Peradilan Pidana Menuju Teori Keadilan Transisional

1

Bab 2 Peradilan Pidana

Dalam bayangan publik, keadilan transisional lazim dikaitkan dengan pengadilan dan penghukuman penguasa sebelumnya. Simbol-simbol kuat revolusi Inggris dan Prancis dari pemerintahan monarki ke republik adalah pengadilan Raja Charles I dan Louis XVI. Setengah abad setelah terjadinya simbol utama kekalahan Nazi di Perang Dunia Kedua adalah pengadilan Nuremberg. Kemenangan demokrasi terhadap pemerintahan militer di transisi Eropa Selatan diwakili oleh pengadilan terhadap para kolonel di Yunani. Pengadilan junta Argentina menandakan akhir puluhan tahun pemerintahn represif di seluruh Amerika Latin. Gelombang transisi kontemporer dari pemerintahan militer, di Amerika Latin dan Afrika, demikian pula dari pemerintahan komunis di Eropa Tengah dan bekas blok Soviet, telah memunculkan kembali perdebatan tentang apakah perlu dilakukan penghukuman. Penghukuman mendominasi pemahaman kita tentang keadilan transisional. Bentuk hukum terkeras ini melambangkan pertanggungjawaban dan kedaulatan hukum; tetapi, dampaknya jauh melebihi peristiwa itu sendiri. Tinjauan terhadap masa transisi menunjukan bahwa peradilan pidana yang dijalankan oleh pemerintahan pengganti atau suksesor menimbulkan banyak pertanyaan sukar bagi masyarakat yang telah terkena akibat dari kekerasan masa lalu itu, sehingga sering kali peradilan tersebut tidak dilaksanakan. Perdebatan tentang peradilan pidana transisional diwarnai oleh dilema yang sukar: menghukum atau memberikan pengampunan? Apakah penghukuman adalah tindakan yang melihat ke belakang sebagai pembalasan, atau ekspresi pembaruan kedaulatan hukum? Siapa yang paling perlu bertanggung-jawabuntuk represi yang telah terjadi? Sejauh mana tanggung jawab terhadap represi dapat dibebankan kepada individu, dibandingkan kepada kolektif, rezim atau bahkan seluruh masyarakat? Dilema utama yang terkait erat dengan transisi adalah bagaimana cara bergeser dari pemerintahan non-liberal dan sejauh mana pergeseran ini dipandu oleh pandangan konvensional tentang kedaulatan hukum dan tanggung jawab individual yang dikaitkan dengan demokrasi yang sudah mapan. Ketegangan inti yang timbul di sini adalah tentang penggunaan hukum untuk memajukan transformasi, yang dipertentangan dengan perannya dalam ketaatan terhadap legalitas konvensional. Sejauh mana peradilan pidana transisional dikonseptualkan dan diajudikasi sebagai hal yang kontekstual terhadap masyarakat tertentu, atau dipandu oleh kedaulatan hukum biasa yang dipergunakan demokrasi mapan? Dilema utama ini bisa diperluas ke banyak dilema lainnya. Apa tatanan legal yang paling relevan? Militer atau sipil? Internasional atau nasional? Dan, tanpa mempedulikan apa pun tatanan legal yang relevan, sampai sejauh manakah pemahaman tentang pertanggungjawaban pidana diproyeksikan ke belakang? Apakah seluruh proyek keadilan ini sama sekali bersifat ex post? Siapa yang diminta pertanggungjawaban, dan untuk pelanggaran apa? Dilema-dilema transisi ini dibicarakan dalam bab ini. Ini dibicarakan, dan dicapai kompromi transisioanl dalam bentuk “sanksi pidana terbatas”, yang pada hakikatnya adalah bentuk penghukuman yang simbolis. 2 Dasar Argumen Peradilan Pidana dalam Masa Transisi Mengapa harus menghukum? Argumen utama untuk memberikan hukuman pada masa gejolak politik bersifat konsekuensional dan melihat ke depan. Dikatakan bahwa dalam masyarakat dengan masa lalu yang buruk yang baru saja keluar dari pemerintahan yang represif, pengadilan suksesor memberikan dasar yang kuat untuk membangun tatanan liberal yang baru. Pada masa-masa itu, sebagai variasi justifikasi hukum “utilitarian” yang konvensional, dasar bagi memberikan hukuman adalah kontribusinya bagi kebaikan bersama. 1 Namun tidak seperti argumen konvensional untuk menghukum pada masa normal yang cenderung berfokus pada pelaku atau dampak hukuman bagi masyarakat, misalnya sebagai penggentar, argumen untuk menghukum pada masa transisi memiliki bentuk lain. Alih-alih memberikan argumen untuk menghukum secaraafirmatif, argumennya diberiakan secara negatif – apa yang akan terjadi bila tidak ada penghukuman? Di sinilah konteks politik khas dari masa transisi memainkan peranan. Sementara argumen menentang impunitas, yaitu argumen tentang akibat dari kegagalan memberikan hukuman, juga digunakan pada masa biasa, 2 argumen ini menjadi lebih kuat pada masa transisi. Karena, dengan kondisi ketiadaan hukum pada masa sebelumnya, jauh lebih banyak harapan terhadap tindakan-tindakan menuntut pertanggungjawaban berdasarkan kedaulatan hukum. Ketidakadilan di masa lalu ini, perlu diingat, sebagian besar dipicu dan didukung oleh negara. Dengan latar belakang ini, argumen menentang impunitas mendapat arti yang baru. Dalam konteks ini, pelaksanaan peradilan pidana dianggap merupakan cara terbaik untuk memperbaiki “keadilan” negara di masa lalu dan memajukan transformasi normatif ke sistem yang taat kedaulatan hukum. Rezim yang represif sering kali dicirikan oleh tindakan pidana, seperti penyiksaan, penahan secara sewenang-wenang, penghilangan, eksekusi di luar hukum, yang semuanya didukung oleh negara. Bahkan, bila kejahatan di masa lalu dilakukan oleh pelaku privat, negara sering kali masih terimplikasi, baik melalui kebijakan penindasan, kegagalannya melindungi warga negara, atau dalam menutupi tindakan pidana dan impunitas. Konteks transisi, terutama tentang keterlibatan negara dalam tindakan pidana, memberikan argumen kuat untuk menghukum dibandingkan impunitas. Namun, paradoks terjadi ketika konteks transisional tersebut menimbulkan dilema signifikan terhadap penggunaan hukum pidana sebagi respon yang efektif terhadap penyalahgunaan kekuasaan negara. Pemberian hukuman memiliki peran historis untuk melaksanakan norma-norma kedaulatan hukum dalam konteks kesalahan negara di tingkat internasional. Argumen mendasar untuk pengadilan suksesor memiliki sejarah yang panjang hingga abad pertengahan, yang mengambil dari norma-norma hukum internasional konsep tentang keadilan terhadap kekerasan politik yang tidak sah. Pengadilan sudah lama digunakan untuk menerapkan norma- norma hukum internasional tentang ketidakadilan dalam perang. Pembebanan tanggung jawab pidana terhadap pemimpin politik pendahulu karena mengadakan perang yang melanggar hukum, atau mirip dengan itu, pemerintahan negara yang buruk, adalah benang merah pengadilan suksesor terhadap tiran-tiran polis yang dijelaskan oleh Arisoteles dan pengadilan 1 Lihat Cesare Beccaria, On Crimes and Punishments and Other Writings, Cambridge: Cambridge University Press, [1769], 1995; Jeremi Bentham, An Introduction to the Principles of Morals and Legislation Vol. 2, Darien, Conn: Hafner Publishing [1823], 1970 berteori bahwa hukuman diperlukan untuk kebaikan bersama. 2 Lihat Hyman Gross, A Theory of Criminal Justice, New York: Oxford University Press, 1979, 400-01. 3 Raja Charles I serta Louis XVI, hingga pengadilan serupa pada masa kontemporer: Pengadilan Nuremberg, pengadilan kejahatan perang Tokyo, pengadilan kolonel di Yunani dan pengadilan junta militer Argentina. Dalam sejarahnya, pengadilan suksesor berdasarkan pada konsep tirani yang didasarkan pada pengkhianatan; pihak yang melanggar hukum dalam perang adalah pihak yang kalah. 3 Pemahaman awal tentang kaitan hukum pada keadilan ini diformulasikan kembali di Nuremberg, ketika pengadilan digunakan untuk memberikan pesan normatif yang jauh lebih besar daripada sekadar pengadilan terhadap rezim asing yang terkalahkan, untuk membedakan kekerasan yang “adil” dari yang “tidak adil”. Pada masa kontemporer, peradilan pidana suksesor digeneralisasikan keluar dari penggunaannya semasa pasca-perang ke transisi lain, di mana kekuatan normatif utamanya adalah pengutukan terhadap kekerasan politik di masa sebelumnya. Delegitimasi terhadap kekerasan yang dilakukan rezim pendahulu ini berada di luar domain pengadilan pasca-perang. Pengadilan terhadap para pimpinan politik digunakan untuk mengkonstruksikan arti ketidakadilan negara. Pemberian hukuman didukung dengan dasar bahwa hal tersebut memajukan identitas politik suatu masyarakat dalam transisi sebagai pemerintahan demokratis oleh negara yang menaati hukum. Teori kontemporer biasanya menjustifikasi penghukuman dalam negara-negara transisi karena potensi perannya untuk membangun tatanan politik baru yang demokratis. 4 Pengadilan suksesor dikatakan memiliki fungsi politik untuk menarik garis batas antar- rezim, memajukan sasaran politik transisi tersebut dengan mendelegitimasi rezim pendahulu, dan melegitimasi rezim penggantinya. Pengadilan Raja Charles I dan Louis XVI, demikian pula Nuremberg, pada dasarnya adalah tindakan politik. Seperti ditulis Michael Walzer, “Kaum revolusioner harus menamatkan rezim lama: ini berarti bahwa mereka harus melakukan proses ritual untuk ... secara terbuka mengutuk ideologi rezim lama.” 5 Tentang pengadilan Raja Louis XVI, Walzer menyatakan bahwa “regisida secara terbuka merupakan cara yang amat kuat untuk memecahkan mitos-mitos rezim lama, dan dengan demikian, merupakan titik berdirinya sistem yang baru.” 6 Pengadilan terhadap raja tersebut memiliki arti politik, dengan menunjukkan bahwa ia tidak berada di atas hukum. 7 Melalui pengadilan suksesor, hukum menerapkan kesetaraan semua orang di muka hukum, dan dengan demikian melakukan pergeseran normatif yang mendasar dalam pergeseran dari monarki ke republik. Pengadilan suksesor juga dibela dengan dasar serupa oleh Judith Shklar: “Pengadilan sebenarnya bisa mencapai tujuan liberal, dengan mendorong nilai-nilai legalistik sedemikian rupa untuk memberikan kontribusi pada politik konstitusional dan sistem hukum yang baik.” 8 Dalam perkataan Otto Kirchheimer, pengadilan memungkinklan “pembangunan tembok yang permanen dan jelas antara awal yang baru dan tirani yang lama.” 9 3 Lihat David Lagomarsino dan Charles T. Wood, The Trial of Charles I: A Documentary History, Hanover, N.H: University Press of New England, 1989, 25; Michael Walzer ed., Regicide and Revolution: Speeches at the Trial of Louis XVI, terjemahan Marian Rothstein, New York: Cambridge University Press, 1974, 88. 4 Untuk argumen kontemporer, lihat Diane F. Orentlicher, “Settling Accounts: The Duty to Prosecute, Human Rights Violations of a Prior Rezim”, Yale Law Journal 100 1991: 2537. 5 Walzer ed., Regicide and Revolution, 88. 6 Ibid., 5. 7 Ibid., 78. 8 Judith N. Shklar, Legalism, Morals, and Political Trials, Cambridge: Harvard University Press, 1964, 145. 9 Otto Kirchheimer, Political Justice: The Use of Legal Procedure for Political Ends, Wesport, Conn: Greenwood Press, 1961, 308. 4 Dalam banyak teori politik yang diterima, pengadilan suksesor dianggap memiliki potensi untuk berperan penting dalam menarik garis antara tirani lama dan awal pemerintahan baru. Peradilan pidana menawarkan legalisme normatif yang membantu menjembatani masa- masa lemahnya kedaulatan hukum. Proses pengadilan memberikan cara untuk mengekspresikan secara terbuka kutukan terhadap kekerasan di masa lalu dan legitimasi kedaulatan hukum yang diperlukan untuk konsolidasi demokrasi di kemudian hari. Peradilan pidana suksesor biasanya dijustifikasi oleh tujuan konsekuensialis tentang pembentukan kedaulatan hukum dan konsolidasi demokrasi. 10 Pandangan demikian yang khas pada masa transisi ini dijelaskan di sini sebagai justifikasi “demokratis” terhadap hukuman yang utamanya berdasar pada tujuan transisi. Proses peradilan pidana tepat digunakan untuk menekankan pesan inti liberal tentang keutamaan hak dan kewajiban individual. Peran pengadilan suksesor pada masa-masa demikian tidaklah terlalu mendasar, namun lebih sebagai cara transisi. Penggunaan peradilan pidana untuk menarik garis antar-rezim menimbulkan dilema yang sukar tentang kaitan antara hukum dan politik. Sementara pengadilan dalam konteks politik ditujukan untuk mencapai tujuan politik – berkaitan dengan pesan paling utama dari keadilan transisional untuk memberikan dasar bagi transisi politik, untuk membantah norma-norma politik pendahulu dan untuk membangun tatanan politik yang baru – hal-hal tersebut bertentangan dengan pemahaman konvensional tentang kedaulatan hukum. Dilema inti tersebut berkaitan dengan ciri utama transisi: konteks politik pergeseran normatif. Dilema yang ditimbulkan oleh pergeseran politik dari pemerintahan non-liberal menjadi liberal ini sangat terkait dengan masalah retroaktivitas berbagai norma yang relevan selama perubahan rezim dan penerapan aturan-aturan normatif rezim yang baru terhadap tindakan rezim lama. Bila dilema ini diteliti lebih lanjut, konsekuensinya menjadi amat paradoksal: agar pengadilan dapat memenuhi potensi konstruktif mereka, prosesnya harus dijalankan dengan legalitas penuh seperti pada negara demokrasi yang telah mapan di masa biasa, dan bila proses pengadilan tidak berjalan dengan adil, dampaknya bisa menjadi negatif, memberikan pesan keadilan politis yang keliru dan mengancam demokrasi yang baru tumbuh. Dengan demikian, pengadilan suksesor berada pada batasan yang tipis antara tercapainya ketaatan pada kedaulatan hukum, atau risiko berlanjutnya keadilan politis. Kesukaran untuk menyelesaikan dilema yang ditimbulkan oleh penggunaan hukum pidana untuk tujuan kedaulatan hukum transisional ini menjelaskan mengapa banyak rezim pengganti yang tidak menggunakan cara ini, dan menjelaskan timbulnya bentuk-bentuk sanksi pidana yang lebih “terbatas.” Pesan normatif transisional ini paling jelas terdengar melalui tatanan hukum internasional, karena kekuatannya terletak pada mekanisme normatif dengan kapasitas untuk menanggapi kekerasan politik luar biasa yang berada di luar tatanan hukum biasa. Dengan demikian, ia cocok untuk mengekspresikan pesan transisional dari pergeseran normatif. Anehnya, kekuatan ini merupakan sekaligus kelemahannya, karena sifatnya yang tidak biasa ini, hingga titik tertentu, menempatkan di luar legalitas konvensional, dan dengan demikian, tidak menaati pemahaman normal tentang kedaulatan hukum dalam memperkuat transformasi demokratik. 10 Lihat Ruti Teitel, “How Are the New Democracies of the Southern Cone Dealing with the Legacy of Past Human Rights Abuses?” makalah dipresentasikan sebagai latar belakang untuk diskusi di Council on Foreign Relations, mengkritik bahwa demokrasi menjustifikasi kewajiban untuk menghukum, New York, 17 Mei 1990. 5 Warisan Nuremberg Sejak Perang Dunia Kedua, pandangan tentang keadilan suksesor telah didominasi oleh nilai- nilai yang didapatkan dari pengadilan Nuremberg. Signifikansi pengadilan tersebut paling mudah ditempatkan dalam konteks sejarah dan politisnya, dengan melihat keadilan transisional pasca-Perang Dunia Pertama dan kegagalan kebijakan pengadilan nasionalnya. 11 Kebijakan keadilan di Versailles melatarbelakangi kebijakan pengadilan di Nuremberg dan menjelaskan mengapa pengadilan nasional dianggap terlalu politis dan tidak dapat bekerja. Kegagalan pengadilan nasional pasca-Perang Dunia Pertama dianggap bertanggung-jawab untuk timbul kembalinya agresi Jerman. Rasa bersalah yang berkaitan dengan perang dan ditanggung oleh seluruh negeri dianggap mencegah transisi menuju demokrasi yang berkelanjutan. Pandangan bahwa keadilan nasional bersifat terlalu politis ini menjadi latar belakang kebijakan pasca-perang sebelumnya, dengan akibat yang akan terlihat sepanjang sisa abad ke-20. Melalui Pengadilan Nuremberg, inti dari respon pasca-perang menjadi norma yang diterima. Seperti setelah Perang Dunia Pertama, mekanisme pertanggungjawaban adalah pengadilan, dan pelanggaran utama yang dipermasalahkan adalah agresi. Namun, kesamaan antara kedua pengadilan tersebut hanya sampai di situ. Perbedaan signifikan dari Nuremberg adalah pertanggungjawaban tetap ada di tangan pihak sekutu; jurisdiksinya bukan nasional, melainkan internasional. Dan, alih-alih menghukum sebuah negara, tujuannya adalah membebankan pertanggungjawaban individual. Namun, kita akan melihat bahwa realitas pengadilan Nuremberg bergeser dari mandatnya semula. Warisan Nuremberg menjadi lebih rumit dengan celah yang tampak antara idealisasi ilmiah tentang preseden tunggal ini dan realitas sejarahnya: setengah abad kemudian, pembicaraan tentang pengadilan tersebut masih terdengar. Bagaimana keadilan dicapai di Nuremberg, termasuk ketidaksesuaian dengan prosedur umum, menjadi identik dengan keadilan suksesor. Sebuah anomali hukum pada waktu itu, pengadilan Nuremberg masih tetap merupakan preseden yang menjadi anomali, dengan melihat praktik-praktik suksesor lainnya di abad ini. Namun, satu cara untuk memahami signifikansi Nuremberg sebagai preseden adalah dengan membedakan berbagai pemahaman tentang preseden tersebut, misalnya antara Nuremberg sebagai proses, dalam sidang Tribunal Militer Internasional dan proses peradilan pidana internasional, dan aspek doktriner, yaitu keputusan-keputusan yang disahkan. Diawali dengan aspek preseden persidangan, di sinilah presedennya terlemah. Dalam lima puluh tahun setelah Nuremberg, meskipun sering kali dibicarakan tentang baiknya tribunal serupa, terutama di masa perang, jarang sekali dilaksanakan proses pengadilan, meskipun, sebagaimana kita mendekati akhir abad ke-20, mulai tercipta momentum untuk pembentukan pengadilan pidana internasional yang permanen. 12 11 Untuk tinjauan tentang pengadilan-pengadilan nasional yang gagal, lihat George Gordon Battle, “The Trials Before the Leipsic Supreme Court of Germans Accused of War Crimes”, Virginia Law Review 8 1921: 1. 12 Komisi Persiapan Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional telah menyelesaikan tugasnya dengan mengesahkan kerangka kerja untuk Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional. Lihat U.N. doc. AAC.2491998CRP.6-18, U.N. doc. AAC.2491998CRP.21, U.N. doc. AAC.2491998CRP.19, U.N. doc. AAC.2491998CRP.3Rev.1. Hingga diterbitkannya buku ini [dalam versi Inggris, ed.], Sidang Diplomatik Tingkat Tinggi PBB untuk Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional telah bersidang di Roma antara 15 Juni sampai 17 Juli 1998, untuk memfinalkan dan menyetujui konvensi untuk pembentukan pengadilan tersebut. Lihat 6 Nilai kuat preseden Nuremberg bukanlah pada proses, namun pada cara ia membentuk pemahaman umum tentang peradilan pidana transisional. Pada lima puluh tahun terakhir, Nuremberg membentuk pemahaman ilmiah dominan tentang peradilan suksesor, dengan pergeseran pendekatan dari proses nasional ke proses internasional, juga dari kolektif ke individual. Peradilan pidana suksesor model Nuremberg merupakan forum yudisial, prosedur pidana multinasional, dan juga pelanggaran seperti “kejahatan terhadap kemanusiaan” yang sama sekali baru dan menginternasional. Pendekatan keadilan suksesor ini sangatlah internasional berkaitan dengan pelanggaran yang relevan, dasar jurisdiksi dan prinsip legal. Sebuah tinjauan historiografis menunjukkan dampak kuat preseden tersebut pada literatur ilmiah, terutama tentang bagaimana pertanggungjawaban dikonseptualisasi dalam hukum internasional. Tinjauan terhadap bibliografi tentang pertanggungjawaban bagi kejahatan berat oleh negara menunjukkan bahwa literatur tentang respon internasional terhadap kekejaman sejak Perang Dunia Kedua, terutama dalam bahasa Inggris, berkembang dengan pesat, sementara studi komparatif tentang pengalaman nasional cenderung diabaikan. 13 Secara historis, satu alasan untuk banyaknya studi tentang keadilan suksesor pasca-perang adalah bahwa ia mencerminkan perkembangan hukum internasional yang paralel. Di masa pasca-perang terjadi kerja sama yang tanpa preseden dalam Tribunal Militer Internasional di Nuremberg, terbentuknya PBB, dan juga pengesahan berbagai konvensi dan resolusi tentang kejahatan internasional. Beratnya pelanggaran yang dilakukan para Nasional Sosialis Nazi dan kolaborator mereka mendorong tercapainya konsensus internasional yang sebelumnya tidak pernah ada. Optimisme dan momentum dari konsensus baru tentang kejahatan internaional tersebut, dan juga kerjasama internasional dalam proses pengadilan, menimbulkan harapan untuk terbentuknya badan hukum pidana internasional tentang penindasan oleh negara, yang akan dilaksanakan oleh suatu tribunal internasional. Literatur hukum mencerminkan kemajuan dalam struktur hukum internasional dan keputusan-keputusannya. Literatur hukum internasional yang tumbuh pesat tentang respon terhadap penindasan oleh negara mencantumkan tema-tema dan istilah dari suatu hukum pidana internasional yang mulai tumbuh: dari cara pendefinisian kejahatan, signifikansi Tribunal Militer Internasional, ekspansi jurisdiksi terhadap tindakan-tindakan tertentu, dan mungkin yang paling penting, timbulnya hak-hak dan kewajiban-kewajiban negara yang baru dalam komunitas internasional. Semua ini menjadi bidang kajian penting yang berlanjut hingga kini. Namun justifikasi historis untuk menempatkan keadilan suksesor dalam kerangka hukum internasional kini cenderung berkurang. Harapan masa pasca-perang untuk berkembangnya hukum pidana internasional hingga kini belum terpenuhi. Antusiasme yang muncul bersamaan dengan kemajuan hukum internasional menurun dengan kesadaran tentang umumnya Cristopher Keith Hall, “The First Two Sessions of the U.N. Preparatory Commitee on the Establishment of an International Criminal Court”, American Journal of International Law 91 1997: 177; James Crawford, “The ILC Adopts a Statute for an International Criminal Court, American Journal of International Law 89 1995: 404 membicarakan rancangan statuta Komisi Hukum International [ILC] untuk membentuk pengadilan pidana internasional; Bernhard Graefrath, “Universal Criminal Jurisdiction and an International Criminal Court”, European Journal of International Law 1 1990: 67 membicarakan usaha PBB untuk membentuk pengadilan pidana internasional. [Mahkaham yang dimaksud itu, yaitu Mahkamah Pidana Internasional, saat ini telah didirikan, ed.] 13 Lihat Norman E. Tutorow ed., War Crimes, War Criminals and War Crimes Trials: An Annotated Bibliography and Source Book , New York: Greenwood Press, 1986. 7 kurang efektifnya mekanisme internasional untuk merespon kekejaman. Sistem penghukuman internasional international penal law tetap berada pada kondisinya yang tidak berkembang: masih belum ada sistem hukum pidana internasional international criminal code. Dan, meskipun berulang kali diserukan pembentukan pengadilan pidana internasional atau bahkan jurisdiksi internasional, forum tersebut masih belum dibentuk. Baru belakangan ini timbul konsensus di masyarakat internasional yang mendukung prinsip pengadilan pidana internasional yang permanen untuk dibentuk sebelum akhir abad ke-20. 14 Namun, pemberian jurisdiksi kepada badan internasional terhadap pelanggaran pidana selain genosida masih ditentang oleh banyak negara, termasuk Amerika Serikat. Bahkan dalam kontroversi hukum internasional yang berkaitan dengan hal-hal non-pidana, di mana jurisdiksi internasional telah disepakati, tampaknya tidak akan tercapai kesepakatan. 15 Dengan demikian, kejahatan internasional yang telah didefinisikan belum tentu disertai oleh jurisdiksi universal. Dengan ditempatkannya negara di Mahkamah Internasional sebagai aktor dan dengan intensif untuk menjadikan negara tetap kebal terhadap tuntutan, struktur hukum internasional kini belum membantu pelaksanaan konvensi menentang genosida dan jaminan lainnya dari hukum internasional. Literatur yang menyerukan penambahan norma-norma internasional dan mekanisme penerapan jauh lebih maju daripada parameter konsensus pasca- perang dan sistem hukum internasional yang ada. 16 Celah antara definisi kejahatan menurut hukum internasional dan mekanisme penerapannya masih tetap lebar. Namun, meskipun dengan sifatnya yang luar biasa, hukum internasional memberikan panduan normatif yang sedikit banyak memediasi banyak dilema keadilan transisional. Dilema Transisional dan Pergeseran Paradigma Nuremberg Paradigma keadilan dan istilah-istilah hukum internasional yang diciptakan di Nuremberg, meskipun memiliki kelemahan, masih tetap menjadi kerangka perdebatan tentang keadilan suksesor. Dalam sistem hukum internasional, dilema keadilan suksesor berhasil diselesaikan. Pandangan tentang ketidakmampuan keadilan nasional melepaskan diri dari politik timbul dari sejarah kebijakan pasca-Perang Dunia Pertama, dengan dampak yang terasakan di kemudian hari. Secara abstrak, dilema keadilan suksesor tampaknya paling bisa diselesaikan dengan merujuk pada sistem hukum yang otonom. Sementara dalam skema hukum nasional, pertanyaan tentang keadilan tampaknya tidak bisa dilepaskan dari politik, dari perspektif hukum internasioanal, pertanyaan tentang keadilan dapat dipisahkan dari politik internasional. 