1
Bab 7 Menuju Teori Keadilan Transisional
Buku ini telah mengeksplorasi dua pertanyaan: pertama, pendekatan legal apa yang diadopsi oleh masyarakat yang sedang mengalami masa transisi sebagai respon terhadap
warisan penindasannya?; kedua, apa signifikansi dari respon-respon legal ini terhadap prospek liberalisasi masyarakat tersebut? Kita sekarang berada pada posisi untuk
menguji cahaya apa yang dipancarkan oleh buku Transitional Justice ini di atas kedua pertanyaan tersebut dan, lebih umum lagi, terhadap peranan hukum dalam periode-
periode yang masih sangat jauh dari pencapaian perubahan politik. Dalam mengeksplorasi respon-respon legal negara terhadap warisan keterkungkungannya,
Transitional Justice
menawarkan metode interpretatif, historis, dan komparatif untuk menarik konklusi sintetik berkenaan dengan apa yang dikedepankan oleh praktik-praktik
ini tentang konsepsi keadilan pada masa-masa seperti itu. Apa yang mencuat adalah suatu penyeimbangan pragmatik tentang keadilan ideal dengan realisme politik yang
mencontohkan kedaulatan hukum simbolis yang mampu mengkonstruksikan perubahan yang menghasilkan liberalisasi. Dengan demikian, bab ini, yang merupakan
penyimpulan dari keseluruhan uraian kita di depan, menganalisis fenomena legal yang dibahas dalam keseluruhan buku ini. Yaitu, fenomena legal yang menyangkut teori
tentang keadilan transisional yang menjembatani konsep ideal tentang kedaulatan hukum dan kebutuhan mendesak akan politik kontingen dalam kasus-kasus tertentu.
Pertimbangan-pertimbangan hukum selama periode semacam ini mengikuti suatu paradigma yang khas, yang diarahkan oleh prinsip-prinsip kedaulatan hukum yang
disesuaikan dengan tujuan transformasi politik. Analisis yang diambil di dalam buku ini memperlihatkan saluran konseptual dan praktis yang melaluinya paradigma paling
khusus dalam hukum transformatif membantu membangun perubahan yang mengarah pada liberalisasi. Tetapi, analisis kita melaju lebih jauh lagi. Analisis kita di sini
mengajukan bahwa hukum memantapkan potensi pemerdekaan bagi dihasilkannya politik transformatif. Beragam respon legal yang digali di dalam bab-bab sebelumnya
mengungkapkan gambaran umum dalam soal hakikat dan fungsinya – dan dengan demikian, mengungkapkan juga hasil-hasil yang mempersulit bagi konsepsi koheren
secara analitik tentang keadilan transisional yang melampaui kasus-kasus khusus. Prinsip-prinsip kedaulatan hukum paradigmatik dalam keadilan transisional
dihubungkan secara dekat pada gambaran murni dan penjelas dari periode ini, yaitu pendasaran dalam masyarakat bagi penggantian normatif dalam prinsip yang menyertai
dan melegitimasi pemberlakuan kekuasaan negara. Oleh karena itu, pemahaman tentang keadilan transisional yang dikembangkan di sini seharusnya sudah jauh melebihi
periode-periode perkembangan politik biasa, yang memancarkan cahaya baru ke atas pertanyaan-pertanyaan kontemporer yang menyangkut hukum-hukum hak asasi manusia
yang potensial bagi pemberian respon terhadap konflik-konflik internasional, dan pemahaman inti tentang kesulitan-kesulitan hubungan politik dengan keadilan.
2
Eksplorasi buku ini terhadap hakikat dan fungsi hukum dalam periode transformasi yang dimulai dengan penggantian konsep debat dan kerangka acuan yang
relevan, bagi keadilan transisional tidak cukup ditangkap secara memadai dalam konsep analitik yang biasa berlaku yang digunakan untuk menguji peranan hukum dalam
periode-periode perubahan politik yang membawa pembebasan. Pertimbangan- pertimbagan ini cenderung menjadi sangat antinomik atau kontradiktif. Pertimbangan-
pertimbangan tersebut bisa secara radikal bersifat realis, dengan serangkaian pengembangan dalam transisi yang sekadar mengikuti keseimbangan kekuasaan dan
dengan demikian mengingkari keterkaitan hukum dengan signifikansi independen dalam transformasi politik, atau menawarkan narasi-narasi yang diidealkan di mana hukum
beroperasi sebagai keseluruhan kekuatan pemicu yang mendasar dan berlaku dari dirinya sendiri, yang memprasyaratkan serangkaian pembangunan hukum dan politik
yang berpotensi universal selama periode-periode transformatif.
1
Tak satu pun dari pemahaman yang sangat dikotomis ini menyediakan penjelasan positif yang persuasif
atau penjelasan normatif tentang peran hukum dalam periode-periode perubahan politik substansial. Dengan mendasarkan pada gambaran perspektif historis dan komparatif
lintas masyarakat, analisis yang kita kemukakan di sini mengajukan sebuah cara alternatif untuk mengkonseptualisasikan peran hukum dalam masa-masa seperti itu.
Pertimbangkanlah, sebagai langkah awal, konseptualisasi implisit karya-karya para sarjana yang akrab di benak kita selama ini tentang masalah yang relevan: peran
hukum hanya sekadar direduksi pada keseimbangan kekuatan politik yang membentuk permulaan perubahan rezim atau diekstrapolasi dari titik akhir di mana “revolusi liberal”
diyakini akan tercapai.
2
Hasilnya, peran hukum dalam periode yang menyita perhatian itu – dimengerti sebagai konteks politik untuk menunjukkan interregnum, yaitu masa
antara dua rezim pemerintahan
3
– telah menghindari pemahaman, karena masing-masing dari pendekatan ini menurut definisi menampik fenomenologi hukum dalam liberalisasi
sebagai subjek analisis yang diskret atau benar-benar terpisah. Analisis ini sama sekali tidak menolak atau meminimalisir pentingnya
pembatasan struktural dan tujuan-tujuan normatif dalam pembentukan proses legal dan hasil-hasil politik. Sebaliknya, fenomena hukum jelas-jelas tidak pernah bersifat otonom
terhadap konteksnya, tidak juga benar-benar responsif terhadapnya. Kemudian, mengapa gerangan ada alasan untuk berasumsi, sebagaimana dilakukan oleh masing-masing
pendekatan yang berlaku sekarang ini, bahwa operasi hukum kurang interaktif dan dialektis selama periode-periode perubahan politik yang masih jauh panggang dari api?
Sesungguhnya, sebuah analisis sistematik proses hukum yang terjadi selama perjalanan dari satu rezim politik ke rezim politik lainnya adalah benar-benar apa yang diperlukan
1
Bandingkan Samuel P. Huntington, The Third Wave, Democratization in the Late Twentieth Century, Norman: University of Oklahoma Press, 1991, 215, dengan Bruce A. Ackerman, The Future of Liberal
Revolution , New Haven: Yale University Press, 1992, dan Hannah Arendt, On Revolution, Wesport,
Conn.: Greenwood Press, 1963.
2
Ibid.
3
Untuk definisi transisi dalam ilmu politik, lihat Guillermo O’Donnel dan Phillippe C. Schmitter, Transitions From Authoritarian Rule: Tentative Conclusions About Uncertain Democracies
, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986, 6.
3
dalam rangka mengklarifikasi hakikat dan cakupan peran mereka dalam periode transisional. Lebih dari sekadar hasil-hasil penggambaran kita sebagai residu semata dari
keseimbangan kekuatan politik atau deduksi respon-respon legal ideal dari titik akhir yang revolusioner yang mempraandaikan adanya demokrasi dan kedaulatan hukum,
perlulah bagi kita untuk menguji relasi respon legal transisional terhadap warisan sejarah masyarakat atas ketidakadilan dan cakupan yang terhadapnya relasi ini membentuk
lorongnya sendiri menuju liberalisasi. Kegunaan dari pendekatan ini akan menjadi lebih jelas ketika kita kembali pada pembahasan tentang fenomenologi legal dan prinsip-
prinsip kedaulatan hukum yang dapat diterapkan yang merupakan karakteristik dari contoh-contoh kontemporer tentang transformasi politik radikal.
Keadilan Transisional dan Jurisprudensi Transisional: Sebuah Paradigma Hukum dalam periode perubahan radikal umumnya dipahami sebagai antistruktural,
sebagai prinsip yang melampaui kenyataan dan paradigma yang menantang.
4
Periode perubahan normatif umumnya dilihat menjadi antiparadigmatik. Tetapi, fenomenologi
legal yang mencirikan periode perubahan politik mengungkapkan pola-pola yang menunjukkan sebuah paradigma. Sebagaimana telah kita lihat, manifestasi keadilan yang
diupayakan selama periode transformatif sangat beragam: retributif, reparatoris, birokratis, konstitusional, dan historis. Akan tetapi, melampaui berbagai respon legal
yang beragam, pengaturan menjadi bukti, yang mengungkapkan proses-proses distingtif yang dipadukan dengan perubahan politik. Melampaui kategori-kategori legal, sebuah
paradigma hukum muncul yaitu paradigma jurisprudensi transisional.
Karena gambaran yang mendefinisikan transisi adalah perubahan normatif transisi itu sendiri, praktik-praktik hukum menjembatani suatu perjuangan yang
persisten di antara dua titik: dukungan terhadap konvensi yang mapan dan transformasi yang radikal. Utamanya, suatu posisi yang dipengaruhi secara dialektis kemudian
muncul. Dalam konteks perubahan radikal politik, jurisprudensi transisional mendamaikan konsepsi parsial dan non-ideal tentang keadilan: bentuk-bentuk sementara
dan terbatas dari konstitusi, sanksi, reparasi, pemurnian [pemulihan nama baik], dan sejarah. Melampaui kategori-kategori hukum, bentuk legal yang distingtif menengahi
gerakan di antara rezim-rezim yang sudah dan sedang berkuasa. Peran hukum di sini bersifat transisional, dan tidak mendasar, konstruktif terhadap perubahan-perubahan
kritis dalam status, hak, dan tanggung jawab individual – dan, lebih luas lagi, terhadap pergantian dalam hubungan kekuasaan. Sebagaimana peran hukum adalah untuk
memajukan konstruksi perubahan politik, manifestasi hukum transisional dipengaruhi secara lebih tegas lagi oleh nilai-nilai politis dalam rezim di masa transisi daripada
manifestasi hukum dalam negara-negara di mana kedaulatan hukum telah ditegakkan
4
Lihat Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago: University of Chicago Press, 1970, 52-76, 111-134. Untuk argumen yang menentang paradigma konseptualisasi, lihat Albert
Hirschman, “The Search for Paradigms as a Hindrance to Understanding”, dalam Paul Rabinow dan William M. Sullivan eds., Interpretive Social Science: A Second Look, Berkley: University of California
Press, 1987.
4
dengan kokoh. Jadi, jurisprudensi periode-periode ini tidak mengikuti prinsip-prinsip utama soal legalitas sebagai keteraturan, kelaziman, dan prospektivitas [keterarahan
pada masa depan] – hal-hal yang merupakan esensi paling inti dari kedaulatan hukum dalam masa-masa biasa.
5
Sementara kedaulatan hukum dalam demokrasi-demokrasi yang mapan senantiasa menatap ke depan dan terus tiada henti berjalan pada alur
arahnya yang sudah pasti, hukum dalam periode transisional justru menatap ke belakang sembari juga menatap ke depan, restrospektif dan sekaligus prospektif,
berkesinambungan dan sekaligus terputus-putus.
Biasanya, nilai-nilai prospektivitas dan kontinuitas, juga keterterapan secara umum dan perlindungan yang sama dan adil, dirasakan menjadi sangat kompatibel
dalam sistem hukum yang mapan. Akan tetapi, dalam periode-periode perubahan politik secara substansial, nilai-nila ini justru tampak jelas terjerembab dalam konflik. Ini paling
jelas manifes baik dalam periode langsung pasca-perang dan yang mengikuti kejatuhan Komunisme dalam perdebatan jurisprudensial menyangkut hubungan hukum dan moral
dan menyangkut makna restorasi kedaulatan hukum. Perjuangan melampaui cakupan yang terhadapnya prosedur yang telah ada sebelumnya diarahkan pada atau nilai-nilai
rezim yang baru dikembangkan. Nilai-nilai kedaulatan hukum mana yang terutama muncul pertama dalam transisi adalah fungsi dari warisan sejarah dan politik tertentu –
yaitu, fungsi dari pemahaman utama terhadap sumber-sumber ketakutan, ketidakamanan, dan ketidakadilan yang mendapatkan kekuatan normatif otoritatif dalam
masyarakat. Sementara keseimbangan kekuasaan di antara aktor-aktor politik kunci bisa dipandang sebagai pembatasan rentang kemungkinan, tantangan yang paling besar dan
peran distingtif jurisprudensi transisional, bagaimanapun juga, tetaplah menjembatani legalitas konvensional dan pergantian normatif yang diprasyaratkan oleh transformasi
yang membawa pembebasan.
