Kedaulatan Hukum dalam Masa Transisi

1

Bab I Kedaulatan Hukum dalam Masa Transisi

Bab ini menyelidiki berbagai respon legal terhadap pemerintahan non-liberal dan prinsip- prinsip “kedaulatan hukum” yang memandunya dalam masa-masa tersebut. Usaha untuk menaati kedaulatan hukum dalam masa gejolak politik sering kali menimbulkan dilema. Terdapat ketegangan antara kedaulatan hukum dalam masa transisi, yang sering kali melihat ke belakang selain ke depan, mapan sekaligus dinamis. Dalam dilema ini, kedaulatan hukum pada akhirnya menjadi kontekstual; alih-alih merupakan dasar tatanan hukum saja, ia juga memediasi pergeseran normatif yang mencirikan masa-masa tidak biasa tersebut. Di negara- negara demokratis, pandangan kita adalah bahwa kedaulatan hukum memiliki arti ketaatan pada aturan yang sudah ada, yang dipertentangkan dengan tindakan pemerintah secara sewenang-wenang. 1 1 Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom Chicago: University of Chicago Press, 1944, 72 “[P]emerintah dalam semua tindakannya diikat oleh aturan yang ditetapkan dan diumumkan sebelumnya – aturan yang memungkinkan untuk meramalkan dengan penuh kepastian bagaimana pemegang kekuasaan akan menggunakan kekuasaannya dalam kondisi tertentu dan untuk merencanakan tindakan individual berdasarkan pada pengetahuan ini”. Untuk pembicaraan tentang pemahaman umum mengenai peran kedaulatan hukum di negara-negara demokrasi sebagai batasan terhadap penggunaan kekuasaan yang sewenang-wenang, lihat Roger Cotterell, The Politics of Jurisprudence: A Critical Introduction to Legal Philosophy Philadelphia: University of philadelphia Press, 1989, 113-14, yang menjelaskan bahayanya memandang negara sebagai entitas yang mengatasi hukum. Untuk penjelasan tentang kaitan antara hukum dengan demokrasi, lihat Jean Hampton, “Democracy and the Rule of Law,” dalam Nomos XXXVI: The Rule of Law, ed. Ian Saphiro New York: New York University Press, 1995, 13. Penjelasan klasik tentang syarat minimum legalitas ditemukan dalam Lon L. Fuller, The Morality of Law New Haven: Yale University Press, 1964, 33-34. Ronald Dworkin menawarkan pemaparan kontemporer yang terpenting tentang teori kedaulatan hukum yang substantif. Lihat Ronald Dworkin, A Matter of Principle Cambridge: Harvard University Press, 1985, 11-12 Dworkin berpandangan bahwa “konsepsi hak” dalam kedaulatan hukum mensyaratkan, sebagai bagian dari pandangan ideal tentang hukum, bahwa aturan-aturan yang tertulis mencakup dan melaksanakan hak-hak moral. Lihat juga Frank Michelman, “Law’s Republic”, Yale Law Journal 97 1988: 1493 yang memaparkan interpretasi modern tentang pemerintahan oleh hukum melalui reinterpretasi teori politik republikanisme kemasyarakatan civil republicanism . Margaret Jane Radin menggambarkan dasar filsafat dari pendekatan-pendekatan modern terhadap kedaulatan hukum dengan asumsi-asumsi berikut ini: 1 hukum tersusun atas aturan-aturan; 2 aturan berada di muka sebelum kasus-kasus khusus, lebih umum dari kasus-kasus khusus dan diterapkan terhadap kasus-kasus khusus; 3 hukum bersifat instrumental aturan-aturan tersebut dilaksanakan untuk mencapai tujuannya; 4 terdapat pemisahan radikal antara pemerintah dan warga negara ada pemberi aturan dan pelaksananya, versus penerima aturan dan penaatnya; 5 manusia adalah pemilih yang rasional yang mengatur tindakan-tindakannya secara instrumental. Margaret Jane Radin, “Reconsidering the Rule of Law”, Boston University Law Review 69 1989: 792. Lihat umumnya Cotterell, Politics of Jurisprudence yang memberikan pengantar tentang perdebatan tentang sifat hukum; Allan C. Hutchinson dan Patrick Monahan, eds., The Rule of Law Toronto: Carswell, 1987 yang mengumpulkan sejumlah esai tentang kedaulatan hukum; Roger Cotterell, “The Rule of Law in Corporate Society: Neumann, Kirchheimer, and the Lessons of Weimar”, Modern Law Review 51 1988: 126-32 tinjauan buku. 2 Namun revolusi memiliki arti ketiadaan tatanan dan stabilitas hukum. Dilema utama dalam keadilan transisional adalah masalah kedaulatan hukum dalam masa perubahan politik yang radikal. Dari definisinya, jelas bahwa pada saat-saat tersebut terjadi perubahan paradigmatik yang mendasar dalam pemahaman tentang keadilan. Masyarakat sedang berusaha keras untuk menjawab pertanyaan “bagaimana mentransformasikan sistem politik, hukum dan ekonomi” mereka. Jika pada umumnya kedaulatan hukum memiliki arti keteraturan, stabilitas dan ketaatan pada hukum yang mapan, sejauh mana masa-masa transformasi sesuai dengan komitmen terhadap kedaulatan hukum? Pada masa-masa demikian, apa yang bisa kita artikan dengan kedaulatan hukum? Dilema tentang arti kedaulatan hukum sebenarnya tidak terbatas pada masa-masa transformasi politik dan mencakup pula dasar negara liberal. Bahkan pada masa-masa biasa, negara-negara yang demokrasinya stabil pun sering kali mengalami kesulitan untuk mengartikan ketaatan pada kedaulatan hukum. Berbagai versi dilema kedaulatan hukum di masa transisi ini tampak dalam masalah keadilan suksesor successor justice, dalam konteks tertentu diartikan juga sebagai “keadilan pemenang”, ed., awal konstitusional dan perubahan konstitusional. 2 Dilema kedaulatan hukum ini biasanya muncul di lingkup-lingkup politik yang konteroversial, di mana nilai perubahan legal mengalami ketegangan dengan nilai ketaatan pada prinsip hukum yang menjadi preseden. Pada masa biasa, masalah ketaatan pada kontinuitas legal ini dilihat sebagai tantangan yang ditimbulkan perubahan politik dan sosial dalam jangka waktu yang panjang. Dengan demikian, ide tentang kedaulatan hukum sebagai kontinuitas legal tercakup dalam prinsip stare decisis, suatu predikat ajudikasi dalam sistem hukum Anglo-Amerika. Konsep kedaulatan hukum yang mendasari konstitusi kita mensyaratkan kontinuitas, sehingga penghargaan terhadap preseden, dengan sendirinya menjadi tidak dapat diabaikan”. 3 Namun dalam masa transformasi, nilai kontinuitas legal mengalami ujian yang berat. Pertanyaan tentang batasan normatif perubahan politik dan hukum yang sah bagi rezim-rezim yang mengalami transformasi sering kali ditempatkan dalam kerangka-kerangka dua kutub. Hukum sebagaimana tertulis dibandingkan hukum sebagai hak, hukum positif dipertentangkan dengan hukum kodrat [kami memilih “hukum kodrat” untuk menerjemahkan natural law, ketimbang “hukum alam”, ed.], keadilan prosedural dengan keadilan substantif, dan lain-lain. Tujuan saya di sini adalah untuk menempatkan kembali dilema kedaulatan hukum dengan memperhatikan pengalaman berbagai masyarakat dalam konteks transformasi politik. Perhatian saya bukanlah pada teori yang ideal tentang kedaulatan hukum pada umumnya. Alih-alih, saya berusaha memahami arti kedaulatan hukum bagi masyarakat yang mengalami perubahan politik berskala besar. Bab ini mendekati dilema kedaulatan hukum secara induktif dengan menempatkan kembali pertanyaan tersebut ke dalam konteks legal dan politisnya. Kita akan meneliti sejumlah kasus historis pasca-perang, dan juga preseden yang timbul dari transisi yang lebih mutakhir. Meskipun dilema kedaulatan hukum biasanya timbul dalam 2 Untuk pembicaraan pengantar tentang tema-tema umum dalam konsep kedaulatan hukum dan konstitusionalisme, lihat A. V. Dicey, Introduction to the Study of Laws of the Constitution Indianapolis: Libery Fund, 1982, 107-22. Lihat juga E. P. Thompson, Whigs and Hunters: The Origin of the Black Act New York: Pantheon Books, 1975. 3 Planned Parenthood v. Casey, 505 US 833, 854 1992; Lihat Antonin Scalia, “The Rule of Law as the Law of Rules”, University of Chicago Law Review 56 1989: 1175 yang menyarankan “kedaulatan hukum umum” di atas “keinginan individual untuk berlaku adil”. 3 konteks kejahatan criminal, isu-isu tersebut menimbulkan pertanyaan yang lebih luas tentang cara-cara masyarakat dalam masa-masa perubahan politik yang mendasar mengubah pandangannya tentang kaitan antara hukum, politik dan keadilan. Sebagaimana akan terlihat, ajudikasi-ajudikasi tersebut akan menunjukkan pemikiran utama tentang konsepsi kedaulatan hukum yang luar biasa dan nilai-nilai keadilan dalam masa-masa perubahan politik. Dilema Kedaulatan Hukum: Transisi Pasca-Perang Pada masa perubahan politik yang substansial, timbullah suatu dilema tentang ketaatan pada kedaulatan hukum yang berkaitan dengan masalah keadilan suksesor. Sejauh mana mengajukan unsur-unsur rezim lama ke pengadilan menunjukkan konflik inheren antara visi keadilan predesesor dan suksesor? Dengan memperhatikan konflik ini, apakah peradilan kriminal demikian bersesuaian dengan prinsip kedaulatan hukum? Dilema yang ditimbulkan peradilan kriminal suksesor mengarah pada pertanyaan lebih luas menyangkut teori tentang sifat dan peran hukum dalam transformasi menuju negara liberal. Dilema transisional ini tampak dalam perubahan-perubahan sepanjang sejarah politik. Ia tampak dalam pergeseran dari monarki ke republik pada abad ke-18, dan tampak kembali dalam peradilan-peradilan pasca-Perang Dunia Kedua. Pada masa pasca-perang, masalah tersebut menjadi subjek perdebatan hangat dalam lingkup jurisprudensi Anglo-Amerika, yaitu antara Lon Fuller dan H.L.A Hart. Keduanya berangkat dari permasalahan keadilan setelah runtuhnya rezim Nazi. 4 Pembuatan teori pasca-perang demikian menunjukkan bahwa pada saat-saat perubahan politik yang signifikan, pemahaman konvensional tentang kedaulatan hukum menjadi perdebatan. 