1
Bab 5 Keadilan Administratif
Bab ini akan melihat pada situasi-situasi ketika hukum menjadi pendorong perubahan revolusioner. Dalam transisi politik sebagai hasil negosiasi, transformasi sering kali
bergantung pada kekuatan hukum. Hukum publik yang dipolitisasi dapat menimbulkan perubahan radikal bila ia mendistribusikan kekuasaan secara eksplisit berdasarkan ideologi
yang baru. Tindakan administratif yang dipolitisasi dalam skala besar sering kali dilakukan dalam masa-masa perubahan politik di seluruh dunia: setelah Perang Saudara Amerika Serikat,
dalam pergeseran dari perbudakan ke kebebasan; di Eropa pasca-perang, dalam pergeseran dari fasisme ke demokrasi; di Eropa pasca-komunis, dari totalitarianisme ke ekonomi pasar
yang lebih bebas; dan di Amerika Latin pasca-rezim militer, dalam pergeseran ke pemerintahan sipil. Pelaksanaan hukum administratif yang dipolitisasi dikatakan selalu
diarahkan ke tujuan yang mulia, yaitu untuk melindungi transisi; namun, pernggunaan hukum demikian, yang berdasar pada keputusan yang kategoris, menyerupai keadilan politis di rezim-
rezim totaliter. Tindakan-tindakan demikian menimbulkan pertanyaan: apa kaitan cara-cara non-liberal dengan tujuan liberal? Bila ideologi non-liberal telah merasuki masyarakat,
bagaimana cara masyarakat itu bisa diarahkan ke sistem politik yang lebih liberal? Apa potensi revolusi melalui hukum? Sejauh mana masyarakat transisional bergantung pada
kebiasaan politik masa lalu sebagai dasar transformasi? Apa parameter normatifnya bila ada? Apa justifikasi untuk politisaasi tersebut? Bagaimana kepentingan rezim penerus bisa
disesuaikan dengan kebutuhan untuk menjamin hak-hak individual? Dilema yang timbul ini berkaitan dengan cara dan tujuan. Apakah keadilan administratif transisional merupakan hal
buruk yang diperlukan untuk mengarah ke transformasi kemasyarakatan?
Dilema utama dalam hal ini terlihat dalam diskusi antara Arthur Koestler dan Maurice Merleau-Ponty tentang “pembersihan” purge era Stalin. Dalam argumen mereka, Koestler
dan Merleau-Ponty menggunakan tokoh “komisaris” dan “yogi” untuk menggambarkan kedua kubu yang bertentangan itu: sang komisaris membela pembersihan politik karena ia percaya
pada revolusi dan bahwa “tujuan menghalalkan segala cara”, dan sang yogi menentang pembersihan karena ia percaya bahwa perubahan revolusioner tidak mungkin terjadi, sehingga
ia menyimpulkan “karena sasaran itu bersifat tidak dapat diramalkan ... cara-lah yang menjadi penting”.
1
Pertanyaannya adalah: apa kegunaan dan justifikasi cara dan tindakan yang jelas- jelas bersifat politis yang diambil dalam masa perubahan politik radikal? Inilah subjek yang
akan dibahas dalam bab ini. Setelah berakhirnya pemerintahan represif, timbul pertanyaan penting: apa kaitan suatu
pemerintahan yang jahat dengan warganya? Revolusi memiliki arti perubahan di tingkat kepemimpinan; namun, untuk mengadakan perubahan politik yang substansial, diperlukan
lebih dari sekadar pergantian pemimpin di tingkat teratas. Dan, sering kali masyarakat transisional menggunakan tindakan administratif secara luas untuk mendistribusikan ulang
kekuasaan antara warga negara. Bagaimana masyarakat yang sedang mengalami transformasi
1
Arthur Koestler, The Yogi and the Commissar, and Other Essays, New York: Macmillan, 1945; lihat Maurice Merleau-Ponty, Humanism and Terror: An Essay on the Communist Problem, Boston: Beacon Press, 1969.
2 berpikir tentang penggunaan cara-cara yang berdasarkan pada kelas politik? Intuisi kita adalah
mengkonseptualkan tindakan-tindakan tersebut dengan cara yang antinomik: sebagai hukuman yang retrospektif, atau kondisi tatanan politik yang prospektif. Tindakan administratif
transisional tampak paradoksal, dan tidak sesuai dengan intuisi yang berdasarkan pada hukum di masa biasa. Dalam beberapa hal, tindakan tersebut memandang ke depan, untuk
mengadakan transformasi politik. Namun, di sisi lain, tindakan administratif transisional memandang ke belakang, seperti sanksi punitif. Dalam karakternya yang memandang ke
belakang ini, respon-respon demikian menyerupai sanksi pidana; sementara dalam memandang ke depan, tindakan-tindakan ini merupakan usaha berskala besar untuk menyusun
kembali komunitas, institusi dan proses politik, dan dalam hal ini keadilan administratif menyerupai langkah-langkah konstitusional.
Berkaitan dengan pertentangan antara sifatnya yang memandang ke belakang sekaligus ke depan adalah subjek peraturan ini, yang mencakup individu maupun kolektif. Peradilan
pidana biasanya berusaha menentukan tanggung jawab individual terhadap kesalahannya, namun tirani negara birokratik modern menyebarluaskan tanggung jawab dalam seluruh
pemerintahan. Sehingga, penggunaan hukum pidana biasa tidak tepat, terutama bila mereka yang terlibat dalam represi di masa lalu tidak hanya tidak dihukum, namun masih tetap
memegang kekuasaan dalam rezim yang baru. Sementara sanksi pidana biasanya ditimbulkan dari kesalahan individual, sanksi perdata yang bersifat administratif didasarkan pada syarat-
syarat untuk penyingkiran, terutama loyalitas politik, yang secara sistematis mendiskualifikasikan kelompok-kelompok tertentu secara keseluruhan dari pemerintahan yang
baru.
Syarat kategoris yang muncul terus menerus dalam respon transisional ini memiliki bentuk yang tegas: suatu kebijakan penyingkiran, yang mengingatkan kita pada teori politik
Thomas Hobbes, yang kemudian muncul kembali dalam tulisan Carl Schmitt, yaitu bahwa “tindakan dan motif politik dapat direduksi menjadi ‘kawan’ dan ‘lawan’”.
2
Suatu hukum perdata yang terpolitisasi dapat menciptakan rezim politik yang baru, dengan menunjukkan
pergeseran pemegang kekuasaan konstitutif dan kedaulatan. Respon kolektif yang bersifat ideologis tidak bisa dilepaskan dari politik dalam
transformasi. Dilema keadilan administratif tergambar dalam pengalaman dari masa kuno, Amerika Serikat pasca-Perang Saudara, Eropa pasca-Perang, Amerika Latin pasca-rezim
militer dan dekomunisasi bekas blok Soviet. Langkah-langkah tersebut menggambarkan bahwa penyelesaian praktis yang merupakan gabungan hukum dan politik diciptakan dalam
masa-masa pergolakan. Dengan penggabungan tersebut, proses-proses dan justifikasi bersama menunjukkan bahwa bentuk-bentuk tindakan tersebut tidak bertentangan dengan tujuan
mereka, namun terkait dengan keperluan transformatif. Pembahasan tentang contoh-contoh historis di bawah ini menggambarkan peran praktik-praktik tersebut dalam transformasi
radikal. Sodom dan Gomora: “Pembersihan” Dua Kota yang Jahat
2
Carl Schmitt, The Concept of the Political, terjemahan George Schwab, Chicago: University of Chicago Press, 1996, 26.
3 Pertanyaan inti yang dicoba dijawab dalam bab ini adalah kaitan politik individu dengan
politik kolektif dan bagaimana kaitan ini dipikirkan kembali dan dibangun kembali dalam transformasi politik radikal. Sejak masa kuno pun, pertanyaan ini dianggap sebagai inti
kemungkinan perubahan politik. Ini tampak dalam kisah biblikal tentang dialog terkenal tentang rencana untuk menghancurkan Sodom dan Gomora, dua kota yang dikatakan “bejat”.
3
Kedua kota itu memperlakukan tamu-tamunya dengan buruk – mulai dari ketidakramahan hingga usaha pemerkosaan. Setelah kekejaman ini dilakukan, pertanyaannya adalah: respon
apa yang tepat, dan apakah kedua kota itu harus dihancurkan karena dosa-dosa mereka? Dilemanya adalah apabila kota-kota itu harus dihancurkan, itu berarti bahwa orang-orang
benar akan ikut musnah bersama orang-orang berdosa. Pertanyaan utamanya adalah: apa kaitan warga dengan identitas politik dari kota itu, dan sejauh mana keberadaan warga negara
yang “baik” mempengaruhi identitas suatu kota?
Kisah biblikal ini menunjukkan kaitan yang subtil antara identitas politik kota dengan identitas warganya, antara kolektif dan individual. Kota-kota tersebut tidak bisa diselamatkan
hanya karena ada satu orang benar. Dalam tawar menawar, jumlah orang benar yang diperlukan untuk menyelamatkan kota dimulai dari lima puluh, “Jika Kudapati lima puluh
orang benar dalam kota Sodom, Aku akan mengampuni tempat itu karena mereka”, dan turun hingga sepuluh, “Aku tidak akan memusnahkannya karena yang sepuluh itu”.
4
Terdapat titik balik dalam kaitan antara identitas individual dan kota yang menjadi batas identitas kolektif
politik. Lebih lanjut lagi, apakah keberadaan beberapa orang benar sudah cukup untuk tidak
memusnahkan kota-kota itu? Menyelamatkan kota-kota itu menimbulkan pertanyaan tidak saja tentang jumlah orang benar yang cukup, namun juga tentang apa yang menyusun suatu
komunitas politik. Kisah tersebut menyatakan bahwa orang-orang benar tersebut harus ditemukan “dalam kota Sodom”, yang memiliki arti bahwa mereka haruslah ikut berpartisipasi
dalam lingkup publik.
5
Dalam sebuah kota yang layak diselamatkan, paling tidak harus ada sepuluh warga yang merupakan komunitas yang berpartisipasi dalam politik. Bahkan,
pemahaman tentang politik yang “bersih” sebagai syarat partisipasi dalam lingkup publik tampak dalam teori politik Aristotelian di kemudian hari. Pesan tentang apa yang menyusun
masyarakat sebagai hal yang normatif dipertegas dalam bagian lain dalam kisah biblikal tersebut. Lebih luas dari pertanyaan ini adalah tentang apa kaitan yang tepat antara individu
dan kolektif, yang ditentukan dalam redefinisi afiliasi politik berdasarkan batas keanggotaan dan partisipasi. Dosa-dosa yang dilakukan oleh kota-kota yang bejat ini dengan sendirinya
berkaitan dengan kebejatan seluruh warga kotanya, karena mereka telah melanggar prinsip- prinsip mendasar keadilan sosial yang mencakup perlakuan buruk terhadap tamu-tamu. Sejak
masa kuno, warga asing yang berada di luar komunitas politiknya secara normatif tetap dilindungi tanpa memperhatikan batas negara. Pertanyaan tentang respon apa yang diperlukan
– terhadap penganiayaan orang-orang asing, di luar perlindungan hukum komunitas tersebut – tetap relevan hingga masa modern ini.
3
W. Gunther ed., “Genesis”, dalam The Torah: A Modern Commentary, New York: Union of Hebrew Congregations, 1981, 18: 16-19: 38.
4
Ibid., 18: 23-32.
5
Lihat Nehama Leibowitz, Studies in the Book of Genesis, in the Context of Ancient and Modern Jewish Bible Commentary
, terjemahan Aryeh Newman, Yerusalem: World Zionist Organization, Department for Torah Education and Culture in the Diaspora, 1976, 185-86.
4 Dalam kisah biblikal ini, legitimasi kedua kota ini masih perlu ditentukan terlebih
dahulu. Kedua kota ini pada akhirnya dimusnahkan, namun tidak secara sewenang-wenang. “Sesungguhnya banyak keluh kesah orang tentang Sodom dan Gomora dan sesungguhnya
sangat berat dosanya. Baiklah aku turun untuk melihat ...”
6
Bahkan, Yang Maha Mengetahui pun masih merasa perlu melakukan penyelidikan. Kebenaran politik, atau loyalitas, adalah hal
yang diselidiki melalui proses publik, sesuai dengan kondisi dan dalam jangka waktu yang panjang. Seperti dalam ilustrasi klasik ini, proses “evaluasi” inilah yang merupakan bagian
keadilan administratif, yang berpuncak pada ritual-ritual politik lustrasi, yang akan dibicarakan lebih lanjut dalam bab ini.
Meskipun intuisi liberal menekankan signifikansi tindakan individual, syarat perubahan menuju masyarakat sipil seperti ditunjukkan dalam kisah klasik tersebut tidaklah
semata-mata terkait dengan individu, namun mencakup pula hubungan antara individu dengan masyarakatnya. Pemusnahan kedua kota tersebut menunjukkan bahwa identitas politik suatu
kelompok politis berdasarkan pada batasan minimal kelompok politik berdasarkan jumlahnya. Terdapat juga kaitan antara masa lalu kota-kota tersebut dengan masa depannya: sejarah
kejahatan di kota-kota itu memiliki dampak penting, karena mengakibatkan kehancurannya di masa berikutnya. Keputusan ini bersifat radikal dan absolut: karena kejahatannya di masa lalu,
kota-kota tersebut kehilangan masa depannya. Transformasi politik mutlak diperlukan untuk keberlangsungan kehidupan politik, dan meskipun terdapat intuisi liberal yang sering
dikonstruksikan untuk memberikan nilai tambah pada peran individu, usaha transformasi politik memiliki persyaratan, yaitu keberadaan badan partisipatoris. Pemusnahan kedua kota
ini merupakan contoh awal peran sanksi kolektif dalam transisi politik. Pada dasarnya pemusnahan ini menggambarkan keterbatasan dan batas-batas kemungkinan perubahan.
Merekonstruksi Amerika Mungkin eksperimen terbesar dalam rekonstruksi identitas politik melalui hukum publik
terjadi pada abad ke-19. Kasus ini memiliki relevansinya karena ia menggambarkan peran konflik politik yang berkelanjutan dengan lingkup perubahan politik dan batasan-batasan
terhadap tindakan-tindakan politis yang dijalankan dalam sistem demokrasi konstitusional.
Setelah Perang Saudara di Amerika, masa yang dikenal sebagai Rekonstruksi adalah masa pergulatan nasional tentang transformasi negara Serikat tersebut. Dalam masa ini
terdapat dilema tentang bagaimana merespon konflik berdarah yang menimbulkan banyak korban, suatu lembaran hitam dalam sejarah negara tersebut, ketika perbedaan politis
diselesaikan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan Konstitusi. Ilegalitas inilah – sifat Perang Saudara yang ekstrakonstitusional – yang merupakan titik tolak rekonstruksi. Jika
Perang Saudara dan pemisahan Konfederasi dianggap terjadi di luar hukum, timbul pertanyaan tentang bagaimana menunjukan ketidaktaatan Selatan ini. Bagaimana Serikat dikhianati?
Apakah Serikat dikhianati oleh negara-negara bagian “pemberontak”, sebagai negara bagian, atau oleh warganya, sebagai warga “pemberontak”? Dan, bila pelanggaran dilakukan oleh
individu maupun negara bagian, apa arti rekonstruksi? Rekonstruksi lebih dari sekadar restorasi – ia memiliki arti perubahan politik yang lebih luas. Hal ini menimbulkan pertanyaan
tentang apa yang seharusnya menjadi kaitan antara masa lalu Serikat dengan masa depannya,
6
Plaut ed., “Genesis”, 18:20-21.
5 negara-negara bagian yang memberontak dan warganya. Rekonstruksi menyoroti
kemungkinan restrukturisasi individu, warga negara dan negara, dalam gejolak politik yang radikal.
Sejauh mana negara-negara bagian yang memberontak dapat menjadi anggota sepenuhnya dan setara dalam Serikat yang baru? Apakah loyalitas politik di masa lalu
berkaitan dengan representasi politik di masa depan dalam Serikat? Apakah negara-negara bagian yang memberontak dan warganya dapat dianggap sebagai pengkhianat dan dipidana?
Dan, meskipun pada masa perang mereka dijatuhi status penjahat perang, apakah anggota Konfederasi dan pendukungnya akan direstorasi? Tindakan pidana sejauh mungkin dihindari,
selain pengadilan pemimpin Konfederasi, Jefferson Davis dan Kapten Henry Wirz, kepala kamp tahanan Andersonville. Namun, apakah suatu Serikat yang demokratis dapat dibentuk
dari anggota-anggota Konfederasi yang belum direkonstruksi? Bahkan bila dapat dibayangkan suatu tatanan baru yang mencakup para mantan pendukung Konfederasi, paling tidak pada
jajaran atas akan ditarik suatu garis yang mensyaratkan pergantian kepemimpinan dan representasi negara-negara bagian Selatan. Amerika pasca-Perang Saudara menunjukkan
masalah besar tentang bagaimana merespon ketidaktaatan dan bagaimana menciptakan kepercayaan terhadap pemerintahan nasional yang baru.
Dasar kebijakan Rekonstruksi adalah pemisahan diri dan ilegalitasnya. Sebagai parameter batasan politis dan juridis, disahkanlah amendemen konstitusional baru yang
menyatakan ilegalitas pemisahan diri tersebut. Ilegalitas pemisahan diri tersebut memberikan implikasi diskontinuitas legal antara rezim, antara Konfederasi dan Serikat. Ilegalitas ini
dinyatakan secara eksplisit dalam suatu provisi konstitusional yang menghilangkan tanggung jawab untuk hutang-hutang yang ditimbulkan oleh negara-negara bagian pemberontak selama
perang.
7
Bahkan meskipun tidak diperdebatkan lagi bahwa Konfederasi telah dihancurkan sebagai satu entitas legal, negara-negara bagian yang memisahkan diri tersebut masih ada
sebagai entitas politik dan juridis, yang menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana mengembalikan hak-hak mereka dan bagaimana memasukkan kembali mereka ke dalam
Serikat. Dalam Serikat yang baru ini, respom publik luas melakukan pelucutan politik political disability bagi negara-negara bagian Konfederasi dan warganya, dan menentukan
kembali batas politik Serikat melalui hukum konstitusional.
8
Selama Rekonstruksi, selalu terdapat pertanyaan tentang bagaimana memperlakukan negara-negara bagian pemberontak dan warganya, serta kebijakan transisional manakah yang
memandu hubungan ini. Rekonstruksi Amerika memiliki arti suatu perubahan dalam kaitan antara individu dan kolektif, warga negara dan negara. Bahkan, keruntuhan rezim perbudakan
dan konsolidasi republik bergantung pada rekonstruksi kaitan ini. Sepanjang sejarah, pengucapan sumpah setia dipergunakan untuk membantu mengkonsolidasikan suatu
kemunitas politik yang rapuh dan terbelah. Semakin retak kelompok politik tersebut, semakin besar tekanan untuk menyatukannya. Suatu bentuk kebijakan Rekonstruksi yang relatif lunak
disarankan pada masa Presiden Abraham Lincoln, yaitu dengan menyuruh para mantan pendukung Konfederasi mengucapkan sumpah setia kepada Serikat. Rencana ini bisa
7
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen XIV, § 4 menyatakan bahwa “baik Amerika Serikat maupun negara lainnya tidak akan menanggung atau membayar hutang atau kewajiban yang ditimbulkan dari bantuannya
terhadap insureksi atau pemberontakan melawan Amerika Serikat ... semua hutang, kewajiban dan klaim demikian akan dianggap ilegal dan tidak sah”.
8
Lihat misalnya, Texas v. White, 74 US 700 1868.
6 diterapkan secara universal, sebagai pernyataan persetujuan secara publik kepada pemerintah
yang baru, untuk menunjukkan kesetiannya.
9
Penggunaan sumpah demikian telah dimulai sejak transisi lebih awal dari Inggris, di mana Konstitusi Amerika mewajibkan sumpah
menurut Konstitusi bagi semua orang yang hendak menduduki jabatan publik, untuk menunjukkan kesetiaan, bukan kepada raja yang berada entah di mana, namun kepada
Konstitusi. Bila sepuluh persen dari negara-negara Konfederasi sepakat untuk mengucapkan sumpah setia kepada Amerika Serikat, pemerintahan negara bagian yang baru akan diakui, dan
pengampunan serta restitusi hak milik akan diberikan. Sumpah kesetiaan model Lincoln ini ditujukkan untuk memungkinkan transformasi dari pemberontak, ke negara-negara bagian
yang dikembalikan hal legalnya, namun rencana ini tidak bertahan lama, dan digantikan oleh kebijakan yang lebih keras.
Kebijakan Rekonstruksi yang merujuk pada syarat-syarat konstitusional dalam Amendemen XIV pada umumnya bersifat prospektif; syarat-syarat yang diberikan kepada
negara-negara Selatan dan warganya untuk kembali menjadi anggota Serikat menunjukkan komitmen umum terhadap prinsip utama kesetaraan di muka hukum. Rehabilitasi negara-
negara bagian disyaratkan pada ketaatan pada Amendemen XIV dan XV, dan disepakati oleh badan-badan perwakilan negara bagian sebelum dinyatakan sah untuk memiliki perwakilan
dalam kongres negara federal Serikat.
10
Demikian pula, syarat-syarat konstitusional ini dapat mendiskualifikasi siapa saja, yang sebelumnya melanggar sumpahnya untuk menjunjung
Konstitusi dengan melakukan pemberontakan, dari jabatan publik. Sejarah legislatif ini menunjukkan dengan jelas bahwa pelucutan-diri secara konstitusional ini ditujukkan untuk
menyingkirkan mantan pemimpin Konfederasi dari jabatan publik.
