Perubahan Entitas Palestina Oleh Pbb Dan Eksistensinya Sebagai Negara Pemantau Non Anggota
PERUBAHAN ENTITAS PALESTINA OLEH PBB DAN EKSISTENSINYA SEBAGAI NEGARA PEMANTAU NON ANGGOTA
SKRIPSI
Di susun dan Diajukan untuk memenuhi Syarat-syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum di Universitas Sumatera Utara
OLEH
NIM. 090200156 WINDY WIDYA UTAMI
Departemen Hukum Internasional
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
PERUBAHAN ENTITAS PALESTINA OLEH PBB DAN EKSISTENSINYA SEBAGAI NEGARA PEMANTAU NON ANGGOTA
SKRIPSI
Di susun dan Diajukan untuk memenuhi Syarat-syarat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum di Universitas Sumatera Utara
OLEH
NIM. 090200156 WINDY WIDYA UTAMI
Departemen Hukum Internasional Disetujui Oleh:
Ketua Departemen Hukum Internasional
194403319993031002 Arif, SH., M.H
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Arif, SH., M.H
194403319993031002 197308012002121002
(3)
ABSTRAK
PERUBAHAN ENTITAS PALESTINA OLEH PBB DAN
EKSISTENSINYA SEBAGAI NEGARA PEMANTAU NON ANGGOTA Windy Widya Utami *)
Arif **) Jelly ***)
Konflik Israel-Palestina bermula ketika dikeluarkannya resolusi PBB yang membagi tanah Palestina menjadi dua bagian. Israel mendapatkan tanah lebih luas sementara Palestina mendapat bagian yang lebih kecil. Konflik semakin memuncak ketika Israel mendirikan Negara Israel pada tahun 1948 di Palestina berdasarkan resolusi tersebut. Konflik terus berlangsung, tak sedikit masyarakat sipil baik dari Palestina maupun Israel yang menjadi korban. Palestina adalah sebuah Negara yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya. Dalam tujuannya itu terbentuklah Gerakan Pembebasan Palestina (PLO) yang merupakan wakil resmi Palestina di dunia Internasional. Status Palestina sebagai entitas pemantau non-anggota membuatnya tidak memiliki status yuridis yang kuat di mata hukum internasional ketika diserang oleh negara-negara lain. Palestina tidak memiliki hak suara untuk mengajukan perlindungan kepada Dewan Keamanan PBB (selanjutnya disingkat DK PBB) ataupun melakukan penuntutan melalui Mahkamah Internasional, kecuali Palestina menyatakan bersedia untuk menerima kewajiban-kewajiban yang timbul sebagai akibat daripada penyelesaian secara damai sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 35 Piagam PBB.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana dasar hukum atau syarat-syarat untuk pengakuan atas suatu Negara oleh PBB, bagaimana perubahan status kenegaraan Palestina dari entitas peninjau menjadi Negara peninjau non anggota, dan bagaimana eksistensi Palestina sebagai Negara pemantau non anggota.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adlaah penelitian hukum normatif meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Metode pendekatan yang digunakan penelitian normatif ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan perubahan entitas palestina menjadi Negara Pemantau Non Anggota oleh PBB adalah langkah besar bagi Palestina untuk mendapatkan keadilan di Mahkamah Internasional. Dan juga eksistensinya di dunia Internasional telah diakui oleh Negara-negara lain.
Kata Kunci: Entitas, Palestina, PBB, Eksistensi. _________________________
*) Penulis
**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II
(4)
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Esa, berkat karunia-Nya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk menyelesaikan masa studinya dan memperoleh gelar Sarjana Hukum Jurusan Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Sesuai dengan yang tercantum pada halaman depan skripsi ini, maka judul yang dipiih adalah: “Perubahan Entitas Palestina menjadi Negara Pemantau Non Anggota oleh PBB dan Hak-hak yang Melekat”. Adapun yang menjadi latar belakang penulis dalam memilih judul tersebut di atas tidaklah semata-mata hanya karena ingin membuat skripsi guna kelulusan kegiatan akademik saja. Tetapi didasari oleh penulis karena melihat dan mengamati bahwa konflik internasional antara Israel dan Palestina yang sudah terjadi sejak lama, konflik tersebut menghasilkan begitu banyak kejahatan yang melanggar hak-hak kemanusiaan, dan juga begitu keras perjuangan Palestina untuk mendapatkan kemerdekaannya. Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini masihjauh dari sempurna, dalam penyusunan, pemilihan maupun merangkai kata demi kata, serta kelalaian dalam proses pengeditan. Hal ini karena keterbatasan yang dimiliki oleh penulis. Oleh karena itu, penulis bersedia menerima kritik dan saran yang membangun agar dapat menjadi acuan bagi penulis dalam karya penulisan berikutnya.
Sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih terhadap semua dukungan dan perhatian yang telah diberikan, penulis mengucapkan terima kasih kepada :
(5)
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum USU.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Sumatera Utara.
3. Bapak Syarifudin Hasibuan, SH., MH., DFM, selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Sumatera Utara.
4. Bapak M. Husni, SH, M.H, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Sumatera Utara.
5. Bapak Arif, SH, M.H selaku Ketua Departemen Hukum Internasional,
sekaligus Dosen Pembimbing I penulis. Terima kasih banyak ya, Pak.
6. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang
telah sabar membimbing penulis juga telah meluangkan waktu dan tenaga untuk membimbing penulis. Terima kasih buat semuanya ya, Pak.
7. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum, selaku Sekretaris Departemen
Huku m Internasional.
8. Bapak Deni Purba, SH., LLM dan seluruh staf dosen di Fakultas Hukum
USU yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah mendidik penulis selama tujuh semester hingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan S-1 dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan ini.
9. Keluargaku yang tersayang: Papa dan Mama yang sangat luar biasa, yang
(6)
10.My soul sisters, Dina Rupang, Maya Fitri Nadya Lubis, S.ked., Prasti Windhika Syafitri, S.Ked. Thank you for all laugh and everything that we’ve shared.
11.My buddies! M. Iqbal Harahap, Arini Wulandari, Putri Arini, Friska
Messelina, SH., Anggi Putri Rambe, Yudhistira Frandana, Sari Ramadhani Lubis, M. Akhir Putera Harahap, GLC dan masih banyak lagi yang tidak bias saya sebutkan satu-persatu. Terima kasih atas semangat yang kalian berikan.
12.Seluruh teman seperjuangan stambuk 2009. Bertemu lagi disaat semua nya
sukses. Amin.
13.Buat teman-teman Departemen Hukum International 2009 khususnya Give
Me five. Such a good memories to remember that we’ve made!
14.Buat teman-teman baru yang baru ditemukan di akhir semester! Yolanda
Ovieyluna Rambe, Cinry Sinambela, Ruby Agnessia Ginting, Veri Veronicka Ginting, M. Akbar Hutasuhut dan Daniel Sitorus.
15.Buat para senior, Omar Akbar A.P, SH., Yuliandari Andarini, SH., Rendie
Febian, SH., yang telah sabar menjawab semua pertanyaan saya tentang perkuliahan ini. Juga senior lainnya serta adik-adik junior tersayang.
Medan, Juli 2013 Hormat Penulis,
(7)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………...1
B. Perumusan Masalah ……….. 9
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9
D. Keaslian Penulisan .……….. 10
E. Tinjauan Pustaka ...………... 11
F. Metode Penelitian …..………... 14
G. Sistematika Penulisan ………... 17
BAB II PENGAKUAN ATAS NEGARA OLEH PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Aspek Historis dari PBB …... 19
B. Pengakuan atas berdirinya Negara oleh Perserikatan Bangsa-bangsa menurut hukum internasional secara umum ……….. 24
I. Bentuk-bentuk Pengakuan ………... 28
a. Pengakuan Negara Baru………... 28
(8)
II. Cara-cara Pemberian Pengakuan ………...……… 41
III.Akibat Perjanjian……… 42
C. Dasar hukum atau syarat-syarat untuk pengakuan suatu Negara oleh PBB
………. 44
BAB III PERUBAHAN ENTITAS PALESTINA DI PBB
A. Status Palestina sebagai Entitas Pemantau ……….... 47
B. Tanggapan masyarakat Internasional terhadap status kenegaraan Palestina
………. 59
C. Perubahan status Palestina dari Entitas Pemantau menjadi Negara
pemantau non anggota ……… 79
BAB IV EKSISTENSI PALESTINA SEBAGAI NEGARA PEMANTAU NON ANGGOTA
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan …..………. 84
(9)
ABSTRAK
PERUBAHAN ENTITAS PALESTINA OLEH PBB DAN
EKSISTENSINYA SEBAGAI NEGARA PEMANTAU NON ANGGOTA Windy Widya Utami *)
Arif **) Jelly ***)
Konflik Israel-Palestina bermula ketika dikeluarkannya resolusi PBB yang membagi tanah Palestina menjadi dua bagian. Israel mendapatkan tanah lebih luas sementara Palestina mendapat bagian yang lebih kecil. Konflik semakin memuncak ketika Israel mendirikan Negara Israel pada tahun 1948 di Palestina berdasarkan resolusi tersebut. Konflik terus berlangsung, tak sedikit masyarakat sipil baik dari Palestina maupun Israel yang menjadi korban. Palestina adalah sebuah Negara yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya. Dalam tujuannya itu terbentuklah Gerakan Pembebasan Palestina (PLO) yang merupakan wakil resmi Palestina di dunia Internasional. Status Palestina sebagai entitas pemantau non-anggota membuatnya tidak memiliki status yuridis yang kuat di mata hukum internasional ketika diserang oleh negara-negara lain. Palestina tidak memiliki hak suara untuk mengajukan perlindungan kepada Dewan Keamanan PBB (selanjutnya disingkat DK PBB) ataupun melakukan penuntutan melalui Mahkamah Internasional, kecuali Palestina menyatakan bersedia untuk menerima kewajiban-kewajiban yang timbul sebagai akibat daripada penyelesaian secara damai sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 35 Piagam PBB.
Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah bagaimana dasar hukum atau syarat-syarat untuk pengakuan atas suatu Negara oleh PBB, bagaimana perubahan status kenegaraan Palestina dari entitas peninjau menjadi Negara peninjau non anggota, dan bagaimana eksistensi Palestina sebagai Negara pemantau non anggota.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adlaah penelitian hukum normatif meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Metode pendekatan yang digunakan penelitian normatif ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan perubahan entitas palestina menjadi Negara Pemantau Non Anggota oleh PBB adalah langkah besar bagi Palestina untuk mendapatkan keadilan di Mahkamah Internasional. Dan juga eksistensinya di dunia Internasional telah diakui oleh Negara-negara lain.
