1
Bab 4 Keadilan Reparatoris
Pada masa kontemporer, hampir semua rezim transisional – baik setelah terjadinya perang, kediktatoran militer maupun komunisme – mengambil langkah berupa keadilan
reparatoris. Tinjauan praktik reparatoris yang dibahas di sini menunjukkan bahwa respon ini tersebar luas dalam berbagai budaya hukum yang berbeda. Bagaimana masyarakat
menganggap tindakan-tindakan reparatoris tersebut? Apa kegunaan dan fungsinya? Apa arti keadilan transisional bagi para korban kejahatan rezim lama dan bagi masyarakat?
Dilema yang dihadapi rezim penerus dalam masa-masa transisi adalah apakah rezim yang baru memiliki kewajiban untuk memberikan ganti kerugian bagi para korban
kejahatan negara. Menurut hukum internasional, bila negara melanggar kewajibannya, terdapat kewajiban hukum yang jelas untuk memberi ganti kerugian.
1
Namun, dalam perdebatan nasional tentang apa yang harus dilakukan untuk menyikapi peninggalan-
peninggalan kejahatan dari masa lalu, pertanyaan tentang keadilan reparatoris menjadi masalah yang lebih kompleks yang diwariskan kepada rezim penerus. Ia menimbulkan
konflik antara tujuan pemberian kompensasi bagi para korban pelanggaran negara yang memandang ke belakang, dan kepentingan politik negara yang memandang ke depan.
Praktik reparatoris menimbulkan dilema-dilema, prospektif-retrospektif dan individual- kolektif yang mencirikan masa transisi. Namun, baik pada masa biasa atau transisi,
keadilan reparatoris selalu bersifat memandang ke belakang, karena ia merujuk pada perbaikan terhadap kesalahan yang dilakukan di masa lalu. Keadilan reparatoris
transisional, seperti akan dijelaskan lebih lanjut dalam bab ini, mendamaikan dilema tersebut dalam konteks perimbangan antara tujuan korektif dan sasaran transformasi yang
memandang ke depan. Demikian pula, keadilan reparatoris transisional menengahi masalah tanggung jawab individu dan kolektif, dan membentuk identitas politik negara
yang sedang menuju liberalisasi.
Istilah “keadilan reparatoris” memiliki dimensi yang luas, yang mencakup berbagai bentuk berbeda: pemulihan reparation, ganti rugi material, pengembalian
nama baik, kompensasi, restitusi, rehabilitasi dan pemberian tanda mata. Preseden- preseden terhadap hal ini telah ada sejak zaman kuno, dan menggambarkan peran
kompleks keadilan reparatoris transisional. Respon reparatoris transisional menengahi penyembuhan luka korban dan komunitas, masa lalu dan masa kini, dan meletakkan dasar
untuk kebijakan redistribusi yang dikaitkan dengan pergolakan radikal. Reparasi dalam Alkitab: Keluaran Eksodus dari Mesir
1
PBB, Dewan Ekonomi dan Sosial, Sesi ke-45, Study Concerning the Right to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms: Final
Report, disiapkan oleh Theodorr Van Boven, 2 Juli 1993, U.N. doc. ECN.4suh.2 1993 8; Theodor
Meron, Human Rights and Humanitarian Norms as Customary Law, Oxford: Clarendon Press, 1989, 171, n24, 1989; Nigel S. Rodley, The Treatment of Prisoners under International Law, Oxford: Clarendon
Press, 1989.
2
Ketahuilah dengan sesungguhnya bahwa keturunanmu akan menjadi orang asing dalam suatu negeri, yang buka kepunyaan mereka, dan bahwa mereka akan diperbudak dan
dianiaya empat ratus tahun lamanya. Tetapi bangsa yang akan memperbudak mereka, akan Kuhukum, dan sesudah itu mereka akan keluar dengan membawa harta benda yang banyak.
Kejadian 15: 13-14
Kisah dalam Alkitab tentang pergeseran politik – dari penindasan ke kebebasan – umat Israel di Mesir merupakan suatu kisah klasik tentang transisi. Menurut kisah tersebut,
orang-orang Israel tinggal di Mesir selama sekitar empat ratus tahun, diperbudak dan dianiaya. Tahun-tahun perbudakan ini diikuti oleh kebebasan dari Mesir, hukuman
diberikan kepada orang-orang Mesir dan akhirnya terbentuklah negara Israel. Kisah Keluaran dan penghukuman orang Mesir sudah terkenal, namun tidak banyak yang
diketahui tentang pemberian reparasi yang berkaitan dengan Keluaran ini. Kisah ini menunjukkan misteri dan ambiguitas berkaitan dengan praktik reparatoris pada masa
perubahan politik.
Dalam kisah ini, pada malam keluarnya warga Israel dari tanah Mesir, orang- orang Israel, “meminta dari orang Mesir barang-barang emas dan perak serta kain-kain”.
2
Tuhan memberitahu orang-orang Israel untuk mengambil barang-barang berharga dari orang-orang Mesir: “Orang Israel melakukan juga seperti kata Musa; mereka meminta
dari orang Mesir barang-barang emas dan perak serta kain-kain. Dan Tuhan membuat orang Mesir bermurah hati terhadap bangsa itu”.
3
Teks ini memberikan kesan bahwa barang-barang berharga ini sebenarnya bukan dirampas, namun diberikan dengan murah
hati. Namun, teks ini memang terbuka untuk interpretasi yang berbeda, karena ada rujukan tentang “meminta” namun ada pula “merampasi orang Mesir”.
Satu aspek lain dalam peristiwa pada malam itu terlihat dalam bagian lain yang mengelaborasi “perampasan” terhadap orang-orang Mesir ini: “Tiap-tiap perempuan
harus meminta dari tetangganya dan dari perempuan yang tinggal di rumahnya, barang- barang perak dan emas dan kain-kain, yang akan kamu kenakan kepada anak-anakmu
lelaki dan perempuan; demikianlah kamu akan merampasi orang Mesir itu”.
4
Kisah ini menunjukkan bahwa ada pertukaran pakaian antara orang-orang Mesir dan Israel. Para
budak yang dibebaskan ini mengenakan pakaian para tuan-tuan mereka, dan membiarkan mereka telanjang – seperti budak. Urutan ini menunjukkan akar dari kata redress.
Berdasarkan akar katanya, ia berkaitan dengan pakaian yang dikenakan dalam upacara keagamaan yang menentukan status sosial. Dalam penggunaannya yang paling awal,
pada Abad Pertengahan, redress mengaitkan pakaian dengan status dan kembalinya harga diri. Perampasan pakaian orang-orang Mesir yang kemudian dikenakan orang-orang
Israel menunjukkan lebih dari sekadar pemberian ganti rugi material, hal ini adalah pelurusan sejarah, suatu upacara kompensasi, rehabilitasi di mata publik. Aspek simbolis
kuno dari tindakan reparatoris ini terdapat pula dalam preseden-preseden berikutnya sepanjang sejarah.
Apa arti sebenarnya dari reparasi era Keluaran ini? Kutipan dari Kitab Suci mendukung beberapa pemahaman yang berbeda. Pengambilan barang-barang emas dan
2
W. Gunther Plaut ed., “Exodus,” dalam The Torah: A Modern Commentary, New York: Union of American Hebrew Congregations, 1981, Ibid., 12:35.
3
Ibid., 12:35, 36.
4
Ibid., 3:21-22.
3 perak bisa dianggap sebagap pemberian hadiah, pinjaman, sogokan agar mereka pergi,
pertukaran hak milik antara dua pihak, misalnya pertukaran barang-barang bergerak milik orang Mesir dengan tanah-tanah yang dimiliki orang Israel yang ditinggal, kompensasi
untuk upah yang belum terbayar dan pelanggaran-pelanggaran lain yang terkait dengan perbudakan, atau sebagai ganti rugi simbolis, rehabilitasi status politik. Dalam satu
interpretasi, kisah ini menjelaskan bagaimana orang-orang Israel memanfaatkan kondisi politik yang kacau dan menjarah barang-barang rampasan. Dalam interpretasi lainnya, ini
bukanlah penjarahan oleh budak-budak yang kabur, namun pelaksanaan suatu rencana yang suci. Orang-orang Mesir memberikan emas dan perak tersebut sebagai reparasi
dalam rangka keadilan yang diberikan oleh Tuhan.
5
Interpretasi ini dibangun pada dasar rujukan lebih awal tentang orang-orang Israel itu menjadi “bangsa yang besar”, yang
meramalkan klaim atas harta milik orang-orang Mesir. Bagaimana memahami kisah tersebut? Apakah perampasan dari orang-orang
Mesir ini merupakan tindakan yang memandang ke belakang: barang-barang emas dan perak tersebut diambil untuk mengganti perbudakan dan penganiayaan di masa lalu?
Atau apakah kisah tentang anak-anak Israel yang mengenakan pakaian orang Mesir bermakna memandang ke depan: barang-barang tersebut diambil untuk menjadi modal
pembangunan suatu bangsa? Bahasa yang digunakan dalam teks-teks Kitab Suci ini mendukung kedua pandangan tersebut. Jika tinjauan biblikal tentang Keluaran
diinterpretasikan dalam konteks sejarah dan politis, konteks interpretatif tersebut adalah hermeneutika yang khas pada transisi, termasuk perbudakan selama bertahun-tahun
sebelum malam Keluaran dan kelanjutannya dalam sejarah dari perbudakan menjadi negara yang besar. Konteks transisional ini memiliki aspek-aspek yang memandang ke
belakang maupun ke depan yang mewarnai interpretasi praktik reparatoris. Seperti akan kita lihat, kisah ini masih memiliki gema, karena ia menggambarkan kualitas keadilan
reparatoris yang memiliki banyak paradigma. Reparasi Pasca-Perang dan Kesalahan Perang Keseluruhan
Pada akhir Perang Dunia Pertama, tuntutan agar Jerman memberikan reparasi menimbulkan pertanyaan tentang arti keadilan reparatoris. Di Versailles, tanggung jawab
terhadap terjadinya perang dibebankan secara sepenuhnya kepada Jerman: kesepakatan damai membebankan tanggung jawab “seluruh kesalahan perang” kepada Jerman dan
memaksanya untuk membayar reparasi dalam jumlah yang besar.
6
Dalam kesepakatan
5
Lihat Nehama Leibowitz, Studies in Shemot: The Book of Exodus, terjemahan Aryeh Newman, Yerusalem: World Zionist Organization, Department for Torah Education and Culture in the Diaspora,
1976, 185.
6
Kewajiban Jerman untuk mengganti rugi pelanggaran-pelanggarannya ditetapkan dalam “Konvensi Den Haag IV tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat. Pasal 3 Konvensi tersebut menyatakan: “Pihak
dalam perang yang melanggar pasal-pasal dalam peraturan ini akan, bila diperlukan, harus bertanggung- jawab untuk membayarkan kompensasi. Ia harus bertanggung-jawab untuk semua tindakan yang dilakukan
orang-orang yang merupakan bagian angkatan perangnya”. “Konvensi Den Haag tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat”, pasal 3 mulai berlaku 26 Januari 1910, U.S.T.S. 539 memberikan kewajiban
untuk membayar ganti rugi. Lihat Pasal 41 Konvensi Den Haag IV memberikan hak untuk menuntut ganti rugi terhadap kerugian yang disebabkan pelanggaran; keempat Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949
mewajibkan tanggung jawab untuk pelanggaran berat. Pasal 68 Konvensi Jenewa berkaitan dengan Perlakuan terhadap Tawanan Perang, memberikan hak untuk mengklaim bagi para tawanan perang.
4 damai ini, ganti rugi yang dituntut dari Jerman bersifat punitif namun dijustifikasi sebagai
pencegahan – melumpuhkan Jerman sedemikian rupa sehingga ia tidak mampu lagi berperang. Traktat Versailles membebankan tanggung jawab kesalahan “perang agresif”
pada negara Jerman. Traktat tersebut memahami tanggung jawab sebagai suatu hal yang bersifat kolektif, demikian pula dampak sanksi juga akan terasakan oleh seluruh negara.
Setelah empat tahun berperang, Sekutu merasa berhak menuntut ganti rugi biaya perang, namun klaim untuk mendapatkan reparasi itu diberikan bukan sebagai tuntutan atas “hak”
Sekutu, namun “kewajiban” Jerman.
Klausul “kesalahan perang” dalam traktat Versailles ini menekankan liabilitas atau kewajiban-hukum Jerman secara keseluruhan, memaksa Jerman untuk bertanggung-
jawab atas “semua kerugian dan kerusakan pihak Sekutu ... sebagai konsekuensi perang yang dipaksakan terhadap mereka sebagai akibat ... agresi.” Pasal 231 Traktat Versailles
menyatakan: “Pemerintah Sekutu dan negara-negara terkait menegaskan, dan Jerman menerima, tanggung jawab Jerman dan sekutu-sekutunya karena telah menimbulkan
semua kerugian dan kerusakan pihak Sekutu dan negara-negara terkait beserta warga negaranya, sebagai konsekuensi perang yang dipaksakan terhadap mereka, sebagai akibat
tindakan Jerman dan sektutu-sekutunya yang melakukan agresi.”
7
Menurut klausul kesalahan perang ini, seluruh tanggung jawab terhadap terjadinya perang – semua
biayanya – akan ditanggung oleh Jerman. Beban reparatoris yang amat berat dari Versailles menimbulkan beberapa
pertanyaan. Timbul masalah praktis dari sanksi yang sedemikian berat yang menyebabkan Jerman hampir tidak mungkin membayarnya, seperti disadari waktu itu.
8
Demikian pula masalah yang ditimbulkan dari sifat sanksi ekonomi yang tidak pandang bulu. Sifat tidak pandang bulu ini menyebabkan dampaknya dialami oleh semua unsur
negara secara keseluruhan. Besarnya tuntutan reparasi ini menimbulkan sejumlah pertanyaan tentang sifat dan fungsinya: sejauh mana respon ini ditujukan untuk
memberikan kompensasi terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terkait dengan perang? Sejauh mana ia bersifrat punitif? Formulasi provisi reparasi dalam traktat Versailles
memang ambigu, menunjukkan tujuan yang berganda. Traktat pasca-perang ini secara cerdik memisahkan pertanyaan tanggung jawab dari kewajiban hukum: kesalahan perang
keseluruhan dibebankan atas dasar tanggung jawab pidana dan perdata; sementara reparasi tampaknya bersifat perdata, klausul “seluruh kesalahan perang” dalam Traktat
Versailles ini secara eksplisit membedakan tanggung jawab dari pelaksanaannya, yaitu penerapan keputusan. Meskipun Pasal 231 menyatakan pertanggungjawaban keseluruhan
Konvensi No. IV berkaitan dengan perlindungan terhadap Warga Sipil dalam Keadaan Perang mulai berlaku 21 Oktober 1950, 6 U.S.T.S. 3114. Prorokol I “Protokol Tambahan untuk Konvensi-Konvensi
Jenewa 12 Agustus 1949 dan berkaitan dengan Perlindungan terhadap Korban Konflik Bersenjata Internasional” mulai berlaku 7 Desember 1978 dalam Pasal 91 menyatakan bahwa pihak yang melanggar
pasal dalam konvensi “harus bertanggung-jawab untuk membayarkan kompensasi”, International Law Materials
16 1977: 1392. Lihat Hugo Grotius, Rights of War and Peace: Including the Law of Nature and of Nations
, Winnipeg, Can: Hyperion Press, 1979, 10. Lihat juga Percy Bordwell, The Law of War between Belligerents: A History and Commentary
, Littleton, Colo: Fred B. Rothman, 1994.
7
Traktat Versailles, 28 Juni 1919, Pasal 231, bagian VIII, dalam Clive Parry ed., Consolidated Treaty Series
, Vol 225 1919.
8
Pasal 232 menyatakan: “Pemerintah Sekutu dan negara-negara terkait mengakui bahwa sumber-sumber daya Jerman tidak mencukupi, setelah memperhatikan pengurangan permanen sumber-sumber daya
tersebut yang akan disebabkan oleh pasal-pasal lain dalam traktat ini, untuk memberikan reparasi sepenuhnya untuk semua kerugian dan kerusakan.” Ibid.
5 pada Pasal 231, Pasal 232 mengakui masalah kelangkaan sumber daya. Meskipun
terdapat perdebatan substansial di pihak Sekutu tentang pertanyaan cakupan tanggung jawab hukum dan tingkat reparasi yang dituntut, bahasa yang digunakan dalam traktat
menunjukkan terdapat pemahaman bahwa – lebih dari pembayaran untuk kerugian meterial – Jerman harus bertanggung-jawab secara moral, politis dan legal untuk
terjadinya perang. Namun, traktat yang sama mengakui bahwa Jerman tidak akan mampu membayar. Kedua klausul aneh dalam traktat tersebut menandakan ambiguitas
yang ditimbulkan praktik reparatoris pada masa transisi.
