Pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono & Wakil Presiden Jusuf Kalla Di Surat Kabar (Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla Pasca Kecelakaan Transportasi Yang Terjadi Bulan J

(1)

PENCITRAAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO &

WAKIL PRESIDEN JUSUF KALLA di SURAT KABAR

(Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla Pasca Kecelakaan Transportasi Yang

Terjadi Bulan Januari-Maret 2007 di Harian Kompas)

Skripsi

Disusun untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan Sarjana (S-1) pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Departemen Ilmu Komunikasi

Diajukan Oleh:

MERYATI PRISKA SIANTURI

030904015

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh : Nama : Meryati Priska Sianturi

NIM : 030904015 Departemen : Ilmu Komunikasi

Judul Skripsi : PENCITRAAN SBY & JK di SURAT KABAR

(Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla Pasca Kecelakaan Transportasi Yang Terjadi Bulan Januari – Maret 2007 di Harian Kompas)

Dosen Pembimbing Ketua Departemen

Drs. Iskandar Zulkarnain, MSi

NIP. 131882279 NIP. 131654105 Drs. Amir Purba, MSi

Dekan

NIP. 131757010


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

LEMBAR PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji

Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu politik Universitas Sumatera Utara, oleh :

Nama : Meryati Priska Sianturi Nim : 030904015

Pada hari :Sabtu

Tanggal : 29 Maret 2008 Pukul : 10.00 Wib

TIM PENGUJI

Ketua Penguji : Dra. Mazdalifah, Msi ( ) Nip. 131837035

Penguji : Dr. Iskandar Zulkarnain, Msi ( ) Nip. 131882279

Penguji Utama : Dra. Dayana, Msi ( ) Nip.131676480


(4)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul PENCITRAAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO & WAKIL PRESIDEN JUSUF KALLA di SURAT KABAR, Suatu studi Analis framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla Pasca Kecelakaan Transportasi yang Terjadi Bulan Januari-Maret 2007 di harian Kompas.

Susilo Bambang Yudhoyono & Jusuf Kalla adalah Presiden dan Wakil Presiden yang pertama sekali dipilih dalam pemilihan umum secara langsung oleh rakyat pada November 2004 . Sejak pemerintahannya SBY dan JK selalu mendapat sorotan publik, bukan saja dari masyarakat tapi juga dari pihak oposisi. Tragedi transportasi massal (KM. Senopati, AdamAir, KA. Bengawan-Solo, KM. Levina I & Garuda Indonesia) yang terjadi secara beruntun pada masa pemerintahan SBY&JK menuntut pembuktian eksistensi mereka sebagai pemimpin.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana media khususnya harian Kompas mengkonstruksi pemberitaan tentang SBY&JK pasca kecelakaan transportasi yang terjadi bulan Januari-Maret 2007 dalam membangaun citra mereka di mata publik.

Penelitian menggunakan metode analisis framing dengan model pendekatan Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dengan perangkat framing yang dapat dibagi kedalam empat struktur besar. Pertama, struktur Sintaksis (lead, latar, headline, kutipan, pernyataan dan penutup). Kedua, struktur Skrip (5W+1H). Ketiga, struktur Tematik (paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat dan sebagainya). Keempat ,struktur Retoris (pilihan kata, idiom, grafik).

Subjek penelitian adalah berita tentang SBY&JK pasca kecelakaan transportasi bulan Januari-Maret 2007, melalui total sampling diperoleh 20 item berita yang menjadi subjek penelitian. Penelitian ini tidak lepas dari subjektifitas peneliti, maka untuk menjaga kesubjektifan dan kesignifikasian penganalisaan data, penelitian ini menggunakan dua orang Rechecker (pembanding) yang akan meneliti subjek penelitian berdasarkan teknik analisis yang digunakan peneliti, kemudian hasil analisis rechecker akan dikomparasikan dengan hasil peneliti.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono & Wakil Presiden Jusuf Kalla bersikap tegas dan serius dalam menangani kecelakaan transportasi. Harian Kompas mengkonstruksi kemaksimalan pemerintah dalam menangani berbagai bencana transportasi dengan frame upaya-upaya pencarian terus dilakukan.


(5)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah ... 1

I.2 Perumusan Masalah ... 8

I.3 Pembatasan Masalah ... 8

I.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian I.4.1 Tujuan Penelitian ... 9

I.4.2 Manfaat Penelitian ... 9

I.5 Kerangka Teori 5.1 Teks Berita: Pandangan Konstruksionis ... 10

I.5.2 Analisis Framing ... 12

I.5.3 Berita dan Proses Produksi Berita ... 14

I.6 Kerangka Konsep... 17

I.7 Defenisi Operasional Variabel I.7.1 Sintaksis ... 18

I.7.2 Skrip ... 19

I.7.3 Tematik ... 20

I.7.4 Retoris ... 21

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Teks Berita : Pandangan Konstruksionis ... 22

2.2 Analisis Framing ... 31

2.3 Berita dan Proses Produksi Berita ... 39

2.4 Bahasa dan Ideologi ... 49

2.5 Media dan Pembentukan Citra ... 54


(6)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Deskripsi Subjek Penelitian

3.1 Sejarah Kompas ... 58

3.2 Visi dan Misi Kompas ... 63

3.3 Susunan Organisasi Harian Kompas ... 63

3.2 Metode Penelitian ... 67

3.3 Subjek Penelitian ... 70

3.4 Teknik Pengumpulan data ... 70

3.5 Unit dan Level Analisis ... 71

3.6 Teknik Analisis Data ... 71

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Sintaksis ... 75

4.1.2 Skrip ... 103

4.1.3 Tematik ... 119

4.1.4 Retoris ... 146

4.2 Pembahasan... 158

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ... 173

5.2 Saran ... 176

DAFTAR PUSTAKA


(7)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul PENCITRAAN PRESIDEN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO & WAKIL PRESIDEN JUSUF KALLA di SURAT KABAR, Suatu studi Analis framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla Pasca Kecelakaan Transportasi yang Terjadi Bulan Januari-Maret 2007 di harian Kompas.

Susilo Bambang Yudhoyono & Jusuf Kalla adalah Presiden dan Wakil Presiden yang pertama sekali dipilih dalam pemilihan umum secara langsung oleh rakyat pada November 2004 . Sejak pemerintahannya SBY dan JK selalu mendapat sorotan publik, bukan saja dari masyarakat tapi juga dari pihak oposisi. Tragedi transportasi massal (KM. Senopati, AdamAir, KA. Bengawan-Solo, KM. Levina I & Garuda Indonesia) yang terjadi secara beruntun pada masa pemerintahan SBY&JK menuntut pembuktian eksistensi mereka sebagai pemimpin.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana media khususnya harian Kompas mengkonstruksi pemberitaan tentang SBY&JK pasca kecelakaan transportasi yang terjadi bulan Januari-Maret 2007 dalam membangaun citra mereka di mata publik.

Penelitian menggunakan metode analisis framing dengan model pendekatan Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki dengan perangkat framing yang dapat dibagi kedalam empat struktur besar. Pertama, struktur Sintaksis (lead, latar, headline, kutipan, pernyataan dan penutup). Kedua, struktur Skrip (5W+1H). Ketiga, struktur Tematik (paragraf, proposisi, kalimat, hubungan antar kalimat dan sebagainya). Keempat ,struktur Retoris (pilihan kata, idiom, grafik).

Subjek penelitian adalah berita tentang SBY&JK pasca kecelakaan transportasi bulan Januari-Maret 2007, melalui total sampling diperoleh 20 item berita yang menjadi subjek penelitian. Penelitian ini tidak lepas dari subjektifitas peneliti, maka untuk menjaga kesubjektifan dan kesignifikasian penganalisaan data, penelitian ini menggunakan dua orang Rechecker (pembanding) yang akan meneliti subjek penelitian berdasarkan teknik analisis yang digunakan peneliti, kemudian hasil analisis rechecker akan dikomparasikan dengan hasil peneliti.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono & Wakil Presiden Jusuf Kalla bersikap tegas dan serius dalam menangani kecelakaan transportasi. Harian Kompas mengkonstruksi kemaksimalan pemerintah dalam menangani berbagai bencana transportasi dengan frame upaya-upaya pencarian terus dilakukan.


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Sekarang ini adalah zaman media. Hidup kita dikuasai oleh media mulai dari media elektornik maupun cetak dapat kita temui dimana-mana. Sebagian atau banyak dari informasi yang kita miliki diperoleh dari media. Hampir tidak ada satu rumahpun di dunia ini yang tidak dimasuki oleh arus informasi dari media, baik informasi yang dapat dibaca maupun yang bersifat audiovisual.

Media memiliki kekuatan untuk mengubah persepsi dan perilaku khalayak. Berbicara mengenai citra mengenai seseorang atau sesuatu yang melekat pada diri kita, sebagian besar dibentuk oleh media. Misalnya dari iklan di media citra perempuan diperlihatkan sebagai sosok yang lebih mempertimbangkan emosi daripada pikiran, berperilaku halus dan lemah gemulai, serta peran sosialnya di ranah rumah tangga (domestik domain) berbeda dengan pria yang digambarkan sebagi sosok yang mempertimbangkan pikiran, kasar, dan berkiprah di ranah publik (publik domain). Melalui penambahan citra itu sesungguhnya media, langsung atau tidak langsung, telah melakukan diskriminasi sebab telah mengabaikan kelompok perempuan, padahal perempuan juga merupakan pihak yang dapat berkiprah di ruang publik, ambisius dan ‘wanita karir’. Dalam konteks kemampuan dalam pembentukan citra itulah, media berperan untuk mengangkat isu-isu ke sektor publik.


(9)

SBY dan JK adalah Presiden dan Wakil Presiden yang pertama sekali dipilih dalam pemilihan umum secara langsung oleh rakyat pada tahun November 2004 . Selama 2,5 tahun pemerintahannya SBY dan JK selalu mendapat sorotan publik, bukan saja dari masyarakat tapi juga dari pihak oposisi

Dalam proses terpilihnya SBY sebagai Presiden, SBY memperoleh ‘keuntungan’ citra yang besar ketika diberhentikan oleh Gus Dur sebagai Menkosospolhankam dan menolak jabatan lainnya. Ia juga mendapat ‘keuntungan’ citra ketika mengundurkan diri sebagai Menkopolkam. SBY tampil memberi keterangan pers, dengan ekspresi emosi yang matang dan hal ini dipublikasikan oleh media. Di media SBY tampil dengan sosok dengan tutur kata yang tertata, tenang dan santun tanpa kehilangan wibawa. Peristiwa tersebut turut membentuk citra SBY sebelum pemilihan umum sebagai sosok yang layak memimpin bangsa Indonesia karena bukan termasuk arus besar politik seperti legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang dipersepsikan telah gagal memulihkan Indonesia dari krisis.

Bangsa Indonesia sedang mengalami berbagai persoalan, berbagai bencana alam seperti banjir, tanah longsor, gempa bumi di berbagai daerah di tanah air mewarnai perjalanan tahun 2006. Masalah bencana alam di berbagai daerah belum lagi selesai, akhir akhir ini masyarakat kita terhenyak dengan berbagai kecelakaan transportasi.

