ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2143K PID 2006 DALAM PERKARA TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING

(1)

commit to user

i

ANALISIS YURIDIS TERHADAP

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2143K / PID / 2006 DALAM PERKARA TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING

Penulisan Hukum ( Skripsi )

Disusun Dan Diajukan Untuk

Melengkapi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta

Disusun Oleh : INSAN SETIYAWAN

E1106138

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA


(2)

commit to user

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Penulisan Hukum ( Skripsi )

ANALISIS YURIDIS TERHADAP

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2143K/ PID/ 2006 DALAM PERKARA TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING

Oleh :

INSAN SETIYAWAN NIM. E1106138

Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Surakarta, Oktober 2010

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Winarno Budyatmojo S.H, M.S Siti Warsini S.H, M.H NIP. 196005251987021002 NIP. 194709111980032002


(3)

commit to user

iii

PENGESAHAN PENGUJI

Penulisan Hukum ( Skripsi ) ANALISIS YURIDIS TERHADAP

PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2143K/ PID/ 2006 DALAM PERKARA TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING

Oleh : Insan Setiyawan

NIM. E1106138

Telah diterima dan dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum ( Skripsi ) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Pada :

Hari : Kamis

Tanggal : 21 Oktober 2010

DEWAN PENGUJI

1. Ismunarno S.H, M.Hum :... Ketua

2. Siti Warsini S.H, M.H :... Sekretaris

3.Winarno Budyatmojo S.H, M.S : ... Anggota

Mengetahui Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta,

Muhammad Jamin, S.H, M.Hum NIP 196109301986011001


(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : INSAN SETIYAWAN

NIM : E1106138

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum ( skripsi ) berjudul : ” ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2143K/ PID/ 2006 DALAM PERKARA TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING ” adalah betul – betul karya sendiri. Hal- hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum ( Skripsi ) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum ( skripsi ) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum ( skripsi ) ini.

Surakarta, Oktober 2010

Yang membuat pernyataan

Insan Setiyawan NIM E1006138


(5)

commit to user

v MOTTO

Belajarlah dari sebuah pengalaman,

sebab pengalaman itu dapat menjadi guru yang paling berharga, serta dari pengalaman itu sendiri dapat menjadikan

kita lebih berhati-hati dalam melangkah, dan lebih mantab lagi dalam menatab masa depan.

Sukses tidak diukur dari posisi yang dicapai seseorang dalam hidup, tapi dari kesulitan – kesulitan yang berhasil diatasi

ketika berusaha meraih sukses,

sebab sukses itu yang dapat menentukan hanya diri kita sendri, masa depan kita ada ditangan kita sendiri.

Demi massa

Sesungguhnya manusia itu dalam kerugian

Kecuali orang-orang yang beriman dan berbuat amal sholeh,

Serta saling berwasiat dalam kebenaran dan saling-saling berwasiat kepada Kesabaran ( Q.S. Al- ‘Ashr )

Setiap kita ( manusia ) diberi waktu yang sama dalam sehari ( 24 jam ) Namun dari perbedaan pemanfaatan waktu tersebut

Ada yang senang, ada yang susah, ada yang beruntumg, ada yang merugi, ada yang baik, ada yang jahad

Itu semua tergantung pada kita ( manusia ) untuk memilih yang menjadi pilihannya,


(6)

commit to user

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini Kupersembahkan Buat :

H. Bimo Padmo Suwito – Hj. Widayati

Nama tersebut adalah kedua Orang Tuaku yang tercinta dan yang paling ku sayang pusat rodho dan do’a

Beserta Ke empat Saudaraku,

( Widihastuti, Amd. , Ernanti Wahyurini, SE. , Trias Susilowati, Adi Prastama, SE. )

Terima Kasih atas Doa dan Dukungannya selalu, Sehingga dapat terselesaikannya Skripsi ini.

Seluruh Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Khususnya Dosen Pembimbing Skripsi I Bapak Winarno Budyatmojo, S.H, M.S

dan Pembimbing Skripsi II Ibu Siti Warsini, S.H, M.H.

Keluarga Besar Villa Bengawan Mas yaitu Sobat-Sobat saya yang kucintai, Shan Anul Hasani, Akbar Mahar, David Setiyawan, Rizky, Dicky

Terima Kasih atas Doa, Semangat, dan Dukungannya selama ini, sehingga dapat terselesaikannya skripsi ini.

Teman Seperjuangan

Ahmad Akbar, Akbar Mahar, David Setiyawan, Wulung Firmansyah, Agus Yulianto, Agus Dwi Purnomo, Yanuar Hendra,Johan Hardianto S.H

Isyanna TSO S.H, Russiana S.H, Imroatul Qoriah, Nidia Ulfa S.H Terima kasih atas dukungan dan bimbingamu.

Belahan Jiwaku Lia Listyorini

Terima kasih sekali atas Doa, Dukungan, Semangat yang telah diberikan pada saya, dan selalu setia menemani saya disaat apapun itu,

Sehingga dapat terselesaikannya Skripsi ini,

Semoga kita diberi kemudahan dalam melangkah kedepannya, serta selalu dalam lindungan Allah SWT.

Tidak lupa saya ucapkan terima kasih pada

Mas Alex dan Semua karyawan yang ada dibawah naungan Pratama Auto Service Management,


(7)

commit to user

vii ABSTRAK

INSAN SETIYAWAN, E 1106138, ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2143K/ PID/ 2006 DALAM PERKARA TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING , Penulisan Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, 2010.

Penulisan Hukum ini bertujuan untuk mengetahui apakah dasar hukum yang digunakan oleh Hakim Mahkamah Agung dalam memutus perkara tindak pidana illegallogging, serta untuk mengetahui apakah Putusan Mahkamah Agung tersebut dalam perkara tindak pidana illegal logging telah sesuai dengan Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan.

Penulisan hukum ini merupakan penulisan hukum yang bersifat deskriptif dan apabila dilihat dari tujuannya termasuk merupakan penulisan hukum normatif. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Sedangkan tekhnik pengumpulan data yang dipergunakan yaitu dengan melihat putusan hakim serta penelitian kepustakaan baik buku - buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen, dan sebagainya. Analisis data menggunakan tekhnik analisis data logika deduktif dengan pendekatan kualitatif.

Berdasarkan dari hasil penulisan dan analisis data yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan kalau perkara tersebut adalah perkara pidana tentang tindak pidana illegal logging, dimana dasar hukum yang digunakan oleh hakim mahkamah agung dalam memutus perkara tersebut yaitu dengan pasal 50 ayat (3) huruf h jo pasal 78 ayat (7) Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Kemudian dari penulisan itu dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa penggunaan kaidah hukum oleh hakim tersebut adalah benar dan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, namun karena undang-undang itu tidak mengatur batas minimum pemberian sanksi pidana, serta adanya sifat selektifitas terhadap subyek hukumnya, membuat hukumnya tidak maksimal, sehingga dalam pencapaian supremasi hukumnya dalam negara juga terhambat.

Implikasi Teoritis penulisan hukum ini adalah sebagai sarana untuk dapat memberikan ide atau pemikiran dalam perkembangan Ilmu Hukum Pidana pada umumnya dan Hukum Pidana pada khususnya, terutama mengenai dasar hukum yang digunakan hakim dalam memutus perkara tindak pidana illegal logging dan putusan mahkamah agung itu sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, berdasarkan substansi hukum yang berlaku dalam rangka penegakan hukum pidana illegal logging di Indonesia, sedangkan implikasi praktisnya adalah hasil penulisan hukum ini diharapkan dapat sebagai bahan masukan bagi pemerintah maupun pemerintah daerah dalam rangka penyusunan dan pengambilan keputusan berbagai kebijakan kehutanan khususnya di bidang kebijakan pemberantasan illegal logging.


(8)

commit to user

vii ABSTRACT

INSAN SETIYAWAN, E 1106138, AN JURIDICAL ANALYSIS ON THE SUPREME COURT’S VERDICT NUMBER 2134K/ PID/ 2006 IN ILLEGAL LOGGING CRIMINAL CASE, Law Writing, Law Faculty of Sebelas Maret University, 2010.

This writing aims to find out the legal foundation the Judge of Supreme Court uses in deciding the illegal logging criminal case, as well as to find out whether or not the Supreme Court’s Verdict in the illegal logging criminal case has been consistent with the Act Number 41 of 1999 about forestry.

This law writing belongs to a descriptive writing and viewed from the objective belongs to a normative writing. The data type employed was secondary data. Meanwhile technique of collecting data used was judge’s verdict as well as the library research including books, legislations, documents, and etc. The data analysis was done using deductive logic data analysis technique with qualitative approach.

Considering the result of writing and data analysis conducted, it can be concluded that such case is the criminal case of illegal logging, in which the legal foundation the Judge of Supreme Court uses in deciding the case is the article 50 clause (3) letter h jo article 78 clause (7) of Act Number 41 of 1999 about Forestry. Then, from the writing it can be concluded that the use of law norm by the judge is correct and consistent with the provision of legislation prevailing, but because the act does not regulates the minimum limit of punishment sentencing, as well as there is selectivity attitude toward the law subject, the law becomes not maximal, so that the achievement of law supremacy in the state is also inhibited.

