Langkah-langkah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla dalam penyelesaian konflik Aceh

(1)

LANGKAH-LANGKAH PEMERINTAHAN

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO-JUSUF KALLA

DALAM PENYELESAIAN KONFLIK ACEH

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Sosial

Oleh:

R O H A Y A T I NIM. 101033221846

JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/ 2007 M


(2)

Pengesahan Tim Penguji

Skripsi yang berjudul Langkah-Langkah Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla Dalam Penyelesaian Konflik Aceh, telah diujikan di dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushulludin dan Filsafat Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal……… Skripsi ini telah diterima sebagai salah

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Program Strata Satu (S-1) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, ………

Ketua Sekretaris

Drs. Agus Darmadji, M.Fil Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag

Nip. 150.262.447 Nip. 150.270.808

Penguji I Penguji II

……… ………..

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Bambang Pranowo, M Dra. Haniah Hanafie,


(3)

KATA PENGANTAR

ا

ا

ا

ا

م

و

ر

ا

و

آ

ﺎﺗ

Alhamdulillahirabbil’alamin, rasanya bibir dan tangan ini tak

sanggup untuk menyatakan dan menuliskan kebahagiaan terindah

yang kurasakan atas pribadi-Mu ya Allah. Segala penghargaan, pujian

dan penyembahan syukur, kunaikkan kepada-Mu, Allah pencipta

kehidupan ini yang tanpa-Mu aku tak ada, yang tanpa-Mu aku tak

merasakan kehidupan yang sejati. Benteng kekuatanku di dalam

segala kondisi terberat di kehidupanku, yang senantiasa ada untuk

menolong dan menopang diriku.

Terima kasih ya Allah atas kesempatan dan kemampuan yang

Kau berikan bagiku untuk melewati perjalanan luar biasa, dalam

proses penyelesaian skripsi ini.

Terima kasih ya Allah atas kesempatan dan kemampuan yang

Engkau berikan untuk menyelesaikan skripsi ini. Sungguh hanya

karena anugerah-Mu, skripsi ini dapat terselesaikan dan ini akan

kujadikan sebagai anugerah terindah bagi seorang biasa seperti Yati

ini……..!


(4)

Selesainya skripsi ini, juga tidak terlepas dari bantuan dan

dorongan yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, rasa

terima kasih yang tulus penulis sampaikan kepada :

1.

My beloved parents, Bapak Rimun dan Ibu Icih, yang tiada

henti-hentinya melimpahkan kasih sayang kepada penulis, memberi

dukungan moril dan materil hingga penulis bisa menyelesaikan

skripsi ini.

2.

Bapak Drs. M. Amin Nurdin, M.A, selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat.

3.

Bapak Prof. Dr. Bambang Pranowo, selaku Pembimbing I dan Ibu

Dra. Haniah Hanafie, M.Si, selaku Pembimbing II yang senantiasa

memberikan saran, nasehat, sabar, selalu bersedia meluangkan

waktunya untuk membimbing dan membantu penulis agar segera

menyelesaikan skripsi ini.

4.

Bapak Drs. Agus Darmadji, M.Fil, selaku Ketua Jurusan dan Ibu

Dra. Wiwi Siti Sajaroh, MA, selaku Sekretaris Jurusan yang baik

dan sabar menghadapi penulis dalam proses pengajuan judul

hingga selesainya skripsi ini.

5.

Para Bapak dan Ibu Dosen PPI yang telah memberikan banyak

ilmu bermanfaat, khususnya Bapak Drs. Chaider S. Bamualim, MA


(5)

(terima kasih atas sarannya). Hanya Allah SWT yang dapat

membalas segala amal kebaikan kalian!.

6.

Seluruh staff Perpustakaan Utama, Perpustakaan fakultas

Universitas Islam Negeri Jakarta, Perpustakaan Nasional dan

Perpustakaan Universitas Indonesia atas bantuannya

mempermudah penulis mendapatkan sumber-sumber skripsi yang

diperlukan.

7.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, khususnya kepada Ibu

Thung Ju Lan atas diskusi, saran-saran dan buku-bukunya yang

gratis (tis……tis……tis). Kapan kita bisa jumpa lagi…..?.

8.

Adik-adikku Iwan Hermawan, Iman Suparman dan Ahmad Hafidz

Fadhlullah yang selalu menghibur penulis dikala merasa sedih dan

susah.

9.

Keluarga besar Bapak H. Muhasan Yusuf, BA dan Ibu Hj.

Komariyah. Untuk Kak Hj. Masyitoh, S.Ag, Mpo Watun, Ne2nk

dan Nin@ yang selalu mengingatkan dan mensupport penulis

menyelesaikan skripsi secepatnya.

10.

Teman-teman PPI 2001-2002 yang akan selalu menjadi kenangan,

Bang Muhid (yang slalu meluangkan waktu), Ria, Hamdi, Zie,

Agus, si imoet Devy, Jemut, Mimiz, Ida, Susi, Nila, Lele, Lela,


(6)

Asep, Wahyoe (terima kasih yang tulus atas pelajarannya yang

sangat berharga), Eby, Manaf dan yang lainnya (ma’af penulis

tidak menuliskan satu-persatu, tanpa mengurangi rasa terima kasih

yang tulus tuk kalian!). I Love U all and forever.

11.

Kak Edoy dan te’ Ida yang ada di Garut (terima kasih untuk

motivasinya dalam memulai pembuatan skripsi!).

12.

Mas Ambon, Mas Supri, Non Yanti (Cepat lulus ya non!),

Demplon, Mpo’ Mila, Bang Yadi, Arie, Ayoe, Mpo’ Linda, Imam

dan kawan-kawan Pencinta Alam yang tergabung dalam “Wanakda

dan Gempa”, yang tidak bisa penulis tuliskan satu-persatu

(Thank’s ya atas pengertian dan dorongan kalian dan kapan kita

mendaki lagi?).

13.

Terakhir tapi yang utama di hati penulis, My beloved husband

Sudrajat, yang telah memberikan banyak dukungan, waktu, tenaga

untuk memotivasi penulis serta menyemangati penulis untuk tidak

mudah menyerah dalam menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih

untuk cinta, kasih sayang dan memberikan rasa nyaman yang

“abang” berikan!. Love U Sayang!.

Serta untuk seluruh teman-teman dan pihak-pihak yang tidak

bisa dituliskan satu-persatu, yang ikut serta membantu penulis untuk


(7)

menyelesaikan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih yang

sedalam-dalamnya.

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, penulis masih membutuhkan kritik dan saran yang

membangun agar skripsi ini kelak bisa bermanfaat bagi pembaca.

Penulis juga mohon maaf jika didalam skripsi ini terdapat kata-kata

yang kurang berkenan, mengingat penulis hanya seorang manusia

biasa yang tidak luput dari kesalahan.

Jakarta,

02

Oktober

2007


(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masih teringat dengan jelas dalam benak, tragedi yang meluluh-lantahkan Aceh yang dikenal sebagai tanah rencong itu pada 26 Desember 2004 lalu, yang begitu banyak menyisakan kepiluan yang begitu mendalam, akibat dari gempa dan tsunami yang menambah pedihnya tragedi yang selama ini selalu akrab dan mewarnai kehidupan di Aceh.

Bencana gempa dan tsunami, pada akhirnya dapat menghentikan peperangan antara Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang sudah mencapai tingkat eskalasi tang teinggi karena sudah melibatkan kekuatan bersenjata dan pada tahun 2003 sudah terjadi perang terbuka dalam skala yan meluas ke berbagai wilayah di Aceh.1

Dengan demikian, pada periode itu konflik yang mungkin awalnya tidak realistik sudah menjadi realistik karena jatuhnya korban di kedua belah pihak dan bahkan menimbulkan dendam di antara mereka yang tampak dari serang-serangan balasan yang lebih gencar yang dilancarkan masing-masing pihak.

1

Thung Ju Lan, dkk, Penyelesaian Konflik di Aceh : Aceh dalam Proses Rekonstruksi & Rekonsiliasi, (Jakarta : Riset Kompetitif Pengembangan IPTEK Sub Program Otonomi Daerah Konflik dan Daya Saing-LIPI, 2005 ), H.13.


(9)

Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa konflikpun sudah sangat terorganisir dan jelas batas-batasnya, bahkan dikotomi diantara masyarakat Aceh sudah pula terjadi mengikuti pihak-pihak yang berkonflik tersebut (antara yang pro-Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dikenal dengan NKRI dan pro-Gerakan Aceh Merdeka, walaupun sesungguhnya masih banyak orang Aceh yang tidak memihak, namun posisi mereka menjadi tidak tampak akibat dikotomi yang kian lama kian mengkristal itu). Oleh sebab itu, tidak mengerankan apabila upaya perdamaian yang diupayakan pada masa-masa sebelum bencana tsunami mengalami kegagalan.

Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, yang kemudian lebih dikenal SBY-JK, konflik di Aceh yang memilukan secara perlahan mendapat gambaran dan titik terang yang mengarah kepada penyelesaian yang semakin jelas. Dengan pendekatan sangat simpatik, SBY melakukan kunjungan dan dialog langsung dengan elemen-elemen masyarakat Aceh dari kota hingga ke berbagai pelosok daerah terpencil untuk bertemu, mendengar dan melihat langsung harapan, penderitaan dan aspirasi masyarakat Aceh.2

Dalam rangka mengatasi penderitaan rakyat yang berkepanjangan di Aceh, SBY telah melakukan sebuah komitmen yang memang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin dan menjadi bagian dari sebuah penderitaan bangsa. Dalam hal ini adalah wilayah Aceh yang

2

Munawar Fuad Noeh, SBY dan Islam, (Depok : Lembaga Studi dan Advokasi Kerukunan Umat Beragama, 2004), Cet. 1, h. 42


(10)

merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian serius.

Perlu ditekankan disini bahwa setiap kebijakan dan keputusan pemerintah haruslah akuntabel. Implementasi kebijakan ini juga harus memiliki legalitas dan legitimasi yang tinggi. Pemerintah harus berhati-hati dalam mengembangkan kebijakan penanganan masalah Aceh, agar tidak salah mengidentifikasikan permasalahan fundamental yang ada di Aceh, sehingga akhirnya kebijakan dan strategi yang dikembangkan juga tepat.

Pandangan banyak pihak, sepertinya peristiwa tsunami memang mempengaruhi pertimbangan para pihak yang berkonflik sehingga akhirnya pada bulan Agustus 2005 bisa dicapai kesepakatan atau parjanjian damai di Helsinki yang melegakan banyak orang, khususnya mereka yang tidak memahami akar masalah konflik GAM-NKRI namun malah menjadi orban yang paling merugikan.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Kompleksitas dari permasalahan yang ada di Aceh, memang sarat dengan rangkaian kekerasan, resistensi dan konflik. Dengan melihat uraian dari latar belakang masalah di atas, maka penulis akan membatasi pembahasan pada seputar upaya dan langkah-langkah SBY-JK dalam proses penyelesaian konflik di Aceh hingga berlangsungnya perundingan Helsinki. Dengan tidak lupa menguraikan latar belakang berdirinya GAM,


(11)

tokoh dan perjuangannya sampai kepada usaha-usaha penyelesaian yang telah dilakukan dari masa Soekarno sampai Megawati, maka penulis merumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Langkah-langkah apa yang dilakukan pemerintahan SBY-JK dalam menyelesaian konflik Aceh?

2. Apa hasil konkrit dari pertemuan di Helsinki ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Menjelaskan bagaimana langkah-langkah penyelesaian konflik di Aceh pada masa pemerintahan SBY-JK sampai pada akhirnya dapat tercapai kesepakatan damai di Aceh.

2. Selain itu tulisan ini ditujukan sebagai tugas Akhir Akademik Strata-1 (S1) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kegunaan penelitian ini juga penulis harapkan untuk :

1. Membantu pemahaman tentang konflik yang terjadi di Aceh serta mengetahui langkah-langkah yang diambil pemerintahan SBY-JK dalam menyelesaikannya sehingga tercipta suatu kedamaian.