Akhir tahun 2006, tepatnya tanggal 30 Desember KM (Kapal Motor) Senopati Nusantara yang berangkat dari Teluk Kumai, Kalimantan Tengah, dinyatakan hilang. Berdasarkan data penumpang, kapal ini mengangkut 628 orang yang terdiri dari 542 penumpang, 57 anak buah kapal, dan 29 orang sopir truk dan kendaraan. Selain penumpang, kapal ini juga membawa truk besar, 3 kendaraan kecil, 1 alat berat dan 3


(10)

sepeda motor. Dari jumlah total penumpang diperkirakan 46 orang meninggal dan 349 dinyatakan hilang. (http://news.indosiar.com/)

Awal Januari 2007, tepatnya 1 Januari, kita semua dikejutkan dengan hilangnya pesawat Adam Air. Pesawat jenis Boeing 737-400 milik maskapai penerbangan Adam Air jurusan Surabaya–Manado, yang sebelum transit di Surabaya berasal dari Jakarta, dinyatakan hilang di selat Makassar dan sampai saat ini tidak diketahui keberadaannya. Semua penumpang sebanyak 149 orang dan 6 orang awak pesawat dinyatakan tewas di perairan selat Makasar merayakan tahun baru dalam suasana duka, harapan agar saudara dan orang-orang tercinta dapat diselamatkan punahlah sudah karena sampai saat ini upaya menemukan Adam Air tidak pernah berhasil, yang ada hanyalah bangkai pesawat yang di temukan oleh penduduk di kepulauan Majene Sulawesi.

16 Januari 2007 subuh, rangkaian kereta api Bengawan jurusan Solo-Tanah Abang terputus di kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Lima orang penumpang dilaporkan tewas, ratusan lainnya luka-luka akibat inseiden ini. Kereta Api Bengawan membawa 12 gerbong, gerbong 4 jatuh ke sungai, sedangkan gerbong 5 sampai dengan 12 miring di atas rel.

Tanggal 22 Februari 2007, Kapal Motor Levina I terbakar di selat Sunda, sekitar kepulauan Seribu, 50 mil dari pelabuhan Tanjung Priok Jakarta Utara. Sebanyak 46 orang meninggal dan 349 orang dinyatakan hilang dalam peristiwa ini. Dugaan penyebab kecelakan adalah karena kelebihan penumpang dan angkutan serta cuaca buruk. Pada hari Mnggu, 25 Februari bangkai kapal Levina I akan ditarik untuk dikandaskan setelah pemeriksaan selesai dilakukan, namun saat serombongan tim dari Komite Nasional


(11)

Keselamatan Transportasi (KNKT), Puslabfor (Pusat laboratorium Informasi) Mabes Polri dan wartawan yang meliput peristiwa, tengah berada di kapal ini, tiba-tiba kapal tenggelam di perairan Muara Gembong Bekasi, Jawa Barat. Akibatnya dua orang juru kamera dari stasiun televisi, serta dua orang dari tim Puslabfor Mabes Polri meninggal dunia.

7 Maret 2007, maskapai penerbangan Garuda Indonesia jurusan Jakarta-Yogyakarta terbakar ketika hendak mendarat di bandar udara Adi SutjiptoJakarta-Yogyakarta setelah lepas landas dari Bandar Udara Soekarno-Hatta Cengkareng. Pesawat ini membawa 133 penumpang, 1 orang pilot, 1 Kopilot, dan 5 orang awak kabin. Beberapa tokoh Indonesia juga ikut dalam penerbangan ini antara lain Ketua Umum PP Muhammadiyah Dien Samsudin (luka ringan), kriminolog Adrianus Meliala (luka), dan mantan rektor UGM Yogyakarta Prof. Dr. Kusnadi Hardjosumantri (meninggal). Pesawat tersebut juga membawa 19 warga negara asing antara lain dari Jepang, Brunei Darussalam dan 8 orang warga Australia yang merupakan rombongan jurnalis yang akan meliput kunjungan menteri luar negeri Australia Alexander D. di Yogyakarta. Jumlah korban tewas adalah 22 orang (21 penumpang dan 1 awak pesawat). Perjalanan dengan pesawat yang dinyatakan sebagai salah satu maskapai penerbangan unggulan di negara ini pun ternyata tidak menjamin keselamatan para penumpang. Jatuhnya pesawat Garuda ini menepis anggapan bahwa pesawat murah rawan kecelakaan karena ternyata pesawat yang disebut sebagai maskapai penerbangan unggulan negeri ini pun ternyata tidak luput dari kecelakaan.

Rentetan tragedi dari ketidaknyamanan transportasi di Indonesia sepertinya lengkap sudah, tak terkecuali dari transportasi darat, laut bahkan udara. Kepercayaan


(12)

masyarakat terhadap transportasi Indonesia mulai menurun. Akumulasi pengalaman traumatik membuahkan frustrasi sosial berlarut di masyarakat. Rasa was-was dan takut selalu muncul kala ingin bepergian dengan kereta api, kapal laut mapun pesawat terbang. Rasa takut bepergian bukan saja di kalangan rakyat tapi juga melanda para pejabat negara. Bayang-bayang kecelakaan menghantui masyarakat kala melakukan perjalanan dengan transportasi umum. Sejumlah kecelakaan transportasi yang terjadi sampai membuat publik meragukan tingkat keamanan trasportasi massal di negeri ini.

Kecelakaan massal yang terjadi menunjukkan betapa sistem transportasi kita memang ringkih, padahal kenyamanan transportasi merupakan unsur vital dalam suatu negara. Betapa ada yang tidak beres dengan moda transportasi kita, hilangnya ratusan jiwa lewat kecelakaan transportasi beruntun yang terjadi bulan Januari-Maret 2007 bukti dari buruknya manajemen transportasi di negeri ini.

Tragedi transportasi massal yang terjadi pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) mempengaruhi citra mereka di mata publik, sejauh mana pemimpin bangsa ini menyikapi kecelakaan yang terjadi secara beruntun sangat mempengaruhi citranya di hadapan publik.. SBY dan JK dituntut untuk dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap moda transportasi di Indonesia, waktunya yang tersisa sampai pemilu berikutnya di tahun 2009 tinggal dua tahun, bahkan ada yang berpendapat bahwa waktu yang efektif tinggal satu tahun lagi, selebihnya adalah masa menebar janji untuk meraih kekuasaa. (http://www.poskota.co.id/). Pengambilan kebijakan pasca kecelakaan trasportasi oleh SBY dan JK dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat.


(13)

Berbagai kecelakaan transportasi yang ada tak luput menjadi perhatian media. Hal ini terlihat dari berbagai topik mengenai kecelakaan transportasi yang selalu mewarnai pemberitaan media baik media cetak maupun media elektronik. Munculnya reformasi tahun 1998 memang membawa angin segar bagi pers indonesia, berbeda halnya dengan tahun sebelumnya di mana pers dimonopoli oleh pihak tertentu khususnya penguasa Orde Baru. Namun sejak diberlakukannya Undang-Undang kebebasan pers No.40 tahun 1999, berbagai jenis media tumbuh bak cendawan di musim hujan. Pers kita sudah mulai berani dalam mengemas suatu fakta. Jika sebelumnya banyak fakta yang ditutup-tutupi demi menjamin kepentingan kelompok tertentu maka sejak munculnya reformasi tahun 1998, wartawan memiliki kebebasan untuk memperoleh informasi dan fakta dari peristiwa yang terjadi serta kebebasan untuk menyebarkan informasi yang diperolehnya kepada publik. Termasuk informasi mengenai kebijakan suatu negara dan pejabatnya.

Media dalam fungsi kontrol sosialnya mempunyai fungsi sebagai pengawas atas setiap kebijakan yang dilakukan oleh pejabat negara. Dalam hal ini media memiliki kebebasan untuk mengetahui setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Kebebasan pers pada masa Orde Reformasi membuat pers tampil beda, lebih berani bersikap kritis terhadap penguasa. Pers menjadi lebih agresif dan kreatif dalam memberi nilai tambah suatu berita, dan juga mengeksploitasi isu-isu. Permasalahan-permasalahan diolah menjadi komoditas informasi. Tetapi justru karena itu, media tak lepas dari pemberitaan yang berpihak pada pihak tetentu, tidak objektif, mengingkari kaidah cover both side, dan lain-lain.

Analisis framing adalah analisis yang memusatkan perhatian pada bagaimana media mengemas dan membingkai berita. Analisis framing merupakan salah satu


(14)

alternatif model analisis yang dapat mengungkapkan rahasia di balik semua perbedaan (bahkan pertentangan) media dalam mengungkapkan fakta, bagaimana realitas dibingkai media. Oleh karena itu analisis framing hadir untuk menanyakan mengapa peristiwa X diberitakan? Mengapa peristiwa lain tidak? Mengapa suatu tempat dan pihak yang terlibat berbeda meskipun peristiwanya sama? Mengapa realita didefinisikan dengan cara tertentu? Mengapa sisi atau angle tertentu yang ditonjolkan sedang yang lain tidak? Mengapa menampilkan sumber berita X dan mengapa bukan sumber berita yang lain yang diwawancarai?.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk mengetahui bagaimanakah media cetak (harian Kompas) mengemas berita tentang SBY&JK pasca kecelakaan transportasi.

Pemilihan harian Kompas dalam penelitian ini didasarkan pada dua alasan: Pertama, karena harian ini merupakan harian nasional yang mapan secara ekonomis. Kompas memiliki berbagai anak perusahaan yang dibangun di bawah atap kelompok Kompas Gramedia seperti majalah, stasiun radio, penerbitan, percetakan, hingga hotel. Kelompok perusahaan ini dikenal sebagai perusahaan yang memanjakan pegawainya., mulai tunjangan kesehatan, pendidikan untuk anak-anak karyawan, bonus lebih dari tiga kali dalam satu tahun, piknik keluarga, pesta ulang tahun perusahaan secara besar-besaran adanya ‘wartawan amplop’, sehingga wartawan lebih berintegritas dalam menyusun berita. Kedua, Kompas memiliki khalayak pembaca yang tersebar di seluruh Indonesia. Hingga saat ini (Juli 2007), Kompas masih dikenal sebagai koran berskala nasional terbesar di Indonesia dengan oplah lebih dari 550.000 per hari


(15)

Dengan demikian pemberitaan Kompas cukup berdampak luas bagi khalayak pembaca di Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diutarakan di atas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut: ‘Bagaimanakah citra SBY & JK pasca kecelakaan transportasi yang terjadi bulan Januari-Maret 2007 dikonstruksi oleh harian Kompas?’.

1.3 Pembatasan Masalah

Peneliti perlu membuat pembatasan masalah yang lebih jelas dan spesifik untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Penelitian ini hanya dilakukan pada harian Kompas edisi Januari - Maret 2007 2. Berita yang diteliti adalah pemberitaan tentang SBY & JK pasca kecelakaan

transportasi yang terjadi bulan Januari-Maret 2007 .