17 Bahkan bila peradilan internasional seluruhnya bersifat ad hoc, seperti tentang kekejaman dalam konflik Balkan, paling tidak ia dianggap kurang politis dibandingkan alternatif-alternatif lainnya. Hukum internasional dianggap bisa mengangkat keadilan dari konteks nasionalnya yang terpolitisasi. Hukum Internasional dan Dilema Keadilan Retroaktif 14 Lihat catatan kaki 12 di atas. 15 Sebuah contoh yang buruk adalah penolakan Amerika Serikat terhadap jurisdiksi Mahkamah Internasional dalam kasus yang diajukan Nikaragua. Lihat Nicaragua v. United States, 1984 ICJ 392 1984. 16 Lihat Aryeh Neier, War Crimes: Brutality, Genocide, Terror, and the Struggle for Justice, New York: Times Books, 1998. 17 Untuk komentator dengan posisi ini, lihat misalnya Hannah Arendt, Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil , New York: Penguin Books, 1964. 8 Dilema transisional yang utama adalah bagaimana mengkonsepkan keadilan dalam konteks pergeseran normatif besar-besaran. Masalah ini diredam oleh hukum internasional, karena hukum internasional memberikan kontinuitas dalam hukum, dan terutama, standar pertanggungjawaban. Jadi, pemantapan nilai-nilai hukum internasional pada masa pasca- perang dianggap memberikan dasar jurisdiksional yang melampaui batasan hukum pidana domestik. Hukum internasioanal tampaknya memberikan cara untuk mengatasi masalah retrospektivitas yang endemik dalam keadilan transisional. Standar dan forum internasional menjunjung kedaulatan hukum, sementara memenuhi pula prinsip keadilan dan imparsialitas. Nilai aksi legal internasional yang mengikat dan menjadi preseden sering kali dianggap lebih tinggi daripada tindakan domestik. Perbedaan hukum domestik berarti bahwa kejahatan- kejahatan tertentu akan bisa dihukum di negara-negara tertentu, namun tidak di negara lainnya. Terlebih lagi, kejahatan yang benar-benar mengerikan, seperti pembantaian massal, tidak bisa ditanggapi dengan baik oleh hukum nasional, karena kejahatan demikian dikonseptualkan secara amat berbeda dengan pelanggaran serupa dalam hukum nasional. Kejahatan-kejahatan tertentu, seperti penyiksaan, sering tidak bisa ditanggapi dengan memuaskan atau tidak diakui oleh hukum nasional, meskipun gerakan untuk mencantumkan standar-standar hukum internasional ke dalam hukum domestik mungkin dapat meredam masalah ini. Hukum pidana internasional memberikan cara yang jelas untuk mengkonseptualkan kemungkinan paradoksal tentang pertanggungjawaban rezim yang jahat di bawah hukum. Itulah sebabnya hukum pidana internasional membangun analogi historis keadilan pasca-perang yang mendominasi pengadilan Nuremberg. Ia mendefinisikan keadilan di Nuremberg, dengan pelanggaran yang paling utama: melakukan peperangan. Dan, menurut piagam pembentukannya, tujuan pengadilan tersebut adalah untuk mengadili penjahat- penjahat perang terpenting untuk pelanggaran – yang terkait dengan perang. Dan forum untuk pengadilan tersebut berbentuk tribunal militer internasional, dan pelanggaran utamanya adalah agresi. Bahkan “kejahatan terhadap kemanusiaan”, kekejaman yang dilakukan terhadap warga sipil, hanya diadili di Nuremberg apabila terkait dengan perang. Batasan yang penuh kehati- hatian dalam pelaksanaan tribunal ini mempertahankan pandangan ketidakadilan negara sebagai ketidakadilan yang dilakukan oleh negara asing. Garis tipis yang membatasi pengadilan Nuremberg ini akan memiliki dampak yang akan membatasi potensi preseden tersebut bagi keadilan transisional. Dilema Kejahatan Dilakukan Negara tetapi Pertanggungjawabannya Bersifat Individual Peradilan pidana transisional menimbulkan dilema besar tentang bagaimana membebankan pertanggungjawaban pidana untuk pelanggaran-pelanggaran yang mengimplikasi negara dalam kebijakan represif. Jurisprudensi internasional memberikan standar dalam bentuk prinsip-prinsip Nuremberg. Diformulasikan setelah pengadilan tersebut atas permintaan Sidang Umum PBB, “Prinsip Nuremberg” merupakan pemurnian dari keputusan-keputusan di Nuremberg dan merupakan titik penting dalam konseptualisasi pertanggungjawaban untuk kejahatan negara. Untuk pertama kalinya, tribunal dan pengadilan-pengadilan yang menyusulnya secara jelas menyatakan bahwa tanggung jawab untuk kekejaman bisa dibebankan kepada individu menurut hukum internasional: “Semua orang yang melakukan 9 tindakan yang merupakan kejahatan menurut hukum internasional harus bertanggung-jawab dan dengan demikian mendapat hukuman”. 18 Lebih lanjut lagi, dengan menolak pembelaan tradisional tentang tanggung jawab individu terhadap kekejaman, Nuremberg secara dramatis memperluas potensi pertanggungjawaban individual untuk kesalahan-kesalahan yang dilakukan negara. Sementara, secara tradisional, kepala negara memiliki imunitas sebagai pemegang kedaulatan menurut Prinsip Nuremberg, para pejabat publik tidak bisa melakukan pembelaan serupa berdasarkan posisi jabatan mereka, namun tetap harus bertanggung-jawab atas perbuatan pidana mereka. 19 Meskipun menurut aturan militer tradisional dalam struktur komando, “ketaatan pada perintah” merupakan pembelaan, menurut Prinsip Nuremberg, orang yang melakukan tindakan berdasarkan perintah dapat dituntut pertanggungjawabannya. 20 Dengan menghilangkan pembelaan “tindakan negara” dan “perintah atasan”, Prinsip Nuremberg memberikan kejelasan pada kaburnya pertanggungjawaban yang merupakan ciri kejahatan yang dilakukan di bawah rezim totaliter. Di bawah hukum perang, prinsip pertanggungjawaban komando memberikan dasar untuk pembebanan tanggung jawab terhadap atasan untuk pelanggaran bawahan. Dasar ini diperkuat oleh Prinsip Nuremberg yang mencabut pembelaan imunitas dari kepala-kepala negara. Titik ekstrem dalam pengadilan berdasar status setelah Nuremberg tergambar dalam pengadilan kejahatan perang Tokyo untuk kekejaman yang dilakukan di Filipina, di mana prinsip pertanggungjawaban komando diterapkan secara luas. Dalam pengadilan Tokyo, Jenderal Tomoyui Yamashita dianggap bertanggung-jawab atas tindakan kekejaman yang dilakukan pasukannya, dijatuhi vonis dan dieksekusi – semuanya tanpa bukti keterlibatan personal atau bahkan pengetahuan terhadap tindakan yang dilakukan bawahannya. Namun, pengadilan yang membahas kasusnya menganggap bahwa “ia seharusnya mengetahui” pelanggaran hukum perang yang dilakukan di wilayah komandonya. 21 Dari titik pandang sejarah, standar kelalaian untuk pertanggungjawaban komando dalam kasus Yamashita menjadi sui generis, suatu titik ekstrem dalam konsepsi pertanggungjawaban atasan untuk 18 PBB, Sidang Umum, International Law Commission: Report on the Principles of the Nuremberg Tribunal, Prinsip I, A1316 1950. 19 Ibid. Prinsip III dari Prinsip Nuremberg menyatakan: “Fakta bahwa seorang pelaku tindakan yang merupakan kejahatan menurut hukum internasional bertindak sebagai Kepala Negara atau pejabat pemerintahan yang bertanggung-jawab tidak melepaskannya dari tanggung jawab menurut hukum internasional.” 20 Baik Nuremberg maupun kasus lain sesudahnya, kasus Einsatzgruppen, Trials of War Criminals before the Nuremberg Military Tribunals under Control Council Law No. 10, Vol. 4-5 Washington, DC: GPO, 1949- 1953, menolak pembelaan kepatuhan pada perintah dan doktrin respondeat superior yang mengalihkan tanggung jawab pada pemberi perintah. Doktrin “tanggung jawab absolut” sebaliknya, yang menyatakan bahwa perintah atasan tidak pernah bisa menjadi justifikasi tindakan melanggar hukum, diajukan dalam Mitchell v.Harmony, 13 How 115 1851 dan kemudian dimuat dalam Prinsip Nuremberg pada Pasal 8. Dalam standar ilegalitas yang diterima, jika seseorang yang bisa berpikir dengan baik bisa memahami bahwa perintah yang diterimanya secara manifes ilegal, maka pembelaan kepatuhan ini ditolak. Prinsip IV dari Prinsip Nuremberg menyatakan: “Fakta bahwa seseorang bertindak mengikuti perintah pemerintahnya atau atasannya tidak membebaskannya dari tanggung jawab menurut hukum internasional, dengan syarat bahwa ia bisa melakukan pilihan moral.” 21 Lihat Judgment in the Tokyo War Crimes Trial, 1948, dicetak ulang sebagian dalam Richard Falk, Gabriel Kolko dan Robert Jay Lifton eds., Crimes of War: A Legal, Political-Documentary, and Psychological Inquiry into the Responsibility of Leaders, Citizens, and Soldiers for Criminal Acts in Wars , New York: Ramdon House, 1971, 113. Jenderal Yamashita mengajukan banding ke Mahkamah Agung Amerika Serikat, yang mengafirmasi prinsip tersebut. Lihat In re Yamashita, 327 US I, 13-18 1945. 10 kekejaman yang dilakukan bawahannya. Dalam pengadilan High Command dan Hostage terhadap perwira tinggi Angkatan Darat Jerman, standar Yamashita ini ditolak, dan pengadilan mewajibkan adanya pengetahuan dan partisipasi individual atau persetujuan terhadap tindakan pidana, atau kelalaian pidana: “Tidak semua individu dalam struktur komando terkait dengan tindakan kejahatan itu..... Pasti terdapat kesalahan pribadi.” 22 Vietnam membangkitkan kembali perhatian ilmiah tentang masalah tanggung jawab pimpinan terhadap kejahatan negara yang berat, dan menjadikan amat jelas tingginya unsur politis yang terlibat dalam penggunaan secara permisif prinsip tanggung jawab komando. 23 Kasus tentang kekejaman Mylai mengarah pada penyempitan prinsip tanggung jawab komando. Harus terdapat kaitan antara kekejaman yang terjadi di wilayah yang merupakan daerah kendali komandan tersebut dan adanya kesalahan pribadi di sisi komandan tersebut. 24 Versi prinsip pertanggungjawaban komando yang demikian inilah yang kini dijunjung dalam konvensi hukum internasional: kelalaian untuk mengambil tindakan untuk mencegah pelanggaran menjadi salah satu syarat. Secara eksplisit menolak standar “ia seharusnya mengetahui” dari Yamashita, dalam Pasal 86 dari Konvensi Genewa pasca-perang, “pengetahuan” memberikan kewajiban untuk mengambil “semua tindakan yang dimungkinkan” untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran. 25 Hukum kemanusiaan internasional memberikan kerangka kerja dan bahasa normatif untuk berpikir tentang keadilan suksesor. 26 Kesalahan rezim bisa dikonseptualkan dan diakomodasi oleh hukum perang. Jadi, prinsip pertanggungjawaban individual di Nuremberg adalah prinsip yang kompleks, yang tampak dari evolusi prinsip tanggung jawab komando, juga dalam cara prinsip tersebut memediasi pertanggungjawaban individu dan kolektif, seperti hukum konspirasi, yang memungkinkan pengadilan terhadap individu karena keanggotaan dalam kelompok tertentu. 27 Namun, sukar untuk menyesuaikan hukum internasional dan analogi militernya untuk mencantumkan seluruh isu keadilan suksesor. Paradigma internasional menekankan pendekatan berdasar status bagi peradilan pidana suksesor, yang umumnya mengaitkan status politik individual dengan konteks di dalam rezim. Namun standar pertanggungjawaban yang luas, seperti dalam kasus Yamashita, menunjukkan bahwa membebankan tanggung jawab kepada komandan atas tindakan bawahan mereka dapat memberikan hasil yang buruk. Bila penuntutan didasarkan pada jabatan resmi sebagai dasar tanggung jawab pidana, hal ini mengancam prinsip tanggung jawab individual. 22 United States v. Wilhelm von Leeb, dicetak ulang dalam XI Trials of War Criminals before the Nuremberg Military Tribunals under Control Council Law No. 10, 462 1950 High Command Case; United Sates v. Wilhelm List, dicetak ulang dalam XI Trials of War Criminals before the Nuremberg Military Tribunals under Control Council Law No. 10, 1230 1950 Hostage Case. 23 Lihat umumnya Telford Taylor, Nuremberg and Vietnam: An American Tragedy, Chicago: Quadrangle Books, 1970. Lihat juga Falk, Kolko dan Lifton eds., Crimes of War, 177-415. 24 Lihat United States v. Calley, 46 CMR 1131 1973. Lihat juga Gary Kamarow, “Individual Responsibility under International Law: The Nuremberg Principles in Domestic Legal System”, International and Comparative Law Quarterly 29 1980: 26-27, untuk diskusi singkat tentang kasus Calley dalam konteks ini. 25 Protokol I, “Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts”, 8 Juni 1977, Treaties and International Agreements Registered or Filed of Reported with the Secretariat of the United Nations 1125, No. 17512 1979: 609. 26 Untuk diskusi ilmiah, lihat Theodor Meron, War Crimes Law Comes of Age: Essays, Oxford: Clarendon Press, 1998. 27 Lihat Telford Taylor, The Anatomy of the Nuremberg Trials: A Personal Memoir, New York: Knopf 1992. 11 Setelah Nuremberg, pemahaman kita tentang penuntutan pertanggungjawaban oleh rezim suksesor tidak pernah sama dengan sebelumnya. Prinsip-prinsip Nuremberg memberikan perluasan potensi pertanggungjawaban pidana individual – di kedua sisi hierarki pemegang kekuasaan. Jurisprudensi pasca-perang menandakan ekspansi mendasar tentang potensi pertanggungjawaban pidana individual tanpa batas yang kaku. Ketiadaan batasan ini bahkan diakui waktu itu. Sementara pengadilan dimulai dengan para penjahat perang utama, tidak ada tulisan dalam Piagam Nuremberg yang membatasi pembebanan pertanggungjawaban hanya kepada pejabat-pejabat tinggi Nazi. Sebaliknya, piagam tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa menuntut pertanggungjawaban para pemimpin barulah titik awal, dan masih akan ada pengadilan-pengadilan yang menyusul. 28 Dalam transformasi pasca-perang tentang pemahaman tanggung jawab individual terhadap kejahatan berat negara, timbullah dilema berikut ini: di satu sisi prinsip-prinsip yang disusun di Nuremberg secara mendasar memperluas potensi tanggung jawab pidana individual, namun di sisi lain prinsip-prinsip tersebut tidak memberikan dasar untuk menentukan, dari semua yang berpotensi bertanggung- jawab, siapa yang harus diadili. Ledakan masalah pertanggungjawaban pasca-Nuremberg ini memiliki dampak besar yang belum semuanya terselesaikan. Bagi para analis politik dan ilmuwan hukum, Nuremberg dianggap menimbulkan perubahan besar dalam pemahaman tentang tanggung jawab pidana individual menurut hukum internasional, tetapi masih belum ada bayangan tentang bagaimana perubahan tersebut menimbulkan dilema pertanggungjawaban. Ekspansi masalah pertanggungjawaban kontemporer ini menimbulkan masalah besar bagi rezim penerus yang sedang mempertimbangkan siapa yang akan mereka adili, dan untuk kejahatan apa. Bahkan, masalah ini menjadi perdebatan ilmiah yang berkisar pada penghukuman di masa transisi, 29 dengan alasan yang melampaui ciri-ciri khusus konteks politik transisi suatu begara, dan merujuk pada perkembangan kontemporer dalam konseptualisasi pertanggungjawaban hukum. Prinsip panduan yang bisa dipergunakan dalam hal ini hanyalah proporsionalitas. Prioritasnya adalah untuk mengadili mereka yang “paling bertanggung-jawab untuk kejahatan yang paling parah”, dimulai dengan mereka yang berada pada tingkat pertanggungjawaban yang paling tinggi terhadap kejahatan yang paling mengerikan. 30 Namun, seperti akan dibicarakan lebih lanjut di bawah, proporsionalitas dalam tingkat abstrak belum bisa menyelesaikan dilema yang timbul dari usaha untuk merespon kejahatan berskala besar yang dilakukan oleh rezim represif, dengan menggunakan hukum pidana. Bahkan, seperti ditunjukkan praktik transisional di bawah, prioritas untuk memberikan hukuman bukanlah pemikiran yang universal, namun tergantung pada kondisi politik yang khas dari suatu masyarakat, dan juga jangkauan pergeseran normatifnya. Penerapan Preseden Nuremberg di Pengadilan Nasional 28 Ibid. 29 Seperti Jaime Malamud-Goti, Game without End: State Terror and the Politics of Justice, Norman: University of Oklahoma, Press. 30 Helsinki Watch, War Crimes in Bosnia Hercegovina, Vol. I, New York: Human Rights Watch, 1992. Laporan Helsinki Rights Watch. 12 Meskipun penggunaan prinsip pertanggungjawaban militer bisa diterima dalam konteks pasca- perang, dan transisi sering kali terjadi menyusul masa peperangan, namun transisi juga bisa terjadi dengan cara-cara lain, dan standar Nuremberg tidak selalu dapat memandu keadilan suksesor ini. Namun, kerangka kerja peradilan pidana internasional memiliki daya tarik yang melampaui pengadilan-pengadilan pasca-perang, ke model-model lain keadilan suksesor. Keadilan transisional berkaitan dengan analogi perang dan damai, dan demikian juga hukum kemanusiaan internasional dan hukum domestik. Analogi militer ini tampak jelas bila kebijakan pengadilan suksesor diawali dengan pengadilan terhadap pimpinan rezim terdahulu. Memberikan dasar pertanggungjawaban pidana terhadap status politik merupakan perkembangan logis dari analogi kejahatan perang ke pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintahan kediktatoran dan represif. Pandangan umum yang berlaku adalah bahwa setelah pemerintahan non-demokratik, mungkin adil untuk membebankan pertanggungjawaban kepada pemimpin tertinggi politik, namun keadilan transisional yang didasarkan pada paradigma hukum internasional yang luar biasa dan hukum perang tampaknya bertentangan dengan pandangan umum tentang peradilan pidana. Timbul pertanyaan tentang apakah pertanggungjawaban untuk kesalahan yang dilakukan pada masa rezim represif bisa dengan adil dibebankan kepada para pemimpin politik tertinggi suatu negara. Sejauh mana kekuasaan politik dipegang oleh diktator, atau keberadaan rezim represif menjadi dasar untuk pertanggungjawaban pidana? Mendasarkan pertanggungjawaban pidana pada dasar jabatan resmi pelanggar akan bertentangan dengan pandangan umum tentang berlakunya hukum pidana di negara-negara demokrasi dan memberikan tantangan bagi kedaulatan hukum. Pengadilan suksesor sebenarnya jarang didasarkan pada hukum perang dan hukum internasional. Transisi Amerika Latin dari pemerintahan militer adalah contoh kontemporer yang unik. Di Argentina, kekalahan dalam Perang Malvinas menyebabkan keruntuhan angkatan bersenjata dan memungkinkan transisi dari junta militer ke demokrasi, yang berpuncak pada pengadilan terhadap para pemimpin junta untuk “kelalaian berat” dalam menjalankan peperangan. 31 Contoh kontemporer lainnya, setelah keruntuhan Soviet, transisi di wilayah tersebut dibayangi oleh suatu perasaan tentang pendudukan, analog dengan kekalahan pasca-perang. Jadi revolusi di Hungaria dan bekas Cekoslowakia berawal dengan peringatan perlawanan terhadap invasi Nazi dan Soviet. Timbul pertanyaan kritis tentang keadilan transisional di wilayah tersebut: Kediktatoran siapa? Keadilan siapa? Setelah keruntuhan komunis, pertanyaan mendasar keadilan suksesor adalah sejauh mana represi dapat dipandang dalam kerangka paradigma pasca-perang yang lazim – yaitu sebagai penjajah asing. Pada akhirnya, pertanyaan tersebut mengalihkan tanggung jawab nasional ke tingkat individual. Demikianlah, maka para pemimpin terdahulu dianggap bertanggung-jawab karena mereka berkolaborasi dengan invasi Soviet ke negara-negara mereka. Pengadilan suksesor disusun pada titik balik yang penting, menarik garis antara kebebasan dan represi, perlawanan dan kolaborasi. Ini adalah garis yang sedang ditarik dan akan ditarik kembali dalam pengadilan-pengadilan di wilayah ini. Titik balik yang penting di bekas Cekoslowakia adalah tahun 1968. Pada gelombang pertama pengadilan setelah revolusi, para mantan pemimpin partai diadili dengan tuduhan pengkhianatan dan kolaborasi, dalam kerangka penyalahgunaan kekuasaan publik dalam 31 Proceedings of Las Malvinas Trial arsip penulis. 13 represi terhadap pemberontakan Praha. 32 Empat tahun kemudian, sebuah hukum baru yang menyatakan komunisme “melanggar hukum” dan “tidak sah” memberikan dasar untuk pengadilan lebih lanjut. 33 Hukum tersebut menyatakan “menggabungkan kekuatan dengan kekuatan asing” seperti membantu membantu pendudukan negeri itu pada tahun 1968 sebagai pelanggaran. Jadi, mantan sekretaris Komite Sentral Partai Komunis, Vasil Bilák, dituduh melakukan pengkhianatan karena mengundang angkatan bersenjata negara-negara Pakta Warsawa ke Cekoslowakia pada tahun 1968. Namun, pada akhirnya, pengadilan tersebut hanya sampai pada tahap penyidikan terhadap sejarah. 34 Di Polandia, pertanyaan yang dominan dalam penyelidikan komisi parlementer terhadap mantan pemimpin negeri tersebut, Jenderal Wojciech Jeruzelski, 35 adalah apakah penerapan hukum perang pada tahun 1981 untuk menghancurkan gerakan Solidaritas adalah akibat dari tekanan Soviet atau memang karena kolaborasi dari pemerintah Polandia. Jika keputusan Jeruzelski untuk menerapkan hukum perang merupakan hasil kesepakatan dengan pemerintah asing, hal tersebut bisa menjadi dasar untuk tuduhan pengkhianatan. 36 Pengadilan lainnya dijalankan terhadap “kejahatan-kejahatan perang”, dianalogikan terhadap hukum internasional. Peradilan suksesor di Hungaria secara formal didasarkan pada pengkhianatan yang didefinisikan sebagai kolaborasi dengan Soviet, dan terutama, dalam represi berdarah terhadap pemberontakan 1956. 37 Tinjauan konstitusional terhadap hukum tentang pengkhianatan di Hungaria menyelesaikan masalah dilema yang ditimbulkan dari penggunaan hukum pidana untuk mengutuk hal-hal yang semula didukung oleh rezim sebelumnya. Ketika pengadilan konstitusional Hungaria menganggap hukum baru tentang pengkhianatan itu inkonstitusional karena retroaktivitas, 38 sebuah hukum baru yang membatasi pelanggaran yang bisa diadili hanyalah “kejahatan perang”, 39 memungkinkan proses pengadilan untuk berjalan berdasarkan 32 Lihat “Four Hardline Communists Investigated over 1968 Prague Invasion”, Reuters, 17 April 1990, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters; “August 1968 – Gateway to Power for Number of Politicians”, CTK National News Wire , 18 Agustus 1998, tersedia di Lexis, News Library, arsip CTK. 33 Act on the Illegality of the Communist Regime and Resistance to It , Act. No. 1981993 Republik Ceko, 1993. 34 Lihat “Velvet Justice for Traitors Who Crushed 1968 Prague Spring”, The Telegraph, Praha 23 Agustus 1998 melaporkan ketiadaan sanksi bahkan setelah penyidikan delapan tahun. 35 Lihat “Polish Politicians Ask for Trial for Martial Law Instigators”, Reuters, 9 Desember 1991, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters. Lihat juga Tadiusz Olszaski, “Communism’s Last Rulers: Fury and Fate”, Warsaw Voice, 18 November 1992, tersedia di Lexis, News Library. Untuk kisah pengakuan Jeruzelski dan lain- lainnya, lihat RFERL Daily Report No. 49, 12 Maret 1993. Lihat juga “Walesa to Testify on Martial Law”, Polish News Bulletin, 25 Mei 1994, bagian politik. 36 Hingga terbitnya buku ini, Jeruzelski belum diadili karena alasan kesehatan. Lihat “Jeruzelski Will Not Be Tried”, Polish News Bulletin, 9 Juli 1997, bagian politik. Namun, terungkapnya dokumen-dokumen yang memberatkan mungkin akan memperkuat posisi pihak-pihak yang menginginkan pengadilan. Lihat “Constitutional Accountability Commision Meets”, Polish News Bulletin, 26 Oktober 1994; “Russian Dissident Accuses Jeruzelski”, Polish News Bulletin, 20 Mei 1998, bagian politik. Lihat juga Tad Szulc, “Unpleasant Truths about Eastern Europe”, Carnegie Endowment for International Peace, Foreign Policy, 22 Maret 1996, tersedia di Lexis, News Library. 37 Lihat Michael Shields, “Hungary Gets Ready to Try to Communist Villains of 1956”, Reuters, 5 November 1991, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters. Lihat juga Jane Perlez, “Hungarian Arrests Set off Debate: Should ’56 Oppressors be Punished?” New York Times, 3 April 1994, tersedia di Lexis, News Library. 38 Constitutional Court Decision on the Statute of Limitation, No. 2086A199114 Hungaria, 1992. 