RELASI KEKUASAAN WORLD TRADE ORGANIZATION DALAM KEBIJAKAN PANGAN PEMERINTAHAN SUSILO BAMBANG YODHOYONO DAN JUSUF KALLA (2004-2009)

(1)

RELASI KEKUASAAN

WORLD TRADE ORGANIZATION

DALAM KEBIJAKAN PANGAN

Pemerintahan Susilo Bambang Yodhoyono dan Jusuf Kalla

(2004-2009)

JAMALUDDIN HAKIM 20070510206

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(2)

RELASI KEKUASAAN WORLD TRADE ORGANIZATION

DALAM KEBIJAKAN PANGAN

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (2004-2009)

SKRIPSI

Disusun Guna Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Disusun Oleh :

JAMALUDDIN HAKIM 20070510206

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POITIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA


(3)

(4)

KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum wr wb.

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya, serta shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa ummatnya kepada era pencerahan dari zaman kejahiliahan.

Alhamdulillah, penulis haturkan atas terselesaikannya skripsi strata-1 Program Studi Ilmu Hubungan Internasional berjudul “Relasi Kekuasaan World Trade Organization Dalam Kebijakan Pangan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (2004-2009)”.

Skripsi ini berawal dari kegelisahan penulisan melihat pemberitaan tentang melonjaknya harga pangan serta fenomena impor beras dan komoditi pertanian lainnya yang hampir lazim terjadi, terlebih pada masa Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla. Di sisi lain kasus meningkatnya gizi buruk dan peminggiran nasib petani oleh korporasi pangan juga sering terjadi.

Mencermati hal tersebut timbul sebuah rasa penasaran penulis untuk mempertanyakan relasi dan hubungan antara kebijakan dalam sektor pangan, dengan WTO selaku organisasi perdagangan dunia yang di dalamnya juga mengatur perjanjian seputar pertanian, yang tertuang dalam AoA.

Posisi Indonesia sebagai anggota WTO yang cukup lama, kiranya juga menjadi menarik perhatian penulis untuk lebih jauh melihat pola dan dinamika hubungannya dengan pemerintah Indonesia, terkhusus dalam bidang pertanian


(5)

(baca; pangan). WTO sebagai anak kandung dari kapitalisme liberal rasanya tidak bisa hanya didekati dengan satu instrument tunggal, oleh karena itu dalam hal ini penulis mencoba menggunakan perangkat analisa dari Barnett and Duvall, yang oleh penulis pendekatan tersebut dirasa lebih komperhensif untuk menjelaskan relasi yang terjadi. Upaya ini juga sekaligus ingin membuktikan bagaimana sesungguhnya wajah jahat kapitalisme. Skripsi ini pada dasarnya merupakan ikhtisar untuk mencari hubungan antara WTO sebagai jerat-jaring penjajahan baru, yang sebenarnya adalah modus kuasa dari negara-negara maju dalam WTO. Penulis juga sangat menyadari bahwa sebagai sebuah hasil studi, skripsi ini masih teramat elementer untuk bisa menjelaskan dinamika yang terjadi dalam perjalanan WTO. Sehingga sangat diperlukan banyak prespetif baru dalam upaya mengkaji secara lebih tajam lagi.

Tema mengenai pangan dan pertanian merupakan persoalan yang teramat kompleks untuk dapat dijabarkan pada aturan WTO, apalagi saat mencermati perdebatan sengit antar negara, dalam kaitanya dengan pengurangan subsidi dan tarif.

Akhirnya, semoga skripsi ini menjadi ilmu yang bermanfaat serta mampu memberikan konstribusi bagi kita semua. Amin.

Melalui kata pengantar ini penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada berbagai pihak antara lain:

1. Bapak Prof. Bambang Cipto, M.A. selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.


(6)

Ilmu Politik UMY.

3. Ibu Dr. Nur Azizah selaku Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional UMY yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk turut serta berkontribusi kepada jurusan.

4. Ibu Siti Muslikhati, S.IP., M.Si. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UMY.

5. Bapak Ade Marup Wirasenjaya, S.IP., M.A.. selaku Dosen Pembimbing yang telah mencurahkan pikiran dan tenaganya untuk membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak Sugeng Riyanto, S.IP., M.A. Selaku Dosen Penguji I skirpsi yang telah memberikan saran dan masukan untuk karya tulis ini agar sempurna.

7.

Drs. Husni Amriyanto., M.Si. Selaku Dosen Penguji II skirpsi yang telah memberikan saran dan masukan untuk karya tulis ini agar sempurna.

8. Seluruh rekan-rekan civitas akademika HI UMY, bapak dan ibu dosen HI UMY yang telah memberikan ananda pengetahuan sehingga dapat menyelesaikan studi, administrasi TU HI, pak Ayyub, pak Jumari dan pak Waluyo yang membantu proses administrasi di jurusan berjalan lancar, dan teman-teman HI UMY angkatan 2007 yang senantiasa memberikan dukungan, sehingga meskipun tertatih-tatih, masa studi ini dapat terlewati. 9. Terimakasih kepada seluruh teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan

satu-persatu telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Mengakhiri kata pengantar ini, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu banyak masukan dan saran, maka dari itu penulis mengharapkan masukan


(7)

dan saran dari pembaca melalui email hakiem-04@yahoo.co.id Semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak.

Wassalamu alaikum wr wb.

Yogyakarta, 19 Mei 2016


(8)

Halaman Persembahan

Kudedikasikan karya skripsi ini untuk kedua Orangtuaku dan

Saudara-saudaraku:

Ayahnda tercinta Kusnan Sumber (Almarhum)

Ibunda tercinta Siti Muthmainnah

Mas Wahyuddin Ahmadi

Mas Syaifuddin Abdillah

Mas Amruddin Jabbar

Adek Sholahuddin Zuhri

Adek Baharuddin Rohim

Adek Fakhruddin Lubis

Adek Imaduddin Al-Fanani

Adek Aminuddin Al-Abror

Semoga langkah perjuanggan ini tidak pernah padam sampai raga

memisahkan kita.


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Halaman ini dedikasikan penulis untuk menyampaikan ribuan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan penting dalam perjalanan studi penulis. Semoga sumbangsih bapak/ibu/saudara/mas/mbak/dan partner yang selalu menemani penulis dan mengantarkan penulis ke gerbang kesuksesan.

 Persembahan yang paling utama ialah bagi kedua orangtua penulis. Kepada Ibunda Siti Muthmainnah dan Ayahanda Kusnan Sumber yang telah banyak memberikan pelajaran hidup dan menuntun penulis kepada jalan perjuangan.

 Saudara-saudaraku Wahyuddin Ahmadi, Syaifuddin Abdillah, Amruddin Jabbar, Sholahuddin Zuhri, Baharuddin Rohim, Fakhruddin Lubis, Imaduddin AL-Fanani, Aminuddin Al-Abror, yang senantiasa memberikan dorongan semangat dalam banyak hal.

 Untuk seluruh keluarga besar Ponpes Fathul Qur’an dan Kampoeng Tani Merdeka Lamongan, Ustadz-Ustdzah, Bang Zainal, Prasetyo, Wawan, Rois dan santriwan-santriwati semua.