3. Obyek penelitian terbatas pada frame yang dikonstruksi lewat pemberitaan, bukan pada frame individu atau dampaknya terhadap pembentukan opini publik.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian


(16)

1. Untuk mengetahui bagaimana harian Kompas memaknai, memahami dan mengkonstruksi berita tentang SBY & JK pasca kecelakaan transportasi yang terjadi bulan Januari-Maret 2007.

2. Untuk melihat citra yang dibentuk oleh harian Kompas terhadap SBY & JK pasca kecelakaan transportasi yang terjadi bulan Januari - Maret 2007.

1.4.2. Manfaat Penelitian.

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperluas dan memperkaya penelitian khususnya dalam bidang komunikasi.

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memperluas cakrawala pengetahuan penulis serta dapat menjadi kontribusi khususnya dalam melengkapi kajian tentang realitas dan konstruksi pemberitaan di media cetak.

3. Secara Praktis, penelitian ini dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi pembaca surat kabar maupun bagi media khususnya harian Kompas.

1.5. Kerangka Teori

Setiap penelitian membutuhkan teori sebagai landasan berpikir dalam memcahkan permasalahannya. Teori yang baik adalah memiliki ciri khas yaitu apakah teori itu mampu menjelaskan fenomena-fenomena yang penting dalam bidang yang diteliti; apakah penjelasan itu dapat diberikan dengan tegas dan bersahaja, serta; apakah dengan penjelasan itu dapat ditemukan sesuatu yang baru (Surakhmad, 1990: 70)

Sasa Djuarsa menyebutkan bahwa, teori adalah abstraksi dari realitas yang terdiri dari sekumpulan prinsip-prinsip dan definisi-definisi yang secara konseptual mengorganisasi aspek-aspek dunia empirik secara sistematis. Kaplan menyatakan bahwa


(17)

teori bukan saja untuk menemukan fakta tersembunyi, tetapi juga suatu cara untuk melihat fakta, mengorganisasikan serta menginterpretasikannya (Sendjaja, 1994: 10-11).

1.5.1 Teks Berita : Pandangan Konstruksionis

Pendekatan konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretatif Peter L.Berger bersama Thomas Luckman. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya ia dibentuk dan dan dikonstruksi secara berbeda-beda oleh semua orang, artinya setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas (Eriyanto, 2002:15), karena setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan yang berbeda sehingga membentuk kerangka berpikir yang berbeda pula. Masing-masing akan menafsirkan realitas berdasarkan pengalaman, preferensi, pendidikan, lingkungan atau pergaulan sosialnya. Misalnya mengenai demonstrasi mahasiswa. Satu kelompok bisa jadi mengkonstruksi gerakan mahasiswa sebagai anarkis, di luar batas dan mengganggu masyarakat serta dijadikan alat permainan elit politik tetentu. Tetapi orang dari kelompok sosial yang lain bisa jadi mengkonstruksi gerakan mahasiswa itu, suatu tindakan untuk memperjuangkan nasib rakyat, sebuah perjuangan tanpa pamrih.

Penerapan gagasan Berger dalam ranah konteks berita adalah bahwa sebuah teks dalam berita tidak dapat kita samakan sebagai Copy (cerminan) dari realitas (mirror of reality), ia harus dipandang sebagai hasil konsruksi atas ralitas. Realitas lapangan sebenarnya berbeda dengan realitas media. Karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda. Sekelompok wartawan yang meliput suatu sebuah peristiwa, dapat memiliki konsepsi dan pandangan yang berbeda ketika melihat


(18)

suatu peristiwa dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita (Eriyanto, 2002: 17). Setiap media akan memodifikasi konstruksi realitas berita dengan caranya masing-masing sehingga suatu peristiwa yang sama saat dimuat oleh beberapa media pada terbitan keesokan harinya akan berbeda satu dengan lainnya.

Berita dalam pandangan konstruksi sosial , bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang rill. Disini realitas bukan diperoleh begitu saja sebagai berita, ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta.

1.5.2 Analisis Framing

Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Analisis framing adalah salah satu metode analisis media, seperti halnya analisis isi dan analisis semiotik. Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya (Sobur, 2001:162). Dengan kata lain, framing adalah pendekatan atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut.


(19)

Framing merupakan metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan penonjolan terhadap aspek-aspek tertentu, dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya (Sudibyo, 2001:186). Artinya, realitas dibingkai, dikonstruksi dan dimaknai oleh media.

Ada hal penting dalam framing, ketika sesuatu diletakkan dalam frame, tidak semua berita ditampilkan dalam arti ada bagian yang dibuang dan ada bagian yang dilihat. Untuk menjelaskan framing kita bisa menghadirkan analogi ketika kita memfoto suatu pemandangan, maka maksud foto hanyalah bagian yang berada dalam ‘frame’, sementara bagian lain terbuang. Contohnya adalah pas photo Rachmat. Ketika Rachmat difoto 3x4 untuk KTP, maka yang di-frame adalah bagian dada ke atas. Bagian bawah tidak termasuk dalam frame (Kriyantoro, 2006: 251-252). Tentunya ada alasan mengapa framing dilakukan pada bagian tertentu, mengapa bagian tertentu yang difoto sementara bagian lain tidak. Oleh karena itu analisis framing hadir untuk menanyakan mengapa peristiwa X diberitakan? Mengapa peristiwa lain tidak? Mengapa suatu tempat dan pihak yang terlibat berbeda meskipun peristiwanya sama? Mengapa realita didefinisikan dengan cara tertentu? Mengapa sisi atau angle tertentu yang ditonjolkan sedang yang lain tidak? Mengapa menampilkan sumber berita X dan mengapa bukan sumber berita yang lain yang diwawancarai?.

Jadi analisis framing ini merupakan analisis untuk mengkaji pembingkaian realitas (peristiwa, individu, kelompok, dan lain-lain) yang dilakukan media. Pembingkaian tersebut merupakan proses konstruksi, yang artinya realitas dimaknai dan


(20)

direkonstruksi dengan cara dan makna tertentu. Framing digunakan media untuk menonjolkan atau memberi penekanan aspek tertentu sesuai kepentingan media. Akibatnya, hanya bagian tertentu saja yang lebih bermakna, lebih diperhatikan, dianggap penting, dan lebih mengena dalam pikiran khalayak.

Dalam praktik, analisis framing banyak digunakan untuk melihat frame surat kabar karena masing-masing surat kabar memiliki ‘kebijakan politis’ tersendiri.

1.5.3 Berita dan Proses Produksi Berita

Berita adalah laporan tentang tentang fakta atu ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa atau entah karena pentingnya, atau karena ia mencakup segi-segi human interest, seperti human, emosi dan ketegangan. Namun ada beberapa konsep berita yang dapat dikembangkan yaitu berita itu sebagai laporan tercepat, rekaman fakta-fakta obyektif, interpretasi, sensasi, minat insani, ramalan dan sebagai gambar (Effendi, 1993:131-134). Melalui berita kita dapat mengetahui apa yang terjadi di Aceh, di Papua dan di Jakarta. Melalui berita kita mengetahui apa saja yang dilakukan oleh elit politik, kehidupannya dan kegiatannya.

Pada umumnya, berita berasal dari peristiwa tetapi tidak semua peristiwa dapat menjadi berita. Dalam proses pembentukan suatu berita banyak faktor yang berpotensi untuk mempengaruhinya, sehingga niscaya akan terjadi pertarungan wacana dalam memaknai realitas dalam presentasi media (Sudibyo, 2001:7). Proses pembuatan berita


(21)

merupakan proses yang rumit dan melibatkan banyak faktor seperti kepentingan yang bermain dibaliknya.

Pamela D.Shoemaker dan Stephen D.Reese meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan yaitu:

1. Faktor Individual.

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesi dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada kahalayak. Aspek personal tersebut seperti jenis kelamin, umur, atau agama.

2. Level Rutinitas Media (media routine)

Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tesebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya.

3. Level Organisasi.

Level organissi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam orgnisasi berita, ia sebaliknya hanya sebagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Misalnya selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya.


(22)

4. Level Ekstramedia

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, namun hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media. Faktor-faktor tersebut adalah sumber berita, sumber penghasil media (iklan,pelanggan/pembeli media), pihak eksternal (pemerintah dan lingkungan bisnis), dan ideologi (kerangka berfikir/referensi).

Sebuah teks berita tidak dapat disamakan dengan Copy realitas, ia haruslah dipandang sebagi konstruksi atas realitas, karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama, tetapi konstruksinya berbeda. Teks berita memiliki sejumlah strategi baku dalam mempersuasikan pernyataan (Eriyanto, 2002:14).


(23)

I.6 Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah model analisis yang dikembangkan oleh Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki seperti gambar berikut berikut ini;

Tabel perangkat framing Pan dan Kosicki

STRUKTUR UNIT YANG DI AMATI

SINTAKSIS

Headline, lead, latar

Cara wartawan informasi, kutipan sumber, menyusun fakta pernyataan, penutup

SKRIP

Cara wartawan 5W+1H mengisahkan fakta

TEMATIK

Cara wartawan Paragraf, proposisi, menulis fakta hubungan antar kalimat.

PERANGKAT

1. Skema berita

2. Kelengkapan berita

3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk kalimat 6. Kata ganti


(24)

RETORIS

Cara wartawan Kata, idiom, gambar/foto, menekankan fakta grafik

Sumber : Eriyanto, 2002: 256 1.7 Defenisi Operasional Variabel

1.7.1 Sintaksis.

Dalam pengertian umum sintaksis adalah susunan kata atau frase dalam kalimat. Sintaksis berhubungan dengan bagaimana wartawan menyusun peristiwa, pernyataan, opini, kutipan, pengamatan atas peristiwa ke dalam bentuk susunan kisah berita. Struktur sintaksis memiliki perangkat:

a. Headline

Merupakan berita yang dijadikan topik utama oleh media b. Lead (teras berita)

Merupakan paragraf pembuka dari sebuah berita yang biasanya mengandung kepentingan lebih tinggi. Struktur ini sangat tergantung pada ideologi penulis terhadap peristiwa.

c. Latar informasi

Latar informasi merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi semantik (arti) yang ingin ditampilkan. Seorang wartawan ketika menulis informasi biasanya mengemukakan latar belakang atas peristiwa yang ditulis. Latar yang ditulis menentukan ke arah mana pandangan khalayak

7. Leksikon 8. Grafis 9. Metafora


(25)

hendak dibawa. Latar dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang diajukan dalam suatu teks.

d. Kutipan

Pernyataan yang berasal dari pernyataan seseorang atau para ahli untuk memperkuat berita yang ditulis oleh wartawan.

e. Sumber

Bagian ini dalam penulisan berita dimaksudkan untuk membangun objektifivitas-prinsip keseimbangan dan tidak memihak. Ia juga merupakan bagian berita yang menekankan bahwa apa yang ditulis oleh wartawan bukan pendapat wartawan semata., melainkan pendapat dari orang yang memiliki otoritas tertentu. Pengutipan sumber ini menjadi perangkat framing atas tiga hal. Pertama, meng-klaim validitas atau kebenaran dari pernyataan yang dibuat dengan mendasarkan pada klaim otoritas akademik. Kedua, menghubungkan poin tertentu dari pandangannya kepada pejabat yang berwenang. Ketiga, mengecilkan pendapat atau pandangan tertentu. f. Pernyataan.

