3 18. Lihat pada umumnya Dahl, Polyarchy; David Held, Models of Democracy, Stanford: Stanford
University Press, 1987.
Bab 1: Kedaulatan Hukum dalam Transisi
1. Friedrich A. Hayek, The Road to Serfdom, Chicago: University of Chicago Press, 1944, 72 , “[P]emerintah dalam semua tindakannya diikat oleh aturan yang ditetapkan dan diumumkan sebelumnya –
aturan yang memungkinkan untuk meramalkan dengan penuh kepastian bagaimana pemegang kekuasaan akan menggunakan kekuasaannya dalam kondisi tertentu dan untuk merencanakan tindakan individual
berdasarkan pada pengetahuan ini”. Untuk pembicaraan tentang pemahaman umum mengenai peran kedaulatan hukum di negara-negara demokrasi sebagai batasan terhadap penggunaan kekuasaan yang
sewenang-wenang, lihat Roger Cotterell, The Politics of Jurisprudence: A Critical Introduction to Legal Philosophy, Philadelphia: University of philadelphia Press, 1989, 113-14, yang menjelaskan bahayanya
memandang negara sebagai entitas yang mengatasi hukum. Untuk penjelasan tentang kaitan antara hukum dengan demokrasi, lihat Jean Hampton, “Democracy and the Rule of Law,” dalam Nomos XXXVI: The
Rule of Law, ed. Ian Saphiro, New York: New York University Press, 1995, 13. Penjelasan klasik tentang syarat minimum legalitas ditemukan dalam Lon L. Fuller, The Morality of Law, New Haven: Yale
University Press, 1964, 33-34. Ronald Dworkin menawarkan pemaparan kontemporer yang terpenting tentang teori kedaulatan hukum yang substantif. Lihat Ronald Dworkin, A Matter of Principle,
Cambridge: Harvard University Press, 1985, 11-12 Dworkin berpandangan bahwa “konsepsi hak” dalam kedaulatan hukum mensyaratkan, sebagai bagian dari pandangan ideal tentang hukum, bahwa aturan-
aturan yang tertulis mencakup dan melaksanakan hak-hak moral. Lihat juga Frank Michelman, “Law’s Republic”, Yale Law Journal 97 1988: 1493 yang memaparkan interpretasi modern tentang
pemerintahan oleh hukum melalui reinterpretasi teori politik republikanisme kemasyarakatan civil republicanism.
Margaret Jane Radin menggambarkan dasar filsafat dari pendekatan-pendekatan modern terhadap kedaulatan hukum dengan asumsi-asumsi berikut ini:
1 hukum tersusun atas aturan-aturan; 2 aturan berada di muka sebelum kasus-kasus khusus, lebih umum dari kasus-kasus khusus dan diterapkan terhadap kasus-kasus khusus;
3 hukum bersifat instrumental aturan-aturan tersebut dilaksanakan untuk mencapai tujuannya; 4 terdapat pemisahan radikal antara pemerintah dan warga negara ada
pemberi aturan dan pelaksananya, versus penerima aturan dan penaatnya; 5 manusia adalah pemilih yang rasional yang mengatur tindakan-tindakannya secara instrumental.
Margaret Jane Radin, “Reconsidering the Rule of Law”, Boston University Law Review 69 1989: 792. Lihat umumnya Cotterell, Politics of Jurisprudence yang memberikan pengantar tentang
perdebatan tentang sifat hukum; Allan C. Hutchinson dan Patrick Monahan eds., The Rule of Law, Toronto: Carswell, 1987 yang mengumpulkan sejumlah esai tentang kedaulatan hukum; Roger Cotterell,
“The Rule of Law in Corporate Society: Neumann, Kirchheimer, and the Lessons of Weimar”, Modern Law Review 51 1988: 126-32 tinjauan buku.
2. Untuk pembicaraan pengantar tentang tema-tema umum dalam konsep kedaulatan hukum dan konstitusionalisme, lihat A. V. Dicey, Introduction to the Study of Laws of the Constitution, Indianapolis:
Libery Fund, 1982, 107-22. Lihat juga E. P. Thompson, Whigs and Hunters: The Origin of the Black Act, New York: Pantheon Books, 1975.
