Tinjauan tentang Hutan dan

commit to user Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP ada kecenderungan untuk mengikuti pandangan kuantitatif, sekalipun ada penyimpangan dalam beberapa hal kejahatan dan pelanggaran mempunyai derajat yang sama Bambang Poernomo,1982 : 96-97. Perbuatan dapat dikatakan tindak pidana atau tidak, bukan hanya diukur dari unsur yang terdapat di dalamnya, tetapi pada dasarnya tindak pidana itu sendiri terbagi atas beberapa bagian yang mana di dalam pembagian tersebut diharapkan dapat mempermudah di dalam mencerna serta memahami semua aturan yang terdapat didalam peraturan perundangundangan, yang mana pembagian dari tindak pidana meliputi atas : 1 Tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran; 2 Tindak pidana formal dan tindak pidana materiil; 3 Tindak pidana dengan kesengajaan dan tindak pidana kealpaan; 4 Tindak pidana aduan dan tindak pidana bukan aduan; 5 Tindak pidana commissionis, tindak pidana omissionis, dan tindak pidana commissionis per omisionem commisa; 6 Delik yang berlangung terus dan delik yang tidak berlangsung terus; 7 Delik tunggal dan delik berganda; 8 Tindak pidana sederhana dan tindak pidana yang ada pemberatannya; 9 Tindak pidana ringan dan tindak pidana berat; 10 Tindak pidana ekoonomi dan tindak pidana politik.

2. Tinjauan tentang Hutan dan

Illegal Logging

a. Pengertian tentang Hutan

Pada umumnya persepsi umum tentang hutan adalah penuh pohon- pohonan yang tumbuh tak beraturan atau suatu areal tertentu yang ditumbuhi pepohonan dan didiami berbagai jenis binatang. Pengertian hutan merujuk kepada aneka hal yang bersifat liar wild , tumbuh sendiri commit to user atau tidak dipelihara natural , atau untuk menekankan sifat-sifat liar dari sesuatu. Dalam buku Sukardi bahwa hutan adalah sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu , kelembaban, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan atau pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat baik secara horisontal maupun vertikal Sukardi, 2005 : 12 . Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dalam pengertian tentang hutan, yaitu : 1 Unsur lapangan atau lahan yang cukup luas; 2 Unsur pohon, flora, dan fauna; 3 Unsur lingkungan. Selain definisi hutan ada juga definisi mengenai hukum kehutanan, Hukum Kehutanan adalah himpunan peraturan bidang kehutanan yang tertulis maupun tidak tertulis yang memberikan sanksi kepada pelanggarnya, dan mengatur hubungan hukum antara pengelolaan hutan, pengguna hutan dan hasil hutan beserta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dengan memperhatikan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