Bagian berita yang dimaksud untuk mendukung isi berita atau tulisan wartawan

g. Penutup

Bagian akhir berita biasanya berisi kesimpulan. 1.7.2 Skrip.


(26)

Struktur skrip melihat bagaimana strategi bercerita atau bertutur yang dipakai wartawan dalam mengemas peristiwa. Struktur skrip memfokuskan perangkat framing pada kelengkapan berita:

a. What (apa), menyangkut peristiwa yang diberitakan. b. When (kapan), menyangkut waktu terjadinya peristiwa. c. Who (siapa), menyangkut pelaku.

d. Where (di mana), menyagkut tempat.

e. Why (mengapa), mengemukakan berbagai alasan terjadinya suatu peristiwa yang diberitakan.

f. How (bagaimana), menyangkut cara memaknai peristiwa yang diberitakan. 1.7.3. Tematik

Struktur ini berhubungan dengan bagaimana wartawan mengungkapkan pandangannya atas peristiwa ke dalam proposisi, kalimat atau hubungan antar kalimat yang membentuk teks secara keseluruhan. Struktur tematik mempunyai perangkat framing:

a. Detail

Elemen detail berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang. Komunikator akan menampilkan secara berlebihan informasi yang menguntungkan dirinya atau citra yang baik. Sebaliknya, ia akan menampilkan informasi yang tidak menguntungkan dirinya dalam jumlah sedikit (bahkan kalu perlu tidak disampaikan)


(27)

Pertalian atau jalinan antar kata atau kalimat dalam teks. Koherensi merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Apakah peristiwa itu dipandang secara saling terpisah, berhubungan atau malah sebab akibat. Biasanya memakai kata hubung (konjungsi) diantaranya ; dan, akibat, tetapi, lalu, karena, meskipun.

c. Bentuk kalimat

Jenis kalimat yang dipakai untuk menjelaskan sejumlah fakta yang ada. Bentuk kalimat berhubungan dengan kalimat aktif dan pasif atau deduktif dan induktif.

d. Kata ganti

Kata ganti orang atau benda, misalnya Saya, mereka, itu, nya, dll. 1.7.4. Retoris

Struktur ini berhubungan dengan bagaimana wartawan menekankan arti tertentu dalam berita. Struktur ini akan melihat bagaimana wartawan memakai pilihan kata, idiom, grafik dan gambar yang dipakai bukan hanya mendukung tulisan, melainkan menekankan arti tertentu kepada pembaca. Struktur retoris mempunyai perangkat framing:

a. Leksikon/pilihan kata

Penekanan terhadap sesuatu yang penting. b. Grafis

Bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan atau ditonjolkan (yang berarti dianggap penting) oleh seseorang yang dapat diamati dari teks.


(28)

Grafis biasanya muncul lewat pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran lebih besar. Termasuk di dalamnya adalah pemakaian caption, raster, grafik, gambar, atau label untuk mendukung arti penting suatu pesan.

c. Metafor

Kiasan, ungkapan sebagai landasan berpikir , alasan pembenar atas gagasan atau pendapat tertentu. Dapat berupa kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, ungkapan yang diambil dari ayat-ayat suci.

Cara memindahkan (transpose) makna sesuatu dengan merelasikan dua fakta analogi, sering berupa kiasan menggunakan fakta : seperti, bak, laksana, dan lain-lain.


(29)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 Teks Berita: Pandangan Konstruksionis

Pendekatan konstruktivisme diperkenalkan oleh sosiolog interpretative Peter L.Berger bersama Thomas Luckman. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi sebaliknya ia dibentuk dan dan dikonstruksi secara berbeda-beda oleh semua orang, artinya setiap orang ฀oci mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas (Eriyanto, 2002:15), karena setiap orang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan yang berbeda sehingga membentuk kerangka berpikir yang berbeda pula. Masing-masing akan menafsirkan realitas berdasarkan pengalaman, preferensi, pendidikan, lingkungan atau pergaulan sosialnya. Misalnya mengenai demonstrasi mahasiswa. Satu kelompok ฀oci jadi mengkonstruksi gerakan mahasiswa sebagai anarkis, di luar batas dan mengganggu masyarakat serta dijadikan alat permainan elit politik tetentu. Tetapi orang dari kelompok ฀ocial yang lain ฀oci jadi mengkonstruksi gerakan mahasiswa itu, suatu tindakan untuk memperjuangkan nasib rakyat, sebuah perjuangan tanpa pamrih. Konstruksi yang mereka buat itu dilengkapi dengan legitimasi tertentu, sumber kebenaran tertentu, bahwa apa yang mereka katakana dan percayai itu benar adanya, punya dasar yang kuat.

Penerapan gagasan Berger dalam ranah konteks berita adalah bahwa sebuah teks dalam berita tidak dapat kita samakan sebagai Copy (cerminan) dari realitas (mirror of reality), ia harus dipandang sebagai hasil konsruksi atas ralitas. Realitas lapangan sebenarnya berbeda dengan realitas media. Karenanya sangat potensial terjadi peristiwa


(30)

yang sama dikonstruksi secara berbeda. Sekelompok wartawan yang meliput suatu sebuah peristiwa, dapat memiliki konsepsi dan pandangan yang berbeda ketika melihat suatu peristiwa dan itu dapat dilihat dari bagaimana mereka mengkonstruksi peristiwa itu, yang diwujudkan dalam teks berita (Eriyanto, 2002:17). Setiap media akan memodifikasi konstruksi realitas berita dengan caranya masing-masing sehingga suatu peristiwa yang sama saat dimuat oleh beberapa media pada terbitan keesokan harinya akan berbeda satu dengan lainnya. Berita dalam pandangan konstruksi social , bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang rill. Artinya, realitas tidak dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah produk interaksi antara wartawan dengan fakta.

Pendekatan konstruksionis mempunyai penilaian sendiri bagaimana media, wartawan, dan berita dilihat. Penilaian tersebut akan diuraikan satu persatu di bawah ini. (Eriyanto, 2002:19-36)

1. Fakta/ Peristiwa Adalah Hasil Konstruksi

Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan. Di sini tidak ada realitas yang bersifat objektif, karena realitas itu tercipta lewat konstruksi dan pandangan tertentu. Realitas bias berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi kita ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda. Jika dalam konsep positivisme ada realitas yang bersifat ‘eksternal’ yang ada dan hadir sebelum wartawan meliputnya. Jadi realitas bersifat objektif, yang harus diambil dan diliput oleh wartawan. Pandangan semacan ini sangat bertolak belakang dengan pandangan konstruksionis dimana fakta atau realitas bukanlah


(31)

sesuatu yang tinggal diambil, ada, dan menjadi bahan berita. Fakta atau realitas pada dasaranya dikonstruksi

Positivis Ada fakta yang ‘rill’ yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu

Konstruksionis Fakta merupakan konstruksi atas realitas. Kebenaran suatu fakta bersifat relative, berlaku sesuai konteks tertentu.

Sumber: Eriyanto, 2002: 20 2. Media Adalah Agen Konstruksi

Dalam pandangan positivis, media dilihat sebagai saluran bagaimana pesan disampaikan dari komunikator ke penerima (khalayak), media dilihat murni sebagai saluran bukan agen artinya media bersifat netral. Dalam pandangan konstruksionis media dilihat sebaliknya, media bukanlah sebagai saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias dan keberpihakannya. Apa yang kita baca di media setiap hari adalah hasil dari pembentukan realitas oleh media.

Positivis Media sebagai saluran pesan Konstruksionis Media sebagai agen konstruksi pesan

Sumber: Eriyanto, 2002: 23

3. Berita Bukanlah Refleksi dari Realita. Ia Hanyalah Konstuksi dari Realitas.

Jika pandangan positivis melihat berita sebagai informasi sebagai representasi dari kenyataan maka pandangan konstruksionis melihat berita itu sebagi drama. Ia


(32)

bukan menggambarkan relitas, tetapi konstruksi oleh pihak yang berkaitan dengan peristiwa. Seperti sebuah drama, tentu saja ada pihak yang didefinisikan sebagai pahlawan (hero), tetapi ada juga pihak yang didefinisikan sebagai pecundang.

Positivis

Berita adalah cermin dan refleksi dari kenyataan. Karena itu, berita

haruslah sama dan sebangun dengan fakta yang diliput.

Konstruksionis

Berita tidak mungkin merupakan cermin dan refleksi dari realitas

karena berita yang terbentuk merupakan konstruksi atas realitas.

Sumber: Eriyanto, 2002: 25

4. Berita Bersifat Subjektif/ Konstruksi Atas Realitas.

Pada pendekatan positivis, titik perhatiannya pada bias artinya, bias harus dihindari. Jika ada bias, penjelasannya ditekankan dengan mencari sumber-sumber kesalahan yang ada; waktu, yang terbatas bagi wartawan, keterbatasan ruang, kekeliruan wartawan, dan sebagainya. Hal inilah yang berbeda dengan penempatan konstruksionis. Jika wartawan menempatkan seorang tokoh lebih besar dari tokoh lain, liputan yang tidak berimbang dan secara nyata memihak satu kelompok, kesemuanya tidaklah dianggap sebagai kekeliruan/bias, melainkan itulah praktik yang dijalankan oleh wartawan. Karena itu untuk mengerti mengapa


(33)

praktik jurnalistik bisa semacam itu bukan dengan meneliti sumber bias, tetapi mengarahkan pada bagaimana peristiwa dikonstruksi.

Positivis

Berita bersifat objektif. Menyingkirkan opini dan padangan subjektif dari pembuat

berita.

Konstruksionis

Berita bersifat subjektif. Opini tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput wartawan melihat

dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.

Sumber: Eriyanto, 2002: 27

5. Wartawan Bukanlah Pelapor. Ia adalah Agen Konstruksi Realitas.

Dalam pandangan positivis wartawan bisa menyajikan realitas secara benar, kalau ia bertindak professional ia bisa menyingkirkan pilihan moral dan keberpihakannya. Tetapi dalam pandangan konstruksionis, wartawan tidak dapat menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan bagian yang instrinsik dalam pembentukan berita. Lagipula, berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Dalam bayak hal kasus; topik apa yng diangkat dan siapa yang diwawancarai, disediakan oleh kebijakan redaksional tempat wartawan bekerja, bukan semata-mata pilihan individual wartawan. Artinya berita bukanlah


(34)

hasil konstruksi wartawan saja tetapi hasil konstruksi dari wartawan lain, pemimpin redaksi, maupun pemimpin perusahaan media. Pandangan konstruksionis juga melihat bahwa wartawan bukanlah pemulung yang mengambil berita begitu saja, realita bersifat subjektif, yang terbentuk lewat pemahaman dan pemaknaan subjektif dari wartawan. Kaum konstruksionis melihat bahwa seorang wartawan tidak dapat membuat jarak dengan objek yang hendak diliput karena ketika ia meliput sesungguhnya ia telah menjalin hubungan dengan objek liputan sehingga melibatkan pemahaman yang mau tidak mau sukar dilepaskan dari subjektivitas.