5 Meskipun konteks transisional telah menimbulkan sejumlah teori tentang arti kedaulatan hukum, pembuatan teori tersebut tidak membedakan pemahaman kedaulatan hukum dalam masa-masa biasa dan transisional. Terlebih lagi, karya teoretik yang timbul dari perdebatan tersebut sering kali mundur ke model-model besar dan teridealisasi tentang kedaulatan hukum. Hal tersebut tidak dapat memperhatikan isu-isu tidak biasa yang berada dalam cakupan jurisprudensi transisional. Pengakuan suatu domein jurisprudensi transisional sendiri masih menimbulkan permasalahan tentang kaitan antara hukum dalam masa transisi dengan pada masa biasa. Perdebatan Hart-Fuller tentang sifat hukum ini berfokus pada sejumlah kasus pengadilan kolaborator Nazi di Jerman setelah perang. Isu sentral pada pengadilan-pengadilan Jerman pasca-perang adalah apakah mereka bisa menerima pembelaan yang berdasarkan 4 Lihat H. L. A. Hart, “Positivism and the Separation of Law and Morals”, Harvard Law Review 71 1958; 593 yang membela positivisme; Lon L. Fuller, “Positivism and Fidelity to Law – A Reply to Professor Hart”, Harvard Law Review 71 1958: 630 yang mengkritik Hart karena mengabaikan peran moralitas dalam pembentukan hukum. 5 Teori-teori lain tentang sifat kedaulatan hukum dalam karya-karya Franz Neumann dan Otto Kircheimer juga mengambil masa ini sebagai titik tolaknya. Lihat Franz Neumann, Behemoth: The Structure and Practice of National Socialism Frankfurt am Main: Europäjsche Verlagsanshalt, 1977, 1933-44; Franz Neumann, The Rule of Law: Political Theory and the Legal System in Modern Society Dover: Berg Publishers, 1986; William E. Scheuerman, ed., The Rule of Law under Siege: Selected Essays of Franz L. Neumann and Otto Kirchheimer Berkley: University of California Press, 1996. Untuk suatu eksposisi yang menarik tentang pandangan para pakar tersebut, lihat William E. Scheuermann, Between the Norms and the Exception: The Frankfurt School and the Rule of Law Cambridge: MIT Press, 1994, yang mencoba menerapkan analisis Neumann dan Kirchheimer ke dalam negara kesejahteraan kapitalis abad ke-20. 4 hukum pada masa Nazi. 6 Sebuah isu lain yang terkait adalah apakah sebuah rezim pengganti bisa mengadili seorang kolaborator, dan dengan demikian menyatakan tidak-sahnya hukum yang berlaku pada masa terjadinya tindakan-tindakan yang dipermasalahakan tersebut. Dalam “Problem of the Grudge Informer”, dimunculkan isu hipotetis yang diabstraksikan dari kondisi pasca-perang: Rezim “Baju Ungu” telah dijatuhkan dan digantikan oleh pemerintahan konstitusional demokratik, dan menimbulkan pertanyaan tentang apakah para kolaborator rezim lama harus dihukum. 7 Hart, seorang tokoh positivisme hukum, 8 menyatakan bahwa ketaatan pada kedaulatan hukum berarti mengakui pula bahwa hukum yang semula berlaku pada masa rezim yang lama tetap valid. Hukum tertulis yang lebih awal, bahkan bila tidak bermoral immoral, tetap memiliki kekuatan legal dan harus diikuti oleh peradilan sesudahnya hingga ia diganti. Dalam posisi positivis yang diajukan Hart, klaimnya adalah bahwa prinsip kedaulatan hukum yang berlaku di masa pengambilan keputusan transisional harus terus berlanjut – seperti di masa normal – dengan keberlakuan sepenuhnya hukum tertulis yang ada. Dalam pandangan Fuller, ketaatan pada kedaulatan hukum berarti melepaskan diri dari rezim legal lama Nazi. Dengan demikian, para kolaborator Nazi harus dihukum berdasarkan rezim legal yang baru: Dalam “dilema yang dihadapi Jerman dalam usahanya membangun kembali institusi hukumnya yang berantakan ... Jerman harus mengembalikan penghargaan kepada hukum maupun kepada keadilan ... [K]utub-kutub pandangan yang bertentangan dihadapi dalam usahanya untuk mengembalikan kedua hal tersebut secara bersamaan.” Sementara dikotomi kedaulatan hukum disusun dalam kerangka pemikiran tentang keadilan prosedural melawan substansif, Fuller mencoba menyingkirkan konsepsi-konsepsi yang bertentangan, dengan menawarkan pandangan prosedural tentang keadilan substantif. 9 Menurut badan peradilan Jerman, terdapat dikotomi dalam kedaulatan hukum antara hak legal prosedural dan hak moral. Dalam “kasus-kasus berat”, hak moral harus diutamakan. Dengan demikian, pandangan hukum yang formalis, seperti ketaatan pada hukum putatif yang telah ada hukum positif dapat diabaikan atas nama hak moral. Posisi hukum kodrat yang dipegang dalam peradilan Jerman ini menunjukkan bahwa keadilan transisional mensyaratkan pengabaian hukum putatif yang telah ada. Namun bagi Fuller, itu bukanlah pengabaian hukum, karena “hukum” masa lalu itu tidak dapat dianggap sebagai hukum lagi karena tidak memenuhi berbagai syarat prosedural. 10 Namun perdebatan di atas tidak berfokus pada masalah khusus tentang hukum dalam konteks transisi. Pada masa pasca-perang, timbul dilema tentang kontinuitas hukum dengan masa rezim Nazi: Sejauh mana kedaulatan hukum menuntut adanya kontinuitas hukum? Sebuah perspektif transisional tentang perdebatan pasca-perang ini akan menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan kedaulatan hukum. Perspektif itu adalah bahwa isi kedaulatan hukum dijustifikasikan oleh konsepsi-konsepsi tentang hakikat ketidakadilan pada masa rezim represif yang telah lampau. Sifat ketidakadilan ini menjadi pertimbangan dalam berbagai 6 Lihat “Recent Cases”, Harvard Law Review 64 1951: 1005-06 yang mengutip Jerman, Judgement of July 27, 1949, 5 Suddeutscher Juristen Zeitung 1950: 207 Oberlandesgericht [OLG] [Bamberg]. 7 Lihat secara umum Fuller, Morality of Law, 245. 8 Untuk eksplorasi yang mendalam tentang arti positivisme hukum, lihat Frederick Schauer, “Fuller’s Internal Point of View”, Law and Philosophy 13 1994: 285. 9 Lihat Fuller, “Positivism and Fidelity to Law”, 642-43, 657. 10 Lihat Fuller, Morality of Law, 96-97. 5 alternatif, seperti kontinuitas sepenuhnya dengan rezim legal, diskontinuitas, diskontinuitas selektif, dan sama sekali melepaskan diri dari hukum yang ada. Bagi para positivis, kontinuitas sepenuhnya dengan rezim legal yang lama dijustifikasikan dengan kebutuhan untuk mengembalikan keteraturan prosedural, yang di masa lalu dianggap kurang terlaksana; nilai meta-kedaulatan hukum adalah due process, yang dipahami sebagai keteraturan prosedural dan ketaatan pada hukum yang ada. Klaim hukum kodrat untuk dikontinuitas legal juga dijustifikasikan oleh sifat rezim legal yang lalu, yaitu konsepsi tentang tirani di masa lalu. Menyangkut pandangan hukum kodrat terhadap kedaulatan hukum, pendekatan Fuller tampaknya lebih mendetail, karena ia mencoba menawarkan pemahaman prosedural tentang nilai-nilai keadilan substantif. Dengan imoralitasnya suatu rezim pendahulu, kedaulatan hukum perlu didasarkan pada suatu hal yang melampaui ketaatan pada hukum yang telah ada. 11 Sejauh mana ketaatan pada hukum yang dibuat pada masa rezim lama yang represif konsisten dengan kedaulatan hukum? Sebaliknya, jika keadilan suksesor berarti pengadilan terhadap tindakan-tindakan yang sesuai dengan hukum lama tersebut, sejauh mana diskontinuitas hukum bisa dimandatkan dalam kedaulatan hukum? Konteks transisional menggabungkan pertanyaan-pertanyaan tentang legalitas kedua rezim ini dan kaitannya satu sama lain. Dalam perdebatan pasca-perang, baik posisi hukum kodrat maupun positivis berangkat dari sejumlah asumsi awal tentang sifat rezim legal pendahulu dalam masa yang tidak liberal. 12 Kedua posisi ini mendapatkan justifikasi dari peran hukum dalam rezim lama; namun mereka berbeda pandangan tentang apa yang disebut prinsip legalitas yang transformatif. Argumen positivis berusaha untuk memisahkan pertanyaan legitimasi hukum dalam rezim pendahulu dan rezim kini. Respon terhadap tirani di masa lalu dianggap tidak terletak dalam lingkup hukum, melainkan dalam lingkup politik. Jika terdapat muatan yang diberikan kepada prinsip kedaulatan hukum, itu hanya berarti bahwa ia tidak boleh melayani kepentingan politis. Argumen positivis untuk ketaatan yudisial terhadap hukum yang telah ada ini bergantung pada asumsi-asumsi tertentu tentang sifat legalitas dalam rezim totaliter pendahulu. 13 Justifikasi untuk terus menaati hukum yang telah ada pada masa transisi adalah bahwa dalam pemerintahan terdahulu yang represif, ajudikasi gagal mengukuhkan hukum yang mapan itu. Dalam pandangan kaum positivis, ajudikasi transformatif yang berusaha “melanggar” efek pandangan tentang legalitas yang mendukung pemerintahan otoriter akan memiliki arti ketaatan pada hukum yang telah ada. Posisi hukum kodrat memberikan penekanan pada peran transformatif hukum dalam pergeseran menuju rezim yang lebih liberal. Dalam pandangan ini, hukum putatif di bawah pemerintahan tirani tidak memiliki moralitas, dan dengan demikian tidak merupakan rezim legal yang sah. Hingga titik tertentu, dalam teori legal normatif ini, yang mereduksi masalah hukum dan moralitas, masalah transisional dalam hubungan antara dua rezim legal menjadi lenyap. Demikian pula ajudikasi yang mengikuti hukum putatif juga tak bermoral karena 11 Lihat Fuller, ibid. Untuk pembicaraan tentang perdebatan positivisme-hukum kodrat, lihat Gustav Radbruch, Rechtphilosophie Stuttgart: Koehler, 1956; Gustav Radbruch, “Die Erneurung des Rechts”, Die Wandlung 2 1947: 8. Lihat juga Markus Dirk Dubber, “Judicial Positivism and Hitler’s Injustice”, tinjauan Ingo Muller, “Hitler’s Justice”, Columbia Law Review 93 1993: 1807; Fuller, Morality of Law, 23. 