25
menggunakan analisis kualitatif untuk mengungkapkan secara mendalam mengenai pandangan dan konsep yang diperlukan dan kemudian akan diurai
secara menyeluruh untuk menjawab persoalan yang ada dalam skripsi ini, serta melakukan penarikan kesimpulan dengan pendekatan deduktif-induktif, yakni
berawal dari hal-hal yang umum kepada hal-hal yang khusus.
G. Sistematika Penulisan
Di dalam menguraikan pembahasan skripsi ini, penulis telah berusaha untuk menjabarkan dalam bab per bab. Kelima bab tersebut masing-masing terurai
pula dalam sub-sub bab yang penulis sesuaikan pembagiannya dengan maksud dan isi yang diuraikan sebagai berikut:
BAB I merupakan pendahuluan yang memberikan gambaran umum yang menguraikan mengenai Latar Belakang, Rumusan Permasalahan, Tujuan
Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan
Sistematika Penulisan. BAB II merupakan bab yang membahas mengenai aspek historis dari
PBB, pengakuan atas berdirinya Negara menurut Hukum Internasional secara umum, dan dasar hukum atau syarat-syarat untuk pengakuan suatu Negara oleh
PBB. BAB III merupakan bab yang membahas mengenai status Palestina
sebagai Entitas Pemantau, tanggapan masyarakat Internasional terhadap status kenegaraan Palestina, dan perubahan status kenegaraan Palestina dari entitas
pemantau menjadi Negara pemantau non anggota di PBB.
Universitas Sumatera Utara
26
BAB IV merupakan bab yang membahas eksistensi Palestina sebagai Negara Pemantau Non Anggota di PBB
BAB V merupakan bagian penutup dari semua pokok pembahasan yang meliputi kesimpulan dari berbagai permasalahan yang telah dibahas sebelumnya
disertai dengan saran-saran yang berkaitan dengan masalah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
27
BAB II PENGAKUAN ATAS NEGARA OLEH PERSERIKATAN BANGSA–
BANGSA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Aspek Historis dari PBB.
Pada saat perang Dunia Kedua sedang berkecamuk, dua negarawan yakni Winston Churcill PM Inggris beserta Franklin Delano Rooselvett Presiden
Amerika Serikat mengadakan pembicaraan khusus di atas sebuah kapal milik AS “Agusta” di perairan Samudera Atlantik, untuk meredakan peperangan.
Pertemuan yang dilakukan pada tanggal 14 Agustus 1941 tersebut menghasilkan suatu piagam yang merupakan suatu deklarasi tentang hak kebebasan,
kemerdekaan dan perdamaian dunia. Piagam tersebut telah ditandatangani oleh kedua pihak sehingga disebut
juga Piagam Atlantik atau Atlantic Charter yang pada pokoknya berisi antara lain sebagai berikut:
1. Tidak dibenarkan adanya perluasan daerah sesamanya.
2. Segala bangsa berhak untuk menentukan bentuk pemerintahannya dan
menentukan nasibnya. 3.
Semua Negara berhak turut serta dalam pedagangan dunia. 4.
Mengusahakan perdamaian dunia yang membuat setiap bangsa dapat hidup bebas dari rasa takut dan bebas dari kemiskinan.
Universitas Sumatera Utara
28
Demikianlah maka Piagam Atlantik merupakan dasar-dasar pertama usaha pembentukan PBB.
21
Pada tanggal 25 Juni 1945 diselenggarakan sidang Pleno terakhir di gedung Opera di San Fransisco, pada kesempatan mana keseluruhan Piagam PBB
disetujui secara bulat, dan keesokan harinya tanggal 26 Juni 1945 piagam tersebut ditandatangani dalam suatu upacara yang mulia dan anggun dalam Auditorium di
Veterans Memorial Hall. Pada tanggal 24 Oktober 1945 Piagam PBB mulai mempunyai daya berlaku, bertepatan dengan saat Cina, Prancis, Uni Soviet,
Inggris dan Amerika Serikat serta sebagian besar dari Negara penandatangan lainnya menyampaikan kelengkapan ratifikasi mereka. Pada tanggal 31 Oktober
1947 ditetapkan bahwa tanggal 24 Oktober hari ulang tahun berlakunya piagam Langkah pertama kearah pembentukan PBB ialah ditandatanganinya
deklarasi antara Negara-negara sekutu tertanggal 12 Juni 1941 di St. James’s Palace London oleh wakil-wakil Australia, Kanada, Selandia Baru, Uni Afrika
Selatan, kerajaan Inggris serta pemerintah pelarian Belgia, Norwegia, Polandia dan Yugoslavia serta turut pula Jendral De Gaulle dari Prancis. Kemudian daftar
panjang konfrensi-konfrensi dan deklarasi-deklarasi yang dilakukan oleh wakil- wakil Negara dari penjuru dunia dalam proses untuk membentuk PBB yang pada
akhirnya melalui Konfrensi San Fransisco tanggal 25 April 1945 yang dikenal sebagai “The United Nations Confrence of Internasional Organization” dihadiri
oleh 5 negara termasuk 5 pemerintah sponsor.
21
Drs. Teuku May Rudy, SH, MA, MIR, Administrasi dan Organisasi Internasional, Bandung: Refika Aditama, 1998, hlm.38.
Universitas Sumatera Utara
29
PBB, dinyatakan secara resmi sebagai “Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa” United Nations Day.