Reparasi pasca-perang, seperti juga pada masa kuno, mencerminkan karakter gabungan dan kompleks dari sifat dan peran praktik-praktik tersebut. Praktik-praktik itu
secara bersamaan memajukan perbaikan terhadap kerusakan yang ada dan penghukuman kesalahan dari masa lalu. Tujuannya adalah untuk mengkoreksi masa lalu sekaligus
memajukan sasaran politik yang luas dari transisi. Wiedergutmachung dan Schilumim
Dari penyerahan tanpa syarat dan debu-debu kamp konsentrasi setelah Perang Dunia Kedua, timbullah proyek reparatoris terbesar dalam sejarah hingga kini, yang berjumlah
puluhan milyar dollar selama setengah abad terakhir. Setelah perang ini, dua klaim reparatoris yang sangat berbeda dituntut kepada Jerman – satu dari musuh-musuhnya
yang menang, dan yang lain dari para korbannya. Sejak awal proses perdamaian, bahkan sebelum Perang Dunia Kedua berakhir, Sekutu menuntut Jerman untuk membayar ganti
rugi karena melakukan perang secara tidak sah. Seperti dibicarakan di atas, setelah Perang Dunia Pertama, normanya adalah bahwa negara yang kalah membayarkan ganti
rugi kepada pihak-pihak lainnya; skema reparasi jerman ini diciptakan berdasar program restitusi pasca-perang Dunia Pertama. Dalam transisi dari wilayah yang diduduki ke
negara berdaulat, satu provisi penting dalam Traktat Transisional 1952 dengan kekuatan- kekuatan pendudukan adalah kewajiban untuk memberikan restitusi terhadap penyitaan
hak milik yang terkait dengan perang selain kerugian-kerugian lainnya.
9
Dorongan lain untuk reparasi datang dari para korban dan keluarga korban kamp- kamp pembantaian. Kisah tentang negosiasi yang mengarah pada kesepakatan reparasi
antara Jerman, Israel dan kelompok-kelompok korban merupakan suatu kisah tentang dua kelompok yang mengalami transisi: yang pertama suatu negara yang kalah dengan
perasaan kebangkrutan moral yang mendalam, yang satunya negara baru yang terdiri dari korban-korban penindasan dalam kebangkrutan fiskal. Setelah negosiasi panjang yang
dipimpin Kanselir Jerman Konrad Adenauer menghasilkan kesepakatan Luksemburg pada tahun 1952, Jerman sepakat untuk memberikan sejumlah dana kepada organisasi
yang mewakili korban-korban penganiayaan Nazi,
10
dan juga reparasi kepada negara Israel yang baru terbentuk. Undang-Undang Kompensasi Federal ini memiliki lingkup
9
Lihat Republik Federal Jerman, Restitution, edisi bahasa Inggris, Bonn: Press and Information Office of the Federal Government, Juni 1988.
10
Untuk tinjauan tentang proses negosiasi, lihat Nana Sagi, German Reparations: A History of the Negotiations
, Yerusalem: Magnes Press, Hebrew University, 1980. Lihat juga Frederick Honig, “The Reparations Agreement between Israel and the Federal Republic of Germany”, American Journal of
International Law 48 1954: 564.
6 yang luas dalam menanggapi korban-korban penindasan Nazi, memberikan kompensasi
untuk cedera fisik dan kehilangan kebebasan, properti, pendapatan, pekerjaan atau kesempatan kemajuan keuangan yang disebabkan oleh penindasan atas alasan politik,
sosial, religius atau ideologis.
11
Pembayaran kepada para korban, wakil mereka dan negara Israel ini sebenarnya tidak dipengaruhi oleh hukum internasional masa itu, juga tidak ada preseden untuk
tindakan tersebut. Analogi yang terdekat mungkin adalah pembayaran reparasi pasca- perang tradisional, yang menurut hukum perang sejak Konvensi Den Haag 1907
merupakan kewajiban negara-negara yang melanggar norma-norma peperangan. Namun, pandangan ini mensyaratkan fiksi bahwa Jerman dan Israel adalah dua negara yang
“bermusuhan”. Padahal, Israel bukan saja tidak berpartisipasi dalam perang, namun ia bahkan belum terbentuk. Pembayaran yang dijanjikan setelah kesepakatan 1952 oleh
Republik Federal Jerman, seperti juga dalam masa kontemporer setelah unifikasi,
12
berbeda dari pandangan tradisional tentang reparasi yang terkait perang sebagai hal yang bersifat nasional. Para penerima ganti rugi ini bukanlah negara yang menang, melainkan
warga dari negara yang memberikan kompensasi tersebut. Mereka juga calon warga negara Israel, yang diwakili oleh negara penerima ganti rugi tersebut Israel. Ini
bukanlah reparasi pasca-perang seperti biasanya.
Pembayaran pasca-Perang Dunia Kedua ini mengubah untuk selamanya konsep tentang reparasi. Setelah Nuremberg, perkembangan dramatis dalam hukum internasional
memperluas norma-norma yang berkaitan dengan hukum perang melampaui lingkup internasional, dan memberlakukannya pada konflik internal dalam negara. Pada akhir
perang, Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 mendorong perkembangan hukum kemanusiaan internasional, dan mengusulkan reparasi terhadap pelanggaran hak-hak
warga sipil dalam semua jenis konflik bersenjata.
13
Kewajiban-kewajiban dalam hukum perang tentang reparasi bagi korban pelanggaran oleh negara lain mengarah pada
kewajiban nasional untuk memberikan kompensasi bagi warga negara yang mengalami pelanggaran. Hasil yang bertentangan pun tampak: warga negara lain akan lebih
dilindungi oleh hukum internasional daripada warga suatu negara dilindungi oleh sistem hukumnya sendiri, apabila ia mengalami pelanggaran hak. Munculnya kewajiban
menurut hukum kemanusiaan internasional ini kemudian mendorong kewajiban reparatoris transisional bagi rezim penerus terhadap pelanggaran-pelanngaran negara di
masa lalu. Standar reparatoris yang dikaitkan dengan hukum perang telah berkembang dan melampaui konteks konflik internasional ke konflik internal murni.
11
Lihat umumnya Republik Federal Jerman, Restitution. Lihat juga Kurt Schwerin, “German Compensation for Victims of Nazi Prosecution”, Northwestern University Law Review 67 1972: 479.
Untuk suatu pendekatan “Viktimologis”, lihat Lesslie Sebba, “The Reparations Agreements: A New Perspevtive”, Annals of the American Academy of Political and Social Science 450 1980: 202. Untuk
analisis kritis, lihat Christian Pross, Paying for the Past: The Strugle over Reparations for Surviving Victims of the Nazi Terror
, Baltimore dan London: Johns Hopkins University Press, 1998.
12
Tentang perluasan kompensasi Jerman bagi orang-orang Yahudi di Timur yang menjadi korban penindasan Nazi, lihat David Binder, “Jews of Nazi Era Get Claims Details”, New York Times, 22
Desember 1992, rubrik internasional.
13
Ameur Zemmali, “Reparations for Victims of Violations of International Humanitarian Law”, dalam Seminar on the Right to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of
Human Rights Fundamental Freedoms , Maastricht: Netherlands Institute of Human Rights, 1992, 61-75.
7 Bagaimana kita memahami skema reparasi Jerman? Wiedergutmachung, istilah
yang digunakan Jerman untuk reparasi tersebut, secara harfiah berarti “membuat jadi baik kembali”, atau mengembalikan ke kondisi semula.
14
Dengan kegagalan denazifikasi, reparasi mendapatkan dukungan politis di Jerman sebagai cara untuk mendapatkan
kembali kredibilitas dalam pandangan komunitas internasional. Sebaliknya, sebagai penolakan terhadap anggapan bahwa reparasi dapat membuat sesuatu menjadi “baik
kembali”, kelompok-kelompok korban menyebut reparasi tersebut dengan istilah Ibrani Shilumim
,
15
yang berarti “melakukan pertobatan, membawa damai”. Bagi para korban, reparasi adalah masalah kebutuhan ekonomi, sehingga bagi mereka, titik awal negosiasi
adalah biaya penempatan ulang para pengungsi. Bagi para pelaku dan korban, reparasi adalah persoalan penyelesaian masalah, namun dari cara yang berbeda bagi masing-
masing. Namun, meskipun terdapat pemahaman yang amat berbeda tentang sifat dan tujuan skema reparasi, negosiasi konsep-konsep yang berbeda ini mencapai kesepakatan
politik.
Skema reparasi Jerman ini menjadi paradigma konsep reparasi transisional yang kompleks. Praktik reparatoris transisional dijustifikasi unsur-unsur pandangan ke
belakang dan ke depan, moral, ekonomi dan politik. Mungkin tidak mengherankan bahwa reparasi pasca-perang dan reparasi yang merupakan hasil kesepakatan transisional,
negosiasi politik dan kompromi, digunakan untuk mencapai tujuan yang berbeda dan bahkan tampak bertentangan. Proyek reparatoris pasca-perang menunjukkan bahwa
skema reparatoris transisional memilik tujuan ganda: memajukan kepentingan individual dan kolektif, korban dan masyarakat. Seperti akan kita lihat ketika meneliti berbagai
praktik serupa dalam masa transformasi politik, fungsi ganda ini menunjukkan kekhasan skema reparatoris transisional.
Perang Kotor, Penghilangan dan Rekonsiliasi: Peran Reparasi Penghilangan dan pembunuhan terhadap seorang pemuda bernama Velásquez-Rodríguez
di Honduras pada dekade 1980-an menimbulkan reaksi berantai di seluruh Amerika Latin, mendorong timbulnya kebijakan reparatoris di seluruh wilayah tersebut. Ketika
Honduras bahkan tidak melakukan penyelidikan terhadap penghilangan tersebut, tampak jelas bahwa peristiwa tersebut disponsori oleh negara, sehingga negara tersebut diajukan
ke muka Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika. Dalam sejumlah keputusan, pengadilan tersebut menyatakan bahwa Honduras telah melanggar Konvensi Hak Asasi
Manusia Amerika dan bahwa negara “wajib mencegah, menyelidiki dan menghukum” pelanggaran hak-hak yang dijamin dalam konvensi tersebut.
16
Pengadilan juga
14
Lihat umumnya Sagi, German Reparations.
15
Shilumim berasal dari tradisi profetik. Untuk pembicaraan tentang kedua konsep ini dan artinya dalam konteks kesepakatan reparasi, lihat Axel Frohn ed., Holocaust and Shilumim: The Policy of
Wiedergutmachung in the Early 1950s , Washington, D.C: German Historical Institute, 1991, 1-5.
16
Velásquez-Rodrígues, Inter-Am. Ct. H.R., Ser.C,No. 4 1988; Godinez Judgment, Inter-Am. Ct. H.R., Ser.C,No. 5 1989; Fairen Garbi and Solis Corrales Judgment, Inter-Am. Ct. H.R., Ser.C, No. 6 1989.
Kewajiban negara untuk “mencegah, menyelidiki dan menghukum” pelanggaran dimuat dalam Velásquez Judgment
pada paragraf 166. Untuk tinjauan lengkap tentang kasus-kasus ini yang ditulis oleh dua pengacara dalam proses litigasi ini, lihat Juan E. Mendez dan José Miguel Vivanco, “Disappearances and
the Inter-American Court: Reflections on a Litigation Experience”, Hamline Law Review 13 1990: 507.
8 memutuskan bahwa bila hak-hak tersebut dilanggar, negara wajib menjamin kompensasi
bagi korban. Kasus Velásquez-Rodríguez menunjukkan bahwa kelalaian untuk mencapai keadilan melalui proses pidana bukanlah hal yang boleh dilakukan negara. Namun,
kelalaian untuk melaksanakan norma-norma ini dianggap menimbulkan hilangnya hak- hak perlindungan bagi korban warga negara, sehingga menimbulkan kewajiban untuk
memberikan reparasi menurut hukum internasional.
Hak-hak yang diakui dalam kasus Velásques-Rodrígues secara jelas bersifat transisional – mereka melampaui sekaligus menjembatani rezim. Meskipun hak ini pada
mulanya berkaitan dengan kewajiban untuk memberikan perlindungan yang setara menurut hukum, begitu kewajiban ini dilanggar, timbul kewajiban “kuratif” bagi rezim
penerus, seperti menyelidiki dan memberikan kompensasi. Kasus Velásquez-Rodríguez menunjukkan bahwa bila kewajiban untuk menyelidiki dan memberikan kompensasi ini
tidak dipenuhi, pelanggaran ini tetap berlanjut dan rezim penerus harus memikul tanggung jawab. Sementara kewajiban pertama, yaitu untuk melindungi, bersifat
prospektif dan memandang ke depan, kewajiban-kewajiban lainnya untuk menyelidiki dan memberikan kompensasi bersifat retrospektif dan melihat ke belakang; jadi mereka
berkelanjutan, terbuka dan menjadi tanggung jawab rezim-rezim penerus hingga dipenuhi.
17
Kewajiban-kewajiban yang diakui dalam kasus tersebut memediasi rezim pendahulu dan penerus, memperluas arti perlindungan hak asasi manusia dalam transisi.
Kasus Velásquez-Rodrígues menetapkan standar kewajiban reparasi yang tinggi. Menyatakan penghilangan sebagai “pembunuhan secara melanggar hukum sebagai akibat
tindakan serius yang merupakan tanggung jawab Honduras”, Pengadilan Inter-Amerika menyatakan bahwa negara wajib memberikan kompensasi “moral” dan “material” bagi
mereka yang ditinggalkan berkaitan dengan kerugian akibat penghilangan tersebut.
18
Lebih lanjut lagi, skema reparasi yang ekspansif dalam kasus Velásquez-Rodrígues belum memiliki preseden dalam budaya hukum Amerika Latin, yang tidak memiliki
tradisi pemberian ganti rugi terhadap kerugian akibat pelanggaran oleh pihak negara.
19
Kasus Velásquez-Rodrígues memberikan perspektif baru dalam memandang sifat keadilan transisional, dengan reparasi yang menyorot kedekatan antara respon pidana dan
perdata. Penggunaan tindakan reparatoris dalam peradilan pidana terlihat bila dalam prinsipnya, kelalaian untuk mengadili pelanggaran berat oleh negara dianggap
mempengaruhi hak-hak korban dan kewajiban-kewajiban terkait dari negara, yang kemudian ditegaskan dalam keputusan-keputusan yang menyatakan bahwa undang-
undang amnesti melanggar hak para korban menurut hukum hak asasi manusia regional.
20
Di seluruh Amerika Latin, kasus Velásquez-Rodrígues memiliki arti bahwa bila peradilan
17
Honduras akhirnya menjalankan kewajibannya untuk memberikan reparasi. Menurut Steve Hernandez dari Americas Watch wawancara dengan pengarang, Washington, D.C., 23 Juli 1997, kompensasi
sejumlah 300.000 diberikan dalam kasus Velásquez-Rodrígues, dan 250.000 dalam Godinez.
18
Velásquez-Rodrígues Judgment, Inter-Am.. Ct. H.R., Ser.C, No. 4 1988; 46 lihat hlm. 39 tentang kewajiban untuk memberikan kompensasi moral dan material.
19
J. Irizarry dan Puente, “The Responsibility of the State as ‘Juristic Person’ in Latin America”, Tulane Law Review
18 1944: 408, 436 membedakan kerugian “moral” dan “material”. Lihat juga H. Street, Governmental Liability: A Comparative Study
, Cambridge: Cambridge University Press, 1953, 62-63; Linda L. Schlueter dan Kenneth R. Redden, Punitive Damages, edisi ketiga, Charlottesville, Va: Michie
Butterworth, 1990 menganalisis berbagai penerapan dalam tradisi hukum perdata.
20
Decision on Full Stop and Due Obedience Laws, Inter-Am. C.H.R, Report No. 2892 Argentina, 1992; Decision on the Ley de Caducidad
, Inter-Am. C.H.R, Report No. 2992, Uruguay, 2 Oktober 1992.
9 pidana gagal, respon-respon lain bisa digunakan, yaitu bahwa ada kewajiban hukum
lainnya bagi para korban, berupa reparasi. Norma-norma baru yang diciptakan oleh kasus Velásquez-Rodrígues
menimbulkan banyak pertanyaan. Kewajiban macam apa yang ditekankan di sini, atau apa kaitan antara kewajiban negara untuk melindungi warganya secara setara dan
kewajibannya untuk “mengembalikan” hak-hak tersebut? Muncul pula pertanyaan lain: sejauh mana hak asasi manusia yang diakui dalam kasus Velásquez-Rodrígues
merupakan”hak” dalam arti tradisional? Siapa yang memiliki hak tersebut? Dalam pandangan ini, siapa yang dirugikan apabila hak perlindungan setara dilanggar, apakah
hanya para korban? Para kerabat yang ditinggalkan? Dan sejauh mana terdapat dampak yang lebih luas bagi masyarakat? Pertanyaan-pertanyaan ini timbul sebagai bagian dari
konsekuensi lebih luas kebijakan impunitas, dengan pemberian amnesti terhadap pelanggaran-pelanggaran oleh rezim lama di wilayah itu.