12 Untuk tinjauan yang baik tentang perdebatan sejarah ini, lihat Stanley L. Paulson, “Lon L. Fuller, Gustav Radbruch, and the ‘Positivist’ Thesis”, Law and Philosophy 13 1994: 313. 13 Lihat Hart, “Positivism and the Separation of Law and Morals”, 617-18. 6 mendukung pemerintahan yang tidak liberal. Jadi, kasus para kolaborator tersebut dikatakan sebagai “penyimpangan dalam administrasi keadilan.” 14 Dari perspektif hukum kodrat, peran hukum dalam masa transisi adalah untuk merespon kejahatan yang dilakukan di bawah sistem peradilan yang lama. Karena peran judicial review dalam mempertahankan berlangsungnya penindasan topik ini dibicarakan dalam perdebatan Hart-Fuller, 15 ajudikasi sebagaimana masa-masa biasa tidak akan mencerminkan kedaulatan hukum. Teori hukum transformatif ini mendorong pandangan normatif bahwa peran hukum adalah untuk mengubah arti legalitas yang ada. 16 Dalam perdebatan pasca-perang, timbul pertanyaan tentang konteks politik yang luar biasa setelah berakhirnya masa pemerintahan totaliter. Namun, kesimpulan yang didapatkan cenderung mengabstrakkan konteks dan menggeneralisasikan, seakan-akan menjelaskan atribut yang mutlak ada dan berlaku umum tentang kedaulatan hukum, dan gagal menjelaskan bagaimana masalah tersebut terkait dengan konteks transisional. Menempatkan kembali masalah tersebut bisa memberikan penjelasan terhadap pemahaman kita tentang kedaulatan hukum. Kita akan beranjak dari perdebatan pasca-perang ini ke perubahan politik yang lebih mutakhir yang menggambarkan potensi transformatif hukum. Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan ketegangan antara konsepsi ideal tentang kedaulatan hukum dan kaitannya dengan konteks perubahan politik yang luar biasa. Usaha untuk menjawab dilema tentang bagaimana menaati kedaulatan hukum dalam masa-masa demikian akan mengarah pada konstruksi alternatif yang menengahi konsepsi-konsepsi tentang kedaulatan hukum transisional. Pergeseran Gambaran Legalitas: Transisi Pasca-Komunis Sisi-sisi gelap-tersembunyi dari revolusi pada masa lampau terungkap di ruang-ruang pengadilan, tempat perdebatan tentang isi transformasi politik terus berlangsung. Sejumlah kontroversi tentang peradilan kriminal yang dilakukan oleh suksesor menunjukkan dilema kedaulatan hukum transisional. Dalam buku ini, saya akan berfokus pada dua kasus. Dalam kasus pertama, sebuah hukum Hungaria mengizinkan pengadilan terhadap pelanggaran yang terkait dengan penindasan brutal oleh Soviet terhadap pemberontakan di negara itu pada tahun 1956. 17 Pada kasus lainnya, Jerman-bersatu mengadili para penjaga perbatasan yang menembak warga sipil yang mencoba menyeberangi Tembok Berlin secara ilegal [semasa Jerman masih merupakan dua negara: Jerman Timur dan Jerman Barat]. Kedua kasus tersebut melambangkan kebebasan dan represi. Tahun 1956 dianggap sebagai tahun awal revolusi Hungaria, sementara Tembok Berlin dan keruntuhannya dianggap sebagai simbol utama dominasi dan keruntuhan Soviet. Kasus-kasus tersebut menggambarkan dilema yang terkandung dalam usaha untuk mengadakan perubahan politik yang substansial melalui hukum dan dengan merombak hukum. Meskipun kedua kasus 14 Fuller, Morality of Law, 245. 15 Ibid. 16 Ibid., 648. 17 Lihat Zentenyi-Takacs Law: Law Concerning the Prosecutability of Offenses between December 21, 1944 and May 2, 1990 Hungaria, 1991, diterjemahkan dalam Journal of Constitutional Law of East and Central Europe 1 1994: 131. Lihat juga Stephen Schulhofer et al., “Dilemmas of Justice”, East European Constitutional Law Review 1, No. 2 1992; 17. 7 tersebut tampaknya menggambarkan dua cara yang bertentangan untuk meyelesaikan dilema kedaulatan hukum, mereka juga menunjukkan pemahaman serupa. Setelah terjadi perubahan politik di tahun 1991, parlemen Hungaria mengesahkan hukum yang memungkinkan pengadilan terhadap kejahatan yang dilakukan rezim pendahulunya yang menumpas perlawanan rakyat di tahun 1956. Meskipun peristiwa tersebut sudah lama terjadi, hukum tersebut mencabut statuta pembatasan waktu untuk pengkhianatan dan kejahatan serius lainnya, 18 dan dengan demikian pelanggaran tersebut dapat diadili kembali. Perundang-undangan serupa juga disahkan di negara-negara lainnya di wilayah itu, termasuk Republik Ceko. 19 Masalah statuta pembatasan waktu ini biasanya timbul setelah masa pendudukan yang lama, ketika negara berusaha mengadili kejahatan yang dilakukan pada masa rezim pendahulunya. Jadi, dalam transisi pasca-perang di Eropa Barat, masalah kedaulatan hukum yang timbul dari statuta pembatasan waktu baru timbul pada dekade 1960- an, 20 bukan pada masa tepat setelah perang berakhir. Kontroversi tentang hukum yang mengatasi statuta pembatasan waktu menimbulkan pertanyaan yang lebih luas: sejauh mana rezim baru terikat oleh hukum rezim lama? Pengadilan konstitusional Hungaria menggambarkan dilema tersebut dalam dua kutub: antara kedaulatan hukum yang dipahami sebagai prediktabilitas dipertentangkan dengan kedaulatan hukum yang dipahami sebagai keadilan substantif. Dengan kerangka tersebut, pilihan tampaknya tidak mungkin; namun, pada akhirnya hukum yang mengatasi statuta pembatasan waktu dan rencana pengadilan terhadap kejahatan era 1956 ini dianggap tidak konstitusional. Prinsip kedaulatan hukum memerlukan prospektivitas dalam pembuatan hukum, bahkan bila pelanggaran pidana yang terberat oleh rezim lama harus dibiarkan begitu saja. Opini tersebut diawali dengan pernyataan tentang dilema yang dihadapi pengadilan tersebut: “Pengadilan konstitusional mengalami paradoks ‘revolusi kedaulatan hukum’.” 21 Mengapa dikatakan sebagai paradoks? “Kedaulatan hukum”, menurut pengadilan tersebut, berarti “prediktabilitas dan pandangan ke depan”. 22 Dengan melihat prinsip prediktabilitas dan memandang ke depan tersebut, larangan terhadap hukum pidana untuk menggunakan perundang-undangan retroaktif, terutama ex post facto ... secara langsung berlaku. .... Hanya dengan mengikuti prosedur legal yang formal, suatu hukum dianggap sah.” 23 Pandangan dominan tentang kedaulatan hukum bagi Pengadilan Konstitusional adalah “keamanan”. 24 “Kepastian hukum menuntut ... perlindungan bagi hak-hak yang sebelumnya sudah diberikan”. Hukum yang sedang direncanakan tersebut, yang akan memungkinkan pengadilan bagi bagian dari rezim lama, jelas-jelas ex post dan dengan demikian mengancam hak-hak individual untuk kedamaian. Dalam diskusinya tentang arti keamanan, pengadilan menganalogikan hak untuk mendapatkan kedamaian dengan hak milik pribadi. Meskipun 18 Lihat umumnya Zentenyi-Takacs Law. 19 Lihat Decision of Dec. 21, 1993 Republik Ceko, Pengadilan Konstitutional, 1993 arsip Center for the Study Constitusionalism in Eastern Europe, University of Chicago mengesahkan Act on the Illegality of the Communist Regime and Resistance to It, Act No.1981993 1993. 20 Untuk pembicaraan tentang perdebatan statuta pembatasan waktu di Jerman, lihat Adalbert Rückerl, The Investigation of Nazi Crimes, 1945-1978: A Documentation , terj. Derek Rutter Heidelberg, Karlsruhe: C. F. Muller, 1979, 53-55, 66-67. 21 Judgment of March 5, 1992, Magyar Kozlony, No.231992 Hungaria, Pengadilan Konstitusional, 1992, diterjemahkan dalam Journal of Constitutional Law of East and Central Europe 1 1994: 136. 22 Ibid.,141. 23 Ibid.,141-42. 24 Ibid., 142. 8 perlindungan terhadap hal milik pribadi dapat diatasi oleh kepentingan negara, kepentingan tersebut, menurut pengadilan, seharusnya tidak melanggar hak individual untuk kedamaian. Dengan melindungi nilai “keamanan” dalam kedaulatan hukum dari pelanggaran oleh negara, Pengadilan Konstitusional memberikan pesan penting bahwa hak-hak milik akan dilindungi dalam transisi. Dalam masa-masa biasa, pemikiran tentang kedaulatan hukum sebagai keamanan dalam perlindungan hak-hak individual sering kali dianggap sebagai kunci, syarat minimal keberadaan kedaulatan hukum dalam negara demokrasi liberal. Namun, dalam transisi ekonomi dan legal di Eropa Tengah dan Timur, pemahaman ini merupakan transformasi yang mendasar. Jika sistem hukum totaliter menghapus atau mengabaikan batas antara individu dan negara, garis yang ditarik Pengadilan Konstitusional Hungaria ini memberikan pembatasan baru bagi negara: hak individual untuk mendapatkan keamanan. Tekanan pada perlindungan hak-hak individual ini, yang dikatakan telah dimiliki, dikonstruksikan dalam transisi. Aturan ini memberikan pesan penting bahwa rezim yang baru akan lebih liberal daripada pendahulunya. Bandingkan dengan kasus kedua. Dalam babak kedua kasus suksesornya pada abad ini [yang pertama adalah masalah Nazi, dan yang kedua adalah soal Jerman-bersatu], badan Pengadilan Jerman sekali lagi menghadapi dilema kedaulatan hukum transisional dalam pengadilan penjaga perbatasan Jerman Timur yang diadili karena penembakan di Tembok Berlin sebelum unifikasi. Pertanyaan di pengadilan itu adalah apakah pembelaan yang bergantung pada hukum rezim