Tidak seorang pun dapat menjadi Senator atau Wakil dalam Kongres, atau Pemilih Presiden dan Wakil Presiden, atau memegang jabatan apa pun, sipil atau militer, dalam negara Amerika
Serikat, atau dalam negara-negara bagiannya yang mana pun, yang sebelumnya telah mengambil sumpah, sebagai anggota Kongres, atau sebagai pejabat Amerika Serikat, atau sebagai anggota
badan legislatif negara-negara bagiannya yang mana pun, untuk menjunjung Konstitusi Amerika Serikat, [namun] telah melakukan insureksi atau pemberontakan terhadap [Konstitusi] tersebut,
atau memberikan bantuan kepada musuh-musuh [Konstitusi].
11
Pelucutan-diri secara konstitusional ini diberi kekuatan dengan pengesahan sumpah “berlapis baja” ironclad oath, yang mewajibkan seseorang untuk bersumpah bahwa sejak sebelumnya
ia telah menjunjung Konstitusi sebelum ia dapat memegang jabatan publik di masa depan. Dengan rehabilitasi yang disyaratkan pada sumpah tersebut, identitas politik negara
didefinisikan pada utamanya sebagai respon terhadap rezim sebelumnya. Sementara sumpah kesetiaan Lincoln merupakan ekspresi penegasan kesetiaan di masa mendatang yang melihat
ke depan, sumpah ironclad ini kebalikannya, sebagai ungkapan penolakan memandang ke
9
Lihat Jonathan Truman Dorris, Pardon and Amnesty under Lincoln and Johnson: The Restoration of the Confederates to Their Rights and Privileges, 1861-1898
, Westport, Conn: Greenwood Press [1953] 1977.
10
Lihat White v. Hart, 80 US 646 1871 menjelaskan bagaimana Akta Rekonstruksi mewajibkan negara-negara bagian yang memberontak untuk menaati syarat-syarat yang ditentukan Kongres untuk dapat dikembalikan ke
statusnya sebelum melakukan pemberontakan.
11
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen XIV, § 3 “Namun Kongres bisa, dengan melakukan pemungutan suara yang disepakati dua pertiga dari masing-masing kamar, mencabut pelucutan tersebut”. Bagian
ini mulai diberlakukan pada bulan Juli 1868.
7 belakang. Seperti sumpah kanonik di masa lampau,
12
sumpah ironclad berfungsi sebagai ujian kebenaran politik, yang digunakan untuk membersihkan seseorang dari tuduhan atau
kecurigaan, dengan melakukan sumpah tersebut. Meskipun sumpah ironclad ini adalah suatu tindakan yang keras, bahasa konstitusional dalam amendemen Rekonstruksi mencerminkan
ambivalensi yang mendalam tentang penerapannya. Tidak seperti provisi konstitusional lainnya yang dapat diterapkan dengan sendirinya, pelucutan politik mensyaratkan adanya
konsensus politik yang berjalan. Terlebih lagi, dalam amendemen konstitusional ini, Kongres secara eksplisit diberi kekuasaan untuk mengesampingkan ketentuan soal pelucutan politik
itu,
13
yang menunjukkan bahwa amendemen Rekonstruksi ini tidak memiliki status konstitusional dan dianggap sebagai tindakan ad hoc –diperlukan hanya untuk kepentingan
politis. Pelucutan politik Rekonstruksi pada akhirnya tidak berlangsung lama. Selama
beberapa tahun, Kongres secara teratur menjalankan kekuasaannya: membuat perundang- undangan amnesti dan secara teratur mencabut pelucutan politik.
14
Dalam Kongres ke-42, pelucutan ini ditetapkan hanya berlaku bagi jabatan tinggi dalam politik. Pada tahun 1872, atas
dorongan Presiden Ullysess Grant, Kongres membebaskan semua orang dari pelucutan konstitusional, kecuali pejabat tinggi politik, seperti wakil dalam Kongres dan hakim federal.
Akhirnya, pada tahun 1878, enam tahun setelah dilaksanakannya, pelucutan politik yang terbatas ini bahkan dicabut, dan hanya menyisakan provisi konstitusional untuk mencabut hak
dipilih menjadi wakil. Namun, pelucutan-diri secara konstitusional tetap dipergunakan sebagai alat peringatan, sebagai cara diskualifikasi de facto dari jabatan publik atas dasar politik.
Pelucutan politik era Rekonstruksi masih tetap ada dalam Konstitusi Amerika, di mana mereka merupakan ekspresi politik sejarah yang membentuk identitas Amerika Serikat.
Kebijakan rekonstruksi bersifat kontroversial karena ia secara mendasar menata ulang hubungan negara bagian federal, yang kemudian akan mendapatkan tantangan di pengadilan.
Pertanyaan konstitusionalnya adalah prinsip apa yang mengatur hubungan antara pemerintah federal dan negara bagian, pemerintah dan warga. Dalam sistem federal, pemerintah mana
yang memiliki otoritas untuk menentukan status dan hak warga negara, dan siapa yang harus ditaati oleh warga negara? Terlebih lagi, ke mana pertanyaan-pertanyaan tersebut akan
mengarahkan penciptaan kembali identitas politik negara?
Dalam tinjauannya, Mahkamah Agung Amerika Serikat pada umumnya merujuk pada cabang-cabang politik dan agenda Rekonstruksi. Dalam kasus Mississippi v. Johnson, Georgia
v. Stanton dan Texas v. White, kasus-kasus di mana negara-negara bagian yang memisahkan
diri menentang batasan-batasan baru dari pemerintah, Mahkamah Agung menegaskan kebijakan Rekonstruksi.
15
Jaminan konstitusional terhadap bentuk pemerintahan “republikan” dianggap sebagai kewajiban politik yang menyusun dasar perundang-undangan Rekonstruksi.
Dengan menjunjung kebijakan transformatif dalam perimbangan kekuasaan federal-negara
12
Lihat Oxford English Dictionary, edisi kedua, entri “purgation: pembersihan kanonik seperti dalam hukum kanonik, penegasan melalui sumpah tentang ketidakbersalahan seseorang oleh penuduh dalam pengadilan
spiritual, diperkuat oleh sumpah beberapa rekannya”.
13
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen XIV.
14
Seperti dijelaskan dalam provisi ini, diskualifikasi dibatalkan oleh Kongres pada tahun 1886. Lihat House Committee on the Judiciary, Removal of Disabilities Imposed by the Fourteenth Article of the Constitution, 55th
Cong., 2nd sess., 1898, H. Rept. 1407.
15
Lihat Mississippi v. Johnson, 71 US 4 wall. 475 1867 menegaskan peran cabang eksekutif dalam Akta Rekonstruksi; Georgia v. Stanton, 73 US 6 Wall. 50 1868; Texas v. White 74 US 700 1868.
8 bagian, Mahkamah Agung menegaskan kembali peran cabang-cabang politik dengan
mengizinkan Kongres untuk mengontrol akses ke tinjauan judisial pada isu-isu Rekonstruksi dengan menggunakan kekuasaannya untuk mencabut hukuman berdasarkan konstitusi.
16
Meskipun pada umumnya Mahkamah Agung mengalah kepada Kongres, ia menegaskan perlunya akses pada pengadilan di masa damai dan due process.
17
Dalam kasus-kasus sumpah kesetiaan, Ex Parte Garland dan Cummings v. Missouri, yang diputuskan pada tahun 1866,
Mahkamah Agung mempertimbangkan dan mencabut konstitusionalitas pelucutan politik bagi para pendukung Konfederasi. Ex Parte Garland menyangkut konstitusionalitas sumpah
ironclad
, yang ditantang oleh seorang pengacara yang tidak bisa mengambil sumpah demikian, karena ia pernah menjabat di Pengadilan Arkansas, suatu negara Konfederasi.
Dampak sumpah tersebut adalah bahwa ia tidak bisa lagi berpraktik, karena statusnya di masa lalu.
18
Kasus lainnya, Cummungs v. Missouri, merupakan tantangan terhadap sumpah serupa dalam konstitusi negara bagian. Sebagai syarat untuk dapat memilih di negara bagian tersebut,
selain memegang jabatan publik, mengajar dan bekerja dalam profesi lain, seperti menjadi pendeta, Konstitusi Missouri mewajibkan para calon untuk menyatakan apakah mereka pernah
“mengangkat senjata melawan Amerika Serikat” atau “dengan tindakan atau kata-kata … menyatakan kesetiaan terhadap musuh-musuh Amerika Serikat”.
19
Dalam kasus Garland dan Cummings,
Mahkamah Agung menolak sumpah Rekonstruksi, dan menyatakan bahwa meskipun secara garis besar hal tersebut serupa dengan sanksi perdata, mereka merupakan
bentuk hukuman yang tidak diizinkan. Pertanyaan yang relevan tentang apakah sumpah kesetiaan dapat dianggap sebagai kualifikasi valid untuk memegang jabatan publik, menurut
Mahkamah Agung, bergantung pada kaitan antara tindakan yang relevan dan jabatan yang dimaksudkan, yaitu kekuatan hubungan antara cara-cara legislatif dan tujuan yang hendak
dicapai. Mahkamah Agung menyatakan bahwa luasnya jangkauan sumpah ini membelokkan tujuan semula untuk menjamin ketaatan pada Serikat. Penerapan persyaratan politis ini
dianggap sebagai kebijakan punitif. Meskipun sumpah ini memiliki bentuk perdata, pencabutan hak ini dianggap sebagai bentuk hukuman. Pelucutan secara luas tanpa
memandang secara spesifik merupakan hambatan inkonstitusional terhadap kebebasan berasosiasi. Kebebasan berbicara dan hak-hak lainnya juga dipermasalahkan, demikian pula
apakah ada kaitan langsung antara diskualifikasi politik dan jabatan yang dipermasalahkan. Mahkamah Agung menolak tujuan Rekonstruksi dari pemerintah dan menyatakan bahwa
secara konstitusional, hal demikian tidak bisa dirasionalisasikan dalam transformasi.
Pelucutan pasca-Perang Saudara ini nyaris tidak bersesuaian dengan intuisi kita tentang penghukuman pada masa biasa: bahkan interpretasi konstitusional terhadap tindakan era
Rekonstruksi ini dipandu oleh preseden transisional lainnya dalam masa-masa perubahan politik radikal dalam sejarah Anglo-Amerika. Undang-undang era Rekonstruksi serupa dengan
apa yang dilarang dalam klausul “bill of attainder” dalam Konstitusi. Seperti juga bill of attainder,
sumpah era Rekonstruksi dianggap sebagai penerapan hukuman tanpa proses judisial yang lazim. Ketiadaan proses judisial yang biasanya dikaitkan dengan pemberian
hukuman, seperti perlindungan terhadap retroaktivitas, menjadikan sumpah tersebut inkonstitusional. Sepanjang sejarah Anglo-Amerika, tindakan serupa pernah diberlakukan,
16
Lihat Ex Parte McCardle, 74 US 7 Wall. 504 1869.
17
Lihat Ex Parte Milligan, 71 US 4 Wall. 2 1866.
18
Lihat Ex Parte Garland, 71 US 4 Wall. 333 1866.
19
Lihat Cummings v. Missouri, 71 US 4 Wall. 277, 279 1866.
9 pertama kali oleh Parlemen Inggris dalam masa-masa pelanggaran oleh monarki, dan kedua,
oleh negara-negara bagian setelah Revolusi Amerika. Yang mencirikan tindakan ini adalah bahwa mereka diterapkan oleh badan legislatif, dan mengambil dasar politis. Sepanjang
sejarah, sanksi legislatif demikian secara tradisional digunakan untuk menindas oposisi politik. Seperti diamati Mahkamah Agung, undang-undang ini “paling sering digunakan di Inggris
pada masa pemberontakan, atau ketidaktaatan terhadap kerajaan, atau gejolak politik dengan kekerasan; yaitu masa-masa di mana semua negara paling rentan ... untuk mengabaikan
kewajiban mereka dan menginjak-injak hak dan kebebasan negara lainnya”.
20
Sementara bill of attainder
Inggris tidak memiliki justifikasi demikian, namun tetaplah dianggap sebagai bentuk hukuman yang seharusnya tidak diizinkan, meskipun memiliki alasan transformatif.
21
Di masa kini, pemahaman konvensional tentang jurisprudensi era Rekonstruksi adalah bahwa ia menghalangi transformasi di masa tersebut.
22
Masa tersebut dianggap sebagai titik terendah jurisprudensi Mahkamah Agung dan sering kali dihilangkan dari tinjauan hukum
konstitusional. Namun, analisis di atas mendorong pemikiran ulang tentang doktrin masa tersebut. Dibandingkan dengan fenomena transisional serupa dalam masyarakat lainnya, era
Rekonstruksi menunjukkan jurisprudensi terpolitisasi yang merupakan ciri masa gejolak politik. Jurisprudensi ini menunjukkan ketegangan dan inkoherensi antara hukum pidana dan
perdata yang seharusnya terpisah, juga hukuman dan hukum administratif. Ia juga menguji batas hukum konstitusional, terutama sejauh mana politisasi diizinkan. Pertimbangan ulang
tentang kasus Rekonstruksi dari perspektif transisional menantang pemahaman yang lazim tentang sifat dan peran hukum publik yang dipolitisasi. Bagi pengadilan era Rekonstruksi,
referensi diambil dari masa-masa transformasi politik dalam sejarah negara itu. Preseden- preseden sejarah ini menunjukkan bahwa bahkan pada masa itu, tindakan tersebut dianggap
sebagai tindakan yang diambil pada masa luar biasa dan transisional, karena Mahkamah Agung mengimbangkan pemikiran tersebut dengan ketaatan pada kedaulatan hukum
konvensional.
Jurisprudensi era Rekonstruksi dipandu oleh kompromi: seperti juga di negara-negara lain yang mengalami gejolak politik, jurisprudensi Amerika era Rekonstruksi mencerminkan
keadilan konstitusional yang terbatas dan parsial. Dalam masa demikian, ajudikasi konstitusional mencerminkan kesetimbangan antara nilai-nilai kontinuitas dan diskontinuitas
dan nilai-nilai kedaulatan hukum keamanan dan kesetaraan yang berpotensi dipertentangkan. Rekonseptualisasi politik konstitusional di masa itu memiliki implikasi pada perdebatan
kontemporer tentang prinsip-prinsip yang relevan untuk memandu interpretasi konstitusional bagi amendemen-amendemen Rekonstruksi.
23
Pengakuan kaitan amendemen Rekonstruksi dengan agenda politik luas pada masa itu memiliki implikasi untuk menafsirkan amendemen
20
Ibid., 323.
21
Tentang perbedaan antara sanksi pidana dan perdata, lihat George P. Fletcher, “Punishment and Compensation”, Creighton Law Review 14 1981: 691; Maria Foscarinis, “Toward a Constitutional Definition of
Punishment”, Colombia Law Review 80 1980: 1677. Lihat juga Elfbrandt v. Russel, 384 US 11 1966; Kennedy v. Russel
, 384 US 11 19656; Kennedy v. Mendoza Martines, n372 US 144 1963; Wiemann v. Updegraff,
344 US 183 1952 menolak sumpah berkaitan afiliasi masa lalu dengan komunisme.
22
Untuk tinjauan kritis tentang pemahaman umum ini, lihat Stanley Kutler, Judicial Power and Reconstruction Politics
, Chicago: University of Chicago Press, 1968.
23
Tentang perdebatan ini, bandingkan Raoul Berger, Government by Judiciary: The Transformation of the Fourteenth Amendment
, Indianapolis: Liberty Fund, 1977 dengan Robert J. Kaczorowski, “Revolutionary Constitutionalism in the Era of the Civil War and Reconstruction”, New York University Law Review 61 1986:
863.
10 tersebut berkaitan dengan program legislatif Rekonstruksi. Demikian pula halnya dengan
kaitan pemahaman sejarah standar hak-hak sipil masa tersebut dengan kontroversi hak serupa di masa kini. Jurisprudensi era Rekonstruksi sebaiknya dipahami dari perspektif transisional,
tujuan transformatif masa ini menjelaskan jurisprudensi pengambilan keputusan yang terpenting di masa tersebut dan menerangkan relevansinya dengan jurisprudensi
konstitusional. Pembebasan Melalui Hukum
“Saya tidak mengenal cara untuk mengajukan tuduhan kepada suatu bangsa.”
Edmund Burke, Pidato Perdamaian dengan Amerika 22 Maret 1775
Dalam sejarah, proyek besar transformasi politik berikutnya adalah denazifikasi, yang diusahakan pada akhir Perang Dunia Kedua, ketika Sekutu menegaskan bahwa para
pendukung Nazisme harus diturunkan dari jabatan-jabatan berpengaruh di Jerman. Di satu sisi kebijakan pengadilan pasca-perang dirasionalkan sebagai tindakan retributif untuk membalas
pelanggaran yang dilakukan Nazi, di Postdam. Namun, di sisi lain, rencana denazifikasi dijustifikasi untuk tujuan ke depan, yaitu demokratisasi. Denazifikasi dianggap perlu, untuk
menjamin bahwa mereka yang memiliki kecenderungan fasis tidak lagi memegang kekuasaan. Namun bagaimana cara menjangkau semua orang demikian? Meskipun denazifikasi pasca-
perang bermula dengan pemikiran untuk melarang pejabat tinggi Nazi, SS, Gestapo, dan SD dari jabatan tertinggi dalam rezim baru, seiring perjalanan waktu, kebijakan ini diterapkan
secara nyaris universal.
Meskipun bertujuan untuk demokrasi yang memandang ke depan, secara mendasar skema ini juga memandang ke belakang. Dengan menggunakan konsep “kejahatan yang
meraja-lela” pada masa Nazi, pengadilan Nuremberg memberikan pendekatan baru untuk menjawab pertanyaan tentang kaitan tanggung jawab individual dan kolektif dalam
penindasan masa perang. “Buah pikiran Bernay” menggunakan pengadilan individual untuk memidana organisasi-organisasi Nazi, dan menuntut organisasi tersebut memerintahkan
anggota-anggotanya untuk menyelesaikan masalah praktis bagaimana menjangkau semua orang yang terlibat. Setelah organisasi-organisasi tertentu menjadi “terpidana” oleh Tribunal
Militer Internasional, dalam pengadilan lanjutannya, keputusan tentang organisasi menjadi dasar untuk keputusan tentang individu.
24
Pengadilan individual tidaklah diperlukan; pembuktian keanggotaan dalam organisasi kriminal dianggap sudah cukup. Ide ini
menimbulkan kontroversi karena pendekatannya yang cair terhadap tanggung jawab individual; ia menentang intuisi tentang kedaulatan hukum, yang memandu pandangan tentang
status, hak dan tanggung jawab individual. Setelah Nuremberg, pemikiran bahwa Nazisme adalah “kejahatan” dianggap benar secara hukum. Kebijakan penghukuman oleh Tribunal
membantu membentuk proses denazifikasi: ciri hukum pada masa ini adalah kontinuitas cair dalam penetapan tanggung jawab individu dan organisasi, selain sebagai penengah antara
batas sanksi pidana dan perdata.
24
Lihat Norman E. Tutorow ed., War Crimes, War Criminals and the War Crimes Trials: An Annotated Bibliography and Source Book
, New York: Greenwood Press, 1986.
11 Pada saat diciptakannya setelah perang, kebijakan denazifikasi dalam pemerintahan
militer Sekutu di Jerman secara eksplisit dikaitkan dengan kebijakan peradilan pidana pasca- perang yang disusun di Nuremberg, dengan dasar tanggung jawab organisasional. Pada tahap
pertama, denazifikasi dibatasi pada diskualifikasi mereka yang memegang jabatan tinggi dalam partai Nazi dan organisasi “kriminal” lainnya menurut Nuremberg. Namun, ketika
kekuasaan dikembalikan kepada Jerman, tahap denazifikasi berikutnya yang lebih ambisius dimulai. Seperti namanya, Akta Pembebasan Jerman dari Nazisme dan Militerisme 5 Maret
1946, ditujukan untuk membersihkan Jerman dari ideologi Nazi. Tirani Nazi akan disingkirkan dari “pengaruh terhadap kehidupan bermasyarakat, ekonomi dan budaya”. Untuk
mencapai tujuan tersebut, fragebogen kuesioner digunakan untuk menanyakan kepada semua warga negara dewasa untuk menjelaskan apa yang mereka lakukan di masa perang. Cakupan
Akta Pembebasan yang luas ini menjangkau “pelanggar utama”, yaitu mereka yang secara langsung terlibat dengan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, hingga
“pengikut”, yakni para pendukung Nazisme di tingkat bawah.
25
Dasar untuk memberikan sanksi menurut hukum adalah cukup dengan membuktikan keanggotaan. Dengan kerangka
pemberian sanksinya yang luas berdasarkan berbagai tingkat tanggung jawab, Akta Pembebasan merupakan skema penghukuman, yang menunjukkan sisi punitif denazifikasi.
Sanksi yang menimbulkan pengurangan hak-hak sipil ini – dari pemenjaraan hingga penghilangan kesempatan bekerja dalam sektor publik dan lainnya – tampak sebagai bentuk
hukuman. Namun, meskipun denazifikasi memiliki dampak punitif, sanksi perdata di dalamnya tidak memiliki fokus individual; prosedurnya bukanlah pidana dan hanya didasarkan
pada proses administratif. Di satu sisi, seperti dibicarakan dalam bab 2, peradilan pidana dalam transisi sering kali melibatkan proses yudisial yang tidak berpuncak pada pemberian
hukuman sepenuhnya. Sementara di sisi lainnya, tindakan administratif transisional sering kali menimbulkan hal sebaliknya: sanksi punitif tanpa melalui proses yudisial yang lengkap.
Hampir semua pengamat menyatakan bahwa kebijakan denazifikasi gagal. Hampir semua orang yang disorot dalam skema tersebut dikatakan sebagai “pengikut” – tingkat
terendah dalam tanggung jawab politik. Mereka yang dihukum hanya mendapatkan sanksi denda; hanya sedikit yang dilarang menjabat, itu pun untuk jangka waktu yang pendek. Lama
setelah denazifikasi, banyak anggota elite yang bekerja-sama dengan Nazi masih tetap memegang jabatan mereka; bahkan institusi peradilan pun masih tetap dikuasai oleh mantan
anggota Nazi.