Dengan banyaknya kebijakan amnesti di negara-negara Amerika Latin, pesan yang disuarakan oleh kasus Velásquez-Rodrígues masih selalu relevan. Setelah
penderitaan akibat pemerintahan militer yang represif, penyiksaan, eksekusi dan penghilangan, pertanyaan pentingnya adalah apakah rezim pengganti dapat
“melenyapkan” masa lalu mereka? Dengan melihat konteks perpolitikan masa lalu di wilayah ini, kebijakan macam ini amat aneh. Ketika Cili kembali ke pemerintahan
demokratis, rentannya perimbangan kekuasaan menjadikan penghukuman bagi militer sukar dilakukan, dan rezim penerus pimpinan Aylwin menggunakan bentuk keadilan
yang lain. Seperti dalam kasus Velásquez-Rodrígues, negara menjanjikan penyelidikan resmi terhadap penindasan oleh militer, dan tindakan-tindakan reparatoris.
21
Skema remedial Cili ini membantu menjelaskan lebih lanjut kaitan antara pemahaman
transisional tentang keadilan pidana dan reparatoris. Ketika Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi melaporkan bahwa selama berkuasanya militer terjadi ribuan penghilangan
paksa dan eksekusi ekstrajudisial, Presiden Cili, dalam presentasi laporan komisi di hadapan masyarakat, menyatakan bahwa kejahatan-kejahatan tersebut dilakukan oleh
pemerintah dan menyatakan bahwa reparasi merupakan “tindakan yang menggambarkan pengakuan dan tanggung jawab pemerintah untuk menyikapi peristiwa-peristiwa yang
dibicarakan dalam laporan tersebut.”
22
Dalam memikul tanggung jawab untuk memberikan reparasi, rezim penerus memikul tanggung jawab untuk pelanggaran yang
dilakukan rezim pendahulunya. Meskipun pada awalnya terdapat tentangan terhadap pemberian ganti rugi dan tidak ada budaya hukum dengan tradisi pemberian ganti rugi
untuk pelanggaran oleh pemerintah, skema remedial demikian menjadi skema yang lazim di benua tersebut. Setelah Cili, Argentina mengambil kebijakan reparasi yang bahkan
lebih luas, tidak hanya memberikan kompensasi bagi mereka yang dihilangkan, namun juga bagi korban penahanan secara tidak sah selama pemerintahan junta.
23
Dalam
21
Laporan penyelidikan ini berjudul Informe de la Comicíon Nacional de Verdad y Reconciliacion Laporan Komisi Nasional Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili, kedua jilid, terjemahan Phillip E. Berryman,
Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1993 kemudian Laporan Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili.
22
Pidato Presiden Patricio Aylwin kepada rakyat Cili, 5 Maret 1991, ditranskrip oleh British Broadcasting Corporation, 6 Maret 1991. Undang-Undang No. 19.123 Cili, 8 Februari 1992 memberikan kepada para
ahli waris korban tunjangan seumur hidup, sejumlah uang serta tunjangan kesehatan dan pendidikan.
23
Indemnification Law, No. 24.043 Argentina, 1991.
10 preseden terkait dalam Komisi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika, Uruguay juga
diperintahkan untuk memberikan reparasi.
24
Preseden transisional menciptakan definisi baru tentang kewajiban negara terhadap warganya. Seperti konstitusi transisional dan sanksi pidana yang menggariskan
perubahan dalam kedaulatan negara, tindakan reparatoris dapat pula melakukan hal tersebut. Reparasi transisional ditujukan untuk memperbaiki kesalahan yang dilakukan
terhadap korban, namun mereka memiliki nilai tambah di lingkup publik. Bila reparasi menjadi bagian kebijakan suksesor publik yang formal, mereka bisa secara kritis
merespon kebijakan rezim pendahulu dengan memperbaiki pelanggaran terhadap perlindungan yang setara oleh hukum. Para korban penindasan oleh militer telah dituduh
melakukan subversi dan dibunuh sebagai musuh negara. Mereka diculik, disiksa, dibunuh dan dihilangkan; anak-anak mereka disandera, hak milik mereka disita. Maka, Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili menyarankan suatu reparasi “moral”, “untuk secara terbuka membersihkan nama baik mereka yang telah meninggal dari stigma tuduhan
palsu sebagai musuh negara”.
25
Sesuai dengan mandat ini, hanya beberapa hari setelah menjabat sebagai presiden, Patricio Aylwin mengadakan acara peringatan terbuka
bersama rakyat Cili di stadion utama, yang pada masa pemerintahan militer dipergunakan sebagai tempat penyekapan para tahanan politik. Sementara presiden, dalam pidatonya
itu, mengumumkan nama-nama mereka yang dihilangkan yang disiarkan secara langsung ke seluruh negeri, nama-nama tersebut dimuculkan pula di papan elektronik di stadion
tersebut, sebagai bentuk penyesalan dan permintaan maaf kepada para korban kesalahan pemerintahan represif sebelumnya itu.
Seperti juga di masa kuno, “reparasi moral” Amerika Latin ditujukan untuk meluruskan pandangan komunitas dan mengembalikan harga diri. Reparasi moral ini
bersifat kompensatoris, bukan punitif.
26
Reparasi moral ditujukan untuk menghilangkan rasa malu dan rendah diri yang dialami para korban dan mengembalikan reputasi dan
status mereka di mata publik. Pada pemahaman common law yang biasa tentang penghinaan, bila korban telah meninggal, tanggung jawab terhadap penghinaan ini
hilang, namun tidak demikian dalam kasus penghilangan. Reparasi moral melampaui para korban dan kerabatnya saja, dan memasuki ruang publik secara keseluruhan.
Pengembalian nama baik ini menunjukkan bahwa reputasi memiliki peranan yang lebih penting daripada di masa biasa; ia melayani kepentingan masyarakat dalam transisi
politik. Dalam kasus penghinaan politik dan penindasan, yang terpengaruh bukan saja reputasi pribadi para korbannya. Dengan merehabilitasi mereka yang dihilangkan, negara
juga secara terbuka mengakui tanggung jawabnya terhadap kesalahan tersebut. Terlebih lagi, dengan memikul tanggung jawab, rezim penerus ini menunjukkan bahwa kesalahan
ini adalah kesalahan negara; bahkan, pemikulan tanggung jawab oleh negara dapat mengurangi kerugian moral.
27
Tindakan-tindakan perbaikan ini secara jelas ditujukan untuk memungkinkan rekonsiliasi masyarakat, untuk membawa perdamaian bagi
24
Lihat Decision on the Ley de Caducidad dikutip dalam catatan kaki 20 di atas.
25
Laporan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili, 838-40.
26
Istilah “Kompensasi yang sepantasnya” dalam Konvensi Hak Asasi Manusia Inter-Amerika, Pasal 61 1, ditafsirkan oleh Pengadilan Inter-Amerika sebagai kompensasi terhadap kerugian. Lihat PBB, Study
Concerning the Right to Restitution, Compensation and Rehabilitation for Victims of Gross Violetions of Human Rights and Fundamental Freedoms
dikutip dalam catatan kaki 1 di atas, 38.
27
Lihat Kasus El Amparo Reparations, Inter-Am. Ct. H.R. Ser.C ¶ 34 14 September 1996, dicetak ulang dalam laporan Tahunan 1996.
11 masyarakat-masyarakat yang terpecah oleh garis politik di Amerika Latin. Praktik
reparatoris transisional memiliki peran ganda: memandang ke belakang dalam memperbaiki kesalahan negara yang telah dilakukan, sekaligus memandang ke depan
dalam memajukan tujuan perdamaian dan rekonsiliasi dalam transisi.
Reparasi di Amerika Latin menunjukkan kompleksnya peran kebijakan reparatoris dalam masa transisi. Reparasi transisional memiliki tujuan berganda. Bila
reparasi dilakukan sebagai alternatif eksplisit terhadap penghukuman, mereka menunjukkan cara-cara alternatif untuk pembersihan nama baik dan rehabilitasi seperti
diajukan oleh sanksi pidana. Tindakan reparatoris transisional memikul beban tanggung jawab terhadap pelanggaran di masa lalu secara terbuka. Bahkan, pergeseran tekanan dari
kerugian yang diderita para korban ke pelanggaran yang dilakukan oleh negara terlihat jelas dalam reparasi moral. Seperti dalam peradilan pidana, dengan memikul tanggung
jawab secara terbuka, pelanggaran dapat diidentifikasi, dan juga pelakunya. Selain memberikan sanksi bagi para pelanggar, reparasi juga membersihkan para korban.
28
Melalui respon hukum formal yang mengakui status yuridis mereka yang dihilangkan, keadilan reparatoris merekonstruksi batas-batas komunitas politik.
Karena nilai guna mereka, praktik reparatoris menjadi respon yang paling penting dalam gelombang transformasi politik kontemporer. “Kebenaran dan reparasi”, suatu
respon yang menggabungkan reparasi dengan penyelidikan sejarah yang dibicarakan dengan mendalam dalam bab terdahulu, telah menjadi cara utama untuk menyelesaikan
konflik yang telah mengakar di seluruh Amerika Latin dan wilayah-wilayah lainnya. Perang saudara yang berkepanjangan di El Salvador dapat diselesaikan dengan janji
pembentukan komisi penyelidikan dan tindakan reparatoris.
29
Formula serupa mendatangkan perdamaian di Guatemala.
30
Di Afrika Selatan, amnesti menjadi bagian kesepakatan perdamaian untuk ditukar dengan “kebenaran dan rekonsiliasi”. Konstitusi
1993 negara tersebut, yang bejudul “Persatuan Nasional dan Rekonsiliasi”, menyatakan: “Untuk memajukan rekonsiliasi dan rekonstruksi, amnesti akan diberikan terhadap
tindakan, kelalaian dan pelanggaran berkaitan tujuan politik dan dilakukan dalam kerangka konflik di masa lalu”.
31
Seperti diinterpretasikan oleh Pengadilan Konstitusional negara itu, amnesti ini diberikan dengan syarat klarifikasi terhadap
kejahatan politik di masa lalu beserta reparasinya;
32
maka di Afrika Selatan, kedua hal ini jelas berkaitan. Meskipun terdapat perundang-undangan tersebut, amnesti di Afrika
Selatan diberikan secara bersyarat, dan dengan demikian memerlukan pertimbangan terlebih dahulu dalam bentuk penyelidikan terhadap pelanggaran di masa lalu. Janji
reparasi ini menjadi insentif bagi para korban untuk bersaksi dalam proses terbuka di negeri itu; dan tindakan reparatoris dijadikan bagian dari saran-saran dalam Laporan
28
Untuk perdebatan ilmiah terkait tentang peran harga diri dalam perdebatan penghukumanimpunitas, lihat Jaime Malamud Goti, “Transitional Governments in the Breach: Why Punish State Criminals?” Human
Rights Quarterly 12, No. 1 1990: 1-16.
29
Lihat PBB, El Salvador Agreements: The Path to Peace, Report of the Commission on Trith for El Salvador,
DPI1208 1992.
30
Lihat “Guatemalan Foes Agree to Set up Rights Panel”, New York Times, 24 Juni 1994, rubrik internasional.
31
Konstitusi Afrika Selatan, bagian penutup.
32
Lihat Azanian Peoples Organization AZAPO and Others v. President of the Republic of South Africa and Others,
1996 4 SA LR 671 CC.
12 Komisi Kebenaran Afrika Selatan. Dalam semua transisi yang dibahas di atas, sanksi
pidana tidak diberikan dan diganti dengan bentuk keadilan reparatoris. Penggunaan tindakan reparatoris transisional, seperti dibicarakan di atas, oleh
rezim penerus sebagai ganti penghukuman menantang intuisi kita tentang apa yang membedakan sanksi pidana dan perdata. Pertentangan pidana-perdata yang umum
diterima ternyata tidak berlaku dalam praktik transisional. Praktik reparatoris transisional menyikapi pelanggaran hak-hak individual, sekaligus menentukan tanggung jawab untuk
tindak pidana di masa lalu, sehingga gabungan tujuan ini sukar diklasifikasikan sebagai keadilan pidana atau korektif. Praktik reparatoris transisional yang dibicarakan di atas
memungkinkan pengetahuan dan pengutukan publik terhadap pelanggaran dengan cara serupa dengan sanksi pidana. Dalam common law, sifat kesalahan dianggap terikat
dengan sifat kerugian, maka publik dan privat bersesuaian dengan pidana dan perdata. Seperti ditulis William Blackstone, “[P]elanggaran perdata merupakan pelanggaran
terhadap hak-hak sipil yang dimiliki individu, yang dianggap semata-mata sebagai individu, sementara pelanggaran publik, atau kejahatan dan tindak pidana, merupakan
pelanggaran terhadap hak-hak dan kewajiban publik, yang berkaitan dengan seluruh masyarakat.”
33
Meskipun hal ini dalam common law merupakan perbedaan utama antara pidana dan perdata; dalam negara modern, cara berpikir kita tentang perbedaan peradilan
pidana dan korektif telah mengalami perubahan. Hal ini terlihat dengan jelas dalam transisi.
Praktik reparatoris transisional menantang pemahaman bahwa ciri utama peradilan pidana yang membedakannya dari peradilan perdata adalah dominasi peran
negara, karena skema reparatoris ini memiliki arti bahwa negara terlibat secara mendalam.
34
Pemahaman ini juga ditantang oleh berbagai inisiatif privat dalam peradilan pidana transisional. Dalam masa transisi politik, pihak privat, seperti para korban atau
perwakilannya, sering kali mendorong proses penuntutan. Inisiatif privat ini tampak jelas dalam sejarah: hampir semua usaha pengadilan penjahat Perang Dunia Kedua sejak masa
pasca-perang berasal dari inisiatif privat.
35
Contoh penting dalam hal ini adalah Prancis. Dalam hukum pidana kontinental, inisiatif dalam peradilan pidana sering kali dimulai
oleh pihak privat, biasanya para korban, seperti dalam proses perdata.
36
Keterlibatan privat para korban dalam peradilan pidana juga mulai dipertimbangkan dalam
jurisprudensi sistem Inter-Amerika, di mana Komisi Inter-Amerika telah mengakui bahwa bila undang-undang amnesti disahkan, hak proses peradilan para korban
terpengaruh, sehingga ada kemungkinan gangguan terhadap proses penyelidikan dan retributif. “Para kerabat atau korban pelanggaran hak asasi manusia memiliki hak untuk
proses hukum, untuk penyelidikan yudisial yang mendalam dan tidak memihak untuk
33
William Blackstone, “Of Public Wrongs”, dalam Commentaries on the Laws of England, jilid 4, Oxford: Clarendon Press, 1765, 1765, 5-6.
34
Jeffrie G. Murphy dan Jules L. Coleman, Philosophy of Law: An Introduction to Jurisprudence, Boulder: Westview Press, 1990, 114-17, 145, 157-60.
35
Lihat misalnya, Fédération Nationale de Déportés et Internés Résistants et Patriotes vs. Barbie, 78 ILR 125 Fr. cass. Crim, 1985.
36
Marry Ann Glendon, M.W. Gordon dan Christopher Osakwe, Comparative Legal Traditions: Text, Materials and Cases on the Civil and Common Law Traditions, with Special Reference to French, German,
English and European Law , St. Paul: West Publishing, 1994, 95-96.
13 menentukan fakta-fakta”.
37
Jaminan terhadap perlindungan setara ini berlaku bagi seluruh masyarakat dan dapat dituntut oleh para korban sebagai jaminan mendasar kedaulatan
hukum. Kita keluar dari dilema dari respon rezim yang sedang melakukan liberalisasi
terhadap pelanggaran negara di masa lalu. Timbullah bentuk-bentuk keadilan gabungan hibrida yang menggabungkan peran negara dalam memberikan sanksi bagi pelanggaran
publik, sekaligus memberikan ganti rugi individual. Karena, pelanggaran di masa lalu ini bukanlah semata-mata hubungan antara korban dan pelaku, namun melibatkan kebijakan
negara dalam suatu komunitas. Praktik reparatoris transisional memungkinkan pengakuan terhadap pelanggaran hak individual dan kerugian yang ditimbulkannya, juga
pelanggaran oleh pemerintah secara publik. Kedekatan antara peradilan pidana dan korektif ini terlihat dalam kedua bentuk respon legal dalam paradigma jurisprudensi
transisional. Seperti sebelumnya dibicarakan dalam bab 2, bahkan sanksi pidana secara terbatas memajukan tujuan pengutukan kejahatan, pembersihan para korban dan sistem
hukum. Terdapat kedekatan antara pemikiran-pemikiran keadilan punitif dan reparatoris dalam masa perubahan radikal. Fungsi terpenting dari hukum adalah untuk mendorong
transisi pada masa-masa tersebut. Hukum menjalankan fungsi tersebut bila ia mengakui pelanggaran yang dilakukan oleh negara di masa lalu, mengembalikan kehormatan para
korban dan membersihkan sistem hukum.
38
Reparasi dan Privatisasi setelah Komunisme Hal yang menjadi ciri utama transisi dari komunisme adalah adanya berbagai perubahan
mendasar secara bersamaan: konstitusional, politik, sipil dan ekonomi. Dalam transisi berganda inilah, sebagai bagian integral untuk membangun pasar bebas, skema
reparatoris di Eropa Tengah dan Timur diciptakan.