2. Memberikan kontribusi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang perpolitikan tentang permasalahan yang terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


(12)

Dalam mengumpulkan data sebagai bahan penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan :

1 Tipe Penelitian, menggunakan kualitatif deskriptif yaitu penelitian yang menjelaskan hal-hal abstrak secara rinci dan jelas.

2 Teknik Pengumpulan Data, menggunakan studi

kepustakaan/literatur yaitu memperoleh data primer dan sekunder berupa buku jurnal, surat kabar, majalah dan lain sebagainya yang terkait dengan informasi seputar tema kajian.

3 Teknik Analisa Data, menggunakan deskriptif analitis yaitu penelitian yang berusaha untuk menuturkan penyelesaian masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data yang di analisis dan di interpretasikan

Selain itu, penelitian ini juga menggunakan metode historis (historical research), yaitu penelitian yang bertujuan untuk merekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi bukti yang kuat dihubungkan dengan fakta yang ada pada masa sekarang. Penelitian ini pada dasarnya merupakan upaya penelusuran bagaimana langkah-langkah pada pemerintahan SBY-JK dalam menyelesaikan Aceh sehingga melahirkan perundingan-perundingan untuk menuju kepada perdamaian. Adapun teknik penulisan skripsi ini berdasarkan Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005/2006 dan menggunakan bahasa Indonesia dengan Ejaan Yang Disempurnakan.


(13)

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dan pembahasan skripsi ini secara rinci dengan bab sebagai berikut :

Bab pertama, berisikan pendahuluan yang terdiri dari, latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penulisan, metode penelitian dan teknik penulisan yang terakhir sistematika penulisan.

Bab kedua, menguraikan tentang latar belakang sejarah berdirinya GAM, tokoh-tokoh pencetus GAM sampai kepada gerakan dan perjuangannya.

Bab ketiga, bab ini menguraikan tentang orientasi penyelesaian konflik Aceh, dalam hal ini pemerontah pusat, pemerintah daerah dan analisa-analisa, SBY selaku Menkopolkam dan presiden, keberhasilan SBY-JK dalam perundingan Helsinki, elit yang dominant menentukan perundingan Helsinki dan salah satu isi perundingan yang menjadi wacana dalam demokrasi.

Bab keempat, berisi penyelesaian konflik di Aceh pada masa pemerintahan SBY-JK, proses perundingan Helsinki adanya intervensi asing terhadap penyelesaian Aceh, tercapainya kesepakatan damai antara kedua belah pihak dan pendapat para tokoh terhadap perundingan Helsinki.


(14)

Bab kelima, merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran-saran.


(15)

BAB II

SEJARAH BERDIRINYA GERAKAN ACEH MERDEKA

A. Awal Berdirinya Gerakan Aceh Merdeka dan Tokoh-Tokoh Pencetusnya

Jika dilihat jauh ke belakang, lahirnya pemberontakan yang berlanjut kepada gerakan separatis Aceh Merdeka, tak terlepas dari adanya pro-kontra di kalangan tokoh-tokoh Aceh, apakah daerah itu ikut bergabung ke dalam Republik Indonesia dan mendukung proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia atau tidak. Bukan hanya itu tapi juga dari kecemburuan sosial ekonomi dan penderitaan yang dialami oleh masyarakat Aceh selama ini. Munculnya reaksi sosial ini diwujudkan dalam bentuk perlawanan atau penentangan terhadap pemerintahan pusat.

Lima hari setelah proklamasi, tepatnya tanggal 22 Agustus 1945, sejumlah tokoh dan pejuang Aceh berkumpul untuk menentukan nasib negara Indonesia di rumah Teuku Abdullah Jeunib anggota volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat buatan Belanda) di Banda Aceh. Bendera merah putih pun dikibarkan untuk pertama kalinya di halaman kantor Shu Chokan (kantor Residen Aceh, sekarang kantor Gubernur Aceh) kemudian


(16)

dilakukanlah pemilihan serta pengangkatan Teuku Nyak Arif sebagai pemimpin Aceh sekaligus Gubernur Aceh yang pertama.3

Terlihat pro-kontra yang muncul di Aceh setelah kemerdekaan Republik Indonesia diumumkan. Sebagian kecil di antara rakyat Aceh melihat bahwa kemerdekaan itu justru merugikan diri mereka. Maka konflik di Aceh pun tak terelakkan dan melahirkan berbagai peristiwa salah satunya adalah Perang Cumbok.

Perang Cumbok adalah perang antara ulama dengan kalangan

uleebalang. Perang ini terjadi sebagai akibat dari perpecahan antara kaum ulama dan kaum uleebalang (bangsawan).4 Perang ini mengakibatkan runtuhnya kekuasaan feodal yang telah berabad-abad berakar di persada tanah Aceh. Sebagian tokoh Aceh menyebutnya sebagai perang saudara terbesar sepanjang sejarah Aceh. Perang tersebut baru bisa diatasi pada menjelang akhir 1946.

Setelah meletusnya perang Cumbok, tak terdengar lagi adanya perlawanan dari para uleebalang maupun keturunannya terhadap para pejuang Aceh yang mendukung kemerdekaan RI. Yang terjadi justru rakyat Aceh bersama para pejuang Aceh lebih disibukkan dengan melakukan konsolidasi serta koordinasi dengan para tokoh perintis kemerdekaan di Jakarta. Akhirnya kehidupan rakyat Aceh kembali normal

3

Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka : Solusi, Harapan dan Impian, (Jakarta : PT. Grasindo, 2001), h. 1-2.

4

Usman A. Rani, Sejarah Peradaban Aceh, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 122-124.


(17)

dan mulai menata kehidupan dan kebudayaannya dalam suasana yang baru yaitu merdeka.

Dalam kondisi yang sudah cukup membaik itu, tiba-tiba saja pemerintah pusat membubarkan propinsi Aceh dan menggabungkannya ke dalam propinsi Sumatera Utara dan ini membuat sejumlah tokoh Aceh yang sudah mendukung kemerdekaan RI sangat kecewa dan mulai goyah karena sebelumnya Aceh adalah daerah modal, sehingga mengakibatkan mereka ingin mendirikan propinsi sendiri dan menimbulkan konflik.

Kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat mengakibatkan terjadinya protes dan pemberontakan yang digerakkan oleh Tengku Muhammad Daud Beureuh yang didukung oleh sebagian besar masyarakat Aceh. Setelah melewati proses tarik ulur yang panjang akhirnya tahun 1959 ke luar keputusan Perdana Mentri Mr. Hardi No. 1/Misi/1959, bahwa propinsi Aceh di beri nama Daerah Istimewa Aceh. Namun daerah istimewa Aceh ini menurut pengertian daerah dan pusat berarti pemberian otonomi yang seluas-luasnya terutama dalam bidang keagamaan, adat dan pendidikan. Tetapi, sekali lagi rakyat Aceh merasa dikhianati oleh pemerintah pusat, karena dalam kenyataan sehari-hari status daerah istimewa Aceh tidak terwujud, sebab yang berlaku untuk mengatur pemerintahan sehari-hari adalah UU No. 1/Tahun 1957 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah.

Aceh yang merasa dikhianati oleh Indonesia, segera menagih janjinya akan diberlakukan syari’at Islam pada pemerintah. Namun


(18)

tuntutan itu tidak mendapat respon yang baik. Pada pemerintahan Soekarno kebijakan Implementasi Syari’at Islam dari segi formal masih terhambat. Hal itu karena Indonesia akhirnya sepakat berlandaskan ideologi Pancasila yang mampu mengakomodir kepentingan semua kepentingan masyarakat dari Sabang sampai Merauke. Aceh di bawah pimpinan Muhammad Daud Beureuh kemudian melakukan perlawanan melalui gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh Karto Suwiryo.

Tengku Muhammad Daud Beureuh adalah tokoh ulama sekaligus panglima militer Iskandar Muda. Tokoh ini telah mampu mengobarkan api perlawanan. Setelah selesainya DI/TII, Aceh kembali bergolak dengan tuntutan Aceh merdeka yang kemudian disebut Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Yang dimaksud dengan GAM ialah nama sebuah organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Aceh dari Republik Indonesia. GAM adalah singkatan dari Gerakan Aceh Merdeka dan dalam Bahasa Inggris disebut Free Aceh Movement dan sebagai salah satu pelopor perjuangannya adalah AGAM yaitu Angkatan Gerakan Aceh Merdeka, yang disebut sayap militer dari GAM. AGAM bukan organisasi tetapi institusi yang berada dalam tubuh GAM.5

5

Wawancara Teuku Don dengan Tabloid Kronika 22 Januari 2000 dalam “Aceh Sekarang dan Masa Depan”, http : //www. Indo-News. Com/. Diakses tanggal 08 Maret 2006.


(19)

Munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) adalah akibat kebijakan pemerintah pusat dengan ABRI/TNI sebagai penopang utama yang dianggap tidak adil dan tidak menyantuni rakyat Aceh. Markas pertama GAM dibangun di hutan Panton Weng di Pidie, yang kemudian dipindahkan ketempat yang lebih aman di Bukit Cokan, masih di kabupaten Pidie. Hasan Tiro mengangkat dirinya sebagai presiden wali Negara.6

Hasan Tiro mengklaim wilayah paling utara pulau Sumatra seluas 58. 798 km2 dan meliputi sekitar 100 pulau ke dalam wilayah Aceh.7 Adanya ketidakadilan dalam membagi wilayah dengan mengambil hasil bumi daerah sebanyak 75 % untuk pemerintahan pusat dan 25 % dikembalikan kepada daerah pemilik, ketidakmerataan dan tidak adanya rasa memiliki bagi masyarakat sekitarnya, fenomena itu dianggap sebagai bentuk diskriminasi sehingga terjadi kecemburuan sosial yang sangat mendalam bagi rakyat Aceh yang menyebabkan terjadinya perubahan serta gejolak sosial yang sangat meluas.8

Kecemburuan sosial ini menjadi penyebab timbulnya pertikaian antara pemerintahan pusat dan Aceh diawal pemerintahan orde baru. Sementara itu pemerintah pusat menganggap bahwa setiap pihak yang menentang kebijakan politiknya adalah pemberontak dan pemberontakan harus ditumpas, kalau perlu dengan cara yang kejam. Kekejaman

6

Syamsudin Haris, et. al, Indonesia di Ambang Perpecahan, (Jakarta : Erlangga, 1999), h. 56.

7

Syamsudin Haris, et. al, Indonesia di Ambang Perpecahan, h. 96.

8

Syarifudin Tippe, Aceh di Persimpangan Jalan, (Jakarta : Cidencindo Pustaka, 2000), h. 48.


(20)

pemerintahan orde baru tidak hanya ditujukan kepada gerakan perlawanan politik tetapi sampai ke masyarakat yang tidak mengerti pun ikut merasakannya. Ini terjadi sejak tahun 1977 awal berdirinya GAM.

Hasan Tiro menginginkan Aceh terpisah dari negara kesatuan Indonesia. Dalam pandangannya Aceh di bawah Republik Indonesia telah menyebabkan lenyapnya identitas Aceh yang telah berlangsung selama berabad-abad. Problem ini kemudian dijadikan salah satu alasan para pemimpin GAM untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kemudian menjadi salah satu determinan yang menghasilkan gejala sosial.9

Teungku Muhammad Daud Beureu-eh yang menjadi legenda bagi rakyat Aceh dan disebut sebagai bapak rakyat Aceh dilahirkan pada tanggal 15 September 1899 di sebuah kampung bernama Beureu-eh, daerah Keumangan, Kabupaten Aceh Pidie. Pada 1972, Daud Beureu-eh mengumpulkan teman-temannya untuk menggalang kembali kekuatan oposisi dan perlawanan terhadap pemerintahan pusat. Kemudian pada tanggal 20 Mei 1977 diadakan rapat akbar di kaki Gunung Halimun di Kabupaten Aceh Pidie. Saat itu berkumpul sejumlah tokoh eks Darul Islam, Republik Islam Aceh, maupun pejabat pemerintah yang asli putra Aceh. Setelah dialog panjang, mereka sepakat membangun GAM.

9

S. Satya Dharma & Fikar W. Eda, Aceh Menggugat : Sepuluh Tahun Rakyat Aceh di Bawah Tekanan Militer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), Cet. 1, h. 7.