39 Act on Procedures Concerning Certain Crimes Committed during the 1956 Revolution Hungaria, 1993 arsip Center for the Study of Constitutionalism in Eastern and Central Europe, University of Chicago. Pada tanggal 3 November 1993, diperintahkan penyelidikan terhadap pembantaian 1956, “atas kecurigaan adanya kejahatan 14 analogi pada pengadilan-pengadilan pasca-perang. Ketika para pemimpin partai komunis Rumania diadili dalam pengadilan yang sebenarnya tidak memenuhi prinsip kedaulatan hukum, tuduhan yang dialamatkan kepada mereka adalah kejahatan perang menurut hukum internasional. “Genosida” dituduhkan di pengadilan-pengadilan militer terhadap para pemimpin utama yang menindas gerakan rakyat pada tahun 1989, meskipun pada akhirnya tuntutan yang diberikan lebih ringan. Tuduhan “kejahatan terhadap kemanusiaan” juga dialamatkan kepada mantan pejabat komunis di Albania pada masa transisi. Suatu usaha bersama sedang berjalan untuk memperluas dan menormalkan pemahaman pasca-perang tentang penindasan negara. Usaha ini tampak, misalnya, dalam perkembangan hukum kemanusiaan internasional, di mana pemahaman tentang pelanggaran berupa penindasan di masa perang diperluas hingga melampaui respon-respon internasional menjadi tindakan-tindakan yang dilakukan dalam batasan negara. 40 Hal ini juga terlihat dalam jurisdiksi tribunal kejahatan perang internasional ad hoc di bekas Yugoslavia, demikian pula dalam jurisdiksi rencana pengadilan pidana internasional. Dalam contoh-contoh kontemporer tersebut, suatu pemahaman dinamis tentang “kejahatan terhadap kemanusiaan” bergerak dari semula hanya terbatas pada konflik bersenjata hingga menjadi sinonim dengan penindasan. 41 terhadap kemanusiaan”. Sejak disahkannya hukum tersebut, penangkapan, pengadilan dan penuntutan telah berjalan. Lihat “Court Convicts Defendant for War Crimes in 1956 Uprising”, BBC Summary of World Broadcasts, 18 Januari 1997, tersedia di Lexis, News Library. Lihat juga “Hungary Arrests More in 1956 Shootings Probe”, Reuters, 11 Februari 1994, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters. 40 Lihat misalnya “United Nations Convention on Prohibitions or Restrictions on the Use of Certain Conventional Weapons Which May Be Deemed to Be Excessively Injurious or to Have Indiscriminate Effects”, 10 Oktober 1980, Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United Nations 1342, No. 22495 1983: 137; Protokol I, Protocols Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 and Relating to the Protection of Civilian Persons in Time of War, 12 Agustus 1949, Treaties and International Agreements Registered of Filed of Reported with the Secretariat of the United Nations 75, No. 973 1950: 287. Untuk analisis mendalam, lihat Theodor Meron, Human Rights and Humanitarian Norms as Customary Law , New York: Oxford University Press, 1989 menjelaskan konsep kejahatan terhadap kemanusiaan dalam konflik internasional dan internal. 41 Lihat Rome Statute of the International Criminal Court, U.N. doc. AConf. 1839. 17 Juli 1998, Pasal 7 mendefinisikan “kejahatan terhadap kemanusiaan” sebagai bagian dari “kekerasan yang luas atau sistematis yang diarahkan kepada kelompok penduduk sipil apa pun”. Untuk ilustrasi, lihat umumnya Helsinki Watch, War Crimes in Bosnia-Hercegovina melaporkan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di wilayah Balkan. Lihat Statute of International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, Pasal 5, dilampirkan pada PBB, Sidang Umum, Report of the Secretary-General Pursuant to Paragraph 2 of the U.N. Security Council Resolution 808, S25704 1993, dicetak ulang dalam International Legal Materials 32 1993: 1159, 1193-97. Berbagai tindakan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah “pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pemindahan paksa, pemenjaraan, penyiksaan, pemerkosaan, penindasan atas dasar politik, ras dan agama, dan tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya”. Pemahaman Komisi Pakar adalah bahwa Tribunal Internasional memiliki jurisdiksi atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Lihat PBB, Dewan Keamanan, Final Report of the Commission of Expert Established Pursuant to Security Council Resolution 780, S1994674 1992, 13. Lihat juga Prosecutor v. Tadic, kasus No. IT-94-1-AR72, Decision on the Defense Motion for Interlocutory Appeal on Jurisdiction Appeals Chamber, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, 2 Oktober 1995, dicetak ulang dalam International Legal Materials 35 1996: 32. Namun, sidang banding memberikan batasan terhadap interpretasi “pelanggaran berat” dan menekankan bahwa pelanggaran demikian yang merupakan jurisdiksi haruslah merupakan bagian dari konflik bersenjata internasional. Jurisdiksi tribunal mencakup kejahatan yang dilakukan bukan oleh agen negara, selama dilakukan “dengan pengaruh” negara. Statuta tribunal ini dimuat dalam PBB, Dewan Keamanan, Report of the Secretary- General Pursuant to Paragraph 2 of U.N. Security Council Resolution 808, 1993, dicetak ulang dalam International Legal Materials 32 1993: 1159. Pasal 2 tentang kompetensi Tribunal Internasional menyatakan: 15 Keunggulan hukum internasional dalam menciptakan pertanggungjawaban pidana, terutama hukum pidana internasional yang digabungkan dalam kemajuan-kemajuan pasca- perang, telah menjadikan hukum pidana internasional menjadi bahasa dominan dalam keadilan suksesor. Meskipun kekuatannya tidak tampak dalam pengadilan-pengadilan internasional, kekuatan normatifnya yang besar tampak dalam pemahaman yang meluas bahwa penindasan oleh negara melampaui batasan hukum domestik dan memiliki pertanggungjawaban internasional. Pengakuan tentang nilai-nilai umum ini menimbulkan semacam bentuk pertanggungjawaban, dengan identifikasi dan pengungkapan adanya penindasan tanpa memperhatikan batas negara. 42 Bila suatu negara gagal melindungi warganya dari penindasan, respon utama dari komunitas hak asasi manusia internasional adalah dengan mendokumentasikan dan melaporkan pelanggaran-pelanggaran berat. Pada tahun-tahun belakangan ini, terdapat perkembangan penting dengan menguatnya mekanisme internasional yang dirancang untuk menyelidiki dan mempublikasikan klaim kekejaman. Pertanggungjawaban terhadap komunitas dunia muncul terutama dari pengungkapan secara terbuka keberadaan penindasan di suatu negara. Jadi, jika dan ketika ia dibentuk, peran tribunal pidana internasional yang permanen mungkin akan menjadi sebagai badan penyelidikan dan pengaju tuduhan. Warisan terpenting dari preseden Nuremberg adalah bahwa masalah pertanggungjawaban negara tidak akan lagi dibatasi oleh batas negara, namun menjadi masalah tingkat internasional. Keadilan Transisional dan Tatanan Hukum Nasional dalam Perspektif Komparatif Meskipun skema internasional memiliki banyak daya tarik, pada umumnya rezim-rezim dalam transisi berusaha untuk menormalkan proses pengalihan kekuasaan dengan mengintegrasikan respon mereka dalam sistem hukum yang sudah ada. Pertanyaannya menjadi bagaimana keadilan suksesor bisa menjelaskan perubahan rezim politik, dan terutama, bagaimana mengakomodasi ciri utama transisi, yaitu pergeseran normatif yang ditimbulkan oleh perubahan rezim politik. Respon transisional dalam hukum nasional memiliki watak beragam dalam kemampuannya untuk mengakomodasi transformasi politik, karena proses juridis tersebut dijalankan dalam legalitas yang berlaku. Sering kali, usaha untuk menuntut pertanggungjawaban dari para pelaku pelanggaran di masa rezim pendahulu dapat menekan sistem hukum domestik hingga ke batas-batasnya. Respon-respon terhadap kekerasan politik yang luar biasa menguji prinsip-prinsip utama kedaulatan hukum yaitu keamanan dan keberlakuan hukum secara umum. Sejumlah pengadilan nasional mengikuti gelombang transisi politik. Sebelum Perang Dunia Pertama, terdapat pengadilan untuk kekejaman yang dilakukan terhadap warga Armenia “Tribunal internasional memiliki kekuasaan untuk mengadili orang-orang yang melakukan atau memerintahkan pelanggaran berat terhadap Konvnsi Jenewa 12 Agustus 1949”. Pasal tersebut kemudian memberikan rincian pelanggaran. Pasal 7 mendefinisikan “kejahatan terhadap kemanusiaan” sebagai bagian dari “kekerasan yang luas atau sistematis yang diarahkan kepada kelompok penduduk sipil apa pun”. 42 Sebagai contoh, Human Rights Watch telah mendokumentasikan pelanggaran yang terjadi di Yugoslavia nyaris sejak dimulainya konflik, menerbitkan catatan yang mendetail dan menyerukan pengadilan terhadap kejahatan perang. Lihat Helsinki, War Crimes in Bosnia-Hercegovina, Vol.1 dan 2. 16 di wilayah Kesultanan Ottoman. 43 Setelah Perang Dunia Pertama, kesepakatan di Versailles memungkinkan Jerman untuk melakukan pengadilan nasionalnya sendiri; namun pada akhirnya jumlahnya amat terbatas. Setelah Perang Dunia Kedua, tindakan para Nazi dan kolaborator mereka menimbulkan usaha keras untuk menuntut pertanggungjawaban. Meskipun terdapat dominasi paradigma internasional dalam literatur ilmiah, respon legal terhadap Nazi dan kolaboratornya pada umumnya bersifat domestik. Pengadilan terhadap mereka yang terlibat dalam kekejaman selama Perang Dunia Kedua masih menjadi penyusun utama preseden pertanggungjawaban pidana pada tingkat nasional. Pengadilan-pengadilan nasional tersebut berlangsung selama hampir lima dekade, dengan sistem-sistem hukum Common Law, sipil dan sosialis, dan berlangsung di hampir semua negara tempat terjadinya kejahatan tersebut dan di negara lainnya. 44 Terlebih lagi, di seluruh Eropa, dampak hukum domestik dari transisi pasca-perang masih terasa. Di Jerman, kasus yang terkait dengan Perang Dunia Kedua masih berkangsung dari dekade 1950-an hingga kini. 45 Di Prancis, pengadilan Klaus Barbie pada akhir dekade 1980-an masih diikuti kasus lain yang diajukan terhadap kolaborator tingkat tinggi, seperti Paul Touvier dan Maurice Papon. 46 Belanda terus mengadili para kolaboratornya. Australia dan Kanada melakukan pengadilan terhadap kolaborator Perang Dunia Kedua yang tinggal di wilayahnya pada akhir dekade 1980-an. 47 Di Inggris, War Crimes Act 1991 disahkan untuk memungkinkan pengadilan terhadap tersangka kolaborator pada masa perang yang tinggal di wilayah tersebut. 43 Lihat umumnya Arnold J. Toynbee, Armenian Atrocities: The Murder of a Nation, New York: Tankian, 1975. Lihat juga Dickran Boyajian, Armenia: The Case for a Forgotten Genocide, Wesrwood, N.J: Educational Book Crafters, 1972. 44 Lihat Symposium, “1945-1995 Critical Perspectives of the Nuremberg Trials and State Acountability”, New York Law School Journal of Human Rights 12 1995: 453; Inge S. Neumann, European War Crimes Trials, ed., Robert A. Rosenbaum, New York: Carnegie Endowment for International Peace, 1951. Lihat umumnya Randolph L. Braham ed., Genocide and Retribution, Boston: Kluwer-Nijhoff, 1983. Untuk daftar bibliografi lengkap, lihat umumnya Tutorow ed., War Crimes, War Criminals, and War Crimes Trials; Neumann, European War Crimes Trials . Lihat juga Owen M. Kupferschmid Holocaust and Human Rights Project Seventh International Conference, “Judgements on Nuremberg: The Past Half Century and Beyond – A Pannel Discussion of Nuremberg Prosecutors”, Boston College Third World Law Journal 16 1996: 1993; Symposium, “Holocaust and Human Rights Law: The Fourth International Conference”, Boston College Third World Law Journal 12 1992: 1. 45 Lihat Adalbert Rückerl, The Investigation of Nazi Crimes: 1945-1978: A Documentation, terjemahan Derek Rutter Heidelberg, Karlsruhe4: C.F. Müller, 1979. Lihat “5,570 Cases of Suspected Nazi Crimes Remain Open,” This Week in Germany, 3 Mei 1996 melaporkan bahwa 106.178 orang telah diadili dan 6.494 diputuskan hukumannya. 46 Mengenai pengadilan Klaus Narbie, lihat misalnya, Féderation Nationale des Déportés es Internés Réesitstant et Patriotes v. Barbie , 78 ILR 125 Fr. Cass. Crim., 1985. Pengadilan Paul Touvier untuk kejahatan terhadap kemanusiaan diakhiri dengan hukuman seumur hidup. Lihat Alam Riding, “Frenchman Convicted of Crimes against the Jews in ’44,” New York Times, 20 April 1994, Sec. A3; Judgment of Apr. 20, 1994, Cour d’assises des Yvelines . Maurice Papon, dalam usia 87 tahun, dijatuhi hukuman 10 tahun penjara atas perannya dalam deportasi warga Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi. Tuduhan lain tentang kejahatan terhadap kemanusiaan diajukan kepada Jean Leguay dan Rene Bousquet, namun keduanya meninggal dunia selama proses berjalan. Judgment of Oct. 21, 1982, Cass. Crim. Lihat Bernard Lambert, Bousquet, Papon, Touvier, Inculpés de Crimes contre I’humanite: Dossiers d’accusation Paris: Federation Nationale des Déportés es Internés Résistants et Patriotes. 47 Lihat Timothy L.H. McCormack dan Jerry J. Simpsons, “The International Law Commission’s Draft Code of Crimes against the Peace and Security of Mankind: An Appraisal of the Substantive Provisions”, Criminal Law Forum 4 1994: 1; Ronnie Edelman et al., “Prosecuting World War II Prosecutors: Efforts at an Era’s End”, Boston College Third World Law Journal 12 1992: 199. 17 Dalam gelombang transisi kedua di abad ke-20, di Eropa Selatan, terdapat pengadilan suksesor terhadap junta Yunani dan Portugal. 48 Pada gelombang ketiga transisi politik di Amerika Latin dan Afrika, Argentina mengadili para komandan dan perwira militernya; dan di Republik Afrika Tengah, “kaisar” tiran Jean-Bedel Bokassa diajukan ke Pengadilan. Pada transisi dari pemerintahan komunis, terdapat beberapa pengadilan terhadap para pimpinan tingkat tinggi di Rumania dan Bulgaria, dan di bekas Cekoslowakia, pengadilan terhadap pejabat partai tingkat tinggi dan menengah. Di Jerman, terdapat pengadilan terhadap semua tingkat, yang umumnya terkait pada penembakan-penembakan di Tembok Berlin. 49 Keruntuhan Yugoslavia mendorong konflik dan kekejaman Bosnia dan diikuti oleh proses pengadilan. Setelah runtuhnya rezim Marxis, Etiophia mengadili jajaran tertinggi rezim pendahulunya. 50 Sejak transisi politiknya, Rwanda melakukan pengadilan genosida. 51 Kejahatan Negara, tetapi Peradilan Individual Peradilan pidana transisional menimbulkan dilema penerapan prinsip tanggung jawab individual terhadap kejahatan berat yang dilakukan pada masa pemerintahan non-liberal. Setelah represi, masalah utamanya adalah bahwa negara harus merespon kesalahan yang dilakukan rezim pendahulunya dan menuntut pertanggungjawaban. Bagaimana cara negara bisa memediasi pergeseran normatif antara rezim dalam kondisi yang penuh paradoks dan terkompromi, di mana terdapat keterlibatan negara dalam kejahatan di masa lalu? Dalam kondisi demikian, apa kaitan antara tanggung jawab individu dan negara? Dalam pergeseran setelah pemerintahan represif, luasnya penindasan pada masyarakat non-demokratik sering kali menyebabkan kesulitan dalam usaha untuk menemukan keadilan. Pertanyaan penting yang timbul dalam penentuan tanggung jawab pidana adalah: Siapa yang diberikan prioritas? Apakah para pemimpin politik yang merupakan otak di belakang penindasan, atau mereka yang di bawah yang secara langsung melakukan tindakan brutal tersebut? Apakah sebaiknya kebijakan pengadilan suksesor mengadili semua pelaku pelanggaran, atau apakah pengadilan yang selektif dapat dianggap adil? Dan, jika pengadilan dilakukan secara selektif, atas dasar apa kebijakan tersebut bisa diterima? 48 Untuk pembicaraan tentang pengadilan Yunani, lihat Nikiforos Diamandouros, “Regime Change and the Prospects of Democracy in Greece: 1974-1983, dalam Guillermo O’Donnel et al. eds., Transitions from Authoritarian Rule: Comparative Perpectives , Baltimore: Johns Hpokins University Press, 1991, 138. Untuk pembicaraan tentang transisi Portugal, lihat Kenneth Maxwel, “Regime Overthrow and the Prospects for Democratic Transition in Portugal”, dalam Guillermo O’Donnel et al. eds., Transitions from Authoritarian Rule: Southern Europe, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1991, 109-37. Lihat juga John H. Herz eds., From Dictatorship to Democracy: Coping with the Legacies of Authoritarianism and Totalitarianism, Wesport: Conn: Greenwood Press, 1982. 49 Lihat misalnya Border Guards Prosecution Case, International Law Reports 100 1995: 366, 30. Untuk pembicaraan tentang beberapa dari kasus tersebut, lihat Stephan Hobe dan Christian Tietje, “Government Criminality: The Judgment of the German Federal Constitutional Court of 14 October 1996”, German Yearbook of International Law 39 1996: 523. Untuk tinjauan jurnalistik komparatif tentang berbagai respon di wilayah tersebut, lihat Tina Rosenberg, The Hounted Land, New York: Random House, 1996. 50 Lihat “Symposium, 1945-1995 Critical Perspectives on the Nuremberg Trials and State Accountability,” New York Law Shool Journal of Human Rifhts 12 1995: 453 tinjauan tentang pengadilan Etiophia. 51 Lihat “Trial of 51 on Rwanda Genocide Charges Opens in Byumba”, Agence France-Presse Kigali, 18 Maret 1998. Lihat juga Payam Alchavan, “The International Criminal Court Tribunal For Rwanda: The Politics and Pragmatics of Punishment”, American Journal of International Law 90 1996: 501. 18 Di mana seharusnya kebijakan pengadilan bermula? Klaim normatif bahwa pemberian hukuman akan mendorong kedaulatan hukum tidak dengan sendirinya menjustifikasi menghukum semua pelaku pelanggaran. Bahkan, sasaran untuk membela demokrasi dan memperkuat kedaulatan hukum dapat dicapai dengan sejumlah penuntutan yang berfungsi sebagai contoh. Dalam praktiknya, akan terlihat bahwa selektivitas hingga titik tertentu tidak dapat dihindarkan. Selektivitas itu didasarkan pada pertimbangan atas jumlah besar orang yang terlibat dalam penindasan dalam sebuah negara modern, kekurangan sumber daya yudisial dalam masyarakat transisional, dan tingginya biaya politik dan biaya-biaya lain dari pengadilan suksesor. Dengan batasan-batasan demikian, pengadilan selektif atau “percontohan”, tampaknya dapat memberikan suatu rasa keadilan. 52 Namun batasannya amat tipis. Suatu kebijakan pengadilan percontohan akan menimbulkan risiko melemahnya tujuan demokratis dari pengadilan tersebut, dan malah memberikan kesan keadilan politis. Kebijakan pengadilan selektif dapat mengancam kedaulatan hukum. Siapa yang paling perlu dimintai pertanggungjawabananya atas kekerasan dalam masyarakat yang tertindas? Bagaimana pertanggungjawaban pidana bisa dibagikan kepada mereka yang memberikan perintah dan mereka yang melaksanakan perintah? Prinsip apa yang bisa digunakan untuk melakukan hal ini? Pada umumnya, anggapan kita tentang tanggung jawab pidana adalah bahwa mesti ada suatu kesalahan, kaitan antara kerugian di satu pihak dan kesalahan individual di pihak lainnya. 53 Namun, intuisi kita tentang tanggung jawab pidana tidak tepat dipergunakan untuk memahami dilema transisional yang khas. Pengadilan terhadap kejahatan yang dilakukan dalam konteks pemerintahan yang represif memberikan implikasi tentang keberadaan pelanggaran sistemik, tanggung jawab pemerintah, seperti pelanggaran tugas khusus, tanggung jawab para pejabat terhadap bawahannya, dan secara lebih mendasar, tugas utama negara untuk melindungi warganya. 54 Secara historis, mereka yang dianggap paling bertanggung-jawab untuk kesalahan di masa lalu adalah para pemimpin politik tertinggi. Pengadilan suksesor kontemporer menunjukkan kesulitan untuk menuntut pertanggungjawaban para pemimpin politik terhadap pelanggaran-pelanggaran terberat dalam pemerintahan yang represif. Maka, dalam pengadilan suksesor setelah runtuhnya komunis, usaha untuk menuntut pertanggungjawaban para pemimpin politik berarti mengadili pelanggaran yang dilakukan tepat pada awal pemerintahan yang represif, atau menjelang akhir kekuasaan rezim tersebut. Kembali ke pelanggaran yang dilakukan pada saat pengambilalihan kekuasaan oleh komunis berarti mundur ke setengah abad yang lalu. Mengadili kejahatan yang telah berlangsung lama menimbulkan kesulitan untuk mendapatkan jurisdiksi dan berisiko menimbulkan ketidaktaatan pada prosedur yang 52 Untuk argumen mendukung pengadilan selektif, lihat Diane F. Orentlicher, “Settling Accounts: The Duty to Prosecute Human Rughts Violations of a Prior Regime”, Yale Law Journal 100 1991: 2537. Lihat juga Guillermo O’Donnel dan Phillipe C. Schmitter, Transitions from Authiritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies , Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986, 29-30 membicarakan pengadilan selektif di Yunani. 53 Lihat H.L.A, Hart, Punishment and Responsibility: Essays in the Philosophy of Law, Oxford: Clarendon Press, 1968. 54 Untuk eksplorasi terhadap beberapa dari pertanyaan tersebut, lihat Sanford Levinson, “Responsibility for Crimes of War”, dalam Marshall Cohen et al. eds., War and Moral Responsibility, Princenton: Princenton University Press, 1974, 104; Richard Wasserstrom, “The Responsibility of the Individual for War Crimes”, dalam Virginia Held et al. eds., Philosophy, Morality, and International Affairs, New York: Oxford University Press, 1974, 47. Lihat juga Dennis F. Thompson, “Criminal Responsibility in Government”, dalam Roland Pennock dan John W. eds., Chapman Criminal Justice: Nomos XXVII, New York: New York University Press, 1985, 201-40. 19 akan mengancam kemampuan pengadilan suksesor untuk menaati kedaulatan hukum. Dalam hampir semua sistem hukum, baik Common Law, sipil maupun sosialis, tanggung jawab dibatasi oleh waktu dalam statuta pembatasan waktu. Jadi, mengadili kasus-kasus yang telah terjadi lama sebelumnya berarti tidak menaati aturan ini. Bagi kejahatan-kejahatan yang paling mengerikan – genosida atau penindasan menurut hukum internasional – norma-norma hukum internasional telah dimasukkan ke dalam hukum nasional, dengan tujuan untuk memediasi masalah penyelesaian dilema sifat keadilan transisional dalam sistem hukum domestik. Jadi misalnya di Hungaria, di mana terdapat batasan waktu 30 tahun yang mencegah pengadilan terhadap mereka yang bertanggung-jawab atas represi terhadap pemberontakan 1956, usaha untuk mencabut aturan tersebut dianggap inkonstitusional dan ex post facto. Namun, diberikan pengecualian terhadap kejahatan- kejahatan paling serius – kejahatan perang menurut hukum internasional – yang dianggap masih memiliki kekuatan normatif. Akomodasi serupa dilakukan di Polandia. 55 Dilema perubahan norma ini tampak dalam pengadilan terhadap pelanggaran berkaitan dengan kebijakan perbatasan di Jerman-bersatu. Tantangan berdasarkan legalitas umum, seperti asas retroaktivitas, dilawan oleh norma-norma alternatif yang ditarik dari hukum internasional yang dijelaskan pada bab terdahulu tentang kedaulatan hukum. Pembatasan serupa mencegah pengadilan terhadap mantan menteri dalam negeri Rumania, dan kepala polisi rahasia, untu kejahatan yang dilakukan pada tahun 1954. 56 Pada dekade 1990-an, mantan pejabat keamanan Polandia, termasuk Kepala Kementerian Keamanan Publik, diadili untuk kejahatan-kejahatan yang dilakukan antara tahun 1945 hingga 1952, berkaitan dengan penyiksaan dan pembunuhan tahanan politik; karena masalah waktu, pengadilan terhadap kejahatan era-Stalin ini membutuhkan pencabutan statuta pembatasan waktu oleh parlemen. 57 Pada akhirnya akomodasi ini terbatas, seperti di Hungaria, pada kejahatan perang yang dapat diadili berdasarkan hukum internasional setelah jangka waktu yang panjang. Usaha serupa untuk melanggar hukum pembatasan waktu di Republik Ceko didukung Pengadilan Konstitusional. 58 Dalam mengambil keputusan ini, pengadilan menyatakan bahwa pilihannya sukar, yaitu antara mendukung atau mengutuk legalitas rezim komunis yang lalu. Untuk menyelesaikan dilema ini, ketaatan terhadap statuta pembatasan waktu dan legalitas masa lalu dianggap sebagai masalah “prosedural”, sehingga memungkinkan pengadilan untuk terus berjalan atas nama transformasi politik. Mungkin kasus ekstrem dalam usaha untuk mengakomodasi respon pidana dalam konteks represi totaliter adalah pengadilan Jerman terhadap mantan kepala polisi rahasia Jerman Timur Stasi, Erich Mielke. Ia dituntut pertanggungjawabannya terhadap tindakannya 55 Constitutional Court Decision on the Statute of Limitations, No. 2086A199114 Hungaria, 1992, diterjemahkan dalam Journal of Constitutional Law in Eastern and Central Europe 1 1994: 129, 136. Lihat Konstitusi Republik Polandia, Pasal 43. 