26
Bertahun-tahun kemudian, pertanyaan tentang bagaimana menyikapi para pejabat era Nazi menjadi sangat kontroversial, sehingga tidak pernah mencapai konsensus;
dalam undang-undang dasar yang baru, pertanyaan ini dialihkan kepada cabang politik di waktu yang lain. Anehnya, justifikasi yang digunakan untuk melakukan denazifikasi kembali
digunakan untuk merasionalkan kebijakan pengembalian kedudukan para mantan Nazi. Keanggotaan dalam partai Nazi sedemikian besarnya, sehingga melanjutkan kebijakan
denazifikasi akan berarti menurunkan banyak hakim yang ada. Pengalaman sebelumnya dalam pemerintahan, meskipun dalam rezim Nazi, dijadikan alasan untuk integrasi ke dalam sistem
layanan publik. Bahkan sebenarnya, tidak lama setelah kebijakan denazifikasi disahkan, disahkan pula Akta Pengembalian Kedudukan, yang mengembalikan jabatan para pejabat
mantan Nazi, dan dengan demikian menghentikan denazifikasi.
25
Lihat Act for Liberation from National Socialism and Militarism, Pasal 1 Jerman, 1946.
26
Lihat Ingo Müller, Hitler’s Justice: The Courts of the Third Reich, Cambridge: Harvard University Press, 1991.
12 Dalam kritik standar terhadap kebijakan denazifikasi, kegagalan terletak pada
kelemahan dalam pelaksanaannya karena konteks politik: jumlah yang sedemikian besar sehingga tribunal tidak dapat melakukan penyaringan, ketiadaan keinginan politis, terutama
akibat Perang Dingin, dan kesukaran usaha untuk “pembersihan diri sendiri”. Terdapat pula kaitan antara denazifikasi dan kebijakan penghukuman, sehingga ketika proses pengadilan
berakhir dengan pengampunan, denazifikasi menjadi sukar untuk dilanjutkan.
27
Luasnya denazifikasi yang mencakup semua pejabat dalam sistem administrasi publik menjadikan
pelaksanaannya amat sukar. Kritik standar denazifikasi ini timbul dari perspektif realis; denazifikasi gagal karena kondisi politiknya.
Namun, kritik standar ini tidak menjelaskan apakah memang ada yang salah dengan kebijakan ini, karena ia mengaitkan relevansi masa lalu politik Jerman dengan konstruksi
layanan publik rezim baru dan transformasi demokratik. Selanjutnya, perlu pula dipertanyakan keluasan cakupan kebijakan denazifikasi. Dalam hal ini, perlu diperhatikan tingkat
keterlibatan, selain juga posisi yang terpengaruh; jadi, misalnya, perlu dibedakan pembersihan secara besar-besaran seluruh sektor layanan publik dengan penyaringan elite-elite politik
tingkat tinggi dan aparat keamanan. Pertanyaan normatif ini menuntut adanya justifikasi terhadap kebijakan keadilan administratif transisional. Justifikasi ini adalah “pembangunan
demokrasi”. Menyingkirkan Nazi dari layanan publik dianggap perlu untuk merekonstruksi demokrasi Jerman. Mempertahankan sistem aparat administratif yang sudah ada dianggap
akan melemahkan kemungkinan transisi menuju sistem yang lebih liberal. Namun, apa persisnya kaitan antara perilaku politik di masa lalu dalam pemerintahan represif, dan
kemungkinan berpartisipasi dalam rezim liberal yang menggantikannya? Intuisi kita adalah bahwa sistem demokrasi liberal tidak akan bisa terbentuk di bawah kepemimpinan mantan
pemimpin Nazi. Dalam sistem demokrasi yang mapan, perubahan politik di tingkat eselon tinggi pemerintahan dilakukan melalui pemilihan umum secara teratur. Namun, dalam
masyarakat yang mengalami transisi sistem politik, metode representasi politik yang teratur ini sering kali belum siap. Terlebih lagi, tidak semua pejabat publik dipilih melalui pemilihan
umum. Jadi, pergantian rezim setelah negosiasi bergantung pada hukum untuk mendefinisikan batasan politik baru terhadap ranah publik. Dalam kondisi politik demikian, pergantian rezim
melalui pencopotan mereka yang memegang kekuasaan secara umum didorong oleh hukum. Justifikasi lazim untuk pembersihan politik adalah untuk menyingkirkan rezim lama dan para
pendukungnya dari partisipasi politik dalam demokrasi.
Apa peran persyaratan politik dalam rezim yang menuju sistem liberal? Klaim utama dalam argumen demokrasi yang sering digunakan dalam transisi adalah anggapan bahwa
mereka yang di masa lalu melakukan represi akan melakukannya lagi di masa depan, sehingga melemahkan konsolidasi demokrasi. Justifikasi demokrasi ini menjadi paling kuat bila posisi
yang dipermasalahkan ini sama dengan yang dipegang di masa lalu, terutama bila memungkinkan timbulnya represi. Dengan demikian, meskipun keanggotaan partai saja
mungkin tidak bisa menjustifikasi pencopotan dari jabatan tingkat rendah, tidaklah demikian dengan posisi tinggi atau pembuat kebijakan dalam rezim yang baru, atau posisi dalam aparat
keamanan negara, yang memungkinkan pelanggaran hak. Semakin erat kaitan antara pelucutan politik dengan posisi yang terpengaruh, semakin relevan pula justifikasi demokrasi ini.
Namun, dalam hal ini, denazifikasi tidak berkaitan dengan kebijakan transisional, karena tidak
27
Untuk tinjauan sejarah masa tersebut, lihat John Herz ed., From Dictatorship to Democracy: Coping with the Legacies of Authoritarianism and Totalitarianism
, Wesport: Greenwood Press, 1982, 1-38.
13 ada kaitan antara pelucutan politik secara luas dengan demokrasi. Sebaliknya, tanpa
memperhatikan pertimbangan moral, kompetensi mereka yang telah berpengalaman dalam bidang politik, administrasi dan manajerial – dalam rezim lama – seharusnya lebih tinggi.
Pada akhirnya, argumen demokrasi ini tampaknya salah arah dan inkoheren: karena kekuatan justifikasi demokrasi untuk pelucutan politik diletakkan pada asumsi bahwa demokrasi akan
dibentuk dari orang-orangnya, bukan pada struktur, institusi dan prosedur. Pemikiran ini tidak sesuai dengan teori politik liberal.
Denazifikasi pasca-perang, seperti pelucutan politik era Rekonstruksi, sebaiknya dipahami dalam konteks transisionalnya. Pertimbangan terhadap arahan kebijakan
menggarisbawahi sifatnya yang transisional dan pergeseran kesetimbangan yang terjadi selama masa transisi. Kebijakan denazifikasi dimulai pada akhir perang, dan berlangsung
selama jangka waktu tertentu. Kebijakan ini menyurut setelah lima tahun, sampai tahun 1950; dan sejak tahun 1951 tahap transisional telah berakhir. Urutan ini menunjukkan proses
penyusunan kembali sistema administrasi negara. Meskipun banyak kritik terhadap kebijakan denazifikasi berfokus pada kegagalannya untuk menyingkirkan para mantan Nazi secara
permanen, namun kebijakan ini menunjukkan bahwa peran hukum dalam hal ini adalah untuk memajukan transformasi. Dengan demikian, sifatnya yang parsial dan provisional hanyalah
menunjukkan ciri dari dinamika politik masa tersebut.
28
Meskipun tepat setelah perang berakhir, kaitan dengan rezim fasis berakibat fatal terhadap partisipasi politik. Setelah jangka
waktu tertentu, kaitan politik demikian menjadi dapat diterima, dan bahkan diharapkan dalam rezim penerus. Pengalaman dalam pemerintahan, meskipun pemerintahan Nazi, menjadi dasar
untuk integrasi dalam layanan publik.
29
Partisipasi dalam rezim terdahulu menjadi hal yang normal setelah pergeseran administrasi biasa. Perlakuan terhadap rezim lama bergeser dari
diskontinuitas menjadi kontinuitas. Pada awalnya, perundang-undangan denazifikasi didorong oleh tujuan utama untuk mengembalikan legitimasi. Dengan semakin mapannya rezim
penerus, kebijakan publik memberi jalan bagi tujuan-tujuan lainnya.
Bila dilihat secara berdiri sendiri, kebijakan denazifikasi secara umum dianggap sebagai kegagalan usaha transformasi. Namun, bila dilihat dari perspektif historis-komparatif,
bersama-sama dengan tindakan lain yang diambil pada masa-masa gejolak politik radikal, pengalaman ini ternyata menunjukkan kesesuaian dengan norma-norma transisional.
Pembersihan administratif terjadi pada masa tatanan politik yang rapuh dan tidak stabil; tindakan demikian bersifat sementara selama masa transformasi politik. Sejak awalnya,
tindakan demikian bersifast pragmatik, ditujukkan sebagai peralihan, untuk masa rekonstruksi politik tertentu. Tindakan-tindakan ini adalah bagian dari keadilan transisional.
Epuracion dan Zuivering: Politik Penyingkiran Sementara di Jerman selama masa pendudukan Sekutu terdapat rasa tanggung jawab kolektif
secara luas, sebaliknya, di wilayah-wilayah lainnya di Eropa pasca-perang, terdapat musuh yang harus disingkirkan. Pembebasan dari Nazisme berjalan seiring dengan pembersihan
secara besar-besaran para pendukung rezim sebelumnya. Dasar untuk pembersihan ini jelas- jelas ideologis: keadilan masa pasca-pendudukan diciptakan berdasarkan pertentangan kami-
28
Lihat John Herz, “The Fiasco of Denazification in Germany”, Political Science Quarterly 18 1948: 569.
29
Lihat Müller, Hitler’s Justice.
14 mereka, kawan-lawan dan kolaboratos-pejuang; ia merupakan rekonstruksi melalui
dekonstitusi. Setelah runtuhnya rezim-rezim pendudukan di Eropa pasca-perang, masyarakat
merespon ranah publik yang amat terkompromi karena dukungannya terhadap kekuasaan fasis. Dalam transisi dari fasisme, penciptaan garis batasan kawan-lawan melampaui batasan
rekonstruksi sistem administrasi, ke lingkup publik yang lebih luas yang mencakup semua elemen masyarakat. Praktik pembersihan Eropa pasca-perang menunjukkan bagaimana
keadilan administratif mencakup pengabaian terhadap proses-proses pidana yang lazim dan menggunakan proses-proses yang lebih luas dan informal, mengabaikan peradilan dan
menggunakan tribunal atau badan-badan lainnya, yang sering kali dibentuk oleh sistem pemerintahan. Hal-hal ini menunjukkan politisasi pembersihan tersebut. Di seluruh wilayah ini
terdapat usaha untuk menggunakan proses persyaratan politik dan penilaian politik, pergeseran menuju proses yang lebih informal, dan memperhatikan pelanggaran politik yang tidak
didefinisikan dengan jelas, seperti “pelecehan negara” dan “perendahan negara”.
30
Meskipun biasanya hukuman diputuskan berdasarkan pada tindakan melanggar hukum di masa lalu, pelanggaran-pelanggaran baru ini dibuktikan berdasarkan temuan kondisi politik
oleh suatu badan yang diberi kekuasaan untuk menemukannya pada masa transisi. Penentuan kolaborasi dan kejahatan politik lainnya dilakukan dengan membuktikan status politik sebagai
pendukung doktrin totaliter. Tujuan penyelidikan bukanlah pembuktian tindakan kriminal di masa lalu seperti dalam proses pengadilan, namun keanggotaan atau dukungan terhadap
organisasi politik yang “subversif”. Bersama dengan pelanggaran-pelanggaran baru ini, diciptakan pula prosedur, pengadilan, undang-undang dan tindakan khusus untuk
mendukungnya.
31
Tribunal-tribunal pembersihan bukanlah pengadilan sipil biasa, namun pengadilan militer dan badan administratif lain yang beranggotakan hakim, non-juris dan
orang-orang awam. Meskipun hukumannya sering kali berupa sanksi pidana tradisional, sanksi lainnya mempengaruhi status perdata, seperti hilangnya hak memilih dan dipilih, hak
partisipasi politik dan bahkan kewarganegaraan. Baik dalam proses maupun dampaknya, ini adalah bentuk keadilan yang di luar kebiasaan.
Secara historis, pembersihan dilakukan terhadap para pemimpin rezim lama. Namun dalam pembersihan pasca-perang, hal ini dilakukan secara lebih luas, yang mencerminkan
pemahaman yang luas terhadap tanggung jawab dan transformasi. Tindakan-tindakan ini menyingkirkan individu dari segmen masyarakat yang luas, termasuk sektor-sektor yang
sebelumnya tidak dianggap sebagai bagian administrasi, seperti pendidikan dan media. Pembersihan ini dengan demikian merekonstruksi ranah publik, karena berusaha menyusun
kembali berbagai sektor: bisnis, media, elite intelektual, yang dengan satu atau lain cara pernah mendukung rezim Nazi. Pembersihan ini merupakan rekonstruksi radikal terhadap
berbagai mata pencarian dengan komisi-komisi khusus untuk membersihkan sektor pendidikan, sastra dan musik. Meskipun pembersihan mengatur sektor privat, namun
pembersihan itu dilakukan berdasarkan keputusan pemerintah. Pelanggaran-pelanggaran
30
Lihat misalnya, Ordinance Instituting National Indignity, Prancis, 26 Agustus 1944. Lihat juga Decree of June 27
Prancis, 1944; Herbert Lottman, The Purge: The Purifucation of French Collaborators after World War II, New York: William Morrow, 1986, 194-210.
31
Lihat Peter Novick, The Resistance versus Vichy: The Purge of Collaborators in Liberated France, New York: Columbia University Press, 1968.
15 dikemukakan secara kabur, dan kelalaian untuk “bersikap secara seharusnya” dalam masa
pendudukan menjadikan seseorang dikenakan petanggungjawaban hukum.
32
Pembersihan yang paling radikal dan luas terjadi dalam sektor media.
33
Dalam kasus ini, kolaborasi mudah dibuktikan – dengan teks sebagai buktinya – dan penerbitan
menyebabkan isu kolaborasi ini terlihat di mata publik. Melalui pembersihan, media dijadikan bagian dari rezim baru di mata publik. Ketika media-media kolaborator dibersihkan, batasan
kebebasan berekspresi direkonstruksi berdasarkan respon terhadap masa lalu. Bahkan nama- nama surat kabar mengalami perubahan mendasar, seperti nama surat kabar Prancis,
Libération
, simbol perubahan identitas. Pembersihan sektor publik pasca-pendudukan ini tidak hanya dilakukan pada sistem
layanan publik, namun diusahakan untuk “memurnikan” masyarakat secara keseluruhan. Pembersihan politik dalam sektor publik ini secara kritis merespon sifat represi fasis yang
khas, yaitu dengan hegemoni sektor-sektor produksi ideologi, seperti pendidikan dan media.
34
Pertanggungjawaban elite intelektual menunjukkan pengakuan terhadap perannya yang menerima fasisme dan usahanya untuk mengarahkan kembali sektor ini ke ideologi rezim
penerus yang liberal.
Pembersihan pasca-perang merekonstruksi kaitan antara individu, organisasi dan negara. Pelucutan politik ditentukan berdasarkan kolektif, namun mempengaruhi individu.
Pendekatan informal dalam proses identifikasi afiliasi fasis masa lalu ini menunjukkan bahwa penyingkiran berdasarkan keanggotaan kelompok tidak diarahkan pada pelanggaran
individual. Yang menjadi sasaran adalah perubahan institusional untuk menuju transformasi lingkup publik. Individu menjadi sarana untuk secara publik mengutuk ideologi rezim lama
dari ranah publik di masa depan. Pembersihan pasca-perang ini menantang intuisi kita tentang peran hukum, karena pelaksanaan keadilan tidak dilakukan berdasarkan prosedur yang lazim,
namun melalui prosedur informal dan tidak teratur. Ketidaktaatan proses tersebut pada due process,
juga sifatnya yang tidak transparan dan terpolitisasi, mencerminkan pemahaman tentang kedaulatan hukum yang dikompromikan. Dan, meskipun tujuannya memandang ke
depan, yaitu demokrasi, alat-alat tersebut serupa dengan yang digunakan oleh rezim-rezim represif, yaitu keputusan yang diambil berdasarkan ideologi, yang bertentangan dengan
pemikiran liberal. Meskipun paradoksal, ini adalah respon yang kritis – menggunakan cara- cara lama secara terbuka untuk menunjukkan pergantian ideologi. Terlebih lagi, masalah yang
timbul dari penggunaan cara-cara non-liberal untuk tujuan liberal ini berkurang karena dampaknya yang terbatas pada sistem hukum. Pembersihan pasca-perang ini dilakukan selama
waktu yang singkat, dari hanya setahun hingga lima tahun.
35
Tindakan yang secara mendasar terpolitisasi ini sejak awal ditujukan sebagai mekanisme transformatif sementara. Sifat
sementara yang terlihat di sini, seperti pada contoh-contoh lebih awal, seperti Rekonstruksi Amerika, tampak pula dalam transformasi politik kontemporer yang dibicarakan dalam bab
32
Lihat Henry Lloyd Mason, The Purge of the Dutch Quislings, Den Haag: Nijhoff, 1952, 90.
33
Tentang Prancis, lihat umumnya Novick, Resistance versus Vichy; Lottman, The Purge, 249-63; Tony Judt, Past Imperfect, French Intellectuals,
1944-1956, Berkeley: University of Chicago Press, 1992. Tentang Belanda. lihat umumnya Mason, Purge of the Dutch Quislings.
34
Lihat Hannah Arendt, The Origins of Totalitarianism, New York: Meridian Books, 1958.
35
Di Prancis misalnya, undang-undang amnesti selektif disahkan pada tahun 1947, dan undang-undang amnesti universal pada tahun 1951. Undang-undang 5 Agustus 1953 menghentikan sanksi administratif. Lihat umumnya
Lottman, The Purge.
16 ini. Terlihat bahwa respon yang paling terpolitisasi pun sejak awal sudah dirancang untuk
bersifat sementara dan merupakan bagian transisi. Lustrace dan Bereinigung: Pembersihan Politik di Eropa Tengah dan Timur
Semua orang terlibat dan diperbudak, tidak hanya para pedagang sayur, tetapi juga hingga ke perdana menteri. Posisi yang berbeda-beda dalam hierarki hanya menentukan perbedaan tingkat
keterlibatan: si pedagang sayur hanya sedikit terlibat, namun kekuasaannya juga kecil. Tentu saja, perdana menteri memiliki kekuasaan yang besar; ia terlibat secara lebih mendalam. Namun
keduanya tidak bebas, masing-masing dengan cara yang sedikit berbeda. Rekanan dalam keterlibatan ini bukanlah seseorang lain, namun sistem itu sendiri. Posisi dalam hierarki
kekuasaan menentukan tingkat tanggung jawab dan kesalahan, namun ia tidak membebankan tanggung jawab dan kesalahan yang tidak terbatas bagi seseorang, demikian pula tidak seorang
pun benar-benar bebas.
Václav Havel, Open Letters: Selected Writings: 1956-1990
Transisi kontemporer di Eropa Tengah dan Timur pada umumnya merupakan hasil negosiasi, dan dengan demikian bergantung pada tindakan hukum publik radikal untuk melakukan
dekomunisasi; hal tersebut menguji peran hukum dalam transformasi politik. Totalitarianisme dicirikan dengan kontrol represif terhadap seluruh masyarakat. Sementara kediktatoran
dicirikan oleh adanya garis antara pemerintah dan yang diperintah, dalam totalitarianisme, tidak ada garis yang jelas, dengan represi yang tersebar di seluruh masyarakat. Setelah
totalitarianisme, timbul pertanyaan tentang siapa yang bertanggung-jawab untuk kesalahan di masa lalu. Respon legal terhadap runtuhnya komunisme menunjukkan pemahaman
kontemporer tentang tanggung jawab individual terhadap penindasan, kaitan warga negara dengan partai, dan partai dengan negara. Kejahatan pemerintahan totaliter dianggap
merajalela, dilakukan oleh suatu pasukan pendudukan dan dengan kolaborasi secara luas.
Di seluruh wilayah ini, menyusul perubahan politik, responnya berfokus pada mantan aparat keamanan dan kolaboratornya. Tujuan pembersihan melampaui pemegang kekuasaan
resmi; karena pemerintahan totaliter dicirikan oleh penggunaan kekuasaan secara tidak transparan, dan represi yang ambigu entah bersifat privat atau publik. Di seluruh Eropa
Tengah dan Timur, mereka yang terkait dengan sistem lama dikenai tindakan pelucutan politik, meskipun tindakan-tindakan dekomunisasi ini bervariasi jangkauan maupun kerasnya.
Jerman-bersatu, bekas Cekoslowakia, Bulgaria dan Albania mengesahkan larangan terhadap mantan hierarki Partai Komunis dan aparat keamanan untuk berpartisipasi dalam lingkup
publik.
36
Hongaria mengambil tindakan yang lebih lunak, seperti penerbitan daftar nama mereka yang terkait dengan pemerintahan komunis. Dalam republik-republik baru ini, diambil
tindakan yang melihat ke depan, seperti sumpah kesetiaan. Pemikiran tentang ujian terhadap masa lalu politik diawali secara informal. Pada
musim panas 1990, dalam pemilihan umum bebas pertama di bekas Cekoslowakia, partai- partai politik menyaring kandidat mereka dari kaitan dengan aparat keamanan negara. Ketika
sebuah komisi parlementer dibentuk untuk menyaring parlemen dari para kolaborator yang
36
Tentang Albania, lihat Human Rights Watch, Human Rights in Post Communist Albania, New York: Human Rights Watch, 1996. Tentang Undang-Undang Panev di Bulgaria, lihat Democracy and Decommunization:
Disqualification Measures in Eastern and Central Europe and the Former Soviet Union, 14-15 November 1993,
hal. 8-9.