22
Sejak saat berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan organisasi Internasional yang paling lama dapat bertahan dibandingkan dengan organisasi
Internasional lainnya seperti Liga Bangsa-Bangsa yang hanya dapat bertahan sampai 26 tahun. Sejak berdirinya PBB, organisasi Internasional ini telah
berkembang dengan pesat baik lingkup kegiatan, jumlah badan-badan dibawah naungannya maupun anggotanya. Dalam sidangnya tahun 1992 misalnya, Majelis
Umum PBB telah membahas lebih dari 160 mata acara yang meliputi berbagai aspek dalam kehidupan dan hubungan Internasional. Jumlah badan-badan PBB
telah meningkat demikian besarnya yang pada awal berdirinya hanya mempunyai 51 negara anggota utama, dan pada tahun 1987 jumlah anggotanya telah
meningkat menjadi lebih dari tiga kali lipat, yaitu 159 negara ditambah 9 negara lainnya yang mempunyai kedudukan sebagai pemantau seperti Korea Utara,
Korea Selatan, Liechtenstein, Monaco, Swiss, Tonga, Vatikan, San Marino, Nauru.
23
Piagam PBB di atas disusun oleh wakil-wakil dari lima puluh Negara pada konfrensi mengenai organisasi internasional yang diadakan di San Fransisco
tanggal 25 April sampai tanggal 26 Juni 1945. Wakil-wakil itu bekerja atas dasr usul-usul yang dirumuskan oleh wakil-wakil Tiongkok, Uni Soviet, Inggris, dan
Amerika Serikat di Umberton Oaks pada bulan Agustus-Oktober 1944. Piagam ini ditandatangani pada tanggal 26 Juni 1945. PBB secara resmi berdiri pada tanggal
22
Ibid, hlm.41.
23
Sumaryo Suryokusumo, Organisasi Internasional, Jakarta: Universitas Indonesia, 1987, hal.125
Universitas Sumatera Utara
30
24 Oktober 1945, setelah piagam diratifikasi oleh Tiongkok, Prancis, Uni Soviet, Inggris dan Amerika, dan oleh mayoritas penandatanganan lain. Dan kini 24
Oktober dirayakan oleh seluruh dunia sebagai Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
24
- Menyelamatkan angkatan-angkatan yang akan datang dari cemeti perang,
yang dua kali dalam hidup kita telah membawa kesedihan yang tak terhingga kepada umat manusia.
Adapun isi dari piagam PBB adalah: Kami rakyat Perserikatan Bangsa-Bangsa bertekad,
- Memperkuat kepercayaan pada hak-hak manusia, pada kesamaan hak-hak
manusia, laki-laki maupun wanita dan bangsa-bangsayang besar maupun yang kecil.
- Menetapkan syarat-syarat di bawah mana keadilan dan kehormatan untuk
kewajiban-kewajiban yang timbul akibat perjanjian-perjjanjian dan sumber-sumber hukum internasional yang lain dapat dipelihara.
- Memajukan perkembangan nasional dan tingkat hidup yang lebih baik
dalam kebebasan yang lebih besar. Dengan maksud untuk mencapai tujuan berikut:
- Berusaha untuk bersikap sabar dan hidup bersama secara damai sebagai
tetangga yang baik. -
Mempersatukan kekuatan anggota untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional.
24
Prof. Drs. C. S. T. Kansil, SH. Christine S.T Kansil, SH., MH., Modul Hukum Internasional,
Jakarta: Djambatan, 2002, hal.196-197.
Universitas Sumatera Utara
31
- Memastikan dengan menerima asas-asas serta penetapan cara-cara, bahwa
kekuatan bersenjata tidak akan dipergunakan, kecuali untuk kepentingan bersama.
- Memakai cara-cara Internasional untuk mengembangkan kemajuan
ekonomi dan sosial semua rakyat.
25
Disamping itu Piagam PBB tersebut juga meletakkan tujuan pokok dan prinsip-prinsip mulia dalam usaha memelihara perdamaian dan keamanan
internasional serta meningkatkan hubungan persahabatan dan kerjasama internasional bagi semua Negara untuk:
1. Menghormati persamaan hak dan kedaulatan bagi semua Negara
anggota, 2.
Berusaha menyelesaikan perselisihan internasional secara damai, 3.
Tidak menggunakan ancaman ataupun kekerasan terhadap keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara manapun,
4. Tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu Negara.
26
Adapun dididrikannya PBB dengan tujuan sebagai berikut; 1.
Memelihara Perdamaian dan Keamanan.
2. Mengembangkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa
berdasarkan penghargaan atas asas persamaan hak hak dan penentuan nasib sendiri dari bangsa-bangsa, dan mengambil tindakan-tindakan
lain yang tepat guna memperkokoh Perdamaian Dunia.
25
Ibid, hal.195
26
Sumaryo suryokusumo, Organisasi Internasional, Jakarta: Universitas Indonesia, 1987, hlm.123.
Universitas Sumatera Utara
32
3. Mewujudkan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah-
masalah internasional yang bercocok ekonomi, sosial, kebudayaan atau kemanusiaan, dan dalam memajukan dan mendorong penghargaan
terhadap hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan dari dan bagi
semua orang tanpa membedakan bangsa, kelamin, bahasa atau agama.
4. Menjadi pusat untuk menyerasikan tindakan-tindakan bangsa-bangsa
dalam mencapai tujuan bersama.
27
PBB tidak hanya memiliki internasional legal Personality dan municipal legal personality,
akan tetapi PBB memiliki kepribadian yang disebut kepribadian subyektif dan obyektif, yang berarti PBB diterima dan diakui keberadaannya oleh
semua Negara yang berdasarkan perjanjian telah mendirikan organisasi tersebut atau menjadi anggota organisasi internasional itu, sehingga secara subyektif
terikat kepadanya. Sedangkan pihak ketiga yang tidak mempunyai ikatan dengan PBB tidak terkena akibat dari adanya perjanjian itu. PBB juga telah diterima dan
diakui secara obyektif oleh semua pihak, anggota maupun bukan anggota, karena sudah tidak dapat dibantah dan dipungkiri lagi karena memang sudah sedemikian
harusnya. Karena keistimewaannya inilah PBB dikatakan sebagai suatu organisasi internasional sui generis dari jenis istimewa atau jenis tersendiri.