(21)

tokoh militer Republik Islam Aceh pun melebur ke dalam organisasi GAM. Hari itu kemudian dinyatakan sebagai hari lahir GAM.10

B. Perpecahan Gerakan Aceh Merdeka

Sebenarnya, sebelum lahir GAM sudah terpecah. Hal ini diakibatkan munculnya perbedaan pendapat yang tajam antara tokoh tua dan tokoh mudanya. Tokoh tuanya yang dimotori oleh Daud Beureu-eh menginginkan garis perjuangan GAM bernapaskan Islam. Pertama, itu sesuai dengan sejarah dimana pertama kali agama Islam masuk ke Indonesia, yang ditandai dengan berdirinya Kerajaan Islam Samudera Pasai. Kejayaan Kerajaan Islam ini terus berlanjut pada Kejayaan Islam Aceh Darussalam. Kedua, para tokoh-tokoh tua GAM umumnya adalah tokoh-tokoh Darul Islam, yang sangat konsisten dengan garis perjuangannya yang mengidamkan lahirnya Republik Islam Aceh. 11

Sementara kelompok muda yang dimotori oleh Hasan Tiro menginginkan GAM menjadi organisasi modern yang sekuler, dengan tujuan agar GAM bisa lebih cepat berkembang dan menjadi isu internasional. Namun uniknya, kubu Hasan Tiro menginginkan sistem negara Aceh Merdeka yang diperjuangkan GAM adalah kerajaan monarki.12

10

Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka : Solusi, Harapan dan Impian , h. 36.

11

Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka : Solusi, Harapan dan Impian , h. 35.

12

Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka : Solusi, Harapan dan Impian, h. 37.


(22)

Pecahnya GAM bukan hanya terjadi dalam masyarakat Aceh saja, bahkan ini terjadi pada kalangan elit politik yang membahas persoalan konflik Aceh yang sudah menjadi sorotan dunia internasional. Sehingga terpecahlah menjadi beberapa bagian antara lain kelompok GAM Hasan Tiro yang bermarkas di Swedia dan kelompok Majelis Pemerintah GAM (MP GAM) yang bermarkas di Malaysia pimpinan DR. Husaini Hasan. Perpecahan ini terjadi pada tahun 1999 karena kecemburuan sosial di dalam mengisi jabatan GAM antara kader eks Libia dan kader eks Malaysia serta perbedaan pendapat perjuangan GAM.13

Dari kedua tokoh GAM besar itu terpecah lagi menjadi tiga bagian yaitu : (1) GAM konvensional pimpinan Abdullah Syafi’I, (2) GAM radikal pimpinan Ahmad Kandang dan (3) GAM gabungan yang terdiri dari aliansi kader-kader muda GAM eks Libia dengan para oknum TNI/POLRI yang disersi.14

Ketiga kelompok ini mempunyai spesifikasi masing-masing sehingga keberadaan mereka kerap membingungkan rakyat Aceh pendukung perjuangan GAM maupun dikalangan TNI/POLRI. GAM konvensional terkesan lebih banyak berdamai dengan pihak TNI/POLRI. Sementara GAM radikal adalah suatu kelompok GAM beraliran keras. Mereka lebih senang melakukan pembunuhan, perampokan, pembakaran gedung sekolah, rumah penduduk, kontak fisik dengan anggota TNI/POLRI dan dengan siapa saja

13

Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka : Solusi, Harapan dan Impian, h. 228.

14

Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka : Solusi, Harapan dan Impian h. 232-235.


(23)

yang tidak mendukung perjuangan GAM. GAM gabungan adalah suatu kelompok yang memanfaatkan dan mencari keuntungan dari suatu konflik guna dapat merampok, teror dan pemerasan terhadap rakyat.15

C. Gerakan dan Perjuangan Aceh Merdeka

Di atas sudah dijelaskan apa itu GAM dan sasaran perjuangannya. Pada bagian ini saya akan membahas sedikit mengenai gerakan dan perjuangan Aceh merdeka. Meskipun GAM sudah lahir, pada pemilu 1977 rakyat Aceh belum banyak mengetahui tentang gerakan perlawanan tersebut. Apalagi setelah diproklamasikannya GAM ternyata tidak langsung melakukan perlawanan bersenjata, karena saat itu GAM tidak memiliki persenjataan sehingga gerakan ini sama sekali tidak muncul ke permukaan. Disamping itu, terbatasnya tokoh-tokoh pimpinan GAM membuat campur aduknya tugas-tugas perjuangan politik dengan tugas perjuangan militer, sehingga konsentrasi perjuangannya tidak fokus. Sementara tokoh-tokoh yang mengurusi bidang perjuangan militer, sama sekali tidak memiliki pengalaman dalam membangun basis militer GAM, sehingga di tahap awal, praktis GAM tidak memiliki kekuatan militer. GAM ini merupakan bentuk perlawanan sebagian rakyat Aceh yang ingin mengoreksi kedzaliman pemerintahan orde baru.

15

Suradi, Analisa Kriminologis Terhadap Perlawanan GAM Kepada Pemerintahan Pusat : Studi Kasus Konflik Aceh Tahun 2000-2002, h. 40-41.


(24)

GAM pada awalnya adalah gerakan yang masih bernafaskan keislaman. Maksudnya sebuah gerakan yang ingin mendirikan Republik Islam Aceh dengan memberlakukan syari’at Islam.

Bila dilihat dari dasar berdirinya, GAM pada dasarnya merupakan bentuk protes dan perlawanan terhadap pemerintah pusat yang tidak menanggapi suara-suara rakyat Aceh. GAM dalam memainkan aksi dan peranannya untuk memisahkan diri dari NKRI melalui tindakan separatis, bersenjata, radikal dan kultural dikendalikan oleh tokoh-tokoh yang berdomisili di luar negeri (Malaysia, Singapura dan Swedia).16 Mereka dengan aktif menjalani hubungan dengan perwakilan negara-negara di Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memperoleh dukungan bagi upaya memisahkan diri dari NKRI.

Dalam sebagian besar dekade 1980-an, GAM merasionalisasi status politiknya dan memperkuat sayap militer Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Dalam periode ini, sebagian dari 400 kader Aceh dilaporkan dikirim ke Libya untuk latihan militer. Tahun 1989, GAM merasa cukup kuat untuk menyerang pasukan pemerintah, warga sipil dan orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata. Pemerintah membalas dengan operasi militer dan tindak penumpasan berskala besar.

Pada tahun 1992, tampak bahwa pemerintah mengendalikan situasi sepenuhnya. Tetapi, operasi militer yang ditandai dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia kemudian menjadi sorotan publik yang luas tidak lama

16


(25)

setelah kerusuhan politik Mei 1998. GAM memanfaatkan situasi tersebut dengan melancarkan serangan besar-besaran dan konfrontasi senjata di mulai kembali.

Bagi pemerintah Indonesia, kejahatan yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh seperti ini dapat dikategorikan sebagai “sedition” (kejahatan terhadap penguasa). Dimana pada sedition disebutkan bagaimana usaha-usaha untuk menggulingkan, sikap memusuhi pemerintah secara tertulis, mengadakan pidato-pidato dan sebagainya.17

Masyarakat Aceh pada umumnya tidak menyukai dan mendukung perjuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka hanya mencari perlindungan dari gangguan keamanan akibat konflik yang terjadi di daerahnya. Mereka juga menuntut kepastian hukum dari pemerintah pusat untuk segera dapat memulihkan kondisi keamanan dari gangguan serta ancaman yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka maupun akibat dari kekerasan dan kekejaman semasa Aceh masih dalam status DOM.18

Sementara sikap masyarakat Aceh yang terkesan mendukung perjuangan Gerakan Aceh Merdeka pada dasarnya hanya dilakukan dengan terpaksa untuk menghindari kekerasan dan kekejaman GAM. Sebenarnya mereka menginginkan pemerintah pusat dapat menghentikan serta menindak tegas pelaku kekerasan di Aceh.

17

Soejono Soekanto, Kamus Kriminologi, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988), h. 87.

18

Syamsudin Otto Ishak, Dari Maaf ke Panik Aceh, (Jakarta :YAPPIKA, LSPP Cordopa, 2000), h. 1-6.


(26)

Perjuangan dan Gerakan Aceh Merdeka semakin kuat karena GAM dapat menguasai dan mempengaruhi masyarakat setempat. Sementara pemerintah pusat tidak dapat mengatasi semua ini, sehingga pemerintah pusat kesulitan mengatasi konflik Aceh. Masyarakat Aceh mendambakan keamanan daerahnya dari berbagai macam konflik, baik yang dilakukan oleh GAM maupun oleh oknum aparat yang bertugas di Aceh. Masyarakat ingin mendapat perlindungan keamanan, pendidikan, pekerjaan dan masa depannya tanpa ada keributan atau konflik, sementara pemerintah pusat tidak dapat berbuat banyak. Inilah kesempatan baik bagi GAM untuk masuk dan mempengaruhi masyarakat guna mendukung perjuangannya. Masyarakat kemudian masuk ke dalam perangkap politik Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Lumpuhnya pemerintahan sipil di Aceh dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan tidak mengakui Negara Republik Indonesia sebagai negara kesatuan di Aceh. Sehingga masyarakat Aceh dengan terpaksa tunduk dan takut atas peraturan yang dibuat oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Lamban tidak ada kepastian hukum atau politik yang tegas dari pemerintah pusat untuk melindungi masyarakat Aceh dari ancaman Gerakan Aceh Merdeka, maka dengan terpaksa masyarakat harus taat dan patuh terhadap kebijakan yang dibuat oleh Gerakan Aceh Merdeka untuk bertahan hidup dan mencari selamat dari gangguan keamanan yang tidak menentu.19

19


(27)

Masyarakat yang telah bergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka, cenderung berpikiran kasar, kejam serta bringas karena telah dipropokasi oleh GAM untuk hal-hal yang menguntungkan pihak GAM. Sebelum bergabung dalam organisasi separatis Gerakan Aceh Merdeka mereka telah membawa rasa dendam baik kepada aparat, pemerintah pusat maupun terhadap GAM sendiri. Pada umumnya mereka telah mengalami penderitaan baik secara fisik maupun prikis, serta harta benda yang telah dirampas atau diminta secara paksa baik oleh aparat maupun oleh Gerakan Aceh Merdeka sendiri. Dengan alasan itu mereka melampiaskan dendamnya kepada mayarakat lainnya, sehingga masyarakat yang lain juga mengalami nasib yang sama sehingga masyarakat Aceh dalam kebingungan serta tidak dapat berbuat apa-apa, mereka seakan pasrah kepada nasib yang tidak menentu.20

Sayangnya pemerintah Indonesia pada saat itu kurang cepat menanggapinya, sehingga masyarakat Aceh kecewa kepada pemerintah pusat. Ini yang membuat GAM dapat berbaur dengan masyarakat dan sulit untuk dipisahkan, sehingga dukungan yang maksimal tertuju kepada GAM yang mereka anggap sebagai pelindung dan pahlawan bagi masyarakat setempat. Kesetiaan masyarakat Aceh kepada GAM ditandai dengan sumpah untuk setia dan tunduk serta mendukung kepada pejuangan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ini terjadi hampir diseluruh daerah yang

20


(28)

telah dikuasai serta dijadikan basis kekuatan dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM).21

Puncak dari kesetiaan masyarakat Aceh kepada Gerakan Aceh Merdeka terlihat pada saat Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) yang diketuai oleh Nazaruddin S.Ag berkumpul di pusat kota di halaman Masjid Raya Baitul Rahman Banda Aceh untuk melakukan sumpah bersama pertama pada tanggal 28 Oktober 1999, yang terkenal dengan

Sumpah Bangsa Aceh dengan opsi bergabung atau pisah dari Negeri Kesatuan Republik Indonesia yang dihadiri oleh sekitar 100 ribu orang. Setelah sumpah pertama dianggap berhasil, maka masyarakat Aceh kembali berkumpul untuk yang kedua kalinya dan berikrar bersama di halaman masjid yang sama pada tanggal 8 November 1999, kali ini masyarakat yang berkumpul bertambah hingga mencapai kurang lebih 2 juta orang dengan acara “Sidang Umum Masyarakat Pejuang Referendum

(SU-MPR)”. Ini menandai bahwa masyarakat Aceh mulai tidak percaya lagi kepada pemerintah pusat, sehingga mereka mencari jalan keluar dari kesulitan yang sedang menimpa daerah serta dirinya dan dari gangguan kekerasan politik yang sedang mereka alami.22

Ketidaktegasan dari pemerintah pusat, dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh Gerakan Aceh Merdeka dengan menghasut serta mengancam masyarakat setempat guna mendukung perjuangannya untuk

21

Harian Tempo, 28 Januari 2002.