pendahulu dapat diterima. Pengadilan Berlin menempatkan dilema tersebut dalam kerangka ketegangan antara “hukum formal” dan “keadilan” dan menolak hukum bekas Jerman Timur karena “tidak semua hal benar karena secara formal benar”. Membandingkan hukum masa komunis dengan hukum Nazi, pengadilan menggunakan preseden pasca-perang yang menyatakan bahwa perundang-undangan yang “jahat” tidak memiliki keabsahan sebagai hukum: “terutama masa rezim Nasional Sosialis di Jerman memberikan pelajaran bahwa ... dalam kasus-kasus ekstrem, perlu diberikan kesempatan untuk memberikan penghargaan lebih tinggi pada prinsip keadilan material di atas prinsip kepastian hukum.” Secara prosedural, hak legal berbeda dengan hak moral. Sebagai “kasus ekstrem”, kasus penjaga perbatasan ini dianalogikan dengan para kolaborator di masa perang dan dengan demikian dipandu oleh prinsip adjudikatif yang sama. Pengadilan transisional di Eropa Tengah dan Timur, meskipun menghadapi isu-isu legal yang berbeda, memiliki masalah yang lazim bagi rezim suksesor: Apa implikasi terhadap kedaulatan hukum dengan mengadili tindakan-tindakan yang “legal” di masa rezim yang lampau? Seperti ditunjukkan oleh perdebatan pasca-perang di muka, pertanyaan ini menimbulkan paling tidak dua pertanyaan lain lagi: yang pertama tentang legitimasi hukum di masa rezim pendahulu maupun suksesor; dan, kedua tentang kaitan antara keduanya. Perdebatannya selalu tentang kedaulatan hukum sebagai norma-norma yang mapan dibandingkan dengan kedaulatan hukum yang transformatif. Dalam kasus-kasus mutakhir, seperti dalam perdebatan pasca-perang, timbullah pemahaman transisional yang baru tentang kedaulatan hukum. Kedua keputusan tersebut secara bersama-sama merupakan teka-teki yang menarik. Bagi pengadilan Berlin, nilai kedaulatan hukum yang berlaku adalah apa yang benar secara “moral,” sedangkan bagi pengadilan Hungaria, nilai kedaulatan hukum yang berlaku adalah perlindungan hak-hak “legal” yang telah ada. Dalam satu kasus, kedaulatan hukum mensyaratkan keamanan yang dianggap sebagai prospektivitas, dengan konsekuensi 9 pengampunan dari hukum pidana. Pada kasus yang lainnya, keadilan dipahami sebagai pelaksanaan hukum secara setara. Apakah kedua pendekatan ini dapat dicari titik temunya? Penyelidikan terhadap bahasa yang digunakan dalam kedua kasus suksesor tersebut menunjukkan konsepsi kedaulatan hukum yang khas dalam masa transisi. Retorika yudisial mengkonseptualisasikan masalah dengan memaparkan berbagai nilai kedaulatan hukum yang bertentangan dan tampaknya tidak dapat dipertemukan: Satu nilai dianggap relatif, yang lain dianggap esensial. Badan pengadilan transisional dalam kedua kasus tersebut mengkarakterisasikan dilema yang mereka hadapi dengan mengimbangkan dua sisi kedaulatan hukum: kedaulatan hukum sebagaimana dipahami pada umumnya versus kedaulatan hukum menurut pemahaman transformatif. Nilai mana yang akan dominan dalam kesetimbangan transisional ini akan bergantung pada konteks sejarah dan politik yang unik. Dengan demikian, setelah berakhirnya totalitarianisme di Hungaria, pandangan dominan tentang kedaulatan hukum adalah keamanan positif bagi para individu, yang berada di luar jangkauan kekuasaan negara. Di Jerman-bersatu, kedaulatan hukum transisional didefinisikan oleh jurisprudensi yang berlaku, yang merespon legalitas sejak masa fasisme. Ketika pengadilan Jerman memutuskan bahwa kasus penjaga perbatasan itu dianggap sebagai kasus “ekstrem”, ia menganalogkan pemerintahan komunis dengan Nazi. Dengan cara ini, respon legal terhadap ketidakadilan masa Perang Dunia Kedua terus memandu ajudikasi kontemporer dalam transisi dari masa pemerintah komunis. Seperti di masa pasca-perang, pengadilan Berlin pasca-komunis menggunakan prinsip hukum kodrat yang melampaui hukum lainnya. Setelah pemerintahan Nazi – suatu masa pemerintahan di mana aparat keamanan yang represif bertindak melanggar hukum dan sistem hukum itu sendiri disalahgunakan untuk menganiaya – perasaan dominan terhadap kedaulatan hukum adalah untuk perlindungan yang setara dalam pelaksanaan keadilan. Keduanya adalah pemahaman transformatif. Meskipun tidak sesuai dengan teori idealistik, preseden transisional ini menunjukkan bahwa tidak ada satu nilai tunggal dalam kedaulatan hukum yang mutlak diperlukan dalam pergerakan menuju sistem politik yang lebih liberal. Pemikiran tentang nilai-nilai kedaulatan hukum yang lebih transenden dalam masyarakat transisional di satu pihak sangat bergantung pada konteks politik dan legal yang ada di negara itu, sementara di pihak lainnya, bergantung pada peranan hukum pada masa rezim pendahulu. Terdapat perdebatan sengit antara para pakar tentang pertanyaan ini. Banyak juga dihasilkan karya-karya komparatif mutakhir tentang peran ajudikasi dalam pemerintahan yang represif pada masa Nazi di Jerman, junta militer Amerika Latin dan apartheid di Afrika Selatan. Memang terdapat banyak teori tentang peran potensial berbagai prinsip adjudikatif di bawah pemerintahan tirani, bahkan studi empiris tentang peran badan peradilan dalam masa represif. Namun prinsip-prinsip adjudikatif positivis maupun hukum kodrat tidak berkorelasi dengan penerapan kedaulatan hukum yang lebih baik pada masa-masa tersebut. Dalam berbagai konteks, para pakar mencapai kesimpulan yang beragam. Kesimpulan mereka menunjukkan bahwa variasi strategi interpretif, baik positivis maupun hukum kodrat, tidak dapat dengan sendirinya menjelaskan peran pengadilan di bawah pemerintahan yang represif. Jadi, beberapa pakar mengklaim bahwa prinsip penafsiran bebas yang dipakai para hakim Nazi mengarah pada dukungan bagi pemerintahan yang represif. Sementara beberapa pakar lainnya menekankan jurisprudensi positivis yang dipahami sebagai pemisahan antara hukum 10 dan moralitas. 25 Arti kedaulatan hukum sangat bergantung pada kaitannya dengan arti sosial ketidakadilan di suatu wilayah dan responnya. Perspektif transisional tentang kedaulatan hukum yang ditawarkan dalam buku ini juga mencoba menjelaskan perbedaan yang membingungkan antara pandangan para filsuf Amerika-Anglo Saxon dan Eropa-Kontinental tentang kaitan keberlakuan antara berbagai filsafat hukum dengan represi, atau sebaliknya, dengan pemerintahan liberal. Bahwa positivisme dikaitkan dengan represi atau dengan liberalisme – di dua tempat yang berbeda – menjelaskan sifatnya sebagai respon transisional terhadap penggunaannya oleh para hakim yang “jahat”. Maka, di Amerika Serikat, positivisme sering kali diasosiasikan dengan jurisprudensi yang mendukung rezim tirani, sementara di Jerman, bukanlah positivisme, melainkan interpretasi hukum kodrat yang diasosiasikan dengan sistem peradilan Reich. 26 Di satu pihak pemahaman konvensional tentang konsep tirani adalah ketiadaan kedaulatan hukum, sementara di pihak lain kedaulatan hukum transisional dalam kasus-kasus modern memberikan respon normatif yang khusus terhadap tirani kontemporer. Dari terbentuknya dalam pemahaman kuno yang diistilahkan sebagai “isonomi”, idealisasi kedaulatan hukum timbul sebagai jawaban terhadap tirani. Pada masa kuno, isonomi dibentuk sebagai jawaban terhadap tirani yang dianggap menerapkan hukum yang sewenang-wenang dan memihak. Karena tirani yang telah lewat dikaitkan dengan pembuatan hukum yang memihak dan sewenang-wenang, maka pemahaman kuno tentang kedaulatan hukum menerima baik nilai keamanan maupun keberlakuannya secara umum. Seperti pada masa kuno, ide kontemporer tentang kedaulatan hukum dibentuk dalam konteks pergeseran dari pemerintahan yang represif ke pemerintahan yang lebih liberal. 27 Bila penganiayaan secara sistematis dilakukan atas nama hukum, di mana tirani adalah penganiyaan yang dilakukan secara sistematis, 28 respon legal transisional adalah usaha untuk memperbaiki kesalahan tersebut melalui hukum. Konstruksi Transisional tentang Legalitas 25 Bandingkan Ingo Müller, Hitler’s Justice: The Courts of the Third Reich Cambridge: Harvard University Press, 1991 68, 71-78, dengan Dubber, Judicial Positivism and Hitler’s Injustice, 1819-1820, 1825. Lihat juga Richard Weisberg, Vichy Law and the Holocaust in France New York: New York University Press, 1996. Untuk diskusi yang kaya akan gagasan, lihat Simposium, “Nazis in the Courtroom: Lessons from the Conduct of Lawyers and Judges under the Laws of the Third Reich and Vichy France”, Brooklyn Law Review 61 1995: 1142-45. Untuk diskusi tentang Afrika Selatan, lihat David Dyzenhaus, Hard Cases in Wicked Legal Systems: South African Law in the Perspective of Legal Philosophy New York: Oxford University Press, 1991, dan Stephen Ellman, In a Time of Trouble: Law and Liberty in South Africa’s State of Emergency New York: Oxford University Press, 1992. Untuk pembicaraan tentang strategi interpretif badan pengadilan Amerika Latin, lihat Mark J. Osiel, “Dialogue with Dictators: Judicial Resistance in Argentina and Brazil”, Law and Social Inquiry 29 1995: 481. 26 Untuk perbandingan yang luas tentang pendekatan Amerika dan Inggris, lihat Anthony J. Sebok, “Misunderstanding Positivism”, Michigan Law Review 93 1995: 2055. Untuk analisis jurisprudensi di bawah rezim perbudakan, lihat Robert M. Cover, Justice Accused: Antislavery and the Judicial Process New Haven: Yale University Press, 1975, 26-29, 121-23. Untuk diskusi tentang jurisprudensi Nazi, lihat umumnya Muller, Hitler’s Justice . 