B. Pengakuan atas berdirinya Negara oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa menurut Hukum Internasional secara Umum
. Masyarakat internasional merupakan masyarakat yang dinamis, berubah
sewaktu-waktu. Ada negara yang takluk dan dikuasai oleh Negara lain, ada pula
27
Drs. Teuku May Rudy ,SH, MA, MIR, Administasi dan Organisasi Internasional, Bandung: Refika Aditama, 1998, hlm.42.
Universitas Sumatera Utara
33
Negara yang baru lahir. Pemerintahan lama terguling, pemerintahan baru lahir. Dalam proses lahirnya Negara tersebut dilalui dengan cara yang berbeda-beda,
ada yang melalui cara damai ada pula yang yang melalui jalur kekerasan. Perubahan-perubahan inilah yang membuat anggota masyarakat
internasional lainnya dihadapkan kepada dua pilihan dalam menanggapinya, yaknit menyetujuinya atau menolaknya. Dalam mengahadapi pilihan-pilihan
inilah lembaga pengakuan memainkan perannya. Peranan pengakuan sangat penting bagi lahirnya suatu anggota baru
masyarakat internasional, tanpa mendapatkan pengakuan ini Negara tersebut akan mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan Negara lainnya.
Negara yang belum “diakui” dapat memberi kesan kepada Negara lain bahwa Negara tersebut “tidak mampu” menjalankan kewajiban-kewajiban internasional.
Oleh karena itu pengakuan ini perlu dan penting bagi suatu Negara baru. Oppenheim berpendapat bahwa pengakuan merupakan suatu pernyataan
kemampuan suatu Negara baru.
28
Pada dasarnya pemberian pengakuan terhadap Negara baru oleh Negara- negara di dunia semata-mata hanya didasarkan pada alasan-alasan politis, bukan
Bagi Negara yang pemerintahannya baru lahir melalui jalur kekerasan seperti perang karena penjajahan, pengakuan dari Negara
yang dulu mendudukinya malah lebih penting lagi peranan dan pengaruhnya bagi Negara tersebut. Tetapi bagi Negara yang baru lahir melalui jalur Konstitusional,
maka seharusnya ia tidak begitu sulit untuk mendapatkan pengakuan dari negara- negara di dunia.
28
Oppenheim-Lauterpacht, International Law, Vol. I: Peace, Longmans Edisi ke-8, 1967, hlm. 148.
Universitas Sumatera Utara
34
alasan hukum. Sebagaimana dinyatakan oleh wakil Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB selama perdebatan tentang masalah Timur Tengah bulan Mei
1948, di mana dinyatakan bahwa: “Highly improper for one to admit that any country on earth can question
the sovereignity of the limited states of America in the exercise of the political act of recognition of the de facto status of a state.”
29
“The recognition of new state, or a government of an existing State, is a unilateral act which the recognizing govermment can grant or withhold … the
practice of States shows that the act of recognition is still regarded as a political decision, which each state decides in accordance with its own free appreciation of
the situation.” Pada 1950, disuarakan pula oleh sekretariat PBB ketika membahas
masalah keanggotaan perwakilan Negara-negara anggota di PBB badan ini mengatakan sebagai berikut:
30
Brierly menyatakan bahwa pemberian pengakuan ini merupakan tindakan politik daripada tindakan hukum.
31
Lauterpacht menegaskan bahwa pengakuan bukanlah masalah hukum. Ia menyatakan bahwa praktek Negara-negara tidak
beragam dan tidak menunjukkan adanya aturan-aturan hukum dalam masalah pengakuan ini.
32
Dengan diakuinya suatu Negarapemerintah baru, konsekuensi yang timbul bisa merupakan konsekuensi politis tertentu dan konsekuensi yuridis antara
29
Malcolm N. Shaw, International Law, London: Butterworths, 1986, hlm.209.
30
UN Doc, 51466;S.C.O.R., 5
th
., year, Supp, for JanuaryMay, 1950, hlm.19.
31
Oscar Svarlien, An Introduction to the Law of Nations. McGraw-Hill,1955,hlm. 98-99
32
Lauterpacht, Recognition in International Law 1947 hlm.78 sebagaimana dikutip oleh Oscar Svalien, Loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
35
Negara yang diakui dengan Negara yang mengakui. Konsekuensi politis yang dimaksud misalnya saja, kedua Negara kemudian dapat dengan leluasa
mengadakan hubungan diplomatik sedangkan konsekuensi yuridisnya dapat berupa: Pertama, pengakuan tersebut merupakan pembuktian atas keadaan yang
sebenarnya evidence of the factual situation. Kedua, pengakuan mengakibatkan akibat-akibat hukum tententu dalam mengembalikan tingkat hubungan diplomatik
antara Negara yang mengakui dan yang diakui. Ketiga, pengakuan memperkukuh status hukum judicial standing Negara yang diakui dihadapan pengadilan
Negara yang mengakui.
33
Menurut J.B Moore makna pengakuan adalah sebagai suatu jaminan yang diberikan kepada suatu Negara baru bahwa Negara tersebut diterima sebagai
anggota masyarakat internasional. Maka dalam pembahasan tentang pengakuan dalam hukum internasional
dapat dikemukakan di sini definisi pengakuan, yaitu tindakan politis suatu Negara untuk mengakui Negara baru sebagai subyek hukum internasional yang
mengakibatkan hukum tertentu.
34
33
D.W. Greig, International Law, London: Butterworths, edisi ke-2, 1967, hlm.120.
34
J.B Moore, Digest of international Law, vol. 1, hlm. 72. Sebagaimana dikutip oleh S. Tasrif, Hukum International tentang Pengaturan dalam Teori dan Praktek, Bdg: Abardin, edisi ke-
2, 1987, hlm.3.