56 Sebelum diadili untuk kasus pembunuhan, Alexandru Draghici melarikan diri ke Hungaria, yang menolak mengekstradisinya, dengan mengutip statuta pembatasan waktu 30 tahun. Lihat “Romanian Court Delays Trial of Ex-Securitate Boss”, Reuters, 28 Juni 1993, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters. 57 Pada bulan November 1991, parlemen Polandia mencabut statuta pembatasan waktu bagi kejahatan-kejahatan yang dilakukan antara tahun 1946 dan 1952 untuk memungkinkan pengadilan pidana baru. Lihat “Former Security Officers Go to Trial for Torturing Prisoners”, UPI, 13 Oktober 1993, tersedia di Lexis, News Library, arsip UPI. 58 Law on the Illegality of the Communist Regime, Act No. 1981993 Republik Federal Ceko dan Slowakia, 1993. 20 di tahun 1931, ketika ia membunuh dua polisi pada hari-hari terakhir Republik Weimar – kejahatan berusia 61 tahun 59 Namun, menuntut Mielke atas pelanggaran yang dilakukan pada masa tersebut, lama sebelum ia menjadi tokoh komunis, hampir tidak memiliki kaitan dengan pelanggaran yang ia lakukan kemudian. Preseden transisional ini menunjukkan kesulitan mempertanggung jawabkan represi dalam pemahaman normal terhadap peradilan pidana. Melakukan pengadilan terhadap jajaran tertinggi kepemimpinan untuk kejahatan- kejahatan yang mengerikan, di pihak lain, terbatas pada kekerasan yang terjadi pada saat-saat terakhir kekuasaan komunis. Jadi, misalnya di Rumania, para asisten Nicolae Ceausescu diadili karena peran mereka dalam usaha merepresi pemberontakan anti-komunis pada tahun 1989. 60 Di Republik Ceko, diajukan tuntutan kepada ketua partai komunis, mantan kepala pasukan keamanan Praha dan mantan menteri dalam negeri serta wakilnya atas represi brutal terhadap demonstrasi pada tahun 1988 dan 1989. 61 Di Rusia, satu dari sedikit proses pengadilan yang dijalankan adalah pengadilan terhadap para pelaku kudeta militer putsch Agustus 1991. 62 Namun, pengadilan-pengadilan ini tampaknya tidak menyentuh akar permasalahan. Pengadilan terhadap pelanggaran yang terjadi di saat-saat terakhir suatu rezim tampaknya bukanlah pesan normatif yang kuat untuk menentang pemerintahan totaliter. Pertanggungjawaban pidana telah berkembang pula atas dasar “pemerintahan yang buruk”, yang setelah runtuhnya komunisme berarti kejahatan ekonomi. Pada transisi dari ekonomi terpimpin ke sistem pasar bebas, pengadilan kejahatan ekonomi memiliki kekuatan transformatif yang penting. Seperti juga pengadilan-pengadilan pada transisi dari pemerintahan monarki di abad ke-18 menyerang institusi pemerintahan monarki, demikian juga pengadilan suksesor di abad ke-20 ini digunakan untuk mendelegitimasi komunisme. Pengadilan kejahatan ekonomi pasca-komunisme mengutuk nilai-nilai rezim terdahulu tentang kaitan normatif antara ekonomi dan negara. Pengadilan terhadap mantan pemimpin dilakukan untuk semua jenis kejahatan ekonomi: Pengadilan di Bulgaria adalah yang paling ambisius, dengan menuduh mantan pemimpin negeri itu, Todor Zhivkov, sebagai pencuri. 63 Dalam pengadilan lainnya, mantan presiden Albania, Ramiz Alia, diadili untuk penyalahgunaan 59 Lihat, “Erich Mielke Sentenced to Six Years for 1931 Murders: Faces Other Charges,” This Week in Germany, 29 Oktober 1993, 2. 60 Lihat Adrian Dascalu, “Romania Jails Eight for 1989 Timisoara Uprising Massacre,” Reuters, 9 Desember 1991, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters. 61 Miroslav Stepan, mantan ketua partai komunis Praha, diadili dan divonis pada tahun 1990. Lihat “Prague’s Ex- Party Boss Guilty of Abuse of Power”, Chicago Tribune, 10 Juli 1990, § 1, hlm. 4. Para menteri dalam negeri – Frantisek Kinel, Alojz Lorene dan Karel Vykypel – divonis pada bulan Oktober 1992. Lihat “Czechs Allow Prosecution of Communist Crimes”, Reuters, 10 Juli 1993, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters. Lihat juga “August 1998 – Gateway to Power for Number of Politicians”, CTK National News Wire, 18 Agustus 1998, tersedia di Lexis, News Library, arsip CTK. 62 Lihat Howard Witt, “Russians Whitewash Blame for 1991 Coup”, Chicago Tribune, 12 Agustus 1994, § 1, hlm. 1. Apa yang semula dikoar-koarkan sebagai “pengadilan abad ini” ketika dimulai pada bulan April 1993, berakhir dengan pembebasan salah satu tertuduh yang menolak menerima amnesti Februari 1994, dan menuntut namanya dibersihkan. 63 Lihat “Ousted Bulgarian Gets 7-Year Term for Embezzlement”, New York Times, 5 September 1992, hlm. A2. Lihat juga “Bulgarian Former Prime Minister Sentenced to Ten Years”, Reuters, 3 November 1992, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters. Namun, mahkamah agung negara tersebut membatalkan vonis tujuh tahun tersebut dan membebaskan Zhivkov pada tahun 1996. Lihat U.S. Department of State, Human Rights Country Reports 1997. 21 kekuasaan dan pencurian milik negara. 64 Di Jerman, kepala federasi buruh Jerman Timur diadili karena mencuri uang milik serikat dan dituduh melakukan “penipuan terhadap hak milik sosialis”. 65 Di Republik Ceko, mantan pemimpin komunis diajukan ke penyidikan pidana berkaitan dengan penghindaran pajak. 66 Pelanggaran ekonomi dipusatkan pada pencurian “properti bersama”, meskipun properti demikian dan kejahatan serupa biasanya tidak ada lagi dalam masa pasca-komunis. Sebuah contoh lain adalah pengadilan di Moskow terhadap partai komunis. 67 Meskipun terdapat preseden untuk memidana suatu organisasi, seperti di Nuremberg, keputusan tersebut biasanya dijadikan dasar untuk melakukan pengadilan individual. 68 Pengadilan individual didasarkan pada keanggotaan organisasi pidana. “Buah pikiran Bernay”, demikian sebuah konsep dinamakan menurut pengacara yang merancang prosedur tersebut, dikembangkan untuk mengatasi halangan praktis dan pembuktian untuk pengadilan terhadap ribuan anggota SS atas kekejaman yang mereka lakukan. Dalam penggunaan prosedur pidana yang tidak konvensional, pengadilan Moskow menguji batasan-batasan hukum pidana untuk keadilan transisional. Sejauh praktik partai dapat ditunjukkan melanggar hukum dan korup, usahanya adalah untuk menjadikan komunisme berada di luar lingkup pilihan politik yang sah. Pengadilan serupa terhadap rezim pendahulu dilakukan di Ethiopia dalam transisi pasca- Marxisnya. 69 Bila pengadilan diadakan terhadap pelanggaran yang terkait dengan sistem ekonomi lama yang sudah kehilangan pengaruh dengan perubahan rezim ekonomi, hal ini menggambarkan pula masalah retroaktivitas yang mempengaruhi keadilan suksesor, karena tidak memiliki prospektivitas legal. Pengadilan suksesor sering kali menimbulkan masalah ex post facto dengan mengadili tindakan-tindakan lama yang baru dianggap sebagai pelanggaran, dan tidak menaati prinsip prospektivitas atau melindungi legalitas konvensional serupa. Meskipun rezim transisional sering kali berusaha untuk menuntut pertanggungjawaban mantan pemimpinnya, dilemanya adalah sering kali pelanggaran terberat yang dilakukan dalam masa itu tidak bisa dibebankan pada para pemimpin. Bahkan, sering kali sukar untuk menemukan kaitan antara pimpinan politik dan pelanggaran-pelanggaran terburuk dalam pemerintahan represif, sehingga dalam pengadilan suksesor, pemimpin hanya diadili untuk pelanggaran lain yang tidak penting. Bila kebijakan peradilan pidana diarahkan untuk mengadili kesalahan “kecil” para mantan pemimpin, pengadilan suksesor paling rentan terhadap persepsi tentang keadilan yang terpolitisasi. Pengadilan demikian akan bertentangan dengan intuisi kita tentang ketaatan terhadap kedaulatan hukum. 64 Lihat “Last Communist President Jailed for Five Years”, Agence France-Presse, 2 Juli 1994, tersedia di Lexis, News Library, arsip Curnws. 65 Lihat “Former German Labor Boss Convicted of Fraud, Released”, Washington Post, 7 Juni 1991, hlm. A18. 66 Lihat misalnya, “Czech Republic: Slovakia Asked about Communist’s Tax Exemption”, Reuters, 30 Januari 1995, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters. 67 Yuri Feofanov, “The Estabilishment of the Constitutional Court in Rusia and the Communist Party Case”, Review of Central and East European Law 19, No. 6 1993: 623-37. Untuk transkrip dalam bahasa Inggris tentang konferensi pers di mana para penuntut menjelaskan tujuan dan strategi hukum pengadilan, lihat Official Kremlin International News Broadcast , 6 Juli 1992, tersedia di Lexis, News Library. Untuk laporan jurnalistik, lihat David Remnick, “The Trial of the Old Regime”, New Yorker, 30 November 1992, hlm. 104. 68 Lihat Taylor, Anatomy of the Nuremberg Trials, 35-36. Namun, pada akhirnya ada pergeseran ke proses administratif. Lihat bab 5. 69 Proclamation Establishing the Office of Special Prosecutor, pembukaan, No. 221992 Ethiopia, 1992. 22 Dalam pengadilan suksesor lainnya yang diadakan di tingkat nasional, proses pengadilan tidak selalu diarahkan pada jajaran tertinggi, namun terhadap mereka yang bertanggung-jawab karena melakukan pelanggaran terburuk. Kebijakan penghukuman ini bisa menyentuh jajaran terbawah dalam negara represif, hingga para polisi dan anggota militer yang secara langsung melakukan kekejaman. Sebuah contoh penting adalah “pengadilan penyiksa” di Yunani pada tahun 1975. 70 Sebuah contoh lebih mutakhir adalah pengadilan terhadap para penjaga perbatasan di Jerman. Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa terdapat kesulitan untuk menjalankan peradilan suksesor dari perspektif kerangka kejahatan yang biasa. Meskipun kebijakan penghukuman demikian dapat mengidentifikasi dan mengutuk pelanggaran yang dilakukan rezim pendahulu, namun kasus-kasus tersebut menimbulkan dilema kedaulatan hukum yang signifikan. Di satu sisi kasus-kasus tersebut menerapkan nilai keberlakuan hukum secara umum dan setara, namun di sisi lain kasus-kasus itu juga mencoba mencari celah dari aturan ini. Kesetaraan di muka hukum bersifat mutlak; dalam pengadilan terhadap mereka yang terkait dengan pelanggaran di masa lalu, terdapat suatu selektivitas dalam kebijakan pengadilan, yang merupakan dilema sentral dalam penggunaan hukum pidana untuk membangun transisi demokratik. Masalah Tanggung Jawab dalam Transisi Pengadilan suksesor yang dibicarakan di atas menunjukkan bahwa sukar untuk mengkonseptualkan dan menerapkan pemahaman biasa tentang tindakan pidana dalam hukum domestik setelah berakhirnya rezim represif. Karena, peradilan pidana suksesor memunculkan permasalahan tentang siapa yang menjadi subjek kebijakan penghukuman. Apa standar pertanggungjawaban yang tepat digunakan dalam pergantian rezim, dari sentralisasi ke kebebasan individual? Apakah sebaiknya sistem penetapan hukuman mengikuti model pemahaman tanggung jawab yang ada dalam rezim totaliter dan otoriter? Atau hukum harus menjadi transformatif dan mengikuti pemahaman tanggung jawab seperti di negara liberal? Dan sejauh mana hukum pidana memiliki peran dalam pergeseran politik? Pada akhir abad ke-20, ada indikasi bahwa terdapat ekspansi potensi pertanggungjawaban pidana: Setelah Nuremberg, baik pemimpin maupun serdadu sama-sama memiliki tanggung jawab untuk pelanggaran negara. Bagaimana mengkonseptualisasi tanggung jawab dalam hierarki kekuasaan? Sejauh mana seharusnya pemimpin dan bawahan dituntut pertanggungjawaban mereka untuk tindak pidana yang sama? Apakah pembebanan tanggung jawab pidana kepada salah satu berarti bahwa pihak yang lain memiliki tanggung jawab yang lebih kecil; apakah mengadili atasan berarti membebaskan bawahan, dan sebaliknya? Sebagai masalah praktis, pada tingkat pembuktian, terdapat kaitan yang tak dapat dibantah dalam pertanggungjawaban hukum para pemimpin dan bawahan mereka. Tanggung jawab komando dapat dibuktikan dari atas, bergantung pada bukti adanya kebijakan yang melanggar hukum di tingkat atas, atau sebaliknya, bila bawahan merujuk pada pembelaan 70 Di kalangan para analis hak asasi manusia, pengadilan “para penyiksa” Yunani dianggap sebagai model ideal pengadilan suksesor. Lihat Orentlicher, “Settling Accounts”, 2598. Untuk tinjauan mendetail tentang Pengadilan militer Yunani, Lihat Amnesty International, Torture in Greece: The First Torturer’s Trial, 1975, London: Amnesty International, 1877. Untuk pembicaraan tentang pengadilan selektif Yunani, lihat O’Donnell dan Schmitter, Transitions: Tentative Conclusions, 29-30. 23 ketaatan pada perintah atasan, dibuktikan dari bawah, dari bukti adanya kejahatan di tingkat bawah. Aspek problematik dalam keadilan transisional tergambar baik di pengadilan suksesor pasca-perang maupun kontemporer, seperti pengadilan para anggota militer Argentina dan pengadilan Jerman-bersatu yang terkait penembakan di Tembok Berlin. Secara historis, pertanyaan tentang relativitas tanggung jawab terhadap pelanggaran yang dilakukan pemerintah yang represif timbul dari pengadilan nasional Jerman untuk kekejaman yang terkait Perang Dunia Kedua. Kasus-kasus demikian memunculkan masalah bagaimana membebankan tanggung jawab pidana dalam suatu spektrum politik. Sebagai contoh, dalam kasus pembantaian brutal empat ribu orang di dekat perbatasan Lithuania, pengadilan daerah Ulm mengalami kesulitan dalam menentukan tanggung jawab tersangka. Adolf Hitler dan lingkaran terdekatnya dianggap sebagai “pelaku utama” tindakan pemusnahan tersebut, sementara para tersangka dalam kasus itu dianggap sebagai “rekan dalam kejahatan” – yang memberikan kontribusi terhadap tindakan para pelaku utama. Dalam kasus-kasus ini, pengadilan nasional tampaknya memiliki pendekatan zero sum terhadap tanggung jawab pidana, yang pada akhirnya membatasi pertanggungjawaban total terhadap kesalahan di masa lalu. 71 Masalah relativitas tanggung jawab dalam transisi ini tampak jelas dalam pengadilan Jerman-bersatu terhadap penembakan hingga tewas di Tembok Berlin. Selama hampir setengah abad, Tembok Berlin adalah simbol internasional utama represi komunis. Tempat tersebut menyaksikan usaha-usaha untuk melarikan diri ke kebebasan dan penembakan atas perintah negara, menggambarkan totalitas kekangan komunis, dan keruntuhannya melambangkan perubahan politik masif di wilayah tersebut. Setelah runtuhnya tembok tersebut, pertanyaannya adalah bagaimana membebankan tanggung jawab pidana ketika represi dirancang oleh para pemimpin politik namun dilaksanakan oleh para penjaga. Pengadilan terhadap kasus penembakan Tembok Berlin terlihat tidak berimbang, karena banyak penjaga berpangkat rendah diadili sementara tidak ada tuntutan untuk pertanggungjawaban dari pihak-pihak atasan. Dalam kasus utama, dua penjaga dijatuhi hukuman karena melakukan penembakan hingga tewas di perbatasan, meskipun mereka mengaku hanya mengikuti perintah. 72 Penghukuman tersebut sebenarnya merupakan afirmasi terhadap prinsip Nuremberg, yaitu bahwa pembelaan ketaatan pada perintah harus dikalahkan oleh tanggung jawab individual; namun, hal ini tidak didukung dengan penerapan prinsip serupa terhadap para atasan. Meskipun mantan pemimpin Jerman Timur, Erich Honecker dan lima pejabat senior lainnya dituduh mengotaki kebijakan “tembak mati” di perbatasan, hampir semua tuduhan dicabut. 73 Sedikit tuduhan yang menghasilkan keputusan memberikan 71 Rückerl, Investigation of Nazi Crimes, 48, 137. 72 Lihat Judgment of Jan. 20, 1992, Juristenzeitung 13 1992: 691, 692 F.R.G. Landgericht [LG] [Berlin], Stephen Kinzer, “2 East German Guards Convicted of Killing Man as He Fled to West”, New York Times, 21 Januari 1992, rubrik internasional. 73 Meskipun mantan pemimpin komunis, Egon Krenz dan ideolog partai Kirt Hager juga menjadi tertuduh, sukar untuk mendapatkan bukti yang mengaitkan mereka dengan penembakan. Willi Stoph, mantan perdana menteri, dan Erich Mielke, mantan kepala polisi rahasia, dibebaskan dari pengadilan karena alasan kesehatan. Lihat Stephen Kinzer, “Germany Frees Ailing Honecker, Who Flies to Chile”, New York Times, 14 Januari 1993, rubrik internasional. Tuntutan terhadap Honecker kemudian dibatalkan. Streletz, Albrecht dan Kessler, didakwa pada tanggal 16 September 1993, tetapi kemudian dibebaskan dari penjara karena alasan kesehatan. Lihat Rick Atkinson, “3 Ex-East German Officials Sentenced: Former Top Communists Found Guilty in Deaths of Refugees”, Washington Post, 17 September 1993; Leon Mangasarian, “East German Leaders Found Guilty of 24 hukuman minimal. Bila para arsitek utama kebijakan “tembak mati” suatu negara bebas dari tanggung jawab, prinsip tanggung jawab individual menjadi tampak lemah. Pertimbangkanlah mengapa demikian. Kasus penjaga perbatasan ini seharusnya menunjukkan bahwa terdapat kaitan erat antara tanggung jawab komandan dan bawahan untuk kejahatan yang dilakukan dalam pemerintahan yang represif secara sistematis. Dilema tanggung jawab individual ini harusnya diselesaikan dengan membebankan tanggung jawab yang sama kepada dalang maupun pelaku. Dilema pasca-totaliter yang dijelaskan di atas juga tampak dalam transisi lainnya. Setelah pemerintahan militer, bagaimana mengkonseptualisasi tanggung jawab hukum para komandan dan bawahan untuk kekejaman dalam negara polisi? Bila satu orang memerintahkan orang lain untuk melakukan kejahatan, siapa “pelaku” kejahatan tersebut? Inilah pertanyaan utama dalam pengadilan suksesor di Argentina terhadap junta militernya. Teori “tanggung jawab bersama” yang diajukan oleh pengadilan tingkat rendah menganggap bahwa tanggung jawab atasan sama tingginya dengan tanggung jawab bawahan untuk pelanggaran yang sama, menurut doktrin “kendali tindakan” yang berasal dari Jerman, yang membebankan tanggung jawab pidana kepada pelaku langsung maupun tidak langsung. Maka, junta tersebut dianggap bertanggung-jawab atas perannya sebagai perencana dan pemberi perintah penyiksaan dan penghilangan, sebagai “pelaku tidak langsung”, sementara orang- orang lain yang terlibat dianggap sebagai “pelaku langsung”. 74 Namun, setelah banding, “tanggung jawab bersama” ini dimodifikasi oleh Mahkamah Agung yang berusaha untuk menerapkan pemahaman normal tentang tanggung jawab pidana terhadap kejahatan aparat represi. “Keberadaan pada saat yang sama dua tingkat tanggung jawab kejahatan tidak memiliki dasar,” menurut Mahkamah Agung, karena jika seseorang bertanggung-jawab terhadap terjadinya suatu kejahatan, ia memiliki “kendali tindakan”, sehingga tidak ada tanggung jawab sebagai pelaku “tidak langsung” pada posisi komandan. Dengan demikian, para komandan dianggap sebagai “rekan dalam kejahatan” penindasan. 75 Karakterisasi tanggung jawab pidana ini tampak aneh, karena para pelaku utama represi negara malah dianggap sebagai agen. Preseden junta mengabaikan signifikansi peran Wall Killings but Set Free, UPI, 16 September 1993, tersedia di Lexis, News Library, arsip UPI. Egon Krenz diadili bersama lima anggota politbiro lainnya atas tuduhan pembunuhan dalam peristiwa Tembok Berlin. Krenz dijatuhi vonis pada bulan Agustus 1997 untuk enam setengah tahun penjara. Dua pejabat tinggi politbiro lainnya masing masing dihukum tiga tahun. Lihat “Senior East German Officers Jailed for Berlin Wall Killings”, Deutscher Presse Agentur , 26 Maret 1998, tersedia di Lexis, News Library. “Hingga tahun 1997, terdapat 50 kasus yang dibawa ke pengadilan terhadap sekitar 100 serdadu, perwira dan pejabat pemerintah yang dituduh berkaitan penembakan di Tembok Berlin. Dari jumlah itu, 55 telah mendapatkan vonis. Hampir semua mendapatkan hukuman yang singkat atau ditunda. Edmund Andrews, “Honecker’s Succesor Jailed for Wall Killings”, International Herald Tribune, 26 Agustus 1997, tersedia di Lexis, News Library. Untuk diskusi doktrinal tentang kasus-kasus ini, lihat German Yearbook of International Law 36 Berlin, 1993: 41. Untuk laporan jurnalistik, lihat Rosenberg, Haunted Land. 74 Proses peradilan terhadap Jorge R. Videla et al. semula diajukan kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata mengikuti Dekrit No. 158. Judgment of December 9, 1986 bagian 308-314 Federal Criminal and Correctional Court of Appeals, Federal District of Buenos Aires, sebagaimana diterjemahkan dan dicetak ulang dalam Alejandro M. Garro dan Henry Dahl, “Legal Accountability of Human Rights Violations in Argentina: One Step Forward and Two Steps Backward”, Human Rights Law Journal 8 1978: 417-18. Lihat Paula K. Speck, The Trial of Argentine Junta: Responsibilities and Realities,” Inter-American Law Review 18 1987: 491. 75 Judgment of December 30, 1986 bagian 23-29, 48-49 Mahkamah Agung Argentina, Buenos Aires. Sebagaimana diterjemahkan dan dicetak ulang dalam Garro dan Dahl, “Legal Accountability for Human Rights Violations in Argentina,” 435-39. 25 pejabat tinggi dalam penindasan. Terlebih lagi, dampak dari pandangan ini amat kuat. Meskipun para komandan tersebut hanya diancam untuk hukuman yang ringan, pengadilan mereka sebagai “aktor tidak langsung” tampaknya memungkinkan pembatasan tanggung jawab pada tingkat bawah, yang pada akhirnya dapat melemahkan kebijakan pengadilan tersebut. Pengakuan terhadap tanggung jawab para komandan sebagai pelaku kebijakan penindasan mendorong pembelaan “ketaatan pada perintah” oleh para bawahan, dan menghindarkan diri dari tanggung jawab individual. Setelah perlawanan keras dari milter terhadap proses pengadilan tersebut, pembelaan ketaatan pada perintah ini dihidupkan kembali sebagai cara untuk membatasi jumlah potensial kasus yang dibawa ke pengadilan, dan hanya memungkinkan tindakan “amat kejam” yang melangkahi perintah yang diberikan. Pada akhirnya, proses pengadilan terhadap kasus-kasus demikian pun dihentikan. Kegagalan program pengadilan suksesor di Argentina menggambarkan konsekuensi berisiko dari usaha untuk memberikan hukuman dalam konteks ekspansi pemahaman tanggung jawab kontemporer, namun dalam kondisi transisional. Tanpa prinsip pembatasan yang jelas, sebagian besar anggota angkatan bersenjata negara tersebut terancam untuk diajukan ke pengadilan, suatu bayangan yang menimbulkan instabilitas, sehingga pada akhirnya, menghasilkan pemgampunan dan amnesti sistemik. 76 Kebijakan pengadilan Argentina setelah masa pemerintahan militer sebenarnya rentan karena bermula pada junta militer yang memerintah, namun terhenti pada jajaran bawah. Demikian pula, kebijakan pengadilan Jerman setelah komunisme juga rentan karena gagal mengadili mereka yang berada di jajaran atas. Kedua pengalaman pengadilan suksesor ini menunjukan kesukaran untuk membangun pesan normatif perubahan menuju liberalisasi. Penuntutan tanggung jawab individual untuk kejahatan yang dilakukan dalam kerangka represi sistemik menimbulkan dilema pertanggungjawaban. Pertanyaannya adalah kepada siapa dibebankan pertanggungjawaban setelah represi yang sistemik. Praktik suksesor yang dibicarakan di sini menunjukan bahwa kejahatan sistemik tidak bisa dijawab dengan pemahaman normal tentang tanggung jawab pidana dan prinsip pemandu yang relevan. Tindakan kesalahan secara sistemik terjadi dalam spektrum kekuasaan dari pemimpin hingga bawahan, menyulitkan pemberian sanksi pidana. Pada akhirnya, tingkat pertanggungjawaban yang tepat harus didapatkan dari kebijakan yang memiliki andil terhadap pelanggaran, yang mencirikan represi kontemporer. Sanksi Pidana Terbatas Praktik transisional selama setengah abad terakhir menunjukan bahwa selalu terdapat masalah peradilan yang ditimbulkan dari pergeseran norma paradigmatik yang mencirikan transisi. Kompromi terhadap keadilan ini memberikan batasan sekaligus memungkinkan pelaksanaan kekuasaan penghukuman dalam transisi. Meskipun terdapat ekspansi dramatik dalam pertanggungjawaban pidana pada tingkat abstrak, pelaksanaannya masih tertinggal jauh. Praktik suksesor menunjukan suatu pola penyelidikan pidana yang dilanjutkan proses pengadilan, namun dengan sanksi yang ringan atau tidak ada sama sekali. Sementara hukuman 76 Untuk tinjauan tentang bagaimana militer menyatukan kekuatan untuk melawan ancaman hukuman, lihat Jaime Malamud-Goti, “Trying Violators of Human Rights: The Dilemma of Transitional Democratic Governments”, dalam State Crimes: Punishment of Pardon, Queenstown, Md: Aspen Institute, 1989, 71-88. 