Positivis Wartawan sebagai pelapor

Konstruksionis Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial.

Sumber: Eriyanto, 2002: 29

6. Etika, Pilihan Moral, dan Keberpihakan Wartawan Adalah Bagian yang Integral Dalam Produksi Berita.

Pendekatan positivis menekankan agar nilai, etika dan keberpihakan wartawan dihilangkan dalam proses pembuatan berita, pertimbangan-pertimbangan tersebut dapat membelokkan wartawan-apapun alasannya-mejauhi realitas yang sesungguhnya. Pendekatan konstruksionis justu sealiknya. Aspek etika, moral dan nilai-nilai tertentu tidak mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukanlah robot yang meliput apa adanya. Mungkinkah subjektifitas wartawan dapat dihilangkan? Dalam proses kerjanya wartawan bukan wartawan bukan


(35)

melihat dan menulis tetapi lebih sering terjadi adalah menimpulkan dan melihat fakta fakta apa yang dikumpulkan di lapangan. Ketika menyimpulkan wartawan tidak mungkin lepas dari subjektivitas, memilih fakta apa yang ingin dipilih dan fakta apa yang ingin dibuang.

Positivis Nilai, etika, opini, dan pilihan moral berada di luar proses peliputan berita.

Konstruksionis Nilai, etika, atau keberpihakan wartawan tidak dapat dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan suatu

peristiwa.

Sumber: Eriyanto, 2002: 32

7. Nilai, Etika dan Pilihan Moral Peneliti Menjadi Bagian yang Integral dalam Penelitian.

Dalam pandangan positivis peneliti haruslah bebas nilai, ini berarti etika dan pilihan moral peneliti tidak boleh ikut dalam penelitian karena akan mempengaruhi penelitian. Artinya jika subjektivitas dihilangkan maka antara peneliti yang satu dengan yang lain kalau melakukan penelitian dengan topik dan objek yang sama akan menghasilkan hasil yang sama juga. Dalam penelitian yang berkategori konstruksionis, pilihan moral dan keberpihakan justru sukar dihilangkan karena peneliti bukanlah robot yang seolah-olah makhluk netral dan akan menilai realitas tersebut apa adanya. Artinya, bisa jadi objek penelitian yang sama akan menemukan temuan yang berbeda karena peneliti dengan konstruksinya masing-masing akan menghasilkan temuan yang berbeda pula.


(36)

Positivis Nilai, etika dan pilihan moral harus berada di luar proses penelitian.

Konstruksionis Nilai, etika, dan pilihan moral adalah bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian.

Sumber: Eriyanto, 2002: 35

8. Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri Atas Berita.

Pandangan positivis melihat berita sebagai sesuatu yang objektif, apa yang diterima pembaca seharusnya sama dengan apa yang disampaikan oleh pembuat berita. Jika wartawan melucu khalayak seharusnya tertawa dengan berita yang ia baca. Dengan pandangan semacam ini pembuat berita dilihat sebagai pihak yang aktif, sementara pembaca dilihat sebagai pihak yang pasif. Kalau ada kekerasan di masyarakat, salah satunya disumbangkan oleh realitas penyajain media yang banyak menampilkan kekerasan. Konstruksionis memiliki pandangan yang berbeda. Pembaca bukanlah khalayak yang pasif, ia juga subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dia baca. Oleh karena itu, setiap orang bisa mempunyai pemaknaan yang berbeda atas teks yang sama. Sebuah foto yang sebenarnya dimaksudkan untuk mengkomunikasikan stop kekerasan dan seksual, bisa jadi dimaknai pembaca sebagai menyebarkan pornografi. Kalau terjadi perbedaan semacam ini, bukanlah berarti berita tersebut buruk.

Positivis Berita diterima sama dengan apa yang dimaksudkan oleh pembuat berita.


(37)

Konstruksionis Khalayak mempunyai penfsiran sendiri yang bisa jadi berbeda dari pembuat berita.

Sumber: Eriyanto, 2002: 35

Dari berbagai pandangan diatas jelas terlihat ada perbedaan yang mendasar antaraparadigma positivis dengan konstruksionis. Karena itu secara umum ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis, pertama pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Kedua pendekatan konstuksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis, yang memeriksa bagaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator dan memeriksa bagaimana konstruksi makna individu/ komunikan ketika menerima pesan. Berdasarkan pandangan tersebut maka analisis framing yang digunakan dalam penelitian ini adalah salah satu analisis teks yang berada dalam kategori penelitian konstruksionis.

2.2 Analisis Framing

Gagasan mengenai framing, pertama sekali diperkenalkan oleh Beterson tahun 1955. Awalnya frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Goffman pada tahu 1974, yang mengandaikan frame sebagai kepingan-kepingan perilaku (strips of behavior) yang membimbing individu


(38)

dalam membaca realitas. Akhir- akhir ini konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media. Walaupun Konsep tentang framing atau frame sendiri bukan murni konsep ilmu komunikasi, akan tetapi ditinjau dari ilmu kognitif (psikologis) dan sosiologi (Sobur, 2002: 162). Pendekatan psikologis terutama melihat bagaimana pengaruh kognisi seseorang dalam membentuk skema tentang sesuatu, atau gagasan tertentu. Sementara dari sosiologi melihat setiap tindakan manusia pada dasarnya mempunyai arti dan manusia berusaha memberi penafsiran atas perilaku tersebut agar bermakna dan berarti.

Analisis framing termasuk ke dalam paradigma konstruksionis. Pada dasarnya, analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Analisis framing adalah salah satu metode analisis media, seperti halnya analisis isi dan analisis semiotik. Framing secara sederhana adalah membingkai sebuah peristiwa. Dalam perspektif komunikasi, analisis framing dipakai untuk membedah cara-cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektifnya (Sobur, 2001:162).

Menurut Gitlin, frame media pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan frame dalam pengertian sehari hari yang sering kali kita lakukan. Setiap hari kompleksitasnya. Lewat frame, jurnalis mengemas peristiwa yang kompleks itu menjadi peristiwa yang dapat dipahami. Ada dua aspek penting dalam framing. Pertama, memilih fakta/realitas. Dalam memilih fakta ini, selalu terkandung dua kemungkinan: apa yang dipilih


(39)

(included) dan apa yang dibuang (excluded). Bagian mana yang ditekankan dalam realitas dan bagian mana yang tidak diberitakan? Penekanan aspek tertentu itu dilakukan dengan memilih angel tertentu, memilih fakta tertentu, dan melupakan fakta yang lain. Akibatanya pemahaman atas suatu peristiwa bisa saja berbeda antara satu media dengan media lainnya. Kedua, menuliskan fakta. Proses ini berhubungan dengan bagaimana fakta itu disajikan kepada khalayak. Gagasan itu diungkapkan dengan kata, kalimat dan proposisi apa, dengan bantuan foto dan gambaran apa, dan sebagainya. Bagaimana fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan penempatan tertentu.: penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaina grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tetentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan pemakaian kata yang mencolok, gambar, dan sebagainya ( Eriyanto, 2002:70).

MEMILIH MENULIS FAKTA FAKTA

Framing merupakan metode penyajian realitas dimana kebenaran tentang suatu kejadian tidak diingkari secara total, melainkan dibelokkan secara halus, dengan memberikan penonjolan terhadap aspek-aspek tertentu, dengan menggunakan istilah-istilah yang mempunyai konotasi tertentu, dan dengan bantuan foto, karikatur, dan alat ilustrasi lainnya (Sudibyo, 2001:186). Artinya, realitas dibingkai, dikonstruksi dan dimaknai oleh media. Semua aspek itu dipakai untuk membuat dimensi tertentu menjadi bermakna dan diingat oleh khalayak.


(40)

Pada dasarnya, pola penonjolan tersebut tidaklah dimaknai sebagai bias, tetapi secara ideologis sebagai strategi wacana: upaya menyuguhkan pada publik tentang pandangan tetentu agar pandangannya lebih diterima. Kata penonjolan (Saliance) didefenisikan sebagai membuat sebuah informasi lebih diperhatikan, bermakna, dan berkesan. Suatu peningkatan dalam penonjolan mempertinggi probabilitas penerima akan lebih memahami informasi, melihat makna lebih tajam, lalu memprosesnya dan menyimpannya dalam ingatan. Bagian informasi dari teks dapat dibuat lebih menonjol dengan cara penempatannya atau pengulangan atau mengasosiasikan dengan simbol-simbol budaya yang sudah dikenal (Sobur, 2002: 164). Dalam menjelaskan realitas media, ada beberapa tokoh yang menggunakan perangkat yang berbeda untuk menjelaskan frame dari realitas yang dibentuk oleh media. Tokoh tersebut adalah Robert N.Entman, William A.Gamson dan Andre Modigliani, serta Zhongdang Pan dan Gerald M.Kosicki.

Robert N. Entman melihat framing dalam dua dimensi besar: Seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek/aspek tertentu dari realitas/isu. Penonjolan adalah proses membuat isu lebih menarik, berarti, atau lebih diingat oleh kahlayak. Realitas yang disajikan secara menonjol atau mencolok mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan mempengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas. Dalam prakteknya framing, dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dengan menggunakan berbagai strategi wacana-penempatan yang mencolok (menempatkan di headlline depan atau bagian belakang), pengulangan, pemakain grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu untuk mengambarkan orang/peristiwa tertentu.


(41)

Seleksi isu Aspek ini berhubungan dengan pemilihan fakta. Dari realitas yang kompleks dan beragam itu, aspek mana yang diseleksi untuk ditampilkan? Dari proses ini selalu terkandung di dalamnya ada bagian berita yang dimasukkan (excluded). Tidak semua aspek atau bagian dari isu ditampilkan, wartawan memilih aspek tertentu dari suatu isu.

Penonjolan aspek tertentu dari isu

Aspek ini berhubungan dengan penulisan fakta. Ketika aspek tetentu dari suatu peristiwa/isu tersebut telah dipilih, bagaimana aspek tersebut ditulis? Hal ini sangat berkaitan dengan pemakaian kata, kalimat, gambar, dan citra tertentu untuk ditampilkan kepada khalayak.

Sumber: Eriyanto, 2002: 187

Entman menawarkan sebuah cara untuk mengungkapkan realitas sebagai berikut : Define problems

(Pendefinisian masalah)

Bagaimana suatu peristiwa dilihat? Sebagai apa? Atau sebagai masalah apa? Diagnoses causes

(Memperkirakan masalah atau sumber masalah )

Peristiwa itu disebabkan oleh apa?Apa yang dianggap sebagai penyebab dari suatu masalah? Siapa (aktor) yang dianggap

sebagai penyebab masalah? Make moral judgement

(Membuat keputusan moral)

Nilai moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah? Nilai moral apa yang


(42)

dipakai untuk meligitimasi suatu tindakan? Treatment Recommendation

(Menekankan penyelesaian)

Penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah/isu? Jalan apa yang

ditawarkan dan harus ditempuh untuk mengatasi masalah?