 Kepada teman-teman IMM Komisariat FISIPOL; Fitrah Yunus, Imam Mahdi, Septa Azhari, Rijal Ramdani, Noor Afif Fauzi, Arizal, Harakan, Dede, Muji, Mada, Nisa, Yasfi, Ipul, Bromo, Sodiq, serta buat para senior; Kanda Zein Maulana, Kanda Nu’man Iskandar, Kanda Nugie, Kanda Martha, Kanda Sobar.


(10)

 Terimakasih kepada teman-teman HI 2007; Zulhamdi, Fadlan Nur Hakim, Anis, Anas, Leo, Ipunk, Hendri, Imam, Septa, Maya, Ferdy, Ovi, Abduh, Tangguh, dan semua yang tak bisa penulis sebutin satu-persatu.

 Terimakasih kepada Keluarga Besar Majleis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah Khususnya Dr (HC) Said Tuhuleley (Alm) yang telah banyak mengispirasi dan mendidik penulis, Pak Ahmad Ma’ruf, Pak Nurul Yamin, Pak Budi Nurgoho, Gus Bahtiar yang banyak membantu keluh kesah penulis, Ir. Syafi’ie Latuconsina, Prof. Ali Agus, Pak Iqbal Tuasikal, Mas Eko prasetyo, Mas Lutsfi, Bro Hadi, Bro Enal, Bro Kumajaya, Bro Mahendra, Bang Alfian, Mas Nu’man Iskandar. Mas Irvan Mawardi, Mas Moelyadi, Pakde Usman, Mbak Wuri, Mbak Ipunk, Mbak Ning, Mas Marcho, Tuhu, Reza, Rizal, Mbak Afif, serta teman-teman Fasilitator lainnya yang tak bisa penulis sebut satu-persatu.

 Terimakasih kepada teman-teman Pemuda Muhammadiyah Kota Yogyakarta; Kang Ghifari, Kang Rifqi, Kang Anang, Kang Fajrul, Kang Fajrul, Kang Prima.

 Terimakasih juga kepada teman-teman angkatan 80 Mu’allimin Yogyakarta.


(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PENGESAHAN. ... iii

PERNYATAAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix

DAFTAR ISI ... xii

ABSTRAK ... xix

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Kerangka Dasar Teori... 9

1. Mode Kuasa (Power) ... 9

2. Kebijakan Pangan ... 13

D. Hipotesa ... 15

E. Metode Penelitian ... 15

F. Manfaat Dan Tujuan Penelitian ... 16

G. Jangkauan Penelitian ... 16

H. Sistematika Penulisan ... 17

BAB II : MUNCULNYA WTO SEBAGAI REZIM PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Perluasan Kapitalisme ... 19

B. Jalan Menuju Liberalisme Perdagangan ... 22

C. Munculnya WTO Sebagai Rezim Perdagangan Global ... 26


(12)

BAB III : MENELUSURI ARAH KEBIJAKAN SEKTOR PERTANIAN PEMERINTAHAN INDONESIA

A. Regionalisme Baru Dan Tantangan Sektor Pangan ... 39 B. Permasalahan Pangan Dalam Prespektif Ekonomi-Politik Internasional 41 C. Membaca Kebijakan Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla

Dalam Sektor Pangan (Pertanian) ... 44 BAB IV : KUASA WTO ATAS KEBIJAKAN PANGAN INDONESIA SBY-JK (2004-2009)

A. Perjanjian WTO Terkait Pertanian ... 59 B. Dampak Agreement on Agriculture Dalam Kebijakan Pangan Indonesia 62 C. WTO Sebagai Structural Dan Institutional Power ... 69 BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 86 B. Daftar Pusataka ... 89


(13)

MALU AKU MENATAP WAJAH SAUDARAKU PARA PETANI

Oleh: Taufiq Ismail

Ketika menatap Indonesia di abad 21 ini Tampaklah olehku ratusan ribu desa Jutaan hektar swah, ladang, perkebunan,

peternakan, perikanan Di pedalaman, di pantai dan di lautan

Terasa olehku denyut nadi irigasi Pergantian cuaca, kemarau dan banjir

datang dan pergi

Dan tanah airku yang digebrak krisis demi krisis Seperti tak habis-habis terpincang-pincang

dan sempoyongan

Berjuta wajahmu tampak olehku Wahai saudaraku petani, dengan istri dan

anakmu

Garis wajahmu di abad 21 ini masih serupa dengan garis-garis wajahmu abad yang lalu

Garis-garis penderitaan berkepanjangan Dan aku malu, aku malu padamu

Aku malu padamu, wahai petani di pedesaan Hidup kami di kota disubsidi oleh kalian petani Beras yang masuk ke perut kami, harganya

kalian subsidi

Sedangkan pakaian, rumah, dan pendidikan anak kalian

Tak pernah kami orang kota kepada kalian petani, ganti memberikan subsidi

Petani saudaraku, aku terpaksa mengaku Kalian selama ini kami jadikan obyek, belum

lagi jadi subjek Berpuluh-puluh tahun lamanya

Aku malu

Hasil cucuran keringat kalian berbulan-bulan Bulir-bulir yang indah, kuning keemasan Dipanen dengan hati-hati penuh kesayangan

Dikumpulkan dank e dalam karung dimasukkan

Tapi, ketika sampai kepada masalah penjualan

Kami orang kota yang menetapkan harga Aku malu mengaatakan ini adalah suatu

bentuk penindasan

Dan aku tertegun menyaksikan gabah yang kelian bakar itu

Bau asapnya merebak ke seantero bangsa

Demikian siklus pengulangan dan pengulangan

Hidup kami dikota disubsidi oleh kalian petani Karbohidrat yang dengan setia kalian

sediakan

Harganya tak dapat kalian sendiri menentukan

Sedangkan kami orang perkotaan Bila kami memproduksi sesuatu Dan bila tentang harga, ada yang mencoba

campur tangan

Kami orang kota akan berteriak habis-habisan Dan mengacungkan tinju setinggi awan

Kalian seperti bandul yang diayun-ayunkan Antara swasembada dan tidak swasembada

Antara menghentikan impor beras dan mengimpor beras

Swasembada, tidak swasembada Menghentikan impor beras, mengimpor beras

Bandul yang bingung berayun-ayun Bandul yang bingung diayun-ayunkan

Petani saudaraku, aku terpaksa mengaku Kalian selama ini kami jadikan obyek, belum

lagi jadi subjek Berpuluh-puluh tahun lamanya

Aku malu

Di dalam setiap pemilihan umum dilangsungkan

Kepada kalian janji-janji diumpankan Tapi sekaligus kea rah kepala kalian

Diacungkan pula tinju ancaman Dulu oleh pemerintah, kini oleh partai politik

Dan kalian hadapi ini Antara kesabaran dan kemuakan

Menonton dari kejauhan DPR yang turun, DPR yang naik Presiden yang turun, presiden yang naik

Nasib yang beringsut sangat lambat Dan tak ku dengar dari mulut kalian

Sepatah katapun diucapkan

Sauradaku,

Di tengah krisis yang seperti yang tak habis-habis

Di tengah azab demi azab menimpa bangsa Kami berdoa semoga yang selama ini

menjadi objek

Dapatlah kiranya berubah menjadi subyek Jangka waktunya pastinya lama

Tapi semua kita pulangkan Kepada Tuhan

Ya Tuhan Tolonglah petani kami Tolonglah bangsa kami


(14)

"Kolonialisasi lama hanya merampas tanah,

sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan"