39
Baik dalam pengembalian hak milik yang semula disita atau dengan kompensasi, kaitan dengan privatisasi menunjukkan peran kompleks reparasi transisional pasca-
komunisme: untuk memperbaiki pelanggaran negara di masa lalu, terutama penyitaan pada era Stalin, dan juga untuk memajukan kepentingan privatisasi kontemporer yang
berkaitan dengan transformasi ekonomi. Kedua tujuan ini sering kali dianggap bertentangan, yang menunjukkan dilema yang spesifik bagi bekas blok Soviet dan
negara-negara yang mengalami perubahan pasar serupa. Kalau begitu, ganti rugi yang bagaimana yang sesuai dengan kepentingan perubahan ekonomi, yaitu transisi ke pasar
bebas? Pada akhirnya, tindakan reparatoris yang diambil berusaha mendamaikan kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam penyelesaian pragmatis tujuan politik dalam
transisi, reparasi pasca-komunis menantang pemahaman tradisional tentang keadilan korektif dan distributif.
37
Decision on Full Stop and Due Obedience Laws, Report No. 2892, hlm. 32. Lihat Decision on the Ley de Caducudad
dikutip dalam catatan kaki 20 di atas, hlm. 35, 39.
38
Tujuan demikian dielaborasi dalam teori penghukuman Kantian. Lihat Immanuel Kant, The Metaphysical Elements of Justice: Part 1 of the Metaphisics of Morals
, terjemahan J.I. Ladd, Indianapolis: Bobb-Merrill, 1965.
39
Untuk analisis ilmiah tentang berbagai skema, lihat umumnya “A Forum on Restitution”, East European Constitutional Review
2 1993: 30.
14 Pada awal tahun 1991, kurang dari dua tahun sejak revolusi 1989, perdebatan di
Republik Ceko tentang apa yang harus dilakukan dengan kejahatan-kejahatan politik masa komunis berakhir dengan Undang-Undang Rehabilitasi Ekstrayudisial.
40
Ditujukan untuk memberikan restitusi bagi para korban penindasan politik era komunis, undang-
undang ini menyatakan bahwa properti apa pun yang didapatkan secara paksa haruslah dikembalikan. Dalam perdebatan parlementer tentang undang-undang ini, tampak jelas
tujuan berganda restitusi ini: banyak dari pendorong undang-undang ini mendukungnya atas dasar ekonomi. Karena di bekas Cekoslowakia negara praktis memonopoli alat-alat
produksi, pengembalian properti yang disita dijustifikasi sebagai “restitusi natural”, sebagai cara yang efisien untuk melakukan privatisasi, karena ia dapat memfasilitasi
pemindahan properti negara ke kepemilikan swasta. Sebaliknya, para penentang undang- undang ini menyatakan bahwa ini adalah tindakan yang secara mendasar memandang ke
belakang, yang mengurangi kemungkinan kaitan kepemilikan yang lebih bebas. Kedua pihak ini benar: konstruksi hak milik yang pertama memajukan sasaran masa kini untuk
menciptakan pasar swasta, dan undang-undang ini mengkonstruksi pemahaman hak milik swasta. Setelah diambilnya langkah-langkah pertama dalam transisi politik negara dapat
memulai proyek restitusinya yang berskala besar ini.
Bahwa reparasi dalam transisi pasca-komunis memiliki kepentingan politis dinyatakan secara jelas dalam Undang-Undang Kompensasi Hungaria. Pendahuluan
undang-undang ini menyatakan bahwa ia memiliki tujuan “ganda” untuk “menciptakan keamanan berusaha dalam kondisi ekonomi pasar dan untuk mengurangi kerugian yang
disebabkan oleh negara”. Justifikasi “hak milik baru” ini didasarkan pada perlindungan klaim hak milik di masa lalu:
Negara yang mengakui dan melindungi hak milik pribadi memiliki kewajiban moral untuk mengambil tindakan dan memberikan ganti rugi finansial bagi mereka yang hak miliknya
dirugikan. Untuk kepentingan mengembangkan kaitan kepemilikan yang lebih sehat dalam ekonomi pasar modern, negara berkehendak untuk mengembalikan kerugian hak milik
pribadi yang dialami ... dengan memberikan ganti rugi parsial kepada bekas pemilik.
41
Seperti dijelaskan dalam pendahuluan undang-undang ini, anggapan tentang keberadaan hak milik “di masa lalu” ini merupakan fiksi yudisial untuk menjustifikasi
dan memajukan konstruksi hak milik secara sesegera mungkin. Dan, sementara pengakuan terhadap hak milik demikian bersifat ex post, kostruksi ini dilakukan untuk
kepentingan ekonomi yang memandang ke depan. Ketika Pengadilan Konstitusional negara ini menegaskan kostitusionalitas skema kompensasi ini, skema tersebut dikatakan
sebagai “novation”, yang berarti bahwa “hak-hak” dan pelanggarannya di masa lalu digunakan untuk menjustifikasi hak milik di masa kini. Konflik antara kepentingan
restitusi dan privatisasi, jika ada, dapat diselesaikan dengan tidak menetapkannya secara absolut “semua” atau “tidak sama sekali”, yaitu dilema tentang restitusi sepenuhnya
terhadap properti yang disita. Keputusannya adalah berkompromi dengan apa yang disebut “ganti rugi parsial”.
Mengaitkan sasaran reparatoris dengan kepentingan ekonomi dilakukan oleh masing-masing negara di wilayah ini. Bahkan, perimbangan kepentingan selalu berubah
40
Law on Extrajudicial Rehabilitation “Large Restitution Law” Republik Federal Czek dan Slowakia, 1991, dicetak ulang dalam Central and Eastern European Legal Texts Maret 1991.
41
Compensation Laws, No. 25 Hungaria, 1991.
15 dalam transisi. Maka, dalam Traktat Unifikasi, kedua Jerman menyepakati restitusi luas:
menurut prinsip “restitusi mendahului kompensasi” dalam traktat itu, bila ada properti yang disita, selain pada masa pendudukan Soviet, ia akan dikembalikan kepada mantan
pemilik atau ahli warisnya.
42
Setelah proyek ini dimulai, prinsip restitusi luas ini mendapatkan tentangan karena menghambat privatisasi, sehingga klaim restitusi diubah
menjadi kompensasi. Ketika skema kompensasi ini ditentang berdasarkan perlindungan konstitusi Jerman terhadap penyitaan hak milik, konstitusionalitas skema ini tetap
dianggap berlaku. Menurut pengadilan, larangan terhadap penyitaan dalam konstitusi, sebagai respon terhadap penyitaan pada masa komunis, tidak mensyaratkan
pengembalian properti tersebut kepada pemilik semula, atau memberikan kompensasi apa pun.
43
Mirip dengan itu, ketika undang-undang kompensasi parsial di Hungaria ditentang, Pengadilan Konstitusional menegaskan keabsahannya, yang menyatakan bahwa restitusi
bukanlah “hak”, sehingga parlemen harus menunjukkan bahwa perlakuan khusus tersebut benar-benar merupakan kepentingan publik.
44
Dengan cara ini, rezim yang menggantikan pemerintahan komunis satu partai dapat menggabungkan berbagai tujuan dan program restitusi mereka. Prinsip yang
memandu hal ini adalah harmoni, sehingga reparasi untuk pelanggaran di masa lalu dijustifikasi atas dasar yuridis, sebagai hak menurut hukum yang sesuai dengan tujuan
transisi ekonomi.
45
Masalah privatisasi melalui reprivatisasi yang muncul di Jerman dan Republik Ceko mungkin bisa membuat negara-negara lain enggan melakukan restitusi berskala
besar.
46
Maka, meskipun Polandia memperdebatkan restitusi terhadap klaim atas properti milik mereka yang hartanya disita pada masa komunis, begitu masa komunisme berakhir,
tidak pernah tercipta konsensus tentang kebijakan restitusi. Rancangan Undang-Undang Reprivatisasi negara itu, bila berlaku, akan menyelesaikan konflik antara keadilan
reparatoris dan kebijakan privatisasi, dengan memberikan kompensasi secukupnya
42
Republik Federal Jerman dan Republik Demokratik Jerman, “Agreement with Respect to the Unification of Germany”,
31 Agustus 1990, BGBI.II, diterjemahkan dan dicetak ulang dalam International Legal Materials
30 1991: 457 kemudian “Traktat Unifikasi Jerman”. Prinsip “restitusi mendahului kompensasi” ini ditemukan dalam Pasal 41 traktat ini. Detail-detail skema ini ditemukan dalam lampiran II
traktat ini, sebagai bagian Kesepakatan Bersama 15 juni 1990, sebelum dimuat dalam traktat.
43
Land Reform Decision, Combined Nos. I BvR 117090, 117590, Neue Juristiche Wochenschrift 1959 Pengadilan Konstitusional Jerman, 1991. Lihat juga Keith Highet, George Kahale III dan Charles E.
Stewart, “Former German Democratic Republik – Soviet Occupation Expropriations – Constitutionality of German Unification Agreement Clause Providing that Cash Compensation is Sole Remedy ‘Land Reform’
Decision”, American Journal of International Law 85 1991: 690.
44
Judgment of July 3, 1991, No. 281991 IV.3 AB, Magyar Kozlony No. 591991 Hungaria, Alkotmánybíriság [Pengadilan Konstitusional] terjemahan tidak resmi dalam arsip Michigan Journal of
International Law . Keputusan ini juga dirujuk dalam literatur sebagai “kasus kompensasi III”, Untuk
analisis undang-undang kompensasi dan ketiga keputusan Pengadilan Konstitusional yang memodifikasinya, lihat Ethan Klingsberg, “Safeguarding the Transition”, East European Costitutional
Review 2, No. 2 musim semi 1993: 44.
45
Untuk diskusi tentang beberapa pertimbangan moral tentang restitusi di wilayah ini, lihat Claus Offe, Varieties of Transition – The East European and East Germany Experience
, Cambridge: MIT Press, 1996.
46
Lihat Vojtech Cepl, “A Note on the Restitution of Property in Post-Communist Czechoslovakia”, Journal of Communist Studies
7, No. 3 1991: 368-75.
16 terhadap korban penyitaan, dari pendapatan perusahaan negara yang diprivatisasi.
47
Hal ini merupakan titik tengah antara tujuan reparatoris dan distributif.
Reparasi pasca-komunis menggambarkan paradigma konsep tradisional tentang keadilan reparatoris. Ia bukanlah dasar yang ideal, namun mencerminkan berbagai
sasaran yang mewarnai masa pergolakan politik yang luar biasa. Praktik pada masa transisi adalah berupa pemberian pembayaran yang dijustifikasi atas dasar untuk
memperbaiki kesalahan di masa lalu dan sekaligus memajukan sasaran ekonomi transisional. Bersamaan dengan usaha negara untuk memperbaiki kesalahan rezim lama
yang melakukan perampasan, hak-hak di masa lalu digunakan untuk menjustifikasi redistribusi hak milik di masa kini. Dengan cara ini, prinsip reparatoris dipakai untuk
melakukan transisi menuju ekonomi pasar. Kewajiban reparatoris ditanggung, dan klaim hak diberikan, bila mereka bersesuaian dengan kepentingan politis lain dari transisi.
“Hak-hak” properti ex post facto dibentuk dan dijustifikasi selama mereka bersesuaian dengan transformasi ekonomi. Dalam konsepsi yang kompleks ini, skema reparatoris
transisional memajukan secara bersamaan berbagai bentuk perubahan yang berbeda-beda.
Bila tindakan reparatoris transisional ditujukan untuk memajukan tatanan baru ekonomi, skema-skema ini menciptakan satu kelas baru pemilik properti dengan
konsekuensinya terhadap transformasi politik. Jelas, modal yang terkumpul memberikan andil besar dalam komunitas politik. Terlebih lagi, bila skema reparatoris menjadi syarat
untuk dukungan terhadap pemerintah atas dasar politik, mereka bisa mempengaruhi rekonstruksi keanggotaan ekonomi dan politik. Kelompok kepentingan restitusi telah
mempengaruhi perkembangan partai politik di Republik Ceko, Hungaria dan Bulgaria.
48
Bila kebijakan restitusi disyaratkan atas penindasan politik di masa lalu, kebijakan tersebut menunjukkan kedekatan dengan respon transisional lainnya, seperti tindakan
administratif yang secara terbuka merekonstruksi batas-batas komunitas politik. Dilema Keadilan Reparatoris Transisional dan Kedaulatan Hukum
Prinsip kedaulatan hukum manakah yang memandu keadilan reparatoris dalam masa transisi? Proyek reparatoris dalam berbagai masyarakat dalam konteks gejolak politik
yang luar biasa memajukan tujuan-tujuan yang berkaitan dengan perubahan politik radikal, di luar tujuan-tujuan remedial yang lazim, seperti rekonsiliasi masyarakat dan
transformasi ekonomi. Keadilan reparatoris transisional memajukan sasaran politik yang berada di luar prinsip keadilan korektif konvensional. Dalam skema-skema reparatoris
yang kompleks ini, prinsip apa yang menjustifikasi keadilan reparatoris transisional?
Pertanyaan tentang apa yang menjadi panduan ini timbul dalam perdebatan tentang restitusi pasca-komunisme. Tantangan menghadapi reparasi di wilayah ini,
menurut Presiden Republik Ceko dan mantan oposan, Václav Havel, adalah “jika semua
47
Alberto M. Aronovitz dan Miroslaw Wyrzykowski, “The Polish Draft Law on Reprivatization: Some Reflections on Domestic and International Law”, Swiss Review of International and European Law 1991:
223.
48
Untuk analisis perseptif tentang bagaimana kelompok kepentingan restitusi mempengaruhi perkembangan partai transisional, lihat Jonathan Stein, “The Radical Czechs: Justice as Politics” Makalah
dipresentasikan dalam Konferensi Keadilan dan Transisi di Venesi, oleh Foundation for a Civil Society, November 1993.
17 orang menderita, mengapa hanya beberapa yang mendapat kompensasi?”
49
Pada umumnya, norma panduan yang utama adalah kerugian yang telah dialami. Kerugian
pada masa pemerintahan sebelumnya dipahami sesuai dengan konteks wilayah tersebut secara universalis dan egaliter. Premis-premis ini ditarik dari nilai utama kedaulatan
hukum dalam masa komunisme. Jon Elster, memandang bahwa “isu utama ... adalah ... perlakuan yang setara ... Amanat penting untuk mengingat bahwa pada dasarnya semua
menderita dalam masa komunisme .... Kompensasi sepenuhnya bagi beberapa korban saja tidak bisa dibela sebagai suatu bentuk konkret dari ide tentang kompensasi universal”.
50
Berawal dari klaim bahwa dalam masa totaliter sebelumnya semua orang mengalami penderitaan, mereka yang menentang tidakan reparatoris pasca-komunisme
beralasan bahwa satu-satunya skema reparatoris yang adil adalah yang bersifat universal. Karena jelas bahwa skema tersebut tidaklah mungkin disebabkan kurangnya sumber daya
yang tersedia, argumen universalitas ini malah menjadi dasar untuk menolak segala bentuk pemberian kompensasi, yang sebenarnya paradoksal. Bagaimanapun, keadilan
reparatoris di bekas blok komunis amat dilemahkan karena tiadanya kompensasi secara menyeluruh. Asumsi egaliter utama bahwa “semua orang menderita” dalam masa rezim
lama memliki dua klaim tentang reparasi berdasarkan pada kerugian yang dialami, klaim universalitas dan kesetaraan. Bila reparasi universal ditempatkan sebagai idea, skema
reparatoris transisional menjadi terkutub: semua atau tidak sama sekali. Argumen egaliter yang digunakan untuk menentang reparasi transisional menggemakan eksperimen sosialis
– yang telah gagal.
Namun, dalam sistem demokrasi yang mapan, melakukan tindakan perbaikan, yang bahkan hanyalah sebagian, diterima sebagai bagian dari tindakan korektif.
51
Kedaulatan hukum yang berlaku umum untuk kebijakan pemerintah ini adalah bahwa mereka dijalankan langkah demi langkah.
52
Nilai-nilai perlindungan yang setara menunjukkan bahwa kasus serupa; suatu kebijakan korektif yang adil harus
mempertimbangkan klaim-klaim individual dan keseruapaan antaranya. Tantangan terhadap skema reparatoris pasca-komunis ini juga terlihat dalam
masalah distribusi. Dari perspektif ini, kebijakan distributif yang adil harus memperhatikan klaim-klaim dari anggota lain dalam masyarakat. Meskipun universalitas
bukanlah panduan utama terhadap keadilan korekatif secara konvensional, ia perlu diperhatikan pada masa setelah komunisme.
Dengan menjadikan kerugian sebagai dasar keadilan reparatoris pada masa transisional, skema-skema ini menjadi rentan karena memiliki dampak yang terbuka,
berpotensi untuk memasukkan segala bentuk ketidakadilan di masa lalu. Dengan potensi klaim yang tidak terbatas ini, batasan yang mungkin ditentukan oleh ketersediaan sumber
daya. Namun, masalah ini bisa agak berkurang karena sejarah politik ekonomi terpimpin di wilayah tersebut, karena properti yang dipermasalahkan berada di tangan negara:
49
Václav Havel, Open Letters: Selected Writings, 1965-1990, ed. Paul Wilson, New York: Random House, Vintage Books, 1992.
