemerintah, seperti model Amerika, dan bukannya aturan yang
berlaku umum.
100
Bayang-bayang sejarah negara totaliter yang masih menghantui negara-negara tersebut dapat dilihat dari usaha terus menerus untuk menyikapi peninggalan arsip-arsip dari rezim
lama. Setelah puluhan tahun penindasan, perubahan politik berarti pembukaan arsip-arsip lama, namun hal tersebut tidak dengan sendirinya menciptakan masyarakat terbuka.
Penciptaan kedaulatan hukum yang baru tentang arsip-arsip lama ini pada dasarnya bersifat paradoksal, karena hal ini berarti mempertahankan kontinuitas legal seutuhnya dengan rezim
lama, sementara perubahan aturan yang mengatur akses terhadap arsip tersebut sehingga lebih terbuka merupakan bentuk diskontinuitas yang mengarah ke liberalisasi. Arsip-arsip rezim
lama memiliki kekuatan simbolis yang tinggi, yang menunjukkan peninggalan totalitarianisme yang paradoksal: pada saat yang sama mengakui rezim represif sekaligus menjanjikan
pengetahuan yang berpotensi untuk melakukan transformasi. Kebebasan Informasi: Menegaskan Akses di Masa Depan
Rezim kebenaran yang dikaitkan dengan negara keamanan bersistem totaliter memiliki implikasi berlanjut bagi pendekatan terhadap informasi pemerintah pada masa transisi. Hal ini
terlihat dalam respon-respon yang diambil dalam proses liberalisasi yang terkait erat dengan konteks di wilayah yang bersangkutan. Perubahan aturan tentang akses warga masyarakat
terhadap informasi merupakan respon yang kritis terhadap masa lalu yang represif. Di bawah pemerintahan totaliter, negara mengontrol arsip, dan akses diberikan secara pilih-pilih.
101
Pada masa transisi, sementara pergeseran menuju demokrasi dianggap tergantung pada partisipasi
masyarakat yang didasarkan pada kebebasan informasi yang dikuasai negara, terdapat dorongan politik untuk memberikan akses yang lebih besar terhadap arsip negara.
Bahkan di negara-negara demokrasi yang sudah mapan, menyeimbangkan akses informasi dengan privasi merupakan hal yang sukar. Kebebasan informasi diatur oleh
kedaulatan hukum. Kedaulatan hukum menekankan keseimbangan hak-hak untuk kebebasan informasi dan ekspresi, dan hak-hak individu lainnya, selain kepentingan negara.
102
Di Amerika Serikat, dokumentasi pemerintah diatur oleh hukum yang melindungi kebijakan
informasi pemerintah yang terbuka, sementara juga melindungi kepentingan privasi individual. Menurut hukum Amerika, arsip-arsip lembaga negara yang tidak dirahasiakan
untuk alasan privasi atau keamanan nasional pada prinsipnya terbuka bagi semua warga. Pertentangan kepentingan yang mungkin terjadi akan diselesaikan melalui uji perimbangan:
antara privasi individual dan kepentingan masyarakat untuk penungkapan.
103
Di Amerika
100
Untuk analisis komparatif, lihat Wallach, “Executive Powers of Prior Restraint over Publication of National Security Information: The UK and USA Compared”, International and Comparative Law Quarterly 32 1983:
424.
101
Untuk pembicaraan tentang pendekatan rezim lama, lihat Truth and Justice, The Delicate Balance, 75-77 dikutip di catatan kaki 79 di atas.
102
Untuk perimbangan dalam hukum internasional, lihat The Johannesburg Principles on National Security, Freedom of Expression and Access to Information
disahkan 1 Oktober 1995, Pasal 19.
103
Lihat The Freedom of Information Act, U.S. Code, jilid. 5 bagian 552 b 1993 memberikan pengecualian bagi arsip personil, medis dan penegakan hukum yang merupakan pelanggaran privasi. Lihat juga Privacy Act of
1974, U.S. Code, jilid 5 bagian 552 1993; H. Rpt. 03-1416. Lihat umumnya Frederick M. Lawrence, “The First
37 Serikat, privilese “informan” mungkin analog dengan masalah kolaborator polisi rahasia di
Eropa Timur. Bahkan bila arsip kepolisian yang semula dirahasiakan di Amerika Serikat akhirnya diungkapkan, pemerintah berhak untuk menjaga kerahasiaan informannya dengan
menutupi nama-nama merka.
104
Respon terhadap warisan masa Sosialis bisa dianggap “kritis” yaitu dengan usaha rezim penerus untuk merekonstruksi lingkup publik dan privat. Usaha rekonstruksi ini
dilakukan terutama melalui pengakuan hak-hak konstitusional terhadap privasi dan kebebasan informasi. Banyak dari perlindungan konstitusional yang baru ini secara eksplisit merespon
masalah ketiadaan privasi di masa rezim lama dengan membatasi sejauh mana pemerintah baru dapat mengumpulkan informasi dari warga mereka. Sebagai contoh, konstitusi Ceko dan
Slowakia menyatakan “semua orang berhak mendapat perlindungan dari pengumpulan atau publikasi tanpa izin, atau penyalahgunaan lain, dari data pribadi mereka”.
105
Konstitusi Slovenia melarang “penggunaan data pribadi yang bertentangan dengan tujuan
pengumpulannya”.
106
Konstitusi Hungaria menyatakan bahwa “semua orang memiliki hak untuk menjaga nama baik, bahwa privasi rumah dan korespondensinya tidak dilanggar, dan
perlindungan data pribadinya”.
107
Konstitusi Kroasia menyatakan “Tanpa persetujuan dari orang yang bersangkutan, data pribadi hanya bisa dikumpulkan diproses dan digunakan bila
dilakukan berdasarkan hukum”.
108
Namun, meskipun terdapat pernyataan-pernyataan ini, tanpa aturan lebih lanjut, usaha untuk mengkonstitusionalkan pembatasan kendali pemerintah
atas dokumentasi tampaknya tidak akan bisa dijalankan, karena tidak ada larangan bagi pemerintah untuk mengumpulkan data atau menentukan standar untuk mengatur kearsipan.
Batasan konstitusional tersebut tampaknya hanya mensyaratkan kedaulatan hukum yang paling sederhana – bahwa pengumpulan data dilakukan berdasarkan hukum. Batasan
konstitusional lainnya terhadap data pemerintah akan membatasi pengumpulan hanya atas dasar kesukarelaan. Konstitusi Rusia yang baru menyatakan bahwa “adalah hal terlarang untuk
mengumpulkan, menyimpan, menggunakan dan menyebarluaskan informasi tentang kehidupan pribadi seseorang tanpa persetujuannya”.
109
Konstitusi Estonia, serupa dengan itu, melarang “pemerintah negara atau lokal dan pejabat-pejabatnya untuk mengumpulkan atau
menyimpan informasi tentang kepercayaan warga Estonia secara bertentangan dengan kemauannya”.
110
Pengendalian terhadap penciptaan data negara adalah satu cara konstitusi di wilayah tersebut mengubah sejarah masa lalu. Idenya adalah dengan membatasi akses negara
terhadap individu, dan dengan demikian menarik garis baru untuk menciptakan suatu lingkup privat.
Pada saat mereka berusaha mendefinisikan kembali kendali terhadap individu dan privasi mereka, konstitusi-konstitusi transisional juga memulai transformasi kritis tentang
akses warga negara terhadap negara dan memperluas kebebasan ini. Misalnya, konstitusi
Amendment Right to Gather State-Held Information”, Yale Law Journal 89 1980: 923. Untuk pembicaraan tentang perimbangan ini dalam konteks historis, lihat Charles Reich, “The New Property”, Yale Law Journal 73
1964: 733.
104
Lihat Roviaro v. United States, 353 US 53 1957.
105
Konstitusi Republik Czek, Pasal 10, konstitusi Slowakia, Pasal 19.
106
Konstitusi Slovenia, Pasal 38
107
Konstitusi Republik Hungaria, Pasal 59.
108
Konstitusi Republik Kroasia, Pasal 37.
109
Konstitusi Federasi Rusia, Pasal 24 1.
110
Konstitusi Estonia, Pasal 42.
38 Rusia mewajibkan pemerintah pusat dan lokal untuk “memberikan bagi setiap warga negara
akses terhadap semua dokumen dan bahan-bahan yang terkait dengan hak dan kebebasannya”.
111
Konstitusi Slovenia menyatakan bahwa “semua orang memiliki hak untuk mendapatkan data pribadinya”.
112
Konstitusi Estonia memberikan hak bagi warga negara untuk mendapatkan informasi tentang dirinya “yang dimiliki oleh otoritas negara atau
pemerintah lokal”.
113
Menurut Konstitusi Bulgaria, “warga negara memiliki hak untuk mendapatkan informasi dari otoritas atau badan negara, tentang hal-hal yang secara sah
merupakan kepentingan mereka, dengan syarat bahwa informasi tersebut bukanlah rahasia negara dan tidak melanggar hak-hak orang lainnya”.
114
Perubahan konstitusional yang dielaborasikan setelah masa komunisme menunjukkan usaha-usaha bersama untuk memberikan batas baru bagi akses negara terhadap warga negara
dan memberikan akses lebih besar bagi warga negara. Dalam transisi pasca-totaliter, respon transformatif dan kritis terhadap pelanggaran negara di masa lalu adalah dengan mencabut
kekuasaan negara yang semula disalahgunakan dan membatasi peluang penyalahgunaan dengan mengkonstitusionalkan hak-hak individual terhadap privasi dan akses informasi.
Respon kritis dengan menciptakan standar kebebasan informasi ini merupakan langkah maju menuju masyarakat yang lebih terbuka.