Kata Kunci: Entitas, Palestina, PBB, Eksistensi. _________________________
*) Penulis
**) Dosen Pembimbing I ***) Dosen Pembimbing II
(10)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perserikatan Bangsa-Bangsa atau lebih dikenal sebagai United Nations
Organization (UNO) lahir pada tanggal 24 Oktober 1945 setelah diratifikasinya Piagam yang mempunyai kekuatan mengikat menurut hukum internasional oleh Amerika Serikat, Cina, Inggris, Perancis dan Uni Soviet. Lahirnya Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai organisasi internasional menimbulkan harapan-harapan baru bagi masyarakat internasional dalam hal perdamaian dan keamanan internasional. Hal ini disebabkan banyaknya korban yang diakibatkan oleh perang, penindasan, perkosaan hak-hak asasi manusia, tirani, fanatisme, ketidakadilan ekonomi, konflik sosial, politik, serta penggunaan senjata-senjata massal di
berbagai tempat didunia.1
Begitu banyaknya konflik Internasional yang muncul silih berganti mengakibatkan kerusakan di segala aspek. Perang memakan banyak korban tidak bersalah, penggunaan dan perburuan senjata nuklir menggerus kesejahteraan, mengancam keamanan warga sipil bahkan dapat mengancam perdamaian dunia, begitu pula dengan fanatisme, tirani dan konflik internasional lainnya. Akibatnya masing-masing negara berusaha saling mengungguli lawan-lawan dengan melengkapi persenjataannya. Curiga mencurigai antar negara sering muncul sehingga menyebabkan masing-masing negara mempersiapkan diri untuk
1
“Sejarah Terbentuknya PBB” sebagaimana dimuat dalam http://www.kumpulansejarah.com/ diakses tanggal 16 maret 2013
(11)
menghadapi kemungkinan adanya serangan dari negara-negara lain atau untuk
menyerang negara lain.2
Awal mula konflik perebutan wilayah antara Palestina-Israel adalah sebelum zionis Israel melakukan penjajahan terhadap bangsa Palestina, Kerajaan Inggris telah melakukan penjajahan terhadap bangsa Palestina, hal tersebut terjadi
sejak diadakan perjanjian Skys-Picot (1916) antara Inggris, Perancis dan Rusia
bergabung setelah itu. Dalam perjanjian tersebut berisikan tentang pembagian wilayah kaum muslimin, wilayah yang pernah dikuasai khilafah Turki Utsmani,
Perebutan wilayah antara Palestina-Israel yang dimulai sejak ratusan tahun lalu adalah salah satu bukti nyata konflik internasional yang meresahkan masyarakat internasional, karena tidak ada satupun badan-badan di dunia seperti halnya PBB mampu menyelesaikan sengketa diantara kedua negara tersebut. Ketidakadilan yang dilakukan Israel terhadap Palestina pada perang perbatasan di Jalur Gaza mengakibatkan banyak korban jiwa, baik warga sipil maupun angkatan
bersenjata. Penggunaan white-phospour (fosfor putih) oleh Israel yang termasuk
senjata terlarang dalam Konvensi Pelarangan Menyeluruh Senjata Kimia (The
Convention on the Prohibition of the Development, Production, Stockpiling and Use of Chemical Weapons and on Their Destruction) adalah salah satu kejahatan perang yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina yang menimbulkan banyak korban jiwa.
2
D.W. BOWETT Q.C.LL.D, Hukum Organisasi Internasional, (Jakarta, sinar grafika, 1992) hlm.21
(12)
Inggris mendapatkan wilayah Irak, Yordania Timur dan Palestina, sedangkan
Perancis mendapatkan wilayah Lebanon dan Suriah.3
Pada tahun 1922 PBB memberikan mandat kepada Inggris untuk menguasai Palestina tetapi hal ini hanya menambah panas kondisi Palestina dikarenakan terlalu leluasanya kaum Yahudi masuk ke Palestina sehingga memaksa pribumi Arab keluar dari sana. Melihat hal ini, PBB mengambil alih
dengan membentuk UNSCOP (United Nations Special Committe on Palestina),
yang kemudian merekomendasikan Palestina dibagi menjadi tiga secara terpisah; Negara Merdeka bagi Yahudi, Negara Merdeka bagi Arab dan Yerusalem sebagai
kota di bawah International Trusteeship Sistem. Setelah Perang Dunia ke II,
Inggris merasa tidak mampu mengurus kaum Yahudi di Palestina`dikrenakan Cengkraman penjajahan Inggris lebih kuat lagi terhadap bumi Palestina saat dikeluarkannya Deklarasi Balfour 1917 yang isi nya menyatakan bahwa perlunya membangun tanah air bagi Yahudi di Palestina, walupun dalam Deklarasi tersebut dinyatakan bahwa kaum Yahudi tidak diperbolehkan melakukan perbuatan apapun yang melanggar hak-hak penduduk dan keagamaan dari komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina. Maka sejak itulah penderitaan datang silih berganti bagi penduduk Palestina. Anak-anak kesulitan mendapatkan makanan dan susu yang bergizi, kehidupan kaum wanita terganggu, rumah-rumah dihancurkan, serta pembunuhan rakyat Palestina secara sadis. Israel melakukan segala cara untuk merebut seluruh wilayah Palestina, mereka merebut dan membangun pemukiman bagi Yahudi.
3
“Sejarah Panjang Konflik Palestina dan Israel” Sebagaimana dimuat dalam http://www.kumpulansejarah.com diakses pada tanggal 10 april 2013 pukul 12.45
(13)
banyaknya masalah yang ditimbulkan oleh kaum Yahudi. Tepatnya pada tahun 1947 Inggris mundur dari mandat Palestina dengan alasan tidak mampu memberikan solusi yang tepat bagi kaum Arab Palestina dan Yahudi.
Sehari sebelum habisnya perwalian Inggris di Palestina para pemukim Yahudi memproklamirkan kemerdekaan negara Israel ( 14 May 1948), melakukan agresi bersenjata terhadap rakyat Palestina yang masih lemah. Jutaan dari mereka terpaksa mengungsi ke Libanon, Yordania, Syria, Mesir dan lain-lain. Palestinian Refugees menjadi tema dunia. Namur, Israel menolak eksistensi rakyat Palestina ini dan menganggap mereka telah memajukan areal yang semula kosong dan terbelakang. Timbulah perang antara Israel dengan negara-negara Arab tetangganya. Namun karena para pemimpin Arab sebenarnya ada di bawah pengaruh Inggris, maka Israel mudah merebut daerah Arab Palestina yang telah
ditetapkan PBB.4
Dalam hal ini Inggris sebagai anggota PBB yang menerima mandat atas kekuasaan Palestina telah melanggar Pasal 73 Bab XI dari piagam PBB yang menyatakan, “Anggota PBB yang memiliki atau menerima tangggungjawab di wilayah administratif yang masyarakatnya belum memiliki pemerintahan sendiri harus menjunjung prinsip bahwa kepentingan dan kehendak penduduk di wilayah tersebut adalah penting, dan menerima kewajiban untuk mempromosikan kondisi aman bagi penduduk, dalam sistem perdamaian dan keamanan dunia yang
tercantum dalam piagam PBB”.5
4 “Kilas Balik Penjajahan Palestina” sebagaimana terdapat dalam http://www.islamnyamuslim.com
5 Philip C. Jessup, A Modern Law of Nations; Pengantar Hukum Modern Antarbangsa, (Bandung, Nuansa, 2012) hlm. 69.
(14)
Berdasarkan kronologis diatas jelas bahwa Palestina bukanlah suatu Negara yang merdeka dikarenakan tidak adanya wilayah yang jelas, pemerintahan yang berdaulat dan pengakuan dari Negara lain, dimana hal-hal tersebut adalah unsur-unsur yang harus dipenuhi agar dapat diakui sebagai Negara yang berdaulat secara Internasional. Professor Lauterpacht menyatakan bahwa pengakuan adalah sebagai pembentuk Negara, maka dari itu Palestina bukanlah negara yang berdaulat karena tidak adanya pengakuan.
Kedaulatan dalam suatu negara sangatlah penting karena kedaulatan adalah suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah, pemerintahan dan
masyarakat.6
6
Huala Adolf, SH., Aspek-aspek Negara dalam hukum internasional, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 99
Kedaulatan adalah wujud dari kompetensi, kemandirian serta persamaan hukum terhadap negara-negara lain. Kedaulatan yang dilaksanakan oleh suatu negara pada dasarnya bebas dari intevensi ataupun instruksi dari negara-negara lain apabila negara tersebut memiliki status kemerdekaan yang penuh, namun pada prakteknya intervensi yang dilakukan secara tidak langsung yakni pengaruh yang diberikan negara-negara lain sehingga negara tersebut mau mengikuti kepentingan negara lain tersebut tidak dapat dihindari. Pengaruh-pengaruh itu datang dari kekuatan-kekuatan politik, Pengaruh-pengaruh teknologi dan informasi, ekonomi, kebudayaan, dan lain-lain yang menembus batasan-batasan territorial antar negara. Sedangkan pada negara-negara yang tidak memiliki status kemerdekaan penuh kedaulatan yang dimiliki oleh negara-negara tersebut pada dasarnya memiliki tendensi yang cukup kuat untuk diintervensi secara langsung oleh negara-negara lain.
(15)
Kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara juga mencakup kebebasan dalam memilih politik, ekonomi, sosial budaya, serta kebijakan luar negeri. Kebebasan yang dimiliki oleh suatu negara tersebut bersifat tak terbatas, karena pada dasarnya kedaulatan negara itu dibatasi oleh pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh hukum internasional, pembatasan-pembatasan itu dapat kita lihat
misalnya di dalam Piagam PBB (United Nations Charter), Universal Declaration
of Human Right, dan lain-lain. Ataupun pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh sumber-sumber hukum internasional sebagaimana dimaksud di dalam pasal
34 ayat 1 statuta Mahkamah internasional (Statute of Internasional Court Justice).
Mengenai pembatasan-pembatasan terhadap kedaulatan negara tersebut ada sebuah pendapat yang dilontarkan oleh salah seorang mantan Sekretaris Jenderal
PBB yakni Boutros-Boutros Ghali yang mengatakan bahwa “The time of absolute
sovereignty… has passed, its theory was never matched by reality” , beliau setuju kedaulatan negara itu bersifat tak terbatas karena memang kedaulatan yang abosolut pada kenyataannya adalah suatu konsep yang tidak pernah sejalan dengan kenyataan yang terjadi. Pembatasan-pembatasan yang diberikan kepada kedaulatan negara tersebut dimaksudkan untuk menjaga perdamaian dunia serta
untuk menjamin pertahanan negara-negara lemah dari negara-negara kuat.7
Palestina adalah sebuah Negara yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya. Dalam tujuannya itu terbentuklah Gerakan Pembebasan
Palestina (Palestina Liberation Organization/PLO) yang merupakan wakil resmi
Palestina di dunia Internasional. Status Palestina sebagai entitas pemantau
7
“Kedaulatan Suatu Negara sebagai Manifestasi Kemerdekaan” sebagaimana terdapat dalam http://mydailystudy.wordpress.com
(16)
anggota membuatnya tidak memiliki status yuridis yang kuat di mata hukum internasional ketika diserang oleh negara-negara lain. Palestina tidak memiliki hak suara untuk mengajukan perlindungan kepada Dewan Keamanan PBB (selanjutnya disingkat DK PBB) ataupun melakukan penuntutan melalui Mahkamah Internasional, kecuali Palestina menyatakan bersedia untuk menerima kewajiban-kewajiban yang timbul sebagai akibat daripada penyelesaian secara damai sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 35 Piagam PBB.
Banyak Negara-Negara yang mendukung kemerdekaan Palestina tetapi sampai hari ini sama sekali belum merubah wajah Palestina. Berbicara mengenai negara sebagai salah satu subjek hukum internasional, maka yang harus diketahui adalah syarat tentang pembentukan negara itu sendiri. Selanjutnya untuk dikatakan sebagai negara haruslah memenuhi unsur-unsur tertentu. Palestina merupakan kasus yang sangat kontroversial di dalam hukum internasional. beberapa alasannya adalah:
1. Palestina mengklaim dirinya sebagai Negara merdeka namun pada
kenyataannya tidak mampu mengontrol, wilayah yang diklaimnya.
2. Palestina mampu mengadakan hubungan diplomatik dengan Negara
lain, yakni diakui oleh semua Negara-Negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).
3. Palestina belum menjadi Negara anggota PBB, hanya terbatas sebagai
(17)
4. Palestina mempunyai penduduk yang tetap, pemerintahan yang berdaulat tetapi ada dualisme kepemimpinan, yakni Harakah Muqawammah Al-Islamiyyah (HAMAS) dan Fatah.