27 Untuk tinjauan sejarah, lihat Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty Chicago: Uninersity of Chicago Press, 1960, 162-73. Untuk sejarah intelektual tentang Rechstaat Jerman, lihat Steven B. Smith, Hegel’s Critique of Liberalism Chicago: University of Chicago Press, 1989, 145-48. 28 Untuk diskusi terkait tentang tirani dan hukum, lihat Judith N. Shklar, Legalism: Law, Morals, and Political Trials Cambridge: Harvard University Press, 1964, 126-27. 11 Diskusi di atas mengarah pada pemahaman kedaulatan hukum yang berbeda, dan menjelaskan suatu pemahaman tentang legalitas yang khas dalam masa transisi. Pemahaman tentang kedaulatan hukum tersebut menjembatani jurang antara pemerintahan yang tidak liberal dan liberal. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa nilai dan proses-proses tersebut menengahi transisi. Diskusi ini akan berfokus pada tiga konsep mediasi yang ada, yaitu konstruksi sosial tentang kedaulatan hukum, peran hukum internasional dalam mengatasi pemahaman hukum domestik, dan akhirnya, nilai terdalam kedaulatan hukum yaitu untuk melampaui politik yang mungkin berubah. Peran Konstruksi Sosial Salah satu konsep mediasi dalam kedaulatan hukum transisional adalah konstruksi sosialnya. Yang penting dalam menentukan kedaulatan hukum adalah budaya hukum, bukan pemikiran tentang keadilan yang abstrak dan universal. 29 Pemahaman tentang kedaulatan hukum transisional yang dikonstruksikan secara sosial ini tampak dalam ajudikasi pasca-komunis. Dalam kasus penjaga perbatasan, pemahaman sosial tentang hukum yang berlaku digunakan untuk menolak pembelaan legal mereka. Validitas hukum yang lama bergantung pada praktik sosial pada suatu masa, seperti publikasi dan transparansi norma tersebut. 30 “Juga di wilayah bekas Jerman Timur, keadilan dan kemanusiaan digambarkan dan dinyatakan sebagai ideal. Dengan ini, konsepsi tentang dasar hukum kodrat cukup dapat terpenuhi.” 31 Kebijakan perbatasan, yang cenderung rahasia dan ditutup-tutupi bila warga asing berada di wilayah tersebut, tidak memiliki transparansi yang biasanya dikaitkan dengan hukum. Pengadilan Berlin menemukan bahwa tidak hanya kebijakan perbatasan tersebut sesuai dengan pemahaman sosial yang berlaku umum tentang hukum, namun juga bahwa pemahaman-pemahaman sosial yang berlaku umum tentang hukum di Jerman Timur serupa dengan di Jerman Barat. Para penjaga itu berada di perbatasan geografis sekaligus yuridis. Tampak bahwa peraturan tentang perbatasan ini tidak sah dengan budaya hukum yang ada. Masalah serupa timbul di Pengadilan Konstitusional Hungaria, ketika ia menekankan nilai keamanan dalam kedaulatan hukum sebagai kontinuitas hukum. Dalam konteks transisi gejolak politik, badan peradilan mengkonstruksikan pemahaman kontinuitas legal. Persepsi tentang kedaulatan hukum diciptakan oleh ketaatan pengadilan tersebut pada prosedur. Apa yang menjadikan suatu hukum dianggap positif? Teori yang diterima luas tentang kedaulatan hukum menyatakan bahwa salah satu syarat hukum adalah bahwa ia diketahui masyarakat. 32 Apakah pengetahuan tentang hukum serupa dengan publikasi? Dalam masa transisi, sering kali terdapat celah antara hukum yang tertulis law as written dan hukum yang diterima-pahami law as perceived. Yang menjadikan suatu hukum dianggap positif adalah keberterimaannya dalam masyarakat. Pemahaman ini memperluas, bahkan mendemokratiskan sumber legalitas dengan adanya keterlibatan masyarakat dalam penyusunan budaya hukum. 29 Lihat Henry W. Ehrmann, Comparative Legal Cultures Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1976, 48-50; James L. Gibson dan Gregory A. Caldeira, “The Legal Cultures of Europe”, Law and Society Review 30 196: 55-62. 30 Untuk suatu pernyataan tentang syarat hukum demikian, lihat Fuller, “Positivism and Fidelity to Law”, 638-43. Lihat juga Joseph Raz, The Concept of a Legal System: An Introduction to the Theory of Legal System New York: Oxford University Press, 1970 yang merupakan usaha sistematis untuk menjelaskan syarat-syarat hukum. 31 Judgment of Jan. 20, 1992, Juristenzeitung 13 1992: 691, 695 Jerman Barat, Landgreicht [LG], Berlin. 32 Lihat Raz, Concept of a Legal System, 214. 12 Bahkan, di era media kontemporer dewasa ini, bisa ada berbagai sumber hukum pada suatu waktu, sekaligus beragam bentuk publikasi yang mengatasi hukum tertulis. 33 Pemahaman sosial di lingkup publik adalah aturan pengakuan untuk menilai sistem hukum rezim non- liberal, suatu pemahaman tentang hukum yang independen dari keputusan pemegang kedaulatan, dan dengan demikian, kurang terpengaruh oleh gejolak politik. Dengan dipandu oleh prinsip legalitas transisional ini, legitimasi dari hukum yang dibuat rezim pendahulu akan tergantung pada pemahaman legalitas di tingkat masyarakat luas. Pemahaman bahwa kedaulatan hukum dikonstruksikan secara sosial menawarkan prinsip untuk menilai legalitas pada masa-masa peralihan antara kediktatoran dan demokrasi. Pengakuan tentang adanya celah legitimasi antara hukum tertulis dan hukum yang dipahami secara sosial memberikan cara untuk menjelaskan konstruksi hukum dalam pemerintahan non- liberal. Bahkan, dengan berkurangnya kepercayaan publik dalam suatu sistem politik, bisa diharapkan bahwa celah ini akan melebar dan mendorong transisi. Peran Hukum Internasional Suatu konsep mediasi lain dari kedaulatan hukum transisional adalah hukum internasional. Hukum internasional memposisikan institusi dan proses yang mengatasi hukum dan politik domestik. Pada masa gejolak politik, hukum internasional menawarkan konstruksi hukum alternatif yang bersifat kontinu dan tahan lama, meskipun mengalami perubahan politik yang substansial. Pengadilan lokal menaati pemahaman internasional ini. Potensi pemahaman terhadap hukum internasional ini menjadi kuat pada masa pasca-perang. Di Amerika Serikat, terdapat perdebatan jurisprudensial tentang apakah Pengadilan Nuremberg dan Tokyo sesuai dengan kedaulatan hukum. Hukum internasional berfungsi sebagai konsep mediasi untuk menekan dilema kedaulatan hukum yang ditimbulkan keadilan suksesor pada masa transisi dan untuk menjustifikasi legalitas Pengadilan Nuremberg dari kecemasan tentang retroaktivitas. 34 Pada masa kontemporer, hukum internasional sering kali digunakan sebagai cara untuk menjembatani pergeseran pemahaman legalitas. Pada kasus-kasus pasca-komunis di muka, kontroversi tentang usaha untuk menghidupkan kembali pengadilan politik masa lalu pada akhirnya diselesaikan dengan merujuk pada konsep-konsep dalam hukum internasional. Sebagai contoh, dalam tinjauannya tentang hukum yang mengusulkan untuk membuka 33 Lihat umumnya Bonaventura De Soisa Santos, Toward a New Common Sense: Law, Science, and Politics in the Paradigmatic Transition New York: Routledge, 1995 yang memaparkan teori hukum dengan merujuk pada kaitan hukum dan masyarakat yang dinamis. 34 Lihat Hans Kelsen, “The Rule against Ex Post Facto Laws and the Prosecution of the Axis War Criminals”, Judge Advocate Journal Musim Gugur-Dingin 1945: 8-12, 46 yang membicarakan sifat jurisdiksi dalam Tribunal Nuremberg dan pengadilan pasca-perang lainnya; Bernard D. Meltzer, “A Note on Some Aspects of the Nuremberg Debate”, University of Chicago Law Review 14 1947: 455-57. “Penerapan secara kaku dan otomatis aturan melawan retroaktivitas pada sistem hukum yang belum berkembang [seperti hukum internasional] akan, tentu saja, memperlebar jurang atara perasaan moral yang berkembang di masyarakat dan institusi legalnya yang terbelakang”. Lihat umumnya Stanley L. Paulsen, “Classical Legal Positivism at Nuremberg”, Philosophy and Public Affairs 4 1975: 132 yang menyatakan bahwa penolakan pembelaan Nazi oleh Tribunal Nuremberg dijustifikasikan oleh penolakannya terhadap positivisme legal klasik; Quincy Wright, “Legal Positivism and the Nuremberg Judgment”, American Journal of International Law 42 1948: 405 menyatakan bahwa kritikan terhadap peradilan Nuremberg yang dianggap menerapkan hukum ex post facto berakar pada teori hukum internasional positivis yang dipegang para pengkritik tersebut. 13 kembali kasus politik yang terkait dengan pemberontakan 1956, Pengadilan Konstitusional Hungaria memutuskan bahwa pembukaan kembali kasus tersebut merupakan diskontinuitas dengan hukum yang ada. Diskontinuitas demikian, menurut Pengadilan Konstitusional, mengancam pemahaman tentang legalitas di masa suksesor; tidak boleh ada prinsip untuk meninggalkan hukum-hukum tertentu saja secara selektif. “Legitimasi berbagai sistem politik yang berbeda selama setengah abad terakhir tidaklah relevan ...; dari sudut pandang konstitusionalitas hukum, ia bukanlah kategori yang signifikan.” 35 Dalam tinjauan yudisial berikutnya, pengadilan mengesahkan statuta baru yang memungkinkan pengadilan terhadap kasus 1956 yang berkaitan dengan “kejahatan perang” dan “kejahatan terhadap kemanusiaan” menurut hukum internasional. 36 Kedaulatan hukum memerlukan adanya kontinuitas. Kontinuitas demikian dianggap ada dalam norma hukum internasional, seperti Konvensi Jenewa yang Berkaitan dengan Perlindungan Warga Sipil pada Masa Perang, 37 yang norma-normanya mengatasi hukum domestik. Keputusan serupa diambil di Polandia, yang membatalkan perpanjangan statuta pembatasan waktu, kecuali terhadap pelanggaran yang dianggap melanggar hak asasi manusia internasional. 