Perdebatan tentang arsip dari masa komunisme menunjukkan sejauh mana arti pertanggungjawaban sejarah dalam masa transisi terkait dengan sifat ketidakadilan di masa
lalu. Keadilan historis setelah pemerintahan Komunis, seperti setelah masa pemerintahan represif lainnya, berusaha untuk mengungkapkan dokumentasi pelanggaran yang dilakukan
oleh negara, yang semula ditutup-tutupi. Namun, terdapat perbedaan. Pada transisi pasca- militer, ketika kediktatoran di masa lalu bertindak dengan impunitas sepenuhnya dan bahkan
tidak bersedia mengakui keberadaan pelanggaran, keadilan historis memerlukan konstruksi sejarah negara; suatu penyusunan dokumentasi, yang utamanya didapatkan dari kesaksian para
korban. Di bekas blok komunis, tidak dilakukan penciptaan narasi resmi demikian, karena dokumentasi telah banyak tersedia; keadilan historis berarti membuka arsip-arsip sejarah yang
telah terkumpul. Dalam transisi pasca-militer, perubahan institusional yang dilakukan oleh rezim yang baru terutama merespon ketidakpastian yang diakibatkan tiadanya dokumentasi
resmi, dan mengkonsentrasikan kekuasaan pada institusi yang ditugaskan untuk menyelidiki dan mendokumentasi pelanggaran hak asasi manusia. Perubahan lain pada lingkup legislatif
dan regulatoris, terutama tentang penjagaan nama baik, dilakukan untuk melindungi aktor- aktor negara dalam penyelidikan dan penerbitan informasi, terutama pidato politik, meskipun
hal ini mungkin harus dibayar dengan hak-hak dan kepentingan lain dalam masa transisi. Pada transisi pasca-komunis, perubahan institusional diarahkan untuk mengendalikan penyelidikan
publik, melindungi privasi individual dan mengkonstitusionalkan hak warga negara untuk mengakses informasi. Respon yang berbeda ini menunjukkan bahwa isi keadilan historis
disusun berdasarkan konteks transisi dan peninggalan pemerintahan represif. Arti keadilan historis sendiri amatlah terkait dengan penindasan di masa lalu, terutama penggunaan sejarah
dan pengetahuan oleh rezim di masa lalu.
111
Konstitusi Federasi Rusia, Pasal 242.
112
Konstitusi Slovenia, Pasal 38.
113
Konstitusi Estonia, Pasal 44.
114
Konstitusi Republik Bulgaria, Pasal 412.
39 Pengalaman pada masa transformasi politik menunjukkan bahwa meskipun terdapat
perbedaan budaya hukum, negara-negara biasanya melakukan usaha untuk mendapatkan pertanggungjawaban historis. Pertanyaan yang timbul adalah: apa kaitan keadilan historis pada
masa transisi dan pertanggungjawaban dalam negara-negara demokratis yang sudah mapan? Jawabannya sebagai berikut: respon hukum terhadap tirani, yang dibuat pada masa transisi,
menyorot nilai-nilai latar belakang yang mendasari pengaturan terhadap dokumentasi dan informasi resmi pada sistem demokratis. Dilema transisional dan respon legal terkait yang
dibicarakan di atas menunjukkan isu-isu dan resolusi yang sering kali tidak hanya terbatas pada masa-masa transisional. Misalnya, pada masa kontemporer, batasan antara lingkup
“publik” dan “privat” sering kali tidak jelas, dan pertanyaan tersebut merupakan perdebatan publik. Respon historis memiliki dampak jangka panjang yang melampaui individu-individu
yang terkait, dan mempengaruhi seluruh masyarakat dan negara. Bahkan, respon historis ini membantu menyusun identitas politik kolektif. Respon-respon terhadap dilema transisional di
atas bisa membantu menggambarkan bagaimana masyarakat mempertimbangkan signifikansi batasan-batasan tersebut dalam masa-masa normal.
Hukum Sejarah “Sejarah akan menjadi hakim” – kebenaran akan bertahan seiring waktu. Pepatah ini
menggambarkan intuisi masyarakat tentang kaitan antara interpretasi sejarah dan waktu, yang menunjukkan bahwa kebenaran sejarah akan berkembang seiring waktu. Hal ini tampak benar
minimal pada tingkat deskriptif. Sering kali beberapa generasi datang dan pergi, sebelum masyarakat dapat menghadapi sejarahnya. Meskipun usaha untuk mencapai keadilan historis
tampak sangat giat dilakukan pada masa transisional, arti keadilan tersebut sering kali ditinjau kembali dan bisa berubah. Seiring perjalanan waktu, peristiwa-peristiwa politik yang terjadi
dan perkembangan sejarah memberikan pengaruhnya pada interpretasi sejarah, yang memungkinkan perubahannya. Jadi, perjalanan waktu menimbulkan dilema tentang
pencapaian keadilan historis. Sejauh mana pemahaman transisional tentang kebenaran sejarah, baik yang diciptakan melalui pengadilan individual, komisi atau proses lainnya dapat
bertahan? Apakah perubahan-perubahan yang terjadi menyulitkan kemungkinanan diciptakannya pemahaman yang tunggal dan tetap tentang peninggalan represi di masa lalu?
Apakah ini berarti bahwa keadilan historis transisional bersifat hanya sementara dan politis? “Perdebatan Sejarawan”: Menarik Garis Pembatas Masa Lalu
Penciptaan sejarah transisional yang sudah dijelaskan sejauh ini menggambarkan signifikansi baik peninggalan politik maupun kerangka politik kontemporer dalam membentuk sejarah dan
ingatan kolektif. Namun, konstruksi demikian pun memiliki keterbatasannya. Perdebatan tentang revisionisme sejarah Perang Dunia Kedua menggambarkan batasan tinjauan sejarah
yang bisa diizinkan.
Paradigma permasalahan keadilan historis setelah berlalunya waktu adalah usaha Jerman masa kini untuk mengintegrasikan masa lalunya ke dalam sejarah nasional. Inti
perdebatan Jerman kontemporer itu, setengah abad setelah berakhirnya perang, adalah pertanyaan tentang apakah ada pemahaman sejarah yang permanen. Historikerstreit,
40 “perdebatan sejarawan”, ini diawali pada tahun 1985, dengan terbitnya The Guilt-Laden
Memory tulisan Joachim Fest, yang menantang pemahaman umum tentang perang dan
menyatakan bahwa musuh sebenarnya adalah Uni Soviet dan bukan Jerman. Sejarawan- sejarawan lain turut serta dalam perdebatan itu dengan tantangan serupa terhadap pandangan
tentang tanggung jawab Nazi. Dalam The Past Which Will Not Pass On, Ernst Nolte membandingkan kejahatan Nazi dengan tindakan Soviet dalam Gulag mereka, dan
menjelaskan melalui perbandingan bahwa tidak ada hal yang luar biasa dari penindasan oleh Jerman Nazi. Jika Fest dan Nolte, melalui karyanya masing-masing, berusaha menormalisasi
pemahaman umum tentang tanggung jawab masa perang Jerman, maka Two Kinds of Ruin: The Shattering of the German Reich and the End of European Jewry
karya Andreas Hillgruber merupakan tantangan yang lebih kuat lagi terhadap pandangan umum, karena tinjauan
Hillgruber ini menempatkan Jerman pada posisi korban genosida, bukan pelakunya.
115
Tantangan yang muncul dari sudut pandang akademisi ini berjalan bersamaan dengan usaha politik dari pemerintahan Helmut Kohl yang tampaknya juga berusaha untuk mengubah
pandangan umum tentang masa lalu Jerman. Dengan melakukan kunjungan diplomatik secara bersamaan pada dua tempat – kamp konsentrasi sekaligus pemakaman militer Bitburg – para
pejabat tinggi Jerman memberikan pesan bahwa militer Jerman yang menjadi korban perang setara dengan penduduk sipil yang menjadi korban penindasan.
Satu contoh lain setelah keruntuhan Soviet adalah tinjauan tentang keburukan Gulag, yang bersumber pada arsip-arsip komunis yang baru dibuka, dan menempatkan baik fasisme
maupun komunisme sebagai “dua jenis totalitarianisme”.
116
Apa yang dipermasalahkan oleh tantangan-tantangan tersebut? Perdebatan sejarawan ini dikatakan oleh filsuf Jerman Jürgen Habermas sebagai “kampanye untuk revisionisme
sejarah Nazi”.
117
Pertanyaan yang penting adalah apakah setelah berlalunya waktu, tinjauan sejarah tentang genosida terhadap kaum Yahudi pada Perang Dunia Kedua akan dipertahankan
sebagai tinjauan resmi, atau apakah ia bisa berubah secara sah, mungkin dengan memperhatikan pelanggaran hak asasi manusia kontemporer.
118
Versi-versi baru tentang penindasan pada masa perang menantang versi sejarah yang sudah mapan pada beberapa
aspek: tentang kesalahan yang terjadi, status dan tanggung jawab pelaku, dan hak-hak korban. Signifikansi perdebatan hermeneutik tentang masa lalu ini berada pada implikasinya terhadap
pemahaman negara tentang dirinya. Beberapa sejarawan, seperti Charles Maier, menunjukkan bahwa signifikansi perkembangan sejarah ini terletak pada “genosida komparatif”. Tantangan
yang diberikan ini adalah kepada pemahaman yang umum tentang pemusnahan massal oleh Jerman yang sistematis dan terkalkulasi terhadap musuh-musuhnya sebagai sui generis.
Perbandingan dengan penindasan Soviet melemahkan pandangan mapan tentang tanggung
115
Untuk tinjauan tentang perdebatan sejarawan, lihat Charles S. Meier, The Unmasterable Past: History, Holocaust and German National Identity
, Cambridge: Harvard University Press, 1989, 9-33. Lihat juga Perry Anderson, “On Emplotment: Two Kinds of Ruin”, dalam Probing the Limits of Representation, ed.: Saul
Friedlander, Cambridge: Harvard University Press, 1992.
116
Stephane Courtois, Nicholas Werth, Jean-Louis Panné et al., Le Livre Noir de Communisme: Crimes, Terreur, Répression
, Paris: Laffont, 1998.
117
Jürgen Habermas, The New Conservatism: Cultural Criticism and the Historian’s Debate ed. dan penerjemah Shierry Weber Nicholsen, Cambridge: MIT Press, 1989.
118
Lihat umumnya Maier, Unmasterable Past.
41 jawab pidana Jerman ini. Sejarawan dan filsuf lain seperti Habermas dan Martin Broszat
119
menganggap bahwa yang sedang dipermasalahkan adalah suatu perspektif yang lain tentang keadilan historis, yang bukan berkaitan dengan interpretasi tanggung jawab pelaku, namun
dengan dampak yang signifikan terhadap hak-hak historis para korban. Keadilan historis memiliki potensi restoratif, dengan potensi untuk mengembalikan harga diri para korban dan
pada akhirnya bahkan keadilan korektif.
Apakah pandangan yang berubah tentang Holocaust dan penindasan lainnya ini adalah hal yang tidak dapat dihindarkan seiring perjalanan waktu? Apakah keadilan historis berlaku
permanen sepanjang masa? Masalah perubahan pandangan ini timbul dalam konteks perdebatan ilmiah yang jauh lebih luas terhadap interpretasi dan representasi sejarah.