(

Vandana Shiva

)


(15)

(16)

Abstrak

Indonesia sebagai negara agraris menyimpan banyak potensi dalam sektor pangan yang bisa dikembangkan, namun fakta ini terhapuskan dengan tidak berpihaknya kebijakan dalam upaya melindungi nasib para produsen pangan (petani). Munculnya beragam fakta tentang naiknya harga komoditas pangan, tingginya angka impor serta terpinggirkannya petani dalam ruang publik seolah menambah potret buram sektor pertanian Indonesia pada masa Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuff Kalla. Mata rantai ini tentu tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan system tatakelola global, yakni kapitalisme liberal. Dengan bergabungnya Indonesia sebagai anggota WTO telah menandai babak baru arah kebijakan perdagangan Indonesia. Di mana WTO yang merupakan metamorfosa dari GATT menawarkan sebuah peluang dan ancaman sekaligus. Masuknya sektor pertanian (baca; pangan) dalam perjanjian WTO, yang diatur dalam Agreement on Agriculture (AoA) sejatinya menjadi peluang yang menggembirakan namun faktanya perjanjian ini justru menambah muram sektor pertanian Indonesia. Hubungan asimetris antar Negara dijadikan dasar penyebab ketidak adilan yang terjadi. Konsep Power yang ditawarkan Barnett dan Duvall kiranya mampu melihat relasi itu secara utuh. Barnett dan Duvall menawarkan empat macam konsep power, Compursory Power, Productive Power, Institusional Power, dan Struktural Power. Dengan menggunakan pendekatan kuasa (power) dari Barnett-Duvall dan konsep kebijakan pangan, penelitian ini berupaya untuk membaca pola relasi kekuasaan WTO dalam kebijakan pangan.Dari keempat konsep yang ditawarkan, terdapat dua konsep yang relevan digunakan sebagai pisau analisa, konsep Struktural power dan Institusional power. Struktural power melihat terpingirkannya negara berkembang dalam proses perundingan sebagai akibat dari adanya dominasi negara maju. Sedangkan Institusional power melihat ketertundukan negara berkembang terjadi lewat skema perjanjian yang bersifat mengikat (legally binding).

Kata kunci: Liberalisme, WTO, Agreement on Agriculture, Institutional Power, Productive Power, Structural Power, Institusional Power, Kebijakan Pangan SBY-JK.


(17)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam konteks bangsa Indonesia, persoalan pangan merupakan salah satu hal substantif yang menjadi alasan perjuangan kemerdekaan. Di mana pangan menjadi bagian dari simbol kesejahteraan dan kemiskianan sekaligus. Sehingga dalam konteks bernegara, pangan juga merupakan salah satu variabel penentu dalam mengukur nilai kesejahteraan suatau negara. Terkait dengan hal itu Soekarno dalam pidatonya tanggal 15 Agustus 1945 di BPUPKI, dengan sangat jelas menyebut keharusan Negara (indonesia yang akan terbentuk), untuk mengakhiri kondisi kemiskinan dan kelaparan rakyatnya.

Krisis pangan ternyata tidak hanya menjadi isu domestik semata, namun ia juga dewasa ini telah menjadi issu global. Dalam pertemuan FOA (Badan Pangan Dunia) yang dilakukan pada September 2010 silam, juga membahas tren naiknya harga pangan dunia.Artinya issu pangan sudah menjadi issu serius1. Senada dengan hal itu, harian Kompas dalam ulasanya melaporkan bahwa pergolakan yang terjadi di Tunisia, Mesir, dan beberapa negara Arab lainnya pada dasarnya diawali oleh beberapa persoala mendasar salah satunya, menurut laporan tersebut, krisis pangan di berbagai tempat di daerah itu. Kiranya masih segar diingatan kita pula, Reformasi yang mengawali jatuhnya rezim Orde Baru juga dimulai dengan tidak stabilnya harga-harga pangan, sebagai salah satu pemantik tergulingnya rezim. Bahkan pada era Soekarno tahun 1966, demo besar-besaran penah

1


(18)

2

dilakukan, yang terkenal dengan Tritura (tiga tuntutan rakyat) yang salah satu tuntutannya adalah penurunan harga pangan.

Terpilihnya Soesilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Jusuf Kalla, sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden ke-6 menandai era baru sistem perpolitikan Indonesia.Di mana untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, proses pemilihan presiden dilakukan secara langsung oleh rakyat. Harapan masyarakat tentu turut mengiringinya, sebagai wujud ikhtiar atas kondisi yang kian semrawut.Namun faktanya beberapa persoalan pangan belum menampakan hasil positif.Terbukti dengan mencuatnya kasus-kasus kelaparan di beberapa daerah2, angraria, kasus perizinan perkebunan, distribusi dan ekspor import menjadi sorotan. Menurut laporan yang dirilis oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) bahwa dari kebijakan pemerintah sejak 2004-2009 dibidang pertanian, dapat dikatakan terjadi stagnasi kemajuan di pedesaan, pertanian dan petani3. Keseriusan pemerintahan dalam soal panganpun diragukan banyak pihak, mengingat tata kelola kebijakan yang tumpang tindih4.

Soal pangan tidaklah sesederhana yang kita kira, masalah pangan tidak lagi soal ketersediaan pangan semata, tetapi menjadi lebih kompleks karena berkaitan erat dengan liberalisasi perdagangan. Pilihan kebijakan perdagangan domestik

2

Pada tahun 2005 seperti diberitakan oleh The Jakarta Post sekitar 332 warga Lombok NTT menderita gizi buruk, padahal pada saat itu gubernurnya mengkalim surplus produksi padi. Masih pada tahun yang sama yakni 2005, 32 anak meninggal di NTT karena gizi buruk, selanjutnya di pusat ibu kota Jakarta 13 kasus gizi buruk dan 8450 anak terancam rawan kekurangan gizi, begitupun juga di Sumatra 54.000 dilaporkan mengalami gizi buruk. Hira Jhamtani, (2007), Prolog, Pangan dari penindasan sampai ke ketahanan pangan

3

Evaluasi terhadap kebijakan pertanian pemerintah SBY_JK, kebijakan neoliberal gagal membangun oertanian dan mensejahterakan rakyat. Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih.

4

Sebut saja Perpres 36/2005 atau penggantinya 65/2006 yang memberikan legalitas kepada pemerintah dengan mengatas namakan kepentingan umum untuk merampas tanah pertanian.Padahal kepentingan umumyang dimaksud adalah kepentingan para pengusaha dan para pemodal.


(19)

3

suatu negara pun pada akhirnya juga dipengaruhi oleh pasar internasional. Sitem Globalisasi sebagai penjelmaan dari wujud kapitalisme, dewasa ini kiranya telah membawa dampak yang cukup serius bagi kehidupan petani. Pemingiran petani sebagai produsen pangan secara sistemik telah berbuntut panjang pada menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Salah satu contoh proses peminggiran petani, adalah terjadi akibat kekalahan petani kecil dan konsumen dalam perebutan kebijakan pangan yang memihak pada MNC (Multi National Corporations) bidang Agribisnis5. MNC sendiri merupakan wujud dari globalisasi produksi, yang oleh Eric Thun dalam tulisannya “The Globalization of Producion” menyebut MNC sebagai wajah globalisasi yang paing nyata (Thun, 2008:347).