5. Israel ketika mendeklarasi diri sebagai Negara yang merdeka justru
diakui oleh mayoritas Negara-neggara termasuk PBB walaupun batas
wilayahnya masih bermasalah dengan Negara-negara tetangganya.8
Dengan mengamati perkembangan isu pengajuan keanggotaan Palestina dalam PBB, banyak yang berargumen bahwa Palestina akan menggunakan dua jalur diplomasi baik secara bilateral maupun multilateral. Hal tersebut dipilih untuk mencapai tujuan utama yakni diakuinya Palestina sebagai entitas Negara berdaulat. Adapun Palestina dipercaya mampu mempengaruhi pemikiran para kepala negara yang bukan merupakan sekutu atau aliansi dari Negara-negara besar dengan pendekatan persuasive atas nama keadilan dan perdamaian internasional.
Status yuridis Palestina kini sudah semakin menemui titik terang ketika status Palestina ditingkatkan menjadi negara pemantau non-anggota PBB. Negara pemantau non-anggota memiliki hak untuk berbicara di pertemuan Majelis Umum
PBB, namun tidak bisa memberikan suara pada resolusi PBB.9
8 Hanief, “Subjek Hukum Internasional”, http://mas-hanief.blogspot.com/2011/11/subjek-hukum-internasional.html, tanggal 9 Desember 2011.
9
J. G. Starke, 1989, Introduction to International Law, diterjemahkan oleh Sumitro L. S. Danuredjo dan Lukas Ginting, Pengantar Hukum Internasional 2, Cet. I, Aksara Persada Indonesia, (selanjutnya disingkat dengan J. G. Starke II) h. 322-323
Peningkatan status Palestina tidak menutup kemungkinan jika pada suatu saat nanti Palestina akan masuk menjadi anggota PBB selama terpenuhinya syarat-syarat yang diajukan
oleh Advisory Opinion (AO) tentang “Syarat-syarat keanggotaan dalam PBB”,
(18)
menerima kewajiban-kewajiban Piagam PBB; (4) mampu melaksanakan
kewajiban-kewajiban itu; (5) mau melaksanakan kewajiban-kewajiban itu.10
1. Bagaimana dasar hukum atau syarat–syarat untuk pengakuan atas
suatu Negara oleh PBB? B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang menjadi objek pembahasan dalam penulisan skripsi ini, antara lain :
2. Bagaimana perubahan status kenegaraan Palestina dari Entitas
Pemantau menjadi Negara Pemantau Non Anggota?
3. Bagaimana eksistensi Palestina sebagai Negara Pemantau Non
Anggota?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan a. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan dari penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui dasar hukum atau syarat–syarat untuk pengakuan atas
suatu Negara oleh PBB
2. Untuk mengetahui perubahan status kenegaraan Palestina dari Entitas
Pemantau menjadi Negara Pemantau Non Anggota
3. Untuk mengetahui Eksistensi Palestina sebagai Negara pemantau non
anggota.
10 detik.com, Arti Penting di Balik Peningkatan Status Palestina, diakses pada tanggal 17 Januari 2013, URL: news.detik.com/read/2012/11/30/164934/2106333/10/arti-penting-di-balik-peningkatan-status-Palestina/
(19)
b. Manfaat Penulisan
Sehubungan dengan hal hal tersebut di atas, maka penenelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun secara praktis.
1. Manfaat secara teoritis
Pembahasan tentang masalah yang telah dirumuskan dapat memberikan sumbangan akademis bagi Ilmu Hukum pada umumnya dan Hukum Internasional pada khususnya, mengenai perubahan entitas Palestina menjadi Negara pemantau non-anggota dan dampaknya terhadap Negara-negara lain serta hak-hak yang melekat, yang mencakup aspek historis PBB, unsure-unsur berdirinya suatu Negara yang diakui oleh Hukum Intenasional dan bagaimana eksistensi Palestina setelah diakui menjadi Negara pemantau non-anggota oleh PBB.
2. Manfaat secara praktis
Pembahasan tentang masalah yang telah diangkat diharapkan dapat memberikan pengetahuan yang berguna bagi masyarakat mengenai status Palestina sebagai Negara pemantau non-anggota di dunia internasional, bagaimana Palestina yang telah memperjuangkan hak-haknya sampai akhirnya setelah melalui proses yang panjang Negara tersebut disahkan menjadi sebuah Negara pemantau non-anggota oleh PBB.
D. Keaslian Penulisan
Perubahan status Palestina menjadi Negara pemantau non-anggota serta hak-hak yang melekat yang diangkat menjadi judul skripsi ini merupakan hasil karya yang ditulis secara objektif, ilmiah melalui data data referensi dari buku
(20)
buku, bantuan dari narasumber dan pihak pihak lain. Skripsi ini juga bukan merupakan jiplakan atau merupakan judul skripsi yang sudah pernah diangkat sebelumnya oleh orang lain.
E. Tinjauan Kepustakaan
Untuk menghindari kesalahpahaman istilah, maka diberikan batasan pengertian sebagai berikut:
Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu Negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum Internasional. Kedaulatan juga mempunyai arti yang sama dengan kemerdekaan. Bila suatu Negara yang baru lahir dan yang mengadakan kegiatan hubungan luar negri, sering disebut Negara merdeka ataupun Negara berdaulat. Kata merdeka lebih diartikan bahwa suatu negara tidak lagi berada di bawah kekuasaan asing dan bebas untuk menentukan kebijaksanaan dalam dan luar negerinya dan kata kedaulatan lebih menutamakan kekuasaan eksklusif yang dimiliki Negara tersebut dalam
melaksanakan kebijaksanaannya.11
Entitas merupakan suatu kesatuan yang diakui keberadaannya dalam
hukum internasional, tergantung peranannya bagi negara-negara lain.12
11
Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2001, hlm, 25.
12 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Ed. Kesepuluh, terjemahan Bambang Iriana Djajaatmamadja, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat dengan J. G. Starke I), hlm, 127.
Status Palestina yang hanya merupakan suatu entitas diakui eksistensinya sebagai gerakan pembebasan (PLO), bukan sebagai negara. Diakuinya suatu negara secara
(21)
internasional tidak terlepas dari hubungan-hubungan yang dapat dilakukannya dengan negara lain, sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1 Konvensi
Montevideo mengenai karakteristik negara.13
1. Pengakuan adalah suatu kebijaksanaan individual dan dalam hal ini
Negara-negara bebas untuk mengakui suatu Negara tanpa harus memperhatikan sikap Negara-negara lain.
Entitas Pemantau Non Anggota adalah suatu kesatuan yang telah diakui oleh oleh hukum internasional tetapi tidak memiliki kedaulatan yang diakibatkan tidak terpenuhinya unsur deklaratif yakni penduduk, wilayah, pemerintah dan unsur konstitutif sebagai Negara yakni pengakuan dari Negara lain, sehingga tidak memiliki kewenangan dalam hukum Internasional. berdasarkan kebijaksanaan yang bersifat politik, pengakuan dapat mempunyai akibat sebagai berikut:
2. Pengakuan adalah suatu discretionary act yaitu suatu Negara mengakui
Negara lain kalau dianggapnya perlu. Sebagai contoh:
a. Spanyol baru mengakui Peru setelah 75 tahun Negara tersebut
memproklamasikann kemerdekaannya;
b. Belanda baru mengakui Belgia pada tahun 1838 setelah Negara tersebut
merdeka pada tahun 1831;
c. Amerika Serikat mengakui Israel hanya beberapa jam setelah Negara
tersebut lahir tanggal tanggal 14 Mei 1948;
d. Amerika serikat mengakui RRC setelah 30 tahun terbentuknya negaa
tersebut.14
13
(22)
Negara Pemantau Non Anggota adalah suatu Negara yang telah diakui keberadaannya berdasarkan Hukum Internasional karena telah memenuhi unsur deklaratif dan unsur konstitutif. Yang dimaksud dengan pemantau Non Anggota yakni Negara tersebut masih sebagai pemantau di PBB sehingga tidak memiliki hak voting dan tidak terlibat dalam isu-isu politik tingkat tinggi PBB.
Untuk mengakui suatu Negara baru pada umumnya Negara-negara memakai kriteria, antara lain sebagai berikut:
a. Keyakinan adanya stabilitas di Negara tersebut;
b. Dukungan umum dari penduduk; dan
c. Kesanggupan dan kemauan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
Internasional.15
Pengakuan berarti bahwa selanjutnya antara Negara yang mengakui dan Negara yang diakui terdapat hubungan sederajat dan dapat mengadakan segala macam hubungan kerja sama satu sama lain untuk mencapai tujuan nasional masing-masing yang diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum Internasional. Pengakuan juga berarti menerima suatu Negara baru ke dalam masyarakat
Internasional.16
1. Memelihara perdamaian dan keamanan dunia.
PBB adalah organisasi Internasional yang beranggotakan negara-negara berdaulat yang bertujuan menghindari perang dunia dan mala petaka kemanusiaan akibat perang. PBB didirikan dengan tujuan sebagai berikut:
14
Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Bandung, 2001, hlm, 67.
15
Ibid. hlm, 65.
(23)
2. Mengembangkan hubungan persahabatan antarbangsa berdasarkan asas-asas persamaan derajat, hak menentukan nasib sendiri, dan tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain.
3. Mengembangkan kerjasama internasional dalam memecahkan
masalah-masalah ekonomi, sosial, budaya, dan kemanusiaan.
4. Menyelesaikan perselisihan dengan cara damai dan mencegah
timbulnya peperangan.
5. Memajukan dan menghargai hak asasi manusia serta kebebasan atau
kemerdekaan fundamental tanpa membedakan warna, kulit, jenis kelamin, bahasa, dan agama.
6. Menjadikan pusat kegiatan bangsa-bangsa dalam mencapai kerja sama
yang harmonis untuk mencapai tujuan PBB.
F. Metode Penelitian
a. Tipe Penelitian
Soerjono Soekanto17
17 Soerjono Soekanto,
Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2005, hal. 43.
berpendapat bahwa penelitian hukum dapat dibagi dalam:
1. Penelitian Huku m Normatif, yang terdiri dari: a. Penelitian terhadap asas-asas hukum b. Penelitian terhadap sistematika hukum c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum
(24)
a. Penelitian terhadap identifikasi hukum b. Penelitian terhadap efektifitas hukum
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah analisis kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisi secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif digunakan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif analistis, yaitu data-data yang akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.
b. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian hukum umumnya sumber data dibedakan antara data primer dan data sekunder yang dari kekuatan mengikatnya dapat digolongkan
dalam18
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder, yang terdiri dari
:
1. Data primer, yaitu data-data hukum yang diperoleh secara langsung dari
masyarakat.
2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan bahan pustaka.
19
18
Prof. Dr. Lexy j. Moleong, Metodologi Analisis Data, Rosda, Jakarta, 2005, hal. 64. 19 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 113-114
:
1. Bahan hukum primer berupa produk-produk hukum berupa peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini berup konvensi hukum internasional, deklarasi, maupun protokol.
(25)
2. Bahan hukum sekunder berupa bahan acuan yang bersumber dari buku-buku, surat kabar, media internet serta media massa lainnya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.
3. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus dan sebagainya.