Dalam periode perubahan politik, tak ada kawasan tunggal bagi tindakan hukum yang operatif, dan tak ada pula ideal-ideal mendasar yang tak menunjukkan kekhasan
antara satu dengan lainnya. Namun demikian, pengalaman-pengalaman transisional tidak perlu mengikuti wacana yang telah dipostulasi oleh realis politik berdasarkan basis
pertimbangan keseimbangan kekuasaan. Alih-alih, pertanyaan yang benar-benar menghujam adalah: Institusi apa yang memiliki legitimasi untuk menjalankan
transformasi normatif yang substansial? Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, peran reinterpretasi makna kedaulatan hukum dalam periode-periode
transformasi substansial sering kali ditangani oleh pengadilan-pengadilan konstitusional, khususnya ketika institusi-institusi tersebut merupakan institusi yang sama sekali baru
yang dimunculkan oleh transisi itu sendiri. Sistem judisiari transisional mempraktikkan kebebasan interpretatif yang masuk akal dan wajar, mengukir kedaulatan hukum yang
tak jauh beda yang secara simultan mendukung aspek-aspek legalitas konvensional sembari melakukan kerja perubahan normatif. Jadi, ajudikasi dalam periode-periode ini
hampir selalu mengungkapkan suatu kombinasi dinamis dari imperatif-imperatif konvensional dan transformatif. Kendati bukan merupakan tindakan dari badan-badan
pembuat keputusan politik, namun respon-respon ajudikatoris tersebut menjadi simbol-
5
Lihat Lon L. Fuller, The Morality of Law, New Haven: Yale University Press, 1964.
5
simbol signifikan dari pembebasan kedaulatan hukum. Ketika pengadilan-pengadilan konstitusional mendahului transisi, institusi-institusi lain yang dirasuki dengan legitimasi
dan otoritas yang baru ditemukan, seperti komisi-komisi publik, menjadi ajang bagi praktik-paraktik transformatif.
Pada saat yang sama, transisi bervariasi dalam perluasannya terhadap transformasi normatif dan dalam kepatuhan terhadap legalitas konvensional. Dengan
demikian, sebuah teori tentang keadilan transisional harus mengembangkan sebuah bahasan yang dengannya kita memahami kontinum transformatif yang bersamanya
transisi ditata. Modalitas yang mungkin merentang mulai dari modalitas “kritis”, yang mengacu pada reportoire hukum transformatif yang ditujukan secara maksimal pada
penolakan kebijakan rezim sebelumnya, hingga pada modalitas “residual”, yang bertujuan memantapkan tatanan hukum yang sedang berlaku sekarang. Sebaliknya,
modalitas “restoratif” menarik kekuatan normatif dari keberpulangan pada warisan negara di masa lalu. Sebagaimana disarankan oleh tipologi ini, modalitas yang bervariasi
berhubungan dengan perbedaan-perbedaan dalam cakupan transformasi politik yang baru
, kendatipun tidak harus dalam cakupan liberalisasi, khususnya ketika sebuah reportoire
“restoratif” bisa secara meyakinkan memanfaatkan atau berdiri tegak di atas tradisi yang tepat, yang telah hidup sebelumnya.
Sebagaimana yang hendak ditunjukkan oleh pembahasan kita dalam bab-bab sebelumnya, prinsip kedaulatan-hukum yang dipadukan dengan modalitas transformasi
merupakan bukti yang melintasi kategori-kategori hukum. Sebenarnya, kita bisa melanjutkan pembahasan tentang hal ini kemudian. Sebaliknya, prinsip kedaulatan
hukum yang dipadukan dengan waktu biasa mencakupi distingsi yang jelas dalam kategori hukum yang berkenaan dengan aturan prosedural dan aturan pembuktian, dan
juga pembatasan status individual, hak dan kewajiban, sifat luar biasa dan kerja-kerja dari hukum transisional yang sering kali mengaburkan tapal batas yang memisahkan
hukum pidana, hukum perdata, hukum administratif [~ hukum administrasi negara] dan hukum konstitusional [~ hukum tata negara]. Dalam pelaksanaan kategori-kategori
hukum, prinsip kedaulatan hukum transisional yang paradigmatik bisa juga cenderung memecahkan pagar batas konvensional ini di dalam hukum.
Sebagai contoh, pengembangan kedaulatan hukum di dalam negara yang sedang melakukan proses liberalisasi sering dianggap bergantung pada penerapan akuntabilitas
individual. Jadi, penghukuman sering jelas-jelas mencontohkan kepedulian terhadap tanggung jawab individual yang merupakan hal sentral dalam hukum di negara-negara
liberal. Akan tetapi, sebagaimana telah ditunjukkan dalam bab 2, perspektif yang menekankan pada hakikat penghukuman ini tidak sesuai dengan perannya dalam waktu-
waktu terjadinya pergolakan dan perubahan politik secara radikal. Konsep pidana atau rumusan kejahatan masa transisional malah ganti ditentukan oleh nilai-nilai yang
berkaitan dengan lingkungan-lingkungan yang berbeda dan proyek proses perjalanan politik. Keadilan pidana biasanya diteorisasikan dalam konsep-konsep yang sangat
dikotomis sebagaimana dihidupkan dalam kepedulian yang berorientasi kepada masa lalu dengan retribusinya atau yang berorientasi ke masa depan, sebuah kepedulian
utilitarian dengan penekanan pada efek penjeraan, yang dianggap sebagai bagian internal
6
dari sistem keadilan.
6
Akan tetapi, dalam varian transisional ini bukan cuma penghukuman yang dijelaskan dengan suatu campuran dari tujuan retrospektif dan
prospektif, tetapi juga pertanyaan soal entahkah menghukum atau mengampuni dirasionalisasikan secara sengaja dan terbuka dalam konteks politik. Nilai-nilai
kerahiman dan rekonsiliasi yang umumnya dipandang sebagai hal-hal di luar keadilan kriminal merupakan bagian eksplisit dari pemahaman konsep transisional. Politisasi
eksplisit dari hukum pidana di dalam periode-periode ini menantang pemahaman ideal tentang keadilan dan kemudian hadir menjadi gambaran yang persisten atau tetap tak
berubah-ubah dari jurisprudensi di dalam konteks transisional.
Rumusan atau bentuk transisional yang luar biasa dari penghukuman yang ditentukan ciri khasnya dalam bab 2 sebagai sanski pidana “terbatas” kurang diarahkan
pada penjatuhan hukuman kepada para pelaku; malahan lebih diarahkan pada peningkatan upaya pergantian normatif transformasi politik. Sanksi terbatas transisional
dicontohkan di mana pun proses pidana bersifat parsial dan sepotong-sepotong, selain itu, sanksi tersebut juga terutama memuncak pada hukuman yang ringan atau tanpa
hukuman sama sekali. Sanksi terbatas juga diilustrasikan secara historis, bukan cuma dalam kebijakan pasca-perang, tetapi juga dalam masalah penghukuman yang mengikuti
kasus-kasus terbaru dari perubahan rezim, yang selama terjadinya perubahan itu sanksi tebatas tersebut menjalankan tindakan-tindakan operatif yang penting – penyelidikan
publik formal ke dalam klarifikasi masa lalu, penuntutan terhadap kesalahan masa lalu, dan seterusnya – yang menyokong pergantian normatif yang merupakan hal sentral
terhadap liberalisasi transisi. Bahkan bentuknya yang terbatas dan menggelikan adalah suatu simbol kedaulatan hukum yang memampukan ekspresi pesan normatif kritis.
Berkenaan dengan argumen yang dibahas lebih jauh di sini, sangatlah penting untuk memperhatikan afinitas bahwa efek-efek operatif yang dikembangkan lebih lanjut
oleh sanksi pidana yang terbatas, semisal menetapkan, mencatat, dan menghukum kesalahan masa lalu, tampil bersama tindakan-tindakan hukum lainnya dan proses-
proses yang yang konstruktif terhadap transisi. Kesalahan yang masif dan sistemik yang secara khusus dicirikan oleh represi modern menganjurkan adanya suatu pengakuan
akan campuran tanggung jawab individual dan kolektif. Dengan begitu, ada ketumpangtindihan yang jelas antara institusi-institusi dan prose-proses punitif dan
administratif. Proses-proses akuntabilitas yang diindividualisasikan memberikan jalan kepada investigasi administratif dan komisi penyelidikan, kompilasi rekaman-rekaman
publik, dan pemberitahuan resmi tentang kesalahan masa lalu tersebut. Sering kali, semuanya ini adalah kesalahan-kesalahan yang tercakup dalam sejarah kenegaraan yang
dilakukan mengikuti mandat politik bagi rekonsiliasi, seperti di Afrika Selatan dan di kebanyakan negara Amerika Latin pasca-otoritarian.
7
Apakah bentuk-bentuk birokratis dari penyelidikan publik dan penutur-kisahan kebenaran secara resmi merupakan hal yang diinginkan dan apakah itu juga menandakan
6
Lihat H.L.A. Hart, Punishment and Responsibility: Essays in the Philosophy of Law, Oxford: Clarendon Press, 1968. Lihat juga George Fletcher, Rethinking Criminal Law, Boston: Little, Brown, 1978
7
Berkenaan dengan Afrika Selatan, lihat Kader Asmal, Louise Asmal, dan Ronald Suresh Roberts, Reconciliation Through Truth: A Reckoning of Apartheid’s Criminal Governance
, Cape Town, S. Africa: David Philip Publishers bekerja-sama dengan Mayibue Books, University of Western Cape, 1996.
7
liberalisasi, keduanya itu merupakan hal yang kontingen atau tergantung pada warisan negara dari aturan yang represif. Peran produksi pengetahuan sosial yang berkenaan
dengan masa lalu sebuah negara bukan merupakan suatu masalah orisinal atau masalah mendasar, karena fungsi kritis rezim kebenaran suksesor adalah untuk merespon praktik-
praktik represif dari rezim terdahulu. Jadi, sebagai contoh, dalam transisi setelah pemerintahan militer, ketika kebenaran merupakan korban dari kebijakan-kebijakan
penghilangan,
8
respon-respon kritis merupakan upaya pelacakan terpadu dari suatu kisah resmi dan rahasia, sementara sebaliknya, sejarah negara telah dihindarkan secara luas
dalam transisi pasca-komunis, ketika produksinya tidak lebih merupakan sebuah instrumen kontrol represif semata. Penyelidikan historis transisional mengungkapkan
bahwa kebenaran yang relevan adalah kebenaran yang dihasilkan di dalam warisan negara yang khusus dalam hal ketidakadilan. Kebenaran-kebenaran yang dimaksud
adalah kebenaran yang tidak universal, tidak esensial dan kebenaran yang tergolong dalam meta-kebenaran metatruth. Sebagaimana ditunjukkan dengan penggunaan
transisional yang digeneralisasikan dari pertimbangan independen dalam hukum hak asasi manusia kontemporer untuk menyingkirkan rezim kebenaran predesesor rezim
pendahulu dan menegakkan sebuah konsep primer pertanggungjawaban, kebenaran marjinal bisa jadi adalah kebenaran yang dibutuhkan untuk mematrikan sebuah garis
batas antara rezim baru dan rezim lama tersebut.
9
Penjelasan historis yang baru tentang warisan masa lalu merehabilitasi, juga menghukum, individu-individu tertentu. Dalam bentuk transisionalnya, upaya hukum
reparatoris memainkan peran penting dalam pergantian normatif dengan mencontohkan perubahan-perubahan yang berkenaan dengan status politik, sebagai misal, rehabilitasi
dan restorasi martabat individual yang dipadukan dengan liberalisme, yang bisa menyertai upaya hukum lainnya dalam hal yang bersifat distributif. Melintasi keragaman
budaya, tuntutan terhadap pertimbangan-pertimbangan reparatoris sebagai tampilan dari perlindungan yang sama di bawah hukum merupakan perubahan yang pervasif atau
menyebar ke segala arah, perubahan yang melaju laksana sepur dalam aturan yang berkaitan dengan status individual dan hak. Dalam teori ideal, prinsip-prinsip keadilan
korektif umumnya berorientasi atau melihat ke belakang, yang terutama berkaitan dengan hak-hak korban individual. Akan tetapi, dalam bentuk transisionalnya,
pertimbangan reparatoris memiliki suatu hakikat “hibrida”, dengan tujuan-tujuan korektif yang dikaitkan dengan kepedulian sosial yang lebih luas yang dihubungkan
dengan perlindungan normatif dari perubahan politik yang membebaskan. Kombinasi hibrida proyek reparatoris transisional dari tujuan-tujuan berorientasi ke belakang dan
tujuan-tujuan berorientasi ke depan adalah bukti paling nyata di negara-negara yang sedang melalui tahap transisi simultan dalam bidang ekonomi dan politik, yang keluar
secara radikal dari penteorisasian ideal tentang prinsip-prinsip keadilan distributif dan keadilan korektif.