b. Pengertian tentang

Illegal Logging Berdasarkan unsur-unsur serta pembagian tindak pidana maka tindakan pembalakan liar atau sering disebut degan illegal logging termasuk dalam tindak pidana. Illegal logging meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan, pelanggaran-pelanggaran ini terjadi disemua lini tahapan industri kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondongan, tahap pemrosesan dan tahap pemasaran dan bahkan meliputi pengunaan cara-cara korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan commit to user pelanggaran-pelanggaran keuangan, seperti penghindaran pajak, pelanggaran juga terjadi karena kebanyakan batas-batas administratif kawasan hutan nasional, dan kebanyakan unit-unit hutan produksi yang disahkan secara nasional yang beroperasi dalam kawasan ini, tidak diduga dilapangkan dengan melibatkan masyarakat setempat. Dilihat dari uraian singkat dari arti illegall logging tersebut maka dapat digambarkan bahwa tindak pidana illegal logging merupakan tindak pidana yang sangat kompleks, sehingga diperlukannya usaha pencegahan sejak dini baik dalam bentuk penal hukum pidana dan non penal diluar hukum pidana . Hal ini dianggap perlu karena dampak dari tindak pidana illegal logging tidak hanya berdampak buruk bagi sektor ekonomi saja, tapi di dalam kerusakan ekosistem dapat berakibat jangka panjang. Mengenai istilah illegal logging, sampai saat ini belum ada terminologi yang jelas dan tegas, baik definisinya maupun ruang lingkup cakupan aktivitasnya. Namun demikian di masyarakat awam, istilah illegal logging lebih populer dan dikenal sebagai pengertian penebangan secara liar. Di dalam Buku Kajian Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan istilah illegal logging diartikan sebagai ”pembalakan haram” Penggunaan istilah illegal logging cenderung dipakai karena alasan kesederhanaan dan kepraktisan pengucapan dan oleh karenanya itu sehinga lebih mudah diingat. Tidak adanya kejelasan dan ketegasan dalam pendefinisian maka mengakibatkan munculnya beberapa terminologi illegal logging yang beragam. Hal tersebut menyebabkan berbagai pihak membuat definisi sendiri sesuai domain dan kepentingannya masing-masing. Dengan demikian membuat ruang lingkup definisi illegal logging menjadi sangat beragam. Ada beberapa aspek yang kemungkinan menjadi penyebab munculnya terminologi illegal logging beragam, antara lain: commit to user 1 Aspek Padanan Bahasanya. Jika illegal adalah praktek tidak legal atau tidak sah, dan logging adalah pemanenan kayu, maka illegal logging mempunyai definisi sebagai praktek pemanenan kayu yang tidak sah. 2 Aspek Simplifikasi. Kondisi ini lahir atas dasar kepraktisan dan kesederhanaan dalam memandang kasus dan kondisi permasalahan degradasi sumber daya hutan. 3 Aspek Integratif. Kondisi ini lahir karena ketidakpuasan dalam dua pendefinisian sebelumnya. Illegal logging didefinisikan sebagai praktek pemanenan kayu yang meliputi juga proses-prosesnya yang tidak legal atau tidak mengikuti prosedur dan tata cara yang diteapkan. Proses tersebut terdiri dari proses menuju pemanenan kayu meliputi perencanaan, izin dan modal, aktivitas pemanenan dan pasca pemanenan meliputi pengangkutan, tata niaga, pengolahan, hingga penyelundupan. Pada akhirnya, definisi illegal logging meliputi juga ruang lingkup illegal logging-nya sendiri serta ruang lingkup illegal processing dan illegal trade. Beraneka ragam pengertian illegal logging menurut berbagai pihak dapat diuraikan sebagai berikut: 1 Pengertian Menurut Sumber Kehutanan Istilah illegal logging mulai dikenal dan memasyarakat sejak istilah itu tercantum di dalam dokumen resmi peraturan perundang- undangan tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal illegal logging dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting. Dengan demikian secara harfiah Inpres tersebut mengartikan Illegal Logging sebagai penebangan kayu ilegal atau tidak sah. Kemudian di dalam ketentuan lain, dengan substansi materi yang diatur sama, dokumen tertulisnya ”Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.” Dengan demikian dapat commit to user dianalogikan bahwa Inpres ini mengartikan Illegal Logging sebagai penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan. Di dalam sumber lain dari Buku Pintar Penyuluhan Kehutanan Kejaksaan menjelaskan bahwa: Penebangan liar atau illlegal logging atau penebangan kayu secara tidak sah adalah kegiatan penebangan kayupohon-pohon di kawasan hutan negara tanpa izin yang sah. IIlegal logging juga diartikan sebagai penebangan di luar arealblok tebangan yang telah ditentukan, penebangan di kawasan lindung, dan penebagan di luar batas izinhak pengusahaan hutan. Anonim, Buku