Cara mendapatkan data sekunder adalah dengan melakukan penelitian
kepustakaan (library research). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi dokumen dimana selanjutnya dilakukan analisis dengan mengumpulkan fakta-fakta yang didapat dari studi kepustakaan sebagai acuan umum dan kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis untuk mencapai kejelasan masalah yang dimaksud berdasarkan bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan
c. Analisis Data
Data yang terkumpul tidak memberikan arti apa apa bagi penelitian, tanpa dianalisis terlebih dahulu. Hal ini untuk menjamin bahwa data yang diperoleh adalah akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagaimana dirumuskan Berndl Berson20
20
Lexy J. Moloeng, Metode Penelitian Hukum Kualitatif, Remaja Karya, Bandung, 1989, hal. 179
: “Content analysis is a research technique for the obyektive, systematic and quantitative description of the manifest content of communication.” (Kajian isi adalah teknik penelitian untuk keperluan mendeskripsikan secara obyektif, sistematik dan kuantitatif dari suatu bentuk komunikasi). Secara keseluruhan analisis di atas dilakukan dengan
(26)
menggunakan analisis kualitatif untuk mengungkapkan secara mendalam mengenai pandangan dan konsep yang diperlukan dan kemudian akan diurai secara menyeluruh untuk menjawab persoalan yang ada dalam skripsi ini, serta melakukan penarikan kesimpulan dengan pendekatan deduktif-induktif, yakni berawal dari hal-hal yang umum kepada hal-hal yang khusus.
G. Sistematika Penulisan
Di dalam menguraikan pembahasan skripsi ini, penulis telah berusaha
untuk menjabarkan dalam bab per bab. Kelima bab tersebut masing-masing terurai pula dalam sub-sub bab yang penulis sesuaikan pembagiannya dengan maksud dan isi yang diuraikan sebagai berikut:
BAB I merupakan pendahuluan yang memberikan gambaran umum yang menguraikan mengenai Latar Belakang, Rumusan Permasalahan, Tujuan Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II merupakan bab yang membahas mengenai aspek historis dari
PBB, pengakuan atas berdirinya Negara menurut Hukum Internasional secara umum, dan dasar hukum atau syarat-syarat untuk pengakuan suatu Negara oleh PBB.
BAB III merupakan bab yang membahas mengenai status Palestina sebagai Entitas Pemantau, tanggapan masyarakat Internasional terhadap status kenegaraan Palestina, dan perubahan status kenegaraan Palestina dari entitas pemantau menjadi Negara pemantau non anggota di PBB.
(27)
BAB IV merupakan bab yang membahas eksistensi Palestina sebagai Negara Pemantau Non Anggota di PBB
BAB V merupakan bagian penutup dari semua pokok pembahasan yang meliputi kesimpulan dari berbagai permasalahan yang telah dibahas sebelumnya disertai dengan saran-saran yang berkaitan dengan masalah tersebut.
(28)
BAB II
PENGAKUAN ATAS NEGARA OLEH PERSERIKATAN BANGSA– BANGSA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
A. Aspek Historis dari PBB.
Pada saat perang Dunia Kedua sedang berkecamuk, dua negarawan yakni Winston Churcill (PM Inggris) beserta Franklin Delano Rooselvett (Presiden Amerika Serikat) mengadakan pembicaraan khusus di atas sebuah kapal milik AS “Agusta” di perairan Samudera Atlantik, untuk meredakan peperangan. Pertemuan yang dilakukan pada tanggal 14 Agustus 1941 tersebut menghasilkan suatu piagam yang merupakan suatu deklarasi tentang hak kebebasan, kemerdekaan dan perdamaian dunia.
Piagam tersebut telah ditandatangani oleh kedua pihak sehingga disebut
juga Piagam Atlantik atau Atlantic Charter yang pada pokoknya berisi antara lain
sebagai berikut:
1. Tidak dibenarkan adanya perluasan daerah sesamanya.
2. Segala bangsa berhak untuk menentukan bentuk pemerintahannya dan
menentukan nasibnya.
3. Semua Negara berhak turut serta dalam pedagangan dunia.
4. Mengusahakan perdamaian dunia yang membuat setiap bangsa dapat
(29)
Demikianlah maka Piagam Atlantik merupakan dasar-dasar pertama usaha
pembentukan PBB.21
Pada tanggal 25 Juni 1945 diselenggarakan sidang Pleno terakhir di gedung Opera di San Fransisco, pada kesempatan mana keseluruhan Piagam PBB disetujui secara bulat, dan keesokan harinya tanggal 26 Juni 1945 piagam tersebut ditandatangani dalam suatu upacara yang mulia dan anggun dalam Auditorium di Veterans Memorial Hall. Pada tanggal 24 Oktober 1945 Piagam PBB mulai mempunyai daya berlaku, bertepatan dengan saat Cina, Prancis, Uni Soviet, Inggris dan Amerika Serikat serta sebagian besar dari Negara penandatangan lainnya menyampaikan kelengkapan ratifikasi mereka. Pada tanggal 31 Oktober 1947 ditetapkan bahwa tanggal 24 Oktober hari ulang tahun berlakunya piagam Langkah pertama kearah pembentukan PBB ialah ditandatanganinya deklarasi antara Negara-negara sekutu tertanggal 12 Juni 1941 di St. James’s Palace London oleh wakil-wakil Australia, Kanada, Selandia Baru, Uni Afrika Selatan, kerajaan Inggris serta pemerintah pelarian Belgia, Norwegia, Polandia dan Yugoslavia serta turut pula Jendral De Gaulle dari Prancis. Kemudian daftar panjang konfrensi-konfrensi dan deklarasi-deklarasi yang dilakukan oleh wakil-wakil Negara dari penjuru dunia dalam proses untuk membentuk PBB yang pada akhirnya melalui Konfrensi San Fransisco tanggal 25 April 1945 yang dikenal sebagai “The United Nations Confrence of Internasional Organization” dihadiri oleh 5 negara termasuk 5 pemerintah sponsor.
21
Drs. Teuku May Rudy, SH, MA, MIR, Administrasi dan Organisasi Internasional,
(30)
PBB, dinyatakan secara resmi sebagai “Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa” (United Nations Day).22
Sejak saat berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan organisasi Internasional yang paling lama dapat bertahan dibandingkan dengan organisasi Internasional lainnya seperti Liga Bangsa-Bangsa yang hanya dapat bertahan sampai 26 tahun. Sejak berdirinya PBB, organisasi Internasional ini telah berkembang dengan pesat baik lingkup kegiatan, jumlah badan-badan dibawah naungannya maupun anggotanya. Dalam sidangnya tahun 1992 misalnya, Majelis Umum PBB telah membahas lebih dari 160 mata acara yang meliputi berbagai aspek dalam kehidupan dan hubungan Internasional. Jumlah badan-badan PBB telah meningkat demikian besarnya yang pada awal berdirinya hanya mempunyai 51 negara anggota utama, dan pada tahun 1987 jumlah anggotanya telah meningkat menjadi lebih dari tiga kali lipat, yaitu 159 negara ditambah 9 negara lainnya yang mempunyai kedudukan sebagai pemantau seperti Korea Utara, Korea Selatan, Liechtenstein, Monaco, Swiss, Tonga, Vatikan, San Marino,
Nauru.23
Piagam PBB di atas disusun oleh wakil-wakil dari lima puluh Negara pada konfrensi mengenai organisasi internasional yang diadakan di San Fransisco tanggal 25 April sampai tanggal 26 Juni 1945. Wakil-wakil itu bekerja atas dasr usul-usul yang dirumuskan oleh wakil-wakil Tiongkok, Uni Soviet, Inggris, dan Amerika Serikat di Umberton Oaks pada bulan Agustus-Oktober 1944. Piagam ini ditandatangani pada tanggal 26 Juni 1945. PBB secara resmi berdiri pada tanggal
22
Ibid, hlm.41.
23 Sumaryo Suryokusumo, Organisasi Internasional, Jakarta: Universitas Indonesia, 1987, hal.125
(31)
24 Oktober 1945, setelah piagam diratifikasi oleh Tiongkok, Prancis, Uni Soviet, Inggris dan Amerika, dan oleh mayoritas penandatanganan lain. Dan kini 24
Oktober dirayakan oleh seluruh dunia sebagai Hari Perserikatan Bangsa-Bangsa.24
- Menyelamatkan angkatan-angkatan yang akan datang dari cemeti perang,
yang dua kali dalam hidup kita telah membawa kesedihan yang tak terhingga kepada umat manusia.
Adapun isi dari piagam PBB adalah:
Kami rakyat Perserikatan Bangsa-Bangsa bertekad,
- Memperkuat kepercayaan pada hak-hak manusia, pada kesamaan hak-hak
manusia, laki-laki maupun wanita dan bangsa-bangsayang besar maupun yang kecil.
- Menetapkan syarat-syarat di bawah mana keadilan dan kehormatan untuk
kewajiban-kewajiban yang timbul akibat perjanjian-perjjanjian dan sumber-sumber hukum internasional yang lain dapat dipelihara.
- Memajukan perkembangan nasional dan tingkat hidup yang lebih baik
dalam kebebasan yang lebih besar.
Dengan maksud untuk mencapai tujuan berikut:
- Berusaha untuk bersikap sabar dan hidup bersama secara damai sebagai
tetangga yang baik.
- Mempersatukan kekuatan anggota untuk memelihara perdamaian dan
keamanan internasional.
24
Prof. Drs. C. S. T. Kansil, SH. Christine S.T Kansil, SH., MH., Modul Hukum Internasional, Jakarta: Djambatan, 2002, hal.196-197.
(32)
- Memastikan dengan menerima asas-asas serta penetapan cara-cara, bahwa kekuatan bersenjata tidak akan dipergunakan, kecuali untuk kepentingan bersama.
- Memakai cara-cara Internasional untuk mengembangkan kemajuan
ekonomi dan sosial semua rakyat.25
Disamping itu Piagam PBB tersebut juga meletakkan tujuan pokok dan prinsip-prinsip mulia dalam usaha memelihara perdamaian dan keamanan internasional serta meningkatkan hubungan persahabatan dan kerjasama internasional bagi semua Negara untuk:
1. Menghormati persamaan hak dan kedaulatan bagi semua Negara
anggota,
2. Berusaha menyelesaikan perselisihan internasional secara damai,
3. Tidak menggunakan ancaman ataupun kekerasan terhadap keutuhan
wilayah atau kemerdekaan politik Negara manapun,
4. Tidak mencampuri urusan dalam negeri suatu Negara.26
Adapun dididrikannya PBB dengan tujuan sebagai berikut;
1. Memelihara Perdamaian dan Keamanan.
2. Mengembangkan hubungan persahabatan antara bangsa-bangsa
berdasarkan penghargaan atas asas persamaan hak hak dan penentuan nasib sendiri dari bangsa-bangsa, dan mengambil tindakan-tindakan lain yang tepat guna memperkokoh Perdamaian Dunia.
25
Ibid, hal.195
26
Sumaryo suryokusumo, Organisasi Internasional, Jakarta: Universitas Indonesia, 1987, hlm.123.
(33)
3. Mewujudkan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah-masalah internasional yang bercocok ekonomi, sosial, kebudayaan atau kemanusiaan, dan dalam memajukan dan mendorong penghargaan terhadap hak-hak manusia dan kebebasan-kebebasan dari dan bagi semua orang tanpa membedakan bangsa, kelamin, bahasa atau agama.