Penyusunan teori sejarah kontemporer mengasumsikan bahwa perubahan interpretasi tidak dapat dihindarkan, apalagi seiring perjalanan waktu; perdebatan sejarawan di atas merupakan
tantangan dalam bentuk perubahan interpretasi. Dalam model teoretisasi ini, interpretasi sejarah tidak bisa dianggap netral atau objektif, namun selalu berada dalam konteks politik
tertentu.
120
Namun, masalah batasan parameter yang diizinkan terhadap karakterisasi penindasan masa Perang Dunia Kedua, setelah jangka waktu yang panjang, menjadi kerangka
perdebatan interpretif ini dalam bentuknya yang paling ekstrem. Ketika pertanyaan tentang apakah ada prinsip yang mendefinisikan batasan penafsiran sejarah yang diizinkan terhadap
kekejaman Nazi, perdebatan teoretis ini menjadi terfokus: ada prinsip untuk memandu kebenaran sejarah, bahkan sejarah yang kebenarannya tampak sedemikian jelas? Apakah tidak
ada batasan terhadap interpretasi sejarah, relativisasi, revisionisme dan pada akhirnya “bantahan” sejarah? Jika tidak untuk kasus genosida, lalu untuk kasus apa ia diizinkan?
Meskipun tampaknya interpretasi sejarah untuk kasus-kasus tertentu tidak bisa berubah seiring perjalanan waktu, tetap ada pertanyaan tentang apakah ada batasan pada jenis narasi yang bisa
dikisahkan.
Bahaya reinterpretasi peristiwa-peristiwa politik yang penting – yang merupakan inti perdebatan para sejarawan – menggarisbawahi apa yang menjadi taruhan dalam transisi yang
sukses, transisi dari sistem yang tidak adil dan menindas ke sistem demokrasi liberal. Perubahan politik dan sosial mensyaratkan adanya perubahan interpretasi. Yang berubah
adalah bagaimana manusia menginterpretasikan hal yang terjadi di sekitar mereka. Namun, apa yang ditunjukkan oleh perdebatan sejarawan ini adalah bahwa garis antara interpretasi
tidak selalu jelas. Usaha untuk mengendalikan interpretasi sejarah menunjukkan signifikansi usaha untuk memelihara suatu narasi yang liberal – dalam menghadapi tantangan baru rasisme
dan xenofobia. Memelihara Keadilan Historis Melalui Hukum
Meskipun sering kali timbul tantangan bagi interpretasi sejarah yang revisionis, pada akhirnya, yang dapat membatasi interpretasi sejarah yang diizinkan tidak datang dari akademisi,
119
Lihat martin Broszat dan Saul Friedlander, “A Controversy about the Historicization of National Socialism”, New German Critique
44 1988: 81-126.
120
Lihat Hans Georg Gadamer, “The Historicity of Understanding”, dalam The Hermeneutic Reader: Texts of the German Tradition from the Enlightenment to the Present
, ed.: Kurt Mueller-Vollmer, New York: Continuum Publishing, 1988, 270.
42 melainkan dari hukum. Bahkan bila penciptaan sejarah dilakukan secara tidak resmi, proses
hukum sering kali dipergunakan untuk memelihara tinjauan sejarah yang sudah diciptakan tersebut. Suatu tinjauan terhadap respon legal tersebut menunjukkan bagaimana narasi sejarah
menjadi tertanam.
Bagaimana cara mempermanenkan suatu tinjauan sejarah tentang masa lalu yang buruk? Masyarakat transisional sering kali berusaha menanamkan tinjauan sejarah tentang
penindasan di masa lalu, dan seperti ditunjukkan pengalaman di atas, penciptaan dan pemeliharaan tinjauan sejarah tersebut dilakukan melalui hukum. Yang paling jelas adalah
dengan pengadilan dan komisi kebenaran yang digunakan untuk menciptakan rekaman sejarah resmi, yang dengan sendirinya membatasi kemungkinan adanya versi lain dari sejarah.
Namun, undang-undang amnesti, dengan fungsinya untuk “membungkam”, juga berguna untuk melindungi satu versi sejarah yang resmi. Pemeliharaan terhadap narasi nasional
tertentu bergantung pada pengendalian versi sejarah yang resmi, selain versi-versi sejarah lainnya. Pemeliharaan kendali tersebut menjadi semakin sukar seiring perjalanan waktu. Suatu
ilustrasi yang bisa dicontohkan di sini adalah bangkitnya kembali isu penghilangan di Argentina, lebih dari satu dekade setelah transisi, dengan pengakuan seorang kapten angkatan
laut yang ikut serta menghilangkan orang.
121
Maka, meskipun terdapat konsensus pada saat transisi untuk membatasi konfrontasi terhadap pelanggaran di masa lalu, pengakuan satu orang
ini membuka kembali permasalahan ini. Tantangan yang muncul belakangan ini menunjukkan ketidakpuasan dengan kompromi transisional – dan kesediaan untuk menerima tinjauan
lainnya.
Proses ajudikasi dengan standar pembuktiannya juga memungkinkan penciptaan dan pemeliharaan satu versi tinjauan sejarah. Prinsip-prinsip ajudikasi hukum, kasus demi kasus,
membatasi parameter perdebatan sejarah. Salah satu strategi adalah prinsip “pengakuan yudisial” judicial notice, agar pengadilan dapat menerima kebenaran fakta-fakta tertentu
tanpa pembuktian formal. Fakta-fakta yang dapat “diakui” secara yudisial adalah yang dikenal umum oleh masyarakat atau dapat ditentukan melalui sumber-sumber biasa. Contoh penerapan
prinsip ini berkaitan dengan penindasan pada masa Perang Dunia Kedua terjadi sejak pengadilan Nuremberg, ketika tribunal pada waktu itu wajib melakukan “pengakuan yudisial”
terhadap “fakta-fakta yang merupakan pengetahuan umum”.
122
Kasus-kasus Amerika Serikat tentang pelanggaran masa perang menganut prinsip pengakuan yudisial terhadap penindasan.
Dalam menggunakan prinsip ini, pengadilan menyatakan bahwa fakta-fakta tersebut sedemikian dikenalnya sehingga tidak bisa dibantah.
123
Melalui prinsip ajudikatif pengakuan yudisial, hakim mengakui peristiwa-peristiwa sejarah yang diketahui dan tidak dapat dibantah
di tingkat masyarakat dan memutuskan bahwa kontroversi sejarah berada di luar tantangan legal yang sah dan di luar perdebatan fakta sejarah yang perlu diperhatikan. Melalui
121
Lihat Calvin Sims, “Argentine Tells of Dumping Dirty War Captives in the Sea”, New York Times, 13 Maret 1995, rubrik Internasional. Untuk studi mendalam tentang “efek Scilingo”, lihat Marguerite Fetlowitz, A Lexicon
of Terror: Argentina and the Legacies of Torture , New York: Oxford University Press, 1998.
122
Lihat “Procedure, Practice and Administration” dalam Trials of War Criminals before the Nuremberg Military Tribunals
, Vol. 15, Washington, D.C: Government Printing Office, 1953, 568-70. Di pengadilan-pengadilan Amerika, proses ini berlaku menurut Federal Rule of Evidence 201.
123
Lihat misalnya United States v. Kowalchuk, 773 F2d 488 3d Cir. 1985 “Kekejaman tirani yang dialami warga negara sipil oleh pasukan pendudukan Nazi pada masa Perang Dunia Kedua sedemikian terkenalnya
sehingga tidak perlu diberikan kutipan”; Succession of Steinberg, 76 S2d 744 L. Ct. App. 1955 memberikan pengakuan yudisial terhadap eksekusi yang dilakukan di Eropa yang dikuasai Nazi.
43 mekanisme ini, ingatan para korban individual dapat secara formal diakui, diterima dan dimuat
ke dalam sejarah kolektif yang luas dan diterima secara formal. Pemantapan suatu versi tinjauan sejarah dapat dilakukan dengan perundang-undangan
yang mengatur dan mengendalikan versi-versi lainnya. Salah satu cara tentang bagaimana proses ini dijalankan dalam masa transisi, seperti dijelaskan di muka, adalah melalui undang-
undang amnesti yang memungkinkan peredaman secara resmi terhadap tindakan-tindakan pelanggaran di masa lalu. Karena itu, pemberian amnesti sering kali menimbulkan konflik.
Beberapa pihak memprotes karena undang-undang ini membisukan para korban yang berusaha menuntut pertanggungjawaban lebih lanjut, para pelaku yang menolak amnesti dan semua
elemen masyarakat yang menginginkan tinjauan tentang masa lalu yang independen. Negara yang terpengaruh secara langsung oleh Nazisme juga menggunakan peraturan untuk
memelihara satu versi sejarah. Sejak berakhirnya perang, banyak negara Eropa memiliki hukum perdata untuk mengambil tindakan terhadap penghinaan yang berkaitan dengan
genosida masa perang. Sebagai contoh, penyebarluasan apa yang dikenal sebagai “kebohongan Auschwitz”, yaitu usaha untuk membantah Holocaust sebagai kebenaran
sejarah, dianggap sebagai penghinaan yang dapat dituntut secara perdata. Undang-undang penyensoran ini dijustifikasi oleh keadilan historis bagi para korban, dan potensi dampak
buruk dari versi sejarah yang lain dan berlawanan. Sejak perdebatan para sejarawan, terdapat sejumlah hukum pidana yang dirancang untuk mempertahankan pandangan yang telah ada
tentang penindasan pada masa perang. Sejak sebelumnya, tulisan-tulisan kebencian rasial merupakan hal yang melanggar hukum.
124
Bantahan terhadap Holocaust kemudian juga dijadikan dasar untuk penuntutan pidana. Menurut undang-undang yang baru itu, jika seseorang “menyetujui, membantah atau
menyepelekan tindakan-tindakan genosida yang dilakukan oleh Nazi” dan bila yang dihina adalah anggota kelompok yang mengalami penindasan di bawah “Nazi atau penguasa yang
kejam dan sewenang-wenang”, ia bisa dipidana. Undang-undang penyensoran ini, seperti juga hukum perdata yang sudah ada, dijustifikasi oleh kewajiban terhadap para korban dan dampak
negatif dari pandangan yang berlawanan.
125
Pada masa kini, Pengadilan Konstitusional Federal Jerman menyatakan bahwa pembantahan terhadap Holocaust tidak dijamin sebagai
“kebebasan berpendapat” menurut undang-undang dasar. Penggunaan istilah “kebohongan Auschwitz” Auschwitz Lüge merupakan pelanggaran hak warga Yahudi Jerman yang bisa
dihukum.