Pintar..., Loc. Cit Sedangkan salah satu sumber dari Departemen Kehutanan, yaitu: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan medefinisikan sebagai berikut: Illegal Logging sebagai kegiatan pemanenan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran kau bulat alam atau tanaman dari suatu kawasan hutan negara maupun kawasa hutan hak yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 2 Pengertian Menurut Lembaga dan Pendapat Pakar Banyak kalangan, baik lembaga atau institusi maupun para pakar memberikan pengertian terhadap istilah illegal logging. a Lembaga Swadaya Masyarakat Forest Wacht Indonesia dan Global Forest Wacht Forest Wacht Indonesia dan Global Forest Wacht menyebut illegal logging sebagai ”pembalakan ilegal” yang digambarkan sebagai semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengolahan, dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia. b Menurut Para Pakar Menurut Sumitro, yang dikutip Alip Winarno et. al., “dari sisi administratif yang dimaksud dengan illegal logging adalah commit to user pemungutan kayu di luar yang direncanakan oleh Departemen Kehutanan melalui RKT.” Sedangkan menurut Haba yang dikutip Nurdjana et.al., Luasnya jarigan kejahatan illegal loging yang mencerminkan luasnya pengertian illegal logging itu sendiri, menunjukkan adanya suatu rangkaian kegiatan yang merupakan suatu mata rantai yang saling terkait mulai dari sumber atau produsen kayu ilegal atau melakukan penebangan kayu secara ilegal hingga ke konsumen atau pengguna bahan baku kayu. Ibid 3 Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Cakupan makna illegal logging menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, antara lain: a Pasal 50 ayat 3 huruf “e” dan huruf “f” : Huruf e : “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang”. Huruf f : “menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah”. b Pasal 50 ayat 3 huruf “h” : “mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan”. c Pasal 50 ayat 3 huruf ”j” dan huruf “k” Huruf j : “ membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang”. commit to user Huruf k : “ membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang”. c. Faktor-Faktor Penyebab Praktek Illegal Logging Banyak faktor yang menyebabkan tumbuh dan berkembangnya Illegal logging di Indonesia, baik faktor yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Akar dari semua faktor tersebut adalah praktek korupsi yang sudah terstruktur dalam birokrasi-birokrasi pemerintah. Faktor-faktor tersebut diantaranya: 1 Kegagalan Pasar Hasil Hutan Faktor ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap munculnya praktek Illegal logging di Indonesia. Pasar gagal dalam menyediakan kayu legal untuk kebutuhan industri sehingga timbulah pasar kayu ilegal, baik di dalam maupun di luar negeri. 2 Praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mendarah daging dalam struktur birokrasi pemerintah ataupun institusi hukum dan peradilan menjadi faktor utama tumbuh dan berkembangnya praktek Illegal logging di Indonesia. Aksi suap-menyuap dalam pelaksanaan praktek Illegal logging telah menjadi hal biasa untuk memperlancar praktek tersebut. Praktek suap-menyuap tersebut berkembang mulai dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan juga aparat hukum dan keadilan. 3 Kebijakan Pemerintah tentang Kehutanan Pemerintah, baik lokal atau pusat, telah mengeluarkan peraturan- peraturan yang secara tidak langsung mendukung tumbuh dan berkembangnya praktek Illegal logging. Kebijakan tersebut biasanya dibuat berdasarkan agenda-agenda tersembunyi anggota dewan. 4 Ketidakpastian dan Keringanan Hukum Sanksi hukum yang dikenakkan kepada para cukong kayu Illegal logging terlalu ringan sehingga mereka tidak terdisinsentif untuk tidak commit to user melakukan praktek tersebut. Dan juga Undang-Undang yang melandasi hukum tersebut terkdang tidak jelas dan masih dimungkinkan adanya bias sehingga para cukong kayu ilegal masih mempunyai celah untuk lolos dari hukum. 5 Kurangnya koordinasi antara Departemen-departemen pemerintah. Koordianasi antar departemen-depertmen pemerintah dan juga aparat hukum dan peradilan kurang sehingga menimbulkan celah untuk melakukan perbuatan suap-menyuap untuk memperlancar dalam lingkungan departemen tertentu. 6 Integritas dan transparansi antar aparat hukum rendah. Integritas penegak hukum Polisi hutan, Polri, Jaksa, TNI, hakim yang sangat rendah yang berpotensi melahirkan kompromi-kompromi dalam proses penegakan hukum. Transparansi pelaksanaan hukum yang rendah juga memungkinkan terjadinya praktek korupsi dan kolusi mendukung Illegal logging menjadi lebih mudah.

3. Tinjauan tentang Putusan Mahkamah Agung