22


(29)

membentuk negara sendiri atau memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Tetapi perjuangan dari GAM telah menyimpang jauh dari harapan yang telah diimpikan oleh masyarakat Aceh. Kebrutalan yang dilakukan oleh prajurit GAM sama seperti yang pernah dilakukan oleh aparat pada masa DOM. Penderitaan rakyat tidak ada habis-habisnya, akhirnya tumbuh dendam dari masa kanak-kanak sampai dewasa.

Perjuangan Gerakan Aceh Merdeka atau Aceh Sumatera National Liberation Front (ASNLF) sama halnya dengan SIRA, yang menanamkan visi kepada masyarakat agar setia dan berbagai lapisan sosial termotivasi berperan aktif dalam melakukan tindakan revolusioner.23 Perjuangan mereka mengangkat aspek historis dari kesenjangan sosial, ekonomi dan ketidakadilan yang digunakan untuk melegitimasi gerakan yang dilakukan, disamping menimbulkan efek psikologis pada masyarakat untuk memberi dukungan terhadap perjuangan mereka. Karena Aceh tidak mendapatkan imbalan seperti apa yang mereka inginkan dari pemerintah pusat, maka perpecahan pun tak dapat dihindari.

Ada 3 strategi GAM dalam membangun kekuatan organisasinya, yaitu : (1) memanfaatkan sikap represif pemerintah terhadap situasi Aceh, (2) melalui pembangunan jalur internasional dan (3) memanfaatkan perasaan takut dan khawatir para investor lokal maupun asing yang

23


(30)

berdiam di Aceh. Bisa diinterpretasikan bahwa tokoh-tokoh GAM telah melakukan intimidasi atau teror terhadap para investor, agar memberikan sumbangan khusus kepada gerakan separatis tersebut.24

GAM membagi basis organisasinya menjadi 2 fungsi, yaitu : (1) fungsi politik dan diplomasi, basis perjuangannya berada di Swedia dan dikoordinasikan langsung oleh ketua GAM Hasan Tiro. Dari Swedialah gerakan separatis Aceh ini mempropagandakan perjuangannya ke dunia internasional untuk menarik perhatian masyarakat dunia. Dari sini pula GAM memojokkan pemerintahan RI dan TNI dalam menangani kasus Aceh. (2) fungsi pertahanan dan kekuatan militer, basis perjuangannya berada diperbatasan Aceh Utara, Aceh Pidie dan dikoordinasikan langsung oleh panglima perang GAM Tengku Abdullah Syafei.

Tugas kekuatan militer GAM hanya bertempur, bergerilya dan menghancurkan kekuatan TNI. Pihak Militer GAM diizinkan melakukan manuver politik publikasi dalam rangka perang komunikasi dengan pemerintah maupun TNI.25 Pada dimensi karakteristik gerakan, kelompok Hasan Tiro ini sesungguhnya merupakan gerakan operasi gerilya yang bersifat revolusioner. Karakteristik GAM yang dimaksud dapat diidentifikasikan melalui penggunaan front-front politik, klandestin (secara rahasia) dan bersenjata.

Dengan mengoptimalkan front-front tersebut, GAM telah mengubah formasi sosio-kultural masyarakat Aceh. Fenomena ini tampak

24

Hasan Tiro, GAM Hasan Tiro dalam Perjuangan Bangsa Aceh, h. 113.

25


(31)

pada cara-cara GAM melakukan propaganda agar masyarakat Aceh menghindarkan diri dari perbuatan yang melanggar norma-norma kultural religius. Tetapi di sisi lain, mereka sendiri tidak mencerminkan nilai-nilai itu.

Strategi perang dan markas tampaknya merupakan 2 hal yang menyatu dalam konsep perlawanan bersenjata GAM. Keduanya bisa disebutkan sebagai satu kesatuan utuh kekuatan GAM dalam rangka menghadapi kemungkinan gempuran TNI. Tak heran, jika masing-masing markas panglima GAM memilih strategi perangnya. Markas panglima GAM ini sama sekali tidak bisa diketahui oleh pasukan maupun panglima GAM di wilayah lain. Tapi masing-masing markas GAM tetap memiliki adanya kesamaan atau kemiripan strategi sebagai benang merah perjuangannya.

Selain dari markas besar GAM yang selalu berpindah-pindah, ada strategi lain yang dilakukan dalam perjuangannya, yaitu dari pakaian loreng, peralatan perang bahkan demi lancarnya koordinasi perjuangan GAM membangun rusa-ruas jalan rahasia di segala penjuru hutan bukit barisan. GAM juga memiliki mobil operasional yang memiliki sound sistem super canggih dan mendapat pasokan senjata dan amunisi secara terus-menerus. Dengan berbagai sarana maupun prasarana tersebut ditambah dukungan moral dari segenap rakyat Aceh, GAM seakan-akan berada diatas angin.26

26


(32)

Para anggota GAM tidak bisa seenaknya mempergunakan senjatanya, ada sanksi-sanksi berat apabila aturan yang telah dibuat dilanggarnya, sanksi tersebut berupa tembak mati. Selain menjaga aset kekayaan rakyat Aceh, GAM secara terus-menerus melakukan persiapan perlawanan bersenjata dengan berbagai strategi. Strategi lain yang sering dilakukan pasukan GAM adalah menembaki markas polisi atau TNI dari mobil yang sedang melaju. Strategi dari pasukan GAM adalah mereka memata-matai sikap aparat TNI, baik lewat orang GAM sendiri maupun lewat intelijennya.27 Strategi yang lain dari sebagian anggota GAM radikal ialah mengiring masyarakat sipil yang tak berdosa. Tengku Abdullah Syafei tidak setuju dengan strategi ini, tapi ada saja anggota GAM radikal yang melakukannya dan terakhir dilakukan pada Mei 1999 dalam peristiwa atau tragedi kruengoeukeuh. Lhokseumawe Aceh Utara.

Gerakan dan perjuangan Aceh Merdeka ini tidak terlepas dari dukungan dunia internasional. Hal ini bisa dilihat dari masuknya berbagai senjata canggih ke Aceh sekitar tahun 1996. Gelombangnya makin deras setelah presiden Soeharto jatuh dan para pejuang GAM di luar negeri berasumsi peluang Aceh merebut kemerdekaannya makin besar dengan pasukannya yang membaur dengan rakyat.

Oleh karena itu, GAM menyangkal fakta bahwa Aceh berjuang bersama daerah lain untuk kemerdekaan Indonesia. Tak hanya itu, Hasan Tiro juga menyangkal proklamasi kemerdekaan Indonesia disambut

27


(33)

gembira oleh rakyat Aceh, pada saat Aceh menjadi NKRI. Kalaupun itu dilakukan, menurut Hasan Tiro sebagai seorang pemimpin GAM adalah suatu kebodohan yang dilakukan oleh pemimpin Aceh pada tahun 1945.28

Ada empat konsep perjuangan GAM. Pertama, GAM sebagai gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kedua, konsep ketatanegaraan yang digalang Hasan Tiro di Aceh adalah sebuah kerajaan monarki. Ketiga, tidak memiliki kekuatan dan pengaruh dari berbagai kalangan rakyat Aceh, sehingga gerakan ini selalu melakukan dan mengkonsentrasikan diri pada konsep perang gerilya serta teror perkotaan. Dengan strategi ini jelas tidak terlihat satu kota pun yang pernah diduduki atau direbut GAM. Keempat, Hasan Tiro lebih berorientasi kepada pola pikir barat. Dengan demikian, keterlibatan kaum ulama terutama dalam perkembangan selanjutnya sangatlah kecil. Bahkan dalam perkembangan terakhir Hasan Tiro bersama pengikutnya lebih memilih mengarahkan orientasi kepada perjuangan sekulerisme yaitu mengikis orientasi perjuangan norma-norma keislaman di dalam perjuangan GAM, dengan tujuan agar bisa lebih cepat mendapat simpati masyarakat internasional, khususnya barat.29

28

Dr. M. Isa Sulaeman, Aceh Merdeka : Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan, (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2000), h. 17.

29

Neta S. Pane, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka : Solusi, Harapan dan Impian, h. 47-48.


(34)

BAB III

ORIENTASI PENYELESAIAN KONFLIK ACEH : PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH A. Pemerintah Pusat

Peran Pemerintah Pusat dapat menjadi sangat efektif apabila dilakukan dengan cara, pendekatan dan strategi yang tepat. Tentang peran Pemerintah Pusat dalam konflik Aceh tidak hanya menyetop konflik tetapi juga harus mengisi suasana awal pasca konflik menjadi suatu keadaan damai yang berkelanjutan.

Dalam rangka penyelesaian masalah Aceh, Pemerintah Pusat seringkali melakukan kebijakan militeristik, yang membuat rakyat Aceh sangat menderita, mereka hidup dalam kemiskinan, kebingungan, merasa tertekan dalam berbagi aspek, namun Pemerintah Pusat kembali lagi menggelar operasi-operasi militer setelah dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM), pada masa pemerintahan Presiden B.J.Habibie yaitu pada tanggal 07 Agustus 1998.

Langkah-langkah Presiden Habibie dalam menyelesaikan konflik Aceh, sebenarnya sudah mencoba untuk lebih mengedepankan pendekatan kesejahteraan secara social budaya, ekonomi dan politik dalam kondisi Aceh yang aman. Akan tetapi, pendekatan tersebut dilaksanakan setengah


(35)

hati sehingga menambah kecewa masyarakat Aceh kepada Pemerintah Pusat.

Pada masa Pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), diharapkan adanya langkah-langkah pemerintah yang berorientasi kepada penyelesaian konflik Aceh. Maka dikeluarkanlah beberapa Inpres, antara lain Inpres No. 4 Tahun 2001 tentang langkah-langkah Komprehensif Penyelesaian Konflik Aceh, yang kebijakannya mencakup 6 bidang yaitu, politik, ekonomi, sosial hukum dan ketertiban manusia, keamanan, pendidikan dan media (informasi dan komunikasi).30 Kemudian diperbarui dengan Inpres No. 7 Tahun 2001.

Kemudian pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri sudah diberlakukan Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang otonomi khusus Nangroe Aceh Darussalam (NAD) pada 19 Agustus 2001 sebagai jalan penyelesaian konflik Aceh. disamping itu ada upaya-upaya lainnya, antara lain : memasukkan politik luar negeri sebagai bagian penting dari 6 program kerja cabinet ini merupakan langkah yang tepat.31

Penyelesaian konflik Aceh tidak bisa diselesaikan dengan cara membiarkan pemerintah melakukan dialog politik dengan pihak

30

“Inpres No. 4 Tahun 2001 tentang Langkah-Langkah Komprehensif dalam rangka penyeelesaian Aceh”, dapat dilihat jelas dalam http///www.Dfa-deplu. Go. Id.

31

Bantoro Bandoro, Politik Luar Negeri Republik Indonesia : Tantangan, Agenda dan strategi dalam 30 tahun CSIS, h.2-3.


(36)

pemerintah. Untuk mengakhiri pemberontakan di tubuh orang Aceh hanya ada satu jalan, yakni operasi terpadu.32

Pemerintah kini tengah mengkaji tiga alternatif kebijakan yang akan diterapkan di Nanggroe Aceh Darussalam setelah status darurat militer selesai pada 19 November 2003, tiga alternative itu adalah keadaan darurat militer dilanjutkan, keadaan darurat militer diturunkan menjadi darurat sipil atau darurat militer hanya diterapkan didaerah rawan di propinsi NAD.33

Tiga alternative kebijakan tersebut, maka dilanjutkan kepada diberlakukannya status darurat sipil atas keputusan Presiden Megawati Soekarno Putri selama enam bulan, terhitung mulai tanggal 19 Mei 2004, untuk propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hal itu ditetapkan dalam keputusan Presiden Megawati kepada pers di Istana Negara, Jakarta, selasa 18 Mei malam. Dengan status darurat sipil, penguasa darurat sipil Daerah dipegang Gubernur NAD Abdullah Puteh.34

Sebagaimana kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya, upaya-upaya pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri tidak akan secara otomatis dapat meredakan kekerasan dan ketegangan yang dirasakan masyarakat Aceh.