17 terkait dengan aparat keamanan, penyelidikan ini menjadi terpolitisasi. Setahun kemudian,
usaha untuk mensistematikkan penyelidikan ini berpuncak pada suatu undang-undang, yang dikenal sebagai “lustrace” atau lustrasi. Lustrasi, yang berasal dari bahasa Latin lustrare, atau
“pemurnian”, merujuk pada proses penyelidikan dan penyaringan yang ditujukan untuk mengungkapkan masa lalu. Secara historis, proses penyelidikan demikian terkait dengan
melakukan sensus terhadap penduduk.
37
Undang-undang lustrasi Cekoslowakia melarang orang-orang yang terkait dengan aparat keamanan negara untuk menduduki banyak jabatan
dalam pemerintah, angkatan bersenjata, parlemen, pengadilan, BUMN, akademia dan media. Menurut undang-undang ini, keanggotaan dalam aparat keamanan negara sudah cukup untuk
menyatakan bahwa orang tersebut terlibat dalam sasaran represif organisasi tersebut.
38
Dengan demikian, undang-undang tersebut mengkodifikasi asumsi bahwa para pendukung rezim
komunis membahayakan demokrasi. Undang-undang lustrasi ini ditentang di pengadilan oleh 99 anggota parlemen yang telah tidak menyepakatinya di Parlemen. Penentang lain meliputi
organisasi hak asasi manusia, Komisi Buruh Internasional, dan Presiden Václav Havel sendiri, yang menyarankan untuk mengubah rencana tersebut agar memungkinkan penyelidikan
individual.
39
Dalam keputusannya yang paling kontroversial, Pengadilan Konstitusional menegaskan keberlakuan lustrasi, meskipun membatasi lingkupnya.
40
Dekomunisasi juga dimulai secara informal di Jerman-bersatu, dengan pemilihan umum pertama di bekas Republik Demokrasi Jerman. Sementara dalam transisi yang
dinegosiasikan lainnya di wilayah ini, pembersihan komunis tampaknya didukung oleh konsensus sosial dalam cabang-cabang politik, di Jerman-bersatu, pembersihan ini dimulai
sebagai bentuk “keadilan sang pemenang”. Bagi pihak Timur, tidak banyak pilihan dalam hal ini. Seperti juga Konfederasi ketika hendak memasuki kembali Serikat Amerika Serikat,
ketika Jerman Timur hendak bergabung dengan Jerman-bersatu, hal tersebut disyaratkan dengan penolakan terhadap masa lalu ideologisnya. Negara ini menjadi terbelah karena
penyatuannya,
41
karena Traktat Unifikasi menentukan syarat-syarat untuk reunifikasi, yang menyatukan layanan publik Jerman, menciptakan sistem penilaian terhadap mereka yang
pernah bekerja dalam sistem administrasi Jerman Timur, dan mendiskualifikasi mereka yang
37
Lihat OED, entri “lustration”.
38
Screening “Lustration” Law, Akta No. 4511991 Republik Federal Czek dan Slowakia, 1991, disahkan oleh dewan kedua negara federal tersebut. Berdasarkan bagian 22, akta tersebut mulai berlaku sejak disahkan dan
berakhir pada tanggal 31 Desember 1996.
39
Terdapat banyak kritikan terhadap Undang-Undang Lustrasi. Lihat Stephen Engelberg, “The Velvet Revolution Gets Rough”, New York Times Magazine, 31 Mei 1992, hlm. 30; “Prague Approves Purge of Former
Communists”, New York Times, 7 Oktober 1991; Aryeh Neier, “Watching Rights”, The Nation, 13 Januari 1993, hal. 9; Jeri Laber, “Witch Hunt in Prague”, New York Review of Books, 23 April 1992, hlm. 5; “Letters Human
Rights in Prague”, New York Review of Books, 28 Mei 1992, hlm. 56; Mary Battiata, “East Europe, Hunts for Reds”, Washington Post, 28 Desember 1991; Lawrence Weschler, “The Velvet Purge: The Trials of Jan Kavan”,
New Yorker
, 19 Oktober 1992, hlm. 66; John Tagliabe, “Prague Turns on Those Who Brought the Spring”, New York Times,
7 Januari 1992, rubrik Internasional; “The Perils of Lustration”, New York Times, 7 Januari 1992, halaman editorial. Dalam Czech English Language Press, Bill Hungrey, Jr., “Tempest over Lustration”, Prague
Post , 17-23 Maret 1992.
40
Specifying Some Further Perequisites for the Discharge of Some Functions in State Organs and Organizations, Akta No. 4511991 Republik Federal Czek dan Slowakia, 1991.
41
Komentar dari Wolfgang Nowak, Sekretaris Negara Urusan Pendidikan Provinsi Sachsen Jerman Timur, Rapporteur’s Report
dipresentasikan kepada The Foundation for a Civil Society, Venesia, Italia, 1993, 7.
18 menjabat dalam hierarki partai Komunis, dan juga Stasi, polisi rahasia yang ditakuti.
42
Traktat Unifikasi memungkinkan diskualifikasi atas dua dasar: “tidak dapat diterima karena kelakuan
politik di masa lalu” dan “inkompetensi teknis”. Seperti dalam denazifikasi pasca-perang, sekali lagi kuesioner digunakan untuk menentukan orang-orang yang menjadi anggota polisi
rahasia, dan komisi lokal diberi hak untuk melakukan pengucilan. Pengesahan Akta Arsip Stasi pada tahun 1991 memungkinkan akses terhadap arsip bekas polisi rahasia dan
pengecekan terhadap latar belakang rezim lama, yang berakibat pada pembersihan besar- besaran mantan pejabat sipil Jerman Timur di semua tingkat. Pengucilan dari jabatan publik,
keamanan negara dan pendidikan berarti ribuan pejabat, hakim, guru dan pengajar universitas dipecat.
Dekomunisasi di Cekoslowakia tampaknya mencakup sasaran yang lebih luas, karena undang-undangnya mencakup hingga jajaran terbawah pendukung rezim lama. Bahkan
mencakup mereka yang mengikuti sekolah keamanan atau sebagai “kandidat” kolaborator, sehingga berpotensi mempengaruhi puluhan ribu orang. Terlebih lagi, pelaksanaan lustrasi
Cekoslowakia dilakukan oleh Kementerian dalam Negeri secara tersentralisasi, sementara pembersihan Jerman dilakukan pada tingkat lokal. Namun pada akhirnya, pembersihan Jerman
memiliki dampak yang lebih luas, karena mereka diterapkan secara sistematis oleh aparat administratif yang sudah ada dan berfungsi penuh, dan pengganti pejabat yang dipecat telah
tersedia.
Penggunaan pelucutan politik yang luas dijustifikasi hanya oleh kaitan atara afiliasi politik masa lalu dan kompetensi untuk berpartisipasi dalam rezim demokratik. Namun, skema
demikian menimbulkan pertanyaan normatif: apa relevansi antara perilaku politik di masa lalu dengan terbentuknya tatanan politik baru. Baik di bekas Cekoslowakia dan Jerman, pertanyaan
ini kontroversial dan berakhir pada pada tinjauan konstitusional. Tinjauan konstitusional memerlukan justifikasi publik yang berlanjut terhadap kebijakan dekomunisasi. Di Jerman-
bersatu, diskualifikasi politik dijustifikasi oleh asumsi bahwa seorang mantan komunis tidak bisa bertugas dalam sistem politik yang demokratis. Di negara-negara lain, seperti Hongaria,
diskualifikasi politik serupa dijustifikasi oleh badan peradilan atas alasan demokrasi.
43
Dalam menegaskan konstitusionalitas lustrasi, Pengadilan Konstitusional Republik Federal Ceko dan Slowakia menganalogikan hal tersebut dengan security clearance bukti
kelakuan baik dalam sistem demokrasi yang mapan. Seperti security clearance, lustrasi menjadi syarat pekerjaan berdasarkan kelakuannya di masa lalu, hukum tersebut “hanya
menunjukkan beberapa syarat tambahan untuk jabatan-jabatan sensitif tertentu dalam administrasi negara dan aparat ekonomi”. Mengizinkan “orang-orang yang terlibat dalam
pelanggaran atau penindasan hak asasi manusia dan kebebasan ... cara-cara yang memberi peluang bagi destabilisasi serius terhadap perkembangan demokrasi dan mengancam
keamanan warga negara mendatangkan risiko yang besar”.
44
Bandingkanlah analogi kebijakan lustrasi dalam masa transformatif dengan peran security clearance dalam negara-negara yang
42
Provisi diskualifikasi Jerman dapat dilihat dalam Traktat Unifikasi 31 Agustus 1990. Lihat Republik Federal Jerman dan Republik Demokratik Jerman, “Agreement with Respect to the Unification of Germany”, 31 Agustus
1990, BGB1.II, diterjemahkan dan dicetak ulang dalam International Legal Materials 30 1991: 457 kemudian “Traktat Unifikasi Jerman”.
43
Lihat Decision No. 1, Constitutional Case No. 32 Hungaria, 1993. Dekomunisasi juga dijustifikasi atas alasan keamanan.
44
Constitutional Court Decision on the Screening Law, Ref. No. P1. US192, Republik Federal Czek dan Slowakia, 1992.
19 sudah mapan. Dalam sistem demokrasi yang sudah mapan, pembuktian bahwa seseorang
dapat dipercaya, sebagai syarat untuk mendapatkan pekerjaan, biasanya dibatasi pada posisi- posisi yang berkaitan dengan keamanan atau posisi yang sensitif, yang memiliki akses
terhadap informasi rahasia. Biasanya, hanya sedikit posisi publik yang membutuhkan keamanan lebih tinggi; diskualifikasi demikian biasanya dianggap tidak dapat dijustifikasi dan
bersifat punitif. Lebih lagi, pemerintah dalam kondisi biasa menanggung beban untuk menunjukkan relevansi proses penyaringan dengan posisi yang terkait. Analogi dengan
security clearance ini bisa menjustifikasi penyaringan untuk posisi-posisi tertentu dalam pemeritahan di wilayah ini, seperti yang berkaitan dengan hak asasi manusia; dan kepentingan
hak asasi manusia bisa menjustifikasi bentuk pendahuluan terhadap undang-undang lustrasi, yang akan menyaring mereka yang bertanggung-jawab secara pribadi terhadap pelanggaran
hak asasi manusia. Namun, kepentingan keamanan tidak bisa digunakan untuk menjustifikasi luasnya lingkup lustrasi.
Dalam sejarah, negara memiliki kekuasaan besar untuk mensyaratkan hak untuk memegang jabatan atas dasar politik. Dalam hukum Konstitusional Amerika, misalnya, hal ini
tampak dalam opini yudisial penting bahwa “seseorang bisa memiliki hak konstitusional untuk berbicara tentang politik, namun ia tidak memiliki hak konstitusional untuk menjadi seorang
polisi”.
45
Namun, pandangan modern telah bergeser dari pandangan historis ini. Meskipun syarat politik terhadap praktik hukum berkaitan dengan keanggotaan partai komunis pada
suatu waktu diterapkan, hal ini terjadi pada masa Perang Dingin, dan hukum Amerika telah berubah.
46
Sistem demokrasi liberal modern biasanya tidak diizinkan mengambil keputusan dalam ranah publik semata-mata atas pertimbangan politis. Dalam sistem demokrasi yang
mapan, hanya posisi puncak pemerintahan yang pengangkatannya dijustifikasi melalui dasar politik, atau dengan proses pemilihan umum. Meskipun hak untuk memegang jabatan publik
atau mendapat layanan publik bisa dikekang, biasanya negara tidak berhak untuk melakukan hal tersebut atas dasar politik. Dalam negara liberal, syarat politik harus dijustifikasi oleh
kepentingan yang signifikan dan terkait erat dengan usaha memajukkan kepentingan tersebut. Kepentingan efisiensi pemerintahan biasanya dianggap tidak cukup untuk menjustifikasi
penunjukkan posisi secara politis.
47
Loyalitas politik pun tidak cukup untuk menjustifikasi politik patronase. Relevansi afiliasi politik bergantung pada sifat afiliasi ini yang menjadi
dasar diskualifikasi. Ia juga bersyarat pada pemerintah yang menunjukkan kaitan erat antara posisi yang dipermasalahkan dan dasar politik, dengan afiliasi politik menjadi pertimbangan
hanya bila relevan pada efektivitas kinerja.
48
Prinsip umum yang menentang pengambilan keputusan secara politis dalam lingkup publik melindungi hak organisasi politik dan hak untuk
berpendapat bebas, yang penting dalam sistem demokrasi.
49
Lebih lanjut lagi, dalam sistem demokrasi berkeadilan sosial di Eropa yang dicirikan oleh pengaturan pekerjaan yang lebih
45
McAuliffe v. City of New Bedford, 29 NE 517 Mass. 1892.
46
Lihat Elfbrandt v. Russel, 384 US 11 1966. Lihat juga Branti v. Finkel, 445 US 507 1980 menolak pencopotan berdasarkan afiliasi atau dukungan partai menolak persyaratan menjadi pegawai negeri akibat
keanggotaan partai komunis.
47
Lihat Elrod v. Burns, 427 US 347 1976.
48
Lihat United States v. Robel, 389 US 258, 166 1967; Rutan v. Republican Party of Illinois, 497 US 62, 70-71 1990. Lihat juga Konigsberg v. State Bar, 366 US 36 1961; In re Anastapolo, 366 US US 82 1961.
49
Lihat PBB, Sidang Umum, Universal Declaration of Human Rights, ARES217A III, 10 Desember 1948, Pasal 2.
20 besar, kondisionalitas politik akan mempengaruhi hak-hak lain seperti hak sebagai pekerja dan
kebebasan dalam lingkup publik.
50
Meskipun intuisi biasa tentang kedaulatan hukum akan mendorong penolakan terhadap tindakan politik demikian, kepentingan transisional tertentu bisa mendukung pengambilan
tindakan seperti itu pada masa-masa yang terbatas. Maka, dengan mengesahkan kebijakan penyaringan, Pengadilan Konstitusional bekas Cekoslowakia merasionalkan kebijakan lustrasi
atas dasar kebutuhan luar biasa masa tersebut. Dengan memperingatkan “kemungkinan kemunduran ke masa-masa pemerintahan totaliter” dan kebutuhan untuk mencegah
“destabilisasi perkembangan demokrasi negara”, justifikasi pengadilan untuk kebijakan ini jelas-jelas bersifat transisional. Langkah-langkah ini dijustifikasi oleh kebutuhan membangun
rezim yang lebih demokratis:
Semua negara, terutama yang telah mengalami penderitaan karena pelanggaran hak-hak dan kebebasan asasi oleh kekuasaan totaliter selama lebih dari empat puluh tahun memiliki hak untuk
menerapkan tindakan legislatif demikian yang berusaha untuk mencegah risiko subversi berupa kembalinya rezim totaliter, untuk menciptakan sistem demokratis.
Preseden transisional lainnya dari masa pasca-perang juga dijadikan pertimbangan: “Tindakan-tindakan demikian ... juga diambil oleh negara-negara Eropa lainnya setelah
runtuhnya rezim totaliter ... sebagai cara yang sah ... bukan untuk mengancam karakter demokratik sistem konstitusional ... atau ... hak hak dan kebebasan warga negara ... namun
untuk perlindungan dan konsolidasinya”.
51
Bahwa justifikasi luar biasa untuk pelucutan politik dibatasi pada jangka waktu yang terbatas selama pergeseran politik diakui dalam hukum
tersebut, yang di dalamnya terdapat pembatasan waktu. Di bekas Cekoslowakia, meskipun lustrasi pada awalnya diharapkan untuk berlangsung selama lima tahun, di Republik Ceko, hal
ini diperpanjang lima tahun lagi. Pelucutan politik di Jerman-bersatu juga secara eksplisit bersifat sementara sejak awalnya.
52
Keterlibatan dalam rezim politik lama sering kali dianggap berpengaruh pada kedudukan sebagai pejabat publik dalam masyarakat transisional selama masa-masa
transformasi politik yang rapuh dari pemerintahan represif ke liberal. Namun apa batasan relevansi kesetiaan politik masa lalu? Secara historis, setelah kediktatoran berakhir,
pembersihan dilakukan terhadap jajaran tertinggi posisi politik. Namun, pembersihan setelah
50
Lihat Pasal 27, “International Covenant on Civil and Political Rights”, 6 Desember 1966, Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United Nations
999, No. 14668 1976: 171; Pasal 22, “International Covenant on Economic, Social and Cultutal Rights”, 16 Desember
1966, Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United Nations
993, No. 14531 1976: 3. Lihat juga 7c, “International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights” melindungi “kesetaraan kesempatan” dalam memperoleh pekerjaan.
51
Constitutional Court Decision on the Screening Law Republik Federal Czek dan Slowakia, 26 November 1992. Lihat juga K. 398 Judgment in the Name of the Republic of Poland Constitutional Court on the
Incompatibility of Law of 17.12.97 on Amendments of the Law on Judicial System and some other Statutes with the Constitutions of the Republic of Poland of 02.04.87
. Seperti dikatakan oleh pengadilan dalam Judgment of 398
, “suatu transisi dari negara otoriter ke demokrasi bisa secara luar biasa mencapai solusi yang tidak akan dijustifikasi dalam kondisi normal”.
52
Kemudian, undang-undang Ceko ini diperpanjang masa berlakunya hingga tahun 2000. Lihat Jirina Siklova, “Lustration or the Czech Way of Screening”, East European Constitutional Review 5, No. 1 musim dingin
1996: 59. Lihat juga “Constitution Watch”, East European Constitutional Review 4 musim gugur 1995: 8-10. Tentang peamahaman Jerman, lihat “Traktat Unifikasi Jerman”.
21 runtuhnya komunisme merespon bentuk represi yang lain, yaitu pemerintahan totaliter yang
berkaitan dengan semua sektor masyarakat, di mana semua orang terlibat. Sifat represi totaliter mungkin dapat menjustifikasi pembersihan satu generasi politik secara keseluruhan, dan
timbul pertanyaan tentang dari mana menarik batasannya.
Bagi beberapa pemikir, diperlukan status yang tidak kurang dari oposan untuk menunjukkan integritas moral yang diperlukan untuk memegang jabatan publik tingkat tinggi
dalam rezim yang baru. Dalam gelombang perubahan politik kontemporer, status oposan menjadi syarat de facto jabatan tinggi politik. Dalam banyak administrasi transisional di Eropa
Timur dan Amerika Latin, presiden yang baru adalah mantan oposan. Contohnya adalah Václav Havel di bekas Cekoslowakia, Arpad Göncz di Hongaria, Lech Walesa di Polandia. Di
Amerika Latin, Presiden Carlos Menem sempat dipenjarakan pada masa pemerintahan militer sebelumnya. Presiden Brazil Fernando Cardoso adalah seorang pelarian politik selama masa
pemerintahan militer di negara itu. Mantan presiden Bolivia, Gonzalo Sánchez de Lozada juga berasal dari keluarga yang sempat mengalami pengasingan. Namun sejauh mana perlu
digunakan garis pemikiran ini? Selain pada tingkat kepemimpinan tertinggi, sejauh mana keterlibatan dalam kesalahan rezim lama berkaitan dengan kesempatan memegang jabatan
publik dalam rezim liberal? Apakah ada prinsip kedaulatan hukum yang memandu pembersihan transisional dan menjustifikasi pengambilan keputusan yang dipolitisasi?
Pertanyaan ini menjadi pertimbangan Pengadilan Konstitusional bekas Cekoslowakia, ketika ia meninjau undang-undang lustrasi dan pengaruhnya bagi banyak orang yang tampil dalam
arsip polisi rahasia sebagai kandidat kolaborator yang potensial. Puluhan ribu orang termasuk dalam kelompok ini, dan hanya sebagaian kecil yang sukarela secara sadar bersedia
berkolaborasi dengan rezim lama. Keanggotaan tanpa sadar demikian, menurut pengadilan, tidak cukup untuk mendiskualifikasikan mereka dari tatanan politik yang baru.
53
Paling tidak, ditarik garis pada “keanggotaan secara sadar”.
Pertanyaan kedua yang dihadapi kebijakan dekomunisasi adalah apakah keanggotaan secara sadar demikian cukup menjadi dasar untuk penyingkiran mereka. Pertanyaan ini timbul
dalam suatu kasus yang dibahas dalam undang-undang diskualifikasi Jerman-bersatu.
54
Untuk menjustifikasi pengucilan politik, keterlibatan demikian harus lebih dari sekadar keanggotaan
secara sadar, yang merupakan hal umum dalam sistem kemasyarakatan Jerman Timur. Sebagai masalah konstitusional, menurut pengadilan tersebut, kesesuaian untuk posisi jabatan
publik tidak bisa ditentukan semata-mata dengan dasar posisi dalam hierarki Jerman Timur atau identifikasi dengan rezim Partai Serikat Buruh Jerman SED. Karena “loyalitas kepada
pemerintahan sosialis ... [merupakan suatu] yang harus ada untuk menduduki jabatan publik di Jerman Timur ... loyalitas dan kerja sama yang merupakan hal yang diperlukan untuk tetap
bertahan dan menanjak dalam karier publik ... tidak bisa menjadi justifikasi satu-satunya”.
55
Apakah seseorang tepat untuk menjabat dalam sistem layanan yang baru perlu dijustifikasi berdasarkan kondisi khusus, kasus demi kasus. Dalam kasus-kasus serupa, kedaulatan hukum
yang digunakan oleh pengadilan mendukung prinsip liberal bahwa hukum publik harus dikonstruksikan tidak hanya sesuai dengan ideologi politik, namun dengan sesuatu yang
melampauinya.
53
Lihat Constitutional Court Decision on the Screening Law.
54
Lihat Act Concerning the Records of the State Security Service of the Former German Democratic Republic Jerman, 1991 “Akta Arsip Stasi”. Lihat juga “Traktat Unifikasi Jerman”.
55
Judgment by First Senate of Constitutional Court Jerman, 1955 terjemahan penulis.
22 Bila undang-undang yang menyusun sistem peradilan suksesor akan mendiskualifikasi
badan peradilan yang sudah ada atas dasar “pengambilan keputusan yang dipolitisasi pada masa rezim sebelumnya”, syarat politik ini, menurut pengadilan konstitusional, terlalu kabur
untuk diterapkan.