50
Jon Elster, “On Doing What One Can: An Agreement against post-Communist Restitution and Retribution”, East European Constitutional Review 1, No. 2 musim panas 1992: 16 tekanan
ditambahkan.
51
Untuk suatu rangkuman yang bagus, lihat John Chapman ed., Compensatory Justice: Nomos XXXIII, New York: New York University Press, 1991.
52
Lihat Peter Schuck, “Mass Torts: An Institutional Evolutionist Perpective”, Cornell Law Review 80 1995: 941.
18 negara terimplikasi sebagai pemilik properti atau sebagai pelaksana skema restitusi yang
memerlukan kerja sama dari pihak ketiga. Kedekatan antara skema korektif dan distributif dalam kondisi transisional ini cukup menjelaskan dorongan untuk
menggunakan universalitas sebagai nilai kedaulatan hukum yang memandu transisi.
Kritik terhadap reparasi transisional dari teori ideal menentang skema-skema ini karena tidak bersifat universal, dengan “kerugian” sebagai dasar pemberian reparasi.
Namun, sementara kerugian bisa dijadikan justifikasi reparasi transisional, prinsip-prinsip lain yang memberikan batas-batas juga digunakan, yang mengalihkan fokus dari kerugian
ke hak. Reparasi dalam sistem liberal dijustifikasi dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak individual. Di negara-negara liberal, inilah dasar untuk keadilan korektif.
53
Fokus terhadap hak-hak individual sebagai ciri utama sistem hukum liberal ini terlihat dalam dominasi keadilan korektif dalam sistem demokrasi yang sudah mapan. Maka,
skema-skema transisional, terutama setelah komunisme, ketika terjadi bersamaan dengan transformasi politik dan ekonomi, melampaui pemahaman konvensional tentang keadilan
korektif dan distributif. Pemberian hak milik atas properti sebagai akibat pelanggaran di masa lalu dikonstruksikan secara ex post dan secara bersamaan merujuk pada diri sendiri
dan menjustifikasi distribusi properti di masa kini. Pengakuan terhadap pelanggaran di masa lalu meletakkan dasar untuk konstruksi kontemporer hak-hak properti yang baru.
Skema reparatoris memediasi tujuan-tujuan transisi yang memandang ke belakang dan ke depan.
Reparasi Politik: Prioritas Transisional untuk Kesetaraan Politik Di berbagai budaya hukum, praktik reparatoris sering kali dilakukan pada masa-masa
pergolakan politik. Reparasi disepakati sebagai respon legal yang paling populer pada masa transisi, bahkan di negara-negara yang umumnya tidak menyukai remedi seperti itu.
Kompensasi adalah hal kontroversial di negara-negara yang tradisi hukumnya bukanlah common law
; sementara, dalam budaya hukum kontinental, pelanggaran berat terhadap hak umumnya dianggap tidak bisa diperbaiki dengan pemberian ganti rugi moneter.
54
Serupa dengan itu, karena alasan kebijakan yang dikaitkan dengan ekonomi terpimpin, yang dibicarakan di bagian awal dalam bab ini, terdapat pula penolakan terhadap reparasi
setelah berakhirnya komunisme. Legalitas sosialis menempatkan nilai kecil atau tidak sama sekali terhadap pengakuan hak-hak milik individual.
55
Akibatnya, usaha untuk memperbaiki perlakuan politik di masa rezim lama dengan memberikan kompensasi atau
restitusi atas dasar politik merupakan suatu hal yang menandakan perubahan sikap dibandingkan masa lalu.
Pertanyaan utama tentang keadilan adalah: dari semua pelanggaran yang dilakukan pada masa penindasan yang sudah berlaku, ketidaksetaraan manakah yang
memerlukan perbaikan? Perlakuan berbeda manakah yang menjustifikasi reparasi
53
Untuk perspektif liberal, lihat Randy E. Barnett, “Compensation and Rights in the Liberal Conception of Justice”, dalam Nomis XXXIII: Compensatory Justice, ed. John Chapman, New York: New York
University Press, 1991, 311-29.
54
Lihat Schlueter dan Redden, Punitive Damages. Lihat juga B.S. Markesinis, A Comparative Introduction to the Law of German Torts
, New York: Oxford University Press, 1990.
55
Allen Buchanan, Marx and Justice: The Radical Critique of Liberalism, New York: Rowman and Littlefield, 1984, 40-85.
19 suksesor? Kerugian saja, seperti dibicarakan di atas, tidak menjadi satu-satunya dasar
reparasi pada masa transisi. Karena setelah pemerintahan represif yang sistematis, kerugian tidaklah terbatas dan bukan menjadi prinsip yang restriktif. Preseden reparatoris
tentang perlakuan yang berbeda pada masa pemerintahan represif di masa lalu menunjukkan bahwa prinsip relevan tentang perbedaan perlakuan yang layak mendapat
kompensasi menentukan kerugian mana yang mendapat perbaikan, adalah prinsip penindasan politik. Praktik transisional di atas menunjukkan bahwa perlakuan negara di
masa lalu yang layak mendapatkan kompensasi terutama berkaitan dengan diskriminasi di masa lalu atas dasar politik; prinsip utama kerugian yang dapat dikompensasi pada
masa transisi berusaha untuk memperbaiki kesalahan penindasan politik di masa lalu. Kompensasi sering kali dijustifikasi atas dasar hak yang diciptakan dalam hukum natural
atau internasional, sebagai sumber norma-norma yang berkelanjutan yang mengabaikan perubahan politik.
56
Dalam hukum internasional, dukungan terkuat adalah terhadap pelanggaran-pelanggaran yang paling berat, yaitu norma-norma “jus cogens”.
57
Reparasi yang dijustifikasi atas dasar prinsip penindasan politik memediasi tujuan transisi yang memandang ke belakang dan depan. Kebijakan reparatoris yang berdasar
pada prinsip perlindungan terhadap penindasan politik dijustifikasi atas dasar mandat negara untuk memberikan perlindungan secara setara. Semua pemerintah wajib
melindungi semua warga-negaranya secara setara di muka hukum; pelanggaran kewajiban ini adalah dasar untuk melakukan revolusi.
58
Kesetaraan di muka hukum sering kali menjadi nilai yang mendasari revolusi, namun setelahnya, ke mana perginya
hak untuk mendapat perlindungan yang setara ini? Bila perbaikan dilakukan dengan memandang penindasan politik di masa lalu, ia menghidupkan kembali dasar revolusi dan
memajukan rekonstruksi hak-hak warga negara. Perhatian terhadap hak-hak kesetaraan ini memiliki signifikansi yang melampaui individu-individu yang terpengaruh dan
menjangkau masyarakat secara keseluruhan. Bila rezim penerus memberikan reparasi terhadap korban penindasan politik rezim lampau, tindakan demikian menegaskan bahwa
hak-hak warga negara akan dilindungi secara setara. Pengakuan hak-hak individual menggariskan suatu garis baru yang memberikan keamanan individu dari negara, yang
merupakan tanda perubahan menuju liberalisasi. Tindakan reparatoris transisional menarik garis yang memisahkan masa lalu dengan masa kini, dari penindasan politik, dan
dengan demikian, menjalankan tindakan dan ritual yang dikaitkan dengan sistem hukum negara liberal.
Dilema Titik Awal Usaha reparatoris suksesor biasanya diambil dengan prinsip penindasan politik, terhadap
hak-hak yang diakui secara retroaktif oleh rezim transisional. Dalam proses konstruktif ini, pertanyaan penting yang muncul tentang kebijakan reparatoris adalah dari mana
menarik titik awal?
56
Lihat misalnya, Law on Extrajudicial Rehabilitation menggunakan hukum internasional sebagai dasar hak atas properti dikutip dalam catatan kaki 40 di atas.
57
Lihat catatan kaki 40 di atas.
58
Lihat Steven J. Heyman, “The First Duty of Government: Protection, Liberty, and the Fourteenth Amendment”, Duke Law Journal 41 1991: 507.
20 Bagaimana cara masyarakat transisional menyelesaikan dilema titik awal? Dalam
negara-negara demokrasi mapan, pemerintahan suksesor biasanya melanjutkan kewajiban pemerintah sebelumnya;
59
terdapat asumsi kontinuitas negara dan pemerintah penerus dianggap bertanggung-jawab untuk tindakan pendahulunya. Namun, bila rezim penerus
menggantikan serangkaian pemerintahan yang represif, apa kewajiban pemerintah penerus ini, yang hendak memajukan kedaulatan hukum? Apakah intuisi tentang
kontinuitas legal dalam pergantian pemerintahan berarti bahwa semua kewajiban tersebut harus ditanggung? Sejauh mana rezim penerus mewarisi kewajiban yang ditimbulkan
oleh pelanggaran-pelanggaran hak oleh rezim yang lama? Keadilan reparatoris berkaitan dengan pelanggaran di masa lalu, namun pengakuan hak oleh rezim pengganti
menimbulkan pertanyaan: apa yang memandu kegiatan reparatoris tersebut? Preseden transisional menunjukkan bahwa hanya kewajiban-kewajiban tertentu saja yang
diwariskan oleh pelanggaran rezim lama. Negara-negara berbeda dalam tingkat komitmennya terhadap liabilitas atau pertanggungjawaban hukum yang ditimbulkan
pelanggaran di masa lalu.
Garis dasar apa yang tepat dalam perhitungan penggantian kerugian? Masalah ini terlihat dalam transisi kontemporer setelah pendudukan berulang-ulang dan gelombang
penindasan politik. Di bekas blok komunis, pertanyaan tentang titik awal ini menimbulkan perdebatan sengit. Sejarah invasi berulang-ulang, pendudukan Nazi masa
Perang Dunia Kedua yang dilanjutkan pendudukan Soviet, berarti bahwa setelah keruntuhan blok Soviet, perdebatan tentang titik awal tentang penindasan politik dan
korban-korban manakah yang akan mendapatkan kompensai menjadi inti perdebatan publik di seluruh wilayah ini. Meskipun sejarah masa lalu wilayah ini sering kali
digambarkan sebagai masa-masa penindasan yang berkelanjutan, pertimbangan terhadap tindakan reparatoris menimbulkan perdebatan publik pertama tentang konsekuensi
penindasan berkelanjutan ini terhadap titik awal transisi ke arah liberal. Pertanyaan dan pilihan yang ada memiliki muatan politis, karena terkait dengan pendudukan Nazi dan
Soviet, dan dengan penarikan garis pengembalian ke kedaulatan domestik.
Perdebatan titik awal ini menggambarkan persaingan politik tentang signifikansi sosial pengakuan terhadap hak-hak reparatoris transisional. Bila garis tanggung jawab
suksesor ditarik secara bersesuaian dengan pengembalian ke kedaulatan internal, titik awal ini mungkin bisa dijustifikasi dari perspektif legal, yaitu kembali ke kedaulatan
hukum. Namun, pilihannya tetaplah kontroversial secara politis. Pilihan titik awal restitusi harus memilih korban-korban berbagai spektrum penindasan dan kelompok
kepentingan politisnya. Dilema ini sedemikian parahnya sehingga di beberapa negara, seperti Polandia, ia menghalangi tercapainya kesepakatan tentang kebijakan restitusi yang
akan diambil. Perdebatan yang berkepanjangan dan panas tentang titik awal di Eropa Timur menunjukkan bahwa kebijakan reparatoris pada masa-masa demikian tidak bisa
menolak pengaruh politisasi, terutama bila skema kompensatoris digunakan untuk melakukan hal-hal lainnya seperti reformasi ekonomi dan privatisasi.
Di banyak negara di wilayah itu, tahun 1948 ditentukan sebagai titik awal, yang dijustifikasi sebagai akhir pendudukan asing dan kembalinya kedaulatan domestik. Di
Jerman, misalnya, penyitaan sebelum tahun 1949 pada awalnya tidak dijadikan bagian
59
Lihat Lassa Oppenheim, “Peace”, Vol. 1, pengantar dan pt. 1 Oppenheim’s International Law, ed. Robert Jennings dan Arthur Watts, London: Longman Group, 1992, 234-35.
21 dari program restitusi negara ini;
60
dan baru setelah timbul tekanan dari pihak luar Amerika, pogram restitusi ini diperluas untuk mencakup perampasan pada era Nazi.
Sementara perampasan yang dilakukan setelah terbentuknya Republik Demokratik Jerman akan direstitusikan kepada mantan pemiliknya, properti yang disita pada masa
pendudukan Soviet di Jerman Timur antara tahun 1945 dan 1949 hanya dikompensasi sebagian. Undang-Undang Rehabilitasi Ekstrayudisial Cekoslowakia juga menjadikan
tahun 1948 sebagai garis batas, yang dijustifikasi sebagai saat pengambilalihan kekuasaan oleh komunis dan dimulainya pemerintahan satu partai.
61
Meskipun undang- undang restitusi Cekoslowakia ini mengakui “berbagai ketidakadilan dari masa
sebelumnya”, seperti perampasan yang berkaitan dengan Perang Dunia Kedua, ia tidak mengembalikan properti milik orang Yahudi yang dirampas oleh Nazi atau
mengembalikan properti dua juta warga Sudeten etnik Jerman yang dirampas pada waktu mereka diusir setelah perang berakhir.
Potensi diskriminatoris dari penarikan titik awal ini menjadi perdebatan tingkat konstitusional di wilayah ini. Isu ini menimbulkan konflik antara para politisi dengan
para pejabat hukum. Di Hungaria, masalah titik awal ini menjadi titik fokus pertikaian sengit dan berkepanjangan antara Parlemen dan Pengadilan Konstitusional. Undang-
Undang Kompensasi Hungaria hanya akan memberikan restitusi bagi mereka yang propertinya dinasionalisasikan secara paksa setelah tahun 1949. Dalam sejumlah
keputusan kontroversial, Pengadilan Konstitusional menyatakan bahwa undang-undang tersebut “tidak memiliki dasar konstitusional” untuk menggunakan tahun 1949 sebagai
titik awalnya, karena mengabaikan properti yang disita sebelum tahun 1949, seperti milik warga Yahudi pada masa perang dan milik warga Jerman setelah perang berakhir. Prinsip
kesetaraan, menurut Pengadilan Konstitusional, mengharuskan garis batas ini ditarik mundur ke tahun 1939 dan memperlakukan korban-korban perampasan pada era Nazi
setara dengan korban-korban perampasan era Stalin.
62
Dalam keputusan serupa, Pengadilan Konstitusional Ceko, dalam meninjau Undang-Undang Rehabilitasi
Ekstrayudisial, menyatakan bahwa titik awal harus dimundurkan untuk memungkinkan restitusi bagi korban-korban penyitaan era Nazi.
63
Setelah empat puluh tahun pemerintahan Komunis dan penentangannya secara ideologis terhadap hak atas properti, pertanyaan tentang bagaimana mengakui hak atas
properti dalam hukum memiliki muatan politis. Dengan demikian, jurisprudensi konstitusional tentang kontroversi titik awal ini berusaha untuk mendepolitisasi isu ini
dan memindahkannya dari meja pertimbangan politik transisional. Dalam pengadilan konstitusional, kontroversi titik awal tentang restitusi pasca-komunis ini diperlakukan
sebagai masalah konstitusional, dengan isu-isu terpentingnya yaitu ketaatan pada prinsip perlindungan yang setara dan kedaulatan hukum. Namun, meskipun tidak ada
perlindungan terhadap hak atas properti dalam hukum yang telah ada, parlemen dan pengadilan suksesor di wilayah ini menggunakan hukum yang lebih tinggi, seperti hukum
internasional, untuk mengkonstruksi hak. Misalnya, dalam tinjauan yudisial terhadap skema kompensasi Hungaria, justifikasi konstitusional diberikan berdasarkan “hak”;
60
Lihat umumnya “Traktat Unifikasi Jerman.”
61
Law on Extrajudicial Rehabilitation dikutip dalam catatan kaki 40 di atas, pasal 1, pargraf 1.
62
Lihat umumnya Land Reform Decision. Lihat juga Offe, Varieties of Transition.
63
Decision of the czech Constitutional Court, 12 Juli 1994.
22 klaim kompensasi dianggap timbul dari “novasipembaruan premis-premis lama”.
64
Serupa dengan itu, Undang-Undang Rehabilitasi Ekstrayudisial Ceko mendasarkan perlindungan terhadap hak atas properti pada hukum internasional yang melindungi
individu dari perampasan tanpa kompensasi.
65
Dalam konteks transisi politik, dilema titik awal ini merupakan teka-teki yang membingungkan. Menarik garis pertanggungjawaban legal negara untuk pelanggarannya
di masa lalu mengkonstruksi suatu pemahaman sosial tentang kontinuitas legal dan ketaatan pada kedaulatan hukum. Sebaliknya, menarik titik awal juga mengkonstruksikan
diskontinuitas legal dari rezim lama, dan merupakan suatu bentuk “mengembalikan” ke keadaan semula kesalahan-kesalahan di masa lalu. Contohnya adalah Hungaria dan Ceko,
di mana titik awal yang relevan ditarik dan dijustifikasi berdasarkan awal berkuasanya rezim yang “melanggar hukum”. Dengan pandangan ini, titik awal memiliki suatu
diskontinuitas juridis dengan rezim komunis, sementara di pihak lain menegaskan kontinuitas.