Sumber: Eriyanto, 2002: 188

William A.Gamson dan Andre Modigliani selanjutnya mengatakan bahwa media memerankan fungsi yang kompleks dimana media adalah bagian dari konstruksi budaya. Sebagai sosiolog Gamson banyak menitikberatkan pada studi gerakan sosial yang mau tidak mau menyinggung studi media, elemen penting dari gerakan sosial. Menurut Gamson , keberhasilan dari gerakan sosial terletak pada bagaimana peristiwa dibingkai, karenanya gerakan sosial selalu menseleksi dan menggunkan simbol, nilai dan retorika tetntu dalam memobilisasi khalayak. Tujuannya tidak lain adalah untuk memenangkan simpati khalayak. karena itu dipakai simbol, jargon, label yang dikenal oleh khalayak dan dikenal secara luas. Ketika orang tidak suka dengan Soeharto salah satu simbol dan jargon yang dibuat adalah SDSB (Soeharto Dalang Segala Bencana). Disini Soeharto dianggap sama dengan SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), istilah SDSB mengena dalam benak publik karena familiar.

Dalam formulasi yang dibuat oleh William A.Gamson dan Andre Modigliani framing, dipandang sebagai cara bercerita (story line) atau gugusan ide-ide yang tersusun sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan sutu makna. Gamson melihat wacana media (khususnya berita) terdiri atas


(43)

sejumlah kemasan (package), yakni rangkaian ide-ide yang menunjukkan isu apa yang ditunjukkkan dan peristiwa mana yang relevan. Package adalah semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan pesan-pesan yang ia terima. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang wartawan ketika menseleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dibawa kemana berita itu. Perangkat framing yang dikemukakan oleh Gamson dan Modigliani seperti gambar berikut:

Framing Devices ( Perangkat framing)

Reasoning Devices ( Perangakt penalaran) Metaphors

Perumpamaan atau pengandaian

Roots

Analisis kausal atau sebab akibat Catchprases

Frase yang menarik, kontras, menonjolkan suatu wacana. Ini

umumnya jargon atau slogan.

Appeals to principle Premis dasar, klaim-klaim moral

Exemplar

Mengaitkan bingkai dengan contoh (bisa teori, perbandingan) yang

memperjelas bingkai

Consequences Efek atau konsekuensi yang

didapat dari bingkai.

Sumber: Eriyanto, 2002: 225

Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki melihat analisis Framing sebagaimana wacana publik tentang suatu isu atau kebijakan dikonstruksikan dan dinegosiasikan.


(44)

Framing didefenisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayaknya lebih tertuju pada pesan tersebut. Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki menawarkan perangkat framing sebagai berikut :

Tabel perangkat framing Pan dan Kosicki

STRUKTUR UNIT YANG DI AMATI

SINTAKSIS

Headline, lead, latar

Cara wartawan informasi, kutipan sumber, menyusun fakta pernyataan, penutup

SKRIP

Cara wartawan 5W+1H mengisahkan fakta

TEMATIK

Cara wartawan Paragraf, proposisi, menulis fakta hubungan antar kalimat.

RETORIS

Cara wartawan Kata, idiom, gambar/foto, menekankan fakta grafik

PERANGKAT

1. Skema berita

2. Kelengkapan berita

3. Detail 4. Koherensi 5. Bentuk kalimat 6. Kata ganti

7. Leksikon 8. Grafis 9. Metafora


(45)

Dari semua pendekatan diatas , maka inti dari framing yang disampaikan oleh para ahli adalah bahwa framing merupakan pendekatan untuk melihat bagaimana sebuah realitas dibentuk dan dikonstruksi oleh media. Analisis framing juga dapat mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Ada dua esensi utama dari framing yakni :

1. Bagaimana peristiwa itu dimaknai (berkaitan dengan pemilihan peristiwa/fakta yang mengakibatkan adanya suatu peristiwa yang diliput atau tidak)

2. Bagaimana peristiwa itu ditulis (berkaitan dengan bagaimana fakta yang sudah dipilih semakin ditekankan dengan perangkat tertentu. Misalnya penempatan kata atau kalimat dengan bantuan foto, gambar atau grafik)

Frame media dengan demikian adalah bentuk yng muncul dari pikiran (kognisi), penafsiran, dan penyajian dari seleksi, penekanan dan pengucilan dengan menggunakan simbol-simbol yang dilakukan secara teratur dalam wacana yang terorganisir, baik dalam bentuk verbal maupun visual ( Eriyanto,2002:69).

2.3 Berita dan Proses Produksi Berita

Berita adalah laporan tentang tentang fakta atu ide yang termasa, yang dipilih oleh staf redaksi suatu harian untuk disiarkan, yang dapat menarik perhatian pembaca, entah karena ia luar biasa atau entah karena pentingnya, atau karena ia mencakup segi-segi human interest, seperti human, emosi dan ketegangan. Namun ada beberapa konsep berita yang dapat dikembangkan yaitu berita itu sebagai laporan tercepat, rekaman fakta-fakta obyektif, interpretasi, sensasi, minat insani, ramalan dan sebagai gambar (Effendi, 1993:131-134). Melalui berita kita dapat mengetahui apa yang terjadi di Aceh,


(46)

di Papua dan di Jakarta. Melalui berita kita mengetahui apa saja yang dilakukan oleh elit politik, kehidupannya dan kegiatannya.

Berita adalah bagian dari komunikasi yang membuat kita terus memperoleh informasi tentang pergantian peristiwa, isu dan tokoh di dunia luar. Menurut para sejarawan, akhirnya para penguasapun menggunakan berita untuk menjaga kebersamaan komunitas mereka. Berita menyediakan rasa kebersamaan dan tujuan bersama. Berita bahkan membantu penguasa tiran mengontrol rakyat mereka dengan mengikat mereka dengan ancaman bersama (Bill Kovach, 2003:16-17).

Pengertian berita yang paling terkenal dikemukakan oleh John B. Bogart lewat sebuah pernyataan, yaitu ‘When a dog bites a man, that’s not news. But when a man bites a dog is news’, ‘ Jika anjing menggigit orang, itu bukan berita. Namun kalau ada orang menggigit anjing, itu baru berita.’ (Brandt, 2002:17). Dengan demikian, berita memuat suatu hal yang tidak biasa, jarang, dan langka sehingga dapat dikatakan bahwa suatu berita harus memuat unsur baru, penting, relevan, menyangkut hajat hidup orang banyak dan memuat suatu kebenaran. Kendati sangat mustahil untuk memaparkan semua unsur tersebut namun para pencari berita berupaya untuk mencapai idealisasi itu.

Hanya peristiwa yang mempunyai ukuran-ukuran tertentu baru dapat disebut sebagai berita. Semakin besar peristiwa dan semakin besar dampak yang ditimbulkannya, lebih memungkinkan dihitung sebagai peristiwa. Dalam kerja media, peristiwa tidak dapat langsung disebut sebagai berita, tetapi ia harus dinilai terlebih dahulu apakah peristiwa tersebut mempunyai nilai berita. Nilai berita tersebut menyediakan standar dan ukuran bagi wartawan sebagai kerja dari praktik jurnalistik sebuah berita yang mempunyai unsur nilai berita paling tinggi memungkinkan untuk ditempatkan dalam


(47)

headline, sedangkan berita yang tidak mempunyai unsur nilai berita atau setidaknya tidak berdamapak besar akan dibuang. Penentuan nilai berita ini merupakan prosedur pertama bagaimana peristiwa dikonstruksi (Eriyanto, 2002:104) Secara umum nilai berita itu dapat digambarkan sebagai berikut:

Prominance Nilai berita diukur dari kebesaran peristiwanya. Peristiwa yang diberitakan adalah peristiwa yang dipandang penting. Mis: Kecelakaan yang menewaskan ratusan orang lebih dipandang sebagai berita daripada kecelakaan yang hanya menewaskan satu orang

Human interest Peristiwa yang banyak mengandung unsur haru, sedih, dan menguras emosi khalayak. Misalnya, peristiwa tentang perjuangan seorang nenek tua miskin dalam memenuhi kebutuhan anaknya sehingga menjadi sukses

Conflict/Controversi Peristiwa yang mengandung konflik. Misalnya konflik Timor Leste

Unusual Berita yang mengandung peristiwa yang tidak biasa, peristiwa yang jarang terjadi. Misalnya Bayi lahir dengan bobot 6 Kg.

Proximity Peristiwa yang dekat lebih layak diberitakan dibanding dengan peristiwa yang jauh, baik dari fisik maupun emosional dengan khalayak.


(48)

Misalnya, bencana Tsunami 2004 yang terjadi di Aceh akan lebih bernilai bagi warga Aceh yang sedang bermukim di luar negeri daripada orang Indonesia sendiri yang tidak punya saudara di Aceh

Sumber: Eriyanto, 2002: 106-107

Selain nilai berita , prinsip lain yang penting dalam proses produksi berita adalah kategori berita. Menurut Tuchman, secara umum wartawan memakai lima kategori berita berdasarkan jenis peristiwanya yaitu (Eriyanto, 2002:109-110).

1. Hard News, Berita mengenai peristiwa yang terjadi saat itu. Berita ini sangat dibatasi oleh waktu dan aktualitas. Semakin cepat semakin baik. Misalnya, Korupsi pejabat, kecelakaan, bencana alam.

2. Soft News, Berita yang berhubungan dengan kisah manusiawi (human interest). Jika Hard News dibatasi oleh waktu dan merupakan peristiwa yang penting namun Soft News tidak memperhatikan kecepatan, yang penting apak berita itu menarik dan dapat menyentuh emosi dan perasaan khalayak. Misalnya, kisah mengenai pramuniaga yang akan melangsungkan pernikahannya namun meninggal dalam kecelakaan pesawat sehari sebelum pernikahan.

3. Spot news, Merupakan subklasifikasi atau bagian lain dari Hard News. Dalam Spot News, peristiwa yang diliput tidak bisa direncanakan. Peristiwa kebakaran, kecelakaan, bencana alam adalah peristiwa yang tidak dapat diprediksi.

4. Developing News, Merupakan sublikasi lain dari Hard News. Peristiwa yang diberitakan mempunyai kelanjutan pada jam berikut atau keesokan harinya.


(49)

Dalam pemberitaan jatuhnya pesawat terbang, dalam berita pertama mungkin diberitakan nama pesawat dan lokasi kejadian, satu jam kemudian diberitakan nama korban, sebab-sebab kecelakaan dan seterusnya. Disini satu berita diteruskan oleh berita lain, atau malah dikoreksi oleh berita selanjutnya.