56
Pengadilan Konstitusional Polandia menempatkan batasan kedaulatan hukum terhadap lustrasi terpolitisasi berskala besar terhadap badan peradilan negara tersebut.
Dalam meninjau sebuah kasus tentang mantan kepala polisi, Pengadilan Konstitusional Jerman membatalkan pemecatannya karena inkonstitusional, menentang kebijakan
dekomunisasi. Dengan membela prinsip tinjauan yudisial, pelucutan politik antikomunis dianggap sebagai asumsi legislatif yang tidak kompeten, namun bukan berarti tidak dapat
dibantah. Pengadilan melakukan penyelidikan tidak hanya terhadap kelakuan di masa lalu untuk menentukan prospek individual para mantan pejabat, untuk tetap menduduki jabatannya
dalam rezim demokratik. Dalam kasus polisi tersebut, terdapat bukti bahwa ia bisa memperbaiki dirinya, sehingga layak bertugas dalam rezim demokratik. Potensi reformasi ini
tampak penting dalam konteks Jerman, di mana terdapat inkorporasi Jerman Timur ke dalam struktur demokratis yang sudah ada, sehingga tidak ada justifikasi untuk penyingkiran secara
luas. Dengan mengakui garis dasar afiliasi politik dengan rezim totaliter di masa lalu, diciptakan batasan afiliasi politik masa lalu yang dapat diterima. Bila terdapat dukungan luas
dari masyarakat terhadap suatu rezim, dukungan demikian tidak cukup untuk mendiskualifikasi satu generasi politik. Prinsip normatif ini memandu kaitan dengan masa lalu
dalam transisi setelah komunisme. Kasus polisi tadi menunjukkan potensi pengadilan konstitusional dalam masa-masa gejolak politik. Ketika ia menolak asumsi legislatif tersebut,
Mahkamah Agung Jerman menegaskan prinsip utama dalam demokrasi liberal, yaitu perlindungan hak individual dalam sistem tinjauan yudisial. Jika pemerintahan totaliter
dicirikan dengan luasnya penetrasi hingga ke lingkup privat, suatu badan peradilan yang independen menjadi tumpuan harapan liberal untuk membatasi kekuasaan negara.
Pertimbangan dalam kasus ini menunjukkan kaitan keadilan transisional dengan sejarah masa lalu. Setelah pemerintahan represif berakhir, restrukturisasi sistem layanan
publik berarti merekonstruksi kaitan normatif antara individu dan tatanan politik. Namun apa relevansi perilaku politik masa lalu dengan pembuatan keputusan publik pada rezim
transisional, bila hal-hal lain juga berubah? Perubahan pada tingkat individu harus diperhatikan dalam kerangka perubahan struktural yang lebih luas. Dengan perubahan dalam
konteks politik dan pergeseran sistem politik, perilaku individu di masa lalu tidak relevan terhadap prospek demokrasi suatu masyarakat. Namun, selama logika persyaratan politis ini
dijustifikasi dengan memandang ke depan, justifikasi demokrasi ini tampaknya tidak koheren: menentukan persyaratan politik individu berdasarkan kelakuannya di masa lalu tidak
mendukung potensi terciptanya institusi politik baru. Dengan demikian, keadilan transisional tidak dapat direduksi dengan mudah, karena ia merespon kondisi-kondisi politik sekaligus
peninggalan sejarah pemerintahan represif yang khas. Keadilan Administratif dan Distributif
56
Lihat Akta 29 April 1985 mengenai Tribunal Konstitusional, diamendemen oleh Akta Tribunal Konstitusional 1 Agustus 1997.
23 Pada umumnya, skema-skema politis yang dibicarakan di sini dijustifikasi atas dasar
demokrasi untuk mengkonstruksi suatu tatanan politik baru. Namun, ada pula tujuan-tujuan lain yang ingin dicapai masyarakat transisional dengan menata ulang layanan publik atas dasar
politik, antara lain redistribusi. Pelucutan politik terhadap kelompok yang dibicarakan di atas mengoperasionalkan prinsip distributif untuk partisipasi politik atas dasar preferensi sistem
poltitik. Misalnya, dekomunisasi atau diskualifikasi politik serupa dapat direkonseptualisasikan sebagai skema preferensi masif berdasarkan afiliasi politik. Argumen
demikian diajukan dalam transisi di Afrika Selatan pasca-apartheid.
57
Syarat politik dapat dianggap sebagai preferensi. Apa justifikasi untuk keputusan kolektif atas dasar politik, seperti
“affirmative action”? Bila sistem politik mengalami liberalisasi, kepentingan negara apakah yang menjustifikasi preferensi remedial atas dasar ketaatan politik?
Preferensi transisional bisa dianalogikan dengan sistem patronase dalam demokrasi di masa lalu. Sementara kini terdapat prinsip anti-diskriminasi, dalam sejarahnya, patronase
digunakan untuk mengorganisir sistem administrasi publik. Setelah Perang Dunia Kedua, diskriminasi oleh pemerintah atas dasar politik mengingatkan orang pada penindasan di masa
lalu, sehingga dihilangkan dalam hampir semua hukum domestik dan internasional. Hampir semua perundang-undangan hak asasi manusia internasional pasca-perang menjamin
perlindungan yang setara tanpa memandang afiliasi politik. Prinsip anti-diskriminasi menyatakan bahwa bila perundang-undangan melakukan diskriminasi atas dasar opini politik,
harus ada kepentingan pemerintah yang amat besar. Dalam kondisi biasa, legitimasi konstitusional atas pelucutan politik demikian akan bergantung pada sifat justifikasi negara
tersebut, tentang apakah ada kepentingan negara yang menjustifikasi pengabaian prinsip kesetaraan ini.
Dari perspektif ini, pelucutan politik anti-komunis di Eropa Timur sering kali dirasionalisasi sebagai suatu bentuk affirmative action.
58
Argumennya adalah sebagai berikut: di Eropa pasca-komunis, menjadikan ketaatan pada sistem politik relevan dengan partisipasi
dalam administrasi negara di masa depan tidak hanya berarti memberikan beban pada kebebasan beropini politik pada masa kini, namun juga memikul beban sejarah. Dalam transisi
kontemporer, preferensi politik dijustifikasi, karena seperti masalah preferensi rasial di Amerika Serikat peninggalan sejarah sistem politik di Eropa Timur memiliki peran yang
memecah belah dan menindas dalam sejarah wilayah ini. Bagaimanapun bentuk komitmen terhadap kesetaraan politik dalam rezim penerus, konteks sejarah untuk pembersihan sejarah
di wilayah ini adalah masa-masa diskriminasi politik yang panjang. Bahkan, signifikansi diskriminasi politik dalam sejarah ini diakui oleh pengadilan konstitusional di wilayah ini
dalam tinjauan mereka tentang tindakan penyaringan transisional. Dalam membela kebijakan lustrasi, pengadilan konstitusional Republik Ceko menyatakan:
Sebuah negara demokratik ... tidak bisa tinggal diam bila semua posisi tertinggi dijabat berdasarkan kriteria politik. Sebuah negara demokratik wajib berusaha untuk menghilangkan
preferensi yang tidak terjustifikasi terhadap sekelompok tertentu warga negara, berdasar pada prinsip keanggotaan pada partai politik tertentu, dan juga melenyapkan diskriminasi terhadap
warga negara.
59 57
Lihat “Peace for Affirmative Action” New York Times, 21 Februari 1998, hal. A2.
58
Untuk analisis kritis, lihat John Elster, “On Doing What One Can”, East European Constitutional Review 1 1992: 15.
59
Constitutional Court Decision on the Screening Law.
24 Diskriminasi politik di masa lalu menarik untuk digunakan sebagai justifikasi, namun
ia tidak cukup untuk menjustifikasi diskriminasi politik di masa kini. Sementara skema dekomunisasi memiliki arti perpindahan dari orang-orang komunis ke non-kominis, skema-
skema demikian tidak dirancang untuk mendorong keberagaman politik dalam sistem demokrasi yang baru tumbuh. Hingga sejauh mana analogi affirmative action diperlakukan
secara tidak adil? Apakah bisa dikatakan bahwa mungkin terdapat “orang-orang benar” yang diperlakukan secara tidak adil? Tidak semua jabatan publik di masa lalu dirampas secara tidak
adil dari orang-orang non-komunis; tidak semua orang yang bekerja di masa tersebut memegang jabatannya secara curang. Tindakan dekomunisasi yang melarang orang untuk
bekerja dalam sektor publik ditentang karena melanggar hak-hak individual, seperti hak-hak yang berkaitan dengan pekerjaan.
60
Namun, tantangan ini pun kontroversial, karena perubahan politik berjalan bersama dengan perubahan ekonomi dan sistem layanan publik. Apakah
pelucutan politik mengancam hak untuk bekerja, dan bagaimana caranya, menjadi pertanyaan kontroversial tentang pemahaman sosial dalam transisi menuju sistem pasar. Kepentingan
redistributif yang memandang ke depan digunakan untuk menjustifikasi perundang-undangan diskualifikasi secara luas yang menghukum orang-orang komunis dan menguntungkan orang-
orang non-komunis. Ketika kategori politik ditarik ulang, untuk mencabut preferensi masa lalu sehingga menguntungkan oposisi politik, kepentingan negara dalam redistribusi sektor publik
tampak tidak saja diskriminatoris secara politis namun juga memiliki tujuan terselubung.
Perundang-undangan dekomunisasi memandang ke depan dan sekaligus ke belakang dalam masa transisi. Hak-hak dari masa lalu digunakan untuk menjustifikasi realokasi
pekerjaan dalam rezim penerus. Redistribusi transisional ini merekonstruksi cara-cara penentuan hak di muka, dan mendefinisikan ulang kaitan sosial dalam sistem lama, yaitu
sebuah sistem yang tidak memiliki pemahaman mendalam tentang hak properti. Interaksi kriteria keadilan transisional dan distributif dalam pengembalian hak-hak mereka yang semula
dirampas kesempatannya akan dibahas dalam bab berikut. Menarik-Ulang Garis Partai: Arti Sosial Pembersihan dalam Sektor Publik
Pembersihan secara publik mengkonstruksi transformasi sosial dengan mendefinisikan kembali batasan lingkup politik, sebagai batas pelucutan politik dalam sektor publik. Hal ini
meruakan dampak dari transisi. Sebagian besar dampak dekomunisasi adalah dari pengungkapan kolaborasi di masa lalu melalui publikasi dan pertanggungjawaban politis serta
sanksi sosial.
61
Meskipun larangan bekerja bisa dicabut setelah waktu tertentu, tidaklah demikian dengan stigma “musuh demokrasi”. Di bekas Cekoslowakia, daftar “orang-orang
yang disingkirkan” yang dibacakan di televisi menimbulkan gejolak sosial; di Polandia, pembocoran nama-nama mengakibatkan krisis politik yang nyaris menjatuhkan pemerintah.
Begitulah, lustrasi diawali sebagai pengungkapan secara de facto di muka umum; dan bahkan bila diatur oleh hukum, pada akhirnya undang-undang tetap tidak menggunakan sanksi
60
Lihat misalnya, International Labour Organization Decision on the Screening Law, GB. 2521619 Republik Federal Czek dan Slowakia, 1992.
61
Lihat Act on the Illegality of the Communist Regime and Resistance to It, Akta No. 1981993 Republik Czek, 1993.
25 tradisional yang diasosiasikan dengan hukum, dan bergantung pada pengeksposan di lingkup
publik. Sebagai contoh, di Hongaria, daftar nama-nama yang dianggap terlibat dalam represi di masa lalu diterbitkan di harian para pegawai negeri.
Lustrasi Cekoslowakia juga bersifat deklaratoris. Dalam tinjauannya terhadap Undang- Undang Ilegalitas Rezim Komunis, Pengadilan Konstitusional secara gamblang mengakui dan
menegaskan sifat perundang-undangan dekomunisasi:
Undang-Undang Lustrasi tersebut, tidak memberikan sanksi, namun ia hanya menentukan syarat untuk memegang jabatan tertentu ... Dasar konstitusional bagi negara demokratis tidak
menghalangi parlemen untuk menyatakan ... sudut pandang moral dan politisnya dengan cara yang tepat dan dapat diterima dalam batasan prinsip-prinsip umum hukum dalam bentuk yang
bisa disahkan sebagai statuta.
62
Dengan merujuk pada fungsi hukum yang “memuji” dan “menyalahkan”, undang-undang ini diharapkan berfungsi sebagai cara deklaratoris normatif. Meskipun tidak secara formal
menunjukkan tanggung jawab pidana, namun ia mendorong pengutukan sosial yang kerap dikaitkan dengan putusan pidana. Dalam aspek stigmatisasinya, dampak lustrasi berpotensi
serupa dengan perundang-undangan pidana.
63
Dalam kondisi biasa, stigma demikian akan didukung dengan penunjukkan tanggung jawab individual yang merupakan ciri proses pidana.
Pengucilan politik ini menimbulkan perhatian pada signifikansi pengumuman nama: pembersihan dimulai dari daftar ini. Ketika daftar mereka yang harus disingkirkan itu terbit,
daftar itu sendiri merupakan suatu bentuk putusan politik yang menimbulkan stigma. Mungkin pendekatan paling tidak formal terhadap lustrasi dilakukan di Polandia, di mana kandidat
untuk posisi tinggi diharap menunjukkan bahwa ia “bersih diri” dengan mengumumkan kaitan mereka dengan polisi rahasia antara tahun 1944 dan 1990.
64
Undang-undang dekomunisasi mengungkapkan secara gamblang makna sosial tindakan regulatoris yang tidak terdapat dalam
sanksi formal, perubahan hak atau kewajiban yang secara umum dikaitkan dengan hukum. Dengan melihat konteks peninggalan sejarah di wilayah ini, pembersihan politik dalam
lingkup publik memiliki makna.
Bagaimana tepatnya cara, syarat dan pelucutan politik memungkinkan transformasi? Pembersihan oleh rezim penerus dilakukan untuk membongkar represi rezim lama, hukum
digunakan untuk merekonstruksi kelompok-kelompok politik yang relevan terhadap partisipasi dalam lingkup publik. Dalam masa transisi, rezim penerus menggunakan kategori-kategori
politik yang dahulunya dipakai untuk menjadi persyaratan dalam rezim lama, untuk melakukan diskualifikasi. Kekuatan rekonstruksi politik menjadi terlihat jelas dengan latar
belakang ini; pembersihan pasca-komunis bersifat performatif karena mereka dengan eksplisit membalikkan dasar proses yang semula mendukung rezim lama. Namun, kebergantungan
pada dokumentasi milik rezim lama memiliki dampaknya sendiri. Penilaian terhadap masa lalu seseorang dilakukan dengan merujuk pada arsip-arsip rezim lama; dengan arsip-arsip tersebut
sebagai ujian politik. “Lustrasi” atau verifikasi dilakukan melalui arsip-arsip ini; kebenaran ditemukan dari catatan milik rezim lama.
62
Constitutional Court Decision on the Act on the Illegality of the Communist Regime 1993 Republik Czek, 1993.
63
Lihat umumnya Dan M. Kahan, “What do Alternative Sanctions Mean?” University of Chicago Law Review 63 1996: 591.
64
Robert Conquest, The Great Terror: Stalin’s Purge of the Thirties, New York: Macmillan, 1968.
26 Dalam pergantian administrasi biasa di negara-negara demokrasi normal,
kebergantungan pada arsip rezim lama bukanlah hal yang luar biasa; namun dalam pergeseran antara sistem politik, terutama dari kediktatoran ke sistem-sistem yang lebih liberal,
kebergantungan pada arsip lama memiliki arti mempertahankan kontinuitas dalam dasar material rezim lama, dan dengan demikian menjadi amat paradoksal. Ini terjadi karena usaha
untuk membersihkan masa lalu dilakukan dengan proses-proses yang amat terkait erat dengan masa lalu itu sendiri. Bahkan istilah yabng digunakan merujuk pada proses-proses dalam
rezim lama. “Lustrasi” adalah istilah yang digunakan polisi rahasia Cekoslowakia untuk penilaian latar belakang loyalitas warga negara terhadap partai komunis selama
pemerintahannya yang berlangsung selama 40 tahun. Dengan menggunakan sudut pandang ini, pembersihan pasca-1989 hanyalah pembersihan terbaru dalam seperangkat pembersihan:
antara lain pembersihan yang dilakukan pada tahun 1970; pembersihan para reformis 1968, ketika setengah juta orang dipecat dari partai; dan sebelumnya, tahun 1948 dan pembersihan
Stalinis.
65
Bahkan dalam bentuknya yang lunak, lustrasi mengingatkan kembali pada rezim totaliter. Dengan demikian, ia merekonstruksi masyarakat dengan cara lama, dengan
mendefinisi-ulang partai politik melalui cara yang sama. Lustrasi tampak terkait erat dengan rezim lama, bahkan sementara ia digunakan untuk tujuan transformatif.
Jika bab ini diawali dengan mempertanyakan kaitan cara-cara non-liberal terhadap tujuan liberal, pembersihan politis di Eropa Timur dan Tengah menunjukkan masalah tersebut.
Di sini terdapat paradoks konstruksi sosial dekomunisasi dalam transisi, tentang pembersihan politik yang mengutuk kejahatan masa lalu, namun sekaligus menggunakan cara-caranya.
Dalam negara-negara demokrasi baru, undang-undang dekomunisasi mengingatkan kembali pada masa lalu totaliter mereka. Hingga titik tertentu, penggunaan bentuk-bentuk demikian
akan mengingatkan orang pada represi di masa lalu, dengan perubahan revolusioner yang dilakukan melalui pembersihan. Cara-cara lama dan baru tampaknya begitu mirip,
menunjukkan alasan kuat soal dilakukannya proses-proses tersebut. Pembersihan-pembersihan demikian menunjukkan bahwa meskipun paradoksal, proses-proses ritual tradidional justru
paling bisa mengekspresikan perubahan politik. Praktik transisional menunjukkan hasil pengamatan sosiologis tentang ritual sosial pemeliharaan dan reformasi: dengan cara-cara
lama, pesan perubahan politik menjadi manifes,
66
meskipun ia dibedakan dengan jaminan prosedural dan justifikasi liberal. Analisis terhadap bentuk-bentuk perubahan demikian
menjelaskan bagaimana dalam masa transisi, ritual politik yang sudah ada tetap bisa memajukan tujuan untuk transformasi.
Demiliterisasi terhadap Negara Kemanan Nasional Dengan tingkat kebertahanan pemerintahan otoriter yang tinggi, bagaimana cara bergeser dari
rezim militer ke sistem yang lebih liberal? Mungkin tantangan terbesar bagi keadilan administratif adalah penggunaan tindakan administratif untuk mengubah negara keamanan
nasional. Akhir Perang Dunia Kedua menimbulkan suatu dorongan untuk memelihara
65
Robert Conquest, The Great Terror: Stalin’s Purge of the Thirties, New York: Macmillan, 1968.
66
Lihat Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure, Ithaca: Cornell University Press, 1966; Paul Connerton, How Societies Remember: Themes in the Social Sciences, Boston: Cambridge University Press,
1989.
27 perdamaian dan demokrasi. Tujuan untuk memelihara perdamaian ini mendorong sejumlah
inisiatif, dari pendirian PBB dan komitmenya untuk memelihara perdamaian hingga demiliterisasi negara-negara yang kalah. Penyerahan tanpa syarat Jerman dan Jepang
diterjemahkan sebagai penyerahan semua kekuasaan prospektif untuk berperang dalam konstitusi pasca-perang kedua negara tersebut.
67
Di negara-negara yang dianggap berpotensi menyebarkan peperangan, batasan-batasan baru pasca-perang meredam kekuasaan militer.
Meskipun terdapat dorongan untuk melakukan demiliterisasi, dengan adanya Perang Dingin, hal ini tidak bertahan lama. Ini terutama terjadi di Amerika Latin, di mana polarisasi
dunia yang semakin menajam mempengaruhi belahan dunia ini, karena usaha untuk mempertahankan sistem ekonomi ala Barat berjalan bersama dengan penindasan, juga karena
negara-negara kapitalis mendukung para diktator, selama mereka menolak komunisme. Pada dekade 1950-an, hampir setengah dari negara-negara di Amerika Latin berada di bawah
pemerintahan militer. Dekade 1960-an dan 1970-an menunjukkan semakin naiknya kekuasaan militer, ketika negara-negara yang bahkan selama itu itu dikenal sebagai negara demokratik,
seperti Cili, jatuh ke tangan militer. Pada awal dekade 1980-an, praktis seluruh benua tersebut dikuasai oleh pemerintahan militer yang represif.
68
Inilah masa kejayaan negara keamanan nasional. Dengan militer yang kokoh di tampuk kekuasaan, politik kepartaian seperti biasa
tidaklah cukup; pemilihan umum bukanlah jawaban. Bahkan bila militer secara resmi mengalihkan kekuasaan, suatu budaya penerimaan terhadap pemerintahan militer
memungkinkan perimbangan kekuasaan secara de facto antara sipil dan militer, yang dicapai dengan kedok pemerintahan sipil.
Di wilayah Amerika, transisi dari otoritarianisme berarti suatu perjuangan untuk menundukkan militer kepada pemerintahan sipil. Kegagalan politik partai mendorong respon
struktural lainnya dalam masa transisi. Meskipun terdapat liberalisasi politik, hanya sedikit usaha yang dilakukan untuk menuntut pertanggungjawaban militer sebagai suatu organisasi.
69
Namun, satu negara, Kosta Rika, menghapuskan sama sekali kekuatan militer dengan menghapus angkatan bersenjatanya.
70
El Salvador pasca-perang saudara menunjukkan bentuk demiliterisasi yang lebih sederhana. Ketika kesepakatan damai yang ditengahi PBB mengakhiri perang saudara
berdarah dan berkepanjangan di negara itu, terdapat seruan untuk memperbaiki secara besar- besaran aparat keamanan negara itu. Kesepakatan damai antara pemerintah El Salvador dan
Frente Farabundo Marti para la Liberatión Nacional FMLN tergantung pada pembersihan militer dan polisi. FMLN sepakat untuk menyerahkan senjatanya dengan syarat “purifikasi”
militer, jadi bahwa demobilisasi terhadap oposisi dipertukarkan dengan pembersihan aparat keamanan nasional. Dengan demiliterisasi dan penyerahan senjata, oposisi diizinkan masuk ke
dalam lingkup politik dan bebas untuk membentuk partai politik sebagai imbalan dari pengucilan terhadap aparat keamanan nasional dari domain politik yang sah.