26 secara umum dikonseptualkan sebagai praktik tunggal yang mencakup proses penentuan dan penghukuman kesalahan, dalam sanksi pidana transisional, elemen-elemen penentuan dan pemberian sanksi menjadi terpisah satu sama lain. Proses pidana parsial yang menyusul, yang dikenal sebagai sanksi “terbatas” adalah yang membedakan peradilan pidana dalam transisi. “Sanksi pidana terbatas” mencakup proses pengadilan yang belum tentu berpuncak pada pemberian hukuman maksimum. Dalam sanksi terbatas, tahap-tahap penentuan kesalahan dan pemberian sanksi dipisahkan. Bergantung pada batasan proses pemberian sanksi, penyidikan bisa berakhir pada tuduhan, ajudikasi atau vonis. Terlebih lagi, vonis yang diberikan biasanya ringan atau tanpa hukuman. Jadi, dalam masa transisi, sanksi pidana sering kali dibatasi pada penyelidikan untuk membuktikan kesalahan. Pemberian keputusan tentang adanya tindakan salah, bukan terhadap tertuduh ini merupakan ciri dari beberapa negara yang menganut hukum sipil. 77 Jadi, di Jerman, badan pengadilan memiliki tugas independen berupa Aufklärungspflicht , “penyelidikan atau klarifikasi”, tentang adanya tindakan salah, yang terpisah dari kebersalahan tertuduh. 78 Namun, sanksi pidana terbatas melangkah lebih jauh dalam peradilan transisional yang khas pada kondisi transisional. Pembatasan sanksi pidana dalam transisi tergambarkan dalam sejarah: pada pengadilan pasca-perang Dunia Pertama, 79 dalam kasus-kasus Perang Dunia Kedua, dan pengadilan pasca-kekuasaan militer di Eropa Selatan, dan juga peradilan pidana suksesor kontemporer di Amerika Latin dan Afrika, dan yang paling mutakhir, gelombang perubahan politik di Eropa Tengah setelah keruntuhan Soviet. Peradilan suksesor pasca-Perang Dunia Kedua merupakan contoh baik pemberian sanksi pidana terbatas, meskipun ini adalah sisi yang kurang terkenal dari pemahaman keadilan pasca-perang ini. Setelah diadakan Tribunal Militer Internasional dan ketika pengadilan Allied Control Council No. 10 masih berjalan, terdapat perubahan kebijakan penghukuman. Antara tahun 1946 hingga 1958, suatu proses peninjauan dan pengampunan berakhir dengan pengurangan sanksi secara besar-besaran bagi para penjahat perang Jerman. Banyak orang yang dijatuhi hukuman dalam pengadilan Control Council No. 10 oleh otoritas pendudukan praktis tidak dihukum, melalui program pengampunan yang diawasi Komisioner Tinggi Amerika Serikat, John McCloy. 80 Urutan serupa dapat diamati pada pengadilan nasional Jerman. Dari lebih dari 1000 kasus yang diadili antara tahun 1955 dan 1969, kurang dari 100 terdakwa dijatuhi hukuman seumur hidup, dan kurang dari 300 mendapat hukuman yang lebih ringan. 81 Bertahun-tahun kemudian, urutan serupa terjadi pula dalam transisi Eropa Selatan. Pengadilan terhadap polisi militer di Yunani berakhir dengan hukuman yang singkat atau dapat dikurangi. Posisi pemerintah adalah bahwa pengadilan dan pendakwaan sudah memenuhi keadilan, dan sebaliknya, “pada tahap akhir, tanggung jawab politis yang tinggi 77 Lihat John Merryman, The Civil Law Tradition, Stanford University Press, 1985. 78 Lihat § 155 II StPO pengadilan diwajibkan bertindak secara independen. Lihat German Code of Criminal Procedure, Vol. 10 C, “Principles of Proof”, John H. Langbein, Comparative Criminal Procedure: Germany, St. Paul: West Publishing, 1977. 79 Lihat Sheldon Glueck, War Criminals: Their Prosecution and Punishment, New York: Knopf, 1944, 19-36, untuk tinjauan sejarah tentang tindakan yang diambil terhadap penjahat perang Jerman menurut Perjanjian Versailles. Lihat juga James P. Willis, Prologue to Nuremberg: The Politics and Diplomacy of Punishing War Criminals of the First World War , Westport, Conn: Greenwood Press, 1982, 116-39, 174-76 membicarakan usaha penghukuman pasca-Perang Dunia Pertama. 80 Lihat Frank M. Buscher, The U.S. War Crimes Trial Program in Germany, 1946-1955, New York: Greenwood Publishing Group, 1989, 62-64. 81 Lihat umumnya Herz ed., From Dictatorship to Democracy. 27 harus diutamakan”. 82 Pola serupa tampak dalam transisi dari pemerintahan militer di Amerika Latin. Segera setelah dekade 1980-an, pengadilan junta militer Argentina mulai melakukan batasan terhadap pengadilan lebih lanjut, dan memberikan pengampunan. 83 Sementara pada awal transisi militer diancam oleh hukuman, secara progresif ancaman tersebut dikikis – pertama melalui pengampunan oleh presiden, dan kemudian melalui keputusan legislatif yang membatasi jurisdiksi dan memberikan amnesti umum blanket amnesty. Pada akhirnya, pengampunan presiden diberikan secara luas kepada semua orang yang dituduh melakukan kekejaman, termasuk para pemimpin tertinggi junta militer. Amnesti diterima sebagai hal yang umum di seluruh wilayah benua tersebut, misalnya di Cili, Nikaragua dan El Salvador, yang dampaknya akan dibicarakan lebih lanjut dalam bab ini. Kisah ini terulang lagi dalam pengadilan suksesor setelah keruntuhan komunis. Sepuluh tahun setelah revolusi, dan di seluruh wilayah Eropa, terlihat penerapan sanksi yang terbatas. Dalam pengadilan penjaga perbatasan Jerman, penangguhan penjatuhan hukuman menjadi norma, 84 demikian pula di Republik Ceko. Di Romania, para mantan pemimpin komunis dan polisi yang dipenjara berkaitan dengan pembantaian pada bulan Desember 1989 dibebaskan dalam jangka waktu dua tahun, baik karena alasan kesehatan atau karena pengampunan dari presiden. Di Bulgaria, usaha terpenting untuk melakukan penghukuman gagal; Todor Zhivkov tidak menjalani hukumannya untuk kasus pencurian, sementara orang- orang lainnya mendapatkan pengampunan. Di Albania, sebuah hukum amnesti memberikan kekebalan bagi banyak mantan pemimpin rezim lama yang dihukum untuk penyalahgunaan kekuasaan, termasuk presiden komunis terakhir negara itu. Selama sekitar lima tahun transisi di wilayah tersebut, arah perkembangan menunjukkan lemahnya penerapan tahap terakhir kebijakan penghukuman ini. Sebagaimana terlihat dari sejarah, terdapat batasan de facto terhadap sanksi pidana. Fenomena yang sama terlihat di wilayah-wilayah lainnya. Di Korea Selatan pasca- kediktatoran, para presiden yang didakwa melakukan korupsi akhirnya diampuni setelah 82 Amnesty Internasional, Torture in Greece, 65. Diamandouros, “Regime Change and the Prospects for Democracy in Greece: 1974-1983”, 138-64, 161. 83 Lihat “Argentine Seeks Rights-Trial Curb: Alfonsin Urges a Time Limit on Prosecution for Abuses under Military Rule”, New York Times, 6 Desember 1986, rubrik internasional. Lihat juga “200 Military Officers Are Pardoned in Argentina”, New York Times, 8 Oktober 1989, rubrik internasional, hlm. 12. Tentang gelombang kedua pemberian pengampunan, lihat Shirley Cristian, “In Echo of the ‘Dirty War’ Argentines Fight Pardons”, New York Times , 28 Desember 1990, rubrik internasional, hlm. A3. Lihat juga Americas Watch, Truth and Justice in Argentina: An Update , New York: Human Rights Watch, 1991; Carlos Nino, “The Duty to Punish Past Abuses of Human Rights Put into Context: The Case of Argentina”, Yale Law Journal 100 1991: 1619. Perkembangan terakhir di Argentina bertentangan dengan gejala ini. Lihat “President Says He Won’t Veto Repeal of Amnesty Laws”, Agence France-Presse, Buenos Aires, 26 Maret 1998; Marcela Valente, “Rights-Argentina: Dissatisfaction with Repeal of Amnesty Laws”, Inter Press Service, Buenos Aires, 25 Maret 1998. 84 Untuk tinjauan tentang kasus penjaga perbatasan, lihat Micah Goodman, “After the Wall: The Legal Ramifications of the East German Border Guard Trials in Unified Germany”, Cornell International Law Journal 29 1996: 727. Lihat juga “Former Albanian President Has Sentence Cut by Three Years”, Agence France Presse , 30 November 1994, tersedia di Lexis, News Library, arsip AFP; Henry Kamm, “President of Albania Rebuffed on Charter”, New York Times, 1 Desember 1994, tersedia di Lexis, News Library; “28 Communist Officials Tried for Antoconstitutional Activity”, CTK National News Wire, 21 September 1994, tersedia di Lexis, News Library, arsip CTK vonis terhadap mantan menteri keuangan Cekoslowakia Zak dan Ler; “Romanians Protest over Communist Bosses Release”, Reuters World Service, 21 September 1994, tersedia di Lexis, News Library, arsip Reuters. 28 sebentar menjalani hukuman. Di Cili, meskipun terdapat hukum yang mengecualikan militer dari pengadilan, pengecualian ini bersyarat pada kerja sama para perwira tersebut dalam penyelidikan pidana yang berkaitan dengan pelanggaran pada masa pemerintahan militer. 85 Ancaman sanksi langsung dihilangkan asal mereka bersedia mengaku melakukan kesalahan. Hal yang sama juga terjadi di Afrika Selatan pasca-apartheid: pemberian amnesti terhadap kejahatan politik masih memberikan kesempatan untuk penyelidikan terhadap pelanggaran di masa lalu dan melakukan proses pengadilan yang terbatas. 86 Respon hukum kontemporer lainnya, seperti tribunal internasional ad hoc yang dibentuk untuk mengadili genosida dan kejahatan perang, mencerminkan perkembangan yang serupa. Tribunal pidana internasional yang dibentuk untuk mengadili kekejaman yang terjadi di bekas Yugoslavia dan Rwanda menunjukkan pemahaman terhadap sanksi terbatas ini. 87 Usaha untuk mencapai keadilan dalam perdamaian yang rapuh memiliki konsekuensi signifikan untuk penerapan hukum pidana secara efektif, yaitu kemungkinan untuk melakukan pengadilan dan memberikan sanksi, sehingga membatasi sanksi pidana dalam kondisi demikian. Misalnya, ketiadaan proses penahanan terhadap tertuduh, dan ketiadaan kendali terhadap bukti dan adanya batasan yang terkait dengan pengadilan kejahatan perang, menyebabkan tribunal internasional sering kali tidak memiliki pilihan selain melakukan penyelidikan dan mengajukan tuduhan – dan hanya sampai di situ. Jadi proses internasional tersebut menimbulkan suatu model baru: suatu prosedur gabungan antara tuduhan dan dakwaan yang mencerminan sanksi terbatas. Dalam prosiding superindictment dakwaan paling berat yang disediakan dalam aturan-aturan tribunal, semua bukti yang tersedia dikumpulkan dan dibacakan secara publik, 88 dan dakwaan tersebut dikonfirmasi, meskipun si tertuduh tidak hadir, dan dengan demikian secara terbuka menentukan kebenaran tentang peristiwa yang dipermasalahkan dan mengutuknya. Proses ini memungkinkan penentuan kesalahan di balik pelanggaran tersebut, dan juga mengesahkan keputusan yang formal dan publik. Peradilan Pidana Terbatas dan Konstruksi Transisi Pertimbangkanlah signifikansi sanksi pidana terbatas bagi transisi politik. Mengapa, meskipun dengan hasil terbatas dari pengadilan suksesor yang dibahas di muka, tetap ada persepsi umum 85 Lihat Human Rights Watch Americas, Unsettled Business: Human Rights in Chile at the Start of the FREI Presidency , New York: Human Rights Watch, 1994, 1-4. 86 Lihat Azanian Peoples Organisation AZAPO and Others v. President of the Republic of South Africa and Others, 1996 8 BCLR 1015 CC menjunjung konstitusionalitas undang-undang amnesti; Lourens du Plessis, “Amnesty and Transition in South Africa”, dalam Alex Boraine et al. eds., Dealing with the Past: Truth and Reconciliation in South Africa, Cape Town: Institute for Democracy in South Africa, 1994. 87 Tribunal tersebut dibentuk untuk tujuan “pengadilan terhadap orang-orang yang bertanggung-jawab terhadap pelanggaran serius hukum kemanusiaan internasional yang dilakukan di wilayah bekas Yugoslavia sejak tahun 1991. Lihat Report of the Secretary-General Pursuant to Paragraph 2 of the U.N. Security Council Resolution 808, S25704 1993. 88 Lihat International Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of International Humanitarian Law Committed in the Territory of Former Yugoslavia Since 1991: Rules for Procedure and Evidence, aturan 61, dicetak ulang dalam International Legal Materials 33 1994: 519. Istilah superindictment digunakan untuk kepentingan internal tribunal. Lihat Graham Blewitt, wakil penuntut untuk Tribunal Yugoslavia, wawancara dengan penulis, Waldorf Astoria Hotel, New York, 7 April 1995. 29 bahwa di Tribunal Nuremberg, Pengadilan Militer Yunani, dan Pengadilan Federal Buenos Aires, keadilan telah tercapai? Meskipun tidak diberi hukuman maksimum, sanksi pidana transisional tampaknya menjadi simbol kedaulatan hukum. Intuisi kita tentang pemberian hukuman adalah dengan menjustifikasikannya dalam keterkaitannya dengan pelanggaran spesifik dan hukuman terhadap pelaku individual, sementara sanksi pidana terbatas dijustifikasi secara umum untuk tujuan-tujuan yang melampaui kejahatan spesifik, dalam kondisi transisional. Sementara intuisi kita adalah bahwa sifat dan peran sanksi pidana itu kaku, dan stabilitas dianggap sebagai norma inti kedaulatan hukum, sanksi transisional menunjukkan peran dinamik peradilan pidana dalam memajukan perubahan normatif. Praktik pemberian hukuman dalam masa-masa ini memajukan kepentingan transformasi dalam kondisi transisi. Dalam sanksi pidana terbatas, hukum memediasi transisi. Tujuannya adalah untuk melihat ke belakang dan ke depan, retrospektif dan prospektif, diskontinu dan kontinu. Pemisahan dari rezim pendahulu diajukan dengan praktik-praktik pemberian hukuman; mengadili kesalahan pendahulu berarti meninggalkan kesalahan-kesalahan tersebut. Bahkan bila masalah pertanggungjawaban untuk kejahatan masa lalu tidak sepenuhnya diselesaikan, penentuan kejahatan-kejahatan di masa lalu dapat memajukan tujuan-tujuan penting yang berkait dengan pemberian hukuman, seperti klarifikasi kejahatan lama yang menimbulkan kontroversi. 89 Sanksi terbatas memungkinkan penyelidikan dan pengutukan terhadap kejahatan masa lalu. Proses pidana dipergunakan untuk menyelidiki, menentukan dan mengutuk kesalahan dengan signifikansi lebih luas daripada sekadar kontroversi khusus antara para pelaku suatu pelanggaran tertentu dan korbannya, ke seluruh masyarakat luas yang mengalami pergolakan politik. Fungsi klarifikasi dari penyelidikan pidana transisional, yaitu tujuan “epistemik”-nya, berasal dari arti “penuntutan” prosecution dari abad ke-16, yaitu untuk mengetahui fakta secara jelas, untuk memperoleh detail-detail dari suatu permasalahan. 90 Penyelidikan pidana formal memungkinkan penemuan fakta tentang suatu kejahatan yang kontroversial, dilakukan dalam proses pidana dengan standar pengetahuan yang tinggi dan melalui prosedur publik yang formal. Pada masa gejolak politik, pelanggaran yang dilakukan pada masa pemerintahan sebelumnya memiliki dimensi publik yaitu kebijakan negara, sehingga penyelidikan pidana memungkinkan sebuah negara untuk membangun masa lalu negara yang disepakati bersama melalui ritual publik kolektif. Dan, meskipun pengetahuan yang didapatkan dari catatan pengadilan atau penyelidikan pidana tampaknya lebih terbatas daripada pencatatan sejarah yang lebih mendetail, ia masih tetap berguna dalam masa transisi. Peradilan pidana transisional memungkinkan suatu bentuk penyelidikan yang sangat terkendali dan terbatas terhadap masa lalu. Melalui proses pengajuan tuntutan, rezim suksesor di suatu negara secara efektif mengendalikan arah penyelidikan sejarah, menjelaskan masa lalu politik yang gelap dari suatu negara. Bahkan dalam bentuknya yang terbatas, sanksi pidana transisional memajukan kepentingan untuk menentukan dan mengutuk pelanggaran di masa lalu. Sanksi transisional yang terbatas ini menawarkan resolusi pragmatis terhadap dilema utama transisi, yaitu masalah pertanggungjawaban individual untuk pelanggaran sistemik yang dilakukan pada masa pemerintahan terdahulu yang represif. Timbulnya sanksi terbatas ini 89 Lihat Joel Feinberg, Doing and Deserving – Essays in the Theory of Responsibility, Priceton: Princeton University Press, 1970. Lihat juga Joel Feinberg, Rights, Justice, and the Bounds of Liberty, New York: Oxford University Press, 1084. 90 Lihat Oxford English Dictionary, edisi kedua, pada entri “prosecution”. 30 menunjukkan cara pikir yang lebih fleksibel tentang apa kegunaan penghukuman, dengan menunjukkan kesalahan tanpa harus membebankan kesalahan atau hukuman. Sementara dalam teori penghukuman penal theory yang umum, justifikasi retributif yang berkaitan dengan hukuman dianggap sebagai praktik yang menyatu-padu, sanksi dalam transisi mendorong pemikiran kembali tentang teori penghukuman dan justifikasinya dengan mengaitkannya lebih dekat dengan berbagai tahapan dalam proses pidana. Sanksi transisional menunjukkan cara alternatif untuk pemikiran ide retributif. 91 Meskipun sanksi transisional dicirikan oleh keterbatasan hukuman, pengalaman di atas menunjukkan bahwa tujuan utama, yaitu penjatuhan hukuman, dapat dicapai dengan pemberian hukuman yang ringan – bahkan simbolis. Tujuan retributif utama yang diajukan oleh proses kriminal yang terbatas adalah pengakuan dan stigmatisasi kejahatan di masa lalu. Pengutukan terhadap kejahatan di masa lalu memiliki dimensi transformatif. Kejahatan yang secara terbuka diungkap dan dijelaskan penanggung-jawabnya, dapat mengisolasi pelakunya dan membebaskan masyarakat secara kolektif melalui proses transformasi yang terukur. Tindakan sederhana mengungkap kejahatan dapat menstigmatisasikan dan mendiskualifikasi mereka yang bertanggung-jawab dari lingkup publik dan privat, jabatan kepemimpinan politik atau semacamnya dalam rezim yang baru. Pengungkapan demikian secara tegas mengkonstruksikan pelanggaran-pelanggaran ke dalam lingkup publik dan membebankan tanggung jawab terhadap peristiwa-peristiwa tersebut pada rezim pendahulu. Pada kondisi perubahan politik yang radikal, beberapa tujuan yang dicoba dicapai oleh proses pidana konvensional dapat dicapai dalam bentuknya yang lebih terbatas. Sanksi terbatas ini mencakup pula sanksi kemasyarakatan civil sanction, yang dibicarakan lebih lanjut pada bab 5. Kegunaan sanksi terbatas memberikan pelajaran bagaimana tanggung jawab pidana dikonseptualkan dalam konteks transisional. Meskipun kita lazimnya menjustifikasi hukuman dengan merujuk tindakan yang dilakukan oleh tersangka pelakunya, 92 dalam masa transisi, pertanyaannya adalah apakah ada teori tanggung jawab individual yang bisa menjembatani pergerakan dari rezim represif ke rezim yang lebih liberal. Sanksi transisional yang terbatas merupakan jembatan tersebut. Ketiadaan hukuman atau sanksi yang berat menunjukkan pemahaman yang lebih kompleks tentang tanggung jawab pidana dalam penerapan prinsip tanggung jawab individual dalam konteks pertanggungjawaban pidana yang dikaitkan dengan kejahatan sistemik dalam pergeseran dari pemerintahan represif. Pengakuan terhadap batasan tanggung jawab individual didapatkan dengan peniadaan aspek penghukuman dalam proses. Penerimaan secara umum pengurangan atau peniadaan hukuman dalam masa-masa demikian menunjukkan pengakuan terhadap berkurangnya tingkat kesalahan dan tanggung jawab pidana yang terkait yang diasosiasikan dengan pemerintahan non-demokratik, dengan dampaknya terhadap penerapan prinsip-prinsip tanggung jawab hukum dalam transisi. Akhirnya, ketika institusi dan proses peradilan pidana tidak memiliki legitimasi yang biasanya dikaitkan dengan kedaulatan hukum, model pidana parsial paling tidak menunjukkan bahwa atribut-atribut kedaulatan hukum tetaplah berlaku. Sanksi terbatas memberikan solusi praktis terhadap dilema transisi yang ditimbulkan oleh penggunaan hukum pidana untuk mengadakan pergeseran normatif yang dikaitkan dengan pemerintahan yang lebih liberal. 91 Lihat Sanford H. Kadish, “Foreword: The Criminal Law and the Luck of the Draw”, Journal of Criminal Law and Criminology 84 musim dinginsemi 1994: 679, 698. 92 Lihat umumnya Hart, Punishment and Responsibility. 31 Amnesti Transisional Praktik-praktik yang dibicarakan di sini mengarah pada pemberian pengampunan dalam respon hukum pidana terhadap kejahatan negara dalam rezim lama. Bahkan, pembatasan proses pidana sering kali terlihat dalam pemberian amnesti umum terhadap kejahatan negara masa lalu: amnesti transisional. Bahkan, pergeseran politik kontemporer menunjukkan paling tidak pada suatu tingkat deskriptif, adanya kaitan antara transisi dan amnesti. Dilema tentang apakah perlu dilakukan penerapan hukum pidana tidak timbul dengan sendirinya, namun setelah perang, pertikaian internal, kediktatoran, atau pemerintahan represif lainnya, dan pada saat demikian, transisi sering kali timbul dari negosiasi, dan dalam konteks ini, peradilan pidana sering kali menjadi alat tawar-menawar, dengan kesepakatan untuk memberikan amnesti sebagai syarat untuk meliberalkan tatanan politik. Jadi, dari awal mula, amnesti memiliki peranan dalam mendorong transformasi politik. Dilema Perdamaian atau Keadilan Pertimbangkanlah bagaimana usaha pencapaian perdamaian dan rekonsiliasi sesuai dengan usaha pencapaian keadilan. Bagaimana mendamaikan kedua tujuan tersebut? 93 Dilema perdamaian atau keadilan memiliki banyak bentuk dalam transisi, baik dikaitkan dengan perang, konflik internal atau pergantian rezim. Mungkin contoh terjelas ketegangan yang ditimbulkan dari usaha untuk mencapai perdamaian atau keadilan tampak pada saat perang atau tepat setelah selesainya; selama masa permusuhan, sering kali terdapat pertentangan antara kedua tujuan tersebut, karena ancaman pertanggungjawaban pidana membayangi kelancaran pembicaraan perdamaian. Dilema ini tampak jelas dalam perdebatan historis Perang Dunia Kedua tentang persidangan penjahat perang yang kemudian akan diadakan di Nuremberg. Hal ini muncul lagi dalam perdebatan kontemporer tentang pengadilan kejahatan perang berkaitan dengan pertikaian di wilayah bekas Yugoslavia. 94 Konflik Balkan secara lugas menunjukkan dilema yang timbul dalam pelaksanaan usaha-usaha untuk mencari keadilan dan perdamaian secara bersamaan. Misalnya, timbul masalah paradoksal untuk mengadili para pimpinan politik yang melakukan kejahatan perang sementara mereka adalah rekan dalam perundingan dalam kerangka PBB. Pertanyaan ini menjadi semakin penting dengan terbitnya tuduhan internasional terhadap pemimpin Serbia Bosnia, Radovan Karadzic, dan komandan militernya, Ratko Mladic, meskipun kerja sama mereka dalam perundingan perdamaian masih tetap diharapkan. Di satu pihak, keadilan tidak boleh mengalah pada politik, dan karena itu muncullah tuduhan tersebut, namun bila perundingan damai berakhir dengan amnesti, akan terdapat anggapan bahwa hal itu merupakan hasil politisasi. Contoh ini menggambarkan pandangan pro dan 93 Untuk diskusi tentang kaitan peradilan pidana internasional dengan perdamaian dalam konteks konflik Balkan, lihat Ruti Teitel, “Judgment at the Hague”, East European Constitutional Review 5, No. 4 musim gugur 1996. 94 Lihat Elaine Sciolino, “U.S. Names Figures to Be Prosecuted over War Crimes”, New York Times, 17 Desember 1992, rubrik internasional; Roger Cohen, U.N. in Bosnia, Black Robes Clash with Blue Hats”, New York Times , 23 April 1995, hlm. A3. 32 kontra terhadap peradilan pidana dalam transisi. Jika penjahat perang bukanlah pihak yang sah dalam perundingan perdamaian, sejauh mana peradilan pidana dilaksanakan dalam masa perang? Sementara melanjutkan perundingan damai dengan tertuduh atau terdakwa penjahat perang di tengah-tengah dilaksanakannya usaha pencarian keadilan bisa dianggap sebagai usaha pembujukan politik. Sebaliknya, memulai proses pengadilan pada kondisi demikian bisa memberikan dampak buruk pada usaha pencapaian keadilan, menandakan standar hak asasi manusia yang rendah. Namun, tetaplah ada peran bagi keadilan dalam pertikaian, meskipun sering kali tidak dapat dikonkretkan. Pembicaraan saja tentang proses peradilan bisa berperan sebagai penggentar dalam konflik tertentu: misalnya, sidang Prancis mengenai pengadilan tentara Jerman pada masa Perang Dunia Pertama; 95 demikian juga ancaman hukuman yang dikeluarkan pada masa Perang Dunia Kedua. Ketika pihak Sekutu menyadari adanya kekejaman, sebelum perang berakhir, Deklarasi Moskow memberikan peringatan bahwa Sekutu akan “mengejar mereka yang bersalah hingga ke ujung dunia dan menyeret mereka ke depan meja pengadilan”. 