Kontroversi titik awal reparasi ini memunculkan isu terpenting dalam transisi tentang konstruksi kontinuitas negara berkaitan dengan tanggung jawab reparatoris dan
identitas politik. Contohnya, dalam Traktat Unifikasi Jerman, titik awal tahun 1949 dijustifikasi sebagai akhir masa pendudukan Soviet. Namun penetapan titik awal ini tidak
bisa dirasionalisasi atas dasar keabsahan rezim sebelumnya, karena masa pendudukan Soviet ini sekurang-kurangnya sama represifnya dengan rezim satu partai domestik.
Namun, prinsip yang memandu penentuan titik awal ini dijustifikasi dengan memasukkan dikotomi kedaulatan internal vs. eksternal, dan prinsip pemandunya sejauh mana terdapat
kontinuitas kedaulatan, yaitu kontinuitas legal dan premis-premis suksesi rezim. Ketersediaan suatu negara untuk memikul tanggung jawab rezim yang mendahuluinya
adalah simbol kontinuitas dalam identitas negara, seperti di Amerika Serikat pasca- Perang Saudara dalam menyikapi hutang-hutang Perang Konfederasi, suatu tindakan
diskontinuitas dari rezim ini.
66
Remedi atau upaya legal reparatoris transisional merupakan tindakan yang menggariskan kontinuitas kewajiban, dan dengan demikian
membangun identitas politik. Dalam berbagai transformasi politik, seperti digambarkan kasus-kasus pasca-
rezim militer dan pasca-komunis, reparasi merupakan respon sosial yang dapat diterima terhadap penindasan dan juga merupakan cara mendorong transformasi politik dan
ekonomi. Reparasi merupakan cara untuk menarik garis batas masa lalu. Ini adalah peran reparasi transisional yang paling simbolis, memajukan tujuan transformasi politik. Usaha
reparatoris dikaitkan dengan rekonstruksi identitas politik. Skema reparatoris mengembalikan kepada para korban status juridis dan politis yang semula terampas.
Misalnya, dalam reparasi Amerika Latin, di mana perampasan status politis dan juridis dilakukan dengan cara-cara di luar hukum, bentuk rehabilitasi politik yang diambil adalah
permintaan maaf secara publik, yaitu pencabutan kembali stigma politis secara terbuka
64
Judgment of july 3, 1991 dikutip dalam catatan kaki 44 di atas, paragraf 3.3-4.
65
Law on Extrajudicial Rehabilitation, bagian 1, paragraf 1.
66
Lihat Konstitusi Amerika Serikat, Amendemen XIV, § 4: “Baik Amerika Serikat maupun negara lain tidak akan menanggung atau membayarkan hutang atau kewajiban yang timbul akibat membantu insureksi
atau pemberontakan terhadap Amerika Serikat ... semua hutang, kewajiban dan klaim demikian akan dianggap ilegal dan tidak berlaku”.
23 dan resmi.
67
Misalnya, dalam pidato Presiden Aylwin kepada rakyat Cili, di mana ia meminta maaf atas nama pemerintah dalam suatu arena publik. Dengan merehabilitasi
mereka yang dihilangkan, reparasi menarik garis dari pelanggaran di masa lalu, dan membentuk suatu identitas politik baru. Keadilan reparatoris adalah bentuk rehabilitasi
politik yang juga lazim di skema-skema pasca-komunis. Setelah perubahan politik di wilayah ini, banyak udang-undang yang disahkan untuk merehabilitasi korban-korban
penindasan era Stalin.
68
Selain rehabilitasi melalui perundang-undangan, terdapat pula tinjauan kasus demi kasus terhadap hampir sejuta kasus pidana mereka yang semula dicabut
kewarganegaraannya dan diusir dari negaranya.
69
Rehabilitasi korban-korban pembalasan dendam politik mencakup pembayaran kompensasi, dan bila relevan, pengembalian
status kewarganegaraan. Pengembalian status politik dilakukan dengan pemberian lambang-lambang, seperti gelar atau medali – bahkan properti digunakan untuk hal ini –
sebagai konstruksi publik kasus politik, identitas dan keanggotaan dalam komunitas.
70
Kelompok-kelompok yang semula ditindas direhabilitasi melalui keputusan presiden.
71
Secara luas, sejarah suatu negara direhabilitasi dengan penamaan ulang jalan-jalan dan monumennya. Undang-undang Rehabilitasi politik secara eksplisit mengakui dan
berusaha untuk memperbaiki kesalahan akibat penindasan politik dengan berbagai cara dari reparasi konvensional hingga ingatan kolektif.
72
Di sini tampak peran konstruktif dari penggantian kerugian dalam mendefinisikan sejarah negara yang penting dalam
identitas politiknya. Penundaan Keadilan Reparatoris: Dilema Perjalanan Waktu
Bagian terakhir ini akan mengeksplorasi keadilan reparatoris setelah suatu jangka waktu tertentu. Apa yang terjadi pada hak dan kewajiban reparatoris transisional setelah
berlalunya waktu? Intuisi kita menganggap bahwa klaim-klaim tersebut akan menjadi
67
Lihat Nicholas Tavuchis, Mea Culpa: A Sociology of Apology and Reconciliation, Stanford: Stanford University Press, 1991.
68
Lihat misalnya Legal Rehabilitation Law, No. 1191990 Republik Federal Czek dan Slowakia, 1990; Law on Political and Civil Rehabilitation of Oppressed Persons
Bulgaria, 1991; Law on Former Victims of Persecution,
No. 7748 Albania, 1993; Legislative Decree No. 118 Romania, 1990; Law on the Rehabilitation of Victims of Political Repression
Rusia, 1991.
69
Lihar Russian Press Digest, 19 Agustus 1992, hal. 91. Lihat juga Current Digest of the Post-Soviet Press,
2 September 1992.
70
Lihat misalnya Law on the Rehabilitation of Victims of Political Repression Rusia, 1991, Pasal 12: “Individu yang direhabilitasi berdasarkan prosedur yang ditentukan oleh undang-undang ini dikembalikan
hak-hak sosial politis, sipil, militer dan gelar-gelar khususnya, yang hilang sebagai akibat penindasan, dan penghargaan serta medali mereka yang dikembalikan”. Pasal 15 menyatakan: “Individu yang mengalami
tindakan penindasan dalam bentuk pencabutan kebebasan dan direhabilitasi berdasarkan undang-undang ini ... mendapatkan kompensasi moneter sebesar 180 rubel untuk tiap bulan penahannya ....”
71
Lihat “Presidential Decree on Rehabilitation of the Cossacks”, British Broadcasting Corporation, 29 Juni 1992; “Crimean Tatar Village Rehabilitated after 48 Years”, British Broadcasting Corporation, 2
November 1992.
72
“Jutaan orang ... ditindas karena agama, status sosial, nasional atau lainnya ... Parlemen Rusia menyampaikan belasungkawanya terhadap para korban ... dan menganggap ‘pembersihan’ tersebut tidak
sesuai dengan keadilan dan menyatakan keinginan tegas untuk menjalankan hukum dan hak-hak sipil.” Lihat catatan kaki 70 di atas.
24 lemah setelah waktu berlalu.
73
Jeremy Waldron, dalam menyusun teori tentang intuisi umum tentang ketidakadilan dalam perjalanan waktu, menyatakan bahwa ketidakadilan
akan “terlewati”, hak-hak akan melemah, dengan munculnya kondisi baru yang menggantikan ketidakadilan di masa lalu.
74
Namun intuisi demikian tampaknya tidak tepat dalam masa transisi; karena banyak proyek reparatoris yang dibicarakan dalam bab
ini dilaksanakan lama setelah terjadinya penindasan negara dan sering kali setelah jangka waktu yang cukup panjang. Konsekuensi waktu di sini tampaknya tidak sesuai dengan
intuisi kita. Bahkan, seperti ditunjukkan oleh beberapa kasus, dilema transisional dapat dihindari dengan menunda pelaksanaan keadilan. Misalnya, setengah abad setelah
terjadinya kekejaman masa Perang Dunia Kedua, para korban atau ahli warisnya tetap mendapatkan penggantian kerugian. Usaha reparatoris di bekas blok Soviet juga
dilaksanakan setelah jangka waktu yang panjang. Setelah perang dan pendudukan yang berkepanjangan, penggantian kerugian transisional sering kali ditunda untuk waktu yang
lama; namun praktik-praktik tersebut tidaklah melemah seiring perjalanan waktu.
Pengalaman yang dibicarakan dalam bab ini dan di seluruh buku ini menunjukkan bahwa waktu berpengaruh secara paradoksal terhadap penggantian
kerugian transisional; dan terlebih lagi, alasan utamanya adalah peran penindasan negara yang belum dianalisis. Bila pelaku utama pelanggaran adalah negara, berjalannya waktu
memiliki konsekuensi yang tidak terbayangkan bagi keadilan transisional. Waktu mempengaruhi perjalanan politik dengan dampak terhadap prasyarat keadilan, namun
intuisi umum tidak bisa menjelaskan dampaknya bagi hak-hak reparatoris para korban, selain kewajiban negara untuk, membayarkan kompensasi – konsekuensi yang sekali lagi
menggarisbawahi ciri utama pembeda keadilan korektif secara abstrak dengan keadilan reparatoris dalam kondisi transisional. Ciri utamanya adalah peran negara dalam
kejahatan di masa lalu dan dampaknya bagi kemungkinan perbaikan. Dalam kondisi ini, peran waktu justru paradoksal. Perjalanan waktu dapat memfasilitasi penentuan fakta-
fakta pelanggaran di masa lalu, selain memberikan jarak politik yang lebih jauh dari rezim pendahulu, dan memberikan akses lebih besar terhadap arsip negara. Terlebih lagi,
semakin banyak dokumentasi yang ada akan berakibat pada semakin mungkinnya diberikan kompensasi, meskipun perjalanan waktu bisa pula berakibat pada mortalitas
mereka yang seharusnya mendapatkan kompensasi. Namun, dalam kondisi demikian, ganti rugi diberikan kepada ahli waris, keturunan dan bahkan wakil-wakil para korban.
Seiring perjalanan waktu, dilema proyek reparatoris transisional yang ditunda menimbulkan masalah keadilan antar-generasi. Dalam keadilan korektif konvensional,
korban mendapat penggantian dari para pelanggar, dan bahkan bila bukan dari pelanggar yang diidentifikasi, dari generasi politik para pelanggar; dalam proyek reparatoris
transisional, ganti rugi bagi para korban diberikan dari anggaran pemerintah pusat. Berjalannya waktu menimbulkan perubahan identitas tidak saja para penerima ganti rugi,
namun juga mereka yang memberikan ganti rugi. Timbul masalah karena mereka yang membayar untuk kesalahan di masa lalu seharusnya secara pribadi tidak terkait dengan
73
Untuk analisis yang mendalam, lihat Jeremy Waldron, “Superseding Historic Injustice”, Ethics 103 1992: 4-28 dan George Sher, “Ancient Wrongs and Modern Rights”, Philosophy and Public Affairs 10,
No. 1 1980: 3, 6-7. Lihat juga Derek Parfit, Reasons and Persons, New York: Oxford University Press, 1989.
74
Lihat Waldron, “Superseding Historic Injustice”, 4-28.
25 pelanggaran di masa lalu. Apakah adil bahwa generasi di masa depan harus membayar
kesalahan rezim di masa yang telah lama berlalu? Pertanyaan ini menimbulkan masalah keadilan antar-generasi yang signifikan.
Secara umum, masalah utama keadilan antar-generasi adalah tentang adil-tidaknya generasi masa kini berkorban untuk generasi mendatang. Seperempat abad lalu, John
Rawls menunjukkan masalah itu: “Seberapa lebih baik kita inginkan generasi mendatang?”
75
Namun, belakangan ini, pertanyaan tentang keadilan lintas generasi ini dipertanyakan kembali dan gambaran tentang masa depan yang tidak terlalu cerah mulai
terlihat. Arah perhatian tentang sumber daya masyarakat di masa depan tidak lagi berfokus masalah akumulasi, melainkan degradasi. Pertanyaan tentang keadilan lintas
generasi diformulasikan ulang.
76
Problem transisional yang dikemukakan di sini menjelaskan dimensi lain dari permasalahan keadilan lintas generasi. Keadilan reparatoris
yang dilaksanakan setelah berjalannya waktu menimbulkan pertanyaan antar-generasi tentang kewajiban apa yang ditanggung rezim penerus kepada korban dari generasi
pendahulu. Dan apakah adil untuk membebankan tanggung jawab ini kepada generasi masa kini atau sesudahnya.
Adil-tidaknya reparasi setelah berlalunya waktu merupakan pertanyaan penting bagi masyarakat transisional yang berkutat dengan kewajiban itu. Preseden yang dibahas
di sini menjelaskan apa yang menjustifikasi penanggungan beban tanggung jawab oleh rezim penerus setelah berlalunya waktu, yang menjelaskan apa yang merupakan
pertimbangan utama untuk menyikapi sejarah pelanggaran di suatu negara. Sebagai contoh, skema reparatoris kontemporer yang ditujukan untuk memperbaiki ketidakadilan
era Stalin menunjukkan dilema berlalunya waktu, karena skema tersebut mendapat tentangan. Skema ini ditentang karena merupakan kasus di mana satu generasi harus
membayar kerugian generasi yang lain dan dijustifikasikan secara umum atas pertimbangan moral.
77
Dalam contoh lain, lebih dari setengah abad setelah berlalunya perang, di Jerman, sejarah pelanggaran negara ini masih dianggap sebagai “defisit moral”
negara.
78
Pertanyaannya menjadi apakah sejarah moral ini dapat dan harus diwariskan. Intuisi ini memiliki beberapa implikasi. Pertama, meskipun tampaknya tidak ada
pelanggaran pribadi, dalam generasi penerus, tetap ada anggapan bahwa generasi penerus mewarisi kebijakan yang buruk dari rezim pendahulunya, yang menyebabkan mereka
mendapat keuntungan yang bukan haknya. Satu cara lain untuk berpikir tentang hal ini adalah bila generasi sebelumnya menghambur-hamburkan sumber daya moral nasional
yang ada, timbul defisit yang diwariskan kepada generasi sesudahnya, yang pada akhirnya harus menanggung hutang itu. Masyarakat dalam transisi yang sedang
mempertimbangkan skema reparatoris setelah jangka waktu yang lama mencerminkan pemahaman defisit moral demikian.
Perdebatan tentang apakah tindakan reparatoris dapat dijustifikasi menganggap masalah keadilan reparatoris transisional lintas generasi sebagai suatu hal yang
75
Lihat John Rawls, A Theory of Justice, Cambridge: Harvard University Press, Belknap Press, 1971.
76
Untuk diskusi lebih luas tentang masalah keadilan lintas generasi, lihat Brian Barry, Theories of Justice, Berkley: University of California Press, 1989, 189-94.
77
Untuk kritik umum tentang skema-skema ini, lihat András Sajó, “Preferred Generations: A Paradox of Counter Revolutionary Constitutions”, Cardozo Law Review 14 1993: 847.
78
Sagi, German Reparations, 62-72 membicarakan pembicaraan Kanselir Konrad Adenauer yang menjustifikasi kewajiban Jerman untuk memberikan reparasi, mengutip K. Grossman, German’s Moral
Debt, The German-Israel Agreement .
26 melibatkan pewarisan “defisit” dalam sumber daya moral suatu bangsa. Bahasa moral
demikianlah yang menjustifikasi reparasi dalam pertimbangan tentang pembayaran Jerman berkaitan dengan kejahatan perang terhadap para korban penindasan Nazi.
79
Pembayaran reparasi tampak sebagai usaha untuk meningkatkan kapital moral. Serupa dengan itu, dalam skema penggantian kerugian Amerika Latin, tujuan reparasi mencakup
pengembalian kredibilitas moral negara.
80
Bahasa serupa yang penuh pertimbangan moral tampak dalam kebijakan reparatoris lainnya, seperti dalam skema kompensasi Amerika
kepada warga keturunan Jepang yang ditahan selama Perang Dunia Kedua. Hampir setengah abad setelah pelanggaran besar-besaran terhadap hak sipil dan kebebasan oleh
pemerintah di masa perang, sebuah komisi penyelidikan menyimpulkan bahwa prasangka rasial, dan buka keamanan militer, yang menjadi dasar penahanan tersebut dan
menyarankan permintaan maaf resmi dan reparasi oleh pemerintah.
81
Japanese Civil Liberties Act tahun 1988 secara formal mengakui ketidakadilan terhadap warga
keturunan Jepang tersebut selama Perang Dunia Kedua dan memberikan kompensasi kepada individu-individu yang ditahan.
82
Pada tahun 1990, empat puluh delapan tahun setelah perintah Presiden Franklin Roosevelt yang diskriminatif tersebut, Presiden
George Bush secara resmi meminta maaf atas nama negara.
83
Restorasi moral negara dijadikan alasan untuk reparasi tersebut oleh Kongres.