126
Di Jerman, pengadilan menganggap fakta tentang terjadinya Holocaust sebagai kebenaran yang tidak memerlukan pembuktian formal.
127
Demikian pula, sebuah undang- undang Prancis pada tahun 1990 menjadikan “revisionisme” atau pembantahan terhadap
genosida Nazi sebagai tindak pidana.
128
Di Kanada, sanksi pidana serupa yang melarang “hal-
124
Lihat German Criminal Code §§ 130, 131 StGB.
125
Ibid., Pasal 194 sebagaimana diperbaiki, 13 Juni 1985. Untuk analisis perundang-undangan Jerman, lihat Eric Stein, “History against Free Speech: The New German Law against the ‘Auschwitz’ and Other ‘Lies’”, Michigan
Law Review 85 1986: 277.
126
Lihat This Week in Germany, 19 April 1994; dilaporkan dalam NJW Jerman, 1982, 1803. Lihat juga S. J. Roth, “Second Attempt in Germany to Outlaw Denial of the Holocaust”, Patterns of Prejudice 18 1985: 46.
127
Ibid.
128
Statute of July 1990 Perancis. Lihat juga Licra et autres c. Faurrison, Tribunal de Grande Instance 8 Juli 1981 Recueil Dalloz, 1982; Roger Errera “In Defense of Civility: Racial Incitement and Group Libel in French
Law”, dalam Striking a Balance: Hate Speech, Freedom of Exprssion and Nondiscrimination, ed. Sandra Coliver, Human Rights Centre, University of London, Art 19 Int’l Center Against Censorship of Essex, 1992
44 hal bohong” demikian diterapkan untuk menyensor tulisan-tulisan revisionis tentang Perang
Dunia Kedua.
129
Dengan bergeser dari sanksi perdata ke pidana, perundang-undangan kontemporer tidak hanya menyikapi pengaruh buruk kebohongan demikian terhadap korban-korban Perang
Dunia Kedua, namun juga ke seluruh masyarakat. Menjadikan sejarah revisionis sebagai tindak pidana menunjukkan keyakinan bahwa versi-versi sejarah yang berbeda ini tidak saja
merupakan penghinaan bagi para korban sebagai individu, namun juga merupakan kejahatan bagi seluruh masyarakat. Bentuk hukum yang paling tegas ini digunakan untuk menjamin
suatu konseptualisasi keadilan historis: yang memberikan hak keadilan historis yang permanen bagi para korban penindasan berat oleh negara, dengan perlindungan yang dijamin dan
diterapkan oleh hukum pidana. Sebagai contoh, dalam sebuah pengadilan di Prancis, pengadilan menyatakan bahwa “pembatasan kebebasan memerlukan penghargaan bagi para
korban”.
130
Dan sebuah kasus di Jerman menyatakan bahwa “siapa pun yang membantah pembunuhan warga Yahudi di Jerman semasa Nazi ia melakukan penghinaan bagi semua
orang”.
131
Namun, masih belum jelas bagaimana justifikasi ini akan bertahan seiring perjalanan waktu. Perundang-undangan kontemporer Eropa memperluas undang-undang yang
semula dibuat hanya untuk mencegah bantahan terhadap Holocaust ini, untuk mencegah semua bantahan terhadap bentuk-bentuk penindasan lainnya, seperti kejahatan terhadap
kemanusiaan atau genosida, baik yang dilakukan di bawah rezim Nazi atau rezim represif selanjutnya.
132
Perundang-undangan pidana kontemporer lainnya diarahkan untuk melindungi korban-korban penindasan. Undang-undang tersebut juga mendasarkan premisnya pada
pandangan yang lebih luas tentang potensi dampak buruk bantahan revisionis itu, yaitu bahwa masyarakat luas memiliki kepentingan untuk memelihara suatu versi kebenaran sejarah.
Hukum digunakan untuk melindungi suatu tinjauan sejarah tentang penindasan negara dengan meredam versi-versi lainnya. Sebagai contoh, di Eropa pasca-Perang Dunia Kedua,
sejumlah perundang-undangan tentang hak berpendapat disusun, mengaitkan masa lalu dan masa kini, menjadikan “penyebarluasan kebencian” terhadap korban-korban penindasan masa
perang sebagai tindak pidana. Undang-undang penyebarluasan kebencian mengaitkan penindasan di masa lalu dengan kejadian masa kini yang dengan cara apa pun menimbulkan
perdebatan kembali tentang sejarah atau pelanggaran politik yang pernah terjadi. Norma- norma anti-penyebarluasan kebencian menjadikan propaganda tentang penindasan negara di
masa lalu sebagai tindak pidana. Bentuk-bentuk respon hukum yang demikian tampak jelas dalam hukum internasional yang ada. Pasal 20 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
menyatakan bahwa “segala bentuk penyebarluasan atau dukungan bagi kebencian nasional, rasial atau keagamaan yang merupakan dorongan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan
membicarakan Gayssot Law of 13 July 1990 menggambarkan pelanggaran baru untuk menantang definisi kejahatan terhadap kemanusiaan seperti didefinisikan di Nuremberg.
129
Criminal Code of Canada, § 181. Kasus yang paling menonjol adalah Zundel v. The Queen 35 DLR 4th 338, 31 CCC 3d 97 Ont. CA. 1987. Untuk pembicaraan tentang preseden Kanada ini, lihat “When Academic
Freedom and Freedom of Speech Confront Holocaust Denial and Group Libel: Comparative Perspectives”, Boston College Third World Law Journal
8 1988: 65.
130
Olivier Biffaud, “M. Le Pen Indesirable Dans Plusiers Villes”, Le Monde Paris, 24 Mei 1990, tersedia di Lexis; lihat Susan Anderson, “Chronicle”, New York Times, 24 Mei 1990, bagian B, 24.
131
Ref. No. VI ZR 14078 Enstcheidungen des Bundesgerichtshofes in Zivilsachen B6H2, 160 et seq Juristenzeitung
75 1979: 811.
132
Lihat National Institute of Rememberance Act Polandia 1998. Ia menyatakan bahwa orang yang secara terbuka membantah “kejahatan Nazi atau komunis, atau kejahatan terhadap kemanusiaan” akan dihukum.
45 atau kekerasan” haruslah dilarang oleh hukum.
133
Pasal 4 Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial menyatakan negara harus melarang
“penyebarluasan pemikiran yang berdasarkan superioritas atau kebencian rasial, dorongan untuk melakukan diskriminasi rasial”.
134
Pasal 20 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik juga menyatakan bahwa “segala bentuk penyebarluasan atau dukungan bagi kebencian
nasional, rasial atau keagamaan yang merupakan dorongan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan” haruslah dilarang oleh hukum”.
135
Banyak negara Eropa memiliki hukum serupa. KUHP Jerman melarang “menyerang harga diri orang lain dengan menimbulkan kebencian terhadap kelompok-kelompok dalam
masyarakat, menyerukan tindakan kekerasan terhadap mereka, atau menghina mereka, menghina dengan kebencian atau memfitnah”.
136
Di Denmark, mengucapkan hinaan rasial atau etnis merupakan pelanggaran hukum pidana.
137
Secara terbuka mengancam atau menyatakan “kebencian terhadap kelompok rasial, warna kulit atau kepercayaan nasional”
bisa berakibat hukuman penjara hingga dua tahun di Swedia.
138
Undang-Undang Hubungan Antar-Ras di Inggris menjadikan “mendorong kebencian, menerbitkan, menyebarluaskan atau
secara terbuka menggunakan bahan-bahan yang mengancam, mengganggu atau menghina orang-orang lain atas dasar warna kulit, ras atau etnik” sebagai tindak pidana.
139
Di Amerika Serikat, sejarah perbudakan, segregasi dan rasisme yang masih tersisa mendorong disusunnya
sejumlah perundang-undangan “kejahatan kebencian”. Meskipun tradisi hukum amat melindungi kebebasan berpendapat, undang-undang anti-kebencian menambah hukuman
terhadap kejahatan yang dilakukan atas dasar bias rasial atau motif serupa.
140
Dalam suatu tantangan konstitusional, sebuah undang-undang yang menyensor penyebarluasan kebencian
ditegaskan keabsahannya karena “tindakan ini dianggap dapat merugikan individu dan masyarakat”.
141
Meskipun tindakan yang dimaksud bisa berupa tindakan pribadi yang dilatarbelakangi motif rasial, dengan latar belakang sejarah penindasan oleh negara, ia
memunculkan kembali penindasan dari masa lalu, sehingga ia harus lebih dikutuk. Respon yang tegas terhadap kejahatan tersebut menegaskan apa yang dicapai dalam masa-masa
transisi.
Penggunaan hukum untuk melindungi tinjauan sejarah tertentu bisa menimbulkan dilema, karena ia sering kali bertentangan dengan kepentingan lain dalam masyarakat yang
133
“Universal Declaration of Human Rights”, U.N. General Assembly Resolution 217 III, Pasal 20, 10 Desember 1948.
134
“International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination”, U.N. General Assembly Resolution 2106 XX, Pasal 4, 21 Desember 1965 mulai berlaku 2 Januari 1969.
135
“International Covenant on Civil and Political Rights”, U.N. General Assembly Resolution 2200a XXI, Pasal 20, 16 Desember 1966 mulai berlaku 23 Maret 1976.
136
German Criminal Code, Pasal 130.
137
Danish Criminal Code, § 266b.
138
Swedish Penal Code, bab 168.
139
Race Relations Act 1965, § 6 1.
140
Untuk tinjauan tentang statuta-statuta ini, lihat Anti-Defamation League, Hate Crimes Laws: A Comprehensive Guide
, New York: Anti-Defamation League, 1997.
141
Wisconsin v. Mitchell, 508 US 476 1993 menegaskan Wisconsin Penalty Enhancement Statute, yang memberikan tambahan hukuman jika pelaku kejahatan, “secara sengaja memilih korban kejahatan atau
menjadikan barang sebagai sasaran kejahatan atau terpengaruh oleh kejahatan tersebut ... sebagian atau seluruhnya karena kepercayaan atau perseppsi pelaku tentang ras, agama, warna, cacat, orientasi seksual, asal
kebangsaan atau keturunan korban atau pemilik atau penghuni barang tersebut, baik apakah kepercayaan atau persepsi pelaku tersebut benar atau salah” Wisconsin Statute 939.645 1991-1992.
46 dikaitkan dengan negara liberal, seperti kebebasan berpendapat yang tidak terbatas.