Sistem liberalisasi perdagangan sendiri ditandai dengan lahirnya suatu perjanjian internasional perdagangan yang dikenal dengan General Agreement on Tariff and Trade (GATT) tahun 1994. Di mana GATT yang juga merupakan forum negosiasi perdagangan antarpemerintah, dibangun di atas asumsi bahwa sistem dagang yang terbuka lebih efisien dibanding sistem yang proteksionis serta keyakinan bahwa persaingan bebas akan menguntungkan bagi negara yang menerapkan prinsip-prinsip efektivitas dan efisiensi. Sejak 1995, GATT berubah menjadi World Trade Organization (WTO).Bila GATT hanya mengatur perdagangan barang saja, maka peraturan WTO meliputi tiga bidang, yaitu perdagangan barang (termasuk pertanian), perdagangan jasa, dan hak cipta terkait perdagangan6.

5

Mansour faqih, sebuah pengantar dalamDusta Industri Pangan; penelusuran jejak Monsanto. Delforge, Isabelle. Yogyakarta. Insist Press. 2005.

6

Ridha Amaliyah, dalam Dampak Penerapan Agreement on Agriculture terhadap Ketahanan Pangan Indonesia: Kasus Kedelai Impor


(20)

4

Khusus dalam bidang pertanian, kerjasama multilateral diwujudkan oleh WTO dalam bentuk perjanjian pertanian, Agreement on Agriculture

(AoA).Tujuannya adalah reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian, dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. Program reformasi ini berisi komitmen-komitmen spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar melalui penciptaan peraturan dan disiplin yang kuat dan efektif (Departemen Pertanian 2004, 7).Walaupun dalam prakternya, kesepakatan ini oleh Negara-negara besar kerap kali dilanggar yang berdampak pada menurunnya daya saing produk pertanian yang dihasilkan Negara berkembang7.

Keikutsertaan Indonesia sebagai anggota WTO kiranya tidak dapat dilihat sebagai sebuah kelaziman belaka, namun ada korelasi positif yang ingin diperoleh dan dimainkan dalam forum tersebut.Hal ini Nampak jelas pada diawal keikutsertaan Indonesia, di mana saat itu presiden Soehato dalam salah tau pidatonya menyatakan “siap tidak siap, kita harus menghadapi perdagangan bebas”. Logika inilah yang kiranya juga diamini oleh sebagian anggota WTO. Dimana Perdagangan sebagai instrument yang dirasa efektif untuk mendorong proses pembangunan suatu bangsa. Argument ini diperkuat dengan kajian empiris yang seolah memberi penegasan bahwa, negara yang terbuka dengan pasar relative lebih maju pertumbuhan ekonominya dari pada negara dengan sikap proteksionisnya. Anggapan ini kiranya banyak mendapatkan pengakuan dari beberapa negara tak terkecuali Indonesia.

7

Mentan, Anton Apriyantono dalam suatu pengantar buku pertanian Indonesia di bawah rezim WTO


(21)

5

Namun anggapan itu rasanya terbalik, setelah mencermati dalam perkembangannya, dimensi perdebatan mengenai perdagangan sendiri semakin meluas, tidak hanya menyoal ekonomi tapi juga politik di dalamnya. Hal ini terjadi mengingat banyaknya aktor negara yang terlibat di dalamnya, baik itu negara maju maupun negara berkembang. Meningkatnya angka kemiskinan di negara berkembang terlebih di negara terbelakang/ LDC (Least Developed Country) menjadikan persoalan yang berbuntut pada sebuah pertanyaan tentang klaim positif, terkait kolelasi positif perdagangan dan pertumbuhan ekonomi.Artinya terdapat sebuah pertanyaan mendasar. Apakah korelasi posistif yang diperoleh Negara-negra sedang berkembang, khususnya Indonesia dalam hal keamanan pangan selama menjadi anggota WTO?.Bagi kalangan anti globalisasi tentu relasi ini dipandang sebagai suatu yang muram.Walaupun bagi kalangan yang pro, relasi ini dipandang sebagai suatu kesempatan emas, di mana keterbukaan akses pasar menjadi suatu yang tak bisa diabaikan begitu saja. Perdebatan inilah kiranya yang menjadikan Negara-negara berkembang semacam Indonesia tedorong sisi kesadaranya akan pentingnya upaya perjuangan politik dalam WTO.

Keikutsertaan Negara-negara berkembang dalam keanggotaan WTO kiranya menarik untuk dilihat.Termasuk Indonesia secara khusus. Mengingat komposisi keanggotaan nampak bahwa Negara berkembang menyumbang dua pertiga dari total jumlah anggota dalam WTO. Sebuah angka yang tidak sedikit, namun terdapat sebuah ironi terkait peran yang dimainkan Negara-negara berkembang, di mana peranan serta posisioning negara-negara tersebut masih dianggap lemah.


(22)

6

Artinya dalam upaya memperjuangkan kepentingan dan memainkan isu-isu stategis kerap kali justru malah menjadi objek penderita (kelompok yang dirugikan). Kelemahan ini salah satunya disebabkan oleh rendahnya kapasitas Negara. Alih-alih Prinsip transparansi dan non diskriminasi yang menjadi pilar dalam sistem WTO, namun justru hal tersebut dijadikan senjata dan dalih pembenaran negara maju untuk semakin memojokkan posisi Negara-negara berkembang.

Negara berkembang tentu tidak ambil diam melihat kondisi tersebut, berbagai upaya dilakukan oleh Negara-negara berkembang dalam upaya menaikkan posisi tawar dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan strategis mereka, namun belum nampak hasilnya. Hal ini dikarenakan tarik ulurnya kepentingan dalam proses perundingan, yang menghasilkan kebuntuan. Kondisi semacam ini kiranya harus ada media yang menjembatani karena bukan tidak mungkin ketika kondisi ini berlangsung terus maka kan terjadi pelemahan sistem perdagangan multilateral dan peminggiran kepentingan negara berkembang itu sendiri.Akhirnya keberadaan sistem perdagangan global yang digadang-gadang hanya sekedar jargon yang tidak berkorelasi dengan perbaikan kesejahteraan negara berkembang.

Jika demikian kondisinya lantas pertanyaan yang kemudian muncul adalah, bagaimana Negara-negara berkembang dapat menerima keadaan yang timpang itu selama ini? Jika keadaan yang ada hanya merupakan paksaan ketimbang sukarela, lantas apa kiranya yang menyebabkan mereka dapat menerimanya dan menganggapnya sebagai bentuk kelaziman? Apa yang membuat Negara-negara


(23)

7

berkembang tersebut tidak “meradang” bahkan mencoba “keluar” untuk selanjutnya membuat poros sendiri?8. Seperti yang banyak pengamat dan para pakar menyarankan.

Memahami relasi kuasa WTO dengan segala ragam dan bentuknya kiranya penting untuk dapat mengetahui secara detail persoalan di atas. Kapitalisme kiranya tak dapat dipahami hanya sebatas bentuk modus produksi tehnis dalam menciptakan barang yang diperjual belikan, yang kemudian terisolasi dari relasi sosial dalam kehidupan maasyarakat.Dibutuhkan analisis yang mendalam tentang berbagai bentuk dan ekspresi kuasa. WTO sebagai kaki tangan kapitalisme adalah manifestasi nyata dari pusat-pusat simpul politik yang mengelola dan memastikan kelancaran sirkulasi kapital pada skala global.Sehingga dalam upaya memahaminya dibutuhkan perangkat teori analisa yang pas secara mendalam.