The theoretical implication of writing is that it serves as the means of providing idea or thinking in the Criminal Law Discipline development generally and Criminal Law particularly, especially concerning the legal foundation the judge uses in deciding the illegal logging criminal case and the Supreme Court’s verdict has been consistent with the Act Number 41 of 1999 about Forestry, based on the law substance prevailing in the attempt of enforcing the illegal logging in Indonesia, meanwhile the practical implication is the result of law writing is expected as the input material to the government and local government in developing and decision making concerning the forestry policy particularly concerning the policy of illegal logging eradication.


(9)

commit to user

viii

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang selalu menyertai, menemani, dan memberikan kekuatan kepada saya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, skripsi ini yang berjudul ” ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2143K/PID/2006 DALAM PERKARA TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING ” tanpa ada kesulitan yang berarti. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhhamad SAW yang telah membawa kaumnya dari zaman jahilliyyah ke zaman yang penuh dengan pengetahuan.

Berhasilnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. DR. Dr. Syamsulhadi, SpKj selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Bapak Muhammad Jamin S.H, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Bapak Winarno Budyatmojo S.H, M.S Selaku Dosen Pembimbing Skripsi I dan Ibu Siti Warsini S.H, M.H Selaku Dosen Pembimbing Skripsi II, Saya mengucapkan banyak terima kasih yang sedalam-dalamnya atas bimbingannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan lancar dan baik.

4. Bapak Harjono S.H, M.H selaku ketua program Non Reguler Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

5. Bapak Hernawan Hadi, S.H, M.H, selaku Pembimbing Akademik saya di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

6. Seluruh Dosen Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.


(10)

commit to user

ix

7. Seluruh pegawai di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 8. Semua teman-temanku kelas A dan Kelas B angkatan 2006 Fakultas

Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Semoga amal kebaikan dan segala bimbingannya serta bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT. Amin ya robbal alamin.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Surakarta, Oktober 2010 Penulis


(11)

commit to user

x DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI... iii

HALAMAN PERNYATAAN... iv

HALAMAN MOTTO... v

HALAMAN PERSEMBAHAN... vi

ABSTRAK. ... vii

KATA PENGANTAR... viii

DAFTAR ISI... x

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah... 6

C. Tujuan Penulisan Hukum... 6

D. Manfaat Penulisan Hukum... 7

E. Metode Penulisan Hukum... 7

F. Sistematika Penulisan Hukum... 12

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori... 14

1. Tinjauan tentang Tindak Pidana... 14

2. Tinjauan tentang Hutan dan Illegal Logging... 18

3. Tinjauan tentang Putusan Mahkamah Agung... 25

B. Kerangka Pemikiran... 29

1. Bagan kerangka pemikiran... 29

2. Penjelasan kerangka pemikiran... 30

BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Putusan... 32


(12)

commit to user

xi

1. Dasar hukum yang dipakai hakim Mahkamah Agung Nomor 2143k/Pid/2006 dalam perkara

tindak pidana illegal logging... 35 2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 2143K/Pid/2006

dalam perkara tindak pidana illegal logging telah sesuai dengan Undang-Undang No.41 tahun 199... 61 BAB IV. PENUTUP

A. Kesimpulan... 65 B. Saran... 66

DAFTAR PUSTAKA


(13)

commit to user

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sumber daya alam “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (hutan) dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hutan adalah karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa, yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai negara, agar hutan dapat memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia. Untuk itu, kegiatan pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.”

Kejahatan terhadap lingkungan saat ini sering terjadi, misalnya saja kejahatan terhadap sektor kehutanan, kehutanan adalah sektor yang paling sering mendapatkan tekanan ekploitasi berlebihan, laju kerusakan hutan menurut versi WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) pernah mencapai angka 3,4 juta hektar setiap tahun, kerugian akibat illegal logging pun berkisar 40-65 trilyun setiap tahunnya. Tahun 2003 laju kerusakan menurun menjadi 3,2 juta hektar dan 2005 berkisar 2,4 juta hektar, penurunan angka laju kerusakan ini bukan disebabkan oleh efektivitas penegakan hukum, melainkan semakin langkanya kayu yang dapat dijarah oleh para penjahat kehutanan. Illegal logging tidak satu-satunya kejahatan di sektor kehutanan yang menyebabkan kondisi hutan kritis ( M. Hamdan, 2000 : 3 ).

Pemanfaatan hasil hutan kayu ini, sebenarnya telah diatur dalam ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku baik berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan yang berada di bawahnya. “Ketentuan pemanfaatan hasil hutan kayu telah diatur melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam dan atau yang sebelumnya disebut Hak


(14)

commit to user

Pengusahaan Hutan Tanaman (HPHT) dan atau Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI).

Izin usaha tersebut kegiatannya meliputi pemanenan atau penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan kayu. Namun demikian, fakta di lapangan ternyata banyak ditemukan praktek menyimpang dari aturan terutama dalam kegiatan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam.

Prakteknya, usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam banyak ditemui pelanggaran hukum. Di sini terdapat berbagai praktek pelanggaran hukum yang dapat dikategorikan sebagai “kejahatan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya atau dikenal dengan Illegal logging. Sebenarnya peraturan-perudangan telah mengaturnya, seperti yang tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Telah ada ketentuan bahwa “setiap orang dilarang membawa alat-alat berat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang”. Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat banyak penyimpangan dalam pelaksanaan pemanfaatan hasil hutan kayu, dengan sebutan illegal logging yang dikenal sebagai penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan tersebut dapat kategorikan sebagai tindakan melanggar hukum. Pelanggaran hukum illegal logging ini sebenarnya telah cukup lama terjadi dengan tingkat pelanggaran yang fluktuatif dari waktu ke waktu. Sepanjang sejarah penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan, “tahun 1998 adalah awal menggilanya illegal logging. Pelanggaran hukum penebangan kayu secara ilegal ini bukan hanya di hutan produksi, tetapi juga di hutan lindung dan hutan konservasi.

Sebelumnya, illegal logging sudah ada namun tidak separah yang terjadi pada tahun itu dan tahun-tahun berikutnya. Peningkatan illegal logging semakin menjadi-jadi seiring dengan tumbuh suburnya industri perkayuan baik yang legal maupun ilegal. Terlebih lagi setelah adanya perangkat unit penggergajian yang dapat dipindah dengan mudah (mobil) dan adanya pasar kayu ilegal mengiringi maraknya praktek-praktek illegal logging.


(15)

commit to user

Maraknya praktek illegal logging menimbulkan keprihatinan mendalam dari berbagai kalangan baik dari dalam maupun luar negeri. Dari dalam negeri, adalah para pihak yang merupakan pemerhati kehutanan, dari berbagai unsur masyarakat. Di berbagai tempat mereka mengungkapkan keprihatinannya atas pelanggaran hukum penebangan kayu secara ilegal dan penegakan hukumnya. Pada bulan April 2003, Ketua Majelis Ulama Indonesia menyatakan dukungannya terhadap upaya pemberantasan illegal logging. Di samping itu ada beberapa lembaga swadaya masyarakat dalam negeri salah satunya yaitu WALHI (Wahana Lingkungan Hidup), dan LSM lainnya juga ikut mamantau kegiatan terkait dengan illegal logging.

Para pihak dari luar negeri pun tidak ketinggalan juga mendorong dan mendukung berbagai kegiatan dalam upaya penegakan hukum illegal logging tersebut. Langkah-langkah konkrit banyak dilakukan untuk mendukung kegiatan tersebut antara lain melalui kerjasama dengan organisasi internasional antara lain International Tropical Timber Organizatioa (ITTO) dan World Wide Fun for Nature(WWF).

Terkait dengan hal tersebut mereka melakukan tekanan-tekanan antara lain: kampanye anti kayu tropis; kampanye agar Indonesia membatasi pemanfaatan sumber daya hutannya. Di samping itu di Era Ekolabelling di mana negara-negara lain hanya menerima impor kayu dari hutan yang dikelola secara lestari. Oleh karena itu kayu hasil illegal logging tidak akan dapat diterima oleh negara-negara yang tergabung dalam ITTO. Sedangkan WWF telah menyusun target pengelolaan hutan berkelanjutan untuk seluruh dunia yang dimulai sejak tahun 1985. Sebagian besar industri dan perdagangan perkayuan di Inggris menyetujui rencana tersebut.

Setelah melihat perkembangan pemberantasan illegal logging yang kurang mengembirakan, Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) menginstruksikan kepada seluruh aparat penegak hukum untuk menindak tegas beking illegal logging tanpa pandang bulu. Instruksi lisan ini disampaikan presiden seusai meninjau langsung kondisi penjarahan Taman Nasional Tanjung


(16)

commit to user

Puting tanggal 11 Nopember 2004 dalam pertemuan di Pangkalan Bun, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah.

Padahal, sebelumnya berbagai program pengamanan hutan telah dicanangkan dan kebijakan telah digulirkan. Sebagai misal, telah dibentuk Operasi Wanalaga dan Operasi Wanabahari yang ditetapkan dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal (Illegal Logging) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuseur dan Taman Nasional Tanjung Puting. Pelaksanaan Operasi Wanalaga dan Operasi Wanabahari telah berhasil menangkap sebagian pelaku kejahatan illegal logging di beberapa provinsi di Indonesia.