142
Penanganan dilema tersebut bervariasi pada masyarakat-masyarakat transisional yang berbeda, tergantung pada konteks politik sekaligus pada peninggalan sejarah penindasan. Misalnya,
dalam skema konstitusional Jerman, dilema ini diselesaikan oleh prinsip normatif yang mengecualikan hak berpendapat yang serupa dengan penyalahgunaan propaganda rasis pada
masa perang.
143
“Siapa pun yang menyalahgunakan kebebasan berekspresi ... untuk melawan tatanan demokratik bebas yang mendasar, akan kehilangan kebebasan tersebut”. Sebaliknya,
dalam sejarah Anglo-Amerika, di mana tirani berbentuk kekangan terhadap ekspresi,
144
jurisprudensinya berbeda: absolutisme dan sensor merupakan kejahatan yang utama. Yang merupakan nilai utama keadilan historis, seperti ditunjukkan praktik di atas, tidaklah universal,
namun spesifik pada sejarah ketidakadilan. Respon transisional terhadap pemerintahan represif membantu menyusun norma-norma kontemporer yang membentuk diskursus politik liberal
yang beragam.
Usaha untuk menanamkan satu tinjauan sejarah ini sendiri menimbulkan masalah bagi liberalisme. Pertanyaan timbul dalam gelombang transisi setelah runtuhnya komunisme, ketika
ada pandangan yang menganggap bahwa inilah waktu untuk menanamkan identitas kapitalisme Barat, dan dengan demikian menghentikan dialektika sejarah.
145
Namun, klaim- klaim demikian tidak dapat menjelaskan sejauh mana sejarah “pasca-komunis” bukanlah
“pasca-sejarah”, namun terletak dalam dinamika transisional dan sejarah transisional, dalam konteks khusus akibat masa lalu yang penuh penindasan dan keadilan transisional yang
menjadi konteks baru. Bukankah negara liberal secara normatif harus memungkinkan perubahan sejarah?
“Keadilan Puitik”: Narasi Transisi Marilah kembali ke pertanyaan di awal bab ini: apa kaitan proses sejarah dengan transformasi
politik yang meliberalkan? Bab ini diawali dengan diskusi tentang peran pernyelidikan sejarah dalam merespon peninggalan sejarah masa lalu suatu negara dan apakah terdapat kaitan antara
penyelidikan sejarah di suatu negara terhadap masa lalunya yang tidak liberal dan prospek demokrasi di masa depan. Dalam analisis ini, pertanyaan normatif tentang apakah
penyelidikan sejarah merupakan respon transisional yang ideal bukanlah menjadi pertanyaan yang penting; bahkan tanpa proses penyusunan sejarah secara sadar, seperti melalui
pengadilan, komisi penyelidikan dan laporan, pasti akan tercipta suatu narasi sejarah. Narasi- narasi transisional memiliki struktur retorisnya sendiri, yang dengan sendirinya menyusun
142
R. v. Keegstra, 2 WWR 1 Kanada, 1991.
143
Konstitusi Republik Federasi Jerman Basic Law, Pasal 1, 18, 21.
144
Lihat New York Times v. Sullivan, 376 US 254 1964 memberikan arti lebih luas pada Amendemen Pertama tentang prinsip bahwa perdebatan isu publik bersifat “tanpa halangan, kuat dan terbuka luas menjunjung
konstitusi mensyaratkan aturan yang melarang pejabat publik untuk mendapatkan ganti kerugian dari fitnah yang merendahkan berkaitan dengan jabatannya, kecuali bila ada “kerugian sebenarnya”. Untuk sejarahnya, lihat F.
Siebert, Freedom of the Press in England, Urbana: University of Illinois Press, 1952, 1476-1776; Philip Hamburger, “The Development of the Law of Seditious Libel and Control of the Press”, Stanford Law Review 37
1985: 661; Zechariah Chaffee Jr., Free Speech in the United States 18 1941.
145
Lihat Francis Fukuyama, “The End of History?” National Interest, No. 16 musim panas 1989: 3-18.
47 suatu perubahan identitas. Sejarah transisional – tinjauan tentang tirani masa lalu yang disusun
pada masa liberalisasi – merupakan bentuk narasi yang khas. Narasi-narasi yang disusun pada masa transisi paling jelas membawa pesan normatif
tentang kaitan sejarah dan demokrasi: garis narasi menyatakan kaitan antara relevansi pengetahuan sejarah dengan kemungkinan perubahan personal dan sosial. Tinjauan sejarah
tentang transisi merupakan suatu tinjauan tentang kaitan antara pengetahuan dan pergeseran dari kediktatoran serta prospek untuk masa depan yang lebih liberal. Tinjauan-tinjauan ini
memberikan suatu perasaan keadilan yang terasa “puitik”.
Narasi transisional merupakan suatu bentuk atau genre sastra yang khas, yang bisa dianggap sebagai suatu campuran tragedi-komedi atau tragedi-romantik.
146
Sementara narasi transisi dimulai dengan tragedi, mereka diakhiri secara komedi atau romantik. Dalam
pemahaman klasik, tragedi tersusun dari elemen-elemen penderitaan yang mendalam yang dialami kelompok-kelompok besar, kota-kota dan negara, yang diikuti penemuan atau
perubahan dari ketidaktahuan ke pengetahuan, suatu saat klarifikasi.
147
Seperti tragedi klasik berfokus pada penderitaan individu, yang nasibnya, karena status mereka, mempengaruhi
keseluruhan kelompoknya, kisah penderitaan kontemporer juga mengisahkan pengaruhnya secara luas.
Sementara narasi transisi diawali secara tragis, pada satu titik, mereka bergeser ke satu keputusan untuk mengubah nasibnya yang tragis tersebut; pada kesusasteraan klasik, hal ini
ditunjukkan dengan pergeseran ke tahap komedi. Penderitaan masa lalu yang dialami seluruh negara diubah sedemikian rupa sehingga berakhir dengan bahagia: perdamaian dan
rekonsiliasi. Dalam tragedi, peran pengetahuan hanyalah untuk memastikan nasib yang telah diketahui sejak awal. Namun tinjauan transisional diawali dengan penderitaan, ketidakadilan,
perbudakan, pembunuhan dan sebagainya. Kemudian, sesuatu terjadi dan orang-orang yang terlibat dalam kisah tersebut pada akhirnya menghindari nasib tragis dan sanggup bertahan
dalam realitas yang baru. Dalam konvensi romantisme yang dikaitkan dengan tinjauan transisional, perubahan ini melibatkan titik balik penting tentang pengetahuan diri, di mana
pengetahuan tersebut – tidak seperti dalam tragedi – menimbulkan perbaikan. Narasi transisional dalam konteks perubahan politik memiliki bentuk yang khas dan memainkan
peran tertentu dalam perubahan politik. Melalui proses komisi, dalam tindakan legal, masyarakat secara keseluruhan terkait dalam benang merah transisi ini.
Seperti akan dibahas di bawah, struktur transisi tampak dalam tinjauan transisi baik fiktif maupun non-fiktif. Laporan-laporan maupun karya-karya fiksi sama-sama menaati narasi
tertentu yang berjalan seperti berikut ini: meskipun dalam masa rezim lama terjadi penderitaan besar-besaran, penderitaan tersebut sedemikian rupa diubah menjadi sesuatu yang baik bagi
masyarakat, menjadi pemahaman diri yang lebih baik dan prospek yang lebih baik bagi kebertahanan demokrasi. Narasi nasional ini diawali secara tragis namun berakhir dengan
penebusan seluruh masyarakat. Perhatikanlah kisah-kisah dalam laporan-laporan setelah masa penindasan. Mulai dengan judul laporan: dengan diberi judul Tidak Akan Pernah Lagi,
laporan-laporan Amerika Latin ini menjanjikan bahwa mereka dapat mencegah penderitaan di masa depan. Sebagai contoh, dalam laporan pertama Komisi Nasional Orang Hilang
146
Lihat Northrop Frye, Anatomy of Criticism: Four Essays, Princeton: Princeton University Press, 1957.
147
Lihat Aristoteles, “Poetics”, dalam The Complete Works of Aristotle, Vol. 2, ed: Jonathan Barnes, Princeton: Princeton University Press, 1984, 2323-24; Timothy J. Reiss, Tragedy and Truth: Studies in the Development of
a Renaissance and Neoclassical Discourse , New Haven dan London: Yale University Press, 1980.
48 Argentina, tinjauan tentang penindasan di negara tersebut diawali dengan prolog yang
menyatakan bahwa kediktatoran militer “menimbulkan tragedi yang paling buruk dan paling kejam” dalam sejarah negara itu. Namun, pendahuluan itu juga menyatakan bahwa “pastilah
ada hal-hal yang bisa didapatkan dari bencana-bencana yang buruk”. Sejarah penderitaan ini dianggap memberikan pelajaran. “Tragedi yang diawali dengan naiknya kediktatoran militer
pada bulan Maret 1976, tragedi terburuk yang pernah dialami negara kita, tidak dapat diragukan lagi akan dapat membantu kita untuk memahamai bahwa hanya demokrasi-lah yang
dapat menyelamatkan masyarakat dari kesengsaraan pada skala ini”.
148
Menurut laporan ini, pengetahuan tentang penderitaan memainkan peran penting dalam kemampuan negara untuk
melakukan transisi politik ke demokrasi. Narasi dalam laporan transisi lainnya mengikuti alur yang serupa. Konfrontasi dengan
masa lalu dianggap sebagai hal yang diperlukan bagi masyarakat yang hendak melakukan transisi menuju demokrasi. Laporan Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili
menyatakan bahwa pertanggungjawaban sejarah merupakan syarat bagi tercapainya rekonsiliasi. Pengungkapan dan pengetahuan tentang penderitaan dianggap merupakan faktor
utama yang mempersatukan negara. Keputusan pembentukan komisi kebenaran Cili menyatakan bahwa “kebenaran harus diungkapkan, karena hanya pada dasar demikian ... akan
dimungkinkan ... terciptanya kondisi yang diperlukan untuk menciptakan rekonsiliasi nasional sepenuhnya”.
149
Menurut laporan Cili, kebenaran merupakan prasyarat utama untuk terciptanya demokrasi. Ini juga merupakan latar belakang dari laporan komisi kebenaran El
Salvador. Ia muncul bahkan sejak judul laporan yang optimistik: From Madness to Hope, yang mengisahkan perang saudara yang penuh kekerasan, yang diikuti “kebenaran dan
rekonsiliasi”. Menurut pengantar laporan tersebut, “konsekuensi kreatif” dari kebenaran akan “menyelesaikan perbedaan politik dan sosial melalui kesepakatan alih-alih dengan tindak
kekerasan”. “Perdamaian akan dibangun berdasarkan transparansi ... dan pengetahuan”. Kebenaran diibaratkan sebagai “cahaya terang” yang mencari pelajaran-pelajaran yang
berguna bagi rekonsiliasi dan untuk menghapus tindakan-tindakan demikian dalam masyarakat yang baru”.