Dengan pengakuan ini memungkinkan Negara baru mengadakan hubungan-hubungan resmi dengan Negara-negara lain.
Dari fakta dan definisi tersebut pula, maka dapatlah ditarik fungsi pengakuan ini yaitu untuk memberikan tempat yang sepantasnya kepada suatu Negara atau
pemerintahan baru sebagai anggota masyarakat internasional. Maka berkenaan
Universitas Sumatera Utara
36
dengan masalah pengakuan ini, pengakuan adalah sebagai suatu keharusan atau sebagai suatu kewajiban hukum.
I. Bentuk-Bentuk Pengakuan
a. Pengakuan Negara Baru
Institut Hukum Internasional The Institute of International Law mendefinisikan pengakuan Negara baru ini sebagai tindakan satu atau lebih
Negara untuk mengakui suatu kesatuan mesyarakat yang terorganisir yang mendiami wilayah tertentu, bebas dari Negara lain serta mampu menaati
kewajiban-kewajiban hukum internasional dan menganggapnya sebagai anggota masyarakat internasional.
35
Suatu pengakuan Negara baru akan menimbulkan masalah dan bahkan peranan pengakuan menjadi sangat penting bagi suatu Negara apabila lahirnya
Negara tersebut diperoleh bukan melalui cara-cara damai seperti tersebut di atas. Pada dasarnya pengakuan terhadap Negara baru tidaklah sulit.
Kebanyakan Negara baru diakui segera setelah Negara tersebut merdeka. Negara- negara ini memenuhi empat unsur Negara menurut hukum internasional, yaitu
wilayah, penduduk, pemerintah, serta kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan pihak asing. Negara tersebut tidak banyak menemui masalah dalam
mendapatkan pengakuan karena kemerdekaan mereka diperoleh melalui cara-cara yang damai, konstitusional, atau melalui perjanjian antara Negara yang
menduduki dengan perwakilan Negara yang diduduki.
35
Huala Adolf, SH, Aspek-aspek Negara dalam hukum internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996, hlm.65.
Universitas Sumatera Utara
37
Misalnya Negara tersebut mendapatkan kemerdekaannya dengan memisahkan diri dari Negaranya dan memproklamasikan Negara sebagai Negara baru, berdaulat
dan merdeka. Ataupun Negara baru tersebut mendapatkan kemerdekaannya dengan jalan kekerasan revolusi oleh Negara baru tersebut terhadap Negara yang
mendudukinya. Dalam masalah pengakuan ini terdapat dua teori yaitu, teori konstitutif dan
teori deklaratoir. Teori konstitutif berpendapat bahwa suatu Negara menjadi subyek hukum internasional hanya melalui pengakuan, jadi hanya dengan
pengakuanlah suatu negara baru itu dapat diterima sebagai anggota masyarakat internasional dan karenanya memperoleh statusnya sebagai subyek hukum
internasional. Teori deklaratoir lahir sebagai reaksi dari teori konstitutif. Menurut teori ini pengakuan hanyalah merupakan penerimaan suatu Negara baru oleh
Negara-negara lainnya. Suatu Negara mendapatkan kemampuannya dalam hukum internasional bukan berdasarkan kesepakatan dari Negara-negara yang telah ada
terlebih dahulu, namun berdasarkan suatu situasi nyata tertentu. Kemampuan tersebut secara hukum ditentukan oleh usaha-usahanya serta keadaan-keadaan
yang nyata dan tidak perlu menunggu diakui oleh Negara lain.
36
a. Macam-macam Pengakuan Negara
1 Pengakuan Kolektif
Pengakuan suatu Negara dalam kategori ini dalam kategori ini dapat berupa dua bentuk. Pertama, dalam bentuk deklarasi bersama oleh kelompok
Negara. Bentuk kedua, yaitu pengakuan yang diberikan melalui penerimaan suatu
36
Ibid, hlm.67.
Universitas Sumatera Utara
38
Negara baru untuk menjadi pihakpeserta ke dalam suatu perjanjian multilateral, misalnya saja perjanjian perdamaian.
37
a Pengakuan Terpisah
Pengakuan kolektif ini dalam hubungannya dengan pengakuan Negara baru mempunyai peranan sebagai bukti pengakuan terhadap adanya suatu Negara
baru. Pengakuan kolektif sehubungan dengan masuknya suatu Negara ke dalam suatu organisasi internasional kerapkali menimbulkan masalah yang cukup
penting bagi Negara yang bersangkutan. Ini desebabkan karena masuknya Negara tersebut pengakuan terhadapnya bukan diberikan oleh organisasi internasional
tetapi oleh para anggotanya. Dengan kata lain pengakuan kepada Negara baru diberikan oleh sekelompok Negara yang bergabung dalam organisasi tersebut.
tentunya dengan diberikannya pengakuan kolektif ini, akan mempunyai dampak yang cukup berpengaruh terhadap hubungan Negara baru tersebut dengan Negara-
negara anggota organisasi internasional tersebut.
Pengakuan terpisah juga dapat diberikan kepada suatu Negara baru apabila pengakuan itu diberikan kepada suatu Negara baru, namun tidak kepada
pemerintahannya. Atau sebaliknya, pengakuan diberikan kepada suatu pemerintahan yang baru berkuasa, namun pengakuan tidak diberikan kepada
negaranya.
38
b Pengakuan Mutlak
Yang dimaksud dengan pengakuan mutlak adalah bahwa suatu pengakuan yang telah diberikan kepada suatu Negara baru tidak dapat ditarik kembali.
37
Ian Brownlie, Principles Of Public International Law, Oxford University Press, 1979, hlm. 99.
38
Ian Brownlie, Op cit., hlm. 99.