10
8
Untuk diskusi lebih mendalam dan lebih luas tentang poin ini lihat bab 3, “Keadilan Historis”.
9
Lihat Nunca Más: Report of the Argentine National Commission on the Disappeared, edisi bahasa Inggris, New York: Farrar, Straus, Giroux, 1986 yang untuk selanjutnya disebut Nunca Más saja.
10
Untuk pembimbing elaborasi semacam itu dalam teori ideal, lihat John Rawls, Political Liberalism, New York: Columbia University Press, 1993.
8
Kompromi transisional tidak lain adalah yang paling jelas sebagaimana dalam transisi pasca-komunis, ketika bahkan yang sering disebut-sebut sebagai “hak milik”
tidak disusun di atas dasar-dasar pemikiran ideal.
11
Upaya hukum reparatoris transisional meneruskan dan menekankan “hak atas sesuatu” yang berupaya mengkoreksi
pelanggaran terhadap hak di masa lalu secara tepat supaya menyelimuti dan memelihara hak-hak itu secara simultan di masa depan. Sekali lagi, melalui proyek-proyek legislatif
yang luas, sering kali diperluas atau diamendemen oleh institusi judisial, negara yang sedang mengupayakan pembebasannya menerima suatu bentuk perbaikan yang sistemik
untuk pengingkaran masa lalu yang sistemik dari perlindungan hukum yang sama.
Dalam bentuk birokratiknya, dasar-dasar politis dan kolektif pengukuran transisional adalah yang paling diinginkan dan terbuka, hukum berada pada keadaan
transformatifnya yang paling radikal, dan batas-batas yang memisahkan kategori hukum menjadi paling kabur. Tindakan-tindakan regulatoris publik yang menguatkan asosiasi,
keanggotaan, dan partisipasi menghasilkan perubahan yang real dalam status, hak, dan kewajiban para warga dalam rezim yang baru dan, oleh karena itu, bisa memiliki
dampak yang radikal dan menyebar luas pada tatanan politik negara.
12
Untuk pastinya, keadilan administratif transisional mengandung bentuk-bentuk atau konsep hukum
konvensional, yang sekali lagi mendemonstrasikan kompromi transisional. Akan tetapi, dengan bersandar pada perilaku masa lalu sebagai basis bagi tindakan prospektif dalam
ranah publik, maka penilaian atau pengukuran ini menampilkan aspek punitif dari hukum pidana. Ketika hukum publik dikembangkan di atas dasar yang eksplisit dari
kondisionalitas politik, maka hukum tersebut secara kritis merespon warisan penganiayaan yang dilakukan di atas dasar-dasar klaim ideologis, yang secara radikal
membentuk ulang batas-batas legitimasi politik dan dengan demikian meredefinisi raut wajah kontur identitas politik yang berubah dari masyarakat suksesornya. Sebenarnya,
dalam pengembangan perilaku di masa depan berdasarkan pada klaim-klaim politis, berbagai pertimbangan atau penilaian ini juga tampak menjadi sangat konstitusional
sifatnya.
Konstitusionalisme transisional juga tidak mengikuti konsepsi ideal
13
tetapi ia bersifat hiperpolitisasi, yang menampilkan afinitas dengan respon-respn transisional
lainnya. Intuisi kita adalah untuk menggambarkan konstitusi yang membuatnya sebagai proyek yang seluruhnya melihat ke depan yang didesain untuk membentuk atau
mendirikan pemerintahan masa depan. Tetapi, konstitusionalisme transisional memiliki fungsi tambahan yang dirangkaikan dengan penggantian normatif, sebagaimana halnya,
pada saat yang bersamaan, ia mengarah ke belakang dan sekaligus ke depan, retrospektif dan sekaligus prospektif, dan berkesinambungan dan tidak berkesinambungan dengan
tatanan politik sebelumnya. Yang juga termasuk dalam wilayah hukum ini yaitu bahwa kontinum transformatif, yang merentang dari yang “kritis” ke yang “residual” dalam
kaitannya dengan dukungan atau kepatuhan terhadap status quo, merupakan bukti paling nyata. Konstitusi transisional yang membuat pencakupan tujuan-tujuan
11
Untuk diskusi lebih lanjut dan lebih dalam, lihat bab 4, “Keadilan Reparatoris”.
12
Lihat bab 5, “Keadilan Administratif”.
13
Lihat misalnya, Ackerman, Future of Liberal Revolution.
9
pengkodifikasian, tujuan-tujuan perlindungan, yang diasosiasikan dengan konstitusionalisme dan juga transformatif, tujuan-tujuan pembiaran yang unik pada masa
transisi. Dalam mengejar tujuan-tujuan ini, konstitusi transisional bisa secara keseluruhan bersifat sementara, yang dimaksudkan untuk beroperasi hanya untuk jangka
waktu tertentu selama adanya perubahan yang didorong itu, sebagaimana dicontohkan dalam Konstitusi sementara Afrika Selatan 1993, atau tujuan yang secara langsung
untuk konstruksi yang melindungi secara ketat, konstruksi yang tak bisa diganggu gugat dan diubah-ubah dari identitas politik yang permanen, sebagaimana dalam kasus
Grundgesetz
pasca-perang Jerman.
14
Afinitas paradigmatik yang didiskusikan di sini lahir di atas pertanyaan yang kembali mencuat dalam perdebatan yang mengitari keadilan transisional, yang
berkenaan dengan respon terhadap aturan represif yang paling tepat untuk ditempatkan dalam sistem demokratik yang permanen. Subteks dari pertanyaan ini mengandaikan
adanya ideal transisional dan bahwa permasalahan normatif agaknya mempengaruhi suatu respon kategoris tertentu. Akan tetapi, ini hanyalah sekadar sebuah pertanyaan
yang salah: Tak ada respon benar yang tunggal terhadap masa lalu yang represif dari sebuah negara. Respon mana yang tepat dalam berbagai rezim yang ada dalam konteks
transisi bersifat kontingen atau tergantung pada sejumlah faktor – warisan ketidakadilan masyarakat, kultur hukumnya, dan tradisi-tradisi politiknya – termasuk juga tergantung
pada eksigensi atau urgensi tuntutan-tuntutan politik transisionalnya. Sebenarnya, jauh melampaui ketergantungan respon-respon, muncul ketidakrelevanan yang umum dari
beberapanya yang bersifat khas yang kemudian diadopsi. Fluiditas atau keteraliran paradigmatik dari respon-respon hukum transisional menekankan karakter politik yang
semakin meningkat dari jurisprudensi ini.
15
Untuk fungsi hukum dalam periode-periode ini, sifatnya sangatlah simbolis, sehingga respon-respon berganda dan beragam bisa dan
sungguh-sungguh memediasi pergantian normatif. Mari kita sekarang mempertimbangkan secara lebih detail lagi bagaimana paradigma keadilan yang
didiskusikan di sini bersifat konstruktif terhadap pergantian atau pengalihan ini. Konstruktivisme Transisional
Bagaimana transisi dikonstruksikan? Apa peran hukum dalam proses perjalanan politik seperti itu? Pertanyaan tentang peran konstruktif hukum secara umum muncul dalam
konteks problem produksi sosial yang lebih konvensional dan transmisi norma-norma otoritatif melintasi waktu. Sesungguhnya, problem reproduksi institusional dan
pertanyaan-pertanyaan terkait soal legitimasi telah distudi dengan baik.
16
Akan tetapi,
14
Lihat Basic Law for the Federal Republic of Germany, Pasal 79 perlindungan terhadap gambaran demokratik yang utama bertentangan dengan provisionalitas atau kesementaraannya yang diperkirakan.
15
Bandingkan dengan Carl Smith, The Concept of the Political, terj. George Schwab, Chicago dan London: University of Chicago Press, 1996, 31 n12.
16
Lihat Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge
, New York: Anchor Books, 1966, 86. Lihat juga Paul Connerton, How Societies Remember
, New York: Cambridge University Press, 1989. Tentang konstruksi di dalam hukum, lihat
10
perubahan politik dan sosial yang mendasar melibatkan pergantian di dalam tatanan normatif yang mengekspresikan penteorisasian yang tidak lumrah, karena
penggeneralisasian sistem hukum yang mapan dan politik tidak menyentuh apa yang khusus dalam peran hukum pada periode-periode semacam itu.
17
Lebih dari sekadar bagaimana hukum membentuk suatu sistem yang mampu memproduksi norma-norma
pelegitimasian yang ada sekarang ini, problemnya itu sendiri adalah bagaimana norma- norma tersebut secara radikal ditransformasikan di dalam dan melalui hukum.
Watak paradigmatik hukum yang mencuat dalam masa-masa ini beroperasi dalam model yang luar biasa dan melahirkan suatu relasi yang konstruktif terhadap
transisi. Ia menstabilisasikan sekaligus men-de-stabilisasikan. Dalam keadaan-keadaan ini, gambaran distingtif hukum merupakan fungsi mediasinya, sebagaimana ia
mengukuhkan level ambang batas kontinuitas formal sembari mencontohkan diskontinuitas transformatif. Perluasan yang terhadapnya kontinuitas formal akan
dimantapkan sangat tergantung pada modalitas transformasi sebagaimana dipaparkan di atas, sembari muatan nilai pergantian normatif akan menjadi sebuah fungsi sejarah,
kultur, dan tradisi politik, termasuk juga keberterimaan masyarakat terhadap inovasi.
Apa sajakah yang dimiliki praktik-praktik hukum transisional secara umum? Hukum juga mengkonstruksikan sejumlah proses yang beraneka ragam, termasuk
legislasi, ajudikasi, dan pertimbangan-pertimbangan administratif. Tindakan operatif transisional mencakupi pengumuman penuntutan indictment dan keputusan verdict;
pernyataan soal amnesti, reparasi, dan pengampunan; dan pemberitahuan secara resmi soal konstitusi dan laporan, karena praktik-praktik transisional berbagai gambaran yang
dikenal sebagai cara untuk mendemonstrasikan secara publik pemahaman kolektif yang baru tentang kebenaran. Secara historis, proses-proses transisional, entah soal
penghukuman, lustrasi, atau penyelidikan, memiliki watak dan konsep yang serupa. Itu semua merupakan tindakan transisional yang diambil untuk berbagi pengetahuan publik
yang baru, untuk memanifestasikan perubahan.
18
Di sini hukum tampil memerankan fungsinya pada wilayah pinggiran, sebagaimana ia melakukan pemisahan dari rezim
terdahulu dan melakukan pengintegrasian dengan suksesornya. Hukum transisional memiliki suatu kualitas “liminal”, kualitas wilayah perbatasan antara dua hal
berseberangan, sebagaimana halnya hukum di antara dua rezim yang lama dan yang baru. Sebenarnya, analisis tentang praktik hukum yang cermat menganjurkan bahwa
keefektivitasannya yang tidak lumrah terdapat dalam kemampuan untuk mempengaruhi
Pierre Bourdieu, “The Force of Law: Towards a Sociology of the Juridical Field”, Hastings Law Journal 1987: 805, 814-840.
17
Lihat Otto Kirchheimer, Political Justice: The Use of Legal Procedure for Political Ends, Westport, Conn.: Greenwood Press, 1980.
18
Jadi, “penuntutan” prosecution secara historis merupakan bentuk “penyelidikan” investigation. Lihat edisi kedua, Oxford English Dictionary di bawah kata “prosecution” definisi 3. Hal yang sama berlaku
juga untuk “lustration”, yang menurut OED juga sejarah historis dipahami bermakna “to view” memandang atau “to survey” meninjau. Lihat OED, di bawah kata “lustration”.
11
fungsi pemisahan dan fungsi integrasi – yang semuanya berada di dalam proses yang kontinu.