Pola relasi kuasa yang selama ini banyak difahami hanya satu prespektif yakni prespektif realis. Di mana ia mendudukan power dalam kacamata kekuatan fisik, sedangankan dalam dimennsi lain yang lebih soft jarang mendapat porsi pembahasan. Ada banyak teori yang bisa digunakan melihat pola hubungan WTO versus Negara, dan kesemuanya mempunyai kekhasan tersendiri,mulai dari Word System Teory, Teori Dependensi, Teori Hegemoni dan masih banyak lainya. Namun menurut pendapat penulis, pada tataran yang lebih tehnis terkait pola dan bentuk-bentuk relasi yang dibangun kiranya belum detail tergambarkan. Adalah Michael Bernett dan Raymond Duvall, yang mengenalkan pendekatan baru dalam mode kuasa (Power) lewat pola langsung dan tersebar. Yang dari situ

8

Sugeng Bahagijo, Adidaya dan Tanpa Daya, sebuah prolog dalam kumpulan tulisan Globalisasi menghempas Indonesia, LP3ES, 2006


(24)

8

dikelompokan lagi menjadibeberapa kelompok tipe kuasa, compulsory power, institutional power, structural power dan productive power.Pengelempokan melalui tipe inilah yang menjadi pilihan penulis menganalisa pola relasi WTO atas Negara, dalam hal ini lewat kebijkan pangan.

Sebagai sebuah gambaran, setelah bergabungnya Indonesia dalam keanggotaan WTO, secara otomatis Indonesia terpagari dengan peraturan di dalamnya sebagai sebuah konsekwensi logis keanggotaa9. Namun kekalahan Indonesia dan Negara-negara berkembang lainnya kiranya tidak bisa hanya dijelaskan dengan penjelasan sesederhana itu, dengan variable tunggal.Relasi kuasa adalah sebuah pola hubungan yang komplek yang kalau meminjam bahasa Gramsci, ia tidak hanya muncul dalam wajah fisik lewat tindakan koersif yang disebut dengan dominasi, namun ia hadir lewat serangkaian proses panjang ide, gagasan yang terpolakan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dipaparkan di atas, maka guna memudahkan pemecahan masalah dan sebagai pedoman dalam pembahasan lebih lanjut, kiranya dapat dirumuskan pokok permasalahan sebagai berikut:

9

Setelah terbitnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang pengesahan Agreement on Establishing The World Trade Organization pada 2 November 1994, terdapat implikasi bagi Indonesia bahwa semuaa persetujuan yang ada di WTO bidang pertanian telah sah menjadi legislasi nasional.


(25)

9

“Bagaimana proses relasi kuasa yang dibangun oleh World Trade Organization dalam kaitannya dengan kebijakan pangan pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono dan Yusuf Kalla”.

C. Kerangka Dasar Teori

1. Mode Kuasa (Power)

Dalam ilmu hubungan internasional dan ilmu politik konsep power mempunyai posisi yang cukup signifikan. Di mana keberadaannya menjadi salah satu bangunan terpenting dalam memahami relasi dan tindakan politik sebuah negara. Bapak realis, Hans J. Morgenthau bahkan mendefinisiskan politik –dalam negeri maupun internasional- sebagai perjuangan memperoleh kekuasaan. Konsep power dalam studi ilmu politik menjadi hal yang mendasar untuk diperbincangkan sebelum melangkah pada pemahaman konsep yang lain. Walaupun konsep power di kalangan para akademisi hubungan internasional secara definitif tidak ada kesepatan tentangnya. Bahkan secara umum pemahaman konsep power sering terkooptasi masuk dalam pemahaman sempit yang condong pada salah satu madzab. Perdebatan dikalangan ilmuan ini terjadi, setidaknya berangkat dari dua isu yang berbeda yang difahami oleh para ilmuan. Pertama, terkait apakah power harus dipandang sebagai sekumpulan atribut atau sifat seseorang, suatu kelompok, suatau negara; hubungan antar dua aktor politik dengan kehendak yang berbeda.


(26)

10

Kedua, seberapa banyak sifat daya paksa (militer, ekonomi, atau psikologis) dimasukkan sebagai power10.

Power adalah sebuah pembentukan dari serangkain akibat kepada para pelaku di dalam dan selama proses hubungan sosial, yang membentuk kapasitas mereka untuk menentukan takdirnya11. Setidaknya ada dua dimensi untuk melihat bagaimana power ini berjalan. Pertama, mengenai macam dari hubungan sosial yang mempengaruhi maupun mengakibatkan kapasitas para pelaku. Pada aspek ini hubungan yang mempengaruhi kapasitas apek pelaku adalah “interaksi” antar pelaku yang telah terbentuk sebelumnya serta hubungan “susunan” sebagai pelaku sosial. Kedua, mengenai spesifikasi dari hubungan sosial, yang terbagi menjadi

langsung dan tersebar.

Dalam dimensi kedua, terdapat pola langsung dan tersebar terkait spesifikasi dari hubungan sosial. Adapun pola langsung mempunyai gambaran bahwa dalam menggunakan kekuasaan terhadap pihak lain, aktor pelaku melakukan model interaksi langsung tanpa perantara. Selanjutnya dalam pola “menyebar” distribusi kekuasaan dilakuakan melalui sebuah perantara. Menurut Michael Barett dan Raymond Duvall, dua dimensi tersebut melahirkan empat taxonomi power yang meliputi: Compulsory, Institutional, Structural dan Productive.

Compulsory, melihat power sebagai kontrol langsung dari interaksi hubungan oleh pelaku terhadap pihak lain. Negara yang lebih kuat secara

10Mo htar Mas’oed,

Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta. LP3ES. 1990.

11Mi hael Barnett and Ray ond Du all, Po er in International Politik,

dalam jurnal International Organization, Vol. 59, No. 1 (Winter, 2005), hlm. 39-75.


(27)

11

langsung menggunakan sumber kuasa mereka untuk menekan tindakan negara yang lebih lemah agar sesuai keinginan mereka12. Robert Dahl, memangdang bahwa power adalah kemampuan A untuk membuat melakukan apapun yang tidak seharusnya B lakukan13. Dalam hubungan internasional konsep ini sering digunakan oleh kalangan realis dalam melihat dan mendifinisikan power. Dalam studi hubungan internasional, konsep compulsory melihat power sebagai upaya sebuah negara menggunakan sumber daya material untuk meningkatkan kepentingannya melawan kepentingan negara lain14.

Institutional, memandang aktor mengontrol pihak lain dengan cara tidak langsung melalui institusi lewat instrumen peraturan, prosedur, kesepakatan oleh institusi tersebut. Hal ini berlangsung dalam bentuk institusi langsung maupun institusi tak langsung15.

Structural, menekankan pada struktur yang menentukan perwujudan sosiaal seperti apakah aktor tersebut. Posisi sosial tidak serta merta membuat kesetaraan. Menghiraukan penetapan kapasitas sosial dalam hubungannya pada pemajuan kepentingan16. Atau dalam penjelasan lain dapat diartikan, bentuk relasi yang secara structural (politik dan ekonomi) mendukung kapasitas social dan

12

Ibid, hal. 14

13

Robert Dahl, The Consep of Power (Behavioral Science 2, 1957), hlm. 201-215.