B. Pemerintah Daerah (Pemda) NAD

32

Republik, Aceh : Solusi Militer atau Politik, Selasa 16 Agustus 2003, h.5.

33

Kompas, Tiga Alternatif Penanganan Aceh, Jum’at 16 Mei 2003, h.8.

34


(37)

Pemda NAD di bawah kepemimpinan Gubernur saat ini (Ir. Abdullah Puteh) dan Wakil Gubernur Ir. H. Azwar Abubakar dimulai pada tahun 2000, ketika keduanya memenangkan pemilihan pada tanggal 4 November 2000, dengan perolehan suara 33 suara dari 54 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Aceh.35

Penyelesaian konflik Aceh sudah diletakkan sebagai tugas pokok da tugas utama pemerintah NAD selain beberapa tugas pokok lainnya. Garis besar tugas pemerintah NAD selengkapnya adalah (1) penyelesaian kinflik Aceh, (2) perbaikan ekonomi rakyat, (3) mengisi keistimewaan Aceh, (4) pembangunan daerah terpencil dan perbatasan.36

Rumusan tugas pokok tersebut merupakan intisari dari bermacam jenis tantangan yang dihadapi dan harus dicari solusinya sebagaimana termaktub dalam visi dan misi pemerintah NAD. Pemda NAD mempunyai visi : “Terwujudnya masyarakat Aceh yang madani berdasarkan Islam”. Sementara itu, misinya adalah sebagai berikut : mewujudkan pelaksanaan Syari’at Islam secara kaffah dalam semua aspek kehidupan masyarakat serta adat Aceh yang berjiwa Islam, menciptakan tegaknya supremasi hokum dan hak asasi manusia berlandaskan keadilan dan kebenaran yang bersifat universal, meningkatkan profesionalisme dan spiritualisme daerah yang berfungsi melayani masyarakat, produktif dan bebas dari praktek KKN, sehingga dapat melahirkan pemerintahan yang bersih,

35

Abdul Rahman Patji, dkk, Negara dan Masyarakat Dalam Konflik Aceh (Studi tentang Pemerintah dan Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Aceh), Jakarta : Pusat Penelitian Masyarakat dan Kebudayaan (PMB)-LIPI, 2004, h.61.

36

Abdul Rahman Patji, dkk, Negara dan Masyarakat Dalam Konflik Aceh (Studi tentang Pemerintah dan Masyarakat Dalam Penyelesaian Konflik Aceh), h.61.


(38)

meningkatkan kualitas masyarakat dan sumber daya manusia melalui peningkatan mutu pendidikan dan kesehatan yang memiliki akhlakul karimah, iman dan taqwa serta memiliki keunggulam kompetitif dalam penguasaan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi, membangun dan mengembangkan ekonomi kerakyatan yang bertumpu pada ekonomi pasar yang berkeadilan, berbasis pada sumber daya alam dan sumber daya manusia yang produktif serta berwawasab lingkungan dan berkelanjutan,


(39)

BAB IV

LANGKAH-LANGKAH PENYELESAIAN KONFLIK DI ACEH PADA MASA PEMERINTAHAN SBY-JK

A. Proses Perundingan Helsinki

Berlarutnya perundingan yang sudah diinisiasi sejak era pemerintahan Gusdur hendaknya tidak membuat pemerintahan dan GAM cepat-cepat memutuskan untuk kembali bersiap ke medan tempur. Sebab, usaha menyelesaikan konflik dengan kekerasan tidak akan membuahkan perdamaian dalam jangka panjang dan bahkan amat potensial mendorong menguatnya gerakan bawah tanah bersenjata.

Ini sudah terbukti di Aceh, dengan bertambahnya jumlah simpatisan GAM secara signifikan setelah pemerintahan melakukan kegiatan militer agresif sejak tahun 1980-an dan banyaknya orang merasa trauma, frustasi karena DOM. Tindakan militer ofensif memang efektif membuat GAM mundur dari kota-kota, namun tidak menghasilkan keadaan damai dalam jangka panjang.

Upaya menyelesaikan konflik melalui perundingan perdamaian pada hakekatnya adalah sesuatu yang selalu diinginkan oleh semua pihak. Terutama stakeholder Aceh yang terdiri dari kelompok negara (Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, TNI dan Polri, Kelompok Masyarakat,


(40)

Kelompok Elit, Intelektual, Tokoh Adat/Ulama, Kelompok Perantara, Kelompok Masyarakat Umum) sebagai pihak berkepentingan dalam penyelesaian konflik Aceh. Mayoritas masyarakat Aceh juga mendambakan hal yang sama karena mereka selama kurang lebih 30 tahun terakhir sangat merasakan betapa pahit getirnya hidup dalam kondisi konflik yang panjang.

Sejak dulu masyarakat Aceh sudah terlatih hidup dalam suasana perang, namun karena psikologis sesungguhnya mereka juga pada akhirnya merasa kelelahan menghadapi keaaan yang tidak stabil, tidak aman dan sama sekali tidak menguntungkan. Bahkan pada saat diberlakukannya keadaan Darurat Militer I dan II (Mei 2003 s/d April 2004), jangankan ikut serta melakukan sesuatu bagi penyelesaiannya, berinisiatif atau mengeluarkan pendapat saja mengenai konflik yang berlangsung betapa besar resikonya.37

1. Perundingan Helsinki Tahap I

Persoalan masa lalu yang cukup menoreh duka bagi masyarakat Aceh, sebelum tsunami hingga peristiwa tsunami yang memporak-porandakan Aceh beserta infrastruktur didalamnya, hingga masa depan Aceh kemanakah akan dibawa dengan permasalahan-permasalahan yang datang bertubi-tubi seakan tanpa henti. Dihadapkan dengan keadaan yang serba sulit ini pulalah, maka sebutir gagasan dan sebersit prakarsa untuk mengakhiri konflik Aceh pasti disambut antusias, serta

37

Ungkapan salah seorang peserta dislusi penelitian yang dilaksanakan oleh TIM LIPI di Banda Aceh 2004.


(41)

penuh harapan.38 Oleh karena itu pula perundingan perdamaian antara pemerintah Republik Indonesia dan pihak GAM di Helsinki yang diadakan sejak tahap pertama (Januari 2005) sampai tahap kelima (Agustus 2005) mendapat respon yang sangat positif dari hampir seluruh kelompok mayarakat Aceh dan Bangsa Indonesia lainnya.39 Bagi mereka, berupaya mengakhiri konflik melalui jalan perundingan dan dialog adalah cara yang lebih terhormat dan bermartabat serta sangat manusiawi, daripada menggelar perang yang hanya menghasilkan korban harta benda, nyawa dan harkat kemanusiaan.

Jika memang air mata dan darah tak boleh lagi menetes setitik pun, berunding adalah jalan satu-satunya untuk mengakhiri konflik bersenjata di Aceh. Sejak bulan Januari 2005, SBY mulai meneruskan langkah pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid dan presiden Megawati, untuk melakukan pembicaraan informal dengan tokoh-tokoh GAM di Helsinki ibukota Finlandia, mungkin tidak banyak warga Aceh yang tahu dimana posisi Helsinki dalam peta dunia. Tapi, ibukota Finlandia itu kian ramai disebut-sebut sebagai warga Aceh dalam dua bulan terakhir. Ya di warung kopi, di pasar. Bahkan jadi pembicaraan anak-anak di sekolah. Beberapa isu penting telah muncul dalam lima babak pembicaraan informal dan menjadi bahan diskusi kedua belah pihak. Proses pembicaraan dimulai dengan diajukannya

38

Thung Ju Lan, dkk, Penyelesaian Konflik di Aceh : Aceh dalam proses Rekonstruksi & Rekonsilisasi, (Jakarta : Riset Kompetitif Pengembangan IPTEK Sub Program Otonomi Daerah Konflik dan Daya Saing-LIPI, 2005), h. 47.

39

Thung Ju Lan, dkk, Penyelesaian Konflik di Aceh : Aceh dalam Proses Rekonstruksi & Rekonsiliasi, h. 48.


(42)

oleh pemerintahan SBY-JK tawaran pemberian otonomi khusus pada Aceh dalam babak pertama (Januari).

2. Perundingan Helsinki Tahap II

Sebelumnya Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan kelompok separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hari senin tanggal 21 Februari 2005 di Helsinki, Finlandia, kembali bertemu untuk membicarakan penyelesaian masalah Aceh. Pertemuan kedua ini berlangsung di Koeningstedt Estate. Yang berlangsung dengan perantaraan Crisis Management Initiative (CMI) sebuah lembaga yang dipimpin bekas presiden Finlandia Martti Ahtisaari.40. pembicaraan informal ini menghadirkan wakil II GAM , Perdana Mentri Malik Mahmud dan Mentri Luar Negerinya Zaini Abdullah. Adapun tujuan pembicaraan diskusi adalah bagaimana konflik antara pemerintah Indonesia dengan GAM yang telah berlangsung sejak akhir tahun 1976 dan telah menelan korban sebanyak 12.000 jiwa, dapat diselesaikan.41 Pembicaraan “informal” ini, karena itu, dapat juga disebut sebagai “peace talks”.42 Bagaimanapun juga, penentangan terhadap peace talks terkesan tidak terlalu kuat. Kantor Wakil Presiden nyaris tidak berpengaruh. Kantor tersebut bahkan telah menyiapkan sebuah agenda yang telah disepakati dengan pihak GAM untuk didiskusikan dalam

40

Nasional, “Pemerintah RI dan GAM Bicarakan Penyelesaian Aceh”, 21 Februari 2005

41

Thung Ju Lan, Thung Ju Lan, dkk, Penyelesaian Konflik di Aceh : Aceh dalam Proses Rekonstruksi & Rekonsiliasi, h. 19

42

“peace talks”, bukanlah merupakan upaya pertama untuk menyelesaikan konflik politik dengan GAM, yang sementara itu kehadirannya identik dengan sebuah tuntutan kemerdekaan untuk sebuah wilayah yang dikonsepsikan sebagai Aceh, Sumatra.


(43)

pembicaraan informal babak kelima yang akan dilakukan bulan Juli dan didalamnya terdapat soal-soal seperti : “menarik mundur kekuatan bersenjata kedua belah pihak, pengaturan pemberian amnesti dan kompensasi ekonomi untuk the rebels dan mengizinkan delegasi asing dari Uni Eropa dan ASEAN mengunjungi Propinsi NAD untuk meninjau infrastruktur dilapangan seandainya tercapai kesepakatan antara pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka.43

Beriringan dengan suara kontra, terdengar pula suara-suara pro. Dukungan terhadap peace talks baik berupa pernyatan maupun opini bermunculan disana sini bukan hanya di Jakarta maupun di Aceh, tetapi juga dikalangan dunia internasional.

Helsinki begitu jadi amat popular, sebab di kota itulah nasib Aceh kedepan akan ditentukan mungkinkah Aceh akan menggapai perdamaian atau sebaliknya perang akan terus berkecamuk?. Masalah ini telah dibahas di Helsinki 12 hingga 17 April 2005 pada pertemuan babak ketiga yang dibatasi pada pembahasan Otonomi Khusus dan Self Government untuk Aceh..44

Perjalanan menuju Aceh yang damai belum berakhir. Berakhirnya perundingan Helsinki II meninggalkan banyak pertanyaan, terutama bagi kalangan elit politik Indonesia. Pertanyaan mereka berkisar tentang niatan GAM untuk mengusulkan bentuk self

43

Kompas, “Delegasi Asing di Aceh : Menhan Kecewa DPR Bocorkan Surat

Rahasianya”, 30 Juni 2005.