19
Pada saat yang bersamaan, kedaulatan hukum transisional merupakan prosedur- prosedur yang tidak tampak adil atau menarik minat – kekurangan pengadilan dalam
penghukuman biasa, reparasi yang didasarkan pada kendali politik dan ambang batas dan sering kali hak milik temporal yang arbitrer secara legal, dan konstitusi yang tidak
perlu permanen. Apa yang mencirikan secara khusus respon hukum transisional adalah soal keterbatasnnya, sifatnya yang parsial, yang dihidupkan dalam konstitusi sementara
dan penghindaran hal-hal yang tak diinginkan, yang tergambar pada sanksi dan upaya reparasinya yang terbatas, dan yang tercermin dalam naratif historis dan ofisial resmi
yang terpatah-patah dan terbatas. Hukum transisional adalah di atas segala hal yang simbolis – suatu santifikasi pemurnian sekular dari ritual dan simbol proses politik.
20
Kendatipun bentuk-bentuk ritual tindakan operatif dan komunikasi sering dipikirkan untuk menggambarkan kekhasan karakteristik masyarakat primitif dan untuk
membuatnya memudar dalam era modern,
21
penyelidikan yang diambil di sini menganjurkan sebaliknya, yaitu menawarkan pemahaman yang komprehensif soal
fenomenologi proses politik dan mengundang perbandingan dan evaluasi terhadap hakikat dan peran ritus dan simbol yang dikandungnya.
22
Pola hukum pembuktian yang dipahami dalam bab-bab sebelumnya merangsang dan membentuk saluran politik,
kendatipun merupakan muara pertemuan dari tradisi historis, hukum, dan politik, di mana pola-pola tersebut bergantung.
23
Namun, apa yang membuat praktik-praktik transisional ini terpisah dari ritus dan ritual lainnya? Di atas apakah esensi
paradigmatiknya berdasar? Proses-proses hukum transisional merupakan pengarah seperti tindakan-tindakan
dalam masa transisi karena kemampuannya mengkomunikasikan perbedaan-perbedaan material secara publik dan otoritatif yang menetapkan pergantian normatif antara rezim
yang lama dan yang baru. Bahasa hukum menyisipkan suatu tatanan baru dengan
19
Tentang ritual perayaan, lihat Arnold van Gennep, The Rites of Passage, Chicago: University Press, 1960, yang aslinya dipublikasikan sebagai Les rites de passage, Paris: E. Nourry, 1909 untuk konsep
tentang proses ini dalam pengembangan individual; Victor W. Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Strucuter
, London: Routledge, 1969 yang mendiskusikan konsep “liminalitas” dan relevansinya dengan transformasi individual; Nichola Dirks, “Ritual and Resistence: Subversion as a Social Fact”,
dalam Nicholas Dirks, Geoff Eleyn, dan Sherry B. Ortner ed., CulturePowerHistory: A Reader in Contemporary Theory,
Princeton: Princeton University Press, 1944, 488. Tentang ritual secara umum, lihat Catherine M. Bell, Ritual Theory, Ritual Practice, New York: Oxford University Press, 1992.
20
Untuk pembahasan terkait lihat Murray J. Edelman, The Symbolic Uses of Politics, Urbana: University of Illinois Press, 1964; John Skorupski, Symbol and Theory: A Philosophical Study of Theories of Religion
in Social Anthropology , Cambridge dan New York: Cambridge University Press, 1976; Dan Sperber,
Rethinking Symbolism , Cambridge: Cambridge University Press, 1974.
21
Lihat Jürgen Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere, terj. Thomas Burger, Cambridge: MIT Press, 1974.
22
Lihat David I. Kertzer, Ritual, Politics, and Power, New Haven: Yale University Press, 1988. Lihat juga Sean Wilentz ed., Rites of Power: Symbolism, Ritual, and Politics Since the Middle Ages, Philadelphia:
University of Pennsylvania Press, 1985.
23
Tentang proses simbolik “evocation” [~ pemanggilan roh], lihat Sperber, Rethinking Symbolism, 143- 148.
12
legitimasi dan otoritas.
24
Dalam bentuk simboliknya, jurisprudensi transisional merekonstruksikan perbedaan politis relevan melalui perubahan dalam hal status,
keanggotaan, dan komunitas.
25
Melalui proses-proses ini, apa yang sedang dikonstruksikan adalah perbedaan politik relevan di dalam rezim yang tidak liberal dan
rezim yang liberal. Perbedaan kritis yang relevan akan menjadi sesuatu yang kontingen, termaknai, dan diakui sebagai hal yang legitim dalam pandangan warisan masa lalu
masyarakat suksesor yang kemudian muncul.
Dalam transformasi politik modern, adalah melalui praktik-praktik hukum bahwa masyarakat suksesor membuat perubahan politik liberalisasi, karena, dalam memediasi
kemandekan dan pergantian normatif yang menggambarkan karakter khas transisi, pengembalian kepada hukum mencakupi dimensi fungsional, konseptual, operatif, dan
simbolik yang penting. Sebagai suatu masalah permulaan, hukum mencontohkan atau menggambarkan respon rasional liberal terhadap penderitaan dan katastrofe atau
kemalangan: bahwasanya ada, bagaimanapun juga, sesuatu yang harus dibuat. Dalam masyarakat liberal, alih-alih meninggalkan pengulangan sejarah, harapan akan
perubahan diletakkan mengawang di udara. Bahkan dengan penautannya dengan perdebatan tentang keadilan transisional, masyarakat suksesor memberikan sinyal
pembayangan yang rasional tentang kemungkinan akan suatu tatanan politis yang lebih liberal.
Namun demikian, simbolisasi praktik-praktik hukum yang dibahas di sini mengedepankan sekaligus merangsang rasionalisme yang terdapat pada esensi
kedaulatan hukum yang liberal.
26
Dalam apa yang telah ditentukan secara khusus sebagaimana bentuk praktik-praktik ini yang dibatasi secara paradigmatik, maka
pengembalian kepada simbolisme hukum menawarkan alternatif kunci terhadap respon- respon yang keras dari retribusi dan pengganjaran dalam periode perubahan dan
kekacauan politik. Respon hukum transisional bersifat hati-hati dan sengaja, berdasarkan pertimbangan tertentu, dibatasi pada hal-hal tertentu, dan membatasi dirinya pada hal-
hal tertentu; dalam bentuk transisionalnya, proses-proses hukum yang diritualkan mendatangkan suatu perubahan yang gradual, perubahan yang terkontrol.
27
Pengembalian semata kepada proses hukum supaya meredefinisi status, hak, dan tanggung jawab dan untuk membuka kran pembatas kekuasaan negara adalah, sampai
pada tahap tertentu, suatu penerapan kedaulatan hukum yang dipadukan dengan sistem demokratik yang mapan. Itulah bentuk performatif dari tindakan-tindakan yang diambil
dalam negara yang liberal. Sebagaimana halnya dengan pertanyaan tentang keadilan
24
Lihat Edelman, Symbolic Uses of Politics.
25
Untuk pembahasan menyangkut semacam ritus tentang “institusi”, lihat Pierre Bourdieu, Language and Symbolic Power
, Cambridge: Harvard University Press, 1991.
26
Tentang “dimensi kognitif” lihat Lukes, “Political Ritual and Social Integration”, Sociology 9 1975: 289. Lihat Skorupski, Symbolic and Theory; Kertzer, Ritual, Politics, and Power; Sperber, Rethinking
Symbolism .
27
Lihat Judith Shklar, Legalism: Law, Morals, and Political Trials, Cambridge: Harvard University Press, 1986, dari perspektif teori politik.; Mary Duglas, Purity and Danger: Analysis of The Concepts of
Pollution and Taboo , London and New York: Ark Paperbacks, 1984, 96 – dari perspektif antropologis.
13
transisional adalah “dikerjakan melalui”, masyarakat mulai menjalankan tanda-tanda dan ritus dari suatu tatanan liberal yang sedang berfungsi.
Dalam hal ini, hukum transisional melampaui simbolik “semata” untuk menjadi pengarah ritus saluran politik modern. Tindakan-tindakan ritual mendatangkan adanya
saluran di antara dua tatanan di sini, dari rezim predesesor pendahulu dan rezim suksesor.
28
Dalam transisi kontemporer, yang dicirikan secara khusus oleh hakikatnya yang penuh kedamaian dan oleh kejadiannya yang selalu di dalam bingkai hukum,
proses-proses hukum menjalankan “pengenyahan” yang kritis, inversi predikat yang menjustifikasi rezim yang tengah berkuasa, melalui proses publik yang memproduksi
konstitutif pengetahuan kolektif dari pergantian normatif. Jadi, proses-proses hukum secara simultan mengingkari aspek ideologi rezim predesesor dan menjustifikasi
perubahan ideologis yang menetapkan transformasi yang membebaskan. Sembari dalam pemahaman yang sedang mengemuka, hubungan antara hukum dan politik dipandang
sebagai sesuatu yang terkandung dalam dukungan terhadap legalitas dan stabilitas konvensional, namun kedua hal tersebut legalitas dan stabilitas tidak dapat memediasi
pergantian normatif. Oleh karenanya, penekanan pada satu sisi terhadap fungsi stabilisasi hukum dalam periode ketidakstabilan adalah suatu kesalahan,
29
karena transisi memunculkan problem tentang bagaimana tatanan hukum – umumnya dipandang
sebagai sistem yang tertutup dan sah-dari-dirinya-sendiri
30
– memungkinkan perubahan normatif untuk dilakukan. Dari sini, teorisasi yang mengemuka sekarang ini sering kali
mengkonseptualisasikan transisi sebagai hal yang diprediksikan pada perubahan mendasar dalam aturan sebagaimana teorisasi menyangkut konstitusionalisme
transisional yang telah dibahas dalam bab 6. Namun, terkadang transisi terjadi tanpa perubahan meta-level semacam itu. Sebenarnya, tantangannya adalah bagaimana hukum
memantapkan dan sekaligus, pada waktu yang sama, melampaui gagasan konvensional tentang hukum sebagai gagasan yang stabil, bahkan “keras kepala”, untuk mengkonstruk
perubahan normatif.
Perubahan di dalam dan melalui sistem hukum bergantung pada suatu reinterpretasi terhadap justifikasi relevan yang menjadi dasar dari tatanan normatif yang
berlaku ataukah bergantung pada suatu pengembalian pada sumber independen dari norma-norma hukum alternatif. Alternatif pertama bersesuaian dengan suara familiar
praktisi hukum tentang apakah bersandar pada fakta ataukah bersandar pada hukum, sementara yang disebut kemudian itu – introduksi tentang sumber normatif otonom –
dipengaruhi melalui perubahan dalam pengakuan terhadap aturan yang berkenaan dengan sumber-sumber hukum yang valid.
31
Pertanyaan tentang institusi mana yang
28
Pierre Bourdieu, “Symbolic Power”, dalam Dennis Gleeson ed., Identity and Structure: Issues in the Sociology of Education,
Driffeld, Eng. Nafferton Books, 1977, 112-119; lihat Lukes, “Political Ritual”, 302-305.
29
Lihat Kirchheimer, Political Justice, 430 perjuangan tanpa keadilan politik hukum akan menjadi “kurang tertata”.
30
Lihat Gunther Teubner, Law as an Autopoietic System, Cambridge, Mass. Dan Oxford: Blackwell, 1993; Niklas Luhmann, “Law as a Social System”, 83 Northwestern Law Review83 1989; Niklas
Luhmann, Essay on Self-Reference, New York: Columbia University Press, 1990.
31
Lihat H.L.A. Hart, The Concept of Law, edisi kedua, Oxford-Clarendon Press 1994.
14
terbaik yang menyandarkan dirinya pada pemajuan perubahan normatif hukum telah menjadi subjek perdebatan substansial di dalam literatur transisi.
32
Namun, sebagaimana dianjurkan oleh bahasan kita dalam keseluruhan isi buku ini, tak ada
jawaban yang benar, karena hasil dari pilihan ini bersifat kontingen atau tergantung pada situasi-situasi politik soal kompetensi dan legitimasi yang menjembatani kedua rezim
yaitu rezim predesesor dan rezim suksesor. Sering kali, badan legislatif yang sebelumnya berada di bawah aturan yang menekan menjadi bersifat kompromis, yang
membuka jalan bagi pengadilan konstitusional yang diciptakan baru dan membuka jalan bagi para pelaku judisiari untuk menginkorporasikan norma-norma hak asasi manusia
internasional.
33
Pembalikan judisial kepada hukum hak asasi manusia internasional memungkinkan preservasi atau perlindungan dari masalah kontinuitas dan bahkan
penggerakan lebih lanjut suatu prospektivitas konstruktif, dengan cara menerima tujuan- tujuan transformasi dan perubahan-perubahan normatif di dalam sistem hukum yang
mapan. Kekuatan normatif yang signifikan dari hukum hak asasi manusia dalam masa- masa transisi mendapatkan dari potensinya yang luar biasa kemampuan untuk
memediasi bagian teoretis yang diperkirakan dari positivisme dan hukum kodrat, jadi yang melampau hubungan konvensional hukum terhadap politik.