Ada contoh kasus yang diambil dari putusan mahkamah agung dalam perkara tindak pidana illegal logging, kasus posisinya sebagai berikut : orang yang melakukan kejahatan Tindak Pidana Illegal logging, kasus posisinya yaitu Bahwa ia Terdakwa H. Patta bin Latappe, pada hari Kamis tanggal 20 Oktober 2005 sekira jam 09.00 WITA atau setidak-tidaknya dalam tahun 2005, bertempat di Jalan Raya Lawo, Kelurahan Ompo, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng atau setidak-tidaknya pada tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Watansoppeng yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkaranya, telah mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan. Perbuatan Terdakwa tersebut dilakukan dengan cara sebagai berikut :

Pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut di atas, ia Terdakwa H. Patta bin Latappe memuat kayu berbentuk kayu jati bulat sebanyak kurang lebih 80 potong dengan ukuran bervariasi antara 2 sampai 3 meter kira-kira sebanyak 3 kubik dari kampung LattiE Desa Sering, Kecamatan Donri-donri, Kabupaten Soppeng menuju ke Lapajung, Kecamatan Lalabata, Kabupaten Soppeng dengan menggunakan mobil truk Colt Mitsubishi warna kuning DD 9925 AY milik saksi Abd. Wahid. Sewaktu kayu tersebut diangkut oleh Terdakwa tidak dilengkapi dengan SKSHH (Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan) dan juga tidak dilengkapi oleh Daftar Pengangkutan (DP) sehingga pada saat ditangkap oleh petugas Kepolisian, Terdakwa H. Patta hanya dapat memperlihatkan Surat Pengantar dari


(17)

commit to user

Desa Sering dan SKU saja, sedangkan syarat atau prosedur pengangkutan kayu harus dilengkapi dengan SKSHH atau Daftar Pengangkutan ; Perbuatan ia Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h jo. Pasal 78 ayat (7) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Bahwa praktik pengangkutan kayu yang berasal dari hutan hak atau hutan tanaman rakyat tersebut dapat dimaklumi, oleh karena aparat terkait sama sekali tidak melakukan sosialisasi terhadap ketentuan yang diamanatkan oleh Undang - Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Dalam hal ini Terdakwa tidak pernah melakukan perbuatan pidana oleh karena segala tindakan Terdakwa telah memenuhi beberapa kewajiban selaku warga negara seperti membayar pungutan retribusi kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Soppeng yang sebelumnya telah diterbitkan dokumen yang berkaitan dengan asal usul dan pengangkutan kayu miliknya tidaklah memenuhi unsur objektif dari suatu tindak pidana yakni tidak ada unsur “melawan hukum” atau “wederrechtelijk”.

ICW melakukan pendataan terhadap 205 terdakwa pembalak liar 2005-2008. Khusus untuk proses hukum di Mahkamah Agung, misalnya sekitar 82,76 persen dari perkara illegal logging yang diproses ternyata hanya menjerat Supir Truk, Petani, dan operator teknis lainnya. Lebih dari 85 persen putusan hakim dikategorikan tidak berpihak pada semangat pemberantaan illegal logging. 71,43 persen terdakwa aktor utama divonis bebas (71,43%), dan 14,29 persen hanya diganjar kurang dari 1 tahun.Kenyataan inilah yang ditemukan ICW. Aktor utama yang terdiri dari direktur, manajer, komisaris utama, cukong, penegak hukum, kontraktor cenderung divonis bebas atau kurang dari setahun. Sementara petani yang memungut kayu di hutan dan supir truk diproses dan dijatuhi hukuman

hingga dua tahun di Mahkamah Agung

(http://jacsky.multiply.com/journal/item/105/)

Bahwa dalam hukum pidana yang menjadi perhatian adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, perbuatan-perbuatan-perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana. Langemeyer mengatakan untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dapat dipandang keliru, itu tidak masuk akal. (Moeljatno, 1983 : 130)

Keberhasilan dari setiap kegiatan memang menjadi harapan, namun demikian ada efek samping atau dampak negatif yang timbul dan hal itu tidak


(18)

commit to user

tentu tidak diharapkan. Permasalahan timbul terutama terhadap industri primer hasil hutan kayu yang telah memperoleh izin dari pejabat yang berwenang dan juga permasalahan ikutannya yaitu ketenagakerjaan. Industri perkayuan khususnya industri primer hasil hutan kayu menjadi kesulitan untuk memperoleh bahan baku kayu. Persaingan ketat untuk mancari bahan baku membuat beberapa industri perkayuan, khususnya industri primer hasil hutan kayu menjadi kolap dan banyak yang gulung tikar.

Dengan berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan Penulisan secara Normatif dengan melihat salah satu putusan yang terkait dengan kasus illegal logging, dimana penulis mengambil putusan yang telah incraht (berkekuatan hukum tetap), yaitu Putusan Mahkamah Agung. Oleh karena itu penulis mengambil judul ”ANALISIS YURIDIS TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR 2143K / PID / 2006 DALAM PERKARA TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING ”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Apakah Dasar hukum yang digunakan oleh Hakim Mahkamah Agung dalam memutus Perkara Tindak Pidana Illegal Logging ?

2. Apakah Putusan Mahkamah Agung nomor 2143 K/ PID /2006 dalam perkara tindak pidana Illegal Logging telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan ?

C. Tujuan Penulisan Hukum

Tujuan Penulisan Hukum ini adalah untuk memberikan arah dalam melangkah sesuai dengan maksud Penulisan Hukum. Adapun tujuan yang akan dicapai oleh penulis dalam penulisan hukum ini adalah :


(19)

commit to user

1. Tujuan Obyektif

Tujuan Obyektif merupakan tujuan yang memperoleh data dalam rangka mengetahui jawaban permasalahan. Sedangkan tujuan dari penelitian ini sendiri adalah :

a. Untuk mengetahui Dasar Hukum yang digunakan oleh Hakim Mahkamah Agung dalam memutus perkara Tindak Pidana illegal logging .

b. Untuk mengetahui Putusan Mahkamah Agung nomor 2143 K/ PID /2006 dalam perkara tindak pidana illegal logging telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

2. Tujuan Subyektif

Tujuan Subyektif merupakan motif subyektif penyusunan penulisan hukum. Tujuan dari penulisan hukum ini antara lain sebagai berikut :

a. Untuk memperoleh data yang lengkap dan jelas sebagai bahan utama dalam menyusun penulisan hukum sebagai persyaratan dalam mencapai gelar Sarjana di bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Memperluas pengetahuan dan pemahaman aspek hukum dalam teori dan praktek, terutama dibidang hukum pidana berkaitan dengan Tindak Pidana Illegal logging dalam sistem hukum pidana di Indonesia.

D. Manfaat Penulisan Hukum

Dalam penulisan hukum tentunya sangat diharapkan adannya manfaat dan kegunaan yang dapat diambil dalam penulisan hukum tersebut. Adapun manfaat yang didapat dari penulisan hukum ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan menfaat pada pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana


(20)

commit to user

pada khususnya, terutama mengenai dasar hukum yang digunakan hakim dalam memutus perkara tindak pidana illegal logging dan putusan Mahkamah Agung itu sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, berdasarkan substansi hukum yang berlaku dalam rangka penegakan hukum pidana illegal logging

b. Hasil penulisan hukum ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur dalam dunia kepustakaan tentang tindak pidana illegal logging.

c. Hasil penulisan hukum ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penulisan-penulisan hukum sejenis untuk tahap berikutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penulisan hukum ini diharapkan dapat sebagai bahan masukan bagi pemerintah maupun pemerintah daerah dalam rangka penyusunan dan pengambilan keputusan berbagai kebijakan kehutanan khususnya di bidang kebijakan pemberantasan illegal logging.

b. Dengan penulisan hukum ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum sebagai bekal untuk terjun kedalam masyarakat nantinya.

c. Hasil penulisan hukum ini diharapkan dapat membantu pihak-pihak yang terkait dengan masalah yang diteliti.

E. Metode Penulisan Hukum

Inti dari metodologi penulisan hukum dalam setiap penulisan hukum adalah menguraikan tentang tata cara bagaimana suatu penulisan hukum itu harus dilaksanakan guna mendapatkan data yang valid. Sebagai uraian tentang tata cara atau ( tehnik ) penulis yang harus dilakukan, maka metodologi penulisan hukum pada pokoknya mencangkup :


(21)

commit to user

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan hukum ini adalah penulisan hukum normatif atau penulisan hukum kepustakaan, yaitu penulisan hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer , bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Bahan-bahan tersebut disusun secara sistematis, dikaji, kemudian, ditarik kesimpulan dalam hubungannya dengan masalah yang diteliti ( soerjono soekanto, 2006:10 ).

Penentuan metode penulisan hukum ini didasari dari adanya penerapan aturan atau norma hukum bidang kehutanan yang melahirkan peristiwa hukum baik yang menyimpang maupun yang sesuai dengan norma hukum tersebut. Peristiwa hukum yang menyimpang tersebut adalah illegal logging di mana hal ini membawa dampak terhadap perilaku kehidupan sosial yang tidak dikehendaki dan tidak disadari sebelumnya.

Oleh karena itu di sini akan diuraikan bagaimana peristiwa hukum yang bersifat menyimpang dari ketentuan atau norma hukum bidang kehutanan sebagai tolok ukurnya. Sebagai tolok ukurnya antara lain Inpres Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh Indonesia,

2. Sifat Penelitian

Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang dilihat dari sifatnya, maka penulisan hukum ini bersifat deskriptif yaitu penulisan hukum yang dimaksudkan untuk memberikan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya yang timbul dari hukum.