96 Hingga sejauh mana peringatan keras ini memiliki nilai penggentar? Pertanyaan ini menjadi penting dalam ancaman pemberian hukuman yang lebih kontemporer di Balkan, karena tetap saja terjadi pelanggaran seperti pembantaian di Srebrenica. Ketika pertikaian hendak berakhir, hal lain dalam dilema perdamaian atau keadilan muncul pula. Terutama dalam “keadilan sang pemenang”, seperti pengadilan pasca-perang, sering diperlukan pengimbangan kepentingan perdamaian dan keadilan. Konflik antara kedua kepentingan itu tampak dalam tuntutan yang diformulasikan dalam pengadilan pasca-perang, seperti di Nuremberg, di mana individu dituduh bertanggung-jawab untuk melakukan pelanggaran “perang agresif”. Konsepsi dominan tentang pelanggaran pidana di Nuremberg dalam konteks perang atau damai menggarisbawahi sasaran ganda pengadilan tersebut untuk mencapai keadilan dan perdamaian. 97 Namun, alih-alih penggunaan peradilan pidana untuk mecapai keadilan, jauh lebih banyak terlihat penggunaan pengampunan oleh kekuasaan pidana untuk memajukan transisi politik. Amnesti dalam Demokrasi Pengalaman historis maupun kontemporer menunjukkan kaitan erat antara amnesti dan transformasi liberal. Amnesti transisional sering mendahului, atau menyertai perubahan politik menuju ke arah liberal. Sebuah gambaran dari masa kuno tampak dalam konstitusi Athena tentang rekonsiliasi setelah kekalahan Athena dalam Perang Peloponesia. Pemerintahan oligarki transisional dan pengembalian demokrasi meskipun bukan demokrasi dalam arti modern menimbulkan pertanyaan tentang apakah, dan sejauh mana, perlu diadakan penghukuman terhadap rezim despotik sebelumnya. Peristiwa rekonsiliasi kuno ini dilaksanakan dengan kesepakatan berikut ini: “[T]idak seorang pun boleh mengingat pelanggaran masa lalu oleh siapa pun kecuali yang Tiga Puluh, Sepuluh, Sebelas dan para 95 Lihat Jacques Dumas, Les Sanctiones Penales des Crimes Allemands, Paris: Rousseau et cie., 1916. 96 “The Moscow Declaration on German Atrocities, 1943”, dicetak ulang dalam Falk, Kolko dan Lifton eds., Crimes of War, 73. 97 Untuk tinjauan tentang usaha keras untuk mengajukan tuntutan tentang perang agresif, lihat Taylor, Anatomy of the Nuremberg Trials, 37-39. 33 pemimpin Piraeus, dan bahkan tidak seorang pun dari mereka ini bila mereka berhasil dibawa ke tingkat penyelidikan.” Dalam contoh klasik ini, pergeseran dari peperangan dan pemerintahan tirani ke demokrasi dilakukan dalam amnesti luas, namun tidak universal. Terdapat batasan penting terhadap amnesti: “Pengadilan terhadap pembunuhan harus dilakukan sesuai dengan tradisi dalam kasus apabila seseorang telah membunuh atau melukai orang lain.” 98 Dalam mengecualikan kasus yang memungkinkan pembalasan dendam, atas alasan pribadi atau keagamaan, parameter amnesti tersebut dibatasi pada kasus yang memiliki kaitan politik. Sebagaimana akan terlihat, syarat-syarat dalam amnesti kuno ini akan muncul kembali dalam amnesti hingga periode kontemporer – karena amnesti transisional, seperti pengadilan transisional, ditujukan untuk merespon dan menolak kebijakan politik rezim lama. Pada masa modern, mungkin kasus amnesti transisional yang paling menonjol adalah Spanyol pasca-Franco. Setelah masa pemerintahan fasis, Spanyol tidak melakukan pengadilan suksesor sama sekali, namun tetap berhasil mengkonsolidasikan pemerintahan demokratik: jadi, kebijakan amnesti Spanyol menjadi paradigma tentang potensi amnesti dalam transisi politik. 99 “Membiarkan berlalu apa yang sudah berlalu” merupakan inti amnesti Spanyol: setelah masa pemerintahan otoriter selama empat puluh tahun, amnesti menjadi kesepakatan untuk melupakan masa lalu yang telah jauh. Amnesti tersebut diberikan secara luas dan umum bagi aktor negara dan non-negara, dalam pemerintahan kediktatoran dan perang saudara. Seperti pada transisi lebih awal di Eropa, di Amerika pada dekade 1980-an, semangat amnesti cukup kuat. Di berbagai negara di wilayah tersebut, Cili, Uruguay, El Salvador, Haiti dan Guatemala, amnesti terhadap pemerintahan militer yang represif merupakan pendahuluan terhadap perubahan politik, perdamaian dan rekonsiliasi. Amnesti Amerika Latin ini menunjukkan peran mereka dalam transisi yang dinegosiasikan. 100 Janji pemberian amnesti terhadap pelanggaran masa lalu berhasil mengatasi kebuntuan politik dan memungkinkan liberalisasi. 101 Jadi, misalnya, dalam transisi ternegosiasi di Uruguay, Haiti, El Salvador dan Guatemala, satu kartu penting dalam perundingan adalah janji untuk memberikan amnesti terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia selama pemerintahan militer. Kekuasaan untuk mengadili dipertukarkan dengan perdamaian. Kesepakatan yang dicapai dengan junta 98 Lihat Aristoteles, The Athenian Constitution, diterjemahkan dengan pengantar dan catatan oleh P.J. Rhodes, Harmondsworth: Penguin, 1984, bab 34-41-1. 99 Lihat José Maria Maravall dan Julian Santamaria, “Political Change in Spain and the Prospects for Democracy”, dalam Guillermo O’Donnell et al. eds., Transition from Authoritarian Rule: Southern Europe, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1991, 71-108. Lihat umumnya Raymond Carr dan Juan Pablo Aizpurtía, Spain: Dictatorship to Democracy, edisi kedua, London: Allen and Unwin, 1981. Untuk pembelaan terhadap amnesti Spanyol, lihat Fernando Rodrigo, “The Politics of Reconciliation in Spain’s Transition to Democracy” makalah dipresentasikan pada Conference on Justice in Times of Transition, Salzburg, Maret 1993. 100 Tentang El Salvador dan Uruguay, lihat catatan kaki 103. Tentang Haiti, lihat Le Moniteur, Journal Offociel de la Republique d’Haiti Order Arrète of 2690 , yang memberikan amnesti total dan sepenuhnya kepada mereka yang antara 17 September 1988 dan 7 Februari 1990 terlibat dalam kejahatan dan pelanggaran terhadap keamanan nasional. Tentang amnesti Kolombia, lihat Javier Correa, “La Historia de las Amnistias y los Indultos: Volver a Empezar”, dalam Los Cominos de la Guerra y la Paz, Vol. 1 La Reinsercìon, Bogotá: Fondo Editorial Para la Paz, 1990. 101 Lihat Howard W. French, “In Salvador, Amnesty vs. Punishment”, New York Times, 16 Maret 1993, rubrik internasional; Howard W. French, “Offer of Amnesty Removes Obstacle to Accord in Haiti”, New York Times, 14 April 1993, rubrik internasional. 34 dibayar dengan amnesti umum. Setelah kesepakatan tersebut dicapai, timbul perdebatan tentang lingkup amnesti yang akan diundang-undangkan. 102 Dalam proses perundingan perdamaian El Salvador yang diadakan di bawah lindungan PBB, meskipun amnesti tidak secara eksplisit dimuat dalam kesepakatan damai, seminggu setelah kesepakatan ditandatangani, pada tanggal 16 Januari 1992, Undang-Undang Rekonsiliasi Nasional disahkan. Singkatnya jarak waktu tersebut menandakan bahwa amnesti disepakati secara diam-diam dalam proses perdamaian. 103 Kesepakatan serupa memungkinkan transisi di Uruguay, di mana langkah-langkah amnesti dilaksanakan dalam beberapa tahap. Naval Club Pact, yang memberikan amnesti bagi para penanggung-jawab pelanggaran hak asasi manusia, disepakati oleh anggota perwakilan politik negara itu dalam negosiasi mengenai syarat transisi ke pemerintahan sipil. Kesepakatan ini kemudian diratifikasi oleh parlemen dalam Undang-Undang Perdamaian Nasional, yang disahkan pada tahun 1986. Akhirnya, empat tahun kemudian, Undang-Undang yang Menghapuskan Klaim Negara untuk Menghukum Kejahatan Tertentu, yang jauh lebih luas, diajukan untuk diadakan referendum. 104 Amnesti hasil kesepakatan seperti ini, yang merupakan hasil negosiasi transisi, menunjukkan kepentingan-kepentingan yang dipertaruhkan dalam usaha pencapaian keadilan melalui pemidanaan. Dalam transisi ternegosiasi, baik wakil militer maupun oposisi politik yang terlibat dalam konflik sama-sama memiliki kepentingan pribadi untuk mendapatkan kekebalan dari pengadilan. Di negara-negara lain di wilayah ini, bentuk-bentuk pemgampunan lain diberikan bersama dengan transisi. Meskipun pada awalnya terdapat pengadilan terhadap junta di Argentina, sejumlah undang-undang menghentikan proses tersebut. 105 102 Lihat “The Deal: Amnesty Law Expected to Clear Junta Very Soon”, New York Times, 21 September 1994, hal. A17. 103 Keputusan legislatif No. 486, 32293, El Salvador 22 Maret 1993, menyetujui Undang-Undang Amnesti Umum untuk Konsolidasi Perdamaian. Lihat Todd Howland, “Salvador Peace Starts with Misstep”, Christian Science Monitor, 7 Februari 1992. John J. Moore Jr., “Problems with Forgiveness: Granting Amnesty under the Arias Plan in Nicaragua and El Salvador”, Stanford Law Review 43 1991: 733. “Ley de Reconciliacion Nacional” Undang-undang Rekonsiliasi Nasional, Keputusan No. 145-96 tertanggal 23 Desember 1996, dicetak ulang dalam Guatemala Constitutional Court Decision on Amnesty, Nos. 8-97 and 20-97, at. 19-20 7 Oktober 1997, instrumen dasar untuk rekonsiliasi dengan orang-orang yang terlibat dalam konflik bersenjata, dengan menghapuskan semua tanggung jawab pidana bagi kejahatan-kejahatan politik yang dilakukan dalam konflik bersenjata; dan menghapuskan tanggung jawab untuk kejahatan lainnya, terkecuali genosida, penyiksaan, atau penghilangan paksa. 104 Lihat Law No. 15.848 Uruguay, “Ley de Caducidad de la Pretension Punitiva del Estado Undang-Undang yang Menghapuskan Klaim Negara untuk Menghukum Kejahatan Tertentu, Pasal 1. Disepakati bahwa, sebagai konsekuensi dari peristiwa-peristiwa yang timbul dari persetujuan antara partai-partai politik dan angkatan bersenjata yang ditandatangani pada bulan Agustus 1984, dan untuk menyelesaikan transisi ke tatanan konstitusional sepenuhnya, negara mencabut haknya untuk memidana kejahatan-kejahatan yang dilakukan hingga tanggal 1 Maret 1985, oleh anggota militer atau polisi atas alasan politik atau memenuhi tugas dan menaati perintah dari atasan selama masa de facto; Americas Watch, Challenging Impunity: The Ley de Caducidad and the Referendum Campaign in Uruguay , New York: Human Rights Watch, 1990. Lihat juga Shirley Christian, “Uruguay Votes to Retain Amnesty for the Military, New York Times, 17 April 1989, rubrik internasional, hlm. A8; Martin Weinstein, Uruguay-Democracy at the Crossroads, Boulder: Westview Press, 1984. 105 Lihat Due Obedience Law; Law No. 23.049 Argentina, 1984. The Full Stop Law; Law No. 23.492, diberlakukan pada tanggal 24 Desember 1986, dan Due Obedience Law; Law No. 23.523, diberlakukan pada tanggal 8 Juni 1987. Setelah diberlakukannya undang-undang ini, melalui keputusan presiden, Pardon No. 1002 7 Oktober 1989 memerintahkan bahwa semua proses hukum yang dijalankan mengenai kasus pelanggaran hak asasi manusia dihentikan. 35 Perundingan amnesti transisional sering kali dilakukan untuk menstabilkan dan memantapkan transisi. Namun, hal ini memiliki arti paradoks, yaitu bahwa amnesti disyaratkan oleh kepentingan politis masyarakat yang mengalami transisi. Dengan demikian tampak bahwa syarat-syarat untuk tidak mengadakan pengadilan sering kali tidak berbeda dari syarat-syarat untuk mengadakan pengadilan pula. Amnesti, terutama bila diberikan secara bersyarat dan individual, dapat berfungsi mirip hukuman. Peniadaan pengadilan, seperti juga ancaman pengadilan, dapat menjadi aturan politik transisional yang efektif. Misalnya, setelah Perang Saudara Amerika, amnesti diberikan dengan syarat bahwa Konfederasi tetap setia kepada persatuan. 106 Di Afrika Selatan, kesepakatan untuk menghentikan pemerintahan apartheid menjadi syarat bagi amnesti untuk pelanggaran “politik” dalam pemerintahan sebelumnya. 107 Promotion of National Unity and Reconciliation Bill memberikan amnesti dengan syarat pengakuan terhadap pelanggaran yang telah dilakukan. Tujuan eksplisitnya adalah persatuan masyarakat. Harga yang harus dibayar tersebut mencerminkan karakter politis dan instrumental dari amnesti transisional dan kaitannya dengan rekonsiliasi masyarakat, demikian pula pengembalian ketaatan pada kedaulatan hukum. Pada masa gejolak, pertimbangan peradilan pidana merupakan bagian dari perhitungan politik yang lebih luas. Memberikan hak-hak politik bagi para pelaku pelanggaran sebagai pertukaran terhadap dukungan bagi persatuan yang baru dan stabilitas politik mencerminkan sasaran konvensional pemberian hukuman untuk menjamin keberlangsungan kedaulatan hukum. Dengan demikian amnesti dapat memajukan sasaran normatif dalam transisi politik. Keadilan, Pengampunan, Politik dan Kedaulatan hukum Penghukuman atau impunitas? Kembali ke perdebatan awal dalam bab ini, peran penting amnesti dalam transisi mengarah ke pertanyaan lebih luas tentang kaitan pengampunan terhadap kedaulatan hukum, terutama dalam masa transisi. “Pengampunan” clemency memiliki arti yang luas, termasuk amnesti dan pemaafan pardon. Meskipun ada yang membedakan istilah-istilah tersebut karena konotasinya, atau waktu pemberiannya setelah atau sebelum keputusan, istilah tersebut biasanya sering dipertukarkan penggunaannya. Amnesti transisional memberikan tantangan sulit sebagaimana telah diklaim di awal bab ini, yaitu bahwa pemberian hukuman mutlak diperlukan untuk konsolidasi demokratik. Menurut argumen yang berkeras untuk memberikan hukuman, dikatakan bahwa revolusi yang baik 106 Lihat umumnya Jonathan Truman Dorris, Pardon and Amnesty under Lincoln and Johnson: The Restoration of the Confederates to Their Rights and Privileges, 1861-1898 , Westport, Conn: Greenwood Press [1953], 1977. 107 Lihat Konstitusi Sementara Afrika Selatan 1993 Epilogue on National Unity and Reconsiliation. Lihat § 202c Promotion of National Unity and Reconciliation Act 34 of 1995, seperti diperbaiki dalam Promotion of National Unity and Reconciliation Act 87 of 1995 . Komisi harus memutuskan apakah suatu pelanggaran tertentu dapat dikaitkan dengan sasaran politik sesuai definisi dengan dasar apakah pelanggaran tersebut disarankan, direncanakan, diarahkan, diperintahkan, atau dilakukan di Afrika Selatan antara bulan Maret 1960 hingga Desember 1994, oleh atau atas nama organisasi politik yang dikenal secara publik, gerakan pembebasan, agen negara atau anggota pasukan keamanan, dan dengan melihat pada kriteria khusus yang dijabarkan dalam Reconciliation Act . Kriteria tersebut mencakup penyidikan terhadap motif, konteks, bobot dan tujuan dilakukannya pelanggaran, apakah pelanggaran tersebuit dilakukan atas perintah langsung atau persetujuan, dan apakah pelanggaran tersebut dilakukan untuk kepentingan pribadi atau “masalah pribadi, permusuhan atau rasa benci terhadap korban”, § 203fii. Lihat umumnya Allister Sparks, Tommorow is Another Country: The Inside Story of South Africa’s Road to Change , New York: Hill and Wang, 1995. 36 tidaklah berakhir dengan amnesti, karena kegagalan suatu masyarakat untuk menuntut tanggung jawab dari para pelaku pelanggaran adalah kelanjutan dari praktik “impunitas” di masa lalu, dan menggagalkan proses liberalisasi. 108 Impunitas ini tetap berlanjut dalam transisi antar-rezim, kecuali dihentikan dengan pemberian hukuman. Bentuk keadilan ini dikatakan mutlak diperlukan untuk pengembalian kedaulatan hukum. Menurut argumen ini, amnesti transisional merupakan “penjualan” keadilan kepada kepentingan politik sementara, yang pada ujungnya merugikan prospek demokrasi. Namun terdapat pula argumen kebalikannya: pembatasan kekuasaan penghukuman, yang menandakan kembalinya ketaatan pada kedaulatan hukum. 109 Dalam hal ini, klaim normatif tersebut tampaknya terlalu dipaksakan kaitannya dengan realitas. Pengamatan bahwa praktik amnesti dikaitkan secara de facto dengan transisi dianggap sebagai kaitan antara pernyataan normatif tentang penggunaan kekuasaan pengampunan dan kedaulatan hukum yang liberal. Ketika permasalahan amnesti diperdebatkan dalam konteks utamanya yakni transisi, tantangan-tantangan terhadap amnesti transisional mengasumsikan bahwa penangguhan kekuasaan penuntutan melanggar inti kedaulatan hukum yang terkait dengan demokrasi mapan. Namun, pembatasan penggunaan kekuasaan pidana tidaklah terbatas pada masa transisi saja. Yang kurang jelas adalah di mana letak posisi amnesti transisional dalam pandangan kita tentang pemberian pengampunan pada umumnya? Apa standar yang relevan? Siapa yang berhak memberikan amnesti? Dengan prinsip apa? Hak dan kewajiban apa saja yang terkait? Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan titik awal untuk mengevaluasi amnesti transisional. Pertimbangkanlah argumen hukum internasional untuk memberikan hukuman, yaitu bahwa kewajiban untuk menghukum dianggap berasal dari berbagai norma konvensional dan kebiasaan. 110 Namun, skema remedial hukum internasional, yang dibentuk dalam kerangka hak-hak individual, tidak mengkonstruksi hukuman sebagai hak yang akan memberikan kewajiban untuk dilaksanakan oleh negara. Dan, bahkan apabila argumen tersebut didasarkan pada analogi dengan negara demokrasi mapan, penggunaan hukuman, seperti akan dibicarakan di bawah, tetaplah digunakan dengan kehati-hatian dalam hampir semua sistem hukum. Dalam sistem hukum internasional, konvensi-konvensi tersebut pun dianggap sudah cukup terpenuhi dengan tindakan remedial selain hukuman. Dalam keputusan penting yang meninjau kasus impunitas di Amerika Latin, Pengadilan Inter-Amerika memutuskan bahwa kewajiban untuk melindungi warga negara dari penindasan dapat dilaksanakan dengan tindakan remedial lain, seperti penyelidikan dan pemberian ganti rugi. 111 Namun, dalam keputusan lain yang mengevaluasi hukum amnesti Argentina dan Uruguay, Komisi Hak Asasi Manusia Inter- Amerika memutuskan bahwa amnesti terhadap pelanggaran berat hak asasi manusia melanggar berbagai kewajiban negara menurut Konvensi Hak Asasi Manusia Amerika untuk 108 Untuk argumen utama yang menentang amnesti yang menyertai gelombang transisi kontemporer ini, lihat Aryeh Neier, “What Sould Be Done about the Guilty”? New York Review of Books, 1 Februari 1990, hlm. 32. 109 Lihat Stephen Holmes, “Making Sense of Postcommunism” rancangan untuk New York University Program for the Study of Law, Philosophy and Social Theory, 10-13; Samuel Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century , Norman: University of Oklahoma Press, 1991. 110 Lihat Orentlicher, “Settling Accounts”, 2537; Naomi Roth-Arriaza, “State Responsibility to Investigate and Prosecute Grave Human Rights Violations in International Law”, California Law Review 78 1990: 449. 111 Lihat Velásques-Rodrígues Judgment, Inter-Am. Ct. H.R., Ser. C., No. 4 1988. 37 melindungi dan menjamin hak asasi manusia, dan juga hak para korban untuk menuntut keadilan. 112 Di luar argumen hukum internasional tentang kewajiban untuk menghukum adalah argumen tradisional menurut sistem hukum negara-negara demokrasi mapan. Namun, seperti akan dibicarakan di bawah, argumen-argumen tersebut tidaklah memberikan kewajiban untuk menghukum dalam transisi, namun memang memberikan dasar yang baik untuk mengevaluasi amnesti transisional. Seperti tampak jelas, bahkan dalam kondisi normal, kedaulatan hukum tidaklah berarti penerapan peradilan pidana secara mutlak, dan alasan-alasan untuk memberikan pengampunan, seperti juga dalam masa transisi, sering kali bersifat politis. Argumen retributif untuk memberikan hukuman bukanlah demi kepentingan masyarakat di masa depan, melainkan dengan memperhatikan pertimbangan moral yang terkait dalam tindakan-tindakan yang terkait. Sebuah tulisan yang terkenal dari Immanuel Kant berhipotesis tentang masyarakat di pulau gersang yang hendak membubarkan diri, yang sedang mempertimbangkan apakah akan memberikan hukuman, dan apakah masyarakat itu memiliki kewajiban untuk menghukum “semua orang yang pernah membunuh” sehingga “semua orang akan ... mendapatkan upahnya sesuai dengan tindakannya dan dengan demikian ... hutang darah tidak akan mengotori masyarakat tersebut.” 113 Bahkan masyarakat yang akan bubar pun memiliki kewajiban untuk membebankan pertanggungjawaban individual, untuk menghilangkan tanggung jawab moral dari seluruh masyarakat luas. Klaim Kantian untuk memberikan hukuman dalam masyarakat yang akan bubar ini menguji justifikasi untuk memberikan hukuman dalam konteks di mana tidak terdapat tujuan kepentingan masa depan yang ditekankan bila terdapat kontinuitas sosial, yang tampak dalam kondisi transisional. Dari perspektif retributif, tidak menghukum berarti masyarakat menanggung tanggung jawab kolektif, dengan konsekuensi legitimasi institusi peradilannya. Peradilan pidana memainkan peranan tidak hanya dalam menggariskan tanggung jawab individual dan kolektif, namun juga melegitimasikan institusi peradilan; dengan demikian ia menarik garis antara dua rezim. Membebankan tanggung jawab individual akan mengangkat tanggung jawab kolektif dari rezim lama dan melegitimasi kembali otoritas negara. Sementara argumen retributif memiliki klaim yang kuat tentang kewajiban untuk menghukum, ia tidak menjelaskan dengan baik pandangan tentang peran hukuman dalam sistem hukum, baik dalam masa biasa maupun masa transisi. 114 Pemahaman tentang kaitan antara hukuman dengan kedaulatan hukum bervariasi secara luas dalam berbagai budaya hukum. Dalam sistem civil law, prinsip legalitas menuntut adanya penerapan hukuman secara nyaris mutlak. Namun, dalam sistem common law, anggapan tentang legalitas ini tidak sama: norma mendasarnya adalah kekuasaan penuntutan yang tidak diterapkan pada kekuatan 112 Lihat Report No. 2892, Cases 10.147, 10.181, 10.240, 10.262, 10.309, 10.311, Argentina’s Annual Report of the Inter-American Commision of Human Rights 1992-1993 , 41b, OAS doc. OESSer.4LUVII.83doc. 14Corr. 1 1993. Lihat juga Robert Goldman, “Amnesty Laws, International Laws, and the American Convention on Human Rights”, The Law Group Docket 6, no. 1 1989: 1. 113 Immanuel Kant, The Metaphysics of Morals, terjemahan Mary Gregor, New York: Cambridge University Press, 1991, 183. 114 Lihat Teitel, “How are the New Democracies of the Southern Cone Dealing with the Legacy of Past Human Rights Abuses?” Namun ada pula pakar yang mendasarkan justifikasi untuk kebijakan pengampunan dengan pertimbangan retributif yang berdasar pada ketiadaan hukuman. Lihat Katherine Dean Moore, Pardons: Justice, Mercy, and the Public Interest , New York: Oxford University Press, 1989. 38 sepenuhnya, dan keadilan dalam sistem ini ditinjau dari perhatian spesifik terhadap kasus- kasus. 115 Dengan demikian, pengampunan pada masa normal bisa menjadi titik awal untuk menilai amnesti transisional. Pengampunan dalam masa biasa memiliki keserupaan dengan amnesti transisional dalam sifat politisnya. Di negara-negara demokratis, pengampunan atau amnesti seperti amnesti legislatif atau pajak biasanya dikaitkan dengan perpindahan kekuasaan politik dalam pergantian administratif yang biasa. Ini menunjukkan analogi antara perubahan administratif biasa dan pergantian rezim politik dalam transisi. Amnesti, seperti juga hukuman, adalah praktik yang menunjukkan kedaulatan – menunjukkan siapa pemegang kekuasaan politik. Dengan demikian, penangguhan hukuman, seperti juga penjatuhannya, mendefinisikan transisi politik. Sifat dan peran politis yang penting dari pengampunan diakui dan bahkan didefinisikan oleh pemisahan kekuasaan secara institusional, misalnya, pemisahan kekuasaan pengampunan dari kekuasaan kehakiman. Pada masa biasa, para aktor politik memegang kekuasaan pengampunan. Dalam sistem konstitusi Amerika, misalnya, kekuasaan pengampunan, yang mengikuti kepemilikan kekuasaan serupa oleh raja, dipegang oleh eksekutif. 116 Bahwa kekuasaan pengampunan tidak berada pada badan yudikatif, namun pada eksekutif, yang diberikan dengan dasar kasus demi kasus dan dipertimbangkan secara spesifik, menunjukkan sifatnya yang politis. Pemisahan kekuasaan penghukuman dan pengampunan tidak hanya terdapat pada sistem hukum Anglo-Amerika. Dalam sistem konstitusional Amerika Latin, diferensiasi kekuasaan tersebut lebih tampak lagi. Dalam sistem hukum Amerika Utara, kekuasaan untuk menuntut dan mengampuni berada pada eksekutif dan berkaitan dengan kepentingan kebijakan; dalam sistem Amerika Latin, kekuasaan untuk menuntut berada pada badan peradilan, sementara kekuasaan untuk mengampuni berada pada eksekutif. 