3. Planned Parenthood v. Casey, 505 US 833, 854 1992; Lihat Antonin Scalia, “The Rule of Law as the Law of Rules”, University of Chicago Law Review 56 1989: 1175 yang menyarankan “kedaulatan
hukum umum” di atas “keinginan individual untuk berlaku adil”. 4. Lihat H. L. A. Hart, “Positivism and the Separation of Law and Morals”, Harvard Law Review 71
1958; 593 yang membela positivisme; Lon L. Fuller, “Positivism and Fidelity to Law – A Reply to
4 Professor Hart”, Harvard Law Review 71 1958: 630 yang mengkritik Hart karena mengabaikan peran
moralitas dalam pembentukan hukum. 5. Teori-teori lain tentang sifat kedaulatan hukum dalam karya-karya Franz Neumann dan Otto Kircheimer
juga mengambil masa ini sebagai titik tolaknya. Lihat Franz Neumann, Behemoth: The Structure and Practice of National Socialism, Frankfurt am Main: Europäjsche Verlagsanshalt, 1977, 1933-44; Franz
Neumann, The Rule of Law: Political Theory and the Legal System in Modern Society, Dover: Berg Publishers, 1986; William E. Scheuerman ed., The Rule of Law under Siege: Selected Essays of Franz L.
Neumann and Otto Kirchheimer, Berkley: University of California Press, 1996. Untuk suatu eksposisi yang menarik tentang pandangan para pakar tersebut, lihat William E. Scheuermann, Between the Norms
and the Exception: The Frankfurt School and the Rule of Law, Cambridge: MIT Press, 1994, yang mencoba menerapkan analisis Neumann dan Kirchheimer ke dalam negara kesejahteraan kapitalis abad
ke-20.
6. Lihat “Recent Cases”, Harvard Law Review 64 1951: 1005-06 yang mengutip Jerman, Judgement of July 27, 1949, 5 Suddeutscher Juristen Zeitung 1950: 207 Oberlandesgericht [OLG] [Bamberg].
7. Lihat secara umum Fuller, Morality of Law, 245. 8. Untuk eksplorasi yang mendalam tentang arti positivisme hukum, lihat Frederick Schauer, “Fuller’s
Internal Point of View”, Law and Philosophy 13 1994: 285. 9. Lihat Fuller, “Positivism and Fidelity to Law”, 642-43, 657.
10. Lihat Fuller, Morality of Law, 96-97. 11. Lihat Fuller, ibid. Untuk pembicaraan tentang perdebatan positivisme-hukum kodrat, lihat Gustav
Radbruch, Rechtphilosophie, Stuttgart: Koehler, 1956; Gustav Radbruch, “Die Erneurung des Rechts”, Die Wandlung 2 1947: 8. Lihat juga Markus Dirk Dubber, “Judicial Positivism and Hitler’s Injustice”,
tinjauan Ingo Muller, “Hitler’s Justice”, Columbia Law Review 93 1993: 1807; Fuller, Morality of Law, 23.
12. Untuk tinjauan yang baik tentang perdebatan sejarah ini, lihat Stanley L. Paulson, “Lon L. Fuller, Gustav Radbruch, and the ‘Positivist’ Thesis”, Law and Philosophy 13 1994: 313.
13. Lihat Hart, “Positivism and the Separation of Law and Morals”, 617-18. 14. Fuller, Morality of Law, 245.
15. Ibid. 16. Ibid., 648.
17. Lihat Zentenyi-Takacs Law: Law Concerning the Prosecutability of Offenses between December 21, 1944 and May 2, 1990 Hungaria, 1991, diterjemahkan dalam Journal of Constitutional Law of East and
Central Europe 1 1994: 131. Lihat juga Stephen Schulhofer et al., “Dilemmas of Justice”, East European Constitutional Law Review 1, No. 2 1992; 17.
18. Lihat umumnya Zentenyi-Takacs Law. 19. Lihat Decision of Dec. 21, 1993 Republik Ceko, Pengadilan Konstitutional, 1993 arsip Center for
the Study Constitusionalism in Eastern Europe, University of Chicago mengesahkan Act on the Illegality of the Communist Regime and Resistance to It, Act N
o.1981993 1993. 20. Untuk pembicaraan tentang perdebatan statuta pembatasan waktu di Jerman, lihat Adalbert Rückerl,
The Investigation of Nazi Crimes, 1945-1978: A Documentation, terj. Derek Rutter, Heidelberg, Karlsruhe: C. F. Muller, 1979, 53-55, 66-67.
21. Judgment of March 5, 1992, Magyar Kozlony, No.231992 Hungaria, Pengadilan Konstitusional, 1992, diterjemahkan dalam Journal of Constitutional Law of East and Central Europe 1 1994: 136.
5 22. Ibid.,141.