3. Pendekatan Penelitian

Didalam penulisan hukumterdapat beberapa pendekatan tersebut, penulisan hukum akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabanya.


(22)

Pendekatan-commit to user

pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan komparatif (comparative approach), pendekatan historis (historical approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach), (Peter Mahmud Marzuki, 2006:93).

Dari keempat pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penulisan hukum yang penulis angkat adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Yang dimaksud dengan pendekatan undang-undang (statute approach) adalah pendekatan dengan regulasi dan legislasi, dimana dalam penulisan hukum ini regulasi yang digunakan sebagai acuan adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

4. Jenis dan Sumber Data Penelitian

Sumber-sumber penulisan hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam perbutan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,2005 : 141).

Data dalam penulisan hukum ini diperoleh dari dua sumber yaitu sumber data primer dan sekunder. Sumber data sekunder dalam penulisan hukum normatif ini adalah :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer berupa terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945 dan Amandemennya, Putusan Mahkamah Agung, Kitab


(23)

Undang-commit to user

Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 Tentang Kehutanan. Di samping itu juga berbagai peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, dan yurisprudensi yang terkait dengan illegal logging.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder terdiri dari buku-buku referensi, jurnal-jurnal hukum yang terkait, dan media massa yang mengulas atau terkait dengan tindak pidana Illegal Logging.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan Hukum Tersier digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yaitu kamus hukum dan kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ensiklopedia,dan lain-lain.

5. Teknik Pengumpulan Data

Karena penulisan hukum yang penulis angkat merupakan penulisan hukum normatif, maka dalam pengumpulan datanya dilakukan dengan studi kepustakaan atau studi dokumen. Teknik ini merupakan cara pengumpulan data dengan membaca, mempelajari, mengkaji, dan menganalisis serta membuat catatan dari buku literatur, peraturan perundang-undangan, dokumen dan hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

6. Teknik Analisis Data

Penulisan hukum ini menggunakan teknik analisis data dengan logika deduktif. Menurut Johnny Ibrahim yang mengutip pendapat Bernard Arief Shidarta, logika deduktif merupakan suatu teknik untuk menarik kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual. Penalaran deduktif adalah penalaran yang bertolak dari aturan hukum yang berlaku umum pada kasus individual dan konkret yang dihadapi (Johnny Ibrahim, 2006 : 249-250). Sedangkan Prof. Peter Mahmud marzuki yang mengutip pendapat Philipus M. Hadjon menjelaskan metode


(24)

commit to user

deduksi sebagaimana silogisme yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis major (pernyataan bersifat umum). Kemudian diajukan premis minor (bersifat khusus), dari kedua premis itu kemudian ditarik suatau kesimpulan atau conclusion. Akan tetapi didalam argumentasi hukum, silogisme hukum tidak sesederhana silogisme tradisional (Peter Mahmud Marzuki,2006 : 47). Jadi dapat disimpulkan bahwa logika deduktif yaitu menjelaskan suatu hal yang bersifat umum kemudian menariknya menjadi kesimpulan yang lebih khusus.

Dalam penulisan hukum ini, data yang diperoleh dengan cara menginventarisasi sekaligus mengkaji penelitian dari studi kepustakaan, aturan perundang-undangan beserta dokumen-dokumen yang dapat membantu menafsirkan norma untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Tahap terakhir yaitu dengan menarik kesimpulan dari data yang diolah, sehingga pada akhirnya dapat menjawab komparasi pengaturan yang berkaitan dengan Illegal Logging (pembalakan liar).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Dalam Penulisan Hukum ( Skripsi ) ini terdiri dari empat bab yang masing-masing terdiri atas beberapa sub bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Sistematika penulisan itu sendiri sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Dalam Bab ini diuraikan tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penulisan Hukum, Manfaat Penulisan Hukum, Metode Penulisan Hukum, Sistematika Penulisan Hukum.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bab ini memuat dua kategori yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran. Kerangka Teori berisikan tentang Tinjauan


(25)

commit to user

tentang Tindak Pidana, Tinjauan tentang Hutan dan Illegal

Logging, dan Tinjauan tentang Putusan Mahkamah Agung.

Sedangkan Kerangka Pemikiran berisikan kerangka atau landasan yang penulis gunakan dalam penulisan hukum ini.

BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini berisi mengenai Dasar hukum yang digunakan oleh Hakim Mahkamah Agung dalam memutus Perkara Tindak Pidana

ILLEGAL LOGGING dan menganalisis Putusan Mahkamah Agung

nomor 2143 K/ PID /2006 dalam perkara tindak pidana ILLEGAL

LOGGING telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan.

BAB IV : PENUTUP

Dalam bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran dari hasil penelitian dan pembahasan yang dilakukan oleh penulis.

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(26)

commit to user

14 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana ( Strafbaar feit )

Pembentukan undang-undang menggunakan perkataan ”strafbaar feit” untuk menyebutkan apa yang dikenal dengan ”tindak pidana” didalam suatu Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Kata ”feit” sendiri dalam bahasa belanda berarti ”sebagian dari suatu kenyataan” dan ”strafbaar” berarti ”dapat dihukum”, sehingga secara harfiah perkataan ”strafbaar feit” dapat diterjemahkan sebagai ”sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum” (P.A.F Lamintang, 1997 : 181).

Para ahli hukum mempunyai pandangannya sendiri dalam memberikan pengertian mengenai tindak pidana. Beberapa ahli hukum yang memberikan definisi diantaranya yaitu :

1) Menurut Moeljatno mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan pidana yaitu perbuatan yang dilarangan oleh suatu aturan hukum yang disertai ancaman ( sanksi ) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

2) Menurut Pompe strafbaar feit sebenarnya tidak lain dari suatu tindakan yang menurut rumusan Undang-Undang dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.

3) Menurut Vos memberikan definisi strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.

4) Menurut R. Tresna memberikan definisi peristiwa pidana sebagai suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan lainnya,


(27)

commit to user

terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman ( Adami Chazawi, 2002 : 72 ).

b. Unsur-unsur Tindak Pidana

Untuk menguraikan pengetahuan hukum pidana, terdapat dua pandangan mengenai unsur-unsur tindak pidana, yaitu :

1) Pandangan Monistis , yaitu bahwa untuk adanya tindak pidana maka harus ada perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Para ahli yang berpendapat demikian tidak memisahkan antara unsur adanya perbuatan, unsur pemenuhan rumusan undang-undang, dan unsur sifat melawan hukum sebagai perbuatan pidana dengan unsur kemampuan bertanggungjawab, unsur adanya kesalahan, dan unsur alasan penghapusan pidana sebagai pertanggungjawaban pidana.

2) Pandangan Dualistis, yaitu bahwa adanya pemisahan antara perbuatan pidana dengan pertanggungjawaban pidana, dimana jika hanya ada unsur perbuatan yang memenuhi rumusan undang-undang serta melawan hukum saja maka sudah cukup untuk mengatakan bahwa itu adalah tindak pidana dan dapat dipidana.

Selain dari kedua pandangan tersebut, unsur-unsur tindak pidana juga dikemukakan oleh para ahli hukum, unsur akan disampaikan menurut Moeljatno, R. Tresna, Vos, dan Jonkers. Menurut Moeljatno, unsur tindak pidana adalah :

1) Perbuatan;

2) Yang dilarang ( oleh aturan hukum );

3) Ancaman pidana ( bagi yang melanggar larangan ).

Menurut R. Tresna, Tindak Pidana terdiri dari Unsur-unsur, yaitu : 1) Perbuatan/ rangkaian perbuatan ( manusia );

2) Yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; 3) Diadakan tindakan penghukuman.


(28)

commit to user

Menurut batasan yang diberikan oleh Vos, unsur-unsur tindak pidana yaitu :

1) Kelakuan manusia; 2) Diancam dengan pidana;

3) Dalam peraturan perundang-undangan.

Menurut Batasan yang diberikan Jonkers, unsur-unsur Tindak Pidana antara lain :

1) Perbuatan;

2) Melawan hukum ( yang berhubungan dengan ); 3) Kesalahan ( yang dilakukan oleh orang yang dapat ); 4) Dipertanggungjawabkan.

Selain pendapat dari pakar ahli hukum, terdapat juga pandangan dari Undang-Undang ( kenyataan tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana itu dirumuskan menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang berlaku). Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu yang terdapat dalam KUHP, maka unsur-unsur tindak pidana yaitu :

1) Unsur tingkah laku ( aktif dan pasif ); 2) Unsur sifat melawan hukum;

3) Unsur kesalahan ( schuld ), terdiri dari kesengajaan, kelalaian atau culpa;

4) Unsur akibat konstitutif;

5) Unsur keadaan yang menyertai;

6) Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana; 7) Syarat tambahan untuk memperberat pidana; 8) Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana.