117 Pemisahan kedua kekuasaan ini menekankan fungsi politik pengampunan. Tatanan institusional negara demokrasi mapan menunjukkan usaha untuk memisahkan proses peradilan dan pengampunan. Sementara keadilan adalah wilayah kekuasaan pengadilan dan diterapkan berdasar standar dan justifikasi prinsip-prinsip konstitusional, pengampunan termasuk dalam wilayah kekuasaan cabang-cabang politik yang digunakan untuk memajukan kepentingan politik, 118 dan secara eksplisit dijustifikasi dalam kerangka transisi, seperti perdamaian dan rekonsiliasi. 119 Bahkan meskipun pengampunan dianggap sebagai bagian integral kedaulatan hukum dalam masa normal, terdapat pula perbedaannya yang signifikan dengan pelaksanaannya pada masa perubahan politik Terdapat frekuensi pemberian amnesti yang lebih tinggi, bersamaan dengan pembatasan terhadap penggunaan kekuasaan untuk memberikan sanksi pidana. Setelah 115 Lihat John Merryman, The Civil Law Tradition: An Introduction to the Legal Tradition of Western Europe and Latin America , Stanford: Stanford University Press, 1985; William T. Pizzi, “Understanding Prosecutorial Discretion in the United States: The Limits of Comparative Criminal Procedure as an Instrument of Reform”, Ohio State Law Journal 54 1993: 1325. 116 Lihat Moore, Pardons: Justice, Mercy, and the Public Interest 790-86; “The Conditional Presiden Pardon”, Stanford Law Review 28 1975: 149; Daniel T. Kobil, “The Quality of Mercy Strained: Wrestling the Pardoning Power from the King”, Texas Law Review 69 1991: 569. 117 Lihat Irwin P. Stotzky ed., Transition to Democracy in Latin Amerikca: The Role of the Judiciary, Boulder: Westview Press, 1993. 118 Lihat Jeffrie G. Murphy dan Jean Hampton, Forgiveness and Mercy, Cambridge: Cambridge University Press, 1988, 162-86 tentang sifat dan kaitan pengampunan dengan keadilan. 119 Sebagai contoh, pengampunan kepresidenan Argentina dijustifikasi dengan kepentingan “harmoni sosial” yang jelas-jelas politis. 39 pemerintahan yang represif, amnesti transisional menimbulkan masalah struktural tentang pelanggaran-pelanggaran di mana negara memiliki andil besar. Timbul pertanyaan: apakah adil bagi suatu pemerintahan, bahkan rezim yang baru, untuk menggunakan kekuasaan penghukuman atau pengampunan. Suatu variasi dalam masalah ini tampak dalam tulisan John Locke dan Kant abad ke-18, yang menolak pengampunan, karena penyalahgunaannya dalam pemerintahan monarki. Sementara dalam keadaan alami state of nature, hak untuk memberikan hukuman dan untuk tidak menghukum ada pada komunitas, kontrak sosial mengalihkan hak tersebut kepada pemegang kedaulatan. Pada demokrasi mapan, kekuasaan pengampunan biasanya dipegang oleh pemegang kedaulatan, namun pada saat krisis politik, kekuasaan tersebut tampaknya diambil alih kembali oleh warga negara. 120 Jadi, setelah Revolusi Prancis, kekuasaan pengampunan ditangguhkan, karena ia dikaitkan dengan penggunaan kekuasaan oleh raja secara sewenang-wenang dan tidak sah. Dalam contoh lain, terbatasnya kekuasaan pengampunan dalam eksekutif Amerika 121 secara gamblang menggambarkan transisionalitas dalam definisi konstitusional terhadap kekuasaan untuk memberikan amnesti dan batasan-batasannya yang ditentukan dari pengalaman sejarah penggunaannya. Peninggalan sejarah represi di masa lalu membantu membentuk otoritas negara terhadap kekuasaan penghukuman dan pengampunan. Bahkan, hal di atas menunjukkan bahwa ketiadaan legitimasi dalam institusi mempengaruhi syarat untuk pelaksanaan baik penghukuman maupun pengampunan dalam transisi. Sejumlah besar pemberian amnesti dalam masa transisi menunjukkan bahwa kontinuitas institusional dalam bentuk apa pun dari pemerintahan represif di masa lalu ke pemerintahan yang baru akan melemahkan otoritas rezim penerus untuk melakukan proses pengadilan. Pelaksanaan kekuasaan penghukuman oleh rezim penerus sering kali dianggap sebagai kelanjutan kebijakan politis dari masa pemerintahan non-liberal. Bila pergantian rezim tidak berlangsung bersama dengan reformasi peradilan, pengadilan suksesor dilemahkan dengan “tu quoque” tangan kotor. Sifat luar biasa dari peradilan suksesor menunjukkan kondisi peradilan yang terkompromi dalam masa transisi, berkaitan dengan keterlibatan negara dalam kejahatan- kejahatan yang terkait, berkaitan dengan keterlibatan negara dalam kejahatan-kejahatan yang terkait, dan ketiadaan institusi peradilan yang benar-benar sah. Pengakuan bahwa hal-hal tersebut merupakan prasyarat bagi terciptanya keadilan mungkin bisa menjelaskan banyaknya amnesti di Amerika Latin, karena di wilayah ini, badan peradilan amat tercemar oleh keterlibatannya dalam represi di masa lalu, dan tidak mengalami reformasi setelah transisi. Dalam kondisi demikian, institusi peradilan tidak memiliki legitimasi, dengan konsekuensi yang buruk bagi keabsahan hukuman yang diberikannya. Dalam konteks ini, pemberian pengampunan mungkin memiliki legitimasi yang lebih besar, terutama bila diberikan oleh aktor-aktor politik yang baru dipilih, seperti eksekutif atau legislatif. Jadi, banyaknya amnesti dalam kondisi transisional menunjukkan sesuatu yang penting tentang kedaulatan hukum yang menjadi prasyarat pemberian hukuman secara sah. Kaitan erat antara hukuman dan amnesti tampak dalam parameter amnesti transisional yang mencakup kejahatan politik, yang menjadi batasan pemberian hukuman secara sah dalam 120 Lihat A. John Simmons, “Locke and the Right to Punish”, Philosophy and Public Affairs 20 1991: 319. 121 Lihat Alexander Hamilton, The Federalist No. 69, ed. Jacob E. Cooke, Middletown, Conn: Wesleyan University Press merasionalisasi kekuasaan pengampunan eksekutif yang membandingkannya dengan kekuasaan raja. 40 masa transisi. Transisi politik menjadi prinsip penentu amnesti. Misalnya, hukum amnesti El Salvador mencakup “tidakan-tindakan termasuk kejahatan politik atau kejahatan dengan konsekuensi politik atau kejahatan biasa yang dilakukan oleh tidak kurang dari dua puluh orang”. 122 Promotion of National Unity and Reconciliation Bill Afrika Selatan mendefinisikan pelanggaran-pelanggaran yang dapat diberikan amnesti sebagai berikut, “tindakan yang dikaitkan dengan sasaran politik”. Amnesti transisional pada garis politik memiliki risiko serupa dengan yang dijelaskan pada awal bab ini – hantu keadilan yang dipolitisasi. Sebagaimana kebijakan penghukuman memiliki risiko menjadi bagian dari siklus mengalihkan tanggung jawab tentang kesalahan, kebijakan pengampunan atas dasar politik pun demikian. Baik hukuman maupun amnesti dapat berperan secara konstruktif dalam mendefinisikan transisi politik. Namun ada pula batasan kedaulatan hukum dalam praktik amnesti transisional, prinsip-prinsip penting tentang pelaksanaan kekuasaan pengampunan secara sah. Beberapa dari batasan tersebut berkaitan dengan prosedurnya. Amnesti-diri sendiri, yaitu yang diberikan oleh rezim pendahulu, seperti oleh militer Argentina, pada umumnya dianggap tidak sah dan dibatalkan dalam transisi. 123 Lebih lanjut lagi, baik hukuman maupun amnesti harus mengikuti prosedur biasa dan dilegitimasi oleh publik. Amnesti “demokratis”, yaitu yang dipertimbangkan oleh masyarakat dan disepakatai melalui konsensus, mencerminkan usaha untuk melegitimasi pemberian pengampunan dalam transisi. Prototipe klasik amnesti demokratis berasal dari Athena Kuno, di mana pengampunan diputuskan melalui pemungutan suara, 124 melalui proses “adeia” yang membutuhkan dukungan enam ribu orang sebelum pengampunan disepakati. Setelah perang saudara di Athena, amnesti pada tahun 403 S.M. disahkan melalui suara mayoritas dan diberikan kepada semua orang yang terlibat dalam perang saudara. Amnesti transisional sering kali dinegosiasikan oleh wakil- wakil dari rezim lama dan oposisi. Meskipun kesepakatan amnesti bisa disusun melalui proses tawar menawar dan non-legislatif, ia harus disahkan melalui proses yang lebih partisipatoris selama masa transisi. Dalam transisi kontemporer, seperti juga di Athena kuno, plebisit dan pelaksanaan kedaulatan langsung memberikan keabsahan bagi amnesti transisional. Melalui proses demokratik, amnesti memiliki pertanggungjawaban politik; proses- proses politik yang menyertai amnesti legislatif, yang memungkinkan pertimbangan secara luas tentang sifat dan sigifikansi kejahatan negara di masa lalu. Misalnya proses referendum di Uruguay, juga proses persidangan parlementer di Afrika Selatan. 125 Proses pertimbangan amnesti ini sendiri memiliki andil terhadap kepentingan hukum dalam proses transisi, karena dalam perdebatan yang ada, sering kali diadakan kesaksian dan dengar pendapat tentang temuan-temuan yang berkaitan dengan pelanggaran di masa lalu. Proses demokratik ini berarti bahwa mereka lebih transparan dan dipertimbangkan secara lebih matang daripada hukum 122 Decision on the Amnesty Law, Proceedings No. 10-93, El Salvador, Supreme Court of Justice, 1993. 123 Lihat Law No. 23.040 27 Desember 1983 membatalkan Law No. 22.924 karena inkonstitusional. 124 Lihat Aristoteles, The Athenian Constitution; Martin Oswald, From Popular Souvereignty to the Souvereignty of the Law: Law, Society, and Politics in Fifth Century Athens , Berkley: University of California Press, 1986; Thomas Clark Loening, The Reconciliation Agreement of 403402 BC in Athens, Its Content and Aplication, Stuttgart: Franz Steiner Verlag, 1987. 125 Tentang perdebatan Uruguay mengenai “Ley de Caducidad” lihat Challenging Impunity: The Ley de Caducidad and the Referendum Campaign in Uruguay, An Americas Watch Report , Americas Watch Commitee, 1989, 15-16. Di Afrika Selatan, perdebatan amnesti menjadi bagian perdebatan parlementer tentang pengesahan konstitusi 1993 negara tersebut. Lihat Promotion of National Unity and Reconciliation Act 34 of 1995, Juta’s Statutes of the Republic of South Africa , vol. 1 1997. 41 konvensional. Jadi, bahkan tidak memberikan hukuman bisa mencapai sasaran-sasaran transisional, seperti klarifikasi dan pengutukan kesalahan-kesalahan rezim lama. Amnesti transisional dibentuk oleh kedaulatan hukum dengan cara-cara lainnya. Selain batasan prosedural di atas, baik dalam pelaksanaan penghukuman maupun tidak melakukan penghukuman, terdapat komitmen terhadap perlindungan setara oleh hukum. Prinsip perlindungan setara secara konstitusional memberikan batasan pada amnesti-amnesti, bahkan yang diberikan dengan alasan politis. Perlindungan setara berarti perlakuan yang sama dalam kasus-kasus serupa, dan tidak menggunakan dasar yang tidak dapat dijustifikasi, seperti ras, agama, atau klasifikasi serupa, sehingga bukanlah hal yang kontroversial bahwa kategori- kategori demikian tidak menjadi dasar untuk pemberian atau penolakan pengampunan. 126 Perlindungan konstitusional setara memberikan batasan lebih lanjut terhadap politisasi peradilan pidana. Sementara politik merupakan dasar yang diperbolehkan untuk memberikan pengampunan, terdapat batasan terhadap pemberian amnesti atas dasar pandangan politik, sehingga mencegah pemberian amnesti atas dasar politik partisan. Sementara pemberian amnesti kepada semua pihak akan berarti memberikan amnesti kepada lebih banyak orang, ia memajukan kedaulatan hukum dan legitimasi dalam pemberian pengampunan. Dalam argumen mendasar untuk memberikan hukuman dalam transisi, amnesti sering kali dikatakan menunda proses pengembalian kedaulatan hukum. Namun, seperti dibicarakan di atas, bahkan pada sistem demokrasi yang stabil, kekuasaan peradilan pidana tidak diterapkan pada kekuatannya yang maksimal. Tentu saja, dalam negara demokrasi mapan, praktik pengampunan dilakukan dalam konteks ketaatan terhadap kedaulatan hukum secara lebih luas; sementara amnesti transisional dilakukan setelah masa-masa hukum diabaikan secara luas. Namun, amnesti transisional harus dievaluasi berdasarkan konteks kedaulatan hukum luar biasa dalam kondisi peradilan transisional, di mana institusi peradilan masih terkompromi. Amnesti transisional memiliki legitimasi terkuat bila dihasilkan dari proses demokratik, seperti referendum langsung. Pengambilan kebijakan amnesti tidak berarti melupakan kesalahan di masa lalu, seperti sering kali disyaratkan oleh penyidikan kasus demi kasus seperti dalam proses pidana. Baik penghukuman maupun amnesti memiliki peran sistemik dalam konstruksi transisi politik. Pada akhirnya, amnesti dan hukuman adalah dua sisi dari mata uang yang sama: ritus legal yang secara terbuka dan kuat menunjukkan perubahan kedaulatan yang ada dalam transisi politik. 127 Praktik amnesti dan penghukuman transisional memainkan peran penting dalam konstruksi periode politik tersebut. Baik penghukuman maupun amnesti membantu mendefinisikan pergeseran rezim, karena dengan menunjukkan pelanggaran di masa lalu mereka membantu mengkonstruksikan sejarah politik. Praktik-praktik transisional ini mendefinisikan batasan politik: diskontinuitas dalam transisi – “sebelum dan sesudah”, dan juga berperan dalam menunjukkan kontinuitas dalam transisi. Batasan Pengampunan di Negara Liberal: Kejahatan terhadap Kemanusiaan Suatu batasan terhadap kekuasaan politik untuk mencegah penghukuman dalam negara yang sedang menuju demokrasi adalah “kejahatan terhadap kemanusiaan”, karena pelanggaran ini 126 Lihat Bordenkircher v. Hayes, 434 US 357, 364 1978. 127 Untuk pandangan terkait tentang alternasi ritual, lihat René Girard, Violence and the Sacred, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1977. 42 tidak memiliki parameter jurisdiksi konvensional. Ajudikasi untuk kejahatan terhadap kemanusiaan membatasi dan mengutuk praktik penindasan politik oleh negara yang lama, suatu batasan yang tampaknya kebal terhadap politik nasional. Dengan demikian, pengadilan terhadap pelanggaran ini memiliki kekuatan sebagai berlakunya kedaulatan hukum. Hal ini tampak dalam usaha untuk memasukkan respon hukum transisional ke dalam pengadilan pidana internasional yang permanen. Pendefinisian kejahatan terhadap kemanusiaan ini mengkonstruksikan norma-norma konstitusional yang menjadi inti kedaulatan hukum. Ia membedakan negara yang sedang menuju demokrasi dengan negara-negara non-demokratik. Di sini tampak potensi normatif terbesar peradilan transisional. Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan bentuk penindasan yang paling buruk, yang melampaui batas-batas nasional dan merupakan pelanggaran terhadap seluruh masyarakat internasional. Dikodifikasi untuk pertama kalinya setelah Perang Dunia Kedua melalui Piagam Nuremberg, kejahatan terhadap kemanusiaan didefinisikan sebagai pelanggaran berat, seperti pembunuhan, pengusiran paksa dan penyiksaan, yang diadakan pada saat peperangan terhadap warga sipil, dan juga “penindasan atas dasar politis, rasial atau keagamaan”. 128 Melampaui kejahatan perang, piagam Nuremberg memiliki jurisdiksi terhadap penindasan yang dilakukan negara terhadap warganya sendiri. Pelanggaran demikian dianggap melampaui batas-batas hukum nasional dan melanggar hukum semua negara, dan dengan demikian dapat diadili oleh sebuah tribunal internasional. Namun, meskipun terdapat konsensus tentang jurisdiksi internasional, karena pada waktu itu prinsip tersebut masih merupakan hal yang baru dan terdapat kecemasan tentang retroaktivitas, pengadilan kejahatan terhadap kemanusiaan dibatasi pada kejahatan yang terkait dengan perang. Jadi, meskipun secara formal merupakan tuntutan yang terpisah, kejahatan terhadap kemanusiaan digabungkan dengan kejahatan perang lainnya. 129 Arti sentral kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai “pelanggaran yang mempengaruhi seluruh umat manusia” tampak jelas ketika respon terhadap kekejaman negara melintasi batas negara ke arena internasional. Sejarahnya ini dimulai sejak sebelum proses pasca-perang. Protes dan intervensi internasional muncul, misalnya, setelah perang Yunani- Turki pada tahun 1827, dan pada awal dekade 1900-an, “atas nama kemanusiaan” terhadap penindasan di Rumania dan Rusia. Setelah Perang Dunia Pertama, sebuah komisi bersidang tentang metode peperangan, yang menentukan pelanggaran terhadap “hukum dan kebiasaan perang yang berlaku dan hukum-hukum kemanusiaan yang mendasar” dan “memperingatkan” bahwa semua orang dari negara-negara musuh yang bersalah atas pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang atau hukum kemanusiaan dapat mendapatkan tuntutan pidana”. 130 Pada tahun 1917, kejahatan yang hendak dituntut serupa dengan yang kemudian 128 “Charter of the International Military Tribunal”, 8 Agustus 1945, Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United Nations 82 1945: 279. 129 Lihat Taylor, Anatomy of the Nuremberg Trials, 8-20. 130 Lihat umumnya Egon Schwelb, “Crimes against Humanity”, British Yearbook International 23 1946: 178 menggambarkan perkembangan konsep sejak Konvensi Den Haag, 1907. Untuk diskusi internasional tentang pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan, lihat Roger S. Clark, “Crimes against Humanity at Nuremberg”, dalam Johns Ginsbergs dan V.N. Kudriavstev eds., The Nuremberg Trial and International Law, Norwell, Mass: Kluwer Acdemic Publishers, 1990, 177-78 mengutip Commission on the Responsibility of the Authors of War and on Enforcement of Penalties laporan yang dipresentasikan pada Konferensi Pendahuluan tentang Perdamaian, dicetak ulang dalam Pamflet No. 32, Carnegie Endwment for International Peace. Lihat juga James Willis, Prologue to Nuremberg: The Politics and Diplomacy of Prosecuting War Criminals of the First Worl War , Westport, Conn: Greenwood Press, 1982. 43 diberikan dalam instrumen pasca-Perang Dunia Kedua: pembunuhan, penyiksaan dan penindasan berdasar ras terhadap minoritas oleh pemerintahnya sendiri. Pada saat perencanaan Piagam London dan Control Council Law No. 10, Komisi Kejahatan Perang PBB mendefinisikan istilah Kejahatan terhadap Kemanusiaan sebagai “tindakan massal secara sistematik”, dalam arti: Kejahatan yang baik karena tingkatnya atau karena kekejamannya atau karena jumlah besarnya atau karena pola serupa dilakukan di berbagai tempat dan waktu, dapat membahayakan komunitas internasional atau mengguncang kesadaran umat manusia, memerlukan intervensi dari negara-negara selain negara tempat terjadinya kejahatan tersebut, atau yang warganya menjadi korban. Secara historis, jurisprudensi ini menjelaskan penghilangan batasan kekuasaan negara atas dasar hak-hak individual. Kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan ilustrasi paling jelas dan paling ideal tentang potensi hukum untuk mengadakan transisi normatif. Hukum menjadi paling signifikan apabila jurisdiksi terhadap suatu pelanggaran dikeluarkan dari wilayah tempat terjadinya dan dengan demikian menghilangkan pengaruh politik lainnya. Pemikiran ini tampak bila negara- negara melakukan respon terhadap kekejaman dalam cara-cara yang mengabaikan batas negara; jadi, bentuk respons ini sendiri merupakan pelaksanaan norma keadilan yang transenden. Setelah penggunaannya selama bertahun-tahun, ajudikasi untuk kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi identik dengan respon terhadap penindasan di masa modern. Ciri utama dari penindasan politik adalah bahwa ia melampaui kejahatan biasa dan menimbulkan respon internasional. Dalam bentuk modernnya, kejahatan terhadap kemanusiaan bukanlah semata-mata serangan negara terhadap warga negara asing, namun pelanggaran yang dilakukannya terhadap warganya sendiri, atau menganggap warga negaranya sendiri sebagai musuh, sehingga mendestabilisasi tatanan internasional bahkan pada masa damai. Prinsip jurisdiksional yang dapat diterapkan akan melampaui batasan tradisional teritori dan pembatasan waktu. Kejahatan terhadap kemanusiaan dianggap sebagai pelanggaran terhadap seluruh umat manusia, dan dengan demikian dapat diadili oleh semua negara, yang menimbulkan prinsip jurisdiksional lain yang terkait, yaitu: “universalitas”. Sementara pelanggaran pidana harus diketahui dan dituliskan dalam hukum, agar tidak melanggar prinsip mendasar yaitu retroaktivitas, kejahatan terhadap kemanusiaan dianggap sebagai pelanggaran “menurut negara-negara beradab” dan dengan demikian bisa dihukum bahkan tanpa legislasi lebih dahulu. Pengecualian kejahatan terhadap kemanusiaan dari larangan legislasi retroaktif telah diratifikasi sebagai bagian dari Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Asasi. Pasal 7 2 mengecualikan pengadilan kejahatan terhadap kemanusiaan dari batasan retroaktivitas: “Pasal ini tidak menolak pengadilan dan penghukuman terhadap semua orang untuk semua tindakan, yang pada waktu dilakukannya, dianggap sebagai kejahatan menurut prinsip umum hukum yang diakui oleh negara-negara beradab”. 131 Prinsip universalitas pada kejahatan terhadap kemanusiaan dicontohkan oleh pengadilan Adolf Eichmann atas kejahatan yang ia lakukan di Eropa pada Perang Dunia 131 “European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms”, 4 November 1950, Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United Nations 312, No. 2889 1955: pasal 7 2. 44 Kedua. Meskipun pengadilan dilakukan puluhan tahun setelah terjadinya pelanggaran, di negara Israel, itu tidak dianggap melanggar prinsip retroaktivitas maupun teritorialitas. 132 Kalau menurut prinsip teritorialitas tradisional, komunitas yang mengalami pelanggaran harus ada di wilayah terjadinya kejahatan, maka kejahatan terhadap kemanusiaan dianggap sebagai kejahatan atau pelanggaran terhadap seluruh komunitas umat manusia. Pemahaman serupa tentang universalitas mendasari proses kejahatan terhadap kemanusiaan kontemporer. 133 Pada pengadilan kejahatan Perang Dunia Kedua yang dilakukan belakangan, seperti yang disidangkan di Kanada, jurisdiksi diberikan kepada kejahatan yang “bisa diadili di Kanada” pada saat terjadinya. 134 Pengadilan di Spanyol untuk kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan di Argentina dan Cili berdasarkan pada pemahaman universalitas yang serupa. 135 Penerapan konsep jurisdiksi universal memiliki arti proyeksi ke belakang sekaligus prospektivitas yang konstruktif. Konstruksi ini merupakan bagian dari legalitas transisional, karena ia menyelesaikan dilema pergeseran normatif sambil menaati prinsip kedaulatan hukum konvensional yaitu stabilitas dan kontinuitas hukum. Dengan kaitan politik yang ada pada penindasan, ajudikasinya sering kali mengambil salah satu dari dua bentuk: atau pelanggaran tersebut diadili di negara lain, yang memiliki jurisdiksi dengan kondisi politik yang lebih liberal, seperti dibicarakan di atas, atau diadili di tempat kejahatan tersebut terjadi, namun setelah jangka waktu tertentu. Dalam salah satu dari kedua konteks itu, pengadilan terhadap pelanggaran, yang mungkin dipengaruhi oleh kondisi politik, tidaklah didorong oleh keduanya, dan menunjukkan persistensi respon hukum terhadap pelanggaran berat dan kekuatan normatifnya. Paradoks Jangka Waktu Pertimbangkanlah fenomena pengadilan kejahatan terhadap kemanusiaan yang tidak mengenal batas waktu. Kasus-kasus tersebut mengaitkan lebih dari satu rezim, menarik benang merah politik melalui tempat dan waktu, dan memelihara perasaan tanggung jawab terhadap kesalahan di masa lalu yang pada akhirnya membangun identitas politik negara yang bertahan lama. Kejahatan terhadap kemanusiaan tidak dibatasi oleh prinsip-prinsip jurisdiksional yang lazim, seperti batasan waktu. Terdapat selang waktu hampir setengah abad antara pemerintahan teror Nazi dan komunis dan pengadilan suksesor masing-masing, yang mungkin tidak sesuai dengan intuisi normal kita tentang cara kerja peradilan pidana. 136 Lebih dari 132 Government of Israel v. Adolf Eichmann, Keputusan Mahkamah Agung 1962, bagian 11-12. 133 Lihat Tadic, dicetak ulang dalam International Legal Materials 35 1996: 32. 134 Lihat Criminal Code, R.S.C., bab c-46, § 6 1.91 Kanada, 1985, diperbaiki dalam bab 37, 1987 S.C. 1105. 135 Ini juga merupakan pemikiran House of Lords. Lihat UK House of Lords In re Pinochet, dicetak ulang dalam Opinions of the Lords of Appeal for Judgment in the Cause 15 Januari 1999, tersedia di http:www.parliament.the-stationery.off...paId199899Idjudgmtjd 990115pin01.htm . Terdapat pula pengadilan lain dengan pendekatan jurisdiksional yang serupa. Lihat juga “Orden de Prisi όn provisional incondicional de Leopoldo Fortunato Galtieri, Juzgado Número Cinco de la Audiencia Nacional Española” 25 Maret 1997, tersedia di http:www.derechos.orgnizkorargespanaautogalt.html . 