38 Anggapan bahwa hukum internasional diutamakan di atas hukum domestik tidaklah jelas, karena Konstitusi Hungaria tidak menyatakan dengan jelas tentang prioritas hukum internasional dibandingkan dengan hukum domestik. Namun Pengadilan Konstitusional menunjukkan bahwa ia akan menafsirkan konstitusi dipandu oleh norma-norma internasional, menyatakan bahwa “aturan-kedaulatan hukum internasional yang diakui bersama akan diutamakan”. Beberapa konstitusi secara eksplisit menyatakan adanya prioritas tersebut. 39 Di berbagai negara di wilayah itu, hukum internasional menjadi dasar untuk interpretasi yudisial terhadap kebijakan penghukuman, karena norma-norma tersebut dianggap lebih utama dari hukum-hukum rezim lama yang telah terpolitisasi. Dalam kasus penjaga perbatasan Jerman, keputusannya secara eksplisit didasarkan pada hukum internasional. 40 35 Judgment of March 5, 1992 dikutip di catatan kaki 21 di muka 36 Lihat Act on Procedures Concerning Certain Crimes Committed during the 1956 Revolution Hungaria, 1993 arsip Center for the Study of Constitusionalism in Eastern Europe, University of Chicago. 37 Lihat “Geneva Convention Relative on the Protection of Civilian Persons in Time of War”, 12 Agustus 1949, Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United Nations 75, No. 973 1950; 287; “Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes Against Humanity”, 11 November 1970, Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United Nations 754, No. 10823 1970: 73. 38 Di Polandia, masalah statuta pembatasan waktu baru terselesaikan dengan konsensus konstitusional. Lihat Konstitusi Republik Polandia, Pasal 43 yang disahkan Dewan Nasional, 2 April 1997, yang menyatakan bahwa sejauh suatu pelanggaran merupakan kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan, mereka tidak diikat oleh pembatasan waktu. 39 Resolution of the Hungarian Constitutional Court of Oct. 12, 1993 on the Justice Law Kasus 531993 arsip Center for the Study of Constitutionalism in Eastern Europe, semula di University of Chicago. Lihat Konstitusi Hungaria, Pasal 7 ayat 1 “Sistem hukum Republik Hungaria ... menyesuaikan hukum nasional dan statuta negara dengan kewajiban yang diberikan oleh hukum internasional”. Bandingkan dengan Konstitusi Yunani, Pasal 28 ayat 1 yang menyatakan bahwa kedaulatan hukum internasional diutamakan terhadap hukum domestik yang berlawanan. 40 Lihat Border Guards Prosecution Cases Jerman Barat, Bundesgerichtshof [BGH], diterjemahkan dalam International Law Reports 100 1995: 380-82 yang mempertimbangkan International Covenant on Civil and Political Rights, 19 Desember 1966, Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United Nations 999, No. 14688 1976: 171 yang menyatakan bahwa ketertiban domestik 14 Pada masa gejolak politik, hukum internasional berperan sebagai konsep mediasi yang berguna. Penempatan dilema kedaulatan hukum dapat dengan mudah digeser dari pertentangan antara positivisme dengan hukum kodrat. Dengan berdasar pada hukum positif, namun juga menerapkan nilai-nilai keadilan yang dikaitkan dengan hukum kodrat, hukum internasional dapat memediasi dilema kedaulatan hukum. Norma-norma hukum internasional positif ditentukan melalui konvensi, traktat dan kebiasaan. 41 Terlebih lagi, dengan mencakup kejahatan yang paling mengerikan ke dalam lingkupnya, hukum internasional menawarkan suatu sumber transendensi normatif. Sebagai gambaran adalah konsep kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dibicarakan lebih lanjut pada bab tentang peradilan kriminal, yang menunjukkan dua nilai yang bertentangan dan sekaligus berkaitan, dalam respon normatif universal terhadap penganiayaan dalam berbagai konteks kebudayaan. 42 Sementara hukum internasional mempertahankan pemahaman umum tentang kedaulatan hukum sebagai kemapanan, ia juga memungkinkan transformasi. Dengan demikian, ia memediasi transisi. Prinsip-prinsip hukum internasional berfungsi untuk mendamaikan dilema batasan minimal hukum pada masa transformasi politik. Kedaulatan Hukum sebagai Pembatasan terhadap Politik Ciri utama kedaulatan hukum dalam masa perubahan politik adalah bahwa ia mempertahankan adanya kontinuitas dalam format legal, sementara pada saat yang sama memungkinkan perubahan normatif. Sifat hukum dan ajudikasi yang terpolitisasi pada masa sebelumnya menjustifikasi adanya sedikit diskontinuitas dalam transisi. Pemahaman tentang kedaulatan hukum yang anti-politik ini adalah tema umum dalam kontroversi transisional kontemporer yang dibicarakan di muka. Pengadilan para penjaga perbatasan dikatakan sebagai “kasus ekstrem”, yang menjustifikasi diabaikannya pertimbangan kedaulatan hukum yang biasa. 43 Pengadilan Jerman mengangkat apa yang benar secara moral di atas kebenaran secara politis. Kasus-kasus lain di wilayah tersebut menunjukkan interpretasi yudisial terhadap kedaulatan hukum secara serupa. Invalidasi Hungaria terhadap hukum pengadilan 1956 membatasi kebijakan anti-komunis yang terpolitisasi. melanggar hak asasi manusia yang dilindungi oleh traktat internasional. Lihat umumnya Stephan Hobe dan Christian Tietje, “Government Criminality: The Judgement of the German Federal Constitutional Court of 24 October 1996”, German Yearbook of Internatioanal Law 39 1996: 523. Lihat juga Krisztina Morvai, “Retroactive Justice Based on International Law: A Recent Decision by the Hungarian Constitutional Court”, East European Constitutional Review musim gugur 1993musim dingin 1994: 33; “Law on Genocide and Crimes against Humanity Committed in Albania during Communist Rule for Political, Ideological and Religious Motives”, diterjemahkan dalam Human Rights Watch, Human Rights in Post-Communist Albania New York: Human Rights Watch, 1996, lampiran A menjadi dasar untuk mengadili bekas Komunis. 41 Lihat Statute of the International Court of Justice, U. S. Statutes at Large 59 1945: 1031, Pasal 38 1. Untuk pembahasan tentang pemahaman positivis, lihat Oscar Schachter, International Law in Theory and Practice Dordrecht, Belanda; dan Boston: M. Nijhoff, 1991; didistribusikan di Amerika Serikat dan Kanada oleh Kluwer Academic Publishers, 35-36. Peran kebiasaan dalam pembentukan hukum internasional dijelaskan dalam Michael Akehurst, “Custom as a Source of International Law”, British Yearbook International 47 1974-1975: 1. Untuk diskusi terkait tentang elemen-elemen hukum positif dan hukum kodrat dalam hukum internasional, lihat Shklar, Legalism: Law, Morals, and Political Trials, 126-28. 42 Lihat J. M. Balkin, “Nested Opposition”, Yale Law Journal 99 1990: 1669 tinjauan buku. 43 Lihat Judgment of Jan. 20, 1992 dikutip di catatan kaki 31 di atas, 693. 15 Untuk mengesahkan hukum yang akan memperpanjang waktu untuk menuntut kejahatan yang dilakukan pada masa pemerintahan sebelumnya, Pengadilan Konstitusional Ceko menyatakan bahwa hukum tersebut akan membongkar kebijakan penghukuman dan penerapan keadilan masa lalu yang terpolitisasi. Hukum tersebut akan menangguhkan pembatasan waktu selama empat puluh satu tahun jangka waktu antara 25 Februari 1948 dan 29 Desember 1989 untuk tindakan-tindakan yang semula tidak diadili atau dihukum karena “alasan politis”. 44 Jika di bawah rezim represif pelaksanaan keadilan dilakukan semata-mata atas kepentingan politis, 45 pandangan ini paling jelas dilawan dengan penerimaan suatu nilai kedaulatan hukum yang jelas mencerminkan pandangan normatif yang terlepas dari kondisi politik peralihan. Konstruksi kedaulatan hukum transisional yang terbebas dari politik memiliki sejumlah kedekatan dengan pemahaman kedaulatan hukum yang berlaku pada saat-saat normal. Namun, konteroversi tentang keadilan transisional dalam konteks yang amat terpolitisasi merupakan kasus yang berat untuk tetap taat terhadap kedaulatan hukum. Meskipun terdapat perubahan politik yang radikal, tujuannya adalah kedaulatan hukum yang tidak dimotivasi oleh politik. Jurisprudensi transisional memberikan harapan untuk mencapai kedaulatan hukum yang anti-politik. Badan Pengadilan Transisional Pada masa transformasi politik, masalah legalitas terpisah dari masalah teori hukum sebagaimana berlaku di negara-negara demokratis di masa biasa. Terdapat pertanyaan- pertanyaan teknis di luar inti tentang legitimasi rezim yang baru, termasuk sifat dan peran badan pengadilan transisional. Pilihan prinsip ajudikasi akan menimbulkan pertanyaan terkait tentang di mana, sebagai masalah institusional, letaknya kerja-kerja transformatif: pada badan pengadilan atau legislatif? Inilah pertanyaan yang akan dicoba untuk dijawab. Dilema keadilan transisional timbul pada masa perubahan politik substansial. Jika sistem hukum berada dalam perubahan, tantangan terhadap perubahan umum tentang kedaulatan hukum tentu saja amat berat. Tantangan pada masa transisi pasca-perang tidaklah seberat tantangan pada masa transisi dari pemerintahan komunis di masa kini, yang merupakan masa transformasi ekonomi, politik dan sekaligus hukum. Pada masa ini, pengadilan konstitusional yang baru dibentuk harus menanggung beban institusional untuk menciptakan pemahaman baru terhadap kedaulatan hukum. Beban transformasi untuk menjadi sistem yang taat kedaulatan hukum ini hingga titik tertentu diberikan kepada badan pengadilan, terutama badan pengadilan konstitusional yang baru itu. Respon transformatif serupa bisa dilihat pada transisi mutakhir yang lain, seperti di Afrika Selatan. Konstitusi transisional Afrika Selatan membentuk Pengadilan Konstitusionalnya yang baru. 46 44 Lihat Decision of Dec. 21, 1993 dikutip di catatan kaki 19 di atas. 45 Untuk tinjauan tentang sifat pengambilan keputusan demikian dalam sistem politik non-liberal, lihat diskusi tentang decisionism dalam Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty, terjemahan George Schwab Chicago: University of Chicago Press, 1985, 53-66. 