Perbuatan yang dapat dikategorikan termasuk di dalam suatu perbuatan melawan hukum atau tindak pidana atau tidak, maka dapat dilihat dari unsur-unsur perbuatan tersebut. Adapun yang termasuk dalam unsurunsur tindak pidana menurut Hazewinkel Suringameliputi :


(29)

commit to user

1) Unsur kelakuan orang:

2) Unsur akibat (pada tindak pidana yang dirumuskan secara materiil); 3) Unsur Psikis (dengan sengaja atau dengan alpa);

4) Unsur objektif yang menyertai keadaan tindak pidana, seperti di muka umum;

5) Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidananya perbuatan (pasal 164, 165 KUHP) disyaratkan tindak pidana terjadi;

6) Unsur melawan hukum.

c. Penggolongan Tindak Pidana

Penggolongan jenis-jenis tindak pidana didalam KUHP, terdiri atas kejahatan dan pelanggaran. Penggolongan untuk kejahatan di dalam Buku II KUHP dan pelanggaran didalam Buku III KUHP. Undang-undang hanya memberikan penggolongan kejahatan dan pelanggaran, tetapi tidak memberikan artian yang jelas. Para pembentuk KUHP berusaha untuk menemukan suatu pembagian yang lebih tepat mengenai jenis-jenis tindakan melawan hukum, semula telah membuat suatu pembagian yang disebut rechtsdelicten dan wetsdelicten.

Sesuai dengan penjelasan di atas tersebut didasarkan pada sebuah azas, yaitu :

1) Merupakan suatu kenyataan bahwa memang terdapat sejumlah tindakan-tindakan yang mengandung suatu ”onrecht” hingga orang pada umumnya memandang pelaku-pelakunya pantas untuk di hukum, walaupun tindakan tersebut oleh undang-undang tidak dinyatakan sebagai tindakan-tindakan yang terlarang didalam undang-undang. 2) Tetapi terdapat sejumlah tindakan-tindakan di mana orang pada

umumnya baru mengetahui sifatnya dari tindakan tersebut sebagai tindakan-tindakan yang bersifat melawan hukum, hingga pelakunya dapat dihukum setelah tindakan tersebut dinyatakan sebagai tindakan yang dilarang di dalam Undang-Undang.


(30)

commit to user

Perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran dalam KUHP ada kecenderungan untuk mengikuti pandangan kuantitatif, sekalipun ada penyimpangan dalam beberapa hal kejahatan dan pelanggaran mempunyai derajat yang sama (Bambang Poernomo,1982 : 96-97).

Perbuatan dapat dikatakan tindak pidana atau tidak, bukan hanya diukur dari unsur yang terdapat di dalamnya, tetapi pada dasarnya tindak pidana itu sendiri terbagi atas beberapa bagian yang mana di dalam pembagian tersebut diharapkan dapat mempermudah di dalam mencerna serta memahami semua aturan yang terdapat didalam peraturan perundangundangan, yang mana pembagian dari tindak pidana meliputi atas :

1) Tindak pidana kejahatan dan tindak pidana pelanggaran; 2) Tindak pidana formal dan tindak pidana materiil;

3) Tindak pidana dengan kesengajaan dan tindak pidana kealpaan; 4) Tindak pidana aduan dan tindak pidana bukan aduan;

5) Tindak pidana commissionis, tindak pidana omissionis, dan tindak pidana commissionis per omisionem commisa;

6) Delik yang berlangung terus dan delik yang tidak berlangsung terus; 7) Delik tunggal dan delik berganda;

8) Tindak pidana sederhana dan tindak pidana yang ada pemberatannya; 9) Tindak pidana ringan dan tindak pidana berat;

10) Tindak pidana ekoonomi dan tindak pidana politik.

2. Tinjauan tentang Hutan dan Illegal Logging

a. Pengertian tentang Hutan

Pada umumnya persepsi umum tentang hutan adalah penuh pohon-pohonan yang tumbuh tak beraturan atau suatu areal tertentu yang ditumbuhi pepohonan dan didiami berbagai jenis binatang. Pengertian hutan merujuk kepada aneka hal yang bersifat liar ( wild ), tumbuh sendiri


(31)

commit to user

atau tidak dipelihara ( natural ), atau untuk menekankan sifat-sifat liar dari sesuatu.

Dalam buku Sukardi bahwa hutan adalah sejumlah pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu , kelembaban, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan lingkungannya, akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan atau pepohonan baru asalkan tumbuh pada tempat yang cukup luas dan tumbuhnya cukup rapat baik secara horisontal maupun vertikal ( Sukardi, 2005 : 12 ).

Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dalam pengertian tentang hutan, yaitu :

1) Unsur lapangan atau lahan yang cukup luas; 2) Unsur pohon, flora, dan fauna;

3) Unsur lingkungan.

Selain definisi hutan ada juga definisi mengenai hukum kehutanan, Hukum Kehutanan adalah himpunan peraturan bidang kehutanan yang tertulis maupun tidak tertulis yang memberikan sanksi kepada pelanggarnya, dan mengatur hubungan hukum antara pengelolaan hutan, pengguna hutan dan hasil hutan beserta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dengan memperhatikan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

b. Pengertian tentang Illegal Logging

Berdasarkan unsur-unsur serta pembagian tindak pidana maka tindakan pembalakan liar atau sering disebut degan illegal logging termasuk dalam tindak pidana. Illegal logging meliputi serangkaian pelanggaran peraturan yang mengakibatkan eksploitasi sumber daya hutan yang berlebihan, pelanggaran-pelanggaran ini terjadi disemua lini tahapan industri kayu, misalnya pada tahap penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondongan, tahap pemrosesan dan tahap pemasaran dan bahkan meliputi pengunaan cara-cara korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan


(32)

commit to user

pelanggaran-pelanggaran keuangan, seperti penghindaran pajak, pelanggaran juga terjadi karena kebanyakan batas-batas administratif kawasan hutan nasional, dan kebanyakan unit-unit hutan produksi yang disahkan secara nasional yang beroperasi dalam kawasan ini, tidak diduga dilapangkan dengan melibatkan masyarakat setempat.

Dilihat dari uraian singkat dari arti illegall logging tersebut maka dapat digambarkan bahwa tindak pidana illegal logging merupakan tindak pidana yang sangat kompleks, sehingga diperlukannya usaha pencegahan sejak dini baik dalam bentuk penal ( hukum pidana ) dan non penal ( diluar hukum pidana ). Hal ini dianggap perlu karena dampak dari tindak pidana illegal logging tidak hanya berdampak buruk bagi sektor ekonomi saja, tapi di dalam kerusakan ekosistem dapat berakibat jangka panjang.

Mengenai istilah illegal logging, sampai saat ini belum ada terminologi yang jelas dan tegas, baik definisinya maupun ruang lingkup cakupan aktivitasnya. Namun demikian di masyarakat awam, istilah illegal logging lebih populer dan dikenal sebagai pengertian penebangan secara liar. Di dalam Buku Kajian Kebijakan Prioritas Departemen Kehutanan istilah illegal logging diartikan sebagai ”pembalakan haram” Penggunaan istilah illegal logging cenderung dipakai karena alasan kesederhanaan dan kepraktisan pengucapan dan oleh karenanya itu sehinga lebih mudah diingat.

Tidak adanya kejelasan dan ketegasan dalam pendefinisian maka mengakibatkan munculnya beberapa terminologi illegal logging yang beragam. Hal tersebut menyebabkan berbagai pihak membuat definisi sendiri sesuai domain dan kepentingannya masing-masing. Dengan demikian membuat ruang lingkup definisi illegal logging menjadi sangat beragam.

Ada beberapa aspek yang kemungkinan menjadi penyebab munculnya terminologi illegal logging beragam, antara lain:


(33)

commit to user

1) Aspek Padanan Bahasanya. Jika illegal adalah praktek tidak legal atau tidak sah, dan logging adalah pemanenan kayu, maka illegal logging mempunyai definisi sebagai praktek pemanenan kayu yang tidak sah. 2) Aspek Simplifikasi. Kondisi ini lahir atas dasar kepraktisan dan

kesederhanaan dalam memandang kasus dan kondisi permasalahan degradasi sumber daya hutan.

3) Aspek Integratif. Kondisi ini lahir karena ketidakpuasan dalam dua pendefinisian sebelumnya. Illegal logging didefinisikan sebagai praktek pemanenan kayu yang meliputi juga proses-prosesnya yang tidak legal atau tidak mengikuti prosedur dan tata cara yang diteapkan. Proses tersebut terdiri dari proses menuju pemanenan kayu meliputi perencanaan, izin dan modal, aktivitas pemanenan dan pasca pemanenan meliputi pengangkutan, tata niaga, pengolahan, hingga penyelundupan. Pada akhirnya, definisi illegal logging meliputi juga ruang lingkup illegal logging-nya sendiri serta ruang lingkup illegal processing dan illegal trade.

Beraneka ragam pengertian illegal logging menurut berbagai pihak dapat diuraikan sebagai berikut:

1) Pengertian Menurut Sumber Kehutanan

Istilah illegal logging mulai dikenal dan memasyarakat sejak istilah itu tercantum di dalam dokumen resmi peraturan perundang-undangan tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Ilegal ( illegal logging ) dan Peredaran Hasil Hutan Ilegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting. Dengan demikian secara harfiah Inpres tersebut mengartikan Illegal Logging sebagai penebangan kayu ilegal atau tidak sah. Kemudian di dalam ketentuan lain, dengan substansi materi yang diatur sama, dokumen tertulisnya ”Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.” Dengan demikian dapat


(34)

commit to user

dianalogikan bahwa Inpres ini mengartikan Illegal Logging sebagai penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan.