14

Nimas Gilang Puja Norma, Tesis Productive Power Amerika Serikat, Rezim Internasional, Dan Konvensi Perubahan Iklim Protokol Kyoto , Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, 2011.

15

Opcit, hal.51

16


(28)

12

pihak berkepentingan sebagaimana dalam kapitalisme, pihak majikan dan pihak buruh17.

Productive, bentuk kuasa yang kaitannya dengan produksi wacana, ide, gagasan dan pengetahuan dalam sistem sosial dalam kaitanya mendukung dilaksanakannya pemajuan kepentingan tertentu.

Dalam era penjajahan, rezim kolonial biasa menjalankan kuasa melalui compulsory power, hal ini dikarenakan kekuatan material (senjata dan dana) dapat menjadi alat pemaksa utama. Adapun pada era Pascakolonial, kuasa dalam bentuk Institutional Power dan Productive Power menjadi modus yang lebih dominan,18 (walaupun hal ini tidak selalu demikian). Termasuk dalam menganalis kuasa WTO dalam kaitannya degan kebijakan pangan di Negara berkembang.

Tipologi mode-kuasa

17

Sugeng Bahagio, Globalisasi Menghempas Indonesia. Jakarta. LP3ES. 2006. Hal. 7

18


(29)

13 2. Kebijakan Pangan

Kebijakan pangan adalah suatu wilayah kebijakan publik yang khusus menangani masalah bagaimana makanan diproduksi, diproses, didistribusikan, dan diperjualbelikan.Kebijakan publik didesain untuk mempengaruhi operasi sistem pertanian dan pangan. Kebijakan pangan terdiri dari penetapan tujuan produksi, pemrosesan, pemasaran, ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan konsumsi bahan pangan, serta menjelaskan proses untuk mencapai tujuan tersebut. Kebijakan pangan dapat berada pada berbagai level, dari lokal hingga global, dan oleh pemerintah, komersial, hingga organisasi.Kebijakan pangan juga melibatkan institusi pendidikan untuk mendidik, peraturan untuk mengatur, dan standar yang ditetapkan untuk melaksanakan kebijakan.Peraturan dan standar yang ditetapkan meliputi kesehatan dan keselamatan, pemberian label, dan kualifikasi produk tertentu (makanan organik, makanan halal, dan sebagainya).Adapun Tujuan utama kebijakan pangan adalah:

 melindungi masyarakat miskin dari krisis

 mengembangkan pasar jangka panjang yang meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya

 meningkatkan produksi pangan yang lalu akan meningkatkan pendapatan petani19

Adapun dalam konteks global terkait pangan sebagai Hak juga tertuang dalam Komentar Umum No. 12 Komite Hak Ekosob PBB

19


(30)

14

“Hak atas pangan sebagai salah satu hak yang paling mendasar, dapat diartikan sebagai hak untuk mendapatkan akses yang teratur, tetap, dan bebas, baik secara langsung atau dengan membeli, atas pangan yang memadai dan cukup baik secara kualitatif dan kuantitatif, yang berhubungan secara langsung pada tradisi masyarakat di mana suatu konsumsi itu berasal. Dan dengan itu memastikan bahwa kehidupan fisik maupun mental, individu maupun kolektif, yang penuh serta bermartabat, yang bebas dari ketakutan”20

Kebijakan Pangan dalam penelitian ini yang dimaksud adalah Kebijakan pangan yang diambil dan dilakukan oleh pemerintah periode Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, yang berbentuk Perpres, Permen, Kepres dan Produk-produk hasil perjanjian yang terkait dengan komoditas pertanian (pangan). Adapun sejumlah kebijakan yang dikeluarkan dalam periode pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla tahun 2004-2009 terkait dengan pertanian antara lain: Pertama, Peraturan Presiden No. 36/2005 dan penggantinya yaitu peraturan Presiden No. 65/2006 yang mengatuh tanah bagi kepentingan umum. Kedua, Instruksi Presiden No. 1/2006 dan Peraturan Presiden No. 5 /2006 tentang bahan bakar nabati. Ketiga, Undang-undang No. 25/2007 tentang penanaman modal (UUPM) dengan berbagai turunannya. Dan terkhir, Instruksi Presiden No. 5/2008 tentang fokus Program Ekonomi 2008-2009 termasuk di dalamnya mengatur Investasi Pangan Skala Luas (Food Estate)21.

20

Definisi ini merujuk pada Komentar Umum Nomor 12 Komite Hak Ekosob PBB (E/C.12/1999/5) tentang Hak Atas Pangan yang Layak, diambil dari Taufiqul Mujib, dalam Ekonomi Politik Pangan, Bina Desa, 2011

21

Laporan SPI (Serikat Petani Indonesia) terkait Evaluasi terhadap kebijakan pertanian SBY-JK tahun 2004-2009 dengan judul Kebijakan Neoliberal Gagal Membangun Pertanian dan Mensejahterakan Petani.


(31)

15

D. Hipotesa

Adapun Hipotesa terkait dengan topik yang penulis angkat, dapat dirumuskan bahwa, Pola relasi kuasa yang dibangung oleh World Trade Oranization dalam kebijakan pangan pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla terwujud dalam pola Institutional dan Srtuktural.

E. Metode Penelitian

Dalam penilitian ini, penulis menggunakan pedekatan atau jenis penelitian kualitatif sebagai cara untuk memahami objek penelitian yang menjadi tema penelitian. Menurut Bodgan dan Taylor mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati22. Definisi lain dikemukakan oleh Denzin dan Lincoln, menyatakan bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada23.

Sementara dalam teknik pengumpulan data akan digunakan pengumpulan data dengan menggunakan bahan-bahan sekunder baik yang bersifat teoritis maupun empiris tentang obyek penelitian yang caranya diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) baik dari buku, jurnal ilmiah, dokumen pemerintah, artikel dan majalah, surat kabar, serta sumber internet yang relevan

22

Lexy J. Moleong, 2007, metodologi Penelitian Kualitatif, Rosydakarya, Bandung

23


(32)

16

dan dapat dipertanggungjawabkan. Adapun sifat penelitian ini adalah Deskriptif eksploitatif.

F. Manfaat Dan Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan penelitian/ skripsi ini adalah;Pertama,Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui pola-pola relasi yang terjadi antara WTO dan Negara Indonesia,lebih khusus lewat kebijakan pangan pemerintahan SBY-JK.

Kedua, Memahami perubahan karakter konstelasi kuasa dalam WTO, serta untuk mengetahui lebih dalam strategi diplomasi ekonomi Indonesia dalam pemajuan kepentingan negara berkembang di WTO. Ketiga, Sebagai kewajiban akademik, salah satu syarat kelulusan dan memperoleh gelar S1.

Sedangkan untuk manfaat dari penelitian ini, Harapannya hasil penelitian ini juga bisa bermanfaat dan kiranya bisa digunakan sebagai tambahan referensi untuk membantu masyarakat marginal (petani), kelompok/ lembaga yang konsen dalam isu kemiskinan dalam memetakan, melihat relasi penghisapan oleh system kapitalis. Hal ini didasarkan pada aktifitas penulis yang sering bersinggungan dengan masyarakat petani dan penulis juga dari kalangan keluarga petani.