Akan tetapi, yang lebih umum adalah perubahan normatif tanpa perubahan dalam aturan-aturan yang telah diakui, suatu strategi yang bergantung pada suatu reinterpretasi
terhadap dasar-dasar normatif yang merasionalisasikan definisi yang telah ada tentang status, hak, dan kewajiban. Proses-proses transformatif ini, hingga pada taraf tertentu,
biasanya memiliki latar belakang, yang memainkan suatu peran yang tengah berlangsung di dalam sistem hukum kita. Dalam kedaulatan hukum yang mapan,
perbedaan kategori hukum dan aturan berkaitan dengan standar yang beragam dari pengetahuan dan penalaran yang menjustifikasi definisi dan perubahan dalam status,
kewajiban, dan hak-hak di bawah hukum. Namun, sebagaiman telah kita lihat, paradigma transisional keluar dari prinsip epistemologis yang dipadukan dengan
kedaulatan hukum yang konvensional dengan menyusun tingkatan standar-standar pembuktian dan proses-proses penjustifikasian terhadap kategori-kategori hukum –
sebuah de-diferensiasi di dalam hukum.
34
Gambaran paradigmatik hukum transisional adalah bahwa hukum tersebut tampak jelas memajukan rekonstruksi pengetahuan
publik, yang memahami afinitas operatif dan kontinuitas yang membuat pemisahan dari, dan pengintegrasian dari, pengubahan identitas politik.
32
Lihat, msalnya, Ackerman, Future of Liberal Revolution. Untuk pambahasan di luar konteks transisional lihat Jeremy Waldron, “Dirty Little Secret”, Columbia Law Review 98 1998: 510, 518-522;
John Ely, Democracy and Distrust, A Theory of Judicial Review, Cambridge dan London: Harvard University Press, 1980.
33
Sumber yang terjadi kembali dari norma-norma luaran semacam itu adalah hukum hak asasi manusia internasional. Lihat, misalnya, Germany Constitutional Court Decision 24 Oktober, 1996, BverfGE,
A2.2 BVR 185194; 2BvR 185394; 2 BvR 187594; 2BvR 185294, dicetak ulang dalam Juristenzeitung 1977: 142.
34
Untuk poin terkait berkenaan dengan pergantian, lihat Jacques Derrida, “Force of Law: The Mystical Foundation of Authority”, Cardozo Law Review 11 1990: 919. Tentang de-diferensiasi ritual, lihat René
Girard, Violence and the Sacred, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1977, 300-301, 310-341.
15
Membangun suatu pengetahuan awal bersama yang berkenaan dengan warisan masa lalu merupakan suatu hal dari gaya bahasa atau gaya wicara dalam literatur dan
diskursus tentang transisi.
35
Akan tetapi, makna sebenarnya dari “kebenaran” dan hubungannya dengan transisi, analisis yang diambil di sini menganjurkan, tidak dibagi-
bagikan secara universal tetapi, alih-alih, bersifat kontingen dan dinamis. Proses-proses hukum transisional paradigmatik bersandar pada perubahan yang benar-benar terpisah
dalam pengetahuan publik yang relevan bagi tindakan transformatif operatifnya. Perbuahan dalam justifikasi publik yang dimiliki bersama yang mendasari pembuatan
keputusan politik dan perilaku mengungkapkan sentralitas dari inovasi interpretatif di dalam konstruksi transisi.
36
Apa yang relevan secara politik terhadap transformasi adalah ditentukan semata-mata oleh konteks transisional dan, khususnya, oleh warisan
penggantian dan suksesi terhadap rezim kebenaran predesesor. Proses-proses hukum menawarkan cara-cara yang mapan tentang mengubah
penalaran publik dalam tatanan politik, karena proses-proses itu sendiri didasarkan pada representasi otoritatif pengetahuan publik. Proses-proses hukum transisional dengan
demikian berkontribusi pada perubahan-perubahan epistemologis dan interpretatif publik yang turut memberi kontribusi pada diterimanya transformasi. Pada saat yang
bersamaan, proses-proses hukum transisional secara jelas dan energik mendemonstrasikan ketergantungan yang berkenaan dengan pengetahuan apa yang akan
memajukan konstruksi pergantian normatif yang menyokong perubahan rezim. Namun demikian, dalam hal yang diperiksa dan dibahas di sini, kekuatan normatif potensial dari
perubahan dalam pengetahuan publik bergantung pada tantangan-tantangan kritis terhadap penentuan kebijakan dan rasionalisasinya terhadap aturan predesesor. Oleh
karena itu, “kebenaran-kebenaran” apakah yang ada di dalam masa transisi sering kali merupakan hal yang khusus dan tersendiri dan tetap merupakan hal yang signifikansi
atau maknanya bersifat disproporsional. Sebagai contoh, identifikasi murni terhadap status korban sebagai seorang warga sipil dan bukannya sebagai seorang prajurit perang
atau kombatan bisa meruntuhkan sebuah rezim sekurang-kurangnya pada tataran normatif dengan melemahkan makna ideologis kunci dari keamanan nasional negara
yang bertanggung jawab terhadap penindasan masa lalu.
37
Sebenarnya, reinterpretasi itu sendiri memindahkan makna pada pemerintahan sebelumnya dan menawarkan sebuah
dasar yang baru bagi pemberlakuan kembali reinstatement kedaulatan hukum. Sebuah Teori tentang Keadilan Transisional
35
Lihat, misalnya, Timothy Garton Ash, “The Truth about Dictatorship”, New York Review Books, 19 February 1998, hlm. 35; Priscilla Hayner, “Fifteen Truth Commissions 1974-1994; A Comparative
Study”, Human Righst Quarterly 16 1994: 600.
36
Untuk pembahasan yang mengenalkan dan mencakupkan poin terkait berkenaan dengan hubungan kebenaran dengan kekuasaan politik, lihat Michel Foucault, PowerKnowledge: Selected Interviews and
Other Writings, 1972-1977, terj. Collin Gordon et al., New York: Pantheon Books, 1980, 109-133;
Charles Taylor, “Foucault on Freedom and Truth”, Political Theory12, No. 2 1984: 152-183.
37
Lihat, misalnya, Nunca Más.
16
Sebuah paradigma tentang jurisprudensi transisional secara khusus menggambarkan proses perubahan politik. Paradigma transisional yang dikemukakan di sini berupaya
mengklarifikasi relasi hukum dengan pengembangan politik dalam periode-periode perubahan yang radikal, sebagaimana proses-proses yang ditunjukkannya yang
mengembalikan suatu masyarakat ke keadaan semula berdasarkan basis konsep liberalisasi politik. Persoalannya, apakah pengadilan, konstitusi, reparasi, pengujian
administratif, penghukuman, atau penyelidikan historis, pertimbangan-pertimbangan hukum yang dikedepankan dalam periode-periode transisi politik merupakan hal yang
emblematik atau simbolik dari perubahan normatif; karena semuanya itu merupakan tindakan operatif yang mengarah pada pernyataan secara resmi dan publik tentang
pengakuan dan pengukuhan suatu tatanan politik yang baru.
Perspektif komparatif dan historis yang diadopsi di sini menganjurkan bahwa apa yang dipandang benar dan adil dalam masa-masa transisional bersifat kontingen secara
politis tetapi tidak dalam pengertian arbitrer. Kendatipun ada klaim para realis bahwa fenomenologi transisional tidak sekadar merupakan produk dari situasi politiknya yang
permanen, namun, sebaliknya, ia merupakan sebuah fungsi situasi politik kontemporer dan
warisan sejarah ketidakadilan. Jadi, konsep keadilan transisional yang dikembangkan di sini mengandung makna suatu rekonseptualisasi tentang teorisasi yang
berlangsung tentang hukum dan politik dan, juga, penekanan teori hukum kritis pada peran progresif untuk kedaulatan hukum yang sepenuhnya terjerat dalam politik.
38
Untuk kontribusi khusus dan khas dari hukum transisional terhadap konstruksi proses perubahan politik adalah bahwa konstruksi tersebut dibatasi oleh dan sekaligus
merupakan pelampauan politik. Sebagaimana hendak diprediksikan oleh sebuah teori kritis, hukum memainkan suatu prean konstruktif secara eksplisit, peran yang
diritualisasikan oleh penyusunan perubahan interpretatif yang diterima atau dipahami sebagai transisi politik. Akan tetapi, pencaplokan politis terhadap bahasa dan proses
keadilan menandakan simbol dan ritual perubahan yang legitim dan terukur. Kontribusi khusus hukum transisional terletak pada gabungan prosesnya yang diakui, proses yang
terukur terhadap legitimasi dan perubahan politik yang gradual.
Paradigma tentang jurisprudensi transisional yang sementara, yang dipolitisir secara berlebihan hyperpoliticized dihubungkan pada konsep tentang keadilan non-
ideal yang tidak sempurna imperfect dan tidak menyeluruh partial. Apa yang jujur dan adil dalam situasi politik yang tidak biasa ditentukan tidak dari suatu konsep
arkimedean yang ideal [mengikuti nama matematikawan kesohor dari Yunani, Archimedes] tetapi dari posisi transisional itu sendiri. Posisi menguntungkan ini
memiliki hasil-hasil tertentu yang untuknya prinsip-prinsip keadilan membimbing masa- masa perubahan politik. Apa yang dipandang jujur dan adil selama masa-masa inovasi
politik radikal tidak perlu sampai pada pertimbangan atau pemikiran di bawah kondisi ideal dan prosedur reguler.
39
Bahkan dalam masa-masa liberalisasi, proses-proses deliberatif pertimbangan dan perenungan sering kali dipotong, dan konsensus elektoral
38
Lihat Roberto Mangabeira Unger, Social Theory: Its Situation and Its Task, A Critical Introduction to Politics, a Work in Constructivist Social Theory
, Cambridge: Cambridge University Press, 1987.
39
Lihat Rawls, Political Liberalism teorisasi berkenaan dengan situasi-situasi non-transisional.
17
atau konstitusional yang mengatur pembuatan keputusan politik menjadi lemah dan berumur pendek. Ketika mengalami kekurangan dalam proses representatif yang utuh,
legitimasi demokratik dari keputusan transisional membuatnya tergantung pada proses persetujuan selanjutnya. Oleh karena itu, konsep keadilan transisional yang ditekankan
lebih lanjut di sini memiliki implikasi terhadap rekonseptualisasi teori pembangunan demokratik, seperti konstruksi hukum yang mencirikan secara khas masa-masa ini
secara gradual menggantikan hamparan pandangan politik dan serbuan kesepakatan mempengaruhi pemahaman politik selanjutnya.
Sebenarnya, dengan memodifikasi kondisi pembuatan keputusan dan konsensus, konstruksi hukum transisional melahirkan sedikit kesamaan terhadap teori demokrasi
yang diidealkan.
40
Imperatif diskontinuitas normatif sering kali mengalahkan perlindungan dari nilai-nilai lain dengan harapan bahwa apa pun yang keluar dari
legalitas konvensional, persyaratan ini akan membayar secara penuh dalam konsolidasi demokratik. Setiap upaya selalu mengandung risiko, seperti argumen untuk pembatasan
legalitas konvensional sering kali bersifat pratekstual alias mengelabui. Hanya dalam pusaran waktu sajalah akan tersingkap apakah, dan sampai pada tahap mana, kompromi-
kompromi transisional yang dibahas dalam buku ini dijustifikasi dalam konsolidasi demokrasi liberal.
Pembatasan otoritatif tentang apakah kejujuran dan keadilan dalam momen- momen transisi tidak terjadi dalam suatu ruang hampa melainkan dilesatkan menembus
layar belakang panggung warisan sejarah ketidakadilan. Pencarian keadilan ditempatkan dalam kondisi politik transisi. Dalam konteks inilah, makna sesungguhnya dari
kedaulatan hukum bersifat kontingen secara historis dan politis, dan muatannya dijejali dengan pemahaman-diri masyarakat tentang hakikat dan sumber pemaksaan dan
penindasan di masa lampaunya. Warisan ini merupakan semacam papan loncat springboard bagi imajinasi masyarakat tentang keadilan transisional. Melintasi aneka
kebudayaan, makna keadilan transisional disusupi dengan dimensi restoratif dan transformatif.