Di dalam sumber lain dari Buku Pintar Penyuluhan Kehutanan Kejaksaan menjelaskan bahwa:

Penebangan liar atau illlegal logging atau penebangan kayu secara tidak sah adalah kegiatan penebangan kayu/pohon-pohon di kawasan hutan negara tanpa izin yang sah. IIlegal logging juga diartikan sebagai penebangan di luar areal/blok tebangan yang telah ditentukan, penebangan di kawasan lindung, dan penebagan di luar batas izin/hak pengusahaan hutan. (Anonim, Buku Pintar..., Loc. Cit)

Sedangkan salah satu sumber dari Departemen Kehutanan, yaitu: Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan medefinisikan sebagai berikut: Illegal Logging sebagai kegiatan pemanenan, pengangkutan, pengolahan, dan pemasaran kau bulat alam atau tanaman dari suatu kawasan hutan negara maupun kawasa hutan hak yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2) Pengertian Menurut Lembaga dan Pendapat Pakar

Banyak kalangan, baik lembaga atau institusi maupun para pakar memberikan pengertian terhadap istilah illegal logging.

a) Lembaga Swadaya Masyarakat Forest Wacht Indonesia dan Global Forest Wacht

Forest Wacht Indonesia dan Global Forest Wacht menyebut illegal logging sebagai ”pembalakan ilegal” yang digambarkan sebagai semua praktek atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengolahan, dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan hukum Indonesia.

b) Menurut Para Pakar

Menurut Sumitro, yang dikutip Alip Winarno et. al., “dari sisi administratif yang dimaksud dengan illegal logging adalah


(35)

commit to user

pemungutan kayu di luar yang direncanakan oleh Departemen Kehutanan melalui RKT.”

Sedangkan menurut Haba yang dikutip Nurdjana et.al.,

Luasnya jarigan kejahatan illegal loging yang mencerminkan luasnya pengertian illegal logging itu sendiri, menunjukkan adanya suatu rangkaian kegiatan yang merupakan suatu mata rantai yang saling terkait mulai dari sumber atau produsen kayu ilegal atau melakukan penebangan kayu secara ilegal hingga ke konsumen atau pengguna bahan baku kayu. ( Ibid ) 3) Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

Kehutanan. Cakupan makna illegal logging menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, antara lain:

a) Pasal 50 ayat (3) huruf “e” dan huruf “f” :

Huruf e : “menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang”.

Huruf f : “menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah”.

b) Pasal 50 ayat (3) huruf “h” :

“mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan”.

c) Pasal 50 ayat (3) huruf ”j” dan huruf “k”

Huruf j : “ membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang”.


(36)

commit to user

Huruf k : “ membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang”.

c.

Faktor-Faktor Penyebab Praktek Illegal Logging

Banyak faktor yang menyebabkan tumbuh dan berkembangnya Illegal logging di Indonesia, baik faktor yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Akar dari semua faktor tersebut adalah praktek korupsi yang sudah terstruktur dalam birokrasi-birokrasi pemerintah. Faktor-faktor tersebut diantaranya:

1) Kegagalan Pasar Hasil Hutan

Faktor ini secara tidak langsung berpengaruh terhadap munculnya praktek Illegal logging di Indonesia. Pasar gagal dalam menyediakan kayu legal untuk kebutuhan industri sehingga timbulah pasar kayu ilegal, baik di dalam maupun di luar negeri.

2) Praktek Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Korupsi, kolusi, dan nepotisme yang mendarah daging dalam struktur birokrasi pemerintah ataupun institusi hukum dan peradilan menjadi faktor utama tumbuh dan berkembangnya praktek Illegal logging di Indonesia. Aksi suap-menyuap dalam pelaksanaan praktek Illegal logging telah menjadi hal biasa untuk memperlancar praktek tersebut. Praktek suap-menyuap tersebut berkembang mulai dari pemerintah, baik pusat maupun daerah, dan juga aparat hukum dan keadilan. 3) Kebijakan Pemerintah tentang Kehutanan

Pemerintah, baik lokal atau pusat, telah mengeluarkan peraturan-peraturan yang secara tidak langsung mendukung tumbuh dan berkembangnya praktek Illegal logging. Kebijakan tersebut biasanya dibuat berdasarkan agenda-agenda tersembunyi anggota dewan. 4) Ketidakpastian dan Keringanan Hukum

Sanksi hukum yang dikenakkan kepada para cukong kayu Illegal logging terlalu ringan sehingga mereka tidak terdisinsentif untuk tidak


(37)

commit to user

melakukan praktek tersebut. Dan juga Undang-Undang yang melandasi hukum tersebut terkdang tidak jelas dan masih dimungkinkan adanya bias sehingga para cukong kayu ilegal masih mempunyai celah untuk lolos dari hukum.

5) Kurangnya koordinasi antara Departemen-departemen pemerintah. Koordianasi antar departemen-depertmen pemerintah dan juga aparat hukum dan peradilan kurang sehingga menimbulkan celah untuk melakukan perbuatan suap-menyuap untuk memperlancar dalam lingkungan departemen tertentu.

6) Integritas dan transparansi antar aparat hukum rendah.

Integritas penegak hukum (Polisi hutan, Polri, Jaksa, TNI, hakim) yang sangat rendah yang berpotensi melahirkan kompromi-kompromi dalam proses penegakan hukum. Transparansi pelaksanaan hukum yang rendah juga memungkinkan terjadinya praktek korupsi dan kolusi mendukung Illegal logging menjadi lebih mudah.

3. Tinjauan tentang Putusan Mahkamah Agung

Penegakan hukum di Indonesia dapat diibaratkan bagai menegakkan benang basah. Law enforcement hanya slogan dan retorika tak bermutu. Kenyataan di lapangan menunjukkan, hukum bukan lagi keadilan melainkan identik dengan uang. Hukum dan keadilan dapat dibeli, pengadilan tak ubahnya seperti balai lelang. Siapa yang menjadi pemenang, bergantung pada jumlah penawaran. Pemenangnya tentu yang mampu memberikan penawaran tertinggi. Kalau lelang dilakukan dalam amplop tertutup, di pengadilan tawar menawar dilakukan dalam sidang terbuka. Akibatnya, hukum menjadi barang mahal di negeri ini. Setidaknya ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, mencakup :

a. substansi hukum, yaitu peraturan perundang-undangan;

b. faktor struktur hukum, yaitu penegak hukum (yang menerapkan hukum); c. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;


(38)

commit to user

d. faktor masyarakat, yaitu lingkungan tempat hukum tersebut berlaku atau diterapkan,dan;

e. faktor budaya, yaitu hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Dari faktor-faktor tersebut, bagi sosiolog hukum yang lebih diutamakan adalah integritas penegak hukum ketimbang substansi hukumnya. Soetandyo Wignyosubroto mengutip pendapat Tavernemenyatakan, berikanlah aku hakim yang baik, jaksa yang baik, dan polisi yang baik, meski dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang dicapai pasti akan lebih baik.

a. Pengertian Mahkamah Agung

Pengertian mahkamah agung menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung :

Menurut Pasal 1 yang berbunyi :

“ Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ”.

Menurut Pasal 2 yang berbunyi :

“ Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya ”.

Berdasarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang kedudukan dan hubungan Tata kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/ atau antar lembaga-lembaga Tinggi Negara dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung diberi kekuasaan dan kewenangan untuk :

1) Memeriksa dan memutus; 2) Permohonan kasasi;


(39)

commit to user

3) Sengketa tentang kewenangan mengadili;

4) Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

5) Memberikan pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada Lembaga Tinggi Negara;

6) Memberikan nasihat hukum kepada Presiden selaku Kepala Negara untuk pemberian atau penolakan grasi;

7) Menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundangan-undangan dibawah undang-undang;

8) Melaksanakan tugas dan kewenagan lain berdasarkan Undang-Undang.

Untuk dapat menyelenggarakan kekuasaan dan kewenangan tersebut dengan sebaik-baiknya, Mahkamah Agung melaksanakan hal-hal sebagai berikut :

1) Wewenang pengawasan meliputi : a) Jalannya peradilan;

b) Pekerjaan pengadilandan tingkah laku para hakim di semua lingkungan peradilan;

c) Pengawasan yang dilakukan terhadap penasihat hukum dan notaris sepanjang yang menyangkut peradilan;

d) Pemberian peringatan, teguran, dan petunjuk yang diperlukan. 2) Meminta keterangan dan pertimbangan dari :

a) Pengadilan disemua lingkungan peradilan; b) Jaksa Agung;

c) Pejabat lain yang diserahi tugas penuntutan perkara pidana.

3) Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan.

4) Mengatur sendiri administrasinya baik mengenai administrasi peradilan maupun administrasi umum.


(40)

commit to user

b. Pengertian Putusan

Putusan hakim dapat diartikan sebagai putusan pengadilan yang merupakan hasil akhir dari proses peradilan tersebut berupa putusan pengadilan, atau sering juga digunakan kata kata putusan hakim, oleh karena hakimlah yang memimpin sidang pengadilan itu. Peradilan menunjuk kepada proses mengadili, sedang pengadilan merupakan salah satu lembaga dalam proses tersebut. Lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam proses mengadili adalah kepolisian, kejaksaan, dan advokat.

Macam-macam putusan hakim, menurut isinya maka putusan hakim pada tahap akhir ada tiga macam, yaitu :

1) Putusan Pemidanaan ( strafrecht )

Putusan pemidanaan adalah putusan yang berisi penghukuman atau putusan yang berisi pernyataan salah terdakawa. Hal ini sesuai dengan asas dalam hukum pidana, tiada pidana tanpa kesalahan jo. Pasal 193 ayat (1) KUHAP jo. Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Pasal 183 KUHAP. Jadi terdakwa dipidana sebagai akibat kesalahan.