Ada pertanyaan yang tersisa: bagaimana mengubah militer? Apa kaitan antara individu dengan militer sebagai sistem, terutama berkaitan dengan pelanggaran dan potensi peran
67
Bandingkan Konstitusi Jepang, Pasal 9 membatasi organisasi militer Jepang hanya untuk kapasitas bela diri dengan Basic Law Jerman, Pasal 115a.
68
Lihat Americas Watch, Report on Human Rights and U.S. Policy in Latin America, With Friends Like These, ed. Cynthia Brown, New York: Pantheon Books, 1985.
69
Untuk diskusi tentang bebrepa pergantian rezim di wilayah ini, lihat Guillermo O’Donnel et al. eds., Transitions from Authoritarian Rule: Latin America
, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986.
70
Lihat Leonard Bird, Costa Rica: The Unarmed Democracy, London: Sheppard Press, 1984.
28 militer dalam transformasi demokratik? Transformasi angkatan bersenjata di El Salvador
dilakukan dengan kombinasi perubahan sistemik dan pembersihan individual. Transformasi institusional terhadap aparat keamanan dilakukan dengan dua cara pembersihan: penyingkiran
individu dan restrukturisasi organisasi kemiliteran. Pemecatan terhadap pelaku pelanggaran individual adalah satu cara untuk membersihkan militer, menghilangkan elemen-elemen non-
demokratis dari badan ini.
71
Dalam bahasa Spanyol, Purificación, atau purifikasi, berarti meneliti peran militer dalam pelanggaran hak asasi manusia dalam suatu penyelidikan untuk
memastikan kemungkinan militer bersikap demokratis di masa depan.
72
Meskipun rencana awalnya adalah perubahan cepat terhadap aparat militer, mendorong militer untuk mengalah kepada pemerintahan sipil adalah perjuangan yang panjang. Ketika
komisi ad hoc mengidentifikasi individu-individu pelaku pelanggaran, daftar panjang para pelaku mencakup perwira-perwira tinggi, termasuk menteri pertahanan, yang terkait dengan
pembunuhan para Yesuit yang terkenal. Lebih buruk lagi, di antara nama-nama yang diidentifikasi untuk dipecat terdapat nama-nama para perwira yang terlibat dalam perjanjian
perdamaian. Perlawanan militer terhadap rencana pembersihan, dan ancaman kudeta, memperlambat pembersihan. Setengah tahun setelah jadwal yang telah disepakati dalam
perjanjian perdamaian, jajaran tertinggi angkatan bersenjata dibebastugaskan: pembersihan militer di El Salvador memiliki justifikasi penangkalan. Para pelaku pelanggaran hak asasi
manusia di masa lalu dianggap cenderung untuk mengulang kelakuannya, karena itu, harus disingkirkan dari posisi kekuasaan. Meskipun penyingkiran individual demikian berdasar pada
justifikasi yang kuat, pada masa biasa, hal demikian hanya bisa dilakukan setelah adanya due process.
Pada akhirnya, konflik antara kepentingan bersama dan hak due process individual ini ditengahi dengan kompromi, suatu pembersihan parsial yang menyingkirkan individu, tapi
tidak memberikan stigma yang dikaitkan dengan peradilan pidana. Transformasi militer disyaratkan pada kaitan yang jelas dan erat antara individu dan
organisasi, yang terkait erat dengan pemahaman masyarakat tentang militer sebagai institusi. Penggunaan tindakan transisional kolektif mengasumsikan kaitan erat antara individu yang
terpengaruh dan kolektifnya. Dalam militer, terdapat kaitan erat seperti jelas dalam pemahaman tentang tanggung jawab pidana, yang dibicarakan dalam bab terdahulu tentang
peradilan pidana. Dalam struktur militer, pemahaman tentang konstruksi “jaringan komando” menunjukkan tanggung jawab para pemimpin, pemikulan tanggung jawab yang lebih dari
sekadar individu, namun juga berpengaruh pada bagian-bagian lain dari organisasi ini.
Pergumulan tentang pembersihan militer El Salvador menunjukkan bagaimana pembersihan, meskipun konsekuensinya bersifat punitif, tidak melalui proses yang biasanya
berjalan bersama penghukuman. Ini tampak jelas bahkan dalam apa yang bisa dikatakan sebagai pembersihan tahap pertama. Penerbitan daftar nama dalam lingkup publik, seperti
lustrasi setelah komunisme, adalah pengutukan publik terhadap pelanggaran di masa lalu. Daftar nama mereka yang harus dibersihkan itu berkaitan erat dengan pembersihan tahap
berikutnya; karenanya, melakukan pencopotan secara bertahap sehingga tidak lagi dikaitkan dengan daftar tersebut berarti mengurangi “hukuman” yang diterima. Begitu proses
pembersihan dipisahkan dari daftar tersebut dan pencopotan dilakukan dengan alasan mutasi rutin dan pensiun, stigma hukuman berkurang drastis. Tanpa keputusan hukum, sanksi tidak
71
Lihat OED, entri “expurgate”.
72
Lihat Lawyers Committee for Human Rights Report, El Salvador’s Negotiated Revolution: Prospects for Legal Reform
, New York: Lawyers Committee for Human Rights, 1993, 50-56.
29 memiliki aspek punitif, dan hanya memberikan perubahan dalam status kemasyarakatan.
Akomodasi ini mengurangi ketegangan yang timbul akibat pembersihan – dan menjaga perdamaian.
Transformasi negara keamanan nasional juga berarti perubahan kepolisian, karena tidak saja militer, namun polisi juga terkait dalam pelanggaran di masa lalu. Polisi lama akan
dibersihkan, dimobilisasi dan diganti oleh kepolisian yang dikendalikan oleh sipil, bukan dengan mengeluarkan elemen lama, namun dengan memaksa memasukkan elemen-elemen
baru. Pembersihan purge dalam konteks ini menunjukkan arti lain, yaitu membersihkan satu cairan dengan memasukkan cairan lainnya.
73
Transformasi polisi dilakukan dengan memasukkan sejumlah anggota baru sipil yang “bersih”. Transformasi terhadap organisasi ini
memiliki arti bahwa sebagian besar anggotanya harus tidak terkait dengan perang saudara yang lewat. Pergantian personel dengan perbandingan 60:40 dilakukan untuk mengimbangkan
kuota antara mantan pemberontak dan militer, agar transformasi politik dapat terlaksana. Lebih dari setengah anggota institusi harus terbebas dari noda masa lalu, sehingga ada dua
kelompok seimbang yang tersisa: para anggota polisi lama yang telah disaring dan pasukan pemberontak yang telah didemobilisasi.
74
Konstruksi transformasi politik setelah berakhirnya pemerintahan militer sebagian ditentukan oleh rezim yang digantikannya. Perubahan yang berarti haruslah bersifat kritis atau
diskontinu dengan praktik-praktik di masa lalu. Jika tidak demikian, ia masih merupakan kelanjutan dari rezim lama. Terdapat konsepsi transisional yang cair tentang kaitan perubahan
struktural dan individual. Transformasi institusional dalam hal ini berlangsung melalui gabungan perubahan struktural dan individual, dengan tujuan untuk menciptakan sistem
pengawasan dan pengimbangan antara faksi-faksi politik. Restrukturisasi aparat keamanan dengan menempatkan faksi-faksi politik yang berkekuatan sama, yaitu pendukung pemerintah
dan mantan pasukan pemberontak, merupakan cara untuk mencegah repolitisasi, untuk mencegah dominasi satu pihak terhadap institusi. Ketakutan terhadap dominasi politik oleh
satu faksi merupakan hal yang umum di Amerika, dan pencegahannya melalui seperangkat sistem pengawasan dan pengimbangan melalui representasi politik luas telah lama terjadi di
wilayah ini.
75
Jalan menuju transformasi politik memiliki banyak pilihan, dari individual ke kolektif, dengan penyingkiran individu-individu anggota militer yang melakukan pelanggaran,
dan memasukkan anggota-anggota baru yang “bersih”. Dalam institusi militer, kaitan antara anggota individual dan militer sebagai badan amat erat, seperti tampak dalam struktur
komandonya. Dengan demikian, demiliterisasi di Amerika mencakup baik individu maupun struktur, yang tercermin dalam pemahaman tentang tanggung jawab dalam struktur militer.
Dengan demikian, transisi dari pemerintahan militer mentolerir ketidaktaatan pada due process
individual, tidak seperti dalam intuisi kita tentang kedaulatan hukum dalam sistem demokrasi yang sudah mapan.
Tentang Perang dan Damai
73
Lihat OED, entri “purge”.
74
Lihat Americas Watch, El Salvador and Human Rights: The Challenge of Reform, New York: Human Rights Watch, 1991.
75
Untuk pengetahuan awal argumen ini, lihat James Madison, The Federalist No. 10, ed. Clinton Rossiter, Middletown, Conn: Wesleyan University Press, 1961.
30 Usaha-usaha untuk mereformasi aparat keamanan nasional sering kali dirasionalisasikan
melalui perdamaian. Pembersihan sering kali dijadikan bagian dalam kesepakatan damai, bila perubahan politik dijustifikasi dengan alasan perdamaian dan rekonsiliasi. Justifikasi
perdamaian ini misalnya terdapat di dalam alasan untuk melakukan pembersihan di El Salvador. Menurut kesepakatan damai, demobilisasi militer akan memajukkan negara tersebut
ke tahap selanjutnya. Pembersihan aparat keamanan dilangsungkan berdampingan dengan doktrin keamanan yang baru, yang menundukkan militer pada konstitusi.
76
Pembersihan di El Salvador ini memajukkan kepentingan perdamaian, karena ia menjadi bagian dari kesepakatan
damai. Lebih lanjut lagi, usaha untuk memajukan tanggung jawab individual menghapuskan dosa kolektif dari militer secara institusional, dan memberikan legitimasi baru bagi militer.
Rekonstruksi militer lain di wilayah ini juga dilakukan dengan alasan perdamaian. Kaitan antara transformasi, keamanan dan perdamaian juga terlihat di Haiti. Setelah
berakhirnya puluhan tahun masa pemerintahan militer dan ditariknya pasukan multinasional, timbul pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan dengan aparat keamanan Haiti. Pasukan
polisi sementara yang masih tersusun dari bekas anggota militer yang represif, bahkan belum melalui proses penyaringan terhadap pelaku pelanggaran hak asasi manusia.
77
Ketiadaan usaha untuk menyingkirkan para pelanggar, dan pemindahan personel dari satu bagian aparatur
militer ke bagian lainnya hanya mendorong persepsi tentang ketiadaan otoritas dan legitimasi dalam badan tersebut.
78
Ketiadaan badan pelaksana hukum yang sah ini menandakan ketiadaan keamanan dan perdamaian. Kesepakatan serupa juga dilakukan di Kamboja, yang
memberikan kekuasaan kepada Otoritas Transisional PBB di Kamboja UNTAC untuk membuat keputusan tentang personel.
Meskipun pembersihan transisional umumnya kontroversial, namun pembersihan terhadap aparat keamanan mendapat dukungan luas.
79
Transformasi terhadap sektor keamanan menjustifikasi tindakan-tindakan yang radikal, karena di sini kaitan antara pembersihan
sebagai suatu cara dan tujuan kedaulatan hukum prospektif tampak paling jelas. Bila ancaman terhadap keamanan terletak dalam satu sektor tersendiri, yaitu aparat keamanan, transformasi
politik bergantung kepada restrukturisasi dan penciptaan legitimasi bagi sektor tersebut. Sebaliknya, bila perubahan demikian tidak dilakukan, pasukan keamanan akan dianggap tidak
mampu menjamin keamanan. Praktik transisional berkaitan sektor keamanan menunjukkan kaitan erat antara perubahan struktural dan transformasi ke sistem kedaulatan hukum di bawah
pemerintahan sipil. Pembersihan aparat keamanan memperlihatkan hubungan dekat antara individu dengan kolektif dalam lingkup-lingkup tertentu, dan menunjukkan justifikasi
penggunaan cara-cara tersebut untuk melaksanakan transformasi politik dari sistem negara keamanan nasional. Bahkan, dengan dasar pada keamanan, pembersihan pasca-militer
merupakan cara terbaik untuk melakukan transformasi politik. Bahkan dalam sistem demokrasi yang sudah mapan, pembersihan politik sering kali didasarkan atas alasan
keamanan nasional dan perdamaian, terutama di masa perang. Sebagai contoh, pada masa
76
Lihat Kesepakatan Damai, Lampiran Surat PBB tertanggal 27 Januari 1992 dari Wakil Permanen El Salvador untuk PBB, dialamatkan kepada sekretaris jenderal, A 46864 S23501 30 Januari 1992: 2-3.
77
Lihat Human Rights WatchAmericas National Coalition for Haitian Refugees, Security Compromised: Recycled Haitian Soldiers on the Front Line
, Vol. 7, No. 3, New York: Human Rights Watch, 1995.
78
Ibid., 1-2, 67.
79
Bahkan oleh komunitas hak asasi manusia. Lihat misalnya Human Rights Watch World Report 1996, New York: Human Rights Watch, 1997, 91-93.
31 Perang Dunia Kedua, penahanan massal terhadap warga negara Amerika Serikat atas dasar
kelompok etnik dijustifikasikan atas alasan “keamanan nasional”.
80
Dasar untuk tindakan penahanan berbasis etnik ini kemudian dijadikan alasan untuk melakukan pengucilan politik.
Pengucilan politik serupa mendapatkan justifikasi yang sama dalam masa Perang Dingin. Sementara alasan keamanan dalam kondisi biasa tidak dapat diterima, pada saat perang dan
transisi radikal, alasan ini menjadi kuat.
Pembersihan pasca-militer tetap merupakan tindakan transisional yang luar biasa, yang merupakan respon terhadap persepsi tertentu terhadap sumber-sumber kelemahan
institusional, yang bersifat kritis, karena demiliterisasi harus menjelaskan kaitan antara keamanan dan legitimasi serta otoritas. Bila aparat keamanan tidak tunduk pada hukum,
timbul ancaman dari institusi yang sebenarnya bertugas untuk melindunginya, yang malah berpeluang melakukan represi dan mengganggu keamanan. Perdebatan tentang pembersihan
militer dalam transisi menunjukkan masalah besar tentang kedaulatan hukum yang dihadapi di wilayah ini. Pembersihan militer menunjukkan kesukaran dalam usaha mereformasi institusi
penegakan hukum yang terpolitisasi, dan menunjukkan batas-batas kemampuan keadilan administratif. Namun, bagi rezim-rezim yang baru bergeser dari pemerintahan militeristis,
demiliterisasi memunculkan batasan baru bagi kekuasaan militer, dan menunjukkan kemenangan pemerintahan sipil; sehingga demiliterisasi dipandang bisa menawarkan satu
jalan untuk mengembalikan kedaulatan hukum. Demokrasi Militan
Dalam transisi kontemporer sejak akhir Perang Dunia Kedua, hukum publik memberikan perlindungan kepada kejahatan di masa lalu dalam bentuk yang sering kali disebut sebagai
“demokrasi militan”.
81
Demokrasi militan adalah suatu respon transisional yang mencoba menjawab paradoks represi modern, yang sering kali berakar pada demokrasi, karena
kekuasaan diperoleh sebagai hasil pemilihan umum secara bebas. Bila pemerintahan represif tampil sebagai akibat dari proses demokrasi, bagaimana kejahatan ini disikapi: sejauh mana
kesalahan rakyat, partai dan negara? Dan ke mana transformasi akan diarahkan? Setelah berakhirnya penderitaan akibat fasisme, ini menjadi pertanyaan sentral dalam keadilan
transisional. Nazisme menancapkan kukunya di Jerman melalui politik parlementer biasa, dengan mayoritas politik yang berhasil menentang tatanan politik yang ada.
82
Fasisme dan kejahatan-kejahatan yang ditimbulkannya dianggap tumbuh dari kelemahan Republik Weimar
dan partai-partai politik ekstremis yang menjadi gerakan populis yang meruntuhkan demokrasi. Dengan peninggalan sejarah kegagalan demokrasi ini setelah keruntuhan Nazi,
timbul pertanyaan tentang bagaimana melindungi demokrasi di masa depan. Di sini, ancaman terbesar bagi liberalisme adalah partai-partai yang bekerja dalam sistem politik demokratis
untuk meruntuhkannya. Peninggalan sejarah represi politik inilah yang mendorong respon
80
Lihat Korematsu v. United States, 323 US 214 1944.
81
Lihat Dennis v. United States, 241 US 494 1951 menyetujui penindasan atas dasar Smith Act terhadap para pimpinan nasional partai komunis Amerika Serikat.
82
Lihat Hans Mommsen, From Weimar to Auschwitz, Princeton, N.J: Princeton University Press, 1991. Lihat umumnya Robert Moss, The Collapse of Democracy, London: Abcus, 1977.
32 yang dikenal sebagai “demokrasi militan” – usaha untuk melindungi sistem demokratis dari
ancaman internal. “Demokrasi militan” merespon tirani masa lalu tertentu, yang karena itu ia juga
bermakna mendefinisikan ulang demokrasi. Demokrasi militan menjustifikasi peredaman berdasarkan konstitusi terhadap partai-partai politik yang bila dibiarkan begitu saja dapat
mengancam tatanan demokratis; dalam skema demokrasi militan, partai-partai “inkonstitusional” akan disingkirkan dari perpolitikan yang sah.
83
Penyingkiran terhadap kelompok-kelompok politik tertentu akan menyusun batasan baru terhadap sistem politik.
Dilema yang ditimbulkan demokrasi militan adalah pembatasan demokrasi atas nama demokrasi. Ini adalah satu bentuk ekstrem dari persyaratan dan pelucutan politik yang telah
dibicarakan. Hingga titik tertentu, skema ini menjadi lemah karena proses-prosesnya: meskipun pelarangan partai bisa dilakukan oleh cabang-cabang politik, ia hanya diputuskan
oleh sikap pengadilan konstitusional. Dengan demikian, apa yang disebut sebagai “anti- demokrasi” dan di luar konstitusi adalah suatu masalah penafsiran konstitusi. Jadi, dalam
interpretasinya terhadap demokrasi militan, pengadilan konstitusional berperan sebagai pelindung tatanan demokrasi yang baru. Tepat setelah berakhirnya perang, dalam kasus Partai
Sosialis, hanya terdapat satu masalah: sejauh mana ia terkait dengan partai Nazi, sehingga partai tersebut harus disingkirkan. Partai neo-Nazi ini merupakan paradigma partai anti-
demokrasi, karena keanggotaan, struktur dan ideologinya tidak lain adalah kelanjutan dari partai Nazi yang lama.
84
Namun, dengan adanya Perang Dingin di Eropa, ancaman potensial terhadap demokrasi tidak sekadar neo-nazisme. Ketika pemerintah Konrad Adenauer
mengesahkan Pasal 21, yaitu tindakan konstitusional untuk melarang Partai Komunis Jerman, pertanyaan yang relevan menurut pengadilan adalah apakah partai tersebut berusaha untuk
merusak tatanan “demokratis”. Harus ada bukti “bahaya nyata” yang diterapkan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam meninjau perundang-undangan serupa untuk melarang partai
komunis di Amerika Serikat pada masa perang dingin.
Tindakan keras terhadap sistem demokrasi kepartaian tampaknya salah. Namun menurut pandangan Pengadilan Konstitusional Jerman, hal tersebut dijustifikasikan oleh
pengalaman sejarah dan penindasan yang dialami negara itu. Penindasan secara konstitusional terhadap satu partai hanya dilakukan dua kali dalam masa tujuh tahun pertama terbentuknya
pemerintah baru pada tahun 1949, dengan pelarangan partai neo-Nazi pada tahun 1952 dan partai komunis pada tahun 1956.
85
Seiring perjalanan waktu, kebutuhan untuk merasakan bahaya yang berlebihan seperti itu menjadi berkurang. Pada tahun 1968, ketika Partai
Komunis Jerman muncul kembali, representasi politik demikian tidak lagi dianggap kontroversial. Baik di Jerman maupun di Amerika Serikat, penindasan terhadap partai
komunis hanya dilakukan selama periode tertentu setelah berakhirnya perang; ketika prinsip demokrasi militan sedang dipegang teguh.
83
Untuk asal usul istilah “demokrasi militan” dalam teori politik, lihat Karl Lowenstein, “Militant Democracy and Fundamental Rights”, American Political Science Review 31 1937: 417. Untuk provisi konstitusional yang
mendefinisikan lingkup keterancaman demokrasi konstitusional, Basic Law, Pasal 212 menyatakan: “Partai- partai yang karena tujuannya atau karena perilaku pengikutnya berusaha melemahkan atau menghapuskan tatanan
mendasar demokratis dan kebebasan atau mengancam keberadaan Republik Federal Jerman akan dianggap inkonstitusional”.
84
Lihat Socialist Reich Party case, 2 BverfGE 1 Jerman, 1952 dan Communist Party Case, 5 BVerfGE 85 Jerman, 1956.
85
Ibid.
33 Penindasan konstitusional terhadap sebuah partai jarang dilakukan di Jerman, dan pada
praktiknya hal tersebut pun dibatasi pada masa transisional. Namun, di seluruh wilayah tersebut, dalam perubahan sistem konstitusional Eropa pasca-perang, respon terhadap
totalitarianisme sering kali mengambil bentuk demokrasi militan. Demokrasi dijadikan batasan konstitusional terhadap perkumpulan politik. Misalnya, konstitusi Turki menyatakan bahwa
“partai politik harus sepakat dengan prinsip-prinsip demokrasi”. Konstitusi Portugal membatasi kebebasan berkumpul berdasarkan kondisi pasca-perang, dengan melarang
“organisasi yang memiliki ideologi fasis”.