23. Ibid.,141-42. 24. Ibid., 142.
25. Bandingkan Ingo Müller, Hitler’s Justice: The Courts of the Third Reich, Cambridge: Harvard University Press, 1991 68, 71-78, dengan Dubber, Judicial Positivism and Hitler’s Injustice, 1819-1820,
1825. Lihat juga Richard Weisberg, Vichy Law and the Holocaust in France, New York: New York University Press, 1996. Untuk diskusi yang kaya akan gagasan, lihat Simposium, “Nazis in the
Courtroom: Lessons from the Conduct of Lawyers and Judges under the Laws of the Third Reich and Vichy France”, Brooklyn Law Review 61 1995: 1142-45. Untuk diskusi tentang Afrika Selatan, lihat
David Dyzenhaus, Hard Cases in Wicked Legal Systems: South African Law in the Perspective of Legal Philosophy, New York: Oxford University Press, 1991, dan Stephen Ellman, In a Time of Trouble: Law
and Liberty in South Africa’s State of Emergency, New York: Oxford University Press, 1992. Untuk pembicaraan tentang strategi interpretif badan pengadilan Amerika Latin, lihat Mark J. Osiel, “Dialogue
with Dictators: Judicial Resistance in Argentina and Brazil”, Law and Social Inquiry 29 1995: 481.
26. Untuk perbandingan yang luas tentang pendekatan Amerika dan Inggris, lihat Anthony J. Sebok, “Misunderstanding Positivism”, Michigan Law Review 93 1995: 2055. Untuk analisis jurisprudensi di
bawah rezim perbudakan, lihat Robert M. Cover, Justice Accused: Antislavery and the Judicial Process, New Haven: Yale University Press, 1975, 26-29, 121-23. Untuk diskusi tentang jurisprudensi Nazi, lihat
umumnya Muller, Hitler’s Justice.
27. Untuk tinjauan sejarah, lihat Friedrich A. Hayek, The Constitution of Liberty, Chicago: Uninersity of Chicago Press, 1960, 162-73. Untuk sejarah intelektual tentang Rechstaat Jerman, lihat Steven B. Smith,
Hegel’s Critique of Liberalism, Chicago: University of Chicago Press, 1989, 145-48. 28. Untuk diskusi terkait tentang tirani dan hukum, lihat Judith N. Shklar, Legalism: Law, Morals, and
Political Trials, Cambridge: Harvard University Press, 1964, 126-27. 29. Lihat Henry W. Ehrmann, Comparative Legal Cultures, Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1976, 48-50;
James L. Gibson dan Gregory A. Caldeira, “The Legal Cultures of Europe”, Law and Society Review 30 196: 55-62.
30. Untuk suatu pernyataan tentang syarat hukum demikian, lihat Fuller, “Positivism and Fidelity to Law”, 638-43. Lihat juga Joseph Raz, The Concept of a Legal System: An Introduction to the Theory of Legal
System, New York: Oxford University Press, 1970 yang merupakan usaha sistematis untuk menjelaskan syarat-syarat hukum.
31. Judgment of Jan. 20, 1992, Juristenzeitung 13 1992: 691, 695 Jerman Barat, Landgreicht [LG], Berlin.
32. Lihat Raz, Concept of a Legal System, 214. 33. Lihat umumnya Bonaventura De Soisa Santos, Toward a New Common Sense: Law, Science, and
Politics in the Paradigmatic Transition, New York: Routledge, 1995 yang memaparkan teori hukum dengan merujuk pada kaitan hukum dan masyarakat yang dinamis.
34. Lihat Hans Kelsen, “The Rule against Ex Post Facto Laws and the Prosecution of the Axis War Criminals”, Judge Advocate Journal Musim Gugur-Dingin 1945: 8-12, 46 yang membicarakan sifat
jurisdiksi dalam Tribunal Nuremberg dan pengadilan pasca-perang lainnya; Bernard D. Meltzer, “A Note on Some Aspects of the Nuremberg Debate”, University of Chicago Law Review 14 1947: 455-57.
“Penerapan secara kaku dan otomatis aturan melawan retroaktivitas pada sistem hukum yang belum berkembang [seperti hukum internasional] akan, tentu saja, memperlebar jurang atara perasaan moral yang
berkembang di masyarakat dan institusi legalnya yang terbelakang”. Lihat umumnya Stanley L. Paulsen, “Classical Legal Positivism at Nuremberg”, Philosophy and Public Affairs 4 1975: 132 yang
menyatakan bahwa penolakan pembelaan Nazi oleh Tribunal Nuremberg dijustifikasikan oleh
6 penolakannya terhadap positivisme legal klasik; Quincy Wright, “Legal Positivism and the Nuremberg
Judgment”, American Journal of International Law 42 1948: 405 menyatakan bahwa kritikan terhadap peradilan Nuremberg yang dianggap menerapkan hukum ex post facto berakar pada teori hukum
internasional positivis yang dipegang para pengkritik tersebut.