2) Putusan Bebas (vrijspraak)

Apabila didakwakan kepadanya tidak terbukti dengan sah dan menyakinkan, maka hakim memutus bebas terhadap terdakwa (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).

3) Putusan Lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van allerechtsvervolging)

Putusan ini dijatuhkan jika perbuatan terdakwa yang terbukti itu tidak merupakan suatu tindak pidana baik kejahatan maupun pelanggaran (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).

Terhadap putusan hakim yang bebas maupun yang lepas dari segala tuntutan hukum mempunyai akibat hukum yang sama yaitu tidak adanya pidana sehingga terdakwa segera dibebaskan dalam hal ia ditahan, serta biaya perkara ditanggung dan terdakwa harus direbilitir. Terhadap putusan


(41)

commit to user

bebas tidak dapat diajukan banding atau diajukan kasasi, tetapi terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat diajukan permohonan kasasi.

B. Kerangka Pemikiran

1. Bagan Kerangka Pemikiran

Tindak Pidana ILLEGAL LOGGING

UU NO. 41 Tahun 1999 tentang KEHUTANAN

BANDING Pengadilan Tinggi

Pengadilan Negeri

PUTUSAN

KASASI

MAHKAMAH AGUNG


(42)

commit to user

2. Penjelasaan Kerangka Pemikiran

Tindak Pidana Illegal Logging telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan , itu digunakan sebagai pijakan yang kuat bagi para penegak hukum dalam melakukan pemidanaan dengan tegas praktek-praktek tindak pidana illegal logging (pembalakan liar) yang sekarang masih banyak terjadi, sehingga banyak kerugian yang dialami Negara karena praktek illegal logging tersebut. Pada kasus Tindak Pidana Illegal Logging (pembalakan liar) yang dilakukan oleh tersangka, bahwa tersangka telah mengangkut hasil hutan ( kayu ) yang tanpa dilengkapi oleh Surat-surat yang sah, oleh sebab itu tersangka ditangkap oleh penegak hukum dan dtangani serta diproses di Pengadilan Negeri setempat untuk dapat mempertanggungkan perbuatannya. Dalam penanganan kasus tersebut dari pengadilan negeri sampai dengan Mahkamh Agung.


(43)

commit to user

31 BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Praktek Pemanfaatan hutan, utamanya dalam hal pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam banyak ditemui adanya pelanggaran hukum yang dapat dikategorikan sebagai illegal logging. “Dalam operasi yustisi, untuk menjerat para pelaku pada umumnya mendasari pada Pasal 50, ayat (3), dan Pasal 78, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.

Di samping, itu juga mendasari pada Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan, dan peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan yang berada di bawahnya.

Secara faktual bahwa dalam pelaksanaan pemanfaatan hasil hutan kayu tersebut muncul adanya berbagai penyimpangan, yang dapat kategorikan sebagai tindakan melanggar hukum antara lain illegal logging atau penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan. Pelanggaran hukum illegal logging ini sebenarnya telah cukup lama terjadi dengan tingkat pelanggaran yang berbeda-beda dari waktu ke waktu.

“Penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan samakin menjadi-jadi sejak tahun 1998. Mengingat besarnya luasan kerusakan hutan kita, maka pelanggaran hukum penebangan kayu secara ilegal ini perlu mandapatkan penanganan serius. Pelanggaran ini bukan hanya di hutan produksi, tetapi juga di hutan lindung dan hutan konservasi. ”Mulai dari tahun 1991, sekitar 580 konsesi usaha kayu telah menguasai lahan yang jumlahnya lebih dari 60 juta ha, hampir sepertiga wilayah daratan negeri tersebut dan lebih dari 41 persen lahan yang dinyatakan sebagai hutan, sebagaimana ditulis Djamaludin pada tahun 1991.

Proses Panjang dan Merepotkan Para Pencuci Kayu, Seperti halnya pelaku pembunuhan, pelaku illegal logging mau tidak mau harus menyisakan satu alat buktinya. Sisa pohon yang ditebang sebagai korban, gergaji mesin sebagai alat, dan kayu yang ditebang itu sendiri sebagai motif dan sekali


(44)

commit to user

lagi sekaligus proceed of crime. Apabila kayu tersebut tetap berada di hutan tentu tidak ada masalah. Tapi, pelaku tentunya harus membawa proceed of crime ini keluar, karena pada kayu itulah terdapat nilai kekayaan yang ingin diperolehnya. Tentunya tidak seperti membawa uang, membawa kayu apalagi dalam jumlah besar, akan sangat mencurigakan. Oleh karena itu pelaku illegal logging perlu suatu hal yang dapat ‘melegalkan’ peredaran kayu tersebut. Hal tersebut yaitu Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan. Akhirnya setelah melalui beberapa proses korupsi, SKSHH pun didapat. Sampai tahap ini saja setidaknya tiga perundang-undangan sudah dilanggar ( http://my.opera.com/Grahat/blog ).

Sebelumnya, illegal logging sudah ada namun tidak separah yang terjadi pada tahun itu dan tahun-tahun berikutnya. Maraknya praktek illegal logging ini menimbulkan keprihatinan mendalam dari berbagai kalangan baik dari dalam maupun luar negeri. Tentu saja muncul pertanyaan, mengapa praktek illegal logging terus berlangsung.

A. Deskripsi Putusan

Sebagaimana diketahui bahwa di dalam proses penyelesaian perkara pidana dalam jalur litigasi, harus melewati pemeriksaan perkara pidana tingkat pertama, dimana ada tiga kegiatan pokok, yaitu :

1) Penyidikan, 2) Penuntutan,

3) Persidangan dipengadilan Negeri.

Setelah (3) ketiga kegiatan pokok tersebut dilalui dan diakhiri dengan pembacaan vonis oleh majelis hakim, berarti proses pemeriksaan perkara pidana tingkat pertama berakhir. Namun setelah vonis dibacakan, perkara belum tentu tuntas dalam arti putusanmenjadi berkekuatan hukum tetap. Baru dikatakan selesai dalam arti tuntas (berkekuatan hukum tetap) apabila jaksa penuntut umum atau terdakwa menerima putusan, atau kedua-duanya tidak menentukan sikap setelah hari ketujuh setelah putusan dibacakan. Putusan tidak menjadi tetap apabila jaksa penuntut umum atau terdakwa, ataupun kedua-duanya tidak menerima vonis yang


(45)

commit to user

dijatuhkan majelis hakim dan melawan putusan itu dengan upaya hukum (Adami Chazawi, 2006 : 3).

Upaya hukum banding dapat diajukan ke Pengadilan Tinggi oleh pihak (jaksa penuntut umum atau terdakwa atau kedua-duanya) sesuai dengan syarat yang telah ditentukan. Syarat tersebut yakni apabila : (1) amar putusan pengadilan tingkat pertama bukan pembebasan dan lepas dari tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum, dan bukan pengadilan dalam perkara dengan pemeriksaan acara cepat; (2) diajukan dalam waktu 7 ( tujuh ) hari sejak putusan diucapkannya putusan. Jika salah satu terdakwa yang tidak hadir waktu dibacakannya putusan, jangka waktu pengajuan banding yaitu selama 7 (tujuh) hari sejak disampaikannya pemberitahuan putusan oleh pengadilan yang memutus; (3) pemohon banding harus menandatangani pernyataan tidak menerima putusan dan mengajukan banding di kepaniteraan pengadilan negeri yang memutus; (4) pemohon banding tidak harus membuat memori banding, tetapi sebaiknya perlu untuk menyampaikan memori banding yang isinya membuat tentang hal yang menjadi obyek keberatan dan alasan-alasan keberatan (Adami Chazawi, 2006 : 223-224).

Selanjutnya adalah upaya hukum kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung. Upaya hukum ini diajukan oleh pihak yang merasa tidak puas atas putusan pengadilan yang diterimanya. Putusan yang dapat dilawan dengan upaya hukum kasasi adalah semua putusan terakhir, selain putusan Mahkamh Agung yang amarnya bukan pembebasan (Adami Chazawi,2006 : 236).

Adapun untuk diterimanya permohonan kasasi, harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil. Syarat formil yaitu : (1) permohonan kasasi harus menandatangani pernyataan kasasi di kantor kepaniteraan pengadilan yang memutus pertama kali dalam waktu 14 (empat belas) hari. Apabila melampaui 14 hari dianggap menerima putusan dan permohonan kasasinya tidak akan di terima Mahkamh Agung ; (2) pemohon kasasi harus mengajukan memori kasasi yang memuat alasan-alasan menoilak atau keberatan terhadap putusan yang dilawan kasasi dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak pemohon menyatakan mengajukan upaya kasasi. Lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari, permohonan


(1)

commit to user

terdakwa. Lamanya pidana penjara yang dijatuhkan adalah selama 1 (satu)

tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 20.000.000,00 ( dua puluh

juta rupiah ) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka

akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 ( tiga ) bulan.