4. Menjadi pusat untuk menyerasikan tindakan-tindakan bangsa-bangsa
dalam mencapai tujuan bersama.27
PBB tidak hanya memiliki internasional legal Personality dan municipal
legal personality, akan tetapi PBB memiliki kepribadian yang disebut kepribadian subyektif dan obyektif, yang berarti PBB diterima dan diakui keberadaannya oleh semua Negara yang berdasarkan perjanjian telah mendirikan organisasi tersebut atau menjadi anggota organisasi internasional itu, sehingga secara subyektif terikat kepadanya. Sedangkan pihak ketiga yang tidak mempunyai ikatan dengan PBB tidak terkena akibat dari adanya perjanjian itu. PBB juga telah diterima dan diakui secara obyektif oleh semua pihak, anggota maupun bukan anggota, karena sudah tidak dapat dibantah dan dipungkiri lagi karena memang sudah sedemikian harusnya. Karena keistimewaannya inilah PBB dikatakan sebagai suatu organisasi
internasional sui generis dari jenis istimewa atau jenis tersendiri.
B. Pengakuan atas berdirinya Negara oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa menurut Hukum Internasional secara Umum.
Masyarakat internasional merupakan masyarakat yang dinamis, berubah sewaktu-waktu. Ada negara yang takluk dan dikuasai oleh Negara lain, ada pula
27
Drs. Teuku May Rudy ,SH, MA, MIR, Administasi dan Organisasi Internasional,
(34)
Negara yang baru lahir. Pemerintahan lama terguling, pemerintahan baru lahir. Dalam proses lahirnya Negara tersebut dilalui dengan cara yang berbeda-beda, ada yang melalui cara damai ada pula yang yang melalui jalur kekerasan.
Perubahan-perubahan inilah yang membuat anggota masyarakat internasional lainnya dihadapkan kepada dua pilihan dalam menanggapinya, yaknit menyetujuinya atau menolaknya. Dalam mengahadapi pilihan-pilihan inilah lembaga pengakuan memainkan perannya.
Peranan pengakuan sangat penting bagi lahirnya suatu anggota baru masyarakat internasional, tanpa mendapatkan pengakuan ini Negara tersebut akan mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan Negara lainnya. Negara yang belum “diakui” dapat memberi kesan kepada Negara lain bahwa Negara tersebut “tidak mampu” menjalankan kewajiban-kewajiban internasional. Oleh karena itu pengakuan ini perlu dan penting bagi suatu Negara baru.
Oppenheim berpendapat bahwa pengakuan merupakan suatu pernyataan
kemampuan suatu Negara baru.28
Pada dasarnya pemberian pengakuan terhadap Negara baru oleh Negara-negara di dunia semata-mata hanya didasarkan pada alasan-alasan politis, bukan
Bagi Negara yang pemerintahannya baru lahir melalui jalur kekerasan seperti perang karena penjajahan, pengakuan dari Negara yang dulu mendudukinya malah lebih penting lagi peranan dan pengaruhnya bagi Negara tersebut. Tetapi bagi Negara yang baru lahir melalui jalur Konstitusional, maka seharusnya ia tidak begitu sulit untuk mendapatkan pengakuan dari negara-negara di dunia.
28
Oppenheim-Lauterpacht, International Law, Vol. I: Peace, Longmans Edisi ke-8, 1967, hlm. 148.
(35)
alasan hukum. Sebagaimana dinyatakan oleh wakil Amerika Serikat di Dewan Keamanan PBB selama perdebatan tentang masalah Timur Tengah bulan Mei 1948, di mana dinyatakan bahwa:
“Highly improper for one to admit that any country on earth can question the sovereignity of the limited states of America in the exercise of the political act of recognition of the de facto status of a state.”29
“The recognition of new state, or a government of an existing State, is a unilateral act which the recognizing govermment can grant or withhold … the practice of States shows that the act of recognition is still regarded as a political decision, which each state decides in accordance with its own free appreciation of the situation.”
Pada 1950, disuarakan pula oleh sekretariat PBB ketika membahas masalah keanggotaan perwakilan Negara-negara anggota di PBB badan ini mengatakan sebagai berikut:
30
Brierly menyatakan bahwa pemberian pengakuan ini merupakan tindakan
politik daripada tindakan hukum.31 Lauterpacht menegaskan bahwa pengakuan
bukanlah masalah hukum. Ia menyatakan bahwa praktek Negara-negara tidak beragam dan tidak menunjukkan adanya aturan-aturan hukum dalam masalah
pengakuan ini.32
Dengan diakuinya suatu Negara/pemerintah baru, konsekuensi yang timbul bisa merupakan konsekuensi politis tertentu dan konsekuensi yuridis antara
29
Malcolm N. Shaw, International Law, London: Butterworths, 1986, hlm.209.
30
UN Doc, 5/1466;S.C.O.R., 5th., year, Supp, for January/May, 1950, hlm.19.
31
Oscar Svarlien, An Introduction to the Law of Nations. McGraw-Hill,1955,hlm. 98-99
32
Lauterpacht, Recognition in International Law (1947) hlm.78 sebagaimana dikutip oleh Oscar Svalien, Loc.cit.
(36)
Negara yang diakui dengan Negara yang mengakui. Konsekuensi politis yang dimaksud misalnya saja, kedua Negara kemudian dapat dengan leluasa mengadakan hubungan diplomatik sedangkan konsekuensi yuridisnya dapat
berupa: Pertama, pengakuan tersebut merupakan pembuktian atas keadaan yang
sebenarnya (evidence of the factual situation). Kedua, pengakuan mengakibatkan
akibat-akibat hukum tententu dalam mengembalikan tingkat hubungan diplomatik
antara Negara yang mengakui dan yang diakui. Ketiga, pengakuan memperkukuh
status hukum (judicial standing) Negara yang diakui dihadapan pengadilan
Negara yang mengakui.33
Menurut J.B Moore makna pengakuan adalah sebagai suatu jaminan yang diberikan kepada suatu Negara baru bahwa Negara tersebut diterima sebagai anggota masyarakat internasional.
Maka dalam pembahasan tentang pengakuan dalam hukum internasional dapat dikemukakan di sini definisi pengakuan, yaitu tindakan politis suatu Negara untuk mengakui Negara baru sebagai subyek hukum internasional yang mengakibatkan hukum tertentu.
34
33
D.W. Greig, International Law, London: Butterworths, edisi ke-2, 1967, hlm.120.
34
J.B Moore, Digest of international Law, vol. 1, hlm. 72. Sebagaimana dikutip oleh S. Tasrif, Hukum International tentang Pengaturan dalam Teori dan Praktek, Bdg: Abardin, edisi ke-2, 1987, hlm.3.
Dengan pengakuan ini memungkinkan Negara baru mengadakan hubungan-hubungan resmi dengan Negara-negara lain. Dari fakta dan definisi tersebut pula, maka dapatlah ditarik fungsi pengakuan ini yaitu untuk memberikan tempat yang sepantasnya kepada suatu Negara atau pemerintahan baru sebagai anggota masyarakat internasional. Maka berkenaan
(37)
dengan masalah pengakuan ini, pengakuan adalah sebagai suatu keharusan atau sebagai suatu kewajiban hukum.
I. Bentuk-Bentuk Pengakuan
a. Pengakuan Negara Baru
Institut Hukum Internasional (The Institute of International Law)
mendefinisikan pengakuan Negara baru ini sebagai tindakan satu atau lebih Negara untuk mengakui suatu kesatuan mesyarakat yang terorganisir yang mendiami wilayah tertentu, bebas dari Negara lain serta mampu menaati kewajiban-kewajiban hukum internasional dan menganggapnya sebagai anggota
masyarakat internasional.35
Suatu pengakuan Negara baru akan menimbulkan masalah dan bahkan peranan pengakuan menjadi sangat penting bagi suatu Negara apabila lahirnya Negara tersebut diperoleh bukan melalui cara-cara damai seperti tersebut di atas.
Pada dasarnya pengakuan terhadap Negara baru tidaklah sulit. Kebanyakan Negara baru diakui segera setelah Negara tersebut merdeka. Negara-negara ini memenuhi empat unsur Negara menurut hukum internasional, yaitu wilayah, penduduk, pemerintah, serta kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan pihak asing. Negara tersebut tidak banyak menemui masalah dalam mendapatkan pengakuan karena kemerdekaan mereka diperoleh melalui cara-cara yang damai, konstitusional, atau melalui perjanjian antara Negara yang menduduki dengan perwakilan Negara yang diduduki.
35
Huala Adolf, SH, Aspek-aspek Negara dalam hukum internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1996, hlm.65.
(38)
Misalnya Negara tersebut mendapatkan kemerdekaannya dengan memisahkan diri dari Negaranya dan memproklamasikan Negara sebagai Negara baru, berdaulat dan merdeka. Ataupun Negara baru tersebut mendapatkan kemerdekaannya dengan jalan kekerasan (revolusi) oleh Negara baru tersebut terhadap Negara yang mendudukinya.
Dalam masalah pengakuan ini terdapat dua teori yaitu, teori konstitutif dan
teori deklaratoir. Teori konstitutif berpendapat bahwa suatu Negara menjadi
subyek hukum internasional hanya melalui pengakuan, jadi hanya dengan pengakuanlah suatu negara baru itu dapat diterima sebagai anggota masyarakat internasional dan karenanya memperoleh statusnya sebagai subyek hukum
internasional. Teori deklaratoir lahir sebagai reaksi dari teori konstitutif. Menurut
teori ini pengakuan hanyalah merupakan penerimaan suatu Negara baru oleh Negara-negara lainnya. Suatu Negara mendapatkan kemampuannya dalam hukum internasional bukan berdasarkan kesepakatan dari Negara-negara yang telah ada terlebih dahulu, namun berdasarkan suatu situasi nyata tertentu. Kemampuan tersebut secara hukum ditentukan oleh usaha-usahanya serta keadaan-keadaan
yang nyata dan tidak perlu menunggu diakui oleh Negara lain.36
a. Macam-macam Pengakuan Negara
1) Pengakuan Kolektif
Pengakuan suatu Negara dalam kategori ini dalam kategori ini dapat berupa dua bentuk. Pertama, dalam bentuk deklarasi bersama oleh kelompok Negara. Bentuk kedua, yaitu pengakuan yang diberikan melalui penerimaan suatu
36
(39)
Negara baru untuk menjadi pihak/peserta ke dalam suatu perjanjian multilateral,
misalnya saja perjanjian perdamaian.37
a) Pengakuan Terpisah
Pengakuan kolektif ini dalam hubungannya dengan pengakuan Negara baru mempunyai peranan sebagai bukti pengakuan terhadap adanya suatu Negara baru. Pengakuan kolektif sehubungan dengan masuknya suatu Negara ke dalam suatu organisasi internasional kerapkali menimbulkan masalah yang cukup penting bagi Negara yang bersangkutan. Ini desebabkan karena masuknya Negara tersebut pengakuan terhadapnya bukan diberikan oleh organisasi internasional tetapi oleh para anggotanya. Dengan kata lain pengakuan kepada Negara baru diberikan oleh sekelompok Negara yang bergabung dalam organisasi tersebut. tentunya dengan diberikannya pengakuan kolektif ini, akan mempunyai dampak yang cukup berpengaruh terhadap hubungan Negara baru tersebut dengan Negara-negara anggota organisasi internasional tersebut.
Pengakuan terpisah juga dapat diberikan kepada suatu Negara baru apabila pengakuan itu diberikan kepada suatu Negara baru, namun tidak kepada pemerintahannya. Atau sebaliknya, pengakuan diberikan kepada suatu pemerintahan yang baru berkuasa, namun pengakuan tidak diberikan kepada
negaranya.38
b) Pengakuan Mutlak
Yang dimaksud dengan pengakuan mutlak adalah bahwa suatu pengakuan yang telah diberikan kepada suatu Negara baru tidak dapat ditarik kembali.
37
Ian Brownlie, Principles Of Public International Law, Oxford University Press, 1979, hlm. 99.