35. Judgment of March 5, 1992 dikutip di catatan kaki 21 di muka 36. Lihat Act on Procedures Concerning Certain Crimes Committed during the 1956 Revolution,
Hungaria, 1993 arsip Center for the Study of Constitusionalism in Eastern Europe, University of Chicago.
37. Lihat “Geneva Convention Relative on the Protection of Civilian Persons in Time of War”, 12 Agustus 1949, Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the
United Nations 75, No. 973 1950; 287; “Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes Against Humanity”, 11 November 1970, Treaties and International
Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United Nations 754, No. 10823 1970: 73.
38. Di Polandia, masalah statuta pembatasan waktu baru terselesaikan dengan konsensus konstitusional. Lihat Konstitusi Republik Polandia, Pasal 43 yang disahkan Dewan Nasional, 2 April 1997, yang
menyatakan bahwa sejauh suatu pelanggaran merupakan kejahatan perang atau kejahatan terhadap kemanusiaan, mereka tidak diikat oleh pembatasan waktu.
39. Resolution of the Hungarian Constitutional Court of Oct. 12, 1993 on the Justice Law Kasus 531993 arsip Center for the Study of Constitutionalism in Eastern Europe, semula di University of
Chicago. Lihat Konstitusi Hungaria, Pasal 7 ayat 1 “Sistem hukum Republik Hungaria ... menyesuaikan hukum nasional dan statuta negara dengan kewajiban yang diberikan oleh hukum internasional”.
Bandingkan dengan Konstitusi Yunani, Pasal 28 ayat 1 yang menyatakan bahwa kedaulatan hukum internasional diutamakan terhadap hukum domestik yang berlawanan.
40. Lihat Border Guards Prosecution Cases Jerman Barat, Bundesgerichtshof [BGH], diterjemahkan dalam International Law Reports 100 1995: 380-82 yang mempertimbangkan International Covenant
on Civil and Political Rights, 19 Desember 1966, Treaties and International Agreements Registered or Filed or Reported with the Secretariat of the United Nations 999, No. 14688 1976: 171 yang
menyatakan bahwa ketertiban domestik melanggar hak asasi manusia yang dilindungi oleh traktat internasional. Lihat umumnya Stephan Hobe dan Christian Tietje, “Government Criminality: The
Judgement of the German Federal Constitutional Court of 24 October 1996”, German Yearbook of Internatioanal Law 39 1996: 523. Lihat juga Krisztina Morvai, “Retroactive Justice Based on
International Law: A Recent Decision by the Hungarian Constitutional Court”, East European Constitutional Review musim gugur 1993musim dingin 1994: 33; “Law on Genocide and Crimes
against Humanity Committed in Albania during Communist Rule for Political, Ideological and Religious Motives”, diterjemahkan dalam Human Rights Watch, Human Rights in Post-Communist Albania, New
York: Human Rights Watch, 1996, lampiran A menjadi dasar untuk mengadili bekas Komunis.
41. Lihat Statute of the International Court of Justice, U. S. Statutes at Large 59 1945: 1031, Pasal 38 1. Untuk pembahasan tentang pemahaman positivis, lihat Oscar Schachter, International Law in Theory
and Practice, Dordrecht, Belanda; dan Boston: M. Nijhoff, 1991; didistribusikan di Amerika Serikat dan Kanada oleh Kluwer Academic Publishers, 35-36. Peran kebiasaan dalam pembentukan hukum
internasional dijelaskan dalam Michael Akehurst, “Custom as a Source of International Law”, British Yearbook International 47 1974-1975: 1. Untuk diskusi terkait tentang elemen-elemen hukum positif
dan hukum kodrat dalam hukum internasional, lihat Shklar, Legalism: Law, Morals, and Political Trials, 126-28.
42. Lihat J. M. Balkin, “Nested Opposition”, Yale Law Journal 99 1990: 1669 tinjauan buku. 43. Lihat Judgment of Jan. 20, 1992 dikutip di catatan kaki 31 di atas, 693.
7 44. Lihat Decision of Dec. 21, 1993 dikutip di catatan kaki 19 di atas.