Setelah berlalunya waktu, tindakan reparatoris semakin bersifat simbolis; sering kali mengambil bentuk permintaan maaf, yang tergambar dalam respon terhadap
pelanggaran masa perang di atas. Permintaan maaf juga terlihat dalam respon lain terhadap kejahatan sejarah, seperti perbudakan dan segregasi. Dengan berjalannya waktu,
kerugian yang ditimbulkan lebih pada reputasi di mata publik, dan dengan demikian dapat diperbaiki dengan permintaan maaf politis. Setelah berjalannya waktu, keadilan
transisional sering kali mengambil bentuk ini. Meskipun teori umum menganggap bahwa permintaan maaf lebih merupakan fungsi kebudayaan,
84
pengalaman yang dilihat di sini menunjukkan faktor lain yang mungkin lebih penting, yaitu kaitan antara keadilan
transisional dengan berlalunya wakltu. Perhatian terus menerus pada moral menggarisbawahi kekuatan peninggalan
sejarah yang buruk sebagai tantangan terhadap legitimasi negara-negara yang menuju liberalisasi. perhatian ini sebagian bisa menjelaskan mengapa generasi penerus memikul
beban berat tanggung jawab dari masa lalu. Meskipun pelanggaran dan liabilitas semula ditimbulkan oleh generasi pendahulu, peninggalan buruk tersebut menjadi perhatian
79
Sagi, German Reparations, 66.
80
Lihat Laporan Kebenaran dan Rekonsiliasi Cili, 13.
81
Commission on Wartime Relocation and Internment of Civilians, Personal Justice Denied: Report of the Commission on Wartime Relocation and Internment of Civilians
, Washington, D.C.: Commission on Wartime Relocation and Internment of Civilians, 1982, 6-9.
82
War and National Defence Restitution for World War II Internment of Japanese-American and Aleuts, U.S. Code,
Vol. 50, sec. 1989 membentuk Civil Liberties Public Education Funs 1988. Untuk diskusi tentang gerakan untuk memperoleh reparasi dan dampak hukum tersebut, lihat Sarah L. Brew, “Making
Amends for History: Legislative Reparations for Japanese Americans and Other Minority Groups”, Law and Inequality
8.1 1989: 179. Lihat juga Peter Irons, Justice at War, Berkley: University of California Press, 1993.
83
Lihat “First Payments Are Made to Japanese World War II Interness”, New York Times, 10 Oktober 1990, hlm. A21 pembayaran reparasi disertai surat permintaan maaf dari Presiden Bush atas nama seluruh
negara.
84
Lihat misalnya Tavuchis, Mea Culpa.
27 seluruh masyarakat untuk seterusnya, sering kali dengan dampak buruk bagi generasi kini
dan mendatang. Dalam pertimbangan peradilan pidana, konsepsi tanggung jawab koletif yang serupa juga muncul dalam masa transisi. Bila tidak diselesaikan, perasaan
ketidakadilan akan semakin tinggi. Terlebih lagi, setelah perjalanan waktu, tindakan reparatoris menjadi simbol transisi dan bisa digunakan untuk memantapkan keberhasilan-
keberhasilan dalam transisi menuju demokrasi. Pemikulan tanggung jawab rezim lama oleh rezim baru menunjukkan bagaimana pemikulan tanggung jawab kolektif menyusun
identitas politik suatu negara seiring perjalanan waktu. Persistensi Keadilan Reparatoris yang Belum Terselesaikan dan Politik
Kontemporer: Dilema “Affirmative Action” Dengan berlalunya waktu, proyek reparatoris bergeser semakin jauh dari model
tradisional keadilan korektif. Setelah waktu berlalu, para pelaku pelanggaran tidak membayar; mereka yang tidak bersalah harus melakukannya. Dan setelah berlalunya
waktu, ganti rugi tidak diberikan kepada para korban, namun kepada para keturunan mereka. Dengan berjalannya waktu, skema reparatoris menjadi tidak mirip lagi dengan
keadilan korektif konvensional dan semakin menyerupai distribusi sosial dan masalah politis. Kebijakan reparasi yang tidak diarahkan pada korban-korban yang tidak
teridentifikasi namun kepada kelompok perwakilan korban yang diidentifikasi berdasarkan penindasan di masa lalu tampak seperti skema distribusi. Skema distribusi
demikian bersifat kontroversial, karena alokasi demikian tampaknya bertentangan dengan prinsip demokrasi liberal dan kedaulatan hukum. Sebagai contoh, yang sedang hangat
dibincangkan adalah adil tidaknya alokasi tunjangan publik dan privat berdasarkan garis rasial di Amerika Serikat – isu “affirmative action”.
Pertimbangkanlah kontroversi kontemporer tentang affirmative action berdasarkan ras sebagai masalah keadilan reparatoris transisional yang belum
terselesaikan. Penindasan resmi terhadap warga keturunan Afrika di Amerika Serikat dilakukan selama berabad-abad, pertama, melalui toleransi pemerintah terhadap
perbudakan, dan kemudian melalui segregasi secara resmi. Setelah Perang Saudara, terdapat usulan reparasi, yang paling terkenal adalah “empat puluh are tanah dan seekor
keledai”.
85
Namun, hingga saat ini, bahkan tidak ada pengakuan resmi bahwa negara melakukan kesalahan atau reparasi untuk pelanggaran hak, meskipun pertanyaan ini tetap
menjadi bagian dari kontroversi dan perdebatan kontemporer.
86
Terdapat seruan agar pemerintah meminta maaf, seperti dibicarakan di muka, yang bisa berfungsi sebagai
reparasi simbolis. Terdapat pula perdebatan tentang upaya hukum atau remedi affirmative
85
Untuk tinjauan historis, lihat Eric Foner, Reconstruction: America’s Unfinished Revolution, 1863-1877, New York: Harper Collins, 1989. Untuk analisis kontemporer, lihat Jed Rubenfeld, “Affirmative Action”,
Yale Law Journal 107 1977: 427 membicarakan berbagai tindakan yang eksplisit ras setelah masa
Perang Saudara, seperti Act of July 28, 1866; Treaties and Proclamations of the United States of America, U.S. Statutes at Large
14 1868: 310. Lihat juga William Darity, Jr., “Forty Acres and a Mule: Placing a Price Tag on Oppression”, dalam The Wealth of Races: The Present Value from Past Injustices, ed. Richard
F. America, New York: Greenwood Publishing Group, 1990: 3-13.
86
Untuk elaborasi tentang reparasi bagi warga keturunan Afrika, lihat Boris I. Bittker, The Case for Black Reparations
, New York: Random House, 1973; untuk diskusi tentang perdebatan politik yang berlanjut, lihat Brent Staples, “Forty Acres and a Mule”, New York Times, 21 July 1977, editorial.
28 action
, misalnya, apakah pemberian tunjangan pemerintah berdasarkan ras bisa dijustifikasi untuk menjadi remedi diskriminasi resmi di masa lalu.
87
Dalam pendekatan yang umum, isu affirmative action pada umumnya ditempatkan dalam kerangka masalah keadilan korektif konvensional. Remedi yang
sensitif-ras dijustifikasi hanya sejauh mereka yang telah mengalami kerugian karena ras mereka memiliki hak untuk mendapatkan ganti rugi dari mereka yang telah merugikan
mereka. Pendekatan konstitusional yang berlaku kini menempatkan hak sebagai sesuatu yang timbul dari kerugian; jadi, pasti terdapat efek berlanjut dari diskriminasi rasial resmi
di masa lalu, dan seperti dalam keadilan korektif tradisional, kaitan dengan entitas yang melakukan tindakan perbaikan.
88
Dalam pendekatan yang umum, harus ada temuan yang spesifik yang mengaitkan entitas pemerintahan yang melakukan skema remedial ini
dengan diskriminasi di masa lalu; pelaku pelanggaranlah yang harus membayar.
89
Namun, setelah berjalannya waktu, analogi affirmative action dengan keadilan korektif konvensional menjadi tidak tepat. Para pelaku “asli” telah meninggal, demikian pula para
korban “asli”. Lalu bagaimana menyikapi hal-hal yang tersisa? Ini adalah peninggalan penindasan politik yang tidak diselesaikan, suatu masalah keadilan reparatoris yang
belum terselesaikan.
Mari kita pikirkan kembali masalah yang ditimbulkan affirmative action, dengan dipandu preseden dan prinsip transisional. Pelbagai pengalaman yang dibidik dalam bab
ini menunjukkan bahwa pemerintah penerus sering kali menjalankan kewajibannya untuk memberikan ganti rugi bagi korban-korban penindasan oleh rezim pendahulu, dan
kewajiban tersebut terus ditanggung meskipun waktu terus berjalan. Di bekas blok Soviet, ganti rugi diberikan hampir setengah abad setelah pelanggaran era Stalin tersebut
terjadi. Sementara pendekatan umum terhadap affirmative action dijustifikasi berdasarkan kerugian atau dampak penindasan yang terus berpengaruh, keadilan
transisional tidak harus tergantung pada hal itu. Setelah berlangsungnya waktu, sementara pihak-pihak yang mengalami penindasan secara langsung mungkin sudah melupakan
masa lalu, masyarakat secara keseluruhan masih merasakan adanya pelanggaran yang tidak dipulihkan itu. Persistensinya isu politik dan pelaksanaan tindakan reparatoris
setelah jangka waktu yang panjang menunjukkan pengakuan negara dan pemikulannya terhadap tanggung jawab untuk memperbaiki dosa politik yang dilakukan oleh rezim
pendahulunya. Dari preseden tersebut timbul konsepsi baru tentang keadilan reparatoris transisional yang dicirikan oleh peninggalan sejarah. Bila negara telah menganiaya
warganya sendiri atas dasar ras, etnik, agama atau politik, kebutuhan untuk perbaikan sesuai dengan kedaulatan hukum dan transformasi politik tidak hilang hanya karena
waktu.
Sementara dalam sebagian besar contoh di atas, reparasi dilakukan oleh rezim pertama yang menggantikan rezim pelaku pelanggaran, di Amerika Serikat, pertanyaan
ini menjadi masalah berbagai pemerintahan penerus. Satu contoh adalah perlakuan
87
Untuk analisis mendalam, lihat Michel Rosenfeld, Affirmative Action and Justice: A Philosophical and Constitutional Inquiry
, New Haven: Yale University Press, 1991; Rubenfeld, “Affirmative Action”.
88
Untuk versi awal tentang pandangan ini, lihat Bakke vs. Regents of University of California, 438 US 265, 324 1978. Untuk pernyataan lebih kontemporer, lihat Richmond vs. Croson, 488 US 469 1989; lihat
juga Adarand Construction Inc. vs. Pena, 515 US 200 1995.
89
Kathlen M. Sullivan, “Sins of Discrimination: Last Term’s Affirmative Action Cases”, Harvard Law Review
100 1986: 78 menyatakan bahwa fokus pengadilan pada pelaku individual mencegahnya menerima justifikasi lain untuk program affirmative action
29 terhadap warga pribumi Amerika setelah Perang Dunia Kedua.
90
Skema reparatoris dilakukan secara tidak terpola, meskipun paling tidak ada semacam pengakuan resmi
terhadap kesalahan di masa lalu. Reparasi terhadap penahanan warga keturunan Jepang pada masa perang dilakukan secara lebih komprehensif. Dalam kasus ini, reparasi
dilakukan sebagai kewajiban nasional, meskipun pelanggaran telah lama berlalu. Hak untuk mendapatkan ganti rugi timbul dari pengakuan pemerintah terhadap pelanggaran
yang hingga sebelumnya tidak diakui dan tidak diperbaiki. Pertanyaan konvensional tentang affirmative action, seperti apakah penindasan tersebut memiliki “dampak
berlanjut”, bahkan tidak ditanyakan. Namun, dampak stigmatisasi psikologis dianggap timbul dari diskriminasi yang disponsori negara dan dari kelalaian pemerintahan penerus
untuk memberikan remedi. Seperti dalam preseden transisional lainnya yang dibicarakan dalam bab ini tentang penghilangan, kelalaian pemerintahan penerus untuk merespon
dengan sendirinya dianggap merupakan bagian dari keberlanjutan pelanggaran. Jika penahanan warga keturunan Jepang selama waktu relatif pendek ini dianggap merupakan
penindasan etnik yang berkelanjutan, apalagi diskriminasi, perbudakan dan segregasi terhadap warga keturunan Afrika.
Praktik, prinsip dan nilai-nilai transisional yang dibicarakan dalam bab ini bisa menerangkan dan memandu skema affirmative action kontemporer.
91
Mungkin ciri paling kontroversial dari praktik reparatoris setelah suatu jangka waktu adalah pemberian
tunjangan, bukan kepada korban sebenarnya, namun kepada keturunan dan wakil- wakilnya. Di sini, praktik transisional memiliki pengalaman komparatif serupa. Banyak
skema pasca-Soviet yang dijalankan lebih dari 40 tahun setelah terjadinya penindasan politik mempertimbangkan pemberian hak kepada para pewaris korban-korban semula.
Undang-Undang Ceko secara jelas mengakui klaim dari cucu para korban semula – selisih dua generasi dari korban asli.
92
Mungkin contoh terbaik adalah skema reparatoris Jerman pasca-Perang Dunia Kedua, yang memberikan reparasi untuk melakukan remedi
terhadap penindasan di masa lalu, meskipun faktanya banyak dari korban yang seluruh keluarganya sama sekali dimusnahkan, sehingga tidak ada pewaris yang bisa menerima
ganti rugi. Preseden reparasi Jerman ini menunjukkan bahwa hak-hak korban bisa diwariskan kepada badan perwakilan khusus yang dibentuk untuk keperluan ini.
93
Preseden sejarah ini mencerminkan praktik yang dalam buku ini diistilahkan sebagai “reparasi perwakilan”, yang diberikan oleh pemerintahan penerus kepada kelas
penerus korban, untuk memperbaiki pelanggaran negara di masa lalu. Pengakuan signifikansi reparasi perwakilan bisa membantu menjelaskan persistensi affirmative
action
dan kontroversi serupa, meskipun waktu telah lama berjalan. Reparasi perwakilan menandakan bahwa hal yang menjustifikasi pemikulan tanggung jawab reparatoris oleh
pemerintah penerus bahkan setelah jangka waktu yang lama adalah penindasan negara yang tidak diakui dan tidak diperbaiki, yang merupakan ancaman berlanjut bagi
kedaulatan hukum. Preseden reparatoris transisional dalam berbagai budaya hukum
90
Lihat Nell Jessup Newton, “Compensation, Reparations and Restitution: Indian Property Claims in the United States”, Georgia Law Review 28 musim dingin 1994: 453.
91
Mari J. Matsuda, “Looking to the Bottom: Critical Legal Studies and Reparations”, Harvard Civil Rights- Civil Liberties Law Review
22 musim semi 1987: 323.
92
Law on Extrajudicial Rehabilitation, bag. 3, paragraf 2.
93
Negara Israel maupun Konferensi Klaim merupakan badan perwakilan demikian, dan keduanya menerima pembayaran. Lihat Honig, “Reparations Agreement”, 567.
30 menunjukkan realitas inti: peninggalan sejarah penindasan negara tidak bisa menghilang
dengan sendirinya, meskipun sering kali penyelesaiannya ditunda. Dilema Transitory Tort
Apa yang terjadi dengan keadilan reparatoris bila negara tidak mengakui hak-hak demikian? Ke mana perginya hak-hak tersebut? Apakah pemenuhannya terikat dengan
rezim penerus, atau bisa dipenuhi oleh pihak lainnya? Sejumlah kasus di Amerika Serikat tentang “pelanggaran berat” hak asasi manusia menunjukkan bahwa dalam kasus
penindasan yang paling buruk, pemenuhan hak korban tidak terbatas oleh batas negara yang terkait. Ini sering kali terlihat pada awal transisi, ketika mereka yang terlibat dalam
pelanggaran di masa sebelumnya sering kali melarikan diri.
Ketika rezim berkuasa di Paraguay menolak bertanggung-jawab atas tewasnya Joel Filartiga karena penyiksaan, keluarga korban mencari keadilan hingga ke Amerika
Serikat, di mana pelakunya mantan kepala polisi Paraguay, melarikan diri. Dalam suatu kasus yang kemudian menjadi preseden penting bagi korban pelanggaran negara untuk
memperoleh hak-haknya di pengadilan Amerika, keluarga korban menggunakan hukum berusia dua abad, Alien Tort Act, yang berasal dari masa pembentukan negara itu, yang
memberikan jurisdiksi kepada Amerika Serikat untuk mengadili warga negara asing dalam kasus pelanggaran terhadap “hukum bangsa-bangsa”.
94
Dipandu dengan analogi terhadap pembajakan, pengadilan banding menyatakan bahwa “penyiksaan oleh negara”
merupakan pelanggaran terhadap “hukum bangsa-bangsa”, dan dengan demikian tuntutan ini dapat diadili di pengadilan mana pun.
95
“Untuk keperluan tanggung jawab perdata, penyiksa tersebut – seperti bajak laut dan pedagang budak sebelumnya – dianggap
sebagai hostis humani generis, musuh seluruh umat manusia”.