(40)
Moore menyatakan bahwa pengakuan sebagai suatu asas umum bersifat mutlak
dan tidak dapat ditarik kembali (absolute and irrevocable).39
Pemikiran seperti ini dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari pemikiran pengakuan de jure. Namun pengakuan de facto yang telah diberikan dalam keadaan tertentu dapat ditarik kembali. Ini disebabkan karena pengakuan de facto biasanya diberikan kepada suatu Negara, sebagai hasil dari penilaiannya yang bersifat sementara dan hati-hati terhadap lahirnya suatu Negara baru. Hal ini dilakukan untuk menghadapi suatu situasi di mana pemerintahan yang diakui secara de facto tersebut kehilangan kekuasaan. Oleh karena itu, pengakuan yang telah diberikannya dapat ditarik kembali. Pengakuan terhadap pihak-pihak pemberontak dapat juga ditarik manakala salah satu pihaknya kalah oleh pihak lainnya. Penarikan pengakuan dapat juga dilakukan apabila kriteria-kriteria
Negara menurut hukum internasional ternyata tidak terpenuhi.40
c) Pengakuan Bersyarat
Yang dimaksud dengan pengakuan bersyarat yaitu suatu pengakuan yang diberikan kepada suatu Negara baru yang disertai dengan syarat-syarat tertentu
untuk dilaksanakan oleh Negara baru tersebut sebagai imbangjan pengakuan.41
Menurut Hall, pengakuan seperti ini ada dua macam. Pertama, pengakuan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum pengakuan diberikan. Kedua, pengakuan dengan syarat-syarat yang harus dilaksanakan kemudian sesudah pengakuan diberikan. Dalam hal yang pertama, pengakuan tidak perlu diberikan
39
S. Tasrif, Op.cit, hlm. 48.
40
Malcolm N. Shaw, International Law, London: Butterworths, 1986, hlm. 223
41
S. Tasrif, Hukum Internasional Tentang Pengakuan dalam Teori dan Praktek,
(41)
apabila syarat-syarat yang telah disetujui tidak dilaksanakan. Dalam hal yang kedua, tidak dipenuhinya syarat-syarat pengakuan yang telah disetujui untuk dilaksanakan memberi alasan kepada Negara yang memberikan pengakuan untuk melaksanakan penataan syarat-syarat tersebut melalui pemutusan hubungan
diplomatik atau bahkan dengan mengadakan intervensi.42
Pengakuan bersyarat ini diberikan sebagai pengikat dan sebagai suatu cara tekanan politik kepada suatu Negara baru. Contoh pengakuan seperti ini adalah
ditandatanganinya perjanjian Litvinov tahun 1933. Perjanjian ini berisi pengakuan
Amerika Serikat terhadap pemerintah Soviet. Dalam perjanjian tersebut diisyaratkan agar Uni Soviet membayar tuntutan keuangan Amerika Serikat dan bahwa Uni Soviet tidak akan melakukan tindakan-tindakan yang dapat mengganggu kemanan dalam negeri Amerika Serikat. Pada Kongres Berlin di tahun 1878, Bulgaria, Montenegro, Serbia, dan Rumania diakui oleh sekelompok Negara Eropa dengan syarat bahwa Negara-negara ini tidak akan melarang warganegaranya menganut agamanya. Contoh lainnya adalah pengakuan Amerika Serikat dan Inggris terhadap pemerintahan sementara Cekoslavia dan Polandia. Dalam pengakuan tersebut tercantum di dalamnya persyaratan agar kedua Negara ini akan mengadakan pemilihan umum yang bebas sesudah pendudukan Jerman atas kedua negeri ini berakhir. Sehubungan dengan persyaratan-persyaratan ini
pula, Mahkamah Agung Amerika Serikat, dalam kasus U.S v. Pink mengatakan
bahwa … recognition is not always absolute; it is sometimes conditional.43
42
S. Tasrif, Op.cit., hlm. 136
43 D.P. O’Connell,
(42)
Pengakuan bersyarat ini tidak berakibat hukum apapun juga. Ini disebabkan karena pengakuan demikian merupakan tindakan sepihak saja yang biasanya, seperti telah disebut di muka, dilatarbelakangi oleh maksud-maksud politik.
b. Pengakuan Pemerintah Baru
Pengakuan pemerintahan baru ini merupakan masalah aktual yang kerapkali muncul. Pemerintah dalam suatu Negara akan dan pasti akan berganti-ganti. Semua perubahan ini sebetulnya tidak memerlukan pengakuan dari Negara-negara lain. Kalaupun pengakuan dibutuhkan, diberikan hanya formalitas saja dan
dilakukannya secara diam-diam (implied). Keadaan seperti ini terjadi khususnya
manakala penggantian pemerintah tersebut dilakukan menurut cara-cara konstitusional, yaitu cara- cara yang sah, cara-cara yang terjadi secara normal sesuai dengan kehidupan politik Negara yang bersangkutan. Baik ini dilakukan menurut pemilihan umum, penggantian sementara kepala pemerintahan karena yang bersangkutan meninggal dunia. Ketika George Bush mengganti Ronald Reagen yang terjadi karena pemilihan umum di sini tidak ada masalah pengakuan. Begitu pula ketika Soekarno diganti kedudukannya oleh Soeharto, masalah
pengakuan tidak lahir karenanya.44
Yang menjadi masalah dalam penggantian pemerintahan yang terkait di dalamnya soal pengakuan adalah jika penggantian pemerintahan tersebut terjadi karena cara-cara yang tidak konstitusional. Misalnya pemerintah yang berkuasa
mendapatkan kekuasaannya tersebut melalui coup d’etat, pemberontakan atau
44
Huala Adolf, SH, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996, hlm. 74.
(43)
penggulingan pemerintah yang sah melalui cara-cara yang tidak sah. Masalah pengakuan terhadap pemerintah baru ini karenanya sangat penting.
Dalam memberikan pengakuan pemerintah tidak terlepas di dalamnya kepentingan atau perlindungan politik semata-mata. Dalam memberikan pengakuan biasanya ada beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan Negara untuk memutuskan mengakui atau tidak mengakui pemerintah baru tersebut. kriteria yang dimaksud adalah:
1) Pemerintah yang permanen. Artinya, apakah pemerintah yang baru
tersebut dapat mempertahankan kekuasaan dalam jangka waktu yang lama (reasonable prospect of permanence)
2) Pemerintah yang ditaati oleh rakyat. Artinya, apakah dengan adanya
pemerintah yang berkuasa tersebut, rakyat Negara tersebut
mematuhi/mentaati. (obedienceof the people).
3) Penguasaan wilayah secara efektif. Artinya, apakah pemerintah baru
tersebut menguasai secara efektif sebagian besar wilayah Negara.
Kriteria di atas merupakan kriteria yang ditarik dari praktek Inggris dalam memberikan pengakuannya kepada suatu pemerintah baru. Kriteria ini dinyatakan
oleh Kementrian Luar Negri Inggris (Under-Secretary of State for Foreign
Affairs) tahun 1970.45
Kriteria lainnya dikemukakan pula oleh Oscar Svarlien. Menurut beliau ada dua kriteria penting yang harus dimiliki suatu pemerintah agar dapat diakui: pertama, pemerintah tersebut harus stabil; kedua, pemerintah tersebut harus
45
(44)
mampu dan bersedia memenuhi kewajiban-kewajiban internasionalnya. Kriteria kedua ini, misalnya adalah kesediaan untuk menaati hukum internasional
berkaitan dengan perlindungan warga Negara asing dan harta bendanya.46
1. Doktrin Pengakuan Pemerintahan Baru
Dalam huku m internasional terdapat dua doktrin pengakuan, yaitu:
(a) Doktin legitimasi; dan
(b) Doktrin de facto-ism.
Doktrin legitimasi mula-mula diangkat oleh Thomas Jefferson pada 1792. Pada waktu itu beliau mengirim surat kepada Gouverneur Morris yang berisi tentang sikap Amerika Serikat terhadap pemerintah revolusioner Perancis. Dalam suratnya itu Jefferson antara lain menyatakan bahwa Amerika Serikat mengakui keabsahan setiap pemerintah yang dibentuk berdasarkan keinginan rakyat atau
yang dibentuk secara konstitusional47
Doktrin de ism berbeda dengan doktrin legitimasi, doktrin de facto-ism tidak melihat bagaimana suatu regim yang berkuasa mendapatkan kekuasaannya, melalui cara konstitusional atau tidak. Doktrin ini hanya melihat fakta pemerintahan baru dalam suatu Negara. Doktrin ini lahir ketika Revolusi Perancis pecah dan sebagai hasil dari revolusi itu mencul sebuah pemerintah , yakni menurut cara-cara yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan yang berlaku (sesuai dengan konstitusi Negara yang bersangkutan). Dinyatakan pula bahwa adalah hak setiap bangsa untuk membentuk dan mengubah lembaga-lembaga politik mereka sesuai dengan keinginan dan kehendak rakyatnya.
46
Oscar Svarlien, Op.cit., hlm. 103
47 J.E.S Fawcett,
(45)
revolusioner Mentri Luar Negri Amerika Serikat Thomas Jefferson memberikan instruksi kepada duta Amerika Serikat di Perancis Gouverneun Morris, untuk member pengakuan kepada pemerintah revolusioner itu. Pengakuan ini tidak didasarkan kepada doktrin legitimasi, tetapi atas dasar kekuasaan de facto dari pemerintah revolusioner itu. Sehingga doktrin pengakuan Jefferson ini kemudian
terkenal sebagai doktrin de facto-ism.48
2. Macam-macam Pengakuan Pemerintah Baru
(a) Pengakuan “de facto”
Pengakuan de facto biasanya diberikan oleh suatu Negara kepada suatu
pemerintah baru manakala masih timbul keragu-raguan terhadap stabilitas dan kelangsungan hidup suatu Negara atau terhadap kemampuannya dalam memenuhi kewajiban-kewajiban internasional. Negara yang memberi pengakuan seperti ini masih melihat dan menunggu kelangsungan pemerintah baru tersebut, apakah ia permanen, apakah ia dihormati dan ditaati oleh rakyatnya, apakah ia berhasil menguasai atau mengontrol dengan efektif wilayahnya; atau, apakah ia mampu memenuhi kewajiban-kewajiban internasional. Pengakuan de facto diberikan oleh suatu Negara semata-mata didasarkan bahwa pemerintah tersebut secara nyata berkuasa di dalam wilayahnya.
(b) Pengakuan “ de jure”
Pengakuan de facto dapat dianggap sebagai langkah awal untuk kemudian
diberikan pengakuan de jure. Pengakuan de jure diberikan kepada suatu
pemerintah baru apabila Negara tersebut sudah tidak ragu-ragu lagi terhadapnya.
48 S. Tarif,
(46)
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang prinsipil antara pengakuan de jure dan de facto. Suatu Negara tanpa mendapat pengakuan, tetap merupakan Negara, yaitu subyek hukum internasional. Suatu pemerintah atau Negara yang mendapat
pengakuan, apapun macam dan bentuknya: de jure atau de facto tetap memiliki
hak-hak istimewa dan kekebalan di Negara yang mengakuinya.49
3. Penyalahgunaan Pengakuan Pemerintah Baru.
Apabila ada dua Negara mengakui suatu pemerintah baru yang masing-masing memberikan pengakuan yang berbeda. Yang satu memberikan pengakuan de facto dan yang satu lagi memberikan pengakuan de jure. Masalahnya adalah pengakuan mana yang lebih kuat. Berdasarkan pengertian dari de jure dan de facto tersebut, pengakuat secara de jure-lah yang lebih kuat daripada pengakuan de facto apabila timbul perselisihan hukum, dikarenakan pengakuan pemerintah secara de jure menandakan bahwa pemerintah tersebut permanen, sedangkan pemerintah yang diakui secara de facto pemerintah tersebut dapat berubah kembali pada suatu saat.