Universitas Sumatera Utara
39
Moore menyatakan bahwa pengakuan sebagai suatu asas umum bersifat mutlak dan tidak dapat ditarik kembali absolute and irrevocable.
39
Pemikiran seperti ini dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari pemikiran pengakuan de jure. Namun pengakuan de facto yang telah diberikan dalam
keadaan tertentu dapat ditarik kembali. Ini disebabkan karena pengakuan de facto biasanya diberikan kepada suatu Negara, sebagai hasil dari penilaiannya yang
bersifat sementara dan hati-hati terhadap lahirnya suatu Negara baru. Hal ini dilakukan untuk menghadapi suatu situasi di mana pemerintahan yang diakui
secara de facto tersebut kehilangan kekuasaan. Oleh karena itu, pengakuan yang telah diberikannya dapat ditarik kembali. Pengakuan terhadap pihak-pihak
pemberontak dapat juga ditarik manakala salah satu pihaknya kalah oleh pihak lainnya. Penarikan pengakuan dapat juga dilakukan apabila kriteria-kriteria
Negara menurut hukum internasional ternyata tidak terpenuhi.
40
c Pengakuan Bersyarat
Yang dimaksud dengan pengakuan bersyarat yaitu suatu pengakuan yang diberikan kepada suatu Negara baru yang disertai dengan syarat-syarat tertentu
untuk dilaksanakan oleh Negara baru tersebut sebagai imbangjan pengakuan.
41
Menurut Hall, pengakuan seperti ini ada dua macam. Pertama, pengakuan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum pengakuan diberikan. Kedua,
pengakuan dengan syarat-syarat yang harus dilaksanakan kemudian sesudah pengakuan diberikan. Dalam hal yang pertama, pengakuan tidak perlu diberikan
39
S. Tasrif, Op.cit, hlm. 48.
40
Malcolm N. Shaw, International Law, London: Butterworths, 1986, hlm. 223
41
S. Tasrif, Hukum Internasional Tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Abardin, Cet.2., 1987, hlm.48.
Universitas Sumatera Utara
40
apabila syarat-syarat yang telah disetujui tidak dilaksanakan. Dalam hal yang kedua, tidak dipenuhinya syarat-syarat pengakuan yang telah disetujui untuk
dilaksanakan memberi alasan kepada Negara yang memberikan pengakuan untuk melaksanakan penataan syarat-syarat tersebut melalui pemutusan hubungan
diplomatik atau bahkan dengan mengadakan intervensi.
42
Pengakuan bersyarat ini diberikan sebagai pengikat dan sebagai suatu cara tekanan politik kepada suatu Negara baru. Contoh pengakuan seperti ini adalah
ditandatanganinya perjanjian Litvinov tahun 1933. Perjanjian ini berisi pengakuan Amerika Serikat terhadap pemerintah Soviet. Dalam perjanjian tersebut
diisyaratkan agar Uni Soviet membayar tuntutan keuangan Amerika Serikat dan bahwa Uni Soviet tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang dapat
mengganggu kemanan dalam negeri Amerika Serikat. Pada Kongres Berlin di tahun 1878, Bulgaria, Montenegro, Serbia, dan Rumania diakui oleh sekelompok
Negara Eropa dengan syarat bahwa Negara-negara ini tidak akan melarang warganegaranya menganut agamanya. Contoh lainnya adalah pengakuan Amerika
Serikat dan Inggris terhadap pemerintahan sementara Cekoslavia dan Polandia. Dalam pengakuan tersebut tercantum di dalamnya persyaratan agar kedua Negara
ini akan mengadakan pemilihan umum yang bebas sesudah pendudukan Jerman atas kedua negeri ini berakhir. Sehubungan dengan persyaratan-persyaratan ini
pula, Mahkamah Agung Amerika Serikat, dalam kasus U.S v. Pink mengatakan bahwa … recognition is not always absolute; it is sometimes conditional.
43
42
S. Tasrif, Op.cit., hlm. 136
43
D.P. O’Connell, International Law, London: Butterworths, edisi ke-2, 1976, hlm. 136
Universitas Sumatera Utara
41
Pengakuan bersyarat ini tidak berakibat hukum apapun juga. Ini disebabkan karena pengakuan demikian merupakan tindakan sepihak saja yang
biasanya, seperti telah disebut di muka, dilatarbelakangi oleh maksud-maksud politik.
b. Pengakuan Pemerintah Baru
Pengakuan pemerintahan baru ini merupakan masalah aktual yang kerapkali muncul. Pemerintah dalam suatu Negara akan dan pasti akan berganti-
ganti. Semua perubahan ini sebetulnya tidak memerlukan pengakuan dari Negara- negara lain. Kalaupun pengakuan dibutuhkan, diberikan hanya formalitas saja dan
dilakukannya secara diam-diam implied. Keadaan seperti ini terjadi khususnya manakala penggantian pemerintah tersebut dilakukan menurut cara-cara
konstitusional, yaitu cara- cara yang sah, cara-cara yang terjadi secara normal sesuai dengan kehidupan politik Negara yang bersangkutan. Baik ini dilakukan
menurut pemilihan umum, penggantian sementara kepala pemerintahan karena yang bersangkutan meninggal dunia. Ketika George Bush mengganti Ronald
Reagen yang terjadi karena pemilihan umum di sini tidak ada masalah pengakuan. Begitu pula ketika Soekarno diganti kedudukannya oleh Soeharto, masalah
pengakuan tidak lahir karenanya.
44
Yang menjadi masalah dalam penggantian pemerintahan yang terkait di dalamnya soal pengakuan adalah jika penggantian pemerintahan tersebut terjadi
karena cara-cara yang tidak konstitusional. Misalnya pemerintah yang berkuasa mendapatkan kekuasaannya tersebut melalui coup d’etat, pemberontakan atau
44
Huala Adolf, SH, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996, hlm. 74.