150
Bahkan laporan-laporan tidak resmi juga memiliki klaim serupa bahwa pengungkapan kebenaran merupakan suatu bentuk keadilan. Bagian pendahuluan
laporan Nunca Más Uruguay misalnya menyatakan bahwa penulisan laporan itu dengan sendirinya merupakan kemenangan terhadap penindasan. Pandangan ini memiliki beberapa
klaim tentang kaitan pengetahuan sejarah dengan prospek demokratis. Ia mengklaim bahwa pengungkapan kebenaran pada saat transisional akan mencegah kemungkinan represi di masa
depan. Adalah kurangnya “pemahaman kritis yang menimbulkan risiko terulangnya bencana di masa depan ... untuk menyelamatkan sejarah, perlu belajar dari pengalaman ... Kita perlu
keberanian untuk tidak menyembunyikan pengalaman-pengalaman tersebut dalam kesadaran kita, dan mengenangnya. Dengan demikian kita tidak akan jatuh lagi ke dalam perangkap yang
sama”.
151
Dalam penyusunan sejarah transisional menuju pemerintahan yang liberal, kisah tentang sejarah haruslah diketahui sebenar-benarnya. Namun, kisah-kisah yang diceritakan
148
Laporan CONADEP, 6.
149
Supreme Decree No. 355, “Creation of the Commission on Truth and Reconciliation”, 25 April 1990, direproduksi dalam Laporan Rettig.
150
Laporan Komisi Kebenaran El Salvador, 11.
151
Uruguay, Nunca Más, vii, x-xi.
49 menunjukkan beberapa loncatan puitis. Apakah kebenaran mendorong perubahan politik
menuju liberalisasi, atau perubahan politik yang memungkinkan kembalinya pemerintahan demokratis dan usaha pengungkapan kebenaran? Dan bagaimana tepatnya cara kebenaran
mencegah bencana di masa depan? Klaim teoretis bahwa kebenaran dapat membebaskan – dan bahwa “kebenaran” memungkinkan pergeseran ke demokrasi – tampak tidak tepat di
manapun. Pergeseran dari kediktatoran tidak tergantung pada kebenaran; bahkan pergeseran ke sistem pemilihan bebas dan sistem politik yang lebih terbuka biasanya mendahului proses
pencarian kebenaran. Namun, meskipun terdapat perubahan politik, ada anggapan bahwa kebenaran tentang masa lalu yang mengerikan tidak dapat ditemukan hingga sebelum ada
usaha untuk mengklarifikasi penipuan di masa lalu itu. Sebagai contoh, pada transisi pasca- komunis, sejarah-sejarah nasional menggambarkan kejahatan sebagai sesuatu yang datang dari
luar. Tinjauan-tinjauan diawali dengan kisah pendudukan dan perlawanan rakyat, dan berpuncak pada kolaborasi. Narasi transisional tentang kediktatoran dan penindasan diawali
dengan representasi “musuh” sebagai suatu hal yang asing, tidak dikenal dan kemudian bergerak ke temuan tentang kolaborasi yang dilakukan beberapa warga negara, di seluruh
bagian masyarakat. Dalam narasi transisi, baik dari pemerintahan totaliter di bekas blok Soviet atau dari pemerintahan militer otoriter, yang paling menonjol adalah tentang penemuan fakta
tragis ini.
Dengan pengisahan seperti ini, dampak paling menonjol dari pengungkapan pengetahuan adalah bahwa ia memungkinkan perubahan di masa mendatang, melalui potensi
tindakan manusia. Pengetahuan yang terungkap menunjukkan bahwa ada logika tentang kejahatan di masa lalu, dan bahkan menunjukkan bahwa ada hal-hal yang perlu dilakukan
untuk menyikapinya. Pandangannya adalah bahwa seandainya hal ini sudah diketahui sebelumnya, mungkin keburukan-keburukan itu tidak akan terjadi, dan sebaliknya, karena
“kebenaran” telah terungkap, maka langkah ke depan akan menuju ke arah yang lebih baik. Harapan ini merupakan esensi liberalisme. Tinjauan transisional berupa pengetahuan, yang
baru terungkap tentang masa lalu yang buruk adalah bentuk kebenaran yang membebaskan, yang memiliki potensi liberalisasi. Pengungkapan kemungkinan pilihan di masa mendatang
inilah yang menjadi ciri transisi liberal. Dalam tinjauan transisional, termuat masa depan yang liberal.
Dalam kisah-kisah yang dimuat dalam laporan, kebenaran yang diungkapkan membantu menciptakan pergeseran dari masa lalu yang tragis ke masa depan yang penuh
harapan. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Kisah yang terjadi dan diceritakan ini adalah tentang bencana, yang dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Seperti dalam narasi dramatik, satu
nasib buruk dapat dihindari pada satu titik tertentu. Keadilan transisional memainkan peranan tersebut melalui masuknya orang-orang yang memiliki akses khusus terhadap pengetahuan,
seperti hakim, komisioner, saksi dan korban. Mekanisme pembebasan dan koreksi memungkinkan pergeseran dalam kisah masyarakat ini dari bencana ke masa depan yang lebih
baik. Pergeseran ke masyarakat yang lebih liberal ini dimungkinkan dengan menghadapi masa lalu: narasi transisional biasanya bersifat progresif dan romantik. Sering pula terdapat sedikit
ironi di dalamnya, bentuk-bentuk defeatisme, keinginan untuk gagal, dan konservatisme. Ini terlihat dalam narasi Eropa Timur, di mana para subjek dalam proses transisi tidak dianggap
penting: mereka yang ditindas atau dicopot dari jabatannya hanyalah berada di tempat atau waktu yang salah, sehingga mereka menjadi bagian dari proses hukum; mereka dipandang
50 sebagai korban,
152
seperti dalam kasus pengadilan penjaga perbatasan yang berpangkat rendah di Jerman. Dalam tinjauan-tinjauan tersebut, proses transisi diungkapkan seterbuka mungkin,
dan proses legal berisiko kehilangan legitimasinya. Bila narasinya akan menjadi perulangan sejarah, kejahatan negara yang berulang, masa-masa itu tidak akan menjadi masa
transformatif, namun hanya sekadar transisi konservatif.
Literatur tentang masa-masa kekejaman biasanya disusun dari kisah-kisah pengalaman, dalam struktur yang khas. Dalam berbagai kebudayaan politik, representasi dalam literatur
penindasan negara memiliki bentuk yang amat literal. Bentuk ini terlihat dalam tulisan-tulisan tentang penindasan dalam Perang Dunia Kedua dan Holocaust, dan kebanyakan berupa
pengalaman. Contoh penting misalnya Night karya Elie Wiesel.
153
Horor dalam kamp konsentrasi dikisahkan secara “kering” dari sudut pandang orang pertama yang mengalaminya
langsung. Satu contoh lain dalam bentuk film adalah Shoah, yang menggunakan simbol- simbol ekstrem untuk menggambarkan hal-hal yang nyaris tak terbayangkan. Ketegangan ini
terungkap dalam bentuk hibrida yang disebut sebagai novelareal; sebuah ilustrasi tentang kediktatoran Argentina sebagaimana tertuang dalam karya berbahasa Spanyol dari Miguel
Bonasso, Recuerdo de la Muerte. Suatu karya fiksi yang paling bisa menggambarkan represi pada era Stalin adalah The Gulag Archipelago, 1918-1956: An Experiment in Literary
Investigation,
oleh Aleksandr Solzhenitsyn.
154
Dari judulnya, Literary Investigation, ia mencoba menggambarkan ribuan insiden kekerasan dalam satu narasi: struktur novel ini
serupa dengan laporan resmi. Penggunaan model kronika untuk menggambarkan kekerasan ini tidak selalu diikuti, ada pula penggunaan puisi. Ketika puisi menggambarkan penderitaan
massal, hal ini dilakukan dalam bentuk “laporan mokro”.
155
Literatur transisi tentang masa lalu yang penuh penindasan, seperti juga laporan resmi yang dijelaskan di atas, memiliki struktur transisional yang serupa. Diawali sebagai tragedi
dalam sejarah suatu negara, narasi dimulai dengan gambaran tentang ketidakteraturan politik atau ekonomi yang dianggap menjelaskan bagaimana militer mengambil alih kekuasaan.
Narasi dilanjutkan dengan masa penderitaan yang diselubungi penindasan, yang berpuncak pada penemuan dan pengetahuan-diri, yang merupakan titik balik, yang memungkinkan
perubahan di masa depan. Suatu contoh penting adalah Prisoner without a Name, Cell without a Number,
yang merupakan otobiografi Jacobo Timerman berdasarkan pengalamannya selama represi militer Argentina. Dalam bukunya, Timerman mengisahkan kisah sedih tentang
bagaimana ia, sebagai bagian elite Argentina, semula menyetujui pengambilalihan kekuasaan ini, karena berharap bahwa hal ini akan mengembalikan ketenteraman. Namun, militer malah
menceburkan negara ke dalam pembantaian dan pada akhirnya bahkan mengejar-ngejar Timerman. Hanya setelah dikhianati dan menderita, Timerman menyadari betapa brutalnya
kekejaman militer ini. Titik balik nasibnya ini membuat ia memahami lebih dalam nasib negaranya.
152
Lihar René Girard, The Violence and the Sacred, Baltimore: Johs Hopkins University Press, 1972.
153
Lihat umumnya Saul Friedlander ed., Probing the Limits of Representation, Cambridge: Harvard University Press, 1992. Lihat misalnya Elie Wiesel, Night terjemahan Stella Rodway dan Francis Mauriac, Bantam Books,
1982.
154
Lihat Aleksandr Solzhenitsyn, The Gulag Archipelago: An Experiment in Literary Investigation, New York: Harper and Row, 1975. Miguel Bonasso, Recuerdo de la Muerte, Buenos Aires: Plancta, 1984. Jacobo
Timerman, Prisoner without a Name, Cell without a Number, New York: Knopf, 1981.
155
Czeslaw Milosz, The Witness of Poetry, Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1983.
51 Narasi transisional menunjukkan bahwa hal minimal yang dipertaruhkan dalam
transformasi ke liberalisasi adalah perubahan interpretasi. Masyarakat mulai berubah secara politis bila terjadi perubahan pemahaman tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi.