46 Untuk penjelasan tentang awal perkembangan ini, lihat Herman Schwartz, “The New East European Constitutional Courts”, Michigan Journal of International Law 13 1992: 741. Lihat Ruti Teitel, “Post Communist Constitutionalism: A Transitional Perspective”, Columbia Human Rights Law Review 26 1994: 167. Untuk kumpulan esai tentang pengadilan konstitusional Eropa Timur, lihat Irena Grudzinska-Gross, ed., Constitutionalism in East Central Europe Bratislava: Czecho-Slovak Committee of the European Cultural 16 Mungkin akan timbul pertanyaan apakah kontinuitas dengan rezim pendahulu adalah suatu pertanyaan bagi para hakim masa transisi atau suatu pertanyaan politis yang perlu diperdebatkan secara lebih luas. Ketika pertanyaan ini muncul pada transisi kontemporer pasca-komunis, badan pengadilan mengambil tanggung jawab untuk mengambil keputusan. Isu ini menjadi pertanyaan politik di Jerman-bersatu. Namun, dalam pertimbangannya tentang sah tidaknya hukum Republik Demokratik Jerman GDR untuk kasus penjaga perbatasan, Pengadilan Berlin mengabaikan kesepakatan politik antara kedua negara Jerman tersebut Jerman sebelum bersatu. Traktat Unifikasi mempertimbangkan kontinuitas hukum pidana Jerman Timur, dengan syarat bahwa ia diterapkan bagi tindakan pidana yang dilakukan pada masa sebelum reunifikasi. Namun, pengadilan menolak pembelaan para penjaga perbatasan yang berdasarkan pada hukum Jerman Timur. 47 Dengan demikian, pengadilan menunjukkan independensinya dari legislatif dan agenda politiknya. Namun, respon transformatif terhadap masalah politis tidak terlalu diperlukan di Jerman-bersatu, dibandingkan dengan negara-negara lain di Eropa, karena konteks transisinya. Demikian pula, ketika Pengadilan Konstitusional Hungaria menolak hukum pengadilan 1956, ia memberikan pesan yang jelas tentang independensinya dari elemen-elemen politik negara itu. 48 Keputusan-keputusan ini mencerminkan pemahaman mendalam tentang kedaulatan hukum yang dibentuk oleh badan pengadilan transisional yang berusaha mencapai independensi dari politik. Para teoretisi politik sering kali membedakan rezim liberal dengan non-liberal atas dasar konstitusi mereka; peran konstitusionalisme transisional dibicarakan lebih mendalam pada bab 6. Namun, penelitian yang dilakukan di sini menunjukkan bahwa apa yang menunjukkan sifat liberal dari suatu rezim politik bukanlah spesifiknya suatu tatanan institusional tertentu, namun lebih pada sejauh mana terdapat pelaksanaan dan pemahaman terhadap kedaulatan hukum. Meskipun konstitusi era komunis menggambarkan hak-hak, umumnya hak-hak tersebut hanya ada di atas kertas dan jarang dilaksanakan. Jadi, setelah komunisme, pengesahan piagam baru tentang hak asasi tidak akan memberikan transformasi yang signifikan bagi kedaulatan hukum. Sebagai respon terhadap ketidakadilan ini, ada sejumlah pengadilan konstitusional untuk melaksanakan konstitusi yang baru. 49 Peran ini bagi badan pengadilan adalah respon legal “kritis” yang secara jelas menandakan transformasi terhadap sistem konstitusional demokrasi liberal. Pengadilan konstitusional membantu transformasi menuju sistem kedaulatan hukum dengan beberapa cara. Pertama, pengadilan timbul dari sistem kekuasaan negara yang tersentralisasi; sebagai forum baru yang dibentuk secara khusus pada masa perubahan dan transformasi politik, pembentuknya dengan sendirinya menandakan berakhirnya tatanan politik masa lalu. Kedua, akses terhadap pengadilan konstitusional melalui litigasi memberikan kemungkinan partisipasi dalam sistem demokrasi yang baru mulai berkembang. Sejalan dengan waktu, akses ke pengadilan akan memungkinkan masukan dari masyarakat ke dalam interpretasi konstitusional, memungkinkan pemahaman di tingkat masyarakat terhadap pembatasan pemerintah dan perlindungan terhadap hak individual. Akses masyarakat ke pengadilan untuk pelaksanaan hak-hak individual merupakan simbol potensial keterbukaan Foundation, 1994. Lihat juga Konstitusi Afrika Selatan, Bab VII dibicarakan pada bab tentang keadilan konstitusional dalam buku ini. 47 Lihat Judgment of Jan. 20, 1992 dikutip di catatan kaki 31 di atas. 48 Lihat Judgment of March 5, 1992 dikutip di catatan kaki 21 di muka. 49 Lihat Teitel, “Post-Communist Constitutionalism”, 169-76. 17 pemerintahan yang baru. 50 Ketiga, karena pengadilan konstitusional memiliki mandat eksplisit untuk melakukan tinjauan yudisial, mereka adalah pengawal tatanan konstitusional yang baru. Di banyak negara di Eropa, aturan jurisdiksional yang luas memungkinkan tinjauan yudisial yang abstrak dan akses untuk tinjauan oleh para aktor politik, seperti presiden, atau oleh faksi minoritas melalui badan legislatif. 51 Pengadilan di wilayah tersebut aktif dalam menginterpretasikan norma-norma konstitusional baru di bawah konstitusi yang ada, di bawah mandat umum untuk menjunjung kedaulatan hukum. Sebagai contoh adalah tinjauan Pengadilan Konstitusional Hungaria terhadap hukum tentang kebijakan pengadilan yang dijelaskan di muka. 52 Pengadilan konstitusional memiliki potensi untuk membatasi kekuasaan negara dan mendefinisikan ulang hak-hak individual, sehingga menciptakan budaya hak. Melalui ajudikasi transformatif, badan pengadilan transisional menerapkan prinsip tinjauan yudisial yang aktif terhadap perubahan normatif dan sistem kedaulatan hukum yang lebih liberal. Praktik adjudikatoris transformatif memunculkan pertanyaan penting: dengan anggapan bahwa badan pengadilan transisional menanggung beban transformasi kedaulatan hukum, hingga sejauh mana praktik tersebut bersesuaian dengan peran badan pengadilan di negara-negara yang demokrasinya sudah mapan? Di negara-negara demokrasi pada masa biasa, pengambilan keputusan kehakiman yang aktif activist judicial biasanya dianggap tidak sah, karena dua alasan. Pertama, retroaktivitas dalam pengambilan keputusan kehakiman bertentangan dengan kedaulatan hukum sebagai kemapanan hukum. 53 Kedua, pengambilan keputusan kehakiman dianggap mengintervensi demokrasi; tidak seperti pengambilan keputusan di badan legislatif, pengambilan keputusan kehakiman tidak memiliki legitimasi yang didapatkannya dari proses yang demokratis. 54 Pertanyaannya adalah apakah penolakan yang berdasar pada kondisi normal tersebut bisa pula diterapkan pada ajudikasi masa transisi. Pandangan kita tentang tempat yang tepat untuk melakukan penyusunan hukum bergantung pada asumsi implisit tentang demokrasi dan pertanggungjawaban demokratik yang tidak bisa begitu saja diterapkan terhadap rezim non-liberal atau rezim yang sedang bergeser dari pemerintahan demikian. Di negara-negara demokrasi mapan pada masa biasa, pandangan kita adalah bahwa penyusunan hukum transformatif harus dilakukan oleh badan legislasi, dan bukan oleh ajudikasi. Badan pengadilan tidak membuat hukum, karena pembuatan hukum dengan cara tersebut dianggap tidak sesuai dengan demokrasi, yaitu pembuatan hukum oleh badan perwakilan dengan persetujuan mayoritas. 55 50 Lihat Ethan Klingsberg, “Judicial Review and Hungary’s Transition from Communism to Democracy: The Constitutional Court, the Continuity of Law, and the Redefinition of Property Rights”, Brigham Young University Law Review 1992 1992: 62 membicarakan akses yang sangat terbuka yang ditimbulkan oleh aturan Hungaria yang sangat permisif. Negara tersebut bukanlah satu-satunya di wilayah tersebut yang memperimbangkan partisipasi para aktor politik dalam litigasi konstitusional. 51 Lihat Teitel, “Post-Communist Constitutionalism,” 186-87. 52 Lihat Judgment of March 5, 1992 dikutip di catatan kaki 21 di muka. 53 Lihat R. M. Dworkin, Taking Rights Seriously Cambridge: Harvard University Press, 1977, 84. 54 Ibid., 84, 138. 55 Menyangkut paradigma tradisional tentang badan pengadilan, lihat umumnya Martin Shapiro, Courts: A Comparative and Political Analysis Chicago: University of Chicago Press, 1981. Lihat juga Mauro Cappelletti, The Judicial Process in Comparative Perspective New York: Clarendon Press, 1989, 31-34 mengamati bahwa para hakim harus “membuat hukum” dengan menafsirkannya namun membedakan tugas ini dari tugas para legislator, yang bertindak dengan prosedur yang berbeda. Untuk pernyataan klasik tentang peran badan pengadilan dalam demokrasi, lihat umumnya Alexander M. Bickel, The Least Dangerous Branch New Haven: 18 Pada masa transisi, masalah legalitas jauh lebih signifikan. Masa-masa transformasi politik sering kali disertai dengan perubahan legal radikal. Gelombang perubahan politik yang paling mutakhir, yang berkorelasi dengan transformasi ekonomi pada perubahan pasca- komunis menuntut adanya reformasi hukum secara besar-besaran. Masalah konvensional tentang ketiadaan pertanggungjawaban demokratik yang ditimbulkan oleh pembuatan hukum oleh badan yudisial menjadi tidak terlalu penting dalam masa gejolak politik. Pada masa demikian, badan legislatif transisional sering kali tidak dipilih melalui pemilihan yang bebas, dan juga tidak memiliki pengalaman dan legitimasi sebagaimana dimiliki badan serupa di masa-masa normal. 