86
Di seluruh wilayah ini, respon terhadap ketakutan sejarah atas sistem politik demokratis yang disalahgunakan mengambil bentuk represi
konstitusional. Melalui respon struktural ini, bentuk-bentuk ekspresi politik yang berbahaya ditempatkan di luar tatanan politik yang ada. Pembatasan terhadap bentuk perpolitikan yang
legal beralih menjadi kedaulatan hukum dalam masa transisi, kendatipun pelaksanannya dengan standar konstitusional transisional ini memberikan kontribusi lebih besar terhadap
identitas politik negara itu.
Respon pasca-perang terhadap fasisme adalah menyingkirkan oposisi non-demokratik di luar sistem politik yang legal. Demokrasi militan memunculkan dilema tentang apa yang
yang harus dilakukan terhadap partai politik yang membahayakan demokrasi yang memungkinkan terbentuknya. Kasus transisional ini menjelaskan patologi lebih luas dalam
politik demokratis: pemerintahan tidak liberal yang muncul sebagai akibat dari penggunaan cara-cara demokratis. Kasus ini menunjukkan bagaimana demokrasi menimbulkan dilema
cara-tujuan yang dibicarakan dalam bab ini. Demokrasi militan menunjukkan ketegangan ini dan menunjukkan bahwa paling tidak dalam masa transisi, proses-proses non-liberal bisa
ditolerir, bila ditujukan untuk membangun demokrasi. Partai dan Rakyat
Mungkin usaha paling radikal yang dilakukan sebuah partai untuk melakukan transformasi politik tampak dalam transisi pasca-komunis kontemporer. Pada saat kejatuhan Uni Soviet,
pembersihan diri oleh Partai Komunis merupakan tanda terjelas dari perubahan politik. Keruntuhan ini dimulai pada tahun 1991, ketika Presiden Mikhail Gorbachev menyerukan
kepada komisi Sentral Partai Komunis Uni Soviet untuk membubarkan diri. Di berbagai republik anggota Uni Soviet, partai-partai komunis bubar, entah sebagai akibat pelarangan,
dekrit presiden, atau reformasi konstitusional. Berakhirnya sistem satu partai, sekaligus penghapusan privilesenya, menandakan awal tatanan politik baru yang lebih terbuka. Karena
status partai sebelumnya dimapankan dalam skema hukum, keruntuhannya pun diformalkan melalui hukum. Transformasi politik hanya bisa dilakukan dengan memutuskan kaitan antara
kekuasaan partai dan negara, sehingga kedaulatan dapat dipindahkan dari partai ke rakyat.
87
Melalui perubahan konstitusional, partai komunis dipisahkan dari aset-asetnya, dan dilarang untuk menerapkan kekuasaannya.
88
Bahkan istilah Marxisme-Leninisme dihilangkan dari
86
Konstitusi Republik Turki, pasal 69 amendemen 1995; Konstitusi Portugal, pasal 46 1992.
87
Lihat misalnya Konstitusi Republik Bulgaria, 12 Juli 1991, Konstitusi Republik Hongaria, setelah diamendemen Akta No. 31, 1989, pasal 33.
88
Lihat Gordon Wightman ed., Party Formation in East-Central Europe: Post-Communist Politics in Czechoslovakia, Hungary, Poland and Bulgaria
, Adershot, Inggris: Edward Elgar, 1995, 205.
34 konstitusi. Dengan kehilangan legitimasi dan dipenuhi korupsi, rezim tersebut runtuh dengan
sendirinya. Setelah terjadinya perubahan politik kritis, timbul pertanyaan tentang apa yang harus
dilakukan terhadap Partai Komunis? Apakah partai tersebut, yang terbiasa dengan sistem partai tunggal, dapat beradaptasi ke sistem kepartaian yang demokratis? Apakah institusi ini
dapat melemahkan konsolidasi tatanan demokratis yang liberal? Sejauh mana partai komunis dapat diperlakukan setara dengan partai-partai politik lainnya dan diizinkan bersaing dalam
perebutan kekuasaan? Setelah pemerintahan partai tunggalnya yang represif, apakah partai komunis masih memiliki legitimasi? Atau apakah identitas partai tersebut pada dasarnya
sinonim dengan negara totaliter? Dalam pandangan terakhir ini, adanya perubahan berarti menuntut pembubaran partai tersebut. Sementara bila identitas partai tidak disamakan dengan
negara, ia tetap bisa berperan dalam transisi ke sistem politik yang lebih demokratis. Pertanyaan ini adalah pertanyaan kunci, dengan dampak potensial di seluruh wilayah ini.
Isu ini menjadi signifikan pada tahun 1991, ketika Pengadilan Konstitusional Rusia yang baru dibentuk menegaskan konstitusionalitas partai komunis. Pada bulan Agustus 1991,
segera setelah berakhirnya usaha kudeta, Presiden Boris Yeltsin menyatakan Partai Komunis Rusia sebagai tidak konstitusional melalui keputusan presiden, yang diikuti dengan
pembubaran aparat kepemimpinan partai itu, politbiro dan Komite Sentral, bersama-sama dengan struktur lokal partai.
89
Namun Rusia tidak seperti Jerman, tidak memiliki skema konstitusional untuk merepresi partai-partai ekstremis. Akibatnya, terdapat bebarapa isu yang
diajukan ke pengadilan: konstitusionalitas Partai Komunis Uni Soviet, dan juga konstitusionalitas keputusan eksekutif yang melarang partai tersebut atas dasar konstitusi.
90
Baru setelah para aktor politik menggunakan Pengadilan Konstitusional untuk membatalkan larangan Yeltsin tersebut, Parlemen buru-buru mengubah konstitusi untuk memungkinkan
tinjauan Mahkamah Agung terhadap konstitusionalitas partai politik.
91
Represi konstitusional terhadap partai politik model Jerman menyatakan bahwa Pengadilan Konstitusional adalah
aktor utama yang memutuskan apakah suatu perilaku dianggap “tidak demokratis”. Namun di Rusia pasca-Soviet, apa arti tinjauan konstitusional terhadap partai?
Pertanyaan yang timbul adalah apakah usaha larangan Yeltsin tersebut didasarkan pada kemungkinan abstrak subversi, ataukah “tindakan presiden tersebut disebabkan oleh
kebutuhan objektif untuk mencegah munculnya upaya untuk kembali ke situasi terdahulu”.
92
Dilakukan segera setelah usaha kudeta yang gagal, keputusan Yeltsin menimbulkan pertanyaan tentang kesalahan partai. Dengan menuduh bahwa pimpinan partai bertanggung-
jawab atas usaha kudeta tersebut, keputusan Yeltsin menyatakan, “Jelas bahwa selama struktur partai komunis tetap bertahan, tidak ada jaminan bahwa tidak akan terjadi lagi kudeta lain.”
93
Dalam proses hukum tentang pelarangan partai ini, para saksi memberikan kesaksiannya tentang setengah abad korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh partai, pengungkapan
pelanggaran di Katyn dan Afghanistan, dan menuduh bahwa kepemimpinan tingkat tinggi
89
Kutipan dari Keputusan Presiden Federasi Rusia, 23 Agustus 1991, No. 25, “Tentang Pelarangan Kegiatan Partai Komunis Uni Soviet” arsip University of Chicago Center for Constitutionalism in Eastern Europe.
90
Lihat David Remnick, “The Trial of the Old Regime”, New Yorker, 30 November 1992, hlm. 104.
91
Lihat Konstitusi Federasi Rusia, Pasal 165-1, menyatakan bahwa “Pengadilan Konstitusional Federasi Rusia memutuskan konstitusionalitas ... partai-partai politik dan organisasi publik lainnya”.
92
Communist Party Decision arsip University of Chicago Center for Constitutionalism in Eastern Europe.
93
L. Aleksandrova, “Decree of the RSFSR President on the Activities of the CPU and CP RSFSR”, Rossiiskaya Gazeta
, 9 November 1991, tersedia di Lexis, World Library, arsip SPD.
35 partai bertanggung-jawab. Setelah puluhan tahun penindasan, sifat partai yang mengancam ini
menjadi jelas. Dalam kondisi baru saja terlepas dari sistem totaliter yang represif, di mana partai tidak
tunduk pada kedaulatan hukum, timbul pertanyaan tentang bagaimana mentransformasi kekuasaan partai dan menciptakan sistem multi partai yang stabil. Penindasan konstitusional
terhadap partai memberikan sebagian tanggung jawab kepada pengadilan yang independen. Dalam mempertimbangankan pelarangan partai di Rusia, Pengadilan Konstitusional akhirnya
memberikan keputusan yang adil bahwa justifikasi demokrasi memungkinkan pelarangan partai pada tingkat eselon tinggi, yaitu Politbiro dan Komite Sentral, namun tidak demikian
pada tingkat lokal. Melalui proses yudisial yang membahas bagaimana satu partai dianggap melakukan pelanggaran, justifikasi terhadap tindakan negara ini bisa diumumkan. Pengadilan
Konstitusional memainkan peran penting dalam proses kedaulatan hukum minimal yang merasionalkan hal yang sebenarnya bisa dianggap sebagai pembersihan politik.
Demokrasi Militan dan Negara Liberal Pertimbangkanlah penindasan konstitusional terhadap sebuah partai dan prinsip dasar
demokrasi militan. Dalam contoh-contoh di atas, partai-partai politik tertentu dikekang karena dianggap sebagai ancaman terhadap liberalisasi. Ancaman ini bersifat kolektif, demikian pula
sanksinya – pembubaran partai dan penyitaan propertinya. Pemberian sanksi kepada partai politik mengekspresikan keputusan politik atas dasar politik, yang tampak tidak sesuai dengan
intuisi kita tentang sistem bekerjanya negara liberal. Maka, timbullah pertanyaan: apakah tindakan ini adalah benar-benar usaha perlindungan, yang bisa dijustifikasi, dari ancaman
konkret terhadap tatanan konstitusional? Atau semata-mata pembatasan yang dipolitisasi terhadap minoritas politik yang tidak disukai? Sebagai titik awal, bila suatu mayoritas politik
membatasi minoritas untuk berpartisipasi dalam lingkup publik, kebijakan ini pasti akan dicurigai.
Namun, apakah hal sebaliknya merupakan skenario yang mungkin akan bergantung pada peran pengadilan. Demokrasi militan adalah respon transisional yang berpremis pada
pandangan tertentu tentang patologi politik demokratis: paradoks demokrasi dan pemerintahan yang tidak liberal. Demokrasi militan menunjukkan ketegangan yang inheren dalam
demokrasi dan liberalisme, terutama dalam demokrasi konstitusional. Sejauh mana dilema demokrasi ini dapat digeneralisasikan? Dalam gelombang transisi dan konstitusionalisme
kontemporer, timbul pertanyaan tentang bagaimana merespon pemerintah yang tidak liberal dan apakah perlu mengikuti langkah konstitusional Jerman. Sejauh mana respon demokrasi
militan ditiru dan menjadi panduan bagi transformasi politik partai di wilayah lainnya? Pertanyaan ini timbul dalam transisi pasca-komunis. Demokrasi militan merupakan respon
terhadap tirani yang terkait erat dengan sejarah Eropa. Di Eropa Timur dan Rusia, pemerintahan represif timbul bukan dalam perpolitikan model Weimar, namun dari
totalitarianisme. Di wilayah ini, sejarah patologi politik bukan disebabkan karena terlalu banyaknya demokrasi, misalnya karena pengambilalihan kekuasaan oleh partai-partai
pinggiran, namun oleh hal sebaliknya – pemerintahan partai tunggal. Namun, argumen untuk memperluas pandangan demokrasi militan adalah bahwa bila pemerintahan represif timbul
dari proses yang jelas-jelas tidak demokratis, pemerintahan partai tunggal demikian biasanya mempertahankan kekuasaannya dalam waktu lama hanya bila masyarakat menaatinya. Namun
36 skema demokrasi militan, dalam ketiadaan tradisi demokrasi yang kuat, dapat mengancam
demokrasi yang baru tumbuh. Bila kekuasaan konstitusional untuk menindas demikian tidak dibatasi, selain melalui interpretasi yudisial, sistem demokrasi tidak akan bertahan lama.
Fenomena keterancaman transisional ini menimbulkan pertanyaan yang lebih luas, tentang apakah dan sejauh mana, sistem demokrasi perlu memberikan panduan normatif
terhadap sistem politik pada dasar yang lebih permanen. Model pasca-perang yang diterapkan di Jerman bergantung pada badan peradilan untuk bisa bekerja. Interpretasi yudisial
mencerminkan usaha untuk bergeser dari tuduhan kabur tentang “ekstremisme politik”, ke alasan yang lebih objektif, seperti kekerasan politik. Jurisprudensi konstitusional modern
mencerminkan interpretasi ini. Meskipun standar konstitusional tentang pelarangan partai cenderung bergeser ke arah yang lebih liberal, melindungi kebebasan berserikat dan
berekspresi, selalu terdapat bahaya politisasi sistem peradilan. Bahkan dalam sistem demokrasi yang mapan, terdapat masa-masa ketika pengadilan tinggi suatu negara cenderung
rentan terhadap politisasi, seperti Mahkamah Agung Amerika Serikat pada masa Perang Dingin.
Pertanyaan transisional yang ditimbulkan oleh kerangka demokrasi bersyarat ini juga timbul dalam pertanyaan serupa tentang penggunaan cara-cara serupa dalam negara liberal.
Misalnya, contoh kontemporer pelarangan partai di Eropa dan Timur Tengah, seperti di Aljazair dan Turki, mengambil alasan ekstremisme dan faksionalisme religius.
94
Di seluruh Eropa, selalu terdapat partai-partai politik yang menyebut dirinya religius, sehingga timbul
pertanyaan: di mana menarik batasnya? Bagaimana menyikapi partai-partai demikian dalam negara liberal? Dalam gelombang kontemporer transisi pasca-komunis, pertanyaan ini
memiliki signifikansi besar. Politik identitas memberikan tantangan yang berat kepada negara yang sedang melakukan transisi, dengan konflik di Yugoslavia sebagai gambarannya yang
terburuk. Namun, keadilan transisional menawarkan cara untuk merekonstruksi negara, tidak melalui politik identitas, namun melalui identitas politis dan juridis yang berdasarkan pada
hak.
Dilema transisional ini, meskipun terlihat dalam masa-masa luar biasa, menunjukkan ketegangan laten dalam teori demokrasi, yaitu potensi pertentangan antara proses dan tujuan
demokratis. Konflik potensial ini sering tampak dalam pertanyaan tentang batasan toleransi dalam negara liberal.
95
Sebagai contoh, dalam The Law of the Peoples, John Rawls menentang pendekatan “toleransi” kepada ancaman-ancaman politis terhadap demokrasi.
96
Namun, ingatlah kembali dilema yang dibahas di bagian muka bab ini, tentang ketegangan dalam masa
transisional, ketika dalam masa pergeseran dari represi di masa lalu, konstruksi demokrasi membutuhkan justifikasi untuk membatasi proses kaum mayoritas dan melakukan kompromi
terhadap pandangan ideal tentang kedaulatan hukum. Ketegangan ini dirasionalkan dalam skema konstitusional yang didefinisikan oleh demokrasi militan, karena partai ekstremis harus
ditekan, atau ia akan mengancam tatanan politik. Dalam pandangan ini, hanya penindasan
94
Lihat Kelly Couturier, “Turkey Bans Islam-Based Political Party”, Washington Post, 17 Januari 1998, hlm. A20. Tentang pembubaran Partai “Kesejahteraan”, lihat
http:www.turkey.orgturkeypoliticsp-party.htm .
95
Lihat Michael Walzer, On Toleration, New Haven: Yale University Press, 1997. Untuk pembicaraan terkait tentang agama. lihat Ruti Teitel, “A Critique on Religion as Politics in the Public Sphere”, Cornell Law Review
78 1993: 747.
96
Lihat John Rawls, “The Law of Peoples”, dalam Stephen Shute dan Susan Hurley eds., On Human Rights: The Oxford Amnesty Lectures, 1993,
New York: Basic Books, 1993. Lihat juga Yael Tamir, Liberal Nationalism, Priceton: Princeton University Press, 1993.
37 yang konstitusional memungkinkan rezim transisional untuk merekonstruksi identitas
politiknya. Aspek politis dari tindakan-tindakan ini dapat dikurangi dengan adanya tinjauan yudisial. Garis yang direkonstruksi di sini adalah pada sifat transformasi yang “kritis”, karena
ia menyangkut peran politik dan redefinisinya berkaitan dengan konstitusi suatu negara. Bila tindakan administratif transisional dilakukan melalui proses konstitusional, bukan hanya
politis, ia mendapatkan justifikasi dari demokrasi. Meskipun pada masa biasa, masalah dan peran tindakan-tindakan demikian sering kali disingkirkan ke latar belakang, namun ia
memberikan definisi batasan keanggotaan dan partisipasi dalam lingkup politik secara konstitusional; dalam masa transisi, proses-proses tersebut berada di muka.
Keadilan antar-Generasi Praktik-praktik yang dibicarakan di sini, dikaitkan dengan perubahan politik radikal, yang
membentuk pemahaman masyarakat tentang transformasi politik. Praktik-praktik tersebut mendefinisikan “waktu politik”, yaitu periodesasi politik “sebelum” dan “sesudah”, berkaitan
dengan masa lalu yang represif dan masa depan yang demokratis. Apa peran waktu dalam transformasi politik?
Suatu kisah dalam Kitab Suci menunjukkan peran waktu dalam transformasi politik. Dalam eksodus orang-orang Israel dari Mesir, terdapat kisah tentang pergerakan suatu bangsa
– menuju kebebasan. Dalam kisah biblikal ini, orang-orang Israel menghabiskan waktu empat puluh tahun di padang gurun, sebelum mereka dapat berpindah dari perbudakan di Mesir ke
kehidupan yang baru sebagai orang bebas. Transformasi ini membutuhkan waktu empat puluh tahun.
22] Semua orang yang telah melihat kemuliaan-Ku dan tanda-tanda mujizat yang Kuperbuat di Mesir dan di padang gurun, namun telah sepuluh kali mencobai Aku dan tidak mau
mendengarkan suara-Ku, 23] pastilah tidak akan melihat negeri yang Kujanjikan dengan bersumpah kepada nenek moyang mereka Semua yang menista Aku ini tidak akan melihatnya ...
29] Di padang gurun ini bangkai-bangkaimu akan berserakan, yakni semua orang di antara kamu yang dicatat, semua tanpa terkecuali yang berumur dua puluh tahun ke atas, karena kamu telah
bersungut-sungut kepada-Ku. 30] Bahwasanya kamu ini tidak akan masuk ke negeri yang dengan mengangkat sumpah telah Kujanjikan akan Kuberi untuk kamu diami ... 31] Tentang anak-
anakmu yang telah kamu katakan: mereka akan menjadi tawanan, merekalah yang akan Kubawa masuk, supaya mereka mengenal negeri yang telah kamu hinakan itu. ... 33] dan anak-anakmu
akan mengembara sebagai penggembala di padang gurun empat puluh tahun lamanya dan akan menanggung akibat ketidaksetiaan.
97
Apa signifikansi empat puluh tahun di padang gurun ini? Dalam paradigma biblikal ini, transformasi dari orang-orang yang diperbudak menjadi orang-orang bebas membutuhkan
waktu – tampaknya sekitar dua generasi. Transformasi ini tampaknya membutuhkan suatu tahapan transisional yang ditunjukkan oleh masa mereka berada di padang gurun.
“Transformasi secara mendadak dari satu kutub ke kutub lainnya tidaklah mungkin”.
98
Dampak pembersihan oleh waktu ini terasa oleh satu generasi, universal dan absolut. Tidak
97
Plaut ed., “Exodus”, dalam The Torah 18:22-23.
98
Moses Maimonides, The Guide of the Perplexed, terjemahan Shlomo Pines, Chicago: University of Chicago Press, 1969, 54.
38 seorang pun yang mengalami perbudakan di Mesir akan mencapai Tanah Terjanji, bahkan
Musa, pemimpin pembebasan meninggal sebelum bangsanya memasuki tanah baru, sehingga tersingkir dari partisipasi dalam kebebasan politik yang baru. Perjalanan waktu
mendefinisikan generasi politik yang membentuk negara yang baru.
99
Satu ilustrasi lain tentang peran waktu dalam mendefinisikan tahap-tahap dan generasi transformasi politik terlihat dalam pergeseran dari monarki ke republik. Syarat yang mencakup
jangka waktu satu generasi menjadi dasar perubahan yang signifikan. Dalam Konstitusi Amerika tahun 1787, terdapat persyaratan kepemimpinan politik dalam mendefinisikan
generasi yang boleh berpartisipasi. Pasal II Konstitusi Amerika Serikat menyatakan bahwa calon presiden harus memiliki kewarganegaraan “natural” dan berusia minimum tiga puluh
lima tahun.
100
Kedua syarat konstitusional ini, usia dan kewarganegaraan, dipilih untuk menyingkirkan para simpatisan monarki atau anak-anak mereka. Kedua syarat ini
mengkonstruksikan generasi politik yang boleh berpartisipasi. Aturan ini mencegah orang- orang yang dianggap mungkin tidak memiliki komitmen sepenuhnya terhadap kemerdekaan
negara ini dan transisinya ke sistem republik, untuk memegang jabatan politik tertinggi. Meskipun persyaratan ini diciptakan pada masa perubahan politik substansial, mereka tetap
menjadi parameter konstitusional untuk jabatan politik tertinggi ini hingga kini.