Universitas Sumatera Utara
42
penggulingan pemerintah yang sah melalui cara-cara yang tidak sah. Masalah pengakuan terhadap pemerintah baru ini karenanya sangat penting.
Dalam memberikan pengakuan pemerintah tidak terlepas di dalamnya kepentingan atau perlindungan politik semata-mata. Dalam memberikan
pengakuan biasanya ada beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan Negara untuk memutuskan mengakui atau tidak mengakui pemerintah baru tersebut.
kriteria yang dimaksud adalah: 1
Pemerintah yang permanen. Artinya, apakah pemerintah yang baru tersebut dapat mempertahankan kekuasaan dalam jangka waktu yang lama
reasonable prospect of permanence 2
Pemerintah yang ditaati oleh rakyat. Artinya, apakah dengan adanya pemerintah yang berkuasa tersebut, rakyat Negara
tersebut mematuhimentaati. obedienceof the people.
3 Penguasaan wilayah secara efektif. Artinya, apakah pemerintah baru
tersebut menguasai secara efektif sebagian besar wilayah Negara. Kriteria di atas merupakan kriteria yang ditarik dari praktek Inggris dalam
memberikan pengakuannya kepada suatu pemerintah baru. Kriteria ini dinyatakan oleh Kementrian Luar Negri Inggris Under-Secretary of State for Foreign
Affairs tahun 1970.
45
Kriteria lainnya dikemukakan pula oleh Oscar Svarlien. Menurut beliau ada dua kriteria penting yang harus dimiliki suatu pemerintah agar dapat diakui:
pertama, pemerintah tersebut harus stabil; kedua, pemerintah tersebut harus
45
Ibid, hlm.76.
Universitas Sumatera Utara
43
mampu dan bersedia memenuhi kewajiban-kewajiban internasionalnya. Kriteria kedua ini, misalnya adalah kesediaan untuk menaati hukum internasional
berkaitan dengan perlindungan warga Negara asing dan harta bendanya.
46
1. Doktrin Pengakuan Pemerintahan Baru
Dalam huku m internasional terdapat dua doktrin pengakuan, yaitu: a
Doktin legitimasi; dan b
Doktrin de facto-ism. Doktrin legitimasi mula-mula diangkat oleh Thomas Jefferson pada 1792.
Pada waktu itu beliau mengirim surat kepada Gouverneur Morris yang berisi tentang sikap Amerika Serikat terhadap pemerintah revolusioner Perancis. Dalam
suratnya itu Jefferson antara lain menyatakan bahwa Amerika Serikat mengakui keabsahan setiap pemerintah yang dibentuk berdasarkan keinginan rakyat atau
yang dibentuk secara konstitusional
47
Doktrin de facto-ism berbeda dengan doktrin legitimasi, doktrin de facto- ism tidak melihat bagaimana suatu regim yang berkuasa mendapatkan
kekuasaannya, melalui cara konstitusional atau tidak. Doktrin ini hanya melihat fakta pemerintahan baru dalam suatu Negara. Doktrin ini lahir ketika Revolusi
Perancis pecah dan sebagai hasil dari revolusi itu mencul sebuah pemerintah , yakni menurut cara-cara yang telah
ditentukan berdasarkan ketentuan yang berlaku sesuai dengan konstitusi Negara yang bersangkutan. Dinyatakan pula bahwa adalah hak setiap bangsa untuk
membentuk dan mengubah lembaga-lembaga politik mereka sesuai dengan keinginan dan kehendak rakyatnya.
46
Oscar Svarlien, Op.cit., hlm. 103
47
J.E.S Fawcett, The Law of nation, London: Allen Lane Penguin Press, 19968, hlm. 41.
Universitas Sumatera Utara
44
revolusioner Mentri Luar Negri Amerika Serikat Thomas Jefferson memberikan instruksi kepada duta Amerika Serikat di Perancis Gouverneun Morris, untuk
member pengakuan kepada pemerintah revolusioner itu. Pengakuan ini tidak didasarkan kepada doktrin legitimasi, tetapi atas dasar kekuasaan de facto dari
pemerintah revolusioner itu. Sehingga doktrin pengakuan Jefferson ini kemudian terkenal sebagai doktrin de facto-ism.
48
2. Macam-macam Pengakuan Pemerintah Baru
a Pengakuan “de facto”
Pengakuan de facto biasanya diberikan oleh suatu Negara kepada suatu pemerintah baru manakala masih timbul keragu-raguan terhadap stabilitas dan
kelangsungan hidup suatu Negara atau terhadap kemampuannya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban internasional. Negara yang memberi pengakuan seperti ini
masih melihat dan menunggu kelangsungan pemerintah baru tersebut, apakah ia permanen, apakah ia dihormati dan ditaati oleh rakyatnya, apakah ia berhasil
menguasai atau mengontrol dengan efektif wilayahnya; atau, apakah ia mampu memenuhi kewajiban-kewajiban internasional. Pengakuan de facto diberikan oleh
suatu Negara semata-mata didasarkan bahwa pemerintah tersebut secara nyata berkuasa di dalam wilayahnya.
b Pengakuan “ de jure”
Pengakuan de facto dapat dianggap sebagai langkah awal untuk kemudian diberikan pengakuan de jure. Pengakuan de jure diberikan kepada suatu
pemerintah baru apabila Negara tersebut sudah tidak ragu-ragu lagi terhadapnya.
48
S. Tarif, Op. cit., hlm. 53.
Universitas Sumatera Utara
45
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil antara pengakuan de jure dan de facto. Suatu Negara tanpa mendapat pengakuan, tetap merupakan Negara,
yaitu subyek hukum internasional. Suatu pemerintah atau Negara yang mendapat pengakuan, apapun macam dan bentuknya: de jure atau de facto tetap memiliki
hak-hak istimewa dan kekebalan di Negara yang mengakuinya.