45. Untuk tinjauan tentang sifat pengambilan keputusan demikian dalam sistem politik non-liberal, lihat diskusi tentang decisionism dalam Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Concept of
Sovereignty, terjemahan George Schwab, Chicago: University of Chicago Press, 1985, 53-66. 46. Untuk penjelasan tentang awal perkembangan ini, lihat Herman Schwartz, “The New East European
Constitutional Courts”, Michigan Journal of International Law 13 1992: 741. Lihat Ruti Teitel, “Post Communist Constitutionalism: A Transitional Perspective”, Columbia Human Rights Law Review 26
1994: 167. Untuk kumpulan esai tentang pengadilan konstitusional Eropa Timur, lihat Irena Grudzinska- Gross ed., Constitutionalism in East Central Europe, Bratislava: Czecho-Slovak Committee of the
European Cultural Foundation, 1994. Lihat juga Konstitusi Afrika Selatan, Bab VII dibicarakan pada bab tentang keadilan konstitusional dalam buku ini.
47. Lihat Judgment of Jan. 20, 1992 dikutip di catatan kaki 31 di atas. 48. Lihat Judgment of March 5, 1992 dikutip di catatan kaki 21 di muka.
49. Lihat Teitel, “Post-Communist Constitutionalism”, 169-76. 50. Lihat Ethan Klingsberg, “Judicial Review and Hungary’s Transition from Communism to Democracy:
The Constitutional Court, the Continuity of Law, and the Redefinition of Property Rights”, Brigham Young University Law Review 1992 1992: 62 membicarakan akses yang sangat terbuka yang
ditimbulkan oleh aturan Hungaria yang sangat permisif. Negara tersebut bukanlah satu-satunya di wilayah tersebut yang memperimbangkan partisipasi para aktor politik dalam litigasi konstitusional.
51. Lihat Teitel, “Post-Communist Constitutionalism,” 186-87. 52. Lihat Judgment of March 5, 1992 dikutip di catatan kaki 21 di muka.
53. Lihat R. M. Dworkin, Taking Rights Seriously, Cambridge: Harvard University Press, 1977, 84. 54. Ibid., 84, 138.
55. Menyangkut paradigma tradisional tentang badan pengadilan, lihat umumnya Martin Shapiro, Courts: A Comparative and Political Analysis, Chicago: University of Chicago Press, 1981. Lihat juga Mauro
Cappelletti, The Judicial Process in Comparative Perspective, New York: Clarendon Press, 1989, 31-34 mengamati bahwa para hakim harus “membuat hukum” dengan menafsirkannya namun membedakan
tugas ini dari tugas para legislator, yang bertindak dengan prosedur yang berbeda. Untuk pernyataan klasik tentang peran badan pengadilan dalam demokrasi, lihat umumnya Alexander M. Bickel, The Least
Dangerous Branch, New Haven: Yale University Press, 1986; Jesse H. Choper, Judicial Review and the National Political Process, Chicago: University of Chicago Press, 1980; dan John Hart Ely, Democracy
and Distrust: A Theory of Judicial Review, Cambridge: Harvard University Press, 1980.
56. Pada awal pergeseran politik, parlemen transisional biasanya merupakan peninggalan dari masa represif sebelumnya. Lihat Andrew Arato, “Dilemmas Arising from the Power to Create Constitutions in
Eastern Europe”, Cardozo Law Review 14 1993: 674-75.
57. Untuk pembicaraan ilustratif tentang transisi Rusia menuju berkurangnya kekuasaan Negara, lihat Stephen Holmes, “Can Weak-State Liberalism Survive?” makalah dipresentasikan di Colloquium tentang
Teori Konstitusional di New York University School of Law, musim semi 1997, arsip penulis. 58. Lihat Teitel, “Post-Communist Constitutionalism”, 182-85.
59. Lihat misalnya Müller, Hitler’s Justice, 201 membicarakan badan pengadilan yang terkompromi di Jerman pasca-perang.
60. Lihat misalnya Ronald M. Dworkin, Law’s Empire, Cambridge: Harvard University Press, Belknap Press, 1986; Bruce R. Douglass, Gerald M. Mara dan Henry S. Richardson eds., Liberalism and the
Good, New York: Routledge, 1990.
8 61. Lihat Philippe Nonet dan Philip Selznick, Law and Society in Transition, New York: Harper and Row,
1978, 4-5; Richard L. Abel ed., The Politics of Informal Justice, New York: Acdemic Press, 1982, 267; David M. Trubek, “Turning Away from Law?” Michigan Law Review 82 1984: 825.
62. Untuk eksplorasi tentang berbagai pemikiran yang bertentangan mengenai kedaulatan hukum dari perspektif liberalisme dan teori hukum kritis, lihat umumnya Andrew Altman, Critical Legal Studies: A
Liberal Critique, Princenton: Princenton University Press, 1990.
Bab 2: Peradilan Pidana