Dari perspektif ini, bahkan pengeluaran prosedural dari nilai-nilai internal dalam legalitas konvensional dan teori-teori keadilan dapat diperjelas. Jadi, sebagai contoh,
peradilan pidana transisional tidak dijustifikasikan dalam bahasa akuntabilitas individual dan retribusi tetapi, malahan, berisikan rasionalisasi politik yang eksplisit. Sama halnya
juga, reparasi transisional memperdamaikan tujuan-tujuan korektif ideal dengan sasaran- sasaran distributif atau sasaran lainnya yang berkaitan dengan urgensitas dari momen-
momen tersebut. Fenomena transisional mencerminkan suatu keseimbangan dan akomodasi teori-teori ideal hukum dan situasi-situasi politik transisi. Mengakui hal ini
membawa konsekuensi definisional yang signifikan yang mengizinkan suatu pemikiran positif yang lebih komprehensif dari periode-periode ini, termasuk juga evaluasi
normatif yang lebih menarik minat dan kritik tentang fenomenologi hukum transisional. Rekonsepsi yang dikedepankan di sini mencirikan secara khas hukum transisional
berkenaan dengan keadilan yang tidak sempurna imperfect dan tidak utuh-menyeluruh partial tetapi hukum yang tepatnya untuk alasan ini menyediakan ruang kritis
40
Lihat ibid.
18
berkaitan dengan situasi politik yang tidak biasa yang menentukan konteks keadilan dalam masa-masa tersebut. Ketersediaan kosa kata tentang jurisprudensi transisional dan
konsepsi tentang keadilan transisional bisa juga menerangi konsepsi tentang keadilan yang dipadukan dengan situasi-situasi non-transisional.
Keadilan Transisional dan Identitas Liberal Fenomena pencarian keadilan yang dibahas di sini terikat secara erat pada pembentukan
identitas politik liberal. Sebagaimana dianjurkan dalam bahasan kita pada bagian awal di depan, pembalikan kepada legalisme, kendatipun kontingen, adalah simbol khas dari
negara liberal, dengan keadilan transisional yang merekonstruksi identitas politik di atas basis juridis dengan menggunakan diskursus hak dan tanggung jawab. Lebih lanjut,
sembari muncul menjadi dukungan yang semakin memudar terhadap suatu kedaulatan hukum yang ideal dalam transisi, bagaimanapun juga dalam negara liberal itulah
terdapat pemahaman yang semakin meningkat secara intens terhadap kepentingan publik, yang merupakan bukti terhadap spektrum respon transisional paradigmatik,
termasuk pembuatan konstitusi, amnesti, rekonsiliasi, dan pemaafan.
41
Tujuan respon-respon ini terhadap visi tentang keadilan yang fragmentaris tetapi terbagi-bagi yaitu bahwa, di atas segalanya, perlu ada perbaikan atau upaya korektif.
Apa yang merupakan capaian paling tinggi adalah tuntutan yang visibel akan upaya perbaikan melalui hukum remedy, pengembalian, pemulihan menyeluruh, penyatuan
politik – suatu dorongan yang menyatupadukan nilai-nilai eksternal terhadap nilai-nilai dari teori ideal tentang keadilan. Sebagai contoh, konstitusionalisme transisional
memahami tidak hanya dengan berorientasi ke depan semata melainkan juga dengan menengok ke belakang dalam hal dimensi-dimensi remedial; ia beroperasi dalam pola
korektif, yang mengkonstruksikan suatu “pembalikan” normatif jika tidak disebut historis kepada identitas politik liberal suatu negara. Sama halnya juga, peradilan
pidana transisional berjalan jauh melampaui soal penghukuman terhadap pelaku individual untuk memenuhi tujuan-tujuan korektif prospektif suatu masyarakat. Sampai
pada taraf bahwa keadilan transisional berimplikasi pada pembalikan pada makna korektif, keadilan transisional itu menawarkan identitas suksesor alternatif yang berpusat
pada kesatuan politik. Keadilan transisional menawarkan sebuah cara untuk merekonstitusikan atau menetapkan ulang semangat kolektif – yang mengatasi
keterpilahan berdasarkan ras, etnis, dan agama – yang didasarkan pada identitas politik yang muncul dari warisan khas masyarakat akan kegentaran dan ketidakadilan. Sembari
hal ini perlu didasarkan pada pembangkitan pemahaman diri kritis, namun keadilan transisional berdiri tegak di atas diskursus juridis tentang hak dan tanggung jawab yang
menawarkan baik pandangan normatif transenden maupun suatu konsep aksi pragmatis.
Fenomena hukum transisional yang dibahas dalam keseluruhan buku ini menganjurkan bahwa makna kebebasan, keamanan, dan kedaulatan hukum berbeda-
beda antar-negara dan kultur, karena, dalam pencerminan respon-responnya terhadap
41
Lihat, misalnya, Ackerman, Future of Liberal Revolution
19
manifestasi khusus aturan yang represif, makna-makna tersebut juga mengindikasikan bahwa kedaulatan hukum mengandung arti sesuatu yang lebih dari sekadar aturan non-
arbitrer dan mendukung sesuatu yang reguler, umumnya prosedur-prosedur yang bisa diterapkan. Apa yang membedakan secara khas jurisprudensi transisional kontemporer
adalah bahwa konstruksi kedaulatan hukumnya merespon penganiayaan sistematik di bawah imprimatur legal atau pemegang kewenangan hukum. Yang mendasari fenomena
hukum transisional kontemporer adalah suatu konsepsi tentang ketidakadilan negara sebagai kebijakan penindasan yang sistematik. Ketika negara menindas dan menyiksa
secara sistematis para warganya berdasarkan perbedaan ras, etnis, agama, keyakinan politik, maka penganiayaan tersebut tidak semata suatu pengingkaran yang arbitrer
terhadap kedaulatan hukum. Oleh karena itu, hukum transisional kontemporer merespon jenis aturan khas ini, yaitu aturan yang menindas. Respon transisional terhadap
penganiayaan sistemik di bawah bendera hukum memperlihatkan secara nyata suatu penghancuran performatif terhadap perbuatan-perbuatan salah sebelumnya yang
dilakukan di dalam sistem hukum.
Respon-respon transisional, seperti pengadilan konstitusional yang baru,
42
konstitusi, dan berbagai pertimbangan dan langkah lainnya, membuktikan adanya penganiayaan politis yang menyemati paruh kedua abad kedua puluh.
43
Proses-proses hukum transisional dalam hal penyelidikan dirancang secara baik untuk menegakkan
pola-pola dan sistematika dalam kebijakan penganiayaan yang dilakukan negara; sesungguhnya, cakupan utuh dari kebijakan yang menindas dan menyengsarakan itu
hanyalah manifes dalam respon-respon hukum. Apakah penganiayaan semacam itu dilakukan di atas dasar pertimbangan rasial, etnisitas, nasionalitas, agama, atau ideologi,
hukum transisional mencerap dari dan memberi respon terhadap implikasi politik represi yang merupakan kebijakan negara.
44
Respon-respon transisional yang berulang-ulang yang mengarahkan perhatiannya pada penganiayaan sistemik berupaya menampik
hierarki askriptif yang terkait dengan rezim lama. Distingsi soal “temanmusuh” yang disepakati rezim legal, sebagaimana dibahas dan dianjurkan dalam keseluruhan isi buku
ini, merupakan wabah endemik yang tak bisa hilang dari rezim otoritarian. Respon- respon ini mendasari penampikan terhadap logika penganiayaan dari rezim lama dan,
dengan demikian, penolakan terhadap kekuasaannya.
45
Jurisprudensi transisional menyingkapkan basis bagi nilai-nilai demokrasi yang operatif di dalam masyarakat pada waktu perubahan politik.
46
Siklus keadilan
42
Lihat bab 6. Lihat juga Ruti Teitel, “Post-Communist Constitutionalism: A Transitional Perpective”, Columbia Human Rights Law Review
26 1994: 167.
43
Lihat Ruti Teitel, “Human Rights Genealogy”, Fordham Law Review 66 1967: 301
44
Tentang pandangan klasik, lihat Leo Strauss, On Tyranny, ed. Victor Gourevitch dan Michael S. Roth, edisi revisi, New York: Free Press, 1991.
45
Lihat Schmitt, The Concept of the Political, 26-29
46
Pandangan ini membagi-bagi beberapa afinitas tertentu dengan teorisasi politik Jürgen Habermas, Sheldon Wolin, Edmond Cahn, Judith Shklar, dan yang lainnya yang memberikan penekanan pada
liberalisme yang ditempatkan dalam warisan ketakutan dan ketidakadilan. Lihat Jürgen Habermas, “On the Public Use of History”, dalam The New Conservatism: Cultural Criticism and the Historians’ Debate,
ed. dan terj. Shierry Weber Nicholsen, Cambridge: MIT Press, 1989, 229-240; Judith Shklar, “The Liberalism of Fear”, dalam Nancy L. Rosenblum ed., Liberalism and The Moral Life, Cambridge:
20
transisional mengilustrasikan suatu kaitan antara fenomena hukum ini dan konstruksi liberalisasi. Secara historis, dalam transisi dari bentuk monarkis ke rezim republikan,
ritual yang paling kentara dari proses perubahan politik adalah pengadilan raja-raja – suatu ritual yang menyimbolkan penundukkan raja terhadap keinginan rakyat dan
menandakan agungnya kedaulatan rakyat.
47
Keadilan suksesor abad kedua-puluh merekonstrusikan lebih lanjut relasi individual dengan negara: jadi, prinsip-prinsip
generatif pengadilan Nuremberg pasca-perang tentang tanggung jawab individual menekankan peran individual sebagai subjek hukum internasional yang berdaulat. Hal
yang sama adalah benar juga menyangkut perubahan konstitusional dari masa di mana hak-hak individual terlindungi.
48
Dalam fenomena transisional kontemporer, visi demokratik pasca-perang sekarang ini sedang dalam proses digantikan dengan pemahaman yang lebih kompleks
dan mengalir tentang kedaulatan dan tanggung jawab yang menengahi antara makhluk individual maupun kolektif, tatanan nasional dan internasional. Relasi dinamis yang
meningkat antara individu dan negara dalam kawasan publik global yang berubah cepat mempengaruhi pemahaman personal dan tanggung jawab kolektif, yang dengan
demikian membawa perubahan terkait dalam konsepsi tentang demokrasi. Di sanalah terkandung ekspansi tanggung jawab individual dan tanggung jawab negara sebagai
sebuah masalah teoretis dan, dengan demikian, berganti dalam posisi kewenangan dan agensi, dengan hukum transisional yang memediasi pilahan individualkolektif untuk
mencapai tindakan privat secara murah meriah yang bertentangan dengan dasar-dasar pertimbangan diambilnya kebijakan negara.
49
Jurisdiksi hukum yang diperluas dan perubahan dalam kedaulatan membantu mengkonstruk pergantian otoritatif yang menetapkan transisi politik. Tetapi perubahan
semacam itu sering kali juga menempatkan kedaulatan, jurisdiksi, dan tanggung jawab itu sendiri dalam perubahan yang tiada henti, yang bergantung pada karakter perilaku
negara, sebagai contoh, kepatuhannya terhadap atau pengingkarannya dari kewajiban di bawah hukum internasional. Tanpa mempedulikan liabilitas atau tanggung jawab hukum
yang diperluas sebagai masalah teoretis, penerapan prinsip-prinsip ini bersifat jarang dan umumnya dibatasi pada kasus-kasus yang melibatkan prinsip-prinsip pembatasan
tambahan, seperti sebuah pola yang ditunjukkan dari penganiayaan.
50
Namun demikian, dengan mereinterpretasikan kewajiban negara terhadap warganya melalui pergantian
kritis terhadap kedaulatan dan jurisdiksi, praktik-praktik transisional kontemporer secara
Harvard University Press, 1989, 21; Edmond N. Cahn, The Sense of Injustice: An Anthropocentric View of Law
, New York: New York University Press, 1949.
47
Lihat Michael Walzer, Regicide and Revolution, terj. Marian Rothstein, New York: Columbia University Press, 1974 yang membahas soal pengadilan terhadap Louis XVI.
48
Lihat Louis Henkin, The Age of Rights, New York: Columbia University Press,1990.
49
Lihat Prosecutor v Tadi ć, Kasus No. IT-94-I-AR72, Keputusan berdasarkan Mosi Pembela Pihak
Terdakwa untuk Banding Interlokutoris yang dikeluarkan dan berkekuatan hukum sementara tentang Jurisdiksi Sidang Banding, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia
50
Untuk pembahasan tentang pengaruh globalisasi terhadap penyebaban dan agensi, lihat Samuel Sheffler, “Individual Responsibility in a Global Age”, dalam Ellen Frankel Paul, Fred D. Miller, dan Jeffrey Paul
ed., Contemporary Political and Social Philosphy, Cambridge: Cambridge University Press, 1995.
21
potensial meningkatkan energi jaminan hak asasi manusia yang ditampilkan pertama kali secara samar-samar dalam era pasca-perang.