Perubahan inilah, seperti dikatakan Václav Havel, “dari hidup dalam kebohongan ke hidup dalam kebenaran.” Demikianlah banyak karya fiksi tentang masa tersebut adalah kisah tentang
perubahan ini, tentang hidup dalam kebohongan, kisah penipuan dan pengkhianatan, ke pengungkapan pengetahuan yang baru dan pemahaman yang mempengaruhi dan membentuk
identitas dan hubungan yang baru. Contohnya adalah karya Bernhard Schlink, The Reader, yang merupakan alegori hubungan negara dengan warga negara.
156
Sejarah transisional bukanlah semata-mata pencarian fakta dalam kondisi yang steril, namun dibangun di atas
narasi-narasi nasional yang sudah ada. Mereka tidaklah bersifat mendasar, namun lebih transisional, sebagai perubahan rezim kebenaran yang dikonstruksikan dalam perubahan rezim
politik. Ketika terdapat interpretasi yang beragam tentang represi pemerintahan dalam suatu rezim politik, keberadaan interpretasi yang berbeda ini menandakan perubahan politik, yang
mendorong perubahan lebih lanjut. Pemahaman fungsi interpretif dalam perubahan politik menjelaskan bahwa usaha untuk mendapatkan pertanggungjawaban historis tidak semata-mata
merespon perubahan politik. Namun, pertanggungjawaban historis itu merupakan bagian dari penciptaan perubahan politik, yang menyusun apa yang kita harapkan dari sistem politik
liberal.
Tinjauan transisional yang dibahas di atas menunjukkan kontinuitas keadilan historis dan keadilan transisional lainnya. Konsepsi keadilan yang dibahas di sini menunjukkan alur
yang serupa berkaitan dengan peran pengetahuan yang terungkap. Tinjauan sejarah menciptakan kaitan normatif dalam mengaitkan masa lalu dan masa depan suatu masyarakat;
narasi transisi dimulai dengan melihat ke belakang dan bercermin pada arti masa lalu, namun selalu dengan tujuan untuk masa depan. Selalu ada yang bisa dilakukan. Ini adalah harapan
yang diberikan oleh proses liberalisasi. Seperti respon-respon legal yang dibahas dimuka, seperti penghukuman, keserupaannya terletak pada tujuan korektif melalui proses legal.
Artinya, dengan menciptakan perubahan pengetahuan sosial, terjadi pergeseran yang berarti dari kejahatan dan penderitaan di masa lalu ke masa depan yang menyembuhkan.
Tentang Penyeberangan Sungai dan Laut, tentang Pembuangan dan Kepulangan Tinjauan-tinjauan di atas menunjukkan struktur dan ciri serupa pada transisi masyarakat.
Struktur tersebut juga terlihat dalam karya-karya sastra klasik yang dikaitkan dengan transisi; yaitu bahwa mereka menunjukkan konvensi pergeseran dari tragedi ke komedi-romantik.
Yang menjadi harapan akhir adalah kemungkinan rekonsiliasi.
Kisah dalam Alkitab tentang dua saudara, Esau dan Yakub, merupakan kisah klasik tentang konfrontasi dengan masa lalu yang buruk, rekonsiliasi dan perubahan politis.
157
Dalam kisah transisi biblikal ini, penyelesaian “hutang” antara kedua saudara ini terjadi setelah
kembalinya Yakub, yang telah melarikan diri dan terasing dari saudaranya, Esau. Hubungan
156
Havel, Power of the Powerless. Bernhard Schlink, The Reader terjemahan Carol Brown Janeway, N.Y: Vintage Int’1, 1998.
157
Lihat W. Gunther Plaut ed., “Genesis” dalam The Torah: A Modern Commentary, New York: Union of American Hebrew Congregations, 1981, Kejadian 32:4-17.
52 mereka yang buruk sejak awal mula berkaitan dengan persaingan tentang hak kesulungan dan
penipuan Yakub terhadap Esau. Ketika Yakub merencanakan kepulangannya, ia takut untuk bertemu dengan
saudaranya, takut bahwa Esau akan membalasnya.
158
Ketika diberitahu bahwa Esau sedang pergi mendatanginya dengan sekelompok orang bersenjata, Yakub berusaha untuk
menenangkan saudaranya dengan hadiah-hadiah, namun kemudian mengalami transformasi pribadi yang pada akhirnya mengarah pada rekonsiliasi dengan saudaranya dan pembangunan
sebuah bangsa.
Kisah pertemuan dan rekonsiliasi kedua saudara ini diawali dengan Yakub meninggalkan tempat pengasingannya. Setelah menyeberangi sungai Yabok pada malam hari,
ia terlibat perkelahian dengan seorang asing yang memiliki kekuatan luar biasa. Ketika berkelahi tersebut, kakinya terkilir sehingga jalannya pincang. Dan, ketika pertandingan gulat
itu berakhir, ia diberkati dan mendapatkan nama baru: dari “Yakub” menjadi “Israel”, dan identitas baru yang disimbolkan nama itu menunjukkan pergulatannya dengan Tuhan. Setelah
perkelahian tersebut, ketika ia dengan terpicang-pincang mendatangi saudaranya dan mendekatinya dengan penuh permohonan, ia mengalami transformasi baik jiwa maupun raga.
Ketika saudaranya Esau melihatnya mendatanginya, mereka saling berpelukan dan menangis, dan terjadilah rekonsiliasi.
Kisah kuno tentang rekonsiliasi ini diawali dengan penyeberangan suatu sungai, diikuti oleh malam pergulatan, pertemuan dengan kekuatan yang amat besar, dan perubahan identitas.
Hanya setelah Yakub selesai dengan pergulatan ini, yang disimbolkan oleh kehilangan – ia menjadi pincang – dan mendapatkan nama baru, rekonsiliasi dengan saudaranya bisa
terlaksana. Perlu diperhatikan bahwa meskipun Esau datang dengan marah bersama orang- orang bersenjata, setelah menghadapi Yakub yang telah berubah, seorang baru bernama Israel,
mereka berdamai.
Apa yang menjadi syarat transisi? Kisah kuno ini menunjukkan simbol-simbol utama: penyeberangan sungai Yabok di malam hari – suatu penyeberangan dalam aspek tempat dan
waktu. Malam hari melambangkan waktu yang membatasi antara dua hari, waktu untuk menyusun kembali seseorang, dan air merupakan simbol klasik sesuatu perubahan.
159
Setelah air dan malam hari, masih ada kehilangan dan sesuatu yang didapatkan. Dalam kisah biblikal
perubahan Yakub menjadi Israel, transformasi identitas politis ini terlihat di tubuh yang menjadi pincang dan tercermin dengan perubahan nama.
Struktur khas dari narasi transisional ini tergambar jelas dalam karya romantik, seperti The Tempest
karya William Shakespeare. Seperti kisah Esau dan Yakub, The Tempest juga merupakan narasi transisi melalui pengasingan dan kepulangan. Diawali dengan para
tokohnya dalam pengasingan dan berakhir dengan kepulangan mereka, mereka semula diasingkan dari rumah; secara harfiah “berada di laut”. The Tempest, seperti kisah biblikal di
muka, diawali dengan pengisahan suatu ketidakadilan politik. Seperti antara Yakub dan Esau, terdapat permusuhan antara Prospero, penguasa “sah” Milan, dengan Antonio, yang
menyerobot kekuasaannya. Kisah ini bercerita tentang persaingan mereka untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat yang sedang runtuh. Transisi ke kondisi politik yang baru, seperti
158
“Lepaskanlah kiranya aku dari tangan kakakku, dari tangan Esau, sebab aku takut kepadanya ... .” Kejadian 32:11.
159
Lihat Arnold Van Gennep, The Rites of Passage terjemahan Monika B. Wizedom dan Gabrielle L. Caffee, Chicago: University of Chicago Press, 1960.
53 dalam kisah biblikal di muka, juga berupa narasi kepulangan dari pengasingan ke rumah.
Perubahan ini tergantung pada pengungkapan berbagai kebenaran sehingga para tokoh akhirnya bisa pulang ke “kondisi asal”. “Dan Ferdinand saudaranya mendapatkan seorang
isteri ketika ia tersesat; Prospero kekuasaannya di sebuah pulau terpencil; dan kita mendapatkan diri kita sendiri, ketika tidak seorang pun memiliki dirinya”.
160
Drama ini diawali pada babak I dengan tokoh-tokohnya menceritakan ketidakadilan- ketidakadilan politik di masa lalu: Prospero kehilangan kekuasaannya, Ariel tertangkap dan
kemudian diperbudak Prospero. Pada babak II, mulai dibayangi alternatif terhadap rezim yang ada. Pergeseran dimulai pada babak III, dengan mulainya para tokoh menghadapi sejarah.
Konfrontasi terjadi melalui kekuatan supranatural Ariel sebagai “monster”, yang menuntut “tiga orang berdosa” dan mengutuk mereka untuk kehancuran pelan-pelan”.
161
Dengan terungkapnya kebenaran, dalam babak IV, mulai terbayang keinginan untuk perubahan dan
pembalasan.
162
Dalam babak V, sejarah dihadapi, pengampunan dan maaf menjadi pemikiran. “Kebesaran hati adalah nilai yang lebih berharga daripada pembalasan”.
163
Rekonsiliasi berarti Prospero memberikan pengampunan dalam penggunaan kekuasaannya lebih lanjut. Bahwa
peristiwa-peristiwa yang menyusul melibatkan pilihan manusia untuk menyikapi kondisi, untuk mendamaikan cinta dengan realitas, disimbolkan oleh permainan di dalam drama:
permainan catur antara Ferdinand dan Miranda – simbol adanya kemungkinan dalam pikiran rasional dan tindakan individual.
Pada akhir drama, hampir semua hal kembali ke keadaan semula, dan ketidakadilan diselesaikan. Dalam The Tempest, transisi ke rezim baru juga mengakibatkan kehilangan.
Sementara dalam The Tempest kedua saudara tersebut tidak sepenuhnya berdamai, terjadi rekonsiliasi antara tokoh-tokoh lainnya. Bahkan, melalui drama ini dapat dipahami bahwa
transisi berarti penciptaan interpretasi baru yang menggantikan interpretasi lama. Perubahan yang menjadi inti transisi memerlukan hilangnya sesuatu, sekaligus perubahan identitas.