Satu contoh lain dapat ditemukan dalam transisi kontemporer dari pemerintahan komunis di Eropa Timur, ketika “sebelum” dan “sesudah” ditentukan oleh pelucutan
berdasarkan usia, untuk mentransformasi partai-partai politik dalam pergeseran menuju sistem multipartai. Di Hongaria, partai “Fidesz” yang didirikan setelah revolusi, memiliki arti harfiah
sebagai “uni pemuda demokrat”, yang juga bisa diartikan sebagai “kepercayaan”. Dengan klaimnya bahwa ia bisa dipercaya dalam masa transisi tersebut, Fidesz memiliki aturan yang
melarang orang berusia lebih dari tiga puluh lima tahun menjadi anggotanya. Syarat usia ini melambangkan keanggotaan yang bersih, terbebas dari kolaborator dan dianggap menjamin
kepercayaan. Syarat ini baru dicabut lima tahun setelah terjadinya perubahan politik. Syarat- syarat berdasarkan waktu juga terlihat dalam politik pembalasan, ketika para mantan komunis
kembali memegang kekuasaan di wilayah tersebut. Sebagai contoh, di Bulgaria, ketika kaum sosialis kembali berkuasa, disahkanlah perundang-undangan yang mensyaratkan pengalaman
lima tahun untuk memegang jabatan publik.
101
Syarat pengalaman ini menyelubungi syarat sesungguhnya, yaitu ideologi yang mendukung komunisme, karena hanya mereka yang
mendukung rezim terdahulu memiliki hal yang disyaratkan. Jadi, kualifikasi berdasarkan waktu bisa menjadi pengganti pelucutan politik secara terbuka.
Syarat-syarat partisipasi dan representasi politik sering kali didasarkan pada waktu, bahkan pada masa-masa biasa. Bahkan, contoh sederhana adalah hak untuk memilih, yang
bersyarat pada kewarganegaraan lebih dari lima tahun. Masa lima tahun ini sering kali dianggap perlu untuk menunjukkan loyalitas dan afiliasi politik, dan partisipasi. Selain
kewarganegaraan, yang menjadi syarat keanggotaan dalam ranah politik, diperlukan syarat- syarat lain untuk posisi lain dalam representasi politik. Ritus purifikasi politik transisional
adalah bentuk-bentuk ekstrem dari ritual serupa seperti sensus yang mendefinisikan komunitas
99
Plaut ed., “Exodus”, dalam The Torah 18: 22-23.
100
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, pasal 11. Lihat juga Alexander Hamilton, The Federalist No. 69, ed. Jacob E. Cooke, Middletown, Conn: Wesleyan University Press, 1961 menunjukkan perbedaan antara calon eksekutif
dan raja Inggris.
101
Lihat Philippa Fletcher, “Bulgaria: Ex-Communist Win Control over Bulgarian Judiciary”, Reuter News Service,
15 Juli 1994, Lexis, arsip Bulgaria.
39 politik. Secara historis sejak masa Romawi, hingga masa kini, dalam masa biasa,
penghitungan warga negara biasanya dilakukan setiap lima tahun.
102
Sensus ini merupakan bentuk lustrasi politik yang digunakan untuk mengevaluasi dan menentukan parameter
komunitas politik. Pelucutan berdasarkan waktu bisa berpengaruh luas, dan dampak pengucilan ini
bersifat radikal, karena ia bisa menyingkirkan satu generasi politik. Namun, karena penyingkiran ini tidak secara eksplisit didasarkan pada ideologi, diskualifikasi berdasarkan
waktu tampak netral secara politis dan tidak normatif. Syarat berdasarkan waktu ini sering kali tersembunyi, namun tersebar luas. Persyaratan demikian bisa mencegah semua anggota satu
generasi politik, baik terpengaruh atau tidak oleh rezim yang lama, dari partisipasi dalam tatanan politik yang baru. Dengan cara ini, kualifikasi berdasarkan waktu menjadi selubung
bagi diskualifikasi politik. Meskipun memiliki tampilan luar yang netral secara politik, ia bisa menimbulkan perubahan politik yang luar biasa. Melalui persyaratan ini, transformasi
masyarakat dapat terlaksana seiring perjalanan waktu. Identitas politik negara terbentuk bersama jalannya waktu.
Bila syarat berdasarkan usia atau waktu diberlakukan dalam partisipasi politik, satu generasi menanggung beban transformasi politik. Generasi transisional ini diminta untuk
mengorbankan diri demi masa depan. Jadi, masalah keadilan antar-generasi ini bukan semata- mata masalah dalam masa transisi, namun juga muncul dalam konteks keadilan distributif.
Paradoksnya adalah bahwa penyelidikan normalnya dilakukan terhadap fakta apakah generasi tua di masa kini mendapatkan keuntungan atas biaya generasi masa depan.
103
Isu yang paling sering muncul biasanya berkaitan dengan lingkungan hidup atau sumber daya alam lainnya.
Namun dalam kasus keadilan transisional, dalam masa pergeseran dari rezim represif ke liberal, masalah keadilan antar-generasi ini berbeda: generasi masa kini berkorban demi
keuntungan generasi masa depan. Dalam konteks antar-generasi, sanksi atau penyitaan hak milik menjadi bentuk pengorbanan. Dalam masa transisi, pembersihan politik dan tindakan
serupa sering kali dijustifikasi untuk kepentingan masa depan politik.
Sering kali dikatakan bahwa dibutuhkan waktu panjang untuk menciptakan perubahan politik yang bertahan lama. Pada tingkat intuisi, jelas bahwa perjalanan waktu memiliki
konsekuensi politik yang jelas. Praktik-praktik yang dibicarakan di atas menunjukkan penggunaan waktu sebagai dasar perubahan politik. Bila syarat lain diberikan terhadap tatanan
politik, dengan perjalanan waktu, akan terdapat dampak bagi perubahan masyarakat dan politik. Perjalanan waktu, bila berdiri sendiri pun, dapat mempengaruhi transformasi politik.
Keadilan Administratif Transisional Lustrasi, lustrace, epuracion, purifikasi, zwiering, rekonstruksi, demiliterisasi, depuración,
apa pun istilah yang digunakan – praktik-praktik pembersihan transisional yang dibicarakan dalam bab ini menunjukkan bahwa penciptaan kondisi politik melalui hukum adalah hal yang
endemik dalam masa transformasi politik. Praktik transisional menunjukkan banyaknya penggunaan hukum publik untuk mendefinisikan sistem politik yang baru. Untuk jangka
102
Memang ritual lustrasi dalam sejarahnya terkait dengan sensus. Lihat OED, entri “lustration”, definisi 3 dan 4, juga entri “lustrum”.
103
John Rawls, A Theory of Justice, Cambridge: Harvard University Press, Belknap Press, 1971, 284-93.
40 waktu tertentu, hukum publik yang bersifat sementara mendefinisikan ulang status dengan
merekonstruksi pemahaman inti tentang pendukung dan penentang, tentang kawan dan lawan. Dalam berbagai masyarakat dan budaya hukum, pembersihan legal digunakan untuk
melakukan perubahan politik. Tindakan publik radikal secara kritis merekonstruksi parameter komunitas politik, selain syarat partisipasi dalam tatanan politik yang berubah, karena
pembersihan politik dan persyaratan lainnya memiliki imprimatur hukum, meskipun bersifat sementara.
Tindakan-tindakan yang dibicarakan dalam bab ini bertentangan dengan intuisi kita tentang apa arti pergeseran menuju sistem liberal yang taat pada kedaulatan hukum: dengan
ketidaktaatan pada prosedur, tiadanya prospektivitas, pendekatan yang cair terhadap tanggung jawab individu dan kolektif, dan terakhir, politisasinya secara eksplisit. Untuk Semua alasan
ini, praktik-praktik dalam bab ini bertentangan dengan intuisi mendasar kita tentang liberalisasi. Pengakuan terhadap peran praktik-praktik ini dalam transisi menunjukkan
ketiadaan nilai utama yang kaku dalam negara yang sedang melakukan liberalisasi, selain menarik perhatian kepada realitas politik di sekitar pembangunan negara liberal dari
reruntuhan kediktatoran. Praktik-praktik ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana rezim penerus boleh membentuk sistem administrasi atas dasar ideologi, dan mengekang
kebebasan politik sampai terkonsolidasinya rezim yang lebih liberal.
Sebagai titik awal, pertimbangkanlah apa yang diajarkan contoh-contoh dalam bab ini tentang bagaimana timbulnya tindakan-tindakan terpolitisasi ini; dalam transisi, pembersihan
de facto di luar hukum sering kali mendahului pengaturannya. Tindakan ini bersifat tidak
teratur, sebagian informal, sebagian lagi hukum formal. Dengan demikian, tindakan transisional menunjukkan bahwa dalam pergantian rezim, tidak hanya satu norma yang bisa
diterapkan. Ini adalah fakta politik terpenting dalam buku ini: pergeseran rezim. Pergantian rezim politik dan pergeseran normatif yang menyertainya memunculkan sejumlah dilema
ketaatan pada kedaulatan hukum. Tindakan administratif transisional yang dibicarakan di sini menengahi masa-masa gejolak politik radikal dalam merekonstruksi status, hak dan tanggung
jawab dalam masyarakat yang melakukan transformasi politik.
Meskipun negara-negara memiliki cukup kebebasan dalam membentuk sistem administrasinya, dalam masa biasa, pengambilan keputusan untuk hal tersebut biasanya tidak
bersifat partisan. Tindakan terpolitisasi memungkinkan perubahan politik radikal dengan memberikan contoh, melakukan rekonstitusi politik melalui redistribusi hak-hak keanggotaan
politik, representasi dan partisipasi secara cepat. Tindakan-tindakan ini merupakan alat revolusi karena memiliki kapasitas untuk membongkar struktur kekuasaan yang lama, dan
mengkonsolidasikan rezim baru dalam pergerakan menuju liberalisasi.
Meskipun berkaitan erat dengan kondisi politik transisi, tindakan-tindakan yang dibicarakan di sini juga bertentangan dengan pandangan normal tentang kaitan hukum dengan
perubahan politik dan sosial. Sebagai awalnya, penggunaan hukum dan bukan keadilan jalanan merupakan respon terhadap pelanggaran di masa lalu yang terkendali dan mengikuti
proses formal. Arahan proses hukum tidak semata-mata merupakan hasil dari kondisi politik, namun sejak awalnya merupakan bagian dari rencana transisional. Di sini hukum tidak hanya
responsif, namun merupakan instrumen perubahan politik yang menimbulkan pergeseran kesetimbangan kekuasaan. Meskipun rezim liberal berusaha untuk menciptakan sistem hukum
yang terpisah dari politik dan tidak memiliki opini politik tertentu, tindakan-tindakan publik yang bersifat membatasi akan merekonstruksi negara itu. Tindakan transisional bersifat
41 terbatas, ia menunjukkan suatu masa luar biasa dalam sejarah negara, yang menunjukkan
transisi. Penggunaan hukum secara radikal ini bisa menciptakan perubahan politik yang cepat
dan berdampak luas. Dalam fungsi transformatifnya yang paling terpolitisasi, tindakan administratif bersifat kritis: repolitisasi terhadap lingkup publik merupakan respon kritis
terhadap pemerintahan buruk di masa lalu. Respon terhadap diskriminasi politik dan liberalisasi dengan membongkar struktur negara lama, dan membalikkan hubungan kekuasaan
yang lama. Bagaimana penggunaan praktik transisional melaksanakan transformasi? Praktik- praktik yang ditinjau di sini menunjukkan bahwa transformasi terjadi melalui pembalikan,
rekombinasi bentuk-bentuk tradisional, melalui tindakan yang dibentuk sesuai kriteria kolektif, garis-garis ketidaksepakatan politik yang akan memungkinkan konsensus politik.
Fungsi hukum yang paling transformatif ini, dalam praktik didelegasikan kepada badan negara lainnya, informal, memihak dan dipolitisasi. Hukum publik, cara yang paling sering digunakan
negara modern untuk mencapai sasarannya, memiliki potensi lebih tinggi dalam masa perubahan radikal. Masa transisional menunjukkan hukum publik yang amat terpolitisasi, di
mana penggunaan hukum bersifat simbolis, dan bergantung pada kekuatan retoriknya.
Tindakan administratif transisional menjustifikasi sekaligus melaksanakan transformasi politik, dengan kekuatan yang besar karena mempengaruhi birokrasi. Pada masa
gejolak politik, rezim pengaturan ini memungkinkan rekonstruksi publik terhadap ideologi politik yang baru. Melalui tindakan ini, rezim lama “diadili” secara politis; dan diciptakan
standar baru untuk justifikasi publik dan rasionalisasi transisi normatif, rezim lama kehilangan legitimasi, ideologi lama dibantah dan yang baru mendapatkan legitimasi. Delegitimasi rezim
lama dilakukan melalui rekonstruksi untuk membedakan siapa yang boleh berpolitik dan siapa yang tidak, melalui hukum publik. Melalui tindakan-tindakan ini, tatanan politik yang lama
dibersihkan, dan tatanan politik yang baru diberi dasar loyalitas politik dan afiliasi. Pelarangan, pembersihan, sumpah kesetiaan, purifikasi, lustrasi, pengadilan dan publikasi,
kesemuanya ini merupakan bentuk pernyataan publik yang memberikan dasar dan melaksanakan pergeseran normatif.
104
Bentuk-bentuk ritual ini merupakan cara bagaimana hukum melakukan perubahan dalam hubungan kekuasaan untuk merekonstruksi komunitas
politik dan menguji serta menyaring individu untuk menunjukkan kebenaran politik yang baru. Tindakan publik demikian menyusun rezim yang baru, membentuk dan melegitimasikan rezim
penerus.
Justifikasi politik yaitu “tujuan-tujuan” hukum untuk tindakan regulatoris transisional merupakan bagian dari politisasinya. Dengan menciptakan persyaratan politis, tindakan-
tindakan demikian mentransformasikan identitas negara. Rekonstruksi hukum publik dalam kategori-kategori yang secara eksplisit merespon rezim politik lama menunjukkan
transformasi transisional yang kritis. Pembongkaran tindakan penindasan kolektif – yang dilakukan berdasarkan ras, etnik atau religi – dilakukan dengan tindakan-tindakan yang
berdasarkan kriteria politik. Aturan-aturan lama dijadikan latar belakang, menunjukkan arti dan kekuatan normatif tindakan transisional. Transformasi politik ke arah liberal dalam rezim
baru hanya dapat terlihat bila dilatarbelakangi identitas politik yang lama. Dalam konstruksi identitas nasional, garis-garis etnik, nasional atau agama mungkin bertentangan dengan
pandangan liberal, namun negara-negara liberal bisa melakukan diskriminasi berdasarkan politik: terdapat kebebasan untuk menciptakan perundang-undangan yang membatasi opini
104
Lihat OED, entri “ban”.
42 politik. Pengambilan keputusan berdasarkan politik dalam lingkup publik sering kali bisa
dikaitkan dengan kepentingan negara, yang dalam masa transisi akan menjadi semakin menonjol.
Tindakan administratif transisional menantang intuisi kita tentang negara liberal, namun penggunaan tindakan demikian bukan tanpa justifikasi. Paradoks di sini, yang terlihat
dalam tinjauan yudisial transisional, adalah bahwa liberalisasi dijadikan justifikasi untuk tindakan-tindakan tidak liberal. Tindakan-tindakan ini dijustifikasi oleh nilai-nilai yang
mendasari prinsip-prinsip kedaulatan hukum yang terancam: kebebasan politik dan kesetaraan. Meskipun tindakan-tindakan demikian mengancam kedaulatan hukum konvensional,
penggunaannya didukung oleh justifikasi bahwa mereka akan mengkonstruksikan negara liberal di masa yang akan datang.
Tindakan administratif jangka pendek yang berbentuk radikal – terpolitisasi, memiliki cakupan yang luas dan kolektif – memberikan tantangan yang besar bagi kedaulatan hukum
yang dikaitkan dengan negara liberal, melalui beberapa cara. Untuk awalnya, negara liberal memiliki aksioma bahwa warganya diperlakukan sebagai individu, dan bukan anggota
kelompok atau secara askriptif; orang tidak bisa dipersalahkan karena menjadi anggota yang bertentangan dengan liberalisme. Intuisi liberal ini sering kali dianggap berlaku dalam transisi,
ketika kebebasan baru dari penindasan berbasis komunal menimbulkan harapan untuk menghapuskan perbedaan berdasarkan kelompok. Namun, tindakan-tindakan yang dibicarakan
dalam bab ini berbeda dari intuisi ideal liberal tersebut karena mempertahankan keputusan kolektif, tidak menjalankan due process individu, dan memilik prosedur yang bertentangan
dengan nilai-nilai ideal kedaulatan hukum dalam liberalisme. Bila tindakan administratif transisional memberikan sanksi pada satu kelas politik, ini merupakan keputusan yang politis.
Intuisi kita tentang keputusan demikian adalah bahwa perilaku yang bisa dipidana relevan untuk dikaitkan dengan kemungkinan individu untuk berpartisipasi dalam negara liberal;
sementara, keputusan secara kolektif bertentangan dengan dasar-dasar liberal tentang pertanggungjawaban individual.
Namun, tindakan administratif transisional menjembatani individu dan kolektif, dan menciptakan perubahan pada tingkat struktural yang lebih luas dari sistem politik yang
berubah. Tindakan ini tidak dapat dikategorisasikan dalam hukum konvensional. Tindakan administratif transisional merupakan gabungan hak, properti, reputasi dan hak politik; dalam
suatu masa di mana tidak terdapat konsensus kemasyarakatan tentang status hak tersebut, dan bagaimana prosesnya harus dilakukan.
105
Meskipun sanksi administratif sering kali dianggap sebagai bentuk “hukuman”, tidak seperti hukuman tradisional, prosedur demikian tidak
membebankan tanggung jawab individu, namun suatu kelas politik yang harus bertanggung- jawab. Apa pun harapan ideal tentang peran individu dalam negara liberal, ia tidak sesuai
dengan masa transisi, ketika terdapat pemahaman transisional yang lebih cair tentang kaitan antara individu dan masyarakatnya. Dengan melakukan hal tersebut, tindakan-tindakan
tersebut menjembatani perdebatan utama dalam transisi, tentang apakah respon terhadap pemerintahan yang buruk di masa lalu bersifat individual atau struktural.
106
Dengan
105
Untuk eksplorasi terhadap pertanyaan ini, lihat Charles Reich, “The New Property”, Yale Law Journal 731 1946: 733.
106
Untuk argumen yang menyarankan respon struktural, lihat Robert Gordon, “Undoing Historical Injustice”, dalam Austin Sarat dan Thomas R. Kearns eds., Justice and Injustice in Law and Legal Theory, Ann Arbor:
University of Michigan Press, 1996.
43 penggunaan hukum publik secara luas, jurisprudensi transisional menciptakan perubahan
individual dan struktural. Tindakan-tindakan ini menunjukkan signifikansi kedaulatan hukum inti: prospektivitas
hukum, kaitan individu dan kolektif, dan peran politisasi dalam negara liberal. Studi hukum transisional yang dilakukan di sini menunjukkan ketegangan antara nilai-nilai kedaulatan
hukum dan pendekatan individu dan kolektif dalam hukum. Ketegangan ini memunculkan bentuk-bentuk yang baru, yang bersifat transisional, memberikan batasan bagi hukum yang
parsial, yang tidak menaati kedaulatan hukum sepenuhnya. Di sini terlihat bentuk penyelesaian dilema transisional yang paling sering yaitu tindakan yang bersifat sementara:
tindakan transisional sering kali tidak berumur panjang dan tidak memiliki retrospektivitas maupun prospektivitas, yaitu membatasi suatu jangka waktu yang luar biasa. Denazifikasi dan
purifikasi pasca-perang, Rekonstruksi pasca-Perang Saudara, lustrasi pasca-komunis Eropa Tengah dan Timur, dan tindakan pasca-junta, semuanya dirancang untuk jangka waktu yang
terbatas, yaitu masa transformasi politik terbesar selama sekitar lima tahun setelah pergantian rezim. Dengan demikian, pembersihan ini menunjukkan transisi politik. Perundang-undangan
yang terbatas ini dirancang untuk diterapkan pada jangka waktu politis yang terbatas.
Penggunaan hukum publik yang dibicarakan di sini menunjukkan cara pikir tentang hukum administratif dalam jangka waktu tertentu. Dari perspektif historis dan komparatif,
dalam berbagai budaya hukum, penggunaan hukum publik semakin meningkat berkaitan dengan masa-masa reformasi yang tinggi. Pendekatan empiris dari perspektif historis dan
komparatif melampaui teori yang lazim tentang penggunaan hukum demikian. Penggunaan hukum untuk kepentingan transformatif melampaui realitas politik semata-mata, namun juga
berbeda secara signifikan dari teori ideal yang ditarik dari sistem kedaulatan hukum yang sudah mapan.
Tindakan konstitusional transisional seperti yang diambil setelah Perang Saudara dalam Rekonstruksi, dan Jerman-bersatu pasca-komunis menunjukkan kedekatan antara
tindakan administratif dan konstitusional, yang akan dibicarakan dalam bab berikut. Praktik- praktik yang dibicarakan di sini berkaitan dengan jangka waktu yang singkat ketika terjadi
transformasi politik yang paling signifikan, namun tindakan peralihan ini memiliki dampak yang panjang. Dengan tindakan ini, rekonstruksi keanggotaan, partisipasi dan kepemimpinan
politik akan menimbulkan komitmen politik yang baru. Adalah hal yang lazim bahwa pejabat publik harus menjunjung norma-norma konstitusional sebagai syarat untuk menjabat, dan
nilai-nilai demikian berlatar belakang hukum konstitusional. Di luar masa transisi, parameter politik struktural ini dianggap taken for granted, namun menjadi manifes dalam transisi.
Dalam paru kedua abad ke-20, syarat normatif status, keanggotaan dan partisipasi politik telah menjadi bagian konstitusi secara nyaris universal untuk memandu kehidupan politik suatu
negara. Pada masa gejolak politik, hukum publik regulatoris, seperti hukum konstitusional, berperan untuk mendefinisikan parameter normatif komunitas politik, syarat keanggotaan
politik dan partisipasi dalam ranah publik. Tindakan transisional ini menunjukkan bahwa masa-masa perubahan politik menunjukkan dekonstitusionalisasi dalam latar belakangnya.
Bahkan dalam ketiadaan konsensus konstitusional, tindakan administratif ini secara kritis mendefinisikan-ulang tatanan politik.
1
Bab 6 Keadilan Konstitusional