G. Jangkauan Penelitian

Untuk menghindari penyimpangan pembahasan yang terlalu jauh dan tetap konsisten dengan argumen utama serta untuk menjawab pokok permasalahan yang telah diajukan dan agar obyek penelitian menjadi lebih jelas dan spesifik. Dalam


(33)

17

penelitian ini penulis mengambil batasan waktu subjek penelitian yakni, kebijakan pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudoyono dan Yusuf Kalla. Fokus pemilihan ini didasari pada pertimbangan penulis. Pertama, periode SBY-JK merupakan periode yang menarik untuk diamati, mengingat periode tersebut lahir dari proses demokrasi langsung yang dipilih oleh rakyat. Kedua, sumber data relative lebih mudah untuk diakses dan diperoleh. Kebijakan Pangan pemerintahan SBY-JK dipilih selama kurun waktu satu periode kepemimpinan, yang berjalan selama lima tahun.

H. Sistematika Penulisan

Bab Pertama,adalah Pendahuluan yang mencakup, Latar belakang masalah, Rumusan Masalah, Hipotesa, Metode Penelitian, Jangkauan Penelitian, Tujuan dan Manfaat Penelitian.

Bab Kedua, pada bab ini akan mengeksplore lebih jauh tentang, Munculnya WTO sebagai rezim perdagangan internasional, yang meliputi Perluasan kapitalisme, Jalan menuju liberalisme perdagangan, Munculnya wto sebagai rezim perdagangan global, serta Instrument WTO di sektor pertanian.

Bab Ketiga, ini akan membahas, Penelusuran arah kebijakan sektor pertanian pemerintahan Indonesia, yang meliputi Regionalisme baru dan tantangan sektor pangan, Permasalahan pangan dalam prespektif ekonomi- politik Internasional dan Membaca kebijakan pemerintahan SBY-JK dalam sektor pangan (pertanian).


(34)

18

Bab Keempat, berisi analisa, yang dimulai dengan Kuasa WTO atas kebijakan pangan Indonesia SBY-JK (2004-2009), Dampak Agreement on Agriculture dalam kebijakan pangan Indonesia, dan WTO sebagai Structural dan Institutional power.

Bab kelima, berisi tentang kesimpulan, yang mendiskribsikan alur hasil dari proses penelitian yang telah dilakukan.


(35)

19

BAB II

MUNCULNYA WTO SEBAGAI REZIM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

A. Perluasan Kapitalisme

Globalisasi merupakan kontinum dari ideology dan mode kapitalisme liberal. Di mana embrionya bersumber pada gagasan Adam Smith dalam karya monumentalnya The Wealth of Nations. Globalisasi kiranya menjadi kata yang popular untuk menjelaskan sebuah fenomena internasionalisasi sistem kapitalisme yang dewasa ini telah menjadi sitem dunia, di mana ia begitu luar biasa besarnya sampai ia menentukan dan memberi pengaruh pada semua sektor di dunia ini. Oleh karena itu padanan kata yang kiranya tepat untuk menyebut globalisasi adalah kapitalisme global. Yaitu kapitalisme yang telah menglobal melewati batas-batas nasional dan regional, yang mencakup segala hal khususnya dalam sistem ekonomi global.

Imperalisme juga disebut sebagai padanan globalisasi, yakni sistem kapitalisme yang berkembang dalam tahapan-tahapan secara kualitatif melewati proses sejarah sehingga pada akhirnya melingkupi wilayah-wilayah antar perbatasan nasional dan berwatak international/ global. Lewat tulisan-tulisan John Hobson, Rosa Luxemburg, Rudolf Hilferding dan Vladimir Lenin, dikenalkanlah teori imperalisme pada awal abad ke-20. Di mana Imperealisme dikatakan endemic dari sebuah sistem dunia kapitalis, karena masyarakat kapitalis secara regular selalu menghadapi dilemma antar over-production (produksi berlebih)


(36)

20

modal dari kelas kapitalis, dengan under-consumption (konsumsi berkurang) dari barang-barang oleh kelas-kelas rendahan (yang tidak mampu membeli barang itu)1. Dengan kata lain Imperalisme menjadi awal perwujudan dari globalisasi. Globalisasi adalah imperealisme baru.

Globalisasi dewasa ini telah menjadi realitas keseharian yang dialami oleh ummat manusia, negara, perusahaan, komunitas maupun individu di berbagai belahan dunia. Di mana Efisiensi (profit maxization) menjadi ruhnya, sedangkan revolusi industry sebagai motornya, tehnologi dan institutional finance internasional (IMF, WTO, World Bank) sebagai medianya. Sedangkan pelakunya adalah kaum borjuis, yakni Trans National Corporations. Tujuannya tidak lain adalah melanggengkan dominasi lewat mode hegemoni2.

Sebagai sebuah system kapitalisme mendasarkan pada pengakuan hak-hak individu. Sedangakan dalam ranah ekonomi kapitalisme menekankan pada peran capital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam proses produksi barang lainya. dalam perjalanannya kapitalise telah memberikan dampak buruk pada perekonomian dan kesenjangan social yang semakin menganga, terjadinya gap (jurang pemisah) antara si kaya dan si miskin.

Ekpansi produksi, ekspansi pasar, dan ekspansi investasi menjadi modus dari kapitalisme global yang didesain lewat skema perdagangan bebas dan pertumbuhan ekonomi. Free market yang menjadi prinsip kapitalisme mendorong

1

Bonnie Setiawan, Rantai Kapitalisme Global, ResistBook, Yogyakarta, 2012.

2


(37)

21

pihak swasta, untuk dapat berperan lebih dan mendorong minimnya peranan pemerintah.

Perkembangan kapitalisme global tidak dapat dipisahkan dengan prinsip-prinsip ekonomi klasik, yang sampai detik ini terus dipertahankan kedalam domain-domain yang tidak bisa terbayangkan akan mengalami proses transformasi ideology pasar. Sejak berakhirnya perang dingin, kapitalisme sebagi sebuah system telah menampakkan eksistensinya. Keruntuhan sovyet sebagai pusat kekuatan sosialis komunis kala itu menandai kemunculan kekuatan kapitalisme global secara simbolik. Sejak saat itu beragam instrument mulai diciptakan oleh kapitalisme, guna mencari eksistensinya lewat ekspansi dan penimbunan keuntungan (profit).

Mencermati perkembangan kapitalisme yang seolah tidak pernah surut, bahkan seolah menjadi jalan hidup system perekonomian global, mendorong lahirnya sebuah pertanyaan, dimanakah lahirnya sebuah arena transformasi bagi kapitalis yang mungkin terjadi dewasa ini? Lalu institusi apakah yang menjadi kaki tangan yang mengiringi kemajuan kapitaisme global?. Jawabannya adalah organisasi kawasan maupun organisasi perdagangan dunia, semacam ASEAN, APEC, WTO, IMF, World Bank yang menjadi arena domain dan sekaligus model baru bagi perkembangan kapitalisme global melalui prespetif ideology pasar kontemporer.


(38)

22

B. Jalan Menuju Liberalisme Perdagangan

Liberalisme perdagangan adalah salah satu dari tiga paket besar liberalisme ekonomi yang bertujuan menciptakan pasar bebas dunia. Liberalisme Perdagangan berakar dari filsafat Liberal, di mana gagasan dasar filsafat ini adalah kebebasan berdasarkan hukum. cara pandangan liberalisme memiliki perbedaan dengan merkantilisme. Sudut pandang liberal memusatkan perhatian pada sisi sifat manusia yang penuh damai dan kemauan bekerjasama, kompetitif secara konstruktif, dan dibimbing oleh nalar, bukan emosi3.