44

Aceh Kita, “DialogBabak Ketiga Helsinki, Mendebatkan Bentuk Pemerintahan Aceh,” April 2005, h. 4.


(44)

government sebagai pengganti istilah otonomi khusus yang digunakan oleh Pemerintah RI. Para pejabat pemerintah dan elit politik di parlemen kontan melakukan penolakan terhadap usulan GAM yang menurut mereka berkonotasi dengan kemerdekaan.

Secara harfiah, self government diartikan sebagai pemerintahan sendiri. Hal ini disebabkan dalam terminologi hukum internasional terdapat istilah nonself government territories atau wilayah yang tidak memiliki pemerintahan sendiri.

Pemerintahan Indonesia tidak akan melakukan perubahan terhadap UU No. 18 tentang Otonomi Khusus. Artinya kesempatan GAM menggunakan pemilihan kepala daerah (pilkada) sebagai sarana perjuangan mereka telah ditutup rapat-rapat oleh Indonesia. Sedangkan GAM sendiri tidak menjelaskan secara terperinci perihal self government dan bagaimana memperjuangkannya. Dalam siaran persnya, GAM hanya menyatakan ide tersebut muncul untuk melepaskan diri dari deadlock dalam kerangka prinsip “nothing is agreed untull everything is agreed”. Sedangkan bentuk perjuangannya melalui referendum yang melibatkan rakyat Aceh.

Bila kita mau belajar, beberapa negara di dunia yang memiliki permasalahan separatisme ternyata tidak semua menggunakan jalan kekerasan sebagai jalan utama penyelesaian konflik. perundingan adalah jalan pintu utama yang dikedepankan oleh para pihak yang


(45)

berkonflik. Pada banyak kasus, perundingan berujung pada win-win solution, seperti di negara Cina, Inggris, Kanada dan lainnya.

3. Perundingan Helsinki Tahap III

Pertemuan Helsinki babak ketiga akan membatas Otonomi Khusus dan Self Government untuk Aceh, yakni sebuah bentuk pemerintahan sendiri untuk Aceh. Masalah self government ini masih tumpang tindih dalam pengertiannya, karena antara pihak pemerintah dan pihak GAM sendiri belum jelas self government yang seperti apa yang mereka inginkan?.

Pengertian self government ini menjadi sebuah topik hangat di kalangan pejabat dan DPR RI. GAM sendiri menganggap self government ini berbeda dengan otonomi khusus, maka muncullah berbagai kecurigaan yang ditujukan kepada GAM. Apapun bentuk self government yang ditawarkan oleh pihak GAM kepada pemerintah pusat harus dilandasi keinginan rakyat Aceh. bisa saja berbentuk otonomi khusus, tapi tidak menutup kemungkinan keluar dari NKRI. Karena itu, bukan tidak mungkin GAM akan menuntut referendum yang menentukan bagaimana bentuk pemerintahan yang diinginkan rakyat.

Pada bulan April, GAM tetap mendengarkan pemaparan pemerintah Indonesia dalam dialog dan ditawarkan draf tawaran


(46)

pemerintah Indonesia untuk GAM dan juga tuntutan pemerintah Indonesia terhadap GAM, yaitu :45

Draf Tawaran Pemerintah Indonesia untuk GAM 1. Membangun listrik PLTA 80 MW

2. Menyerahkan PTPN I serta aset-asetnya kepada anggota dan pemimpin GAM

3. Menyediakan dana Rp. 60 Miliar dalam bentuk tabungan kepada Pemda Aceh, dimana 10 persen akan diberikan untuk GAM

4. Memberikan dua pesawat Boeing 737-300 untuk Pemprov NAD

5. Menyerahkan 10 pesawat dengan kapasitas 15 penumpang kepada Pemprov NAD

6. Memperbaiki semua landasan udara di seluruh Aceh 7. Memberikan kebun kepada 150 pesantren di Aceh

8. Memberi amnesti kepada semua anggota GAM. Namun amnesti tidak diberikan kepada anggota GAM yang terlibat perbuatan tindak pidana

Adapun Tuntutan Pemerintah Indonesia terhadap GAM, adalah :

1. Menjalankan secara konsisten semua produk hukum terkait Otonomi Khusus

45

Aceh Kita,” Dialog Babak Ketiga Helsinki, Mendebatkan Bentuk Pemerintahan Aceh”, h. 7


(47)

2. Menyerahkan minimal 900 pucuk senjata

3. Menyerahkan pengamanan Aceh kepada TNI dan Polri

4. Perundingan Helsinki Tahap IV

Pada babak keempat, yang berlangsung 26-31 Mei, telah dibahas soal-soal partisipasi politik dan keamanan by rebels dalam kerangka self government.46 Beriringan dengan berlangsungnya proses pembicaraan, khususnya pada babak yang keempat ini, muncul penentangan dari beberapa pihak, seperti : para pemimpin Tentara Nasional Indonesia (TNI), beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan belakangan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).

Reaksi beberapa anggota DPR, terkait dengan munculnya gagasan dalam proses pembicaraan di Helsinki untuk melibatkan Uni Eropa dalam upaya menyelesaikan konflik secara damai. Kehadiran yang belakangan ini, Uni Eropa, dalam pandangan mereka hanya akan melahirkan apa yang diistilahkannya “the internationalization of Aceh (internasionalisasi masalah Aceh).

5. Perundingan Helsinki Tahap v

Banyak hal yang tampak samar-samar, tetapi sangat menarik untuk diamati dalam perundingan damai Indonesia-GAM ini. Pada akhir perundingan babak kelima di Vantaa, Helsinki, Juni 2005, anggota delegasi Indonesia sudah menarik napas lega saat delegasi

46

Thung Ju Lan, dkk, Penyelesaian Konflik di Aceh : Aceh dalam Proses Rekonstruksi & Rekonsiliasi , h. 21.


(48)

GAM sama sekali tidak mempersoalkan tiga hal pokok dan sensitif, yakni referendum, keinginan memerdekakan Aceh dan pengakuan pada otoritas Negara Kesatuan Republik Indonesia berikut konstitusi dan hukumnya.

Ronde kelima perundingan antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka telah tuntas. Kedua kubu berhasil mencapai titik temu dalam sejumlah agenda. Tetapi tak semua berjalan lancar, ada persoalan yang kemudian muncul, yakni keinginan GAM agar di Nanggroe Aceh Darussalam diperbolehkan mendirikan partai politik lokal. Pemerintah Indonesia sempat bingung menanggapi tuntutan pembentukan partai politik lokal tersebut. GAM menganggap pendirian partai politik lokal merupakan kompensasi yang sepadan dengan kesediaan mereka meletakkan senjata.

Permintaan GAM mulanya ditolak oleh pemerintah. Alasan yang dipakai adalah Undang-Undang Partai Politik, yang mengharuskan setiap partai berpusat di Jakarta dan setidaknya punya cabang di sebagian jumlah provinsi di Indonesia. Sikap keras Pemerintah belakangan luluh. Untuk mengakomodasi tuntutan pendirian partai politik lokal, pemerintah melontarkan gagasan untuk mengubah Undang-Undang Nomor No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Otsus NAD) dan bukannya Undang-Undang tentang Partai Politik.47

47


(49)

Sejauh ini DPR belum mengeluarkan suara resmi. Namun beberapa anggota DPR menyatakan keberatan dengan jalan tengah yang ditawarkan pemerintah, yaitu dengan amandemen UU Otsus NAD. Soal partai politik lokal, substansinya ada pada UU Partai Politik.

Dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh Tempo, jumlah suara responden yang mendukung dan yang menolak partai lokal tak berbeda jauh, yang setuju mencapai 53,35 persen dan yang tidak setuju 43,59 persen. Dengan alasannya masing-masing, ada yang menyatakan bahwa partai lokal penting untuk memaksimalkan aspirasi masyarakat di daerah dan baik untuk memperbaiki partai nasional. Sedangkan dari kubu yang menolak, bahwa pemberian amnesti serta pemberian hak untuk menjadi warga negara Indonesia sudah cukup bagi eks-GAM.48

GAM dan pemerintahan RI bersepakat menandatangani nota kesepahaman babak kelima kedua pihak di Vantaa, Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005. Delegasi Indonesia diwakili oleh antara lain, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Widodo A.S, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, mewakili GAM, hadirlah Malik Mahmud, Zaini Abdullah dan Bakhtiar Abdullah juru bicara GAM di Swedia. M.Nur Djuli, Nurdin Abdurrahman. Tim delegasi GAM juga diperkuat Damien Kingsbury, dosen Ilmu Politik dari Universitas Deakin, Australia. Martti Ahtisaari, mantan Presiden Finlandia, turut

48


(50)

menyaksikan momen yang amat bersejarah itu. Martti berperan sebagai “wasit” selama lima kali putaran dialog damai hingga tercapainya kesepakatan Helsinki.

Sebagaimana dapat dibaca dalam terjemahan resmi bahasa Indonesia dari MoU, Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, enam hal pokok tercantum dalam MoU atau Nota Kesepahaman : (1) Penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh, (2) Hak Asasi Manusia, (3) Amnesti dan reintegrasi kedalam masyarakat, (4) Pengaturan Keamanan, (5) Pembentukan Misi Monitoring Aceh dan (6) Penyelesaian Perselisihan.

Nota kesepahaman itu terdapat empat hal pokok dalam draf final MoU tersebut. Pertama, penyelesaian masalah Aceh harus diselesaikan dengan jalam damai. Kedua, penyelesaian seluruh masalah Aceh harus secara menyeluruh, tidak bisa parsial. Ketiga,

harus ada kesinambungan dari kesepakatan tersebut, harus ada tindak lanjut dan aksi konkret atas kesepakatan yang dicapai. Keempat, penyelesaian masalah Aceh harus secara bermartabat, tidak ada yang kehilangan muka.

B. Tercapainya Kesepakatan Damai Dengan Isi Perdamaian Antara Kedua Belah Pihak


(51)

Berbagai hasil telah diungkap oleh tim perunding dalam pertemuan informal kelima antara pemerintah Indonesia dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka di Helsinki. Pertemuan yang pada awalnya dimaksudkan menciptakan iklim kondusif bagi para relawan dalam membantu rakyat di Nanggroe Aceh Darussalam pascatsunami telah berubah dan dijadikan penyelesaian menyeluruh dari pemberontakan yang dilakukan oleh GAM terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tim perunding optimistis hasil perundingan akan dapat menyelesaikan masalah GAM secara damai.

Menurut Hikmahanto Juwana Guru Besar Fakultas Hukum UI, Depok dalam harian Kompas 2002, paling tidak ada empat hal yang perlu mendapat perhatian, sebelum akhirnya pemerintah menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan GAM pada Agustus 2005 lalu. Pertama,

segera setelah kembali dari Helsinki, tim perunding ataupun pemerintah perlu menyampaikan hasil kesepakatan yang telah dicapai kepada DPR dan publik Indonesia. Ini penting karena pengambilan keputusan di negeri ini tidak lagi berpusat pada pemerintah. Yang baik menurut pemerintah belum tentu baik untuk rakyat apalagi rakyat Aceh. Dalam alam demokrasi, rakyat harus diberi kesempatan menentukan apa yang baik untuk dirinya.

Disamping itu, penyampaian hasil sangat penting agar publik dapat mengambil keputusan berdasarkan informasi yang akurat. Saat ini informasi yang disampaikan tidak secara utuh dan bersumber pada media


(52)

massa. Informasi juga penting disampaikan agar publik tidak dikejutkan dengan keputusan yang diambil oleh pemerintah.

Kedua, pemerintah harus memberi kesempatan kepada publik mewacanakan hasil perundingan Helsinki. Bahkan, pemerintah wajib memberi tahu apa yang dikehendaki mayoritas rakyat Indonesia. Proses wacana harus dilakukan karena suara Indonesia tidak bisa direduksi sebagai hanya suara pemerintah. Bahkan bila ditilik, didalam pemerintah pun masih ada pro dan kontra.

Ketiga, penetapan waktu sebelum peringatan Proklamasi 17 Agustus, bahkan diupayakan sebagai kado ulang tahun, seharusnya tidak dilakukan. negosiasi untuk masalah sesensitif penyelesaian GAM harus dijalankan tanpa ada jangka waktu, tetapi pada kehati-hatian untuk tidak menyelesaikan gerakan separatis dengan melanggar hak asasi manusia.