5. Continuing News, juga merupakan sublikasi lain dari Hard News. Bedanya dalam Continuing News berita tersebut diprediksi dan direncanakan. Proses dan peristiwa tiap hari berlangsung kompleks, namun tetap berada dalam wilayah dan pembahasan yang sama. Misalnya, Peristiwa Tsunami yang diberitakan mulai dari sebab terjadinya, sampai penanganan korban. Peristiwanya berbeda tapi tetap mengarah pada suatu tema tertentu.

Setiap kategori tersebut akan menentukan kontrol kerja wartawan, apa yang harus dilakukan, kapan pekerjaan itu harus selesai, dan bagaimana peristiwa itu seharusnya ditulis, menurut Tuchman kategori berita tersebut bukan hanya menentukan bagaimana peristiwa diklasifikasikan, melainkan juga menunjukkan bagaimana peristiwa tersebut didefenisikan dan dikonstruksi (Eriyanto, 2002: 111).

Dalam proses pembentukan suatu berita banyak faktor yang berpotensi untuk mempengaruhinya, sehingga niscaya akan terjadi pertarungan wacana dalam memaknai realitas dalam presentasi media (Sudibyo, 2001:7). Proses pembuatan berita merupakan proses yang rumit dan melibatkan banyak faktor seperti kepentingan yang bermain dibaliknya.

Pamela D. Shoemaker dan Stephen D. Reese meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam ruang pemberitaan yaitu:


(50)

5. Faktor Individual.

Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesi dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Aspek personal tersebut seperti jenis kelamin, umur, atau agama.

6. Level Rutinitas Media (media routine)

Rutinitas media berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tesebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya.

7. Level Organisasi.

Level organissi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang yang tunggal yang ada dalam orgnisasi berita, ia sebaliknya hanya sebagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Misalnya selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya.

8. Level Ekstramedia

Level ini berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Meskipun berada di luar organisasi media, namun hal-hal di luar organisasi media ini sedikit banyak dalam banyak kasus mempengaruhi pemberitaan media.


(51)

Faktor-faktor tersebut adalah sumber berita, sumber penghasil media (iklan, pelanggan/pembeli media), pihak eksternal (pemerintah dan lingkungan bisnis), dan ideologi (kerangka berfikir/referensi).

Sebuah teks berita tidak dapat disamakan dengan Copy realitas, ia haruslah dipandang sebagi konstruksi atas realitas, karenanya sangat potensial terjadi peristiwa yang sama, tetapi konstruksinya berbeda. Teks berita memiliki sejumlah strategi baku dalam mempersuasikan pernyataan (Eriyanto, 2002:14).

Pada umumnya, berita berasal dari peristiwa tetapi tidak semua peristiwa dapat menjadi berita. Bagaimana suatu peritiwa menjadi pemberitaan suatu media dapat menjelaskan isi media tersebut. Dalam studi media ada tiga pendekatan yang digunakan untuk menjelaskan isi media (Sudibyo, 2001:2-4):

1. Pendekatan politik ekonomi (The political- economy approach)

Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi dan politk diluar pengelolaan media. Faktor seperti pemilik media, modal dan pendapatan media dianggap lebih menentukan bagaimana wujud isi media. Faktor-faktor inilah yang menentukan peristiwa apa saja yang bisa atau tidak bisa ditampilkan dalam pemberitaan, serta ke arah mana kecenderungn pemberitaan sebuah media diarahkan. Pola dan jenis pemberitaan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan ekonomi yang secara dominan menguasai pemberitaan. Mengapa media memberitakan dengan cara seperti itu dan mengabaikan cara pemberitaan yang lain? Jawabannya dicari dengan melihat


(52)

kepentingan ekonomi, kepentingan politik, dan kepentingan modal dibalik sebuah media.

2. Pendekatan organisasi (Organisasional approaches).

Pendekatan ini bertolak belakang dengan pendekatan ekonomi politik. Dalam pendekatan ekonomi politik, isi media diasumsikan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan eksternal diluar diri pengelola media. Pengelola media dipandang bukan sebagai entitas yang aktif, dan ruang lingkup pekerjaan mereka dibatasi berbagai struktur yang mau tidak mau memaksanya untuk memberi fakta dengan cara tertentu. Pengelola media dipandang tidak bisa mengekspresikan pandangan personalnya. Sebaliknya, kekuatan eksternal di luar konteks pengelolaan medialah yang menentukan apa yang seharusnya diwartakan dan diwacanakan.

Pendekatan organisasi justru melihat pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi berita. Dalam pendekatan ini, berita dilihat sebagai hasil dari mekanisme yang ada di ruang redaksi. Praktik kerja, profesionalisme, dan tata aturan yang ada dalm ruang organisasi adalah unsur-unsur dianamik yang mempengaruhi pemberitaan. Kenapa media memberitakan kaus A dengan cara tertentu? Penjelasannya merujuk pada mekanisme yang terjadi di ruang redaksi. Misalnya ketika media mengangkat tokoh politik tertentu, ini bukan berdasarkan motivasi ekonomi atau politik, tetapi karena tokoh politik itu memang mempunyai nilai berita yang tinggi. Setiap organisasi berita mempunyai pola dan mekanisme tersendiri untuk memberitakan suatu peristiwa. Mekanisme itu bersifat internal dan tidak ditentukan oleh kekuatan di luar media.


(53)

Media dianggap otonom dan menentukan apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang baik atau buruk, dan apa yang layak atau tidak layak untuk diberitakan. 3. Pendekatan kulturalis (culturalis approach)

Pendekatan ini merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi politik dan pendekatan organisasi. Proses produksi berita disini dilihat sebagai mekanisme yang rumit yang melibatkan faktor internal media (rutinitas organisasi media) sekaligus juga faktor eksternal diluar diri media. Mekanisme yang rumit itu ditunjukkan dengan bagaimana perdebatan yang terjadi dalam ruang pemberitaan. Pendekatan kulturalis ini mungkin lebih memadai untuk menjelaskan perkembangan pers pasca Orde Baru ‘Revolusi Mei’, dimana para pengelola media mencoba melepaskan diri dari batasan-batasan yang sebelumnya membelenggu kinerja mereka. Persolan kemudian, apakah pada perkembangan selanjutnya pers dapat sepenuhya mempraktekkan ide-ide tentang profesionalisme dan etika jurnalis ideal? Pers telah masuk dalam era industri kapitalisme global, ada sejumlah kompromi yang harus dilakukan dengan kaidah-kaidah pasar. Dengan kata lain, dinamika internal redaksi sebuah media di era pasca-Orde Baru tetap tidak sepenuhnya menjadi entitas otonom, karena ada kekuatan-kekuatan ekonomi yang turut mempengaruhinya.

Dalam pendekatan kulturalis, pengaruh kekuatan ekonomi politik dominan dalam pemberitaan itu diyakini tidak bersifat langsung. Dalam banyak kasus justru sering kali tidak disadari oleh wartawan. Wartawan menganggap beritanya objektif, berimbang, dan dua sisi, padahal secara tidak langsung berita itu turut melanggengkan dan menguntungkan kekuatan ekonomi yang dominan. Sebut saja


(54)

misalnya dalam riset pemberitaan mengenai konflik antara petani dengan pemilik perkebunan dan pemerintah. Wartawan banyak mewawancarai pemilik perkebunan dan aparat keamanan sebagai sumber berita. Secara tidak langsung, media sebenarnaya telah menempatkan pemilik tanah dan aparat keamanan sebagai sumber penting dan dominan. Sebaliknya, para petani tidak mendapatkan porsi yang memadai. Disini terlihat, dominasi pemilik perkebunan (baca: modal) dan aparat keamanan tidak bersifat langsung dan koersif. Bahkan sering terjadi awak media tidak menyadari bahwa pola pemberitaannya telah menguntungkan kelompok tertentu dalam sebuah konflik.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan Proses framing dan proses produksi berita

sendiri tidak lepas dari proses penyuntingan yang melibatkan semua pekerja dibagian keredaksian media cetak. Reporter dilapangan menentukan siapa yang diwawancarainya. Redaktur, dengan atau tanpa berkonsultasi dengan redaktur pelaksana menentukan apakah laporan si reporter akan dimuat atau tidak, dan menentukan judul apa yang akan diberikan. Petugas tatap muka dengan atau tanpa berkonsultasi dengan para redaktur tersebut, apakah teks berita itu perlu diberi aksentuasi foto, karikatur, atau bahkan ilustrasi lain atau tidak serta foto, karikatur atau bahkan ilustrasi mana yang dipilih (Sobur, 2002:64). Artinya sebuah berita yang terdapat di media merupakan suatu perjalanan panjang dari perencanaan sampai terbentuknya suatu berita di media cetak atupun elektronik. Melalui proses itu tentunya tidak hanya melibatkan para pekerja pers tetapi juga pihak-pihak yang bersengketa dalam kasus-kasus tertentu yang masing-masing berusaha menampilkan sisi-sisi informasi yang ingin ditampilkan.


(55)

Pada prinsipnya media massa juga berusaha menjual sesuatu demi memperoleh keuntungan. Keuntungan inilah yang kemudian dapat menghidupi organisasi media massa, dan modal tentu diperlukan sebagai awal untuk menjalankan kegiatan media, dan modal inilah yang biasa dipenuhi oleh pemilik media massa, pemegang saham, penguasa dan sebagainya. Untuk alasan ekonomi inilah pemilihan dan penulisan berita harus disesuaikan dengan selera masyarakat belum lagi adanya iklim persaingan antar media.

Terjadinya proses tarik menarik antara editor judgements dan market forces merupakan dualisme yang dihadapi dalam proses prosuksi isi media. Namun ketika harus memilih opsi tersebut, editor Judgements-lah yang lebih tepat untuk didahulukan. Bagaimanapun jurnalis harus mementingkan kepentingan khalayak bukan dalam pengertian ekonomi, tetapi untuk kepentingan jurnalis (Hidayat, 2000: 408).

2.4 Bahasa dan Ideologi

Proses komunikasi merupakan pengiriman pesan dari seseorang (pengirim/ komunikan) kepada orang lain (penerima/komunikator) dengan maksud untuk menghasilkan sebuah makna yang sama. Proses pengiriman pesan tersebut dilakukan melalui kata-kata (simbol verbal), dimana pesan verbal tersebut merupakan unsur dasar dari bahasa.

Kata atau bahasa di dalam linguistik diberi pengertian sebagai sistem simbol bunyi bermakna dan berartikulasi (dihasilkan oleh alat ucap) yang bersifat arbiter (berubah-ubah) dan konvensional, yang dipakai sebagai alat berkomunikasi oleh sekelompok manusia untuk melahirkan perasaaan dan pikiran.


(56)

Bahasa adalah kombinasi kata yang diatur secara sistematis sehingga bisa digunakan sebagai alat komunikasi (Sobur, 2001: 42). Kata merupakan simbol dari pemikiran manusia. Oleh karena manusia adalah makhluk yang dinamis dan beragam latar budaya, maka bahasa pun memiliki keragaman itu sehingga suatu bahasa tertentu hanya dapat dimengerti oleh kelompok masyarakat tertentu. Keragaman bahasa memungkinkan adanya keragaman makna juga, artinya dengan bahasa yang sama dapat menimbulkan makna yang berbeda dalam kelompok-kelompok masyarakat.