136 Tentang masalah selang waktu dan respon legal, lihat David Matas, Justice Delayed: Nazi War Criminals in Canada , Toronto: Summerhill Press, 1987; Peter Irons, Justice at War: The Story of Japanese American Internment Cases , New York: Oxford University Press, 1983; Harold David Cesarani, Justice Delayed, London: Mandarin, 1992; Allan A. Ryan, Jr., Quiet Neighbors, San Diego: Harcourt Brace Jovanovich, 1984. Lihat juga 45 setengah abad setelah terjadinya, pengadilan terhadap kasus Perang Dunia Kedua diadakan di seluruh Eropa, Kanada dan Australia. Usaha peradilan kriminal lazimnya dihentikan seiring perjalanan waktu, yang dicerminkan dengan adanya batasan waktu dalam hampir semua sistem hukum, bahkan untuk kejahatan-kejahatan berat. Hanya beberapa negara yang mengikuti sistem hukum Anglo-Amerika tidak memiliki batasan demikian bagi kejahatan- kejahatan yang berat. Perdebatan tentang apakah kejahatan terhadap kemanusiaan perlu dibatasi oleh waktu yang umumnya berlaku bagi kejahatan lainnya diletakkan dalam konteks proses pasca-perang, ketika pada tahun 1965, menurut hukum yang pada waktu itu berlaku, di mana batasan waktunya adalah dua puluh tahun. Di Jerman, meskipun terdapat usaha parlmenter untuk menghentikan pengadilan, statuta pembatasan ditunda dua kali, dengan alasan bahwa selama masa pendudukan, pengadilan Jerman tidak memiliki kedaulatan untuk mengadili. Akhirnya, pada tahun 1979, jawaban terhadap pertanyaan substantifnya tidak bisa lagi ditunda: sejauh mana kejahatan terhadap kemanusiaan dapat disetarakan dengan kejahatan biasa, dan dengan demikian bisa dibatasi jangka waktunya, ataukah kejahatan-kejahatan itu merupakan pelanggaran luar biasa yang berada di luar parameter jurisdiksi normal? Setelah perdebatan panjang, keputusannya adalah untuk membatasi praktis semua pengadilan yang terkait dengan perang, kecuali yang melibatkan “pembunuhan mendasar”, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan tujuan rasial atau sadis 137 dengan motif untuk penindasan, seperti diimplikasikan dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Pada tingkat internasional, dilema ini dituntaskan dengan pengesahan konvensi PBB tentang Ketidakberlakuan Batasan Statutoris terhadap Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan. 138 Standar jurisdiksional khusus yang berlaku pada kejahatan terhadap kemanusiaan akan dimasukkan ke dalam hukum nasional. Jadi, misalnya di Prancis, “kejahatan terhadap kemanusiaan” adalah satu-satunya pelanggaran yang dikecualikan dari statuta pembatasan waktu yang ketat di negara tersebut. 139 Intuisi kita adalah bahwa keinginan politis untuk melakukan pengadilan akan berkurang setelah jangka waktu yang lama. Namun, dalam kasus pengadilan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang terjadi adalah kebalikannya. Signifikansinya tidak berkurang oleh waktu. Pertimbangkanlah mengapa ini terjadi. Sifat penindasan politik, terutama keterlibatan negara dalam pelanggaran ini, memiliki dampak terhadap efek perjalanan waktu. Penindasan secara sistemik bertentangan dengan asumsi pembuktian dan jurisdiksional berkaitan dengan perjalanan waktu. Bila negara terlibat dalam pelanggaran, berbagai aspek penting dari pelanggaran sering kali ditutup-tutupi dan tidak diketahui publik pada saat terjadinya, dan baru muncul setelah waktu yang lama: bukan hanya identitas para pelakunya, namun yang lebih penting, fakta-fakta dan karakter pelanggaran itu sendiri. Terlebih lagi, implikasi negara dalam Ronnie Edelman et al., “Prosecuting World War II Prosecutors: Efforts at an Eras’s End”, Boston College Third Law Journal 12 1991: 199. 137 Lihat Federal Supreme Court in “Criminal Cases” Vol. 18, 37 Jerman menafsirkan Pasal 211 Penal Code yang mendefinisikan pembunuhan. Pelanggaran domestik yang relevan dalam hukum Jerman adalah pembunuhan yang dilakukan dengan “motif mendasar”. Lihat Robert Monson, “The West German Statute of Limitations on Murder: A Political, Legal, and Historical Explanation”, American Journal of Comparative Law 30 1992: 605. 138 “Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes against Humanity”, U.N. General Assembly Resolution 2391 XXIII, 11 November 1970. 139 Lihat Law No. 64-1326, 29 Desember 1964 Dalloz, Code Penal 767, 1970-1971. Lihat juga Journal Official de la Republique Francaise, 29 Desember 1964, 11.788; Pierre Mertens, “L’Imprescribilité des crimes de guerre et des crimes contre I’humanité,” Revue de Droit Penal et de Criminologie 51 1970: 2004. 46 pelanggaran, dan juga dalam usaha untuk menutupinya, meningkatkan kemungkinan politisasi terhadap kebijakan penghukuman. Dalam pengadilan pasca-Perang Dunia Kedua, dorongan politik untuk mengadili meningkat, berkurang dan meningkat lagi seiring perjalanan waktu. Tepat ketika perang berakhir, masih terdapat keinginan besar untuk mencapai keadilan dari pihak Sekutu, namun kemudian dengan adanya Perang Dingin dan pergeseran politik, dorongan ini menyusut. Perjalanan waktu memiliki arti pergantian rezim yang akan memungkinkan usaha pencarian keadilan. Misalnya, transisi menuju demokrasi pada dekade 1980-an di Bolivia memungkinkan ekstradisi ke Prancis dan pengadilan terhadap antek Nazi, Klaus Barbie, lebih dari empat dekade setelah kekejaman-kekejaman yang ia lakukan. 140 Perubahan rezim sering kali mendorong pembuktian, seperti dengan memberikan akses pada arsip pemerintah dan sumber lain tentang rezim pendahulu, sehingga memungkinkan tercapainya keadilan. Misalnya, perubahan politik di bekas blok komunis berarti akses lebih banyak pada arsip KGB dan partai komunis, menghasilkan arus informasi yang memungkinkan pengadilan. Akhirnya, bukti baru muncul secara kebetulan setelah jangka waktu tertentu. Misalnya, beberapa peristiwa kebetulan mengarah pada pengadilan nasional di Jerman, ketika pada pertengahan dekade 1950-an di kota Ulm ditemukan secara kebetulan keterlibatan Nazi pada masa lalu dalam suatu kasus non-pidana. 141 Penemuan ini mendorong penyelidikan yang akhirnya berpuncak pada program pengadilan Perang Dunia Kedua di Jerman. Dalam contoh lain yang lebih mutakhir, dua dekade setelah pemerintahan junta di Argentina, pengakuan seorang anggota angkatan laut tentang kejahatan terhadap kemanusiaan yang ia lakukan penghilangan membuka kembali peristiwa-peristiwa masa tersebut. Apa yang disebut sebagai “Efek Scilingo” 142 ini mendorong penyelidikan baru terhadap penghilangan dan penangkapan kembali terhadap para pemimpin junta. Sifat persisten pengadilan kejahatan terhadap kemanusiaan menunjukkan bahwa perjalanan waktu dalam hal ini bekerja secara paradoksal dan bertentangan dengan intuisi normal kita. Bahkan setelah beberapa generasi, rezim penerus tetap mengadili kejahatan rezim lama, meskipun tidak dengan sanksi yang berat. Jurisprudensi persistensi pengadilan ini tidak dijelaskan dengan baik oleh argumen peradilan pidana tradisional. Dengan bertambahnya usia para korban dan pelaku, tujuan retributif menjadi kehilangan signifikansinya. Dengan persidangan puluhan tahun setelah terjadinya pelanggaran, proses tersebut nyaris tidak memajukan tujuan penghukuman tradisional traditional penal untuk penggentaran atau perbaikan. Terlebih lagi, bahkan tujuan keadilan yang memandang ke depan, seperti untuk membangun demokrasi, menyusut karena berbagai perubahan politik telah menjadi sasarannya. Namun, perdebatan tentang apakah proses penghukuman kejahatan terhadap kemanusiaan perlu dilanjutkan setelah jangka waktu yang lama menunjukkan pengakuan terhadap beratnya pelanggaran tersebut dalam spektrum pelanggaran. Pada perdebatan PBB tentang Konvensi Ketidakberlakuan Batasan Statutoris terhadap Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan, pencabutan batasan waktu dijustifikasi pada dasar 140 Lihat Barbie, 78 ILR 125. 141 Rückerl, Investigation of Nazi Crimes, 48. 142 Lihat Martin Abregu, La Tutela Judicial del Derecho de la Verdad en la Argentina, 24 Revista IIDH 1996, II, 12-15. 47 “kekejaman” yang luar biasa dari kejahatan tersebut. 143 Dalam perdebatan Jerman tentang statuta pembatasan waktu, perpanjangan waktu dijustifikasi secara normatif, berdasarkan pada beratnya kejahatan. Pada perdebatan lebih lanjut tentang pengadilan, penghargaan bagi kehormatan para korban, dan juga implikasi pengampunan terhadap perlindungan hak-hak mereka secara setara di muka hukum, menjadi tujuan yang sering terdengar. 144 Perasaan “sekarang atau tidak sama sekali” dan keinginan untuk memberikan perlindungan yang setara bagi hak-hak para korban terlihat dalam peran penting mereka dalam peradilan berkaitan dengan perang pada akhir masa tersebut. Ini terlihat dalam pengadilan pasca-perang yang tertunda terhadap Klaus Barbie, Paul Touvier dan Maurice Papon di Prancis. Hal serupa terjadi di Inggris, di mana para kelompok korban menunjukkan keberadaan para tersangka pelaku kejahatan perang Nazi kepada otoritas pemerintahan Inggris. 145 Peran para korban dalam peradilan transisional bervariasi secara dramatik dalam berbagai budaya hukum. Dalam hukum kontinental, para korban melakukan penuntutan, di mana mereka berperan sebagai penuntut privat, seperti dalam prosedur partie civile di Prancis dan querellante di Amerika Latin. Dalam hukum Anglo-Amerika, partisipasi pihak privat dalam proses pidana dianggap bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan dan mengancam kedaulatan hukum. 146 Respon hukum di sini bekerja dengan cara simbolis, mengekspresikan suatu pesan yang menunjukkan ketaatan negara pada kedaulatan hukum. 147 Perkembangan hukum internasional selama bertahun-tahun memperluas definisi kejahatan terhadap kemanusiaan lebih lanjut lagi hingga penindasan modern. Pada gilirannya, hal ini memberikan batasan bagi kedaulatan negara, yang bahkan mencakup kedaulatan negara untuk memberikan atau tidak memberikan hukuman. Konseptualisasi penindasan diawali dengan pandangan “objektif” yaitu status para korban yang dilindungi. Sehingga secara historis, kejahatan tehadap kemanusiaan didefinisikan dengan status warga sipil dalam kondisi perang dan pelanggaran yang mencakup penindasan etnik, keagamaan dan rasial. Konseptualisasi kontemporer lebih luas, karena ia tidak hanya terbatas pada perlakuan terhadap warga negara asing, namun juga mencakup pelanggaran yang dilakukan terhadap warga negara yang sama bahkan dalam kondisi damai, sehingga melindungi warga dari penindasan berdasarkan ras, etnik, agama atau politik. Jadi, dalam pengadilan pada tahun 1987 terhadap Klaus Barbie, kepala Nazi di Lyons masa pendudukan, karena memerintahkan deportasi ke kamp-kamp pembunuhan, isu kritisnya adalah apakah anggota kelompok resistance pejuang gerilya yang bersenjata, korban yang 143 United Nations, Ecosoc, Commission on Human Rights, sesi ke-22, Question of Punishment of War Criminals and of Persons Who Have Committed Crimes against Humanity: Question of the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes against Humanity, diserahkan oleh Sekretaris-Jenderal, 1966, hlm. 84. 144 Untuk tinjauan tentang argumen Jerman untuk mencabut statuta pembatasan waktu terhadap pembunuhan era Perang Dunia Kedua, lihat Martin Clausnitzer, “The Statute of Limitations for Murder in the Federal Republic of Germany”, International and Comparative Law Quarterly 29 1980: 478; Monson, “The West German Statute of Limitations on Murder”, 618-25. Lihat juga Jaime Malamud-Goti, “Punishment and a Rights-Based Democracy”, Criminal Justice Ethics 3 musim panasgugur 1991. Tentang peran para korban dalam usaha penghukuman, lihat Jeffrie G. Murphy, “Getting Even: The Role of the Victim”, dalam Ellen Frankel Paul et al. eds., Crime, Culpability and Remedy, Cambridge, Mass: Blackwell, 1990, 209. 145 Lihat “Questions of Justice”, The All-Party Parliamentary War Crimes Group 1, debat parlementer, House of Lords Official Report 1079 1990. 146 Lihat Young v. Vuitton, 481 US 787, 811-12 1987. Lihat juga George Fletcher, With Justice for Some: Victims’ Rights in Criminal Trials , Reading, Mass: Addison-Wesley, 1995. 147 Tentang otoritas moral korban, lihat Skhlar, Legalism: Law, Morals, and Political Trials. 48 statusnya sebagai warga sipil yang dilindungi tidak jelas, akan dilindungi oleh cakupan “kejahatan terhadap kemanusiaan”. Pada akhirnya menurut mahkamah agung Prancis, pertanyaan relevannya adalah bukan status para korban, namun tujuan tindakan yang dilakukan para tertuduh. Yang menunjukkan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah tujuannya untuk menindas. 148 Penindasan didefinisikan oleh pengadilan sebagai tindakan yang dilakukan secara sistematis atas nama “negara yang mempraktikkan kebijakan supremasi ideologis”. 149 Dalam contoh kontemporer lainnya, doktrin perlindungan dari tribunal kejahatan perang internasional ad hoc tidak hanya mencakup masa pasca-perang, namun melampaui batasan antara penduduk sipil dan kombatan, perang dan damai. Jurisprudensi transisional tentang kejahatan terhadap kemanusiaan berevolusi dari sekadar status atributif – ke motif penindasan. 150 Pemahaman kontemporer tentang tindakan-tindakan tidak manusiawi pada akhirnya berfokus pada kebijakan negara, dan dengan demikian menjelaskan mengapa, meskipun terdapat selang waktu yang panjang, kejahatan terhadap kemanusiaan tetap dianggap perlu mendapatkan hukuman. Meskipun keterlibatan negara tidak dijadikan sebagai syarat, penindasan merupakan kejahatan yang sedemikian berat, sehingga bahkan jika negara tidak terlibat secara terbuka, pelanggaran tersebut dilakukan dengan latar belakang kebijakan pemerintahan. Dalam elaborasinya yang paling mutakhir, dalam kodifikasi untuk pengadilan pidana internasional permanen, kejahatan terhadap kemanusiaan didefinisikan dengan “serangan yang luas atau sistematis terhadap kelompok penduduk sipil apa pun”. 151 Kebijakan penindasan memiliki arti liabilitas atau pertanggungjawaban kolektif, dengan konsekuensi yang berlanjut terhadap identitas politik negara sepanjang waktu. Penindasan melampaui korban-korban secara individual dan pelaku, dengan implikasi bagi masyarakat secara keseluruhan. Bila negara terlibat dalam penindasan, hal-hal mendasar tentang peradilan pidana menjadi terancam; persekongkolan, usaha menutup-nutupi kebenaran, dan halangan lainnya mempengaruhi kemungkinan untuk mencapai keadilan. Kejahatan terhadap kemanusiaan menunjukkan dampak peran negara dalam kesalahan di masa lalu sebagai elemen penting kondisi peradilan yang terkompromi pada masa transisi. Bahkan, faktor ini bisa banyak menjelaskan mengapa timbul ketegangan apabila rezim penerus tidak merespon ketidakadilan, 148 Barbie, 78 ILR 139-40. Lihat juga Jugement de Maurice Papon 21 April 1998 didakwa melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. 149 Barbie, 78 ILR 128. 150 Lihat Statute of the International Tribunal for the Former Yugoslavia, 1173. Lihat juga Tadic, dicetak ulang dalamn International Legal Materials 35 1996: 32, 48-73. 151 Pasal 7 dari Rome Statute of the International Criminal Court meluaskan definisi “kejahatan terhadap kemanusiaan” seperti berikut ini: [T]indakan berikut ini bila dilakukan sebagai bagian dari serangan yang luas atau sistematis, dilakukan terhadap kelompok masyarakat sipil manapun, dalam bentuk: a pembunuhan; b pemusnahan; c perbudakan; d pengusiran atau pemindahan paksa terhadap penduduk; e pemenjaraan ...; f penyiksaan; g pemerkosaan, perbudakan seksual ...; h penindasan terhadap kelompok atau kolektif yang diidentifikasi atas dasar ... politik, rasial, nasional, etnik, budaya, agama, jender ...; i penghilangan paksa manusia; j kejahatan apartheid; dan k tindakan tidak manusiawi lainnya yang memiliki karakter serupa ... Rome Statute of the International Criminal Court , U.N. Diplomatic Conference of Plenipotentiaries on the Establishment of an International Criminal Court, Pasal 7, U.N. doc. A Conf.1839 17 Juli 1998 49 di mana hal itu sendiri merupakan salah satu petunjuk kondisi tidak ideal dari keadilan transisional. Dalam pergantian rezim, masalah tersebut mengarah pada konstruksi pemahaman tentang tanggung jawab pidana yang berlanjut yang dikenal sebagai “impunitas”. Anggapan tentang pelanggaran yang berkelanjutan ini bila tidak ada hukuman merekonseptualisasi pelanggaran tersebut. Lebih lanjut lagi, logika ini menjustifikasi pencabutan batasan waktu konvensional terhadap pengadilan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti juga pemikiran analog dalam hukum pidana biasa yang menjustifikasi pencabutan batasan waktu terhadap pelanggaran seperti penipuan atau konspirasi yang melibatkan pejabat negara, karena keterlibatan negara memiliki konsekuensi yang membatasi kemungkinan tercapainya keadilan. Masalah ini menjadi lebih parah dalam rezim penindas bila mereka yang seharusnya menjadi pelaksana keadilan malah menjadi pelanggarnya. Bila negara terlibat dalam penindasan, kesetaraan dan keamanan di bawah hukum menjadi terancam. Dengan demikian, signifikansi respon transisi melampaui kasus individual untuk mengekspresikan pesan normatif tentang perlindungan yang setara, yang merupakan dasar kedaulatan hukum. Pengadilan kejahatan terhadap kemanusiaan membantu mengkonstruksikan pergeseran normatif transisional dengan mengutuk represi di masa lalu sambil sekaligus memperkuat pengembalian keamanan dan kesetaraan menurut hukum. Implikasi normatif respon legal ini melampaui masa transisi. Pengadilan atas kejahatan terhadap kemanusiaan menunjukkan signifikansi berlanjut respon negara terhadap penindasan. Pada akhir abad ke-20, penindasan sebagai kebijakan sistematis tidak diragukan lagi dianggap sebagai paradigma tirani modern. Dalam jurisprudensi kejahatan terhadap kemanusiaan, sanksi terkuat hukum merupakan respon kritis terhadap kebijakan represif di masa lalu. Bila penindasan di masa lalu “disahkan” oleh hukum, pengadilan terhadapnya menunjukkan perbedaan normatif dan pergeseran ke legalitas yang baru. Peradilan pidana digunakan untuk menunjukkan perbedaan antara pemerintahan liberal dan non-liberal. Penerapan hukuman untuk kejahatan terhadap kemanusiaan memberikan perlindungan bagi hak-hak yang terkait pada perbedaan kontemporer antara pemerintahan otoriter dan liberal. Peradilan pidana suksesor bisa membantu menjelaskan signifikansi pengadilan kontemporer lainnya. Jadi, sebagai contoh, dalam jurisprudensi konstitusional Amerika, diskriminasi yang disponsori negara mendapatkan perhatian konstitusional yang paling ketat. Pentingnya pengadilan terhadap kejahatan yang berkaitan dengan masalah ras ini, bahkan setelah selang waktu yang panjang, bisa dipahami dalam konteks sejarah Amerika yang mengalami diskriminasi rasial yang disponsori negara, yang menimbulkan masalah keadilan transisional yang belum terselesaikan. Bahkan bila pelanggaran rasis disponsori secara pribadi, hal itu mengingatkan orang pada penindasan yang didukung negara di masa lalu, dan menimbulkan kemungkinan tanggung jawab kolektif yang berlanjut, dengan potensi konsekuensi sosial yang parah kecuali bila ada respon yang transformatif. 152 Peradilan Pidana Transisional: Beberapa Kesimpulan Peradilan pidana transisional tidak hanya memajukan tujuan-tujuan hukuman yang konvensional dalam negara yang taat kedaulatan hukum. Peran peradilan pidana dalam saat 152 Ilustrasi mutakhir tentang hal ini adalah pengadilan ketiga terhadap pembunuhan Medgar Evers. Mississippi v. Byron De La Beckwith, 702 S2d 547 Miss., 1997, cert. denied, 525 vs 880 1998. 50 transisi, seperti ditunjukkan pengalaman di atas, melampaui penghukuman konvensional. Ia melampaui unsur-unsur yang lazim terdapat dalam peradilan pidana, seperti penggentaran, yang telah terdapat dalam reformasi politik dan dimajukan oleh proses itu, yang menyertai transisi, di mana perubahan dalam struktur institusional negara mempengaruhi pertimbangan konsekuensi dari tindakan yang mungkin akan dilakukan. Namun, peradilan transisional memajukan tujuan lainnya yang khas pada perubahan politik, seperti memajukan tercapainya kedaulatan hukum dalam masa transisi. Tujuan-tujuan inilah yang menimbulkan dilema tentang peran hukum dalam masa perubahan politik: utamanya, bagaimana mendamaikan perubahan normatif dengan ketaatan pada legalitas konvensional. Dilema ini dituntaskan dalam praktik transisional di atas dengan membatasi hukuman dalam proses parsial dan simbolik, suatu dasar perubahan yang dikendalikan dengan baik. Sanksi transisional ini memiliki peran kompleks dalam transformasi politik: hukum ikut membangun transisi, mengutuk tindakan salah di masa lalu – bahkan sambil ia meninggalkannya di masa lalu – sementara memperkuat ketaatan pada kedaulatan hukum. Transisi bervariasi dalam hal sejauh mana beragam transisi itu mendorong transformasi norma yang lebih substansial. Jika rezim lama dipertahankan oleh kebijakan penindasan yang dirasionalkan oleh sistem “hukum”, pertimbangan inilah yang ditentang oleh respon hukum kritis. Melampaui peran hukum pidana konvensional dalam menunjukkan keberlakuan dan melindungi nilai-nilai yang telah ada, 153 hal yang membedakan respon pidana transisional adalah usahanya untuk mengadakan dan memperkuat perubahan normatif. Usaha ini terlihat jelas dalam fokus khusus respon transisional dari berbagai negara untuk “membongkar” kekerasan politik masa lalu melalui proses penyelidikan dan penuntutan, dua ritual pengetahuan kolektif yang memungkinkan pengutukan terhadap pelanggaran di masa lalu. 154 Respon kritis terhadap penindasan di masa lalu ini menjelaskan bahwa kebijakan adalah buatan manusia, dan dengan demikian dapat diperbaiki. Dengan pengetahuan tentang kesalahan di masa lalu dan pembebanan tanggung jawab kepada individu pelaku, kemungkinan untuk perubahan menuju demokrasi bisa tercapai. Dengan cara ini, sanksi pidana transisional membebaskan rezim penerus dari kesalahan-kesalahan pendahulunya di masa lalu. Melalui proses hukum yang teritualisasi soal pencaplokan atau pelepasan, penerimaan dan penolakan, kehilangan dan penerimaan, masyarakat bergerak ke arah yang lebih liberal, melalui proses yang memungkinkan transformasi dan kemungkinan penebusan kesalahan. 155 Suatu bentuk peradilan pidana, seperti ditunjukkan praktik transisional, merupakan ritual dari negara-negara yang sedang menuju demokrasi, karena melalui praktik ini norma- norma dikemukakan ke masyarakat. Melalui proses yang dikenal dan ketat, ditariklah suatu garis, membebaskan masa lalu, yang memungkinkan masyarakat untuk bergerak maju. Meskipun hukuman secara konvensional dianggap cenderung retributif, dalam masa transisi, tujuannya adalah korektif, tidak hanya kepada pelaku individual tetapi ke masyarakat secara luas. Tujuan ini dilihat dalam sikap terhadap pelanggaran politik sistematis, misalnya dalam persistensi untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan – pelanggaran politik yang menindas, yang merupakan respon kritis terhadap pemerintahan non-liberal melalui hukum 153 Lihat Joel Feinberg, Doing and Deserving, Princenton: Princenton University Press, 1970. 154 Lihat Girard, Violence and the Sacred. 155 Lihat umumnya Hart, Punishment and Responsibility, 170-73. 51 pidana. Terlebih lagi, sementara penghukuman konvensional dianggap memecah-belah masyarakat, dalam transisi, ketika penghukuman dilakukan, ia dilakukan secara terbatas untuk memungkinkan tercapainya sistem politik yang liberal. Dengan demikian, proses pidana memiliki kedekatan dengan respon nonkriminal lainnya, yang dibicarakan dalam bab-bab lain, yang menyusun keadilan transisional. Dalam keadilan transisional, dilema kedaulatan hukum menjadi penting karena kondisi yang luar biasa dari perubahan politik yang radikal. Namun masa-masa itu tidak terputus dari masa sebelumnya, namun secara jelas menggambarkan masalah-masalah yang biasanya kurang transparan dalam sistem peradilan yang lebih mapan, dan dengan demikian, jurisprudensi transisional bisa menjelaskan pemahaman kita tentang kebijakan peradilan pidana secara lebih umum. Yang paling signifikan, pengalaman di muka menunjukkan potensi hukum pidana tidak hanya sebagai instrumen stabilitas, tetapi juga untuk perubahan sosial. 1

Bab 3 Keadilan Historis