96
Klaim kompensatoris yang berasal dari hak-hak yang dilindungi “hukum bangsa-bangsa” secara tradisional
dianggap sebagai penyebab tindakan transitoris, yang dapat diadili di mana pun. Penyiksaan secara sengaja, seperti pembajakan, melanggar hukum bangsa-bangsa;
dengan demikian, hak untuk mendapatkan reparasi dari penyiksaan negara harus diperlakukan sebagai klaim transitoris.
Kasus Joel Filartiga dilanjutkan dengan sejumlah besar kasus-kasus alien tort lainnya, biasanya tentang penyiksaan negara atau eksekusi di luar hukum. Dalam kasus
Forti dan Siderman, tuntutan diajukan kepada penyiksa Argentina yang ditemukan di Amerika Serikat. Tindakan penyiksaan yang merupakan tanggung jawab Argentina
dianggap melanggar norma-norma “jus cogens”, norma-norma kuat dalam hukum internasional yang tidak bisa diabaikan dan memiliki keberlakuan dan perlindungan yang
universal.
97
Kasus in re Estate of Marcos berkaitan dengan penyiksaan di Filipina, yang
94
Lihat Judiciary Act of 1789, U.S. Code, vol. 28, bag. 1350 1993.
95
Filartiga vs. Pena-Irala, 630 F2d 876, 890 2d Cir 1980 menyatakan bahwa penyiksaan resmi melanggar “norma-norma yang telah mapan dalam hukum hak asasi manusia internasional, dan dengan
demikian juga hukum bangsa-bangsa”.
96
Ibid., 884-87. Lihat umumnya Ian Brownlie, Principles of Public International Law, edisi keempat, New York: Oxford University Press, 1990, 238-39 tentang hukum internasional di laut lepas.
97
Forti vs. Suarez-Mason, 672 F Supp 1531 1987; Siderman de Blake vs. Argentina, 965 F2d 699 9th Cir 1992.
31 diajukan terhadap Ferdinand Marcos, mantan presiden.
98
Dalam semua kasus tersebut, para korban atau keluarganya mengajukan tuntutan kepada para pelaku di Amerika
Serikat. Prinsip jurisdiksional yang mengikutinya adalah bahwa dalam kasus penindasan politik, liabilitas perdata bersifat transitoris dan mengikuti pelaku.
Preseden Alien Tort Act ini, dengan dipandu analogi terhadap pembajakan, bergantung pada fiksi hukum tentang pelanggar hukum individual dan pemikiran
keadilan korektif yang tradisional, di mana liabilitas perdata mengikuti pelaku tunggal. Mungkin kasus ekstrem dalam hal ini adalah tuntutan alien tort terbaru terhadap Radovan
Karadzic, pemimpin politik Serbia Bosnia, yang dituntut pertanggungjawaban perdatanya terhadap ribuan kekejaman yang dilakukan sesuai kebijakan penindasan etnik di daerah
Balkan.
99
Konsepsi utama transitory tort, yaitu bahwa liabilitas mengikuti tortfeasor pelaku, bersifat paradoksal. Di mana letak kesalahan? Dalam kasus penyiksaan yang
dilakukan biasanya berdasar hukum negara – yang didorong atau dibiarkan negara – siapa yang harus bertanggung-jawab? Sejauh mana klaim reparatoris yang terkait transisi
akibat penindasan negara modern dapat dibebankan kepada pelaku pelanggaran individual?
100
Hingga satu titik, alien tortfeasor merupakan konstruksi juridis yang paling bisa dipahami sebagai semacam resolusi pragmatik dari keadilan dalam kondisi yang tidak
ideal. Bila rezim bertanggung-jawab, ia tidak bisa dituntut di pengadilan domestik negara yang bersangkutan.
101
Lebih lanjut lagi, pemerintah asing umumnya kebal dari tuntutan di pengadilan Amerika karena alasan imunitas kedaulatan. Hal yang praktis adalah untuk
menggunakan konsep liabilitas perdata tradisional. Namun paradoks penggunaan alien tort
untuk perbaikan kesalahan yang terkait hak asasi manusia adalah bahwa sementara penyebab respon adalah tindakan individual, ia juga mengakui latar belakang kebijakan
negara. Meskipun Alien Tort Act menjadi alasan untuk menindak pelaku individual, jurisdiksinya didasarkan pada pelanggaran “resmi” yang dilakukan berdasar hukum
negara. Hanya sejumlah kecil pelanggar memenuhi syarat ini, dan tindakan mereka jelas telah melanggar hukum bangsa-bangsa. Pada saat yang sama, klaim tersebut jelas
mengabaikan imunitas kedaulatan, yaitu kekebalan negara-negara asing dari jurisdiksi, dengan pengecualian tertentu. Pelanggaran yang memiliki konsensus paling besar adalah
penyiksaan, eksekusi di luar hukum dan genosida,
102
yang dianggap sebagai norma “jus
98
In re Restate of ferdinand Marcos, 25 F3d 1467 9th Cir 1994.
99
Kadic vs. Kardzic; Doe vs. Karadzic, 70 F3d 232 2d Cir 1995.
100
Perdebatan tentang apa yang dalam buku ini disebut “transitory torts” menurut hukum kebiasaan internasional, lihat Curtis A. Bradley dan Jack L. Goldsmith, “Customary International Law as Federal
Common Law: A Critique of the Modern Position”, Harvard Law Review 110 Februari 1997: 815 menyatakan bahwa hukum internasional seharusnya tidak diberikan status seperti common law federal;
Harold Hongju Koh, “Commentary: Is International Law Really State Law?” Harvard Law Review 111 1998: 1824. Lihat juga Ryan Goodman dan Derek P. Jinks, “Filartiga’s Firm Footing: International
Human Rights and Federal Common Law”, Fordham Law Review 66 1977: 463.
101
Lihat Argentine Republic vs. Amerada Hess Shipping Corp, 488 US 428 1989. Namun lihat Siderman de Blake,
965 F2d 699.
102
Filartiga, 630 F2d 876.
32 cogens
” dengan status tertinggi dalam hukum internasional, dengan latar belakang kebijakan negara atau yang serupa.
103
Hampir dua dekade setelah persidangan kasus penting Filartiga itu, dan juga selama masa persidangannya, terdapat banyak keputusan yang menyatakan bahwa
pelanggaran hak asasi manusia harus bertanggung-jawab. Bahkan, remedi tersebut diratifikasi menjadi hukum federal: Torture Victims Protection Act mengizinkan
penindakan perdata untuk mendapatkan ganti rugi keuangan terhadap pelanggaran seperti penyiksaan oleh negara dan eksekusi di luar hukum bila pelaku berada dalam
jurisdiksi.
104
Selama bertahun-tahun, telah lebih banyak keputusan daripada pembayaran.
105
Pengakuan tanggung jawab perdata memiliki dampak yang lebih luas dari pemberian ganti rugi keuangan. Dalam kasus demikian, liabilitas perdata memiliki sanksi publik
karena perhatian media terhadap proses perdata yang melibatkan pejabat tinggi negara asing. Dampak publisitas seperti ini sedemikian besar sehingga selama masa persidangan,
para terdakwa sering kali melarikan diri. Liabilitas individual, meskipun bersifat perdata, berakibat pada stigma dan sanksi sosial serupa dengan sanksi pidana. Banyaknya usaha
pencarian keadilan reparatoris lintas batas negara, seperti juga usaha serupa setelah jangka waktu yang panjang, menunjukkan peran kompleks dan dinamis remedi demikian.
Meskipun remedi perdata biasanya diambil untuk memberikan hak-hak korban, seperti tindakan transisional lain yang dibicarakan di muka, tuntutan alien tort memiliki
kegunaan lain yang biasanya dikaitkan dengan sanksi pidana, seperti pengakuan kesalahan pemerintah dan eksklusi pelaku dari komunitas. Bahkan, transitory tort
menerangkan kaitan antara pengembalian hak-hak korban, pengakuan kesalahan individual dan penindasan oleh negara. Timbulnya transitory tort dalam kasus
penindasan menunjukkan konsep keadilan reparatoris memiliki keserupaan dengan respon-respon hukum transisional lainnya.
Dalam memediasi kepentingan berbeda antara publik dan privat, individu dan kolektif, nasional dan internasional, alien tort secara efektif merespon pelanggaran
penindasan yang merupakan ciri utama represi modern. Seperti “kejahatan terhadap kemanusiaan”, transitory tort terhadap pelanggaran hak asasi manusia menjelasan
konsepsi yang serupa: sumber tindakan hukum yang melampaui jurisdiksi waktu dan tempat, yang digambarkan sebagai “tort terhadap kemanusiaan”. Tort ini merupakan
respon terhadap penindasan oleh negara pada masa kontemporer, dalam sumber tindakan hukum terhadap individu yang terkait dalam kebijakan penindasan yang lebih luas.
Terlebih lagi, tort terhadap kemanusiaan menantang intuisi umum di mana penyebab tindakan perdata berkaitan dengan jurisdiksi tertentu, yang tidak tepat untuk menangkap
pelanggaran berat yang dilakukan negara. Dengan ketiadaan parameter jurisdiksional yang biasa, yang “asing” dijadikan “domestik”, dan pelanggaran internasional
didefinisikan ulang. Dan meskipun dicapai di luar sistem hukum nasional, dengan mengakui hak-hak para korban, tindakan-tindakan seperti itu dapat mengawali proses
103
Lihat The Foreign Sovereign Immunities Act of 1976, U.S. Code, Vol. 28, bag. 1602-1611 1994. Kadang-kadang jurisdiksi diambil terhadap pelanggaran lain, seperti penghilangan dan penahanan secara
sewenang-wenang yang berkepanjangan. Lihat Forti, 672 F Supp 1541-42.
104
Torture Victims Protection Act of 1991, U.S. Code, Vol. 28, bag. 1350 1993.
105
Lihat Siderman de Blake, 965 F2d 699; In Re Estate of Ferdinand Marcos, 25 F3d 1467. Lihat umumnya Ralph Steinhardt, “Fulfilling the Promise of Filartiga: Litigating Human Rights Claims against
the Estate of Ferdinand Marcos”, Yale Law journal of International Law 20 1995: 65.
33 transisi. Bahkan bila rezim belum berganti dan tidak ada perubahan politik, penegasan
norma-norma utama hak asasi manusia dapat berperan konstruktif. Respon legal transisional ini mendorong munculnya pendekatan yang fleksibel terhadap kedaulatan
dan jurisdiksi. Pergeseran dari prinsip konvensional ini dirasionalkan dengan memandang pada tindakan negara dan sejauh mana ia menaati kedaulatan hukum masyarakat
internasional. Keadilan Reparatoris Transisional
Praktik-praktik yang dibicarakan di muka menunjukkan paradigma keadilan reparatoris yang dikaitkan dengan masa transisi. Paradigma keadilan reparatoris transisional
merupakan konsepsi yang kompleks, karena ia memajukan berbagai tujuan yang memediasi dan mengkonstruksi transisi. Reparasi transisional secara terbuka mengakui
dan memberikan hak-hak individual yang pada dasarnya bersifat simbolik. Sering kali tidak diberikan kompensasi sepenuhnya, dan tidak ada kaitan dengan kerugian meterial,
seperti dalam “reparasi moral” Amerika Latin atau rehabilitasi pasca-komunis. Reparasi transisional memiliki berbagai bentuk: bisa berbentuk restitusi properti, pembayaran
keuangan, atau kompensasi yang tidak konvensional, seperti keringanan biaya pendidikan atau penyediaan pelayanan dan keuntungan publik lainnya, seperti monumen, rehabilitasi
secara hukum dan pemaafan.
Paradigma reparatoris transisional berbeda dari intuisi kita yang berlaku selama ini tentang keadilan korektif dalam sejumlah karakter.
106
Konsepsi transisional memiliki kekurangan dalam hal simetri soal sistem tort privat, karena ia memahami ulang relasi
antara korban dengan pelaku kekerasan, antara individu dengan kolektif.
107
Sementara dalam pemahaman yang berlaku selama ini, pemulihan bagi para korban dilimpahkan
kepada para pelaku, maka pemikiran reparatoris transisional menyediakan pengakuan resmi tentang hak-hak para korban dan tanpa perlu menempatkan kesalahan atau
pelanggaran secara individual. Yang menentukan soal pertanggungjawaban hukum bagi kesalahan masa lampau bukanlah pelaku kesalahan itu sendiri ataupun rezim pelanggar,
melainkan rezim suksesor.
108
Reparasi transisional mengalihkan tindakan sipil yang konvensional dalam membedakan dan memilahkan pemberian tanggung jawab bagi
pelanggaran hak-hak individual dari asumsi penggantian kerugiannya. Dalam prinsip kompensatoris tradisional, perilaku merugikan dan pertanggungjawaban hukumnya yang
terkait diberikan kepada orang yang diidentifikasi sebagai pelaku, namun reparasi transisional pada umumnya diambil-alih oleh atau dibebankan kepada negara. Peralihan
dalam prinsip reparatoris menguatkan transendensi dari prinsip konvensional tentang pertanggungjawaban individual, yang digantikan dengan pertanggungjawaban kolektif
dalam masa transisi. Pemahaman tentang pertanggungjawaban individualkolektif mucnul
106
Tentang teori keadilan kompensatoris, lihat Cass Sunstein, “The Limits of Compensatory Justice”, dalam John W. Chapman ed., Nomos XXXIII: Compensatory Justice, New York: New York University
Press, 1991, 281.
107
Untuk pembahasan tentang problem terkait, lihat Judith Jarvis Thomson, Rights, Restitution and Risk: Essays in Moral Theory
, Cambridge: Harvard University Press, 1986, 66-77.
108
Tentang pertanggungajwaban negara modern terhadap kesalahan atau pelanggarannya, lihat Peter H. Schuck, Suing Government: Citizen Remedies for Official Wrongs, New Haven: Yale University Press,
1983.
34 dalam pelbagai respon legal transisional yang dibahas dalam buku ini, yang memperumit
soal pemahaman akan kesalahan dan pelanggaran yang dilakukan negara dan menyorotkan cahaya pada konteks-konteks keadilan yang dipermasalahkan dalam waktu-
waktu seperti itu.
Selanjutnya, pemahaman soal tindakan pemulihan reparatory yang memprasyaratkan asumsi negara tentang tanggung jawab merupakan jalan untuk
mengkonstruksi identitas politik yang diteruskan. Transisi, tidak seperti peralihan administrasi masa biasa, bukan merupakan contoh-contoh tentang sekadar beralih dari
kewajiban negara pada masa sebelumnya, karena rezim sebelumnya gagal melakukan kewajiban semacam itu. Inilah yang merupakan paradoks dari transisi reparatoris.
Sementara di antara pergantian biasa dalam administrasi, asumsi soal utang semata mengekspresikan kontinuitas dalam identitas negara dan dalam kedaulatan hukum, ketika
ada transisi di antara sistem politik, penentuan tentang pertanggungjawaban mengizinkan adanya konstruksi kontinuitas politik, atau diskontinuitas politik dan perubahan normatif.
Keadilan reparatoris transisional tidak dijustifikasi terutama oleh kepentingan korektif konvensional, tetapi lebih dijustifikasi oleh nilai-nilai politis eksternal yang
berkaitan dengan kebutuhan politik yang mendesak pada masa itu. Suatu prinsip normatif terkait muncul berkenaan dengan apa itu suatu perbedaan yang dapat dikompensasikan
dalam kaitan dengan perlakuan negara di masa lalu. Dalam praktik transisional, hukum dalam fungsi reparatorisnya memajukan tujuan yang secara eksplisit politis. Justifikasi
negara untuk memberikan reparasi ada banyak dan kompleks, berdasarkan tujuan korektif tradisional, sekaligus tujuan redistributif yang transformatif. Prinsip “penindasan politik”
memandu keadilan reparatoris transisional, bekerja sebagai prinsip yang membatasi proyek-proyek reparatoris yang secara teoretis tidak terbatas, sekaligus memediasi
tanggung jawab individu dan kolektif. Reparasi bahkan digunakan untuk menjustifikasi transisi, karena klaim demikian dikatakan timbul dari pelanggaran terhadap kesetaraan,
menunjukkan perbedaan dari rezim terdahulu. Pemberian ganti rugi merupakan simbol utama diskontinuitas dari masa lalu, menunjukkan potensi transformatif dari rezim baru.
Signifikansi pemberian ganti rugi melampaui klaim-klaim individual, dan mengkonstruksikan pergeseran masyarakat ke negara liberal. Sebagai tanda dan praktik
kedaulatan hukum liberal, tindakan remedial memungkinkan komitmen baru terhadap kesetaran politik dan penolakan terhadap penindasan. Bahkan setelah jangka waktu yang
panjang, praktik-praktik ini masih dilaksanakan dalam bentuk-bentuk yang simbolis, yang dapat menumbuhkan norma-norma hak individual yang meliberalkan. Bahkan, bila
belum ada transisi politik, reparasi merupakan simbol modern liberalisasi, yang menggambarkan pendekatan yang dinamis terhadap hak dalam era global ini.
1
Bab 5 Keadilan Administratif