51
Rekonseptualisasi gagasan-gagasan utama yang berkenaan dengan relasi di antara individu dan negara memegang hasil-hasil penting bagi pemahaman akan diri
juga. Dalam pemajuan jurisprudensi transisional tentang pergantian normatif, peran hukum sering kali secara umum bersifat simbolik. Namun, pada tataran operatif,
keadilan transisional mempengaruhi individu: Apakah melalui proses-proses pengadilan, reparasi, konstitusi, administratif, atau melalui langkah-langkah lainnya, legalitas
transisional merekonstruksikan aturan dan syarat-syarat keanggotaan politis, representasi, dan partisipasi yang adalah hal yang mendasar bagi tempat individu dalam
komunitas. Liberalisasi perubahan normatif bergantung pada redefinisi pemahaman status individual, hak, dan kewajiban, juga pembatasan parameter kekuasaan negara.
Efek permulaan dari tindakan pencarian-keadilan rezim suksesor terdapat pada level tindakan individual, yang pada gilirannya menggantikan identitas politik negara dan
sekurang-kurangnya secara potensial merancang suatu pemahaman liberal yang baru.
Pengaruh fenomena keadilan transisional terhadap pembangunan identitas politik negara dalam masa-masa disturbansi yang penuh gejolak perubahan membangkitkan
sebuah pertanyaan terkait yang berkenaan dengan masa transisional versus masa non- transisional. Kenyataannya, pertanyaan soal hubungan keadilan transisional dengan
masa-masa biasa memiliki dua dimensi. Dimensi pertama adalah pertanyaan yang dengannya buku ini mulai ditulis: Sampai pada tahap manakah teori-teori ideal tentang
keadilan relevan dengan masa-masa transisi? Buku ini menjawab bahwa teori ideal semata-mata bukanlah tongkat pengukur yang relevan yang dengannya kita bisa
menimbang-nimbang tindakan hukum dalam masa-masa transisi tersebut. Perspektif komparatif dan historis yang dikedepankan di sini menuntut suatu pemahaman akan
keadilan non-ideal, keadilan yang “dikompromikan” yang secara bersamaan diwarnai oleh dan sekaligus mengukuhkan kondisi-kondisi yang di bawahnyalah keadilan seperti
itu dipilih.
Pengakuan terhadap konsep keadilan ini memiliki hasil-hasil tertentu bagi dimensi kedua pertanyaan kita: Sampai pada tahap manakah semestinya keadilan
transisional itu dimanfaatkan pada masa-masa biasa? Fenomena yang diperiksa di sini terjadi secara umum di bawah rezim suksesor pertama pasca-penindasan, yang respon-
responnya dinyatakan secara temporal juga dengan modalitas perubahan transformatif yang telah dibahas di atas. Menjadi perlulah untuk membuka pagar periode transisi yang
dikonstruksikan dengan tindakan paradigmatik jurisprudensi yang berlaku sebagai ritual proses perubahan politik. Namun, tanpa mempedulikan lorong waktu, kejadian-kejadian
yang menyela, perubahan politik, problem keadilan transisional, ketika semuanya itu ditinggalkan tanpa terpecahkan, tidak begitu saja menghilang.
52
Pencarian keadilan transisional tetap berlangsung, tidak bisa mengikuti pemahaman konvensional yang
51
Lihat, misalnya, Velásquez-Rodriíguez Compensation Judgement, Inter-Am. Ct. H.R., Ser. C, No. 4 1989.
52
Tentang pentingnya soal waktu, lihat Jeremy Waldron, “Superseding Historic Injusticeaa”, Ethics 103 1992: 4.
22
berkenaan dengan respon-respon terhadap kesalahan-kesalahan, yang umumnya dipikirkan mengabur bersamaan dengan berlalunya waktu. Bertahannya problem-
problem hak dan asumsi-asumsi suksesor tentang kewajiban terhadap pengingkaran masa lalu dari kedaulatan hukum sering kali – tak peduli adanya selang waktu –
mengaburkan pemahaman yang di dalamnya tindakan-tindakan ini merupakan subjek- subjek yang sangat dihargai bagi keadilan transisional. Namun, ketahanan klaim-klaim
tersebut selama jangka waktu yang lama, yaitu klaim tentang kesalahan masa lalu, sekali lagi mengungkapkan independensi pertanyaan-pertanyaan ini dari penantian biasa
terhadap perubahan-perubahan dalam kekuasaan politik. Keadilan transisional menganjurkan bahwa asumsi tanggung jawab negara yang tengah dibebankan sekarang
ini bagi klaim yang dikaitkan dengan masa lalu dijalankan secara bersama-sama dengan identitas politik yang stabil, yaitu, merealisasikan lebih dari sekadar keadilan parsial
sering kali menantikan proses berlalunya waktu.
53
Kendatipun ketahanan dari klaim yang berkaitan dengan masa lalu juga memunculkan konflik yang potensial,
kemungkinan memposisikan klaim-klaim tradisionalis berseberangan dengan yang lain merupakan nilai-nilai liberal yang lebih berorientasi ke depan.
Akan tetapi, penyelimutan atau perlindungan terhadap identitas, memegang suatu tuntutan normatif dan juga tuntutan fungsional yang tak bisa disepelekan; bagaimanapun
juga, indentitas politik-lah yang menekankan kemungkinan kesatuan dan keadilan korektif – suatu visi penebusan. Sama halnya juga, keadilan transisional menawarkan
suatu cara yang terkontrol untuk melakukan pembaruan, cara yang lebih bisa terukur daripada perubahan-perubahan yang dituntun sendirian berdasarkan sumber-sumber
normatif lain, seperti tuntunan moral.
54
Sebenarnya, resolusi transisional muncul mengatasi atau mencakupi, sekurang-kurangnya untuk sementara, nilai-nilai transenden
yang warnai aspek norma hak asasi manusia yang mampu memediasi batas-batas politik transisional.
55
Kendati jurisprudensi transisional menduduki paradigma yang bisa dikenal, jurisprudensi itulah yang ada dengan afinitasnya terhadap hukum dalam situasi-situasi
non-transisional. Sebenarnya, seseorang bisa saja memikirkan jurisprudensi transisional sebagai pencontohan yang lebih baik yang menghidupkan konflik dan sebaliknya
mengkompromikan sesuatu yang laten di dalam hukum dan, khususnya, menerangi hubungan hukum dengan politik. Satu tempat yang dilihat di sini terdapat dalam
hubungan antara jurisprudensi transisional dan hukum hak asasi manusia, karena terbukti bahwa pemberlakuan paling tegas hukum hak asasi manusia terjadi dalam
periode-periode transisional. Kendati norma-norma hak asasi manusia secara umum
53
Lihat secara umum Ronald Dworkin, Law’s Empire, Cambridge: Belknap Press, 1986, 168-169.
54
Lihat juga Jürgen Habermas, “Kant’s Idea of Perpetual Peace with the Benefit of Two Hundred Years’ Hindsight”, dalam James Bohman dan Matthias Lutz-Bachmann eds., Perpetual Peace, Essay on Kant’s
Cosmopolitan Ideal, Cambridge dan London: MIT Press, 1997.
55
Lihat Theodor Meron, “War Crimes Law Comes of Age”, American Journal of International Law 92 1998; 462; Theodor Meron, Human Rights and Humanitarian Norms as Customary Law, Oxford:
Clarendon Press; New York: Oxford University Press, 1989, 10-25 yang membahas soal konvergensi dalam definisi normatif. Lihat secara umum 1998 Yearbook of International Humanitarian Law, The
Hague: T.M.C. Asser Press, 1998-1958.
23
dikodifikasi, penerapannya pada umumnya terjadi dalam masa-masa transisional, ketika ada kesiapan yang lebih besar terhadap percobaan dengan skema normatif alternatif.
Sebuah contoh adalah tribunal ad hoc terhadap kejahatan perang yang didirikan untuk menuntut pelanggaran hak asasi manusia selama konflik Bosnia dan Rwanda
terjadi. Sementara pelaksanaan keadilan secara utuh adalah tidak mungkin, namun bagaimanapun juga bentuk simbolik paradigmatik ini menjalankan atau memerankan
fungsi biasa dari pengungkapan pergantian dalam posisi otoritas dalam masa transisi. Lebih jauh, pada tingkat minimumnya, respon-respon dalam periode ini yang
menekankan pemeliharaan rekaman menyokong kemungkinan keadilan yang lebih menyeluruh di masa depan. Namun demikian, akomodasi dan penentuan tempo ini
seharusnya tidak dibingungkan dengan keadilan ideal. Respon-respon transisional mestinya tidak digeneralisasikan sebagai standar-standar hak asasi manusia tentang
bagaimana merespon kekerasan, baik yang sedang berlangsung sekarang dalam masa transisi ataukah terjadi di masa lalu. Bagaimanapun, normalisasi terhadap respon-
respon transisional akan kehilangan satu hal, yaitu pesan transformatif inti: keyakinan dalam kemungkinan manusia untuk mencegah pengulangan tragedi masa lalu dalam
negara yang sedang menjalankan proses liberalisasinya. Sebenarnya, kekuatan-kekuatan normatif hukum hak asasi manusia adalah semacam kekuatan yang memampukan
transformasi berjalan terus bahkan dalam situasi-situasi non-transisional sekalipun.
Mendorong dan terus mempertahankan identitas transisional yang dipegang kukuh menghadapi dua risiko lanjutan. Yang pertama berkaitan dengan cakupan sampai
di mana transisi itu muncul sebagai yang merasionalisasi atau memahami masa lalu terlalu banyak dan terlalu jauh. Hermeneutik transisional yang paling mendasar adalah
pengetahuan-diri yang historisis yang tersedia hanya secara ex post [setelah kejadian berlangsung, jadi pengetahuan yang didapatkan setelah suatu kejadian terjadi dan
dicermati], dan bahayanya adalah bahwa hermeneutik ini bisa diperlemah jika kesalahan masa lalu sepertinya dibenarkan atau dijustifikasi oleh kemajuan yang terjadi kemudian
yaitu kemajuan yang mengarah pada liberalisasi. Kedua, pencarian negara transisional untuk kesatuan bisa begitu mudah sekali menjadi premis bagi rumusan yang secara
inheren tidak stabil yang diperlakukan entah sebagai mitos atau entah sebagai visi normatif yang tak terrengkuh. Dalam kedua hal tersebut, risikonya adalah bahwa asumsi
negara tentang identitas politik yang didasarkan pada kesatuan mungkin melemahkan kemungkinan perubahan politik. Perlindungan statis semacam itu terhadap identitas
sangatlah tidak liberal. Sebaliknya, sosok liberal menekankan perlunya pemenuhan “gizi” bagi – dan dengan demikian mempertahankan – modalitas transisional sebagai
suatu ruang kritis di antara hal yang bersifat praktis-praksis dan redemptif atau bermakna penebusan dalam imajinasi politik.
1
Epilog: Keadilan Transisional dan Normalisasinya – Fin de Siècle
Pikirkanlah sampai pada tahap apa diskursus yang berulang-ulang selama tahun-tahun terakhir dari abad kedua-puluh adalah satu dari keadilan transisional. Ada tugas yang
persisten atau lestari menyangkut apologi atau pemaafan, reparasi atau pemulihan, memoir atau kisah sejarah individu dan kolektif, dan semua cara pertanggungjawaban
berkenaan dengan penderitaan dan kejahatan masa lampau. Contoh-contoh banyak berkisar seputar penanganan terhadap kontroversi-kontroversi berkenaan dengan Perang
Dunia II, kehilangan rekening bank, restitusi atas harta milik, reparasi terhadap buruh- budak, pengembalian objek-objek yang sebelumnya telah dirampas. Barangkali contoh
yang paling jelas untuk normalisasi jurisprudensi transisional adalah dimasukkannya pengadilan atau tribunal militer internasional pasca-perang ke dalam usulan pengadilan
pidana internasional ICC – Intenational Criminal Court, sebuah institusi internasional baru di penghujung abad kedua-puluh. Di sini tampak jelas sekali diskursus yang
berkembang dan meluas, yang sebelumnya tak pernah ada, menyangkut klaim-klaim hak dan pertanggungjawaban.
Keberpulangan kepada ritual-ritual yang dipadukan dengan perubahan politik yang dibahas dalam buku ini terjadi pada waktu periodisasi dimensi sentenial ratusan
tahun dan milenial ribuan tahun. Keberpulangan kepada ritual-ritual ini dalam konteks meta-transisi memunculkan suatu upaya pervasif atau meluas untuk mengkonstruk kiat-
kiat atau cara-cara kolektif. Dalam momen kontemporer sekarang ini, ritual sosial dari kiat atau cara tersebut muncul tidak untuk diasalkan pada atau diambil dari agama tetapi
dari hukum. Ini merupakan ritus sekular dan simbol perayaan, meramalkan bukannya apokalipse atau wahyu juga bukan soal mesianisme atau penyelamatan, melainkan
tentang apa yang muncul menjadi konsepsi transisional paradigmatik: tentang perubahan yang terbatas.