164
Narasi transisional memiliki bentuk yang khas. Baik dalam kisah biblikal maupun roman Shakespeare ini, alur narasi bergeser dari pembuangan ke rumah, ke kondisi semula
yang sebenarnya. Pengungkapan kebenaran sering kali terjadi melalui proses supranatural; secara ritual melepaskan diri dari masa lalu, membuang masa lalu dan akhirnya mengakui
kebenaran yang baru, memungkinkan kembali ke arah yang benar. Pengetahuan yang semula dirahasiakan dihadapi, dan akhirnya menciptakan arah yang baru.
165
Pengetahuan suatu masyarakat tentang apa yang telah terjadi bukanlah sasaran akhir, namun syarat untuk
terjadinya perubahan sikap manusia dan transformasi ke liberalisme. Keadilan Historis Transisional: Beberapa Kesimpulan
160
Lihat The Tempest 5.1.211-14.
161
Lihat ibid., 3.3.52-77.
162
Lihat ibid., 4.1.
163
Ibid., 5.1.27-32.
164
Lihat Stanley Cavell, Disowning Knowledge in Six Plays of Shakespeare, Cambridge: Harvard University Press, 1987.
165
Lihat Jürgen Habermas, A Berlin Republic: Writings on Germany terjemahan Stevan Rendall, Lincoln: University of Nebraska Press, 1997.
54 Praktik-praktik yang dibicarakan di sini menunjukan bahwa peran penyelidikan sejarah
bukanlah sebagai dasar, namun sebagai cara transisi. Sejarah selalu terkait erat dengan kehidupan bernegara, namun dalam pergeseran politik, ia membantu mendorong transformasi.
Dibandingkan dengan sejarah versi negara yang sedang berjalan, apa yang menjadi ciri utama narasi sejarah transformatif? Apa yang menjadikan kisah-kisah tersebut membawa
pembebasan?
Satu alasan mengapa sejarah yang dibicarakan di sini tidak bersifat mendasar namun bersifat transisional adalah bahwa ia merupakan sejarah yang khas dan terpisah discrete,
narasi “mini” dan bukan metanarasi, yang berada di dalam narasi luas negara. Pengungkapan sejarah transisional bukanlah narasi yang berdiri sendiri, juga bukan awal baru yang radikal,
namun selalu berkaitan dengan peninggalan sejarah suatu negara yang sudah ada. Sejarah transisional memerlukan negosiasi antara berbagai versi sejarah yang berbeda-beda, dan
ditempatkan dalam narasi sejarah negara yang lebih luas. Tinjauan transisional diciptakan dalam suatu konteks – sejarah suatu negara – dan merupakan respon kritis terhadap konflik
sejarah yang ada. Maka, sejarah transisional pada umumnya menunjukkan penggantian satu versi interpretasi sejarah, atau suatu rezim kebenaran, dengan rezim kebenaran lainnya,
sementara rezim politik berganti namun mempertahankan benang merah narasi negara.
Proses hukum pengungkapan kebenaran mengkonstruksi ingatan kolektif dalam transisi. Penggunaan hukum, proses dan kerangkanya secara terbuka ini dilakukan pada saat
konsensus sosial sedang dalam kondisi berantakan. Hukum merupakan suatu bahasa tegas dengan simbol-simbol dan ritus-ritus yang sudah mapan. Pada masa kontemporer, ritus legal
dan proses pengadilan serta dengar pendapat terbuka memungkinkan terciptanya sejarah transisional yang merupakan konstruksi sosial bersifat demokratis dengan cakupan yang luas;
pemirsanya adalah seluruh warga negara. Ritus-ritus penyusunan sejarah kolektif ini merupakan bagian dari transisi dan menciptakan batasan waktu politik: “sebelum” dan
“sesudah”.
166
Penggunaan hukum berarti bahwa klaim sejarah dilakukan dengan menggunakan bahasa hukum, berkaitan dengan hak dan tanggung jawab terhadap kesalahan di masa lalu.
Penggunaan bahasa ini merupakan respon kritis untuk menjawab penindasan masa lalu, meninggalkan fakta-fakta khas dan terpisah yang semula digunakan untuk mendukung rezim
lama, yang merupakan hal kritis untuk memungkinkan perubahan politik. Praktik penciptaan sejarah yang dikaitkan dengan transisi ini sering kali secara terbuka menegaskan apa yang
secara tersirat sudah diketahui oleh masyarakat. Proses penyelidikan sejarah memungkinkan terlepasnya sejarah masa lalu yang jahat dari ingatan masyarakat. Narasi sejarah transisional
mengisahkan keadilan korektif yang menunjukkan diskontinuitas dari masa lalu; sejarah transisional mengarah pada liberalisasi.
Narasi sejarah transisional, baik melalui pengadilan maupun bentuk lainnya, menunjukkan peran penting pengetahuan dan pilihan. Melalui pengetahuan umum tentang
respon historis terhadap pelanggaran di masa lalu, di mana sebab dan akibat struktural dapat dipahami,
167
sejarah transisional berupa narasi yang jelas dapat menjelaskan tanggung jawab individu dan kolektif. Dengan memberikan potensi pilihan individual, tinjauan sejarah
memainkan peran liberalisasi. Dengan mengungkapkan kebenaran masa lalu, tinjauan tersebut menunjukkan hal-hal apa yang mungkin berubah seandainya telah diketahui sejak awal,
166
Lihat Maurice Bloch, Ritual, History and Power: Selected Papers in Anthropology, London: Athlone Press, 1989, 282 tentang peran ritual dalam konstruksi.
167
Lihat Gordon, “Undoing Historical Injustice”.
55 berkaitan dengan potensi tindakan individual. Inilah pemahaman yang dijelaskan oleh tatanan
politik tentang penghindaran tragedi. Pengungkapan potensi pilihan dan tindakan individual dengan sendirinya merupakan suatu hal yang meliberalkan.
Peninjauan sejarah merupakan ciri transisi menuju liberalisasi, berkaitan dengan perubahan identitas politik negara. Dengan demikian narasi transisional memajukan konstruksi
tatanan politik kontemporer. Dalam narasi transisional, alur cerita tidak semata-mata tragis atau mempermasalahkan penggunaan kekerasan secara sewenang-wenang. Ia tidak menaati
tatanan dunia yang sudah ada atau pada realisme politik semata-mata. Narasi-terstruktur menekankan kemungkinan pilihan yang terbatas, oleh agen-egen individual dalam politik yang
terletak dalam parameter kondisi politik yang lebih luas. Terdapat anggapan bahwa pemahaman diri di tingkat masyarakat dapat memberikan penebusan kesalahan, meskipun di
masa lalu terjadi kesalahan, yang merupakan pemahaman yang sangat liberal. Narasi sejarah yang menekankan pemahaman diri di tingkat masyarakat dan mencegah pengulangan tragedi
dikaitkan dengan tatanan politik liberal. Struktur sejarah transisional menunjukkan adanya harapan.
Liberalisasi melalui pengisahan kebenaran menyebabkan instabilitas, yang dikaitkan dengan masa transisi. Namun yang membahayakan adalah pengisahan yang terlalu baik, yang
terlalu merasionalisasi – menganggap bahwa hal-hal yang terjadi di masa lalu merupakan hal yang mutlak diperlukan untuk masa depan yang liberal. Bagaimana sejarah dikisahkan seiring
perjalanan waktu merupakan hal yang sensitif. Narasi sejarah mengkonstruksikan pemahaman negara terhadap tatanan politiknya. Keadilan historis transisional terkait dengan pemeliharaan
identitas politik suatu negara. Dengan berjalannya waktu, bagaimana suatu negara memahami dirinya menadi subjek kontroversi perdebatan politik. “Perdebatan sejarawan” yang
memunculkan kembali pertimbangan-pertimbangan transisional menunjukkan bahwa bila narasi suatu negara secara eksplisit diskontinu dengan peninggalan sejarah penindasan di masa
lalu, ia menekankan identitas transisional yang meliberalkan.
Praktik-praktik sejarah yang dibicarakan di atas menunjukkan bahwa semua respon legal menciptakan narasi transisional. Meskipun narasi tersebut tidak selalu eksplisit, namun
akan selalu tercipta suatu tinjauan sejarah. Praktik transisional penyusunan sejarah dalam masa perubahan politik radikal menjelaskan peran narasi sejarah sebagai latar belakang dalam
sistem demokrasi yang sudah mapan, tinjauan sejarah yang menjadi dasar tatanan politik.
168
Suatau genre sejarah yang khas kini diasosiasikan dengan identitas politik liberal. Seperti dibicarakan di sini, ada beberapa ciri umum dari narasi sejarah liberal ini. Sejarah
transisional juga terkait erat dengan konteks dan kondisi politik. Bila sejarah dipergunakan untuk melayani perubahan poitik, tujuannya prospektif, dan historiografi modern menegaskan
bahwa penulisan sejarah tidak bisa dilepaskan dari politisasi. Namun, parameter diskursus sejarah ditempatkan dalam konteks sosial yang ada. Penyusunan sejarah transisional
ditempatkan dalam konteks tinjauan-tinjauan yang sudah ada, dan ketika mereka menggantikannya, hasil penyusunan yang baru itu menjadi versi sejarah yang diterima yang
di masa berikutnya bisa digantikan oleh versi lainnya. Sejarah transisional menjadi mekanisme kontinuitas sekaligus diskontinuitas. Siklus pergantian rezim kebenaran tampak
dalam respon sejarah terhadap kejahatan di masa lalu. Dan lebih lanjut lagi, hal yang
168
Untuk pemikiran yang mendalam, lihat Robert Gordon, “Critical Legal Histories”, Stanford Law Review 36 1984: 57.
56 menimbulkan diskontinuitas dari rezim yang sudah ada tidaklah penting dan tergantung pada
politik. Sejauh mana siklus ini berlanjut? Apa kaitan antara penyusunan sejarah transisional
dan non-transisional? Sering kali terdapat harapan untuk menyusun suatu versi final dari sejarah – konsensus sejarah yang mutlak – yang diharapkan “melampaui sejarah”. Hal ini
sama sekali tidak benar bahkan setelah gelombang terakhir perubahan menyusul keruntuhan komunisme. Namun, dorongan untuk menamatkan sisa-sisa masa lalu, menegakkan sosok
“pasca-sejarah” ini merupakan hal yang sia-sia, karena tidak mungkin menghentikan peninjauan sejarah suatu negara, untuk menghentikan politik dan potensinya untuk kemajuan.
Usaha untuk menetapkan suatu versi sejarah berdasar pandangan tertentu untuk selama- lamanya merupakan pandangan yang iliberal. Tidak ada pilihan lain, selain pluralitas narasi,
instabilitas dan dialektika politik.
1
Bab 4 Keadilan Reparatoris