Penyalahgunaan pengakuan pemerintah baru adalah pengakuan yang diberikan kepada suatu pemerintah baru yang bersifat sebagai alat politik nasional guna menekannya supaya memberikan konsesi-konsesi politik dan lain-lain kepada Negara yang hendak member pengakuan. Brierly menyatakan bahwa states have discovered that he granting or withholding of recognition can be used to further a national policy.50
49
R.C. Hingonari, Modern International Law, India: Oceana Publications, Inc., 1984, edisi ke-2, hlm. 35.
50 S. Tasrif,
Op.cit., hlm 62
Contoh penyalahgunaan pengakuan pemerintah seperti ini adalah pemberian pengakuan premature, atau pengakuan buru-buru.
(47)
Pengakuan seperti ini merupakan intervensi terhadap urusan dalam negeri Negara lain. Karenanya pula, pemberian pengakuan seperti ini merupakan pelanggaran kedaulatan Negara lain yang berarti jugta merupakan pelanggaran hukum internasional.
4. Doktrin Tobar
Doktrin Tobar ini berkenaan pula dengan perlu tidaknya pemberian pengakuan kepada suatu pemerintah baru. Doktrin ini lahir pada 1907, tertuang dalam suatu perjanjian internasional yang terdiri dari 5 negara-negara Amerika Tengah (termasuk Amerika Serikat). Kelima Negara ini sepakat bahwa untuk pemerintah yang telah menggulingkan pemerintah yang sah dengan cara-cara
yang tidak konstitusional atau cara-cara yang abnormal tidak akan diakui.51
5. Doktrin Estrada
Doktrin ini ditentang oleh Costa Rica di tahun 1932 dan Salvador tahun 1933. Disamping itu pula, doktrin ini tidak diterima sebagai ketentuan umum hukum internasional. Beberapa ahli hukum pun tidak setuju dengan doktin ini, karena dengan doktrin ini suatu Negara berarti telah menilai untuk membuat keputusan sepihak tentang keabsahan suatu pemerintah atau rezim revolusioner di suatu Negara. Ini berarti bahwa tindakan Negara tersebut secara tidak langsung telah melakukan intervensi terhadap urusan-urusan dalam negeri suatu Negara baru.
Doktrin Estrada berasal dari nama Mentri Luar Negeri Mexico, Senor Genaro Estrada pada 1930. Doktrin ini menyatakan bahwa Negara-negara harus
51 R.C. Hingorani,
(48)
terus melanjutkan hubungan diplomatiknya dengan suatu Negara, meskipun di Negara tersebut telah berlangsung perebutan kekuasaan. Latar belakang doktrin ini yaitu bahwa Negara harus terus melanjutkan hubungannya dengan penguasa manapun juga dan setiap penolakan atau pemberian pengakuan kepada suatu penguasa yang baru sama saja dengan menilai sah/tidaknya pengusa tersebut. Estrada menginstruksikan diplomat-diplomatnya melarang untuk memberikan pendapat atau pernyataan tentang status pemerintah yang baru di suatu Negara. Kalau tidak, itu sama saja dengan ikut campur urusan dalam negeri suatu Negara, karena hal ini pula senor Estrada mengusulkan penghapusan lembaga pengakuan ini.52
c. Pengakuan sebagai Pemberontak (Insurgensi)
Hukum internasional tidak menganggap pemberontak dalam suatu Negara tersebut adalah penjahat-penjahat criminal biasa apabila dilihat dari kedudukan hukumnya. Hukum internasional memberikan kedudukan hukum tertentu kepada
kaum pemberontak ini di bawah konsep recognition of insurgency.53
d. Pengakuan Berligensi
Pemberian pengakuan pemberontakan sebagai pernyataan keyakinan bahwa kaum pemberontak janganlah diperlakukan sebagai kaaum pengacau jika mereka tertangkap dan bahwa kau pemberontak berhak untuk menerima perbekalan dari Negara-negara netral.
Apabila suatu kelompok pemberontak dalam suatu Negara telah berkembang menjadi cukup kuat dan besar serta menentang pemerintah yang
52
Oscar Svarlien, Op.cit., hlm 68 53 S. Tasrif,
(49)
berkuasa maka kelompok tersebut dapat digolongkan sebagai beligerensi. Alasan menjadi cukup kuat dan besar belumlah cukup. Kelompok tersebut diisyaratkan harus menguasai beberapa wilayah dalam suatu Negara, menjalankan pemerintahan yang terartur sebagai tandingan terhadap pemerintah yang berkuasa, menaati peraturan hukum perang dan mampu serta bersedia melindungi warga Negara asing dan harta bendanya. Kaum berligensi ini diakui oleh Negara-negara lain antara lain disebabkan untuk mengakui keberadaan mereka dan untuk melindungi kepentingannya di wilayah yang diduduki kaum berligensi yang mungkin saja kepentingannya tersebut tidak akan dilindungi kecuali pengakuan terhadapnya diberikan sebagai beligerensi, yaitu pemerintah tandingan di suatu wilayah tertentu. Dalam pemberian pengakuan beligerensi ini, Negara yang hendak memberikan pengakuannya harus menyatakan sikap netralnya. Jika tidak, Negara tersebut dapat dianggap telah campur tangan di dalam urusan dalam negeri suatu Negara.
e. Pengakuan/Perolehan Wilayah Baru Secara Tidak Sah.
Jika suatu pemerintah yang berkuasa dalam suatu Negara digulingkan dengan cara kekerasan melalui intervensi senjata atau cara-cara tidak sah lainnya, maka tidak diberikannya pengakuan kepada pemerintah atau Negara baru tersebut layak dilakukan untuk mencegah pemerintah/Negara tersebut memperoleh keuntungan dari pengakuan atas tindakannya yang melawan hukum tersebut.
(50)
II. Cara-cara Pemberian Pengakuan
Dalam praktek, Negara-negara yang hendak memberikan pengakuan kepada pemerintah/Negara baru, dapat ditempuh dua macam cara, yaitu pengakuan yang tegas dan pengakuan yang diam-diam.
a. Pengakuan yang Tegas (express recognition)
Suatu pengakuan disebut pengakuan yang tegas apabila suatu Negara mengakui suatu pemerintah atau Negara melalui pernyataan yang tegas. Penyataan ini dapat dilakukan melalui:
(i) Deklarasi atau pernyataan umum (public statement or declaration). Hal ini
dapat dilakukan dengan mengirim pernyataan pengakuan terhadap pemerintah atau Negara baru. atau, pernyataan tersebut dilakukan dengan hanya mengirim nota diplomatik.
(ii) Pengakuan melalui perjanjian. Pemberian pengakuan yang tegas melalui
perjanjian biasanya dipraktekan oleh inggris di dalam memberikan kemerdekaan dipraktekkan oleh Inggris di dalam memeberikan
kemerdekaan kepada Negara-negara koloninya.54
b. Pengakuan Diam-Diam
Suatu pengakuan dikatakan diam-diam apabila tidak ada pernyataan formal oleh suatu Negara , namun dilakukan secara diam-diam melalui beberapa cara tertentu.
Tindakan-tindakan yang dapat menjadi indikasi bahwa suatu Negara telah memberikan pengakuan diam-diam, yakni:
54 Huala Adolf,
(51)
(i) Pengiriman ucapan selamat kepada Negara yang baru;
(ii) Pengiriman perwakilan suatu Negara untuk menghadiri pengangkatan
atau pengambilan sumpah suatu pemerintah yang baru;
(iii) Surat-menyurat untuk pembukaan tukar-menukar perwakilan
diplomatik atau konsuler;
(iv) Perpanjangan hubungan diplomatik;
(v) Memberikan suara (voting) kepada hnegara baru agar ia dapat
diterima sebagai anggota PBB atau anggota organisasi internasional lainnya;
(vi) Membuat perjanjian dengan Negara tersebut;55
III. Akibat Perjanjian
Efek pengakuan dan non-recognition terhadap pemerintah Negara baru adalah hal yang cukup penting karena walaupun suatu pemberian pengakuan didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan politik namun dengan pemberian tersebut dapat berakibat hukum tertentu kepada Negara yang diakui. Hak-hak tersebut yaitu:
(i) Negara yang diakui dapat mengadakan hubungan-hubungan diplomatik
dengan njegara yanmg mengakui. Dikatan dapat sebab antara Negara yang mengakui dan yang diakui tidak mesti hubungan diplomatik tersebut diadakan.
(ii) Negara tersebut menikmati kekebalan diplomatik di Negara yang mengakui;
55 Hingorani, Op.Cit., hlm 91
(52)
(iii)Negara yang diakui dapat menuntut di wilayah Negara yang diakui;
(iv) Negara yang diakui dapat mendapatkan harta benda yang berasal dari
penguasa terdahulu yang berada di wilayah Negara yang mengakui;
(v) Tindakan-tindakan Negara yang diakui diberlakukan sah dan keabsahannya
itu tidak dapat diuji;
(vi) Perjanjian-perjanjian yang telah diadakan oleh pemerintah terdahulu dapat
berlaku kembali.
Adapun akibat atau pengaruh dari non-recognition (tidak diakui nya suatu
Negara) menyebabkan Negara tersebut mengalami beberapa ketidakmampuan dalam hal sebagai berikut:
(i) Negara tersebut tidak dapat menuntut di dalam wilayah Negara yang tidak
mengakui;
(ii) Negara tersebut tidak dapat mengadakan hubungan diplomatik yang tetap
dengan Negara yang tidak mengakui;
(iii)Warga negaranya tidak dapat memasuki wilayah Negara yang tidak mengakui
dengan menggunakan passport dari Negara yang tidak diakui;
(iv) Perjanjian yang diadakan oleh pemerintah terdahulu menjadi beku.
Meskipun Negara-negara yang tidak diakui mengalami “kekurangan-kekurangan” demikian, namun Negara-negara ini dapat juga menikmati beberapa status internasional tertentu, yaitu:
(i) Negara ini dapat mengadakan hubungan diplomatik ad hoc dengan Negara
(53)
(ii) Perundang-undangan pemerintah yang tidak diakui tidak selamanya dianggap tidak sah.
C. Dasar hukum atau syarat-syarat untuk pengakuan suatu Negara oleh PBB
Negara merupakan subyek hukum yang terpenting dibanding dengan subyek-subyek hukum internasional lainnya. Menurut Henry C. Black Negara sebagai sekumpulan orang yang secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum yang melalui pemerintahnya mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional dengan masyrakat internasional
lainnya.56
(a) A permanent population;
Berdasarkan isi pasal 1 Montevideo Convention on Rights and Duties of
States of 1933, pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
(b) A defined territory;
(c) A government; and
(d) A capacity to enter into relations with other States.
Berikut adalah uraian singkat tentang masing-masing unsur tersebut.
a. Harus ada rakyat. Yang dimaksud dengan rakyat yaitu sekumpulan manusia
dari kedua jenis kelamin yang hidup bersama sehingga merupakan suatu masyarakat, meskipun mereka ini mungkin berasal dari keturunan yang
56
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St. Paul Minn.: West Publishing Comp, edisi ke-5, 1979, hlm. 1262.