Keempat, pada saat publik Indonesia meyetujui hasil perundingan untuk disepakati dalam MoU, perlu diperhatikan jenis MoU yang ditandatangani. MoU itu jelas merupakan perjanjian yang memiliki ikatan hukum, tidak sekedar ikatan moral.

Dari empat hal tersebut ternyata proses perundingan Helsinki bukan tidak menuai kecaman, tetapi banyak sekali pro dan kontra dalam menerima hasil perundingan tersebut, ada dari beberapa pihak di luar masyarakat Aceh yang menolak untuk dilaksanakannya perundingan Helsinki. Namun ketidaksetujuan ini hanya berkisar pada masalah mekanisme dan proses perundingan, tempat perundingan dilaksanakan,


(53)

juru runding yang dianggap kurang mewakili masyarakat Aceh, serta isi dari beberapa butir hasil perjanjian (MoU). Setelah mengalami beberapa pertemuan dan perundingan yang melalui proses yang panjang dan rumit pada akhirnya sebuah draft kesepakatan perdamaian berhasil di setujui oleh pemerintahan SBY-JK dan pimpinan GAM. Draft diformalkan dalam sebuah Memorandum of Understanding (MoU) yang ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005, antara Pemerintah Indonesia dan GAM di Helsinki dengan isi perdamaian sebagai berikut.49 Keadaan damai adalah prasyarat berakhirnya konflik dan tentu saja itu berhubungan langsung dengan proses dan hasil perundingan terutama implementasinya.

Walaupun nota kesepahaman sudah ditandatangani bersama, tapi kritik dan tantangan belum hilang sama sekali. Pro dan kontra antara perdamaian melalui meja perundingan dan melanjutkan perang di medan pertempuran selalu timbul dalam memilih cara penyelesaian konflik bersenjata. Di belahan bumi mana saja dan sepanjang sejarah hal itu biasa terjadi, sehingga bukan merupakan masalah istimewa. Sebagai contoh, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih penyelesaian konflik secara damai untuk masalah Aceh, mengandalkan apa yang disebutnya sebagai soft power. Tak urung kritik tetap dilancarkan terhadap berbagai segi musyawarah Helsinki, dari soal isi yang dirundingkan sampai soal sifat dan kedudukan perundingan dengan GAM itu sendiri. Sebenarnya ada inkonsistensi dalam berbagai kritik itu. Jika yang dipermasalahkan

49


(54)

adalah prinsip sah atau tidaknya perundingan, harusnya isi yang dirundingkan tidak relevan lagi untuk ditolak atau dipermasalahkan.

Selain pihak-pihak masyarakat Aceh dan di luar masyarakat Aceh yang sejak awal tidak setuju diadakannya perundingan, kehadiran MoU juga mengundang bermacam pertanyaan dan kritik yang dikemukakan oleh berbagai kalangan diantaranya anggota DPR, MPR DPD, pejabat negara, mantan pejabat, anggota/fungsionaris partai politik, pengamat, akademisi, LSM dan lain sebagainya, dengan nada baik yang bersifat optimis dan pesimis, pro dan kontra. Sebagai contoh, setelah memperhatikan isi perjanjian Ketua Mahkamah Konstitusi RI menyatakan bahwa tidak ada satu paragraph pun dalam MoU (Nota Kesepahaman) yang menyebutkan bahwa NKRI dan UUD 45 sebagai dasar konstitusi dari perjanjian dan MoU yang dihasilkan.

Tentu saja semua ini masih merupakan harapan dan tujuan yang perlu diupayakan untuk dicapai. Oleh karena itu perundingan perdamaian yang sudah dilakukan dan telah menghasilkan MoU harus diimplementasikan dengan baik. Untuk itu diperlukan suasana saling mendukung, menghormati dan menghargai.

C. Pendapat Para Tokoh Terhadap Perundingan Helsinki

Proses perundingan untuk menyelesaikan konflik Aceh yang hampir dua tahun tertutup, kembali dibuka setelah wilayah itu dilanda tsunami 26 Desember 2004 lalu. Harapan damai yang hampir hilang


(55)

sebaik pemerintah menetapkan Aceh dalam darurat militer kembali muncul seiring dengan mengalirnya perhatian luar wilayah itu.

Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI terpilih pada tahun 2004 mengatakan bahwa beliau akan berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan solusi damai atas konflik separatisme di propinsi Aceh. Konflik Aceh garus diselesaikan dengan cara yang adil dan sedamai mungkin. Maka dicetuskanlah perundingan perdamaian di Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005. Seluruh elemen masyarakat menyambut penuh harapan perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan GAM.

Banyak sekali pendapat-pendapat baik itu dari tokoh atau masyarakat Aceh sendiri dan juga dari tokoh-tokoh masyarakat lain dalam menyikapi perundingan Helsinki. Seperti yang dinyatakan oleh Ketua Aliansi BEM se-NAD, Zirhan, bahwa masyarakat Aceh mendukung sepenuhnya proses perdamaian secara permanen. Namun, perdamaian harus diakui dengan implementasi bentuk-bentuk perdamaian secara konkret di lapangan, yakni kelompok GAM bersedia menyerahkan seluruh senjatanya kepada Pemerintah RI. Sementara Pemerintah memulihkan dan mengembalikan seluruh hak-hak politik kelompok GAM, seperti masyarakat sipil biasa dan menarik pasukan TNI non-organik yang dilakukan secara bertahap.

Sementara itu, DPP-Ittihadiyah, menyatakan dengan ditekennya kesepakatan damai, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pertama pilihan langsung rakyat memulai meletakkan nilai-nilai peradaban bagi


(56)

bangsa Indonesia dengan membuka pintu damai secara ikhlas, jujur dan berani. “Melalui perdamaian tentu Indonesia bisa menuju pembangunan suatu bangsa yang beradab lahir dan batin dengan menguburkan dendam yang berkepanjangan,” ujar Wakil Sekjen DPP AL-Ittihadiyah, H. Muchlis Arsyad Suhada Al-Singkily yang juga ketua Yayasan Syiah Kuala.

Menurut dia, peristiwa bersejarah itu merupakan rahmat Allah SWT dalam memelihara keutuhan integritas NKRI serta sebuah hadiah yang sangat berharga bagi ibu pertiwi dalam memperingati HUT kemerdekaan yang ke-60. dukungan perdamaian juga datang dari DPP PAN. Menurut Sutrisno Bachir, ketua Umum DPP PAN, partainya menginginkan sepenuhnya perdamaian di NAD. Rakyat Aceh sendiri juga sudah sangat menginginkan berhentinya segala konflik yang selama puluhan tahun telah menimpanya.

“Kami mendukung sepenuhnya penyelesaian damai di Helsinki. Segala sengketa melalui konflik senjata telah mengorbankan banyak nyawa, terutama orang Aceh, karena itu harus dihentikan. Penyelesaian damai itu adalah cara yang terbaik, kata Sutrisno Bachir di sela Muswil PAN Propinsi Banten, pada hari Sabtu 13 Agustus 2004.

Selain itu dari Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) menyatakan mendukung penuh proses perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang baru saja selesai dibicarakan di Helsinki, Finlandia. “Semoga perjanjian itu benar-benar dapat dilaksanakan secara jujur dan terbuka, tidak ada propaganda atau


(57)

provokasi yang bertujuan untuk menggagalkan pengimplementasiannya dilapangan,” demikian diungkapkan Dewan Presidium SIRA Nasruddin Abubakar dalam siaran persnya kepada SM Cybernews, Rabu 19 Agustus 2005.

Dengan demikian, Nasruddin Abubakar meminta kepada seluruh rakyat Aceh termasuk anggota-anggota GAM di lapangan untuk bersikap damai pasca perjanjian Helsinki. “Berakhirnya perundingan antara pemerintah RI dan GAM putaran ke-V di Helsinki, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005, telah menghasilkan beberapa poin penting penyelesaian konflik politik Aceh secara bermartabat, yang telah berlangsung selama kurang lebih 30 tahun lamanya.”

Menurut SIRA, pelaksanaan perjanjian Helsinki akan menjadi kenyataan dari harapan rakyat Aceh untuk membawa perubahan dan kemajuan yang sangat signifikan terhadap kehidupan rakyat yang telah lama hidup dalam penderitaan dan kekerasan militer Indonesia.


(58)

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Sejak awal kemerdekaan, Aceh adalah bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sumbangan tokoh-tokoh dan rakyat kita di Aceh dalam menegakkan kedaulatan Negara di zaman revolusi, tidak mungkin kita lupakan untuk selama-lamanya. Ketika sebagian besar wilayah negara kita diduduki oleh pasukan Sekutu dan Belanda, kita menjadikan Aceh sebagai “daerah modal”.

Berbagai peristiwa telah terjadi di masa lalu, sehingga terjadilah pergolakan dan pemberontakan, yang baru dapat diatasi pada akhir dekade 1950. situasi tenang di Aceh tidak berlangsung lama. Berbagai ketimpangan yang ada, telah mendorong timbulnya gerakan pemisahan diri, sejak tahun 1976. sejak itu hampir tiga dekade lamanya konflik bersenjata terjadi di Aceh. Berbagai kebijakan penanganan telah dicoba untuk dilakukan, namun hasilnya masih jauh dari memuaskan. Betapa sedih dan duka hati kita, dalam 60 tahun usia kemerdekaan bangsa kita, hanya beberapa tahun saja rakyat kita di Aceh menikmati kehidupan yang damai. Kesedihan itu semakin bertambah, ketika gempa bumi yang dahsyat dan gelombang tsunami melanda Aceh. Hampir dua ratus ribu jiwa menjadi korban dalam waktu sekejap. Dalam suasana duka seperti itu, pemerintah bertekad untuk segera menyelesaikan persoalan di


(59)

Aceh secara damai, adil dan bermartabat sesuai amanat ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002.

Dari masa Soekarno sampai Megawati proses penyelesaian konflik di Aceh yang terlihat lebih dominan dilakukan adalah proses dialog dan perundingan walaupun disela-sela proses penyelesaian tersebut ada kebijakan-kebijakan lain seperti diberlakukannya Daerah Operasi Militer pada masa Soeharto dari tahun 1989-1998, yang banyak sekali terjadinya pelanggaran HAM dan korban jiwa.

Kemudian pada masa Habibie status DOM tersebut dicabut, tetapi tetap saja tidak berubah masih saja banyak pelanggaran-pelanggaran HAM terjadi. Pada akhirnya muncullah isu referendum yang dipelopori pada saat Kongres Mahasiswa dan Pemuda Aceh Serantau (KOMPAS) yang menghasilkan dua buah solusi, yang berlanjut pada 9 janji program kebijakan pembangunan untuk Aceh dalam rangka mencari format penyelesaian konflik yang berkepanjangan.

Selain itu banyak sekali perundingan-perundingan perdamaian yang dilakukan oleh Gusdur dan Megawati dalam menyelesaikan konflik yang berkepanjangan di Aceh demi terwujudnya Aceh yang damai dan sejahtera. Namun banyak sekali kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh mereka. Sehingga sampai pada akhir jabatan, mereka belum dapat menyelesaikan konflik tersebut.

Secara konseptual, penandatanganan JoU Jeda Kemanusiaan merupakan momentum paling penting dalam rentang waktu 10 tahun terakhir


(60)

untuk meredakan ketegangan bersenjata, akibat terikatnya pihak yang bertikai pada peraturan bersama yang disepakati sebelumnya. Kehadiran jeda kemanusiaan sangat wajar jika disambut antusias oleh masyarakat Aceh. mereka menaruh harapan besar agar ketegangan dan kekerasan yang terjadi dapat segera diakhiri dan diganti dengan suasana yang kondusif, aman, damai serta sejahtera lahir bathin.