Liberalisme sendiri mempunyai akar pada era pencerahan barat, namun dewasa ini sudah melingkupi berbagai pandangan politik yang cukup beragam. Secara umum, liberalisme kontemporer ialah berjuang membela hak-hak individual. Pandangan ini bertujuan membentuk suatu masyarakat yang karakternya meliliki kebebasan berfikir bagi individu dan pembatasan kekuasaan, khususnya terhadap pemerintah dan agama. Dalam konteks ekonomi, liberalisme perdagangan menunjukkan berkurangnya campur tangan pemerintah dan diserahkannya system perekonomian pada mekanisme pasar.

Liberalisme yang kemudian bermetamoforsa kedalam bentuk barunya yakni neoliberalisme sudah menjadi prinsip yang tertanan kuat dalam tatakelola sistem perekonomian kita. Kokohnya prinsip liberalisme ini tentunya tidaklah bisa dilihat sebagai sebuah proses yang alami semata. Prinsip liberalisme dapat tertanam kokoh dalam tata kelola sistem perekonomian global melalui campur tangan

3


(39)

23

kekuatan kepentinga-kepentingan para aktor yang kiranya turut melestarikan sistem ini, dengan tujuan meraup keuntungan maksimal. Artinya liberalisme sebagai konsep tidak bisa dipisahkan dengan peranan para aktor pendukungnya.

Lahirnya Bretton Woods di New Hampshire pada 1944, merupakan salah satu bukti bagaimana peranan para actor dalam mengkonsolidasikan liberalisme sebagai sebuah sistem. Amerika dan Inggris selaku inisiator rancanagan perekonomian dunia pasca perang dunia kedua. Momentum inilah yang kemudian menandai titik awal ditanamkannya prinsip liberalisme sebagai landasan dari tata kelola perekonomian global.

Bretton Woods yang merupakan suatu reaksi atas proteksionalisme negara pada tahun 1930-an4, menandai era baru liberalisme. Di mana dalam konferensi tersebut melahirkan sebuah kesepakatan untuk menjadikan kerjasama ekonomi internasional sebagai kunci bagi terciptanya perdamaian dunia yang berlandaskan pada suatau pasar dunia, di mana barang-barang dan modal dapat bergerak bebas5. Di sinilah tercermin komitment yang kuat terhadap peranan entitas pasar yang menjadi inti dari liberalisme.

Dialektika anatara entitas negara dan pasar kiranya belum dimenangkan secara utuh oleh pasar, pada fase bretton woods. Kesadaran akan kegagalan entitas pasar (market failures) dalam tata kelola perekonian dunia inilah yang kemudian melahirkan suatu kesepakatan untuk kemudian menciptakan tiga institusi

4

Richard Peet dalam Dodi Mantra, Hegemoni & Diskursus Neoliberalisme, Jakarta, MantraPress, 2011.

5


(40)

24

regulatoris yaitu, the International Monetery Fund (IMF), the International Bank fot Reconstruction and Development (IBRD) dan International Trade Organization (ITO)6. Ketiga institusi inilah yang kemudian berperan sebagai regulatoris untuk mengelola perekonomian dunia.

Meskipun dalam bretton woods belum nampak betul prinsip liberalisme tertanam secara kuat, dengan masih dipertahankannya peranan negara dan prinsip regulasi, namun untuk pertama kalinya sistem liberalisme ditanamkan secara formal dalam dalam sebuah wadah. Keyakinan bahwa perdagangan yang bebas menghantarkan pada kesejahteraan, perdamaian dan mencegah perang kiranya masih dipegang erat sesuai dengan semangat pemikiran ekonom kalsik, Adam Smith.

Lahirnya institusi perdagangan dunia dalam bretton woods menandai dimulainya kebijakan liberalisme perdagangan di level negara. Walaupun dalam proses perjalanannya institusi tersebut mengalami berbagai macam perombakan dan format baru- ITO, GATT dan terakhir WTO-, di mana sebelumnya pemerintahan lebih banyak menerapkan kebijakan perdagangan proteksionis lewat penerapan tariff yang tinggi sesuai startegi industry substitusi import, termasuk pemberian monopoli kepada bebrpa pelaku usaha. Dengan masuknya liberalisme, maka secaran perlahan mulai terjadi penyesuaian kebijakan, lewat pengurangan tariff, diberlakukannya deregulasi atas aturan-aturan perdagangan dan lain

6


(41)

25

sebagianya. Adapun untuk melacak deregulasi tersebut dapat dilihat sebagai berikut7:

1. Paket Kebijakan 16 Januari 1982: (a) Mengatur ekspor/ impor dan lalu lintas devisa untuk memperkuat daya saing ekspor Indonesia: (b) Mengeluarkan kebijakan Imbal Bali (Counter purchase).

2. Paket Kebijakan 6 Mei 1986: (a) Meningkatkan daya saing eksport Indonesia dan mengurangi hambatan yang menyebabkan kurangnya minat investor; (b) Kebijakan meliputi kemudahan tataniaga ekspor non-migas, fasilitas pengembalian bea masuk, fasilitas pembebasan bea masuk, dan pemberlakuan kawasan berikat.

3. Paket Kebijakan 25 Oktober 1986: Menurunkan biaya produksi dengan menurunkan bea masuk sejumlah komoditi, perlindungan produksi dalam negeri melelui sitem tarif, pemberian fasilitas swap yang baru, dan kebijakan penanaman modal.

4. Paket Kebijakan 15 Januari 1987: Meningkatkan kelancaran penyediaan barang keperluan produksi dan perlindungan industry dalam negeri secara lebih efisien dengan mengubah kebijakan non-tarif menjadi tariff untuk sejumlah komoditas tertentu.

5. Paket Kebijakan 24 Desember 1987: Dibukanya mobilisasi dana pada pasar uangan, untuk memperlancar perijinan di bidang produksi, jasa dan investasi pada umumnya, serta untuk memperlancar arus ekspor dan impor.

7

Siti Astiyah, dalam Bonie Setiawan, WTO dan perdagangan abad 21, Yogyakarta, ResisBook, 2013.


(42)

26

6. Paket Kebijakan 28 Mei 1990: Petetapan Pergantian proteksi melalui tat niaga impor menjadi proteksi mealui tarif bea masuk yang ditujukan untuk meningkatkan dan memperkuat daya saing produk industry nasional. 7. Paket Kebijakan 6 Jui 1992: Pemerintah melonggarkan tata niaga impor

dan inti kebijakan sehingga setiap produsen bisa melakukan impor langsung tanpa memerlukan lagi rekomendasi dari Departemen Perindustrian.

8. Paket Kebijakan 10 Juni 1993 dan Paket Kebijakan dan Debirokratisasi 23 Oktober 1993: Mencakup deregulasi di bidang otomotif, bidang ekspor/ impor, bidang penanaman modal dan perijinan usaha, dan bidang farmasi. 9. Paket Kebijakan Mei 1995 (sesuai pemberlakuan aturan WTO): Berisikan

jadual penurunan tariff yang berlaku berdeda-beda dari tahun ke tahun tergantung tingkat tarif yang da sebelum 1995