(54)
berlainan, menganut kepercayaan yang berlainan atau pun memiliki kulit yang berlainan. Syarat penting untuk unsur ini yaitu bahwa rakyat atau masyarakat ini harus terorganisasi dengan baik. Sebab sulit dibayangkan, suatu Negara dengan pemerintahan yang terorganisasi dengan baik “hidup”
berdampingan dengan masyarakat disorganized.
b. Harus ada daerah, di mana rakyat tersebut menetap. Rakyat yang hidup
berkeliaran dari suatu daerah ke daerah lain bukan termasuk Negara, tetapi tidak penting apakah daerah yang didiami secara tetap itu besar atau kecil, dapat juga hanya terdiri dari satu kota saja, sebagaimana halnya dengan Negara kota. Tidak dipersoalkan pula apakah seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak.
c. Harus ada pemerintah, yaitu seorang atau beberapa orang yang mewakili
rakyat, dan memerintah menurut hukum negerinya. Suatu masyarakat yang anarkis bukan termasuk Negara.
d. Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan Negara lain, yang sering
juga disebut dengan “pemerintah itu harus berdaulat”. Yang dimaksud dengan pemerintah yang berdaulat yaitu kekuasaan yang tertinggi yang merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi. Kedaulatan dalam arti sempit berarti kemerdekaan sepenuhnya, baik ke dalam maupun ke luar batas-batas negeri.
Menurut J.G. Starke, unsur atau persyaratan inilah yang paling penting dari segi hukum internasional. Cirri ini pulalah yang membedakan Negara dengan unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota federasi atau
(55)
proktektorat-protektorat yang tidak menangani sendiri urusan luar negerinya dan tidak diakui
oleh Negara-negara lain sebagai anggota masyarakat internasional yang mandiri.57
Suatu Negara dapat saja lahir dan hidup tetapi itu belum berarti bahwa Negara tersebut mempunyai kedaulatan. Kedaulatan ialah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu Negara untuk secara bebas melakukan berbagai kegiatan sesuai kepentingannya asal saja kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional. Sesuai dengan hukum internasional kedaulatan memiliki
tiga aspek utama58
(1) Aspek ekstern kedaulatan adalah hak bagi setiap Negara untuk secra bebas
menentukan hubungannya dengan berbagai Negara atau kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan atau pengawasan dari Negara lain.
yaitu: ekstern, intern dan territorial.
(2) Aspek intern kedaulatan ialah hak atau wewenang eksklusif suatu Negara
untuk menentukan bentuk lembaga-lembaga, cara kerja lembaga-lembaga tersebut dan hak untumk membuat undang-undang yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.
(3) Aspek territorial kedaulatan berarti kekuasaan penuh dan eksklusif yang
dimiliki oleh negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat
di wilayah tersebut.59
57
J.G. Starke, Op.cit., hlm. 92
5858
Nkambo mugerwa, Subjects of International Law, Edited by Max Sorensen, Mac Millan, New York, 1968. P.253.
59Dr. boer Mauna,
(56)
BAB III
PERUBAHAN ENTITAS PALESTINA DI PBB
A. Status Negara Palestina sebagai Entitas Pemantau
Berdasarkan sejarah, bangsa Yahudi memang sudah ada di Palestina namun dalam populasi yang sedikit. Sebelum PD I, Palestina dikuasai oleh Turki Ottoman selama lebih dari 400 tahun. Dibawah rezim ottoman, kondisi terbilang aman dan jauh dari kekerasan yang sangat berbeda ketika berada di bawah kolonialisasi Inggris. Pada waktu itu sekitar abad 19, orang yahudi masih banyak tersebar di Eropa, terutama di timur dan tengah. kehidupan mereka sangat menyedihkan, selalu mengalami penindasan, penyiksaan serta pembunuhan yang jumlahnya sangat banyak. Seperti di Ukraina yang menewaskan 10.000 bangsa
yahudi belum lagi di negara-negara eropa lainya.60
Ketika PD I (1914-1918) bergejolak di Eropa, negara yang dominan waktu itu adalah Jerman melawan Inggris dan Prancis, sedangkan Turki Ottoman yang juga ikut dalam konflik itu lebih memilih bersekutu dengan Jerman, sehingga menjadikan musuh alami Inggris dan Prancis. Selagi mereka berkonflik, dua bangsa besar arab dan yahudi selalu mengamati perkembangan yang terbaru mengenai konflik di Eropa sana. Bahkan kedua bangsa itu dengan membawa kepentingan masing-masing bekerja sama untuk mendepak Turki Ottoman dari Timur Tengah. Bangsa arab dibawah pemimpin Mekkah Hussain bin Ali memutuskan untuk bersekutu dengan Inggris dengan syarat jika perang berakhir,
60
“Awal Mula Konflik Palestina” sebagaimana dimuat dalam http://ihamsight.blogspot.com/2012/11 diakses pada tanggal 15 juli 2013
(1)
internasional tidak terlepas dari hubungan-hubungan yang dapat dilakukannya dengan negara lain, sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo mengenai karakteristik negara. Status Palestina sebagai entitas pemantau non-anggota membuatnya tidak memiliki status yuridis yang kuat di mata hukum internasional ketika diserang oleh negara-negara lain. Palestina tidak memiliki hak suara untuk mengajukan perlindungan kepada Dewan Keamanan PBB (selanjutnya disingkat DK PBB) ataupun melakukan penuntutan melalui Mahkamah Internasional, kecuali Palestina menyatakan bersedia untuk menerima kewajiban-kewajiban yang timbul sebagai akibat daripada penyelesaian secara damai sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 35 Piagam PBB. Negara pemantau non-anggota memiliki hak untuk berbicara di pertemuan Majelis Umum PBB, namun tidak bisa memberikan suara pada resolusi PBB.
3. Pengakuan Negara-negara terhadap Palestina, menjadikan Palestina dapat melakukan hubungan kerjasama dalam berbagai aspek kehidupan demi memenuhi kebutuhan kehidupan bernegara. Selain itu, palestina pun diterima di berbagai organisasi regional sebagai sebuah Negara peserta. Sebagai contoh, Palestina merupakan Negara anggota Organisasi Konfrensi Islam (OKI) yang telah bergabung sejak tahun 1969, dan juga mempunyai hubungan kerja sama dengan seluruh Negara anggota OKI yang mengakui kemerdekaan Palestina. diterima nya Palestina sebagai anggota UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization), juga
(2)
membuktikan bahwa Palestina mampu melakukan suatu hubungan dengan Negara bahkan suatu organisasi internasional sekalipun.
Resminya Palestina menjadi Negara peninjau sebagai hasil Resolusi Majelis Umum PBB , maka PBB dan tentunya masyarakat internasional telah mengakui Palestina sebagi Negara dan memiliki hak untuk berperan aktif dalam seluruh badan-badan PBB. Adapun hak-hak yang diterima Negara Palestina, yaitu;
(a) Palestina mempunyai akses ke organisasi internasional terutama Mahkamah Internasional di Den Haag.
(b) Hilangnya cap Palestina sebagai kelompok teroris militan.
(c) Memiliki hak untuk berperan aktif dalam seluruh organisasi PBB.
(d) Memiliki landasan hukum untuk melawan Israel menuju Negara berdaulat dan merdeka.
B. SARAN
Terdapat beberapa saran yang dapat diberikan dalam penulisan ini, yaitu:
1. Sebaiknya dalam mengakui suatu Negara, ada unsure-unsur dalam hukum internasional yang mempertimbangkan kemerdekaan suatu Negara yang dibawah penjajahan seperti dalam kasus Palestina ini. Lebih baik dalam mengakui suatu Negara tidak ada unsur kepentingan politik didalamnya dalam masalah ini seperti Amerika Serikat yang sepertinya menentang keras kemerdekaan Palestina dengan hak veto nya.
(3)
2. Peningkatan status Palestina ini seharusnya menjadi langkah awal bagi Negara tersebut untuk mendapatkan kedamaian dan kesejahteraan. Hendaknya PBB memberikan perlindungan hukum yang layak bagi Palestina. Sangat disayangkan apabila hasil dari Sidang Majelis Umum ini menjadi sisa-sia apabila Palestina tidak mendapatkan perlindungan hukum yang layak dan hak-hak sebagai Negara merdeka.
3. Sebaiknya Negara-negara di dunia membantu Palestina menjadikannya dapat melakukan hubungan kerjasama dalam berbagai aspek kehidupan demi memenuhi kebutuhan kehidupan bernegara dan agar permohonan perdamaian palestina atas Israel yang diajukan ke Mahkamah Internasional dapat berjalan dengan lancar.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
Bowett, D.W, Hukum Organisasi Internasional, Jakarta, Sinar Grafika, 1992. Buku :
Jessup, Philip C., A Modern Law of Nations; Bandung: Nuansa, 2012.
Adolf, Huala, Aspek-aspek Negara dalam hokum internasional, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Starke, J.G., Introducing to International Law, Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 2003.
Mauna, Dr. Boer, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung:, Alumni, 2001.
Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2005. Moleong, Lexy j., Metodologi Analisis Data, Jakarta: Rosda, 2005.
Sunggono, Bambang, Metodologi Penulisan Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Moloeng, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Karya, 1989. Rudy, May, Teuku, Administrasi dan Organisasi Internasional, Bandung: Refika
Aditama, 1998.
Suryokusumo, Sumaryo, Organisasi Internasional, Jakarta: Universitas Indonesia, 1987.
Kansil, C.S.T., & Tansil, Christine S.T., Modul Hukum Internasional, Jakarta: Djambatan, 2002.
Lauterpacht, Oppenheim, Internasional Law, Vol.I Peace, 1967 Shaw, Malcolm N., International Law), London: Butterworths, 1986
Tasrif, S., Hukum International tentang Pengaturan dalam Teori dan Praktek, Bandung: Abardin, 1987.
(5)
Hingonari, R.C., Modern International Law, India: Oceana Publications, 1984. Parthiana, I Wayan, Perjanjian Internasional Bag:I, Bandung: Madar Maju, 2002. Carter, Jimmy, Palestine Peace Not Apartheid (Palestina Perdamaian Bukan
Perpecahan), Jakarta: PT Dian Rakyat, 2010.
Bennett, A.Leroy, International Organizations Principle and Issues, New Jersey: Prentice-Hall, 1991.
Website:
“Sejarah Panjang Konflik Palestina dan Israel” diakses pada tanggal 16 Maret 2013 dari situs http://www.kumpulansejarah.com .
“arti penting di Balik Peningkatan Status Palestina” diakses tanggal 17 januari 2013 dari situs http://www.news.detik.com
“Awal Mula Konflik Palestina” diakses tanggal 15 juli 2013 dari situs http://www.ilhamsight.blogspot.com
“Keruntuhan Ottonoman dan Mandat Palestina” diakses tanggal 15 juli 2013 dari situs http://www.omdedecikijing.wordpress.com
“Deklarasi Balfour” diakses tanggal 15 juli 2013 dari situs http://www.4antum.wordpress.com
“Hari Ini di1948, Negara Israel Dideklarasikan” diakses tanggal 15 juli 2013 dari situs http://www.republika.co.id
“Penjajahan Israel terhadap Palestina” diakses tanggal 4 juli 2013 dari situs http://www.hariansumutpos.com
“Terrorism” diakses tanggal 16 juli 2013 dari situs http://www.us-israel.org “Hamas” diakses tanggal 16 juli 2013 dari situs http://www.palestine-info.com http://www.id.m.wikisource.org/wiki/Piagam_Perserikatan_bangsa-bangsa
“Status Palestina Pemantau Non Anggota” diakses tanggal 15 juli 2013 dari situs diakses tanggal 4 juli 2013
http://www.koran-jakarta.com
“Israel: Status Baru Palestina Bisa Pengaruhi Bisa Pengaruh Perdamaian” diakses tanggal 15 juli 2013 dari situs http://www.internasional.kompas.com
(6)
http://www.voa-islam.com/news/world-world/2012/11/30/22081/palestina-memenangkan -dukungan-mayoritas-di-pbb/ diakses tanggal 10 juli 2013