56 Satu alasan lain mengapa badan pengadilan tidak dianggap sebagai badan pembuat hukum adalah ketiadaan kompetensi dan kapasitas institusionalnya. Masalah ini timbul, misalnya, dalam perdebatan pasca-perang tentang pembentukan kedaulatan hukum. Menurut pandangan positivis, beban transformasi hukum dianggap sepantasnya ditanggung oleh badan legislatif, sementara pandangan hukum kodrat memberikan beban tersebut kepada ajudikasi. Namun, perdebatan pasca-perang ini tidak cukup memasukkan konteks transisional di dalamnya. Karena masa-masa perubahan politik biasanya disertai dengan gejolak hukum, kontroversi dalam masa-masa tersebut sering kali dicirikan dengan ketiadaan hukum yang relevan. 57 Terlebih lagi kontroversi pada masa-masa tidak biasa tersebut sering kali perlu diselesaikan dengan waktu sesingkat-singkatnya. Sementara dalam masa biasa, pembuatan hukum dengan mempertimbangkan kasus demi kasus tampaknya terlalu lambat dan terlalu fleksibel, pada masa transisi, pengambilan keputusan hukum oleh badan pengadilan sering kali bisa lebih cepat daripada oleh badan legislatif, yang biasa diperlambat oleh kurangnya pengalaman dan karena terlalu kompromistis. Terlebih lagi, dalam konteks gejolak politik, badan pengadilan sering kali lebih kompeten dalam membahas penyelesaian kontekstual, kasus demi kasus, terhadap kontroversi- kontroversi transisional. 58 Memang, pengambilan keputusan yudisial memungkinkan perubahan substansial dan menjadi ciri ambivalensi hukum pada masa-masa demikian. Pertanyaan tentang institusi mana yang paling kompeten dan sah bersifat kontekstual dan tergantung pada sejarah ketidakadilan di negara yang bersangkutan. Terakhir, ajudikasi transformatif dapat memperbaiki badan pengadilan itu sendiri. Dengan mengubah prinsip dan praktik ajudikatif, institusi yang pada masa sebelumnya tunduk compromised secara politis atau ideologis dapat memperbaiki dirinya. Dalam kasus-kasus high profile , sebuah badan pengadilan yang semula tunduk itu dapat mengubah dirinya dengan mengubah prinsip ajudikasi yang ia gunakan. Mekanisme institusional perbaikan diri ini terutama penting bila badan pengadilan semula mendukung pemerintahan yang represif. 59 Yale University Press, 1986; Jesse H. Choper, Judicial Review and the National Political Process Chicago: University of Chicago Press, 1980; dan John Hart Ely, Democracy and Distrust: A Theory of Judicial Review Cambridge: Harvard University Press, 1980. 56 Pada awal pergeseran politik, parlemen transisional biasanya merupakan peninggalan dari masa represif sebelumnya. Lihat Andrew Arato, “Dilemmas Arising from the Power to Create Constitutions in Eastern Europe”, Cardozo Law Review 14 1993: 674-75. 57 Untuk pembicaraan ilustratif tentang transisi Rusia menuju berkurangnya kekuasaan Negara, lihat Stephen Holmes, “Can Weak-State Liberalism Survive?” makalah dipresentasikan di Colloquium tentang Teori Konstitusional di New York University School of Law, musim semi 1997, arsip penulis. 58 Lihat Teitel, “Post-Communist Constitutionalism”, 182-85. 59 Lihat misalnya Müller, Hitler’s Justice, 201 membicarakan badan pengadilan yang terkompromi di Jerman pasca-perang. 19 Namun, bahkan bila badan pengadilan bukanlah institusi yang kompromistis, masih ada implikasi berguna lain dari ajudikasi transformatif. Teori ajudikasi yang dikaitkan dengan pemahaman tentang kedaulatan hukum pada masa biasa tidak dapat diterapkan pada masa transisi. Pandangan umum kita tentang sifat dan peran ajudikasi berkait dengan asumsi awal tentang kompetensi dan kapasitas badan legislatif dan pengadilan di masa biasa, yang tidak bisa diterapkan untuk masa-masa yang tidak stabil. Kasus-kasus yang dibicarakan di muka menunjukkan peran luar biasa bagi pengadilan dengan menjalankan prinsip ajudikasi transformatif. Pada masa perubahan politik, perhatian pada demokrasi dan legitimasi, yang dalam kondisi normal akan membatasi ajudikasi yang aktif activist adjudication, malah akan mendukung ajudikasi seperti itu sebagai alternatif terhadap politisasi yang lebih besar terhadap hukum. Praktik Ajudikatif Transformatif: Beberapa Kesimpulan Bab ini diawali dengan memaparkan bahwa terdapat dilema khusus tentang ketaatan terhadap kedaulatan hukum pada masa-masa perubahan politik. Pemahaman umum tentang kedaulatan hukum sebagai ketaatan terhadap hukum yang telah mapan mengalami ketegangan dengan pemahaman transformatif terhadap kedaulatan hukum. Saya akan membahas prinsip normatif manakah dari kedaulatan hukum yang dikaitkan dengan ajudikasi pada masa perubahan politik. Pada masa tidak biasa ini, seperti dibicarakan di muka, norma-norma kedaulatan hukum tidaklah universal. Ketegangan yang timbul dari masalah ketaatan terhadap kedaulatan hukum pada masa itu diselesaikan dengan sejumlah konsep mediasi. Legalitas pada masa tersebut dikonstruksikan secara sosial; sebagiannya, dibuat oleh hakim. Eksplorasi terhadap preseden-preseden pada masa itu menunjukkan bahwa pemahaman terhadap kedaulatan hukum dikonstruksikan di dalam konteks transisional. Dengan mencegah politisasi hukum, prinsip kedaulatan hukum ini memandu pengambilan keputusan hukum interim sementara di jalan menuju demokrasi. Pengakuan terhadap prinsip ajudikasi transformatif dalam masa transisi politik memiliki implikasi yang signifikan terhadap teori hukum yang lazim tentang kedaulatan hukum. Pertama, pengakuan terhadap prinsip tersebut dapat memberikan jawaban yang memuaskan, ketika teori hukum yang lazim gagal memperhatikan signifikansi berbagai pemahaman normatif tentang kedaulatan hukum dalam masa transisi. Selain itu, kedaulatan hukum transisional merupakan kritik implisit terhadap teori-teori dominan tentang sifat dan peran hukum. Dalam teori politik liberal, suatu pedoman tentang kedaulatan hukum adalah bahwa pembuatan hukum melalui ajudikasi dianggap sebagai hal yang netral dan otonom dari politik. 60 Pemahaman liberal ini ditantang karena dengan memperhatikan kondisi di mana hukum transformatif berperan, yang mendefinisikan kedaulatan hukum berdasarkan kaitan konstruktifnya dengan politik di masa lalu. Prinsip ajudikasi transformatif mungkin memberikan tantangan lebih serius bagi teori hukum kritis. Teori hukum kritis sering kali dikritik karena terlalu jauh mereduksi kaitan hukum dan politik. Dengan demikian, pendekatan teoretik ini sering kali tidak mampu 60 Lihat misalnya Ronald M. Dworkin, Law’s Empire Cambridge: Harvard University Press, Belknap Press, 1986; Bruce R. Douglass, Gerald M. Mara dan Henry S. Richardson, ed., Liberalism and the Good New York: Routledge, 1990. 20 menjelaskan mengapa, atau dalam kondisi mana, hukum memiliki klaim terhadap masyarakat. Meskipun teori hukum kritis mengklaim bahwa terdapat penurunan penurunan kedaulatan hukum secara umum, 61 pembicaraan di muka menunjukkan bahwa hal ini paling mungkin terjadi dalam konteks politik transisi. Kedaulatan hukum transisional menegaskan peran bagi ajudikasi yang sangat terpolitisasi. Dari perspektif teori hukum kritis, tantangan yang diberikan oleh praktik ajudikatoris transformatif yang dibicarakan di sini adalah tantangan yang diberikan oleh pembatasan aksi politik yang dilakukan oleh hukum. 62 Jurisprudensi pada masa tersebut membentuk transisi. Pemahaman normatif tentang hukum bervariasi secara luas dengan konteks politik transisi. Dalam negara-negara demokrasi transisional, terdapat tempat dan peran untuk keputusan hukum yang dipolitisasi secara terbatas. Proses legal memungkinkan perubahan rasional dan terukur. Di luar ajudikasi, perubahan normatif yang membangun legalitas baru dicapai dengan bentuk-bentuk hukum lainnya. Jadi, peran sanksi pidana yang biasanya terbatas untuk menghukum kesalahan individual lebih besar dalam masa transisi, seperti juga respon legal terhadap kejahatan negara dan dengan demikian menyerang akar tidak legitimnya pemerintahan pendahulu. Respon legal demikian berfungsi untuk mengutuk dan menunjukkan penyalahgunaan kekuasaan oleh negara. Pada bab berikut ini, saya akan beralih ke penggunaan peradilan pidana dalam masa transformatif. 61 Lihat Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition New York: Harper and Row, 1978, 4-5; Richard L. Abel, ed., The Politics of Informal Justice New York: Acdemic Press, 1982, 267; David M. Trubek, “Turning Away from Law?” Michigan Law Review 82 1984: 825. 62 Untuk eksplorasi tentang berbagai pemikiran yang bertentangan mengenai kedaulatan hukum dari perspektif liberalisme dan teori hukum kritis, lihat umumnya Andrew Altman, Critical Legal Studies: A Liberal Critique Princenton: Princenton University Press, 1990. 1

Bab 2 Peradilan Pidana