Pada tataran ide dan konsep, banyak pihak berkeinginan dan menaruh harapan besar agar jeda kemanusiaan menjadi rahmat bagi masyarakat Aceh yang dilanda konflik. apalagi dengan mendasarkan pada teori hirarki kebutuhan masa lalu yang menyebutkan bahwa rasa aman dan hidup dalam suasana kondusif merupakan substansi dari kebutuhan manusia.50

Akan tetapi, jeda kemanusiaan yang relatif mencerminkan penghargaan tinggi terhadap HAM, ternyata telah menimbulkan persoalan lain. Pada tingkat operasional, kesepakatan-kesepakatan yang telah ditandatangani bersama tidak dilakukan secara konsisten, apalagi taat hukum. Berbagai tindakan kekerasan terhadap masyarakat sipil yang mengiringi pelaksanaan JoU telah melahirkan fenomena baru dalam masyarakat berupa wabah kecemasan sehingga aplikasi JoU mengalami kendala psikologis pada level implementasi dan sosialisasi. Pasca penandatanganan JoU memang ada kecenderungan penurunan tensi kekerasan, akan tetapi ini tidak secara otomatis menunjukkan bahwa realisasi jeda kemanusiaan telah berjalan secara

50


(61)

sinergis, sebab tujuan utama penyaluran bantuan kemanusiaan tidak terlaksana secara optimal.

Sejak bulan Januari 2005, Presiden SBY banyak melakukan pembicaraan informal dengan tokoh-tokoh GAM di Helsinki, Finlandia. Pembicaraan itu telah membuahkan hasil, dengan ditandatanganinya Memorandum Kesepahaman tanggal 15 Agustus 2005. Dengan kesepahaman ini, GAM mengakhiri kegiatannya untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah telah meminta pertimbangan DPR untuk memberikan amnesty dan abolisi kepada mantan aktivis GAM. Semua agenda yang tertera dalam Memorandum Kesepahaman haruslah dilaksanakan dengan konsisten.

B. Saran-saran

Banyak sudah upaya-upaya yang dilakukan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menyelesaikan konflik di Aceh di mulai dari presiden pertama Soekarno sampai pada presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan kebijakan-kebijakan yang berbeda.

Kalau bisa kita lihat dari masa lalu, yang sekarang jadi persoalan adalah peta persoalan akibat dari semua proses yang terjadi di Aceh sejak 1989 itu belum terekam dengan baik. Kalau memang pemerintah beritikad baik menyelesaikan kasus di Aceh, secara optimis mereka memiliki kewajiban membangun ruang rasa aman bagi masyarakat agar memberikan informasi. Situasi dan kondisi Aceh yang masih dalam kekerasan membuat masyarakat


(62)

trauma dan shock, sehingga kita akan menghadapi banyak hambatan-hambatan proses pertanggungjawaban, seperti pencabutan Daerah Operasi Militer masih terlalu formil untuk dinilai sebagai suatu keputusan politik yang berarti, sebelum situasi itu diikuti dengan perbaikan kondisi masyarakat Aceh.51

Analisa ini hanyalah sebagai salah satu untuk lebih mengetahui banyak hal yang sudah dilakukan untuk menyelesaikan konflik di Aceh. Mungkin bagi sebagian orang konflik yang terjadi di Aceh dan upaya-upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah hal yang menarik untuk dikaji, namun bukan berarti ini harus disepelekan, karena bagaimanapun konflik ini harus dicari solusinya demi terciptanya rakyat Aceh yang damai dengan penyelesaian yang adil dan bermartabat.

Pada akhirnya penulis ingin memaparkan bahwa segala sesuatu itu butuh analisa dan kritikan, oleh karena itu teruslah menganalisa dan mengkritik agar benar-benar sampai pada kesimpulan yang valid, khususnya dalam persepsi pribadi. Akhirnya penulis meyadari bahwa dalam karya ini, minimnya pengetahuan dan khasanah keilmuan yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritiknya guna kelanjutan skripsi ini di masa yang akan datang dan penulis memgucapkan terima kasih atas kesediaannya membaca karya ini.

51

Irfan S. Awwas, ed., Bencana Kaum Muslimin di Indonesia 1980-2000, (Yogyakarta : WIHDAH PRESS, Cet. V, 15 April 2000), h. 168.


(1)

trauma dan shock, sehingga kita akan menghadapi banyak hambatan-hambatan proses pertanggungjawaban, seperti pencabutan Daerah Operasi Militer masih terlalu formil untuk dinilai sebagai suatu keputusan politik yang berarti, sebelum situasi itu diikuti dengan perbaikan kondisi masyarakat Aceh.51

Analisa ini hanyalah sebagai salah satu untuk lebih mengetahui banyak hal yang sudah dilakukan untuk menyelesaikan konflik di Aceh. Mungkin bagi sebagian orang konflik yang terjadi di Aceh dan upaya-upaya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia bukanlah hal yang menarik untuk dikaji, namun bukan berarti ini harus disepelekan, karena bagaimanapun konflik ini harus dicari solusinya demi terciptanya rakyat Aceh yang damai dengan penyelesaian yang adil dan bermartabat.

Pada akhirnya penulis ingin memaparkan bahwa segala sesuatu itu butuh analisa dan kritikan, oleh karena itu teruslah menganalisa dan mengkritik agar benar-benar sampai pada kesimpulan yang valid, khususnya dalam persepsi pribadi. Akhirnya penulis meyadari bahwa dalam karya ini, minimnya pengetahuan dan khasanah keilmuan yang dimiliki. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritiknya guna kelanjutan skripsi ini di masa yang akan datang dan penulis memgucapkan terima kasih atas kesediaannya membaca karya ini.

51

Irfan S. Awwas, ed., Bencana Kaum Muslimin di Indonesia 1980-2000, (Yogyakarta : WIHDAH PRESS, Cet. V, 15 April 2000), h. 168.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A, Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2003

Blau, M Peter, Exchange and Power in Social Life, New York : Wiley, 1964 Fuad, Noeh Munawar, SBY dan Islam, Depok : Lembaga Studi dan Advokasi

Kerukunan Umat Beragama, 2004, Cet. Ke-1

Handoko, Martin, Motivasi Daya Penggerak Tingkah Laku, Yogyakarta : Kanisius, 1992

Haris. Syamsudin, et al., Indonesia di Ambang Perpecahan, Jakarta : Erlangga, 1999

Isa, Sulaeman M Dr, Aceh Merdeka : Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2000

Ju, Lan Thung, dkk., Penyelesaian Konflik di Aceh : Aceh dalam Proses Rekonstruksi & Rekonsiliasi, Jakarta : Riset Kompetitif Pengembangan IPTEK Sub Program Otonomi Daerah Konflik dan Daya Saing-LIPI, 2005 Mustofa, Kurdi dan Wahid, Yani, Susilo Bambang Yudhoyono dalam 5 hari

mandat maklumat : Demokrasi, Kekuasaan dan Hati Nurani, Jakarta : Aksara Kurnia, Juli 2001, Cet. Ke-1

Nur, El-Ibrahimy M, Peranan Tgk. M. Daud Beureu-eh Dalam Pergolakan Aceh, Jakarta : Gunung Agung

Otto, Ishak Syamsudin, Dari Ma’af ke Panik Aceh, Jakarta : YAPPIKA, LSPP Cordopa, 2000

Rahmany, P Dyah, Matinya Bantaqiah, Banda Aceh : Cordova Institute For Civil Society Empawerment, Agustus 2001


(3)

S, Awwas Irfan, (ed.), Bencana Kaum Muslimin di Indonesia 1980-2000. Yogyakarta : WIHDAH PRESS,April 2000, Cet. Ke-V

Satya, Dharma S & W, Eda Fikar, Aceh Menggugat : Sepuluh Thun Rkyat Aceh di Bawah Tekanan Militer,Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1999

Soekanto, Soejono, Kamus Kriminologi, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988

S, Pane Neta, Sejarah dan Kekuatan Gerakan Acrh Merdeka : Solusi, Harapan dan Impian, Jakarta : PT. Grasindo, 2001

Tippe, Syarifudin, Aceh di Persimpangan Jalan, Jakarta : Cidencindo Pustaka, 2000

Tiro, Hasan, GAM Hasan Tiro dalam Perjuangan Bangsa, Titian Ilmu Insani, Oktober 2000, Cet. Ke-1

Umar, Musni, (ed.)1, Aceh Win-Win Solution, Jakarta : Forum Kampus Kuning, 2002

Majalah/Jurnal

Aceh Kita, Dialog Babak Ketiga Helsinki, Mendebatkan Bentuk Pemerintahan Aceh, April 2005

Bandoro, Bantaro, Politik Luar Negeri Republik Indonesia : Tantangan, Agenda dan Strategi, dalam 30 tahun CSIS

Nasional, Pemerintah RI dan Gm Bicarakan Penyelesaian Aceh, 21 Februari 2005 Tempo, Edisi Khusus 1 Tahun Tsunami, 26 Desember 2005-01 Januari 2006 ………….., Menanti Partai Lokal GAM, Edisi 25-31 Juli 2005

………….., R, Budi, GAM Tuding RI Nodai Kesepakatan, 13 Mei 2002

Surat Kabar

Kompas, Darurat Militer di Aceh Dilanjutkan, Sabtu 13 November 2004

………….., Delegasi Asing di Aceh : Menhan Kecewa DPR Bocorkan Surat Rahasianya, 30 Juni 2005


(4)

………., Presiden Tetapkan Darurat Sipil NAD, Rabu 19 Mei 2004 ………, Satu Bulan Darurat Militer di Aceh, Kamis 29 Juni 2003 ………., Tiga Alternatif Penanganan Aceh, Jum’at 16 Mei 2003

…………...., UU No. 18/2001 tentang Otonomi Khusus NAD, 26 Agustus 2002 Media Indonesia, Darurat Militer di Aceh Diperpanjang Enam Bulan, Jum’at 07

November 2003

……….., Mere SVD Steven, Asas Proporsionalitas dalam Kasus Aceh, Rabu 28 Mei 2003

……….., Perang Aceh dan Nasionalisme, Sabtu 24 Mei 2003 Republika, Aceh:Solusi Militer atau Politik, Selasa 16 Agustus 2003

Tesis

Suradi, Analisa Kriminologis Terhadap Perlawanan GAM Kepada Pemerintah Pusat : Studi Kasus Konflik Aceh Tahun 2000-2002, Tesis S2 Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2003

Website

Damai di Pidie Damai di Helsinki, diakses pada tanggal 08 Maret 2006, dari

http://www.Kompas.Com/Kompas-Cetak/0502/15/Opini/1561643.htm

Damai Melalui Dialog, diakses pada tanggal 08 Maret 2006, dari

http://www.Kompas. Com/Kompas-Cerak/0502/15/opini/1561643.htm

Inpres No. IV/2001 tentang Langkah-Langkah Komprehensif dalam rangka

Penyelesaian Aceh, diakses pada tanggal 26 Juli 2006, dari

http///www.Dfa-deplu.go.Id

Kamaruzzaman, Suraiya, Pelanggaran HAM, Konflik Sosial dan Usaha-Usaha Penyelesaiannya di Propinsi Aceh, diakses pada tanggal 29 Maret 2006, dari http://www. Acheh_eye. Org/data files/bahasa format/analysis bhs/analysis lainnya data-bhs/analysis lain-lain 2001 06 00 bhs.html

Momentum Cessation of Hostilities (Penghentian Permusuhan) dan Pemberian Ruang Demokrasi Bagi Masyarakat Sipil, diakses pada tanggal 08 Maret 2006, dari http://www. Suara Karya-online.com/news.html?id=118415


(5)

Momentum Kembalinya Operasi Militer, diakses pada tanggal 08 Maret 2006, dari

http://www.Suara Karya-online. Com/news.html?id=118415

Pengamat AS : Banyak Pelaksanaan MOU RI-GAM, diakses pada tanggal 08 Maret 2006, dari http://home.snafu.de/watchin/SIB_14.8.05.htm

Statement by Dr. Tengku Hasan M. di Tiro, The Head of Aceh Sumatra National

Liberation Front, diakses pada tanggal 29 Maret 2006, dari

http://www.Asnlf. Net

Wawancara Teuku Don dengan Tabloid Kronika 22 Januari 2000 dalam Aceh

Sekarang dan Masa Depan, diakses pada tanggal 08 Maret 2006, dari http://www.Indo-News.Com


(6)