Urgensitas jurisprudensi transisional adalah bahwa ia menawarkan penutupan terhadap apa yang dibawa oleh perayaan tersebut. Tetapi selalu
demikianlah harga yang harus dibayarnya. Setiap tindakan transisi berimplikasi pada resolusi yang ambivalen. Ritus-ritus liberal ini melaksanakan perayaan politik dengan
mengkonstruksikan diskontinuitas dan kontinuitas, destruksi dan reproduksi, disapropriasi dan reapropriasi pelepasan harta orang lain dan perampasan kembali harta
orang lain, disavowal dan avowal penolakan dan persetujuan. Ritual-ritual ini mencoba menyingkirkan ke masa lalu semua hal terburuk dari abad ini, sembari juga
mengusulkan suatu narasi bersama yang bisa diterapkan untuk masa depan. Dengan praktik-praktik ini, sebuah garis ditarik untuk membuat demarkasi atau batas parameter
dari memori kolektif masa lalu itu untuk dipelihara: apa yang harus diingat dan apa yang ditekan atau dipendam; apa yang perlu ditinggalkan dan apa yang perlu divalidasi atau
diperkuat kembali; apa yang perlu dan tidak bisa tidak diberi perhatian besar dan apa yang akan tetap dipertentangkan. Pembaruan dimungkinkan dengan membiarkan pergi
segala kisah ketidakadilan historis abad yang telah lalu itu dan bergerak dari suatu
2
pluralitas identitas politik yang bertentangan ke suatu narasi yang berlaku umum. Pada dasarnya, praktik-praktik transisional memiliki karakter ambivalen, tempat praktik-
praktik ini dalam perubahan politik terdapat dalam upaya penyatuan; tetapi, masih saja ada yang lolos.
Keadilan transisional bersifat parsial dan terbatas. Sumber terhadap penyelesaian semacam itu mengandaikan adanya kompromi; potensialitasnya tergelar dalam
kemampuannya untuk menetapkan kembali atau menegakkan kembali suatu komunitas. Sumber bagi keadilan transisional memiliki karakter politiknya yang khas – yaitu
konsensus yang dipaksakan dan suatu penghindaran pertimbangan soal individualisme yang mengkarakterisasikan konstitusionalisme modern – sembari bentuk-bentuk
transisional berkompromi dengan simbol-simbol kecil dari kebiasaan suatu aturan hukum negara.
Praktik-praktik ini mengungkapkan suatu rangkaian konsep dan gagasan yang unik dan tak biasa terhadap momen kontemporer sekarang ini. Inilah keberpulangan
kepada jurisprudensi transisional, bukan soal proyek mendasar yang besar untuk melakukan reformasi melainkan soal penilaian terhadap situasi yang serius, bukan
sekadar soal pemodernisasian keyakinan dalam hal kemajuan moral dari masa-masa awal abad kedua-puluh melainkan juga bukan suatu konservatisme yang sia-sia atau
dekadensi yang fin de siècle. Kompromi politik pastinya merupakan suatu tanda perenial atau tanda abadi tentang demokrasi yang senantiasa hidup; tetapi pikirkanlah
signifikansi normalisasi dari paradigma ini dalam dan melalui hukum. Konsep contoh yang paling penting dari perubahan terbatas ini utamanya mengedepankan kesadaran diri
tentang kekuatan konstruktif hukum dan tentang faktor-faktor pembatasnya. Di penghujung abad berdarah ini, apa yang tampak paradigmatik adalah respons terhadap
bencana politik: keadilan sebagai yang bersifat politis, hukum tanpa ilusi, namun yang senantiasa menyuburkan tumbuhan harapan yang kecil tetapi semakin membesar.
1
Catatan
Pengantar
1. Lihat Ruti Teitel, “How Are the New Democracies of the Southern Cone Dealing with the Legacy of Past Human Rights Abuses?” makalah yang disiapkan untuk Council on Foreign Relations New York,
N.Y., 17 Mei, 1990.
Pendahuluan
1. Karya-karya selain studi kasus atau pendekatan regional sering kali terbatas pada momen historis tertentu. Lihat misalnya John Herz ed., From Dictatorship to Democracy: Coping with the Legacies of
Authoritarianism and Totalitarianism, Westport, Conn: Greenwood Press, 1982 berfokus pada masa pascaperang. Untuk pembahasan klasik tentang masalah keadilan politis, lihat Otto Kircheimer, Political
Justice: The Use of Legal Procedure for Political Ends, Westport, Conn: Greenwood Press, 1980.
2. Lihat Bruce A. Ackerman, The Future of Liberal Revolution, New Haven: Yale University Press, 1992; Carlos Santiago Nino, Radical Evil on Trial, New Haven: Yale University Press, 1996; John Herz, “An
Historical Perspective”, dalam Alice H. Henkin ed., State Crimes: Punishmentor Pardon, Queenstown, Md: Aspen Institute, 1998. Untuk pendekatan komparatif, lihat esai-esai dalam Guillermo O Donnel et al.
eds., Transitions from Authoritarian Rule: Comparative Perpectives, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986. Lihat juga Juan J. Linz dan Alfred Stepan, Problems of Communist Euripe,
Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1996 mengeksplorasi proses-proses transisi dan konsolidasi dari perspektif komparatif. Lihat misalnya Jaime Malamud-Goti, “Transitional Governments in the
Breach: Why Punish State Criminals?” Human Rights Quarterly 12, No. 1 1990: 1-16.
3. Charles R. Beitz, Political Theory and International Relations, Princeton: Princeton University Press, 1979, 15-66; R. B. J. Walker, InsideOutside: International Relations as Political Theory, Cambridge:
Cambridge University Press, 1993, 123-24. Untuk ringkasan tentang pandangan realis dalam teori internasional, lihat John H. Herz, Political Realism and Political Idealism, Chicago: Chicago University
Press, 1951; Martin Wight, International Theory: The Three Traditions, London: Leicester University Press untuk Royal Institute of International Affairs, 1990; J. Ann Tickner, “Hans Morgenthau’s Principles:
A Feminist Reformulation”, dalam James Der Derian ed., International Theory: Critical Investigations, New York: New York University Press, 1995, 53, 55-57.
4. Lihat umumnya Linz dan Stepan, Problems of Democratic Transition and Consolidation; O’Donnel et al., eds., Transitions from Authoritarian Rule kumpulan esai yang umumnya berpendekatan regional.
Lihat juga Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratizaton in the Late Twentieth Century, Norman: University of Oklahoma Press, 1991, 215; Stephan Holmes, “The End of Decommunization”,
East European Constitutional Review 3 musim gugur 1994, 33.
5. Untuk argument serupa, lihat Huntington, Third Wave, 231. 6. Lihat Ackerman, Future of Liberal Revolution, 69-73; E. B. F. Midgley, The Natural Law Tradition and
the Theory of International Relations, New York: Barnes Noble Books, 1975, 219-31, 350-51. 7. Anne-Marie Slaughter, “International Law and International Relations Theory: A Dual Agenda”,
American Journal of International Law 87 1993, 205. Tradisi Liberal dalam Jurisprudensi melatarbelakangi pendekatan tersebut.
8. Ekspresi paradigmatik tentang pandangan teori liberal tentang hukum dan politik dapat ditemukan dalam John Rawls, Political Liberalism, New York: Columbia University Press, 1993, dan John Rawls,
“The Domain of the Political and Overlapping Consensus”, New York University Law Review 64 1989,
2 233. Tentang kaitan antara teori tentang hak dan demokrasi, lihat Jeremy Waldron ed., Theories of
Rights, Oxford: Oxford University Press, 1984. Lihat juga Ronald Dworkin, Law’s Empire, Cambridge: Harvard University Press, 1986; Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously, Cambridge: Harvard
University Press, 1977.
9. Kumpulan penting esai-esai studi hukum kritis mencakup James Boyle, Critical Legal Studies, New York: New York University Press, 1992, dan David Kairys, The Politics of Law: A Progressive Critique,
New York: Pantheon Books, 1990. Lihat juga Mark Kelman, A Guide to Critical Legal Studies, Cambridge: Harvard University Press, 1986; James Boyle, “The Politics of Reason: Critical Legal Theory
and Local Social Thought”, University of Pensylvania Law Review 133 1985, 685 membicarakan realisme legal, teori linguistik dan teori Marxis. Untuk tinjauan kritis tentang isu legal internasional, lihat
Nigel Purvis, “Critical Legal Studies in Public International Law, World Order, and Critical Legal Studies”, Stanford Law Review 42 1990: 81. Untuk analisis kritis tentang jurisprudensi Amerika, lihat
Mark Tushnet, Red, White, and Blue, Cambridge: Harvard University Press, 1988.
10. Lihat Ackerman, Future of Liberal Revolution, 11-14; Hannah Arendt, On Revolution, New York: Viking Press, 1965, 139-78.
11. Lihat Guillermo O’Donnell dan Philippe C. Schmitter, Transitions from Authoritarian Rule: Tentative Conclusions about Uncertain Democracies, Baltimore: Johns Hopkins University Press, 1986, 6
mendefinisikan transisi sebagai interval antara satu rezim politik dengan rezim politik lainnya; Juan J. Linz, “Totalitarian and Authoritarian Regimes”, dalam Fred I. Greenstein dan Nelson W. Polsby eds.,
Handbook of Political Science: Macropolitical Theory, Reading, Mass: Addison-Wesley, 1975, Vol. III, 182-83. Untuk pandangan klasik tentang hal ini, lihat Robert Dahl, Polyarchy, New Haven: Yale
University Press, 1971, 20-32, 74-80. Lihat juga Huntington, Third Wave, 7-8, Richard Gunther, et al., “O’Donnel’s ‘Illusions’: A Rejoinder”, Journal of Democracy 7, No.4 1996, 151-53.
12. Lihat Huntington, Third Wave, 7. 13. Untuk kritik terhadap pandangan teleologis ini, lihat Guillermo O’Donnell, “Illusions and Conceptual
Flaws”, Journal of Democracy 7, No. 4 1996, 160, 163-64, dan Guillermo O’Donnell, “Illusions about Consolidation”, Journal of Democracy 7, No.2 1996, 34.
14. Lihat umumnya Hertz, From Dictatorship to Democracy. 15. Observasi ini memiliki implikasi terhadap perdebatan-perdebatan tertentu dalam ilmu politik dan
konstitusionalisme dan mungkin memiliki afinitas dengan perdebatan jurisprudensial tentang apa yang memberikan otoritas bagi hukum. Lihat Joseph Rae, The Authority of Law: Essays on Law and Morality,
New York: Oxford University Press, 1979, 214.
16. Yang dimaksud dengan “format legal” adalah prinsip, norma, ide, aturan, praktik dan juga badan- badan legislatif, administratif, ajudikasi dan penegakannya. Lihat Sally Falk Moore, Law as Process: An
Anthropological Approach, Boston: Routledge, 1978, 54. Tentang signifikansi format legal, lihat Isaac D. Balbus, “Commodity Form and Legal Form: An Essay on the ‘Relative Autonomy’ of the Law”, Law and
Society Review 11 1977, 571-71.
17. Untuk pengantar pendekatan konstruktivistik, lihat Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, New York: Anchor Books, Doubleday,
1966, 19 menjelaskan pendekatan dari perspektif sosiologi. Tentang konstruktivisme dalam hukum, lihat Pierre Bourdieu, “The Force of Law: Toward a Sociology of the Juridical Field”, Hastings Law Journal 38
1987, 805, 814-40. Lihat juga Roberto Mangabeira Unger, False Necessity – Anti Necessitarian Social Theory in the Service of Radical Democracy, New York: Cambridge University Press: 1987, 246-52
menganalisis respon legal dan institusional dalam “perubahan konteks”. Untuk studi tentang peran hukum dalam membangun komunitas, lihat Robert Gordon, “Critical Legal Histories”, Stanford Law
Review 36 1984, 57. Lihat juga John Brigham, The Constitution of Interest: Beyond the Politics of Rights, New York: New York University Press, 1996 membicarakan peran hukum dalam membangun
gerakan politik.
3 18. Lihat pada umumnya Dahl, Polyarchy; David Held, Models of Democracy, Stanford: Stanford
University Press, 1987.
Bab 1: Kedaulatan Hukum dalam Transisi