Istilah bahasa dapat digunakan dalam arti harafiah dan metaforis. Dalam arti harafiah, istilah itu mengacu kepada bahasa biasa, yang alami, yang dipakai di keseharian. Dalam arti metaforis, istilah itu mengacu kepada berbagai cara berkomunikasi atau berkontak seperti kedipan mata, lambaian tangan, nyala lampu berwarna tertentu, gambar pada rambu-rambu, bunyi kentongan dan sebagainya (Sobur, 2001:43). Untuk menganalisis pesan media digunakan pendekatan melalui arti metaforis, dimana bahasa media tidak dilihat sebagai sesuatu yang biasa dan alami saja namun merupakan simbol untuk mengungkapkan realitas. Dalam artian, setiap bahasa (simbol) yang disampaikan oleh media pastilah merupakan hasil konstruksi manusia. Setiap bahasa mempunyai maksud dibaliknya, bahasa yang disampaikan mempunyai makna lain disamping makna alami.

Bahasa dan penggunaanya terus berkembang seiring dengan perkembangan manusia itu sendiri. Setiap bahasa mempunyai fungsi tersendiri. Menurut Halliday, secara makro bahasa mempunyai fungsi sebagai berikut ( Sobur, 2002:17):

1. Fungsi ideasional: untuk membentuk, mempertahankan dan memperjelas hubungan di antara anggota masyarakat. Tampak pada struktur yang melibatkan


(57)

peran-peran proses, partisipan, dan sirkumstansi; aktif, prosesif, statif; aktor, sasaran, dan pemanfaat; kala, loka, cara.

2. Fungsi interpersonal: untuk menyampaikan informasi diantara anggota masyarakat. Berkaitan dengan peran bahasa untuk membangun dan memelihara hubungan sosial, untuk pengungkapan peranan sosial termasuk peranan-peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri. Fungsi interpersonal tampak pada struktur yang melibatkan aneka modalitas dan sistem yang dibangunnya.

3. Fungsi Tekstual ; untuk meyediakan kerangka, pengorganisasian diskursus (wacana) yang relevan dengan situasi. Fungsi tekstual bahasa ini adalah satuan dasar bahasa dalam penggunaan, bukan kata atau kalimat, melainkan teks; dan unsur tekstual dalam bahasa adalah seperangkat pilihan, yang dengan cara itu memungkinkan pembicara atau penulis menciptakan teks-teks untuk menggunakan bahasa dengan jalan yang relevan dengan konteksnya.

Analisis teks media melihat bahasa bukan hanya diterima secara apa adanya, tetapi ditanggapai sebagai perantara dalam pengungkapan maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Bahasa dan makna-maknanya jelas merupakan kerja kolektif.

Fakta peristiwa yang disajikan lewat bahasa berita dipandang bukanlah sesuatu yang bebas nilai. Bahasa tidak netral, dan tidak pula sepenuhnya dalam kontrol kesadaran. Karena itu, bias yang berasal dari bahasa adalah bias yang sesungguhnya amat berbahaya, ibarat musuh yang menikam dari belakang.


(1)

sebagai seorang yang menaruh empati khususnya kepada korban kecelakaan transportasi.

2. Kompas mengkonstruksi kemaksimalan pemerintah dalam menangani berbagai bencana transportasi. Hal ini terlihat dari cara Kompas menulis berita. Kompas selalu menginformasikan upaya pencarian (AdamAir , Levina, KM Senopati) secara detil. Walaupun dalam kenyataannya upaya tersebut tidak berhasil, namun lewat cara inilah Kompas mengkonstruksi dukungannya kepada pemerintah. Kompas ingin menyampaikan kepada khalayak bahwa pemerintah sudah bekerja maksimal dalam menangani kecelakaan transportasi yang terjadi.

3. Dalam berita yang dimuat, Kompas seringkali tidak memuat prinsip cover both

side. Hal ini terlihat dari sumber berita yang lebih didominasi oleh aparat

pemerintah termasuk dari SBY&JK. Kompas tidak banyak memuat opini dari pihak oposisi terhadap kebijakan SBY&JK dalam menangani berbagai kecelakaan transportasi yang ada. Kompas juga tidak banyak mengekspos para saksi yang selamat, termasuk opini mereka tentang kebijakan pemerintah dan pihak manajemen jasa transportasi dalam pemberian ganti rugi.

4. Dalam menggambarkan realitas kecelakaan transportasi, Kompas banyak menghilangkan bagian yang dianggap kontroversi. Hal ini dimungkinkan berkaitan dengan posisi dan ideologi media. Kompas adalah koran terbesar di Indonesia yang disebut-sebut menjalankan praktik “jurnalisme kepiting” - tulis agak keras bila memungkinkan, dan tiarap bila penguasa mulai marah. Kompas yang bergerak ala kepiting, mencoba langkah satu demi satu untuk mengetes seberapa jauh kekuasaan memberikan toleransi pada kebebasan pers. Jika aman,


(2)

akan maju beberapa langkah jika kondisi tidak memungkinkan, kaki kepiting pun bisa mundur. Misalnya Kompas menulis adanya fakta sabotase dalam kecelakaan Pesawat Garuda dan kesalahan tekhnis dalam kecelakaan KM senopati, Kompas menyampaikan fakta ini hanya sebatas wacana saja, selanjutnya Kompas tidak berani menyampaikan informasi lebih kepada publik mengenai kontroversi tersebut Kompas tidak berani mencari fakta lain untuk tetap menjaga eksistensinya. Namun, sejalan dengan berlalunya waktu, strategi inilah yang membuat harian Kompas bertahan, melalui beberapa dekade dan rezim pemerintahan di Indonesia. Strategi inilah yang membuat publik tetap memilih Kompas sebagai salah satu sumber informasi. Kompas kaya akan data dan fakta, namun tidak berani mengulas fakta tersebut secara dalam. Kompas memberi kebebasan kepada pembaca untuk memilih dan menilai sendiri fakta yang disampaikan.


(3)

1. Setiap media (khususnya Kompas)hendaknya jangan hanya mengandalkan satu sumber berita saja namun menggali sebanyak mungkin sumber berita yang memiliki kepentingan yang berbeda. Meskipun akses kepada pemerintah atau penguasa lebih kuat, wartawan perlu menjadikan masyarakat umum sebagai narasumber.

2. Kompas hendaknya lebih memperhatikan sinkronisasi antara judul berita dengan isi berita yang hendak disampaikan. Demikian pula penggunaan tata bahasa yang digunakan hendaknya lebih memperhatikan tata bahasa yang sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).

3. Khalayak pembaca harus lebih teliti dan kritis terhadap pemberitaan dari sebuah media. Adalah perlu untuk membandingkan dengan media lain untuk memperoleh perspektif yang lebih luas.

4. Penelitian ini terbatas pada berita yang ditampilkan oleh surat kabar, karenanya tidak diketahui secara pasti latar belakang penulisan berita. Oleh karena itu untuk memahami konstruksi berita secara menyeluruh adalah perlu bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian terhadap pihak-pihak/pekerja media, baik dari redaksi maupun wartawan secara langsung melalui observasi sehingga lebih diketahui ideologi apa yang terkandung dalam sebuah pemberitaan.


(4)

Sendjaja, Djuarsa. 1994. Teori Komunikasi. Universitas Terbuka.

Sobur, Alex. 2002. Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana,

Analisis Semiotika dan Analisis Framing. PT.Remaja Rosdakarya:

Bandung.

Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. LKIS. Yogyakarta.

Surakhmad, Winarno. 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah- Dasar, Metode dan

Teknik. Tarsito: Bandung.

Sumber Lain:

http://


(5)

BIODATA RECHECKER (PEMBANDING)

Rechecker (Pembanding) I

Nama : Nova Hutabarat

Tempat/Tanggal Lahir : Balige/ 30 November1986

Alamat : Jl. Marakas No.41 Padang Bulan Medan

Pendidikan : Mahasiswa Ilmu komunikasi FISIP USU angkatan 2004

Pekerjaaan : -

Hobi : Bernyanyi, Musik

Status : Belum menikah

Rechecker (Pembanding) II

Nama : L. Pernando Sihombing, S.sos Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 25 Februari 1980

Alamat : Jl. Pahlawan Gg. Rukun No. 7 Medan Pendidikan : S1 Ilmu Komunikasi

Pekerjaaan : Staff Adm. PT. Home Centre Indonesia

Hobi : Membaca, Olahraga, Musik


(6)

BIODATA PENULIS

Nama : Meryati Priska Sianturi Tempat/ Tgl.l lahir : Sidikalang/ 19 Oktober 1983 Jenis kelamin : Perempuan

Alamat : Jl.Marakas No.34 Pasar II Padang Bulan Medan

Telepon : 081396447679

Agama : Kristen Protestan

Anak ke : 2 dari 5 bersaudara Nama Orangtua

-Ayah : M. Sianturi

-Ibu : D. Pasaribu

Saudara kandung

-Kakak : Gloria Sianturi,AMd

-Adik : -Tri Juliana Sianturi - Eva Naomi Sianturi - Daniel Sianturi

PENDIDIKAN

- 1990-1996 SDN. No.034781 Sidikalang - 1996-1999 SLTPN.1 Sidikalang

-1999-2002 SMUN.1 Sidikalang

-2003-2008 S1.Ilmu Komunikasi FISIP USU Medan

PENGALAMAN


Dokumen yang terkait

Perbandingan Antara Garis Politik Hukum Menurut GBHN RI 1998 dan RPJPN di Era Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

2 84 169

Pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono & Wakil Presiden Jusuf Kalla Di Surat Kabar (Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla Pasca Kecelakaan Transportasi Yang Terjadi Bulan J

0 52 164

Format Baru Relasi Presiden-Dpr (Studi Kasus Hubungan Presiden dan DPR Pada Masa Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla)

5 86 87

Pencitraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan KPK Dan POLRI (Analisis Framing Terhadap Pembentukan Citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Terkait Perseteruan Polri dan KPK Pada Surat Kabar Kompas)

1 52 118

Wacana Kepemimpinan: Analisis Fase Dan Modalitas Teks Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Berdasarkan Perspektif Linguistik Sistemik Fungsional

9 144 194

Pencitraan Presiden Dalam Karya Fotografi (Analisis Semiotik Foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Dan Megawati Soekarno Putri pada buku “Split Second, Split Moment” karya Julian Sihombing)

0 12 78

Pencitraan Presiden Dalam Karya Fotografi (Analisis Semiotik Foto Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Dan Megawati Soekarno Putri pada buku “Split Second, Split Moment” karya Julian Sihombing)

3 16 78

Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden Dalam Rangka Pelaksanaan Kedaulatan Rakyat Di Indonesia (Analisis Yuridis Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden)

0 7 118

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Citra Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dalam iklan politik

0 0 154

Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil pr-iiden, dan

0 0 548