Kemudian , terhadap putusan Pengadilan Tinggi Makasar tersebut

Jaksa penuntut Umum sebagai pemohon banding ternyata sudah puas akan

putusan majelis hakim, tetapi di lain pihak putusan dari Pengadilan Tinggi

membuat terdakwa tidak terima akan Putusan terhadap diri terdakwa oleh

karena itu terdakwa mengajukan permohonan kasasi terhadap Putusan

Pengadilan Tinggi tersebut. Mengingat akan akta tentang permohonan

kasasi Nomor 01/Akta Pid/2006/PN.Wnp, yang dibuat oleh Panitera pada

Pengadilan Negeri Watansoppeng yang menerangkan bahwa pada tanggal

20 juli 2006 Terdakwa mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan

Pengadilan Tinggi tersebut. Sehingga Mahkamah Agung berdasarkan

pertimbangannya tersebut memutuskan untuk menolak permohonan kasasi

dari Pemohon Kasasi atau Terdakwa, serta menetapkan uang sebesar Rp.

2.500,00 ( dua ribu lima ratus rupiah ) dibebabankan kepada pemohon

kasasi atau terdakwa untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi

ini.

b.

Ketentuan Pidana yang ada dalam Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidananya

dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam

rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan

dari pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang

melanggar hukum di bidang kehutanan ini adalah agar dapat menimbulkan

efek jera bagi pelanggar hukum di bidang kehutanan (penjelasan umum

paragaraf ke 18 <delapan belas> UU Nomor 41 Tahun 1999). Efek jera


(2)

commit to user

yang dimaksud bukan hanya kepada pelaku yang telah melakukan tindak

pidana kehutanan, akan tetapi juga ditujukan kepada orang lain yang

mempunyai kegiatan dalam bidang kehutanan sehingga timbul rasa enggan

melakukan perbuatan melanggar hukum karena sanksi pidana yang berat.

Ada tiga jenis pidana yang diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 yaitu pidana penjara, pidana denda, dan pidana

perampasan benda yang digunakan untuk melakukan perbuatan pidana.

Ketiga jenis pidana ini dapat pula dijatuhkan kepada pelaku secara

kumulatif. Ketentuan pidana tersebut dapat dicermati dalam rumusan

sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999. Jenis pidana itu merupakan sanksi yang diberikan kepada

pelaku yang melakukan kejahatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999.

Ketentuan Pidana yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa terdakwa dalam putusan

pengadilan negeri didakwa dengan dakwaan Pasal 50 ayat (3) Jo Pasal 78

ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Bunyi

dari kedua Pasal tersebut adalah sebagai berikut :

a)

Pasal 50 ayat (3) huruf h Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan menyatakan bahwa :

” Setiap orang dilarang mengangkut, menguasai, atau memiliki

hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat

keterangan sahnya hasil hutan”;

b)

Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan menerangkan bahwa :

” Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana

penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp

10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) ”.


(3)

commit to user

Dalam ketentuan pidana yang ada di dalam putusan Pengadilan Negeri

Watansoppeng, oleh karena itu kepada Terdakwa dengan pidana penjara

selama 6 (enam) bulan dan 20 (dua puluh) hari dan denda sebesar

Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan.

Sedangkan Ketentuan Pidana yang ada dalam Putusan Pengadilan

Tinggi Makassar, Putusan Pengadilan Tinggi ini untuk memperbaiki

Putusan Pengadilan Negeri yang memutuskan sebelumnya, sepanjang

mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan atas diri terdakwa. Lamanya

pidana penjara yang dijatuhkan adalah selama 1 ( satu ) tahun 6 (enam)

bulan dan denda sebesar Rp. 20.000.000,00 ( dua puluh juta rupiah )

dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka akan diganti

dengan pidana kurungan selama 3 ( tiga ) bulan.

Ketentuan Pidana yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan yaitu menurut Pasal 78 ayat (7), berbunyi

sebagai berikut : ” Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp

10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) ”.

Menurut Penulis, bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor

2143K/Pid/2006 tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebab Majelis Hakim dalam memutus

perkara menggunakan dasar hukum Undang-Undang ini

yaitu

menggunakan Pasal 50 ayat (3) jo Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Tetapi Majelis hakim dalam menjatuhkan ketentuan pidana mungkin

terlalu sedikit, sebab terdakwa benar-benar bersalah dan terbukti kalau

terdakwa mengangkut kayu tanpa dilengkapi dengan Surat Keterangan

Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Seharusnya Terdakwa menerima pidana

lebih dari 1 (satu) tahun dan juga denda lebih dari Rp. 20.000.000,00 (dua

puluh juta rupiah), supaya terdakwa ada rasa jera dalam melakukan Tindak

Pidana

Illegal Logging

tersebut.


(4)

commit to user

65

BAB IV

PENUTUP

A.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penulisan dan pembahasan yang telah dilakukan, maka

dapat Penulis ambil kesimpulan sebagai berikut :

1.

Terkait mengenai tindak pidana

Illegal Logging

dan berdasarkan perkara

yang telah diputus Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor

2143K/Pid/2006, maka dapat dinyatakan bahwa tindak pidana

illegal logging

adalah tindak pidana mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang

tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.

Sehingga kaidah Hukum terdapat pada Putusan Mahkamah Agung tersebut

adalah Pasal 50 ayat (3) huruf h, dan Pasal 78 ayat (7) Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan . Setidak-tidaknya dalam perkara

tersebut sudah dapat mewakili dari sekian banyaknya kasus illegal logging

yang terjadi di Negara ini serta dapat ditarik suatu kesimpulan yang lain

bahwa Pelaku Tindak Pidana

Illegal Logging

adalah mereka-mereka yang

hanya mengangkut kayu-kayu tanpa dilengkapi Surat Sahnya Hasil Hutan,

sedangkan pemilik modalnya atau Cukongnya sangatlah sulit untuk ditangkap

dan dijerat hukuman sebab, Cukongnya itu berpindah-pindah tempat itu

menyebabkan kesulitan bagi penegak hukum untuk menangkapnya. Salah

satu dari perkara tersebut yaitu dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor

2143K/Pid/2006 dalam perkara tindak pidana

illegal logging.

Pada perkara

yang

diputus

Mahkamah

Agung

dalam

putusannya

bernomor

2143K/Pid/2006 . Pelakunya adalah Orang yang mengangkut kayu dari hutan

untuk dibawa ketempat lain. Pelaku tidak memiliki izin resmi berupa surat

keterangan sahnya hasil hutan (SKSHH), dan hanya membawa surat

keterangan atau pengantar dari desa sering dan SKU saja bahwa kayu-kayu

yang diangkutnya adalah milik perorangan. Disisi lain ini merupakan suatu

contoh belum mengertinya masyarakat atas Undang-Undang juga tidak


(5)

commit to user

mengakomodasi pengaturan mengenai siapa-siapa saja yang dapat dikenakan

sanksi pidana terkait perbuatannya yang melanggar hukum dalam

Undang-Undang ini,serta belum sempat diaturnya secara rincimengenai hutan adat,

mengingat masyarakat adat adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan

hutan disekitar tempat tinggal tersebut.

2.

Penggunaan kaidah hukum oleh hakim yang memutus perkara dalam putusan

yang telah incracht atau sudah pasti dan sudah mempunyai kekuatan hukum

tetap. Semua itu telah benar dan telah sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku, yaitu Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan. Namun dalam pemberian sanksi pidananya terhadap

pelaku terlalu relatif ringan, dan tidak akan mendapatkan efek jera bagi

pelakunya, karena Undang-Undang yang dipakai memang tidak mengatur

mengenai batas minimum pemberian sanksi pidana. Yang mana menurut

penulis belum mendapatkan atau memberikan rasa kepuasan bagi masyarakat

yang mendambakan tegaknya hukum dan keadilan. Hal ini sangatlah

beralasan karena perbuatan melawan hukum ini sangat merugikan dan

berdampak negatif cukup besar terhadap upaya untuk mewujudkan suatu

Negara yang makmur dan sejahtera.

B.

Saran

Dari Penulisan Hukum yang penulis lakukan, ada beberapa saran yang

dapat disampaikan, yaitu sebagai berikut :

1.

Definisi dan pengertian tentang

illegal logging

agar lebih diperjelas lagi,

sehingga dapat memudahkan para pihak terutama para penegak hukum agar

tidak mengalami kesulitan dalam menetapkan perbuatan seseorang, apakah

termasuk tindak pidana

illegal logging

atau tidak;

a.

Ada pemberian batas minimum khusus mengenai sanksi pidana setiap

perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana

illegal logging

, agar

penegak hukum ( khususnya bagai Hakim ) tidak sewenag-wenang dalam


(6)

commit to user

menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku. Hal ini juga dimaksudkan

untuk memberikan rasa keadilan demi tegaknya hukum;

b.

Adanya koordinasi lebih ditingkatkan lagi antara para penegak hukum

yang bergerak dilapangan, seperti Departemen Kehutanan, TNI, dan

POLRI dalam melakukan pengawasan di sejumlah wilayah yang rawan,

sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan atau bahkan lepas

tangan karena merasa bukan kewenangannya.

2.

Diantara Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dengan

Putusan Mahkamam Agung harus lebih disesuaikan lagi dalam penjatuhan

sanksi Pidana agar pelaku kejahatan merasa Jera.

a.

Memberikan pengaturan tentang batasan-batasan secara jelas agar dapat

memudahkan pemerintah setempat di dalam memberikan ijin hak

pengusaha hutan (HPH) kepada pengusaha kayu, sehingga diharapkan

dapat mengontrol kegiatan usaha tersebut;

b.

Untuk menghindari kriminalisasi terhadap masyarakat dalam operasi

pemberantasan PKI (Penebangan Kayu Illegal), sudah menjadi

keniscayaan bahwa konflik-konflik kehutanan dan tata batas hutan harus

diselesaikan.