49
3. Penyalahgunaan Pengakuan Pemerintah Baru.
Apabila ada dua Negara mengakui suatu pemerintah baru yang masing- masing memberikan pengakuan yang berbeda. Yang satu memberikan pengakuan
de facto dan yang satu lagi memberikan pengakuan de jure. Masalahnya adalah pengakuan mana yang lebih kuat. Berdasarkan pengertian dari de jure dan de
facto tersebut, pengakuat secara de jure-lah yang lebih kuat daripada pengakuan de facto apabila timbul perselisihan hukum, dikarenakan pengakuan pemerintah
secara de jure menandakan bahwa pemerintah tersebut permanen, sedangkan pemerintah yang diakui secara de facto pemerintah tersebut dapat berubah
kembali pada suatu saat.
Penyalahgunaan pengakuan pemerintah baru adalah pengakuan yang diberikan kepada suatu pemerintah baru yang bersifat sebagai alat politik nasional
guna menekannya supaya memberikan konsesi-konsesi politik dan lain-lain kepada Negara yang hendak member pengakuan. Brierly menyatakan bahwa
states have discovered that he granting or withholding of recognition can be used to further a national policy.
50
49
R.C. Hingonari, Modern International Law, India: Oceana Publications, Inc., 1984, edisi ke-2, hlm. 35.
50
S. Tasrif, Op.cit., hlm 62
Contoh penyalahgunaan pengakuan pemerintah seperti ini adalah pemberian pengakuan premature, atau pengakuan buru-buru.
Universitas Sumatera Utara
46
Pengakuan seperti ini merupakan intervensi terhadap urusan dalam negeri Negara lain. Karenanya pula, pemberian pengakuan seperti ini merupakan pelanggaran
kedaulatan Negara lain yang berarti jugta merupakan pelanggaran hukum internasional.
4. Doktrin Tobar
Doktrin Tobar ini berkenaan pula dengan perlu tidaknya pemberian pengakuan kepada suatu pemerintah baru. Doktrin ini lahir pada 1907, tertuang
dalam suatu perjanjian internasional yang terdiri dari 5 negara-negara Amerika Tengah termasuk Amerika Serikat. Kelima Negara ini sepakat bahwa untuk
pemerintah yang telah menggulingkan pemerintah yang sah dengan cara-cara yang tidak konstitusional atau cara-cara yang abnormal tidak akan diakui.
51
5. Doktrin Estrada
Doktrin ini ditentang oleh Costa Rica di tahun 1932 dan Salvador tahun 1933. Disamping itu pula, doktrin ini tidak diterima sebagai ketentuan umum
hukum internasional. Beberapa ahli hukum pun tidak setuju dengan doktin ini, karena dengan doktrin ini suatu Negara berarti telah menilai untuk membuat
keputusan sepihak tentang keabsahan suatu pemerintah atau rezim revolusioner di suatu Negara. Ini berarti bahwa tindakan Negara tersebut secara tidak langsung
telah melakukan intervensi terhadap urusan-urusan dalam negeri suatu Negara baru.
Doktrin Estrada berasal dari nama Mentri Luar Negeri Mexico, Senor Genaro Estrada pada 1930. Doktrin ini menyatakan bahwa Negara-negara harus
51
R.C. Hingorani, Modern International Law, India: Oceana Publications, Inc., hlm. 86
Universitas Sumatera Utara
47
terus melanjutkan hubungan diplomatiknya dengan suatu Negara, meskipun di Negara tersebut telah berlangsung perebutan kekuasaan. Latar belakang doktrin
ini yaitu bahwa Negara harus terus melanjutkan hubungannya dengan penguasa manapun juga dan setiap penolakan atau pemberian pengakuan kepada suatu
penguasa yang baru sama saja dengan menilai sahtidaknya pengusa tersebut. Estrada menginstruksikan diplomat-diplomatnya melarang untuk memberikan
pendapat atau pernyataan tentang status pemerintah yang baru di suatu Negara. Kalau tidak, itu sama saja dengan ikut campur urusan dalam negeri suatu Negara,
karena hal ini pula senor Estrada mengusulkan penghapusan lembaga pengakuan ini.
52
c. Pengakuan sebagai Pemberontak Insurgensi
Hukum internasional tidak menganggap pemberontak dalam suatu Negara tersebut adalah penjahat-penjahat criminal biasa apabila dilihat dari kedudukan
hukumnya. Hukum internasional memberikan kedudukan hukum tertentu kepada kaum pemberontak ini di bawah konsep recognition of insurgency.
53
d. Pengakuan Berligensi
Pemberian pengakuan pemberontakan sebagai pernyataan keyakinan bahwa kaum pemberontak janganlah diperlakukan sebagai kaaum pengacau jika mereka
tertangkap dan bahwa kau pemberontak berhak untuk menerima perbekalan dari Negara-negara netral.
Apabila suatu kelompok pemberontak dalam suatu Negara telah berkembang menjadi cukup kuat dan besar serta menentang pemerintah yang
52
Oscar Svarlien, Op.cit., hlm 68
53
S. Tasrif, Op.cit., hlm. 74
Universitas Sumatera Utara
48
berkuasa maka kelompok tersebut dapat digolongkan sebagai beligerensi. Alasan menjadi cukup kuat dan besar belumlah cukup. Kelompok tersebut diisyaratkan
harus menguasai beberapa wilayah dalam suatu Negara, menjalankan pemerintahan yang terartur sebagai tandingan terhadap pemerintah yang berkuasa,
menaati peraturan hukum perang dan mampu serta bersedia melindungi warga Negara asing dan harta bendanya. Kaum berligensi ini diakui oleh Negara-negara
lain antara lain disebabkan untuk mengakui keberadaan mereka dan untuk melindungi kepentingannya di wilayah yang diduduki kaum berligensi yang
mungkin saja kepentingannya tersebut tidak akan dilindungi kecuali pengakuan terhadapnya diberikan sebagai beligerensi, yaitu pemerintah tandingan di suatu
wilayah tertentu. Dalam pemberian pengakuan beligerensi ini, Negara yang hendak memberikan pengakuannya harus menyatakan sikap netralnya. Jika tidak,
Negara tersebut dapat dianggap telah campur tangan di dalam urusan dalam negeri suatu Negara.
e. PengakuanPerolehan Wilayah Baru Secara Tidak Sah.
Jika suatu pemerintah yang berkuasa dalam suatu Negara digulingkan dengan cara kekerasan melalui intervensi senjata atau cara-cara tidak sah lainnya,
maka tidak diberikannya pengakuan kepada pemerintah atau Negara baru tersebut layak dilakukan untuk mencegah pemerintahNegara tersebut memperoleh
keuntungan dari pengakuan atas tindakannya yang melawan hukum tersebut.
Universitas Sumatera Utara
49
II. Cara-cara Pemberian Pengakuan Dalam praktek, Negara-negara yang hendak memberikan pengakuan
kepada pemerintahNegara baru, dapat ditempuh dua macam cara, yaitu pengakuan yang tegas dan pengakuan yang diam-diam.
a. Pengakuan yang Tegas express recognition
Suatu pengakuan disebut pengakuan yang tegas apabila suatu Negara mengakui suatu pemerintah atau Negara melalui pernyataan yang tegas.
Penyataan ini dapat dilakukan melalui: i
Deklarasi atau pernyataan umum public statement or declaration. Hal ini dapat dilakukan dengan mengirim pernyataan pengakuan terhadap
pemerintah atau Negara baru. atau, pernyataan tersebut dilakukan dengan hanya mengirim nota diplomatik.
ii Pengakuan melalui perjanjian. Pemberian pengakuan yang tegas melalui
perjanjian biasanya dipraktekan oleh inggris di dalam memberikan kemerdekaan dipraktekkan oleh Inggris di dalam memeberikan
kemerdekaan kepada Negara-negara koloninya.
54
b. Pengakuan Diam-Diam
Suatu pengakuan dikatakan diam-diam apabila tidak ada pernyataan formal oleh suatu Negara , namun dilakukan secara diam-diam melalui beberapa
cara tertentu. Tindakan-tindakan yang dapat menjadi indikasi bahwa suatu Negara telah
memberikan pengakuan diam-diam, yakni:
54
Huala Adolf, Op.Cit., hlm. 95
Universitas Sumatera Utara
50
i Pengiriman ucapan selamat kepada Negara yang baru;
ii Pengiriman perwakilan suatu Negara untuk menghadiri pengangkatan
atau pengambilan sumpah suatu pemerintah yang baru; iii
Surat-menyurat untuk pembukaan tukar-menukar perwakilan diplomatik atau konsuler;
iv Perpanjangan hubungan diplomatik;
v Memberikan suara voting kepada hnegara baru agar ia dapat
diterima sebagai anggota PBB atau anggota organisasi internasional lainnya;
vi Membuat perjanjian dengan Negara tersebut;
55
III. Akibat Perjanjian Efek pengakuan dan non-recognition terhadap pemerintah Negara baru
adalah hal yang cukup penting karena walaupun suatu pemberian pengakuan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politik namun dengan pemberian
tersebut dapat berakibat hukum tertentu kepada Negara yang diakui. Hak-hak tersebut yaitu:
i Negara yang diakui dapat mengadakan hubungan-hubungan diplomatik
dengan njegara yanmg mengakui. Dikatan dapat sebab antara Negara yang mengakui dan yang diakui tidak mesti hubungan diplomatik tersebut
diadakan. ii
Negara tersebut menikmati kekebalan diplomatik di Negara yang mengakui;
55
Hingorani, Op.Cit., hlm 91
Universitas Sumatera Utara
51
iii Negara yang diakui dapat menuntut di wilayah Negara yang diakui;
iv Negara yang diakui dapat mendapatkan harta benda yang berasal dari
penguasa terdahulu yang berada di wilayah Negara yang mengakui; v
Tindakan-tindakan Negara yang diakui diberlakukan sah dan keabsahannya itu tidak dapat diuji;
vi Perjanjian-perjanjian yang telah diadakan oleh pemerintah terdahulu dapat
berlaku kembali. Adapun akibat atau pengaruh dari non-recognition tidak diakui nya suatu
Negara menyebabkan Negara tersebut mengalami beberapa ketidakmampuan dalam hal sebagai berikut:
i Negara tersebut tidak dapat menuntut di dalam wilayah Negara yang tidak
mengakui; ii
Negara tersebut tidak dapat mengadakan hubungan diplomatik yang tetap dengan Negara yang tidak mengakui;
iii Warga negaranya tidak dapat memasuki wilayah Negara yang tidak mengakui
dengan menggunakan passport dari Negara yang tidak diakui; iv
Perjanjian yang diadakan oleh pemerintah terdahulu menjadi beku. Meskipun Negara-negara yang tidak diakui mengalami “kekurangan-
kekurangan” demikian, namun Negara-negara ini dapat juga menikmati beberapa status internasional tertentu, yaitu:
i Negara ini dapat mengadakan hubungan diplomatik ad hoc dengan Negara
yang tidaj mengakui.
Universitas Sumatera Utara
52
ii Perundang-undangan pemerintah yang tidak diakui tidak selamanya dianggap
tidak sah.
C. Dasar hukum atau syarat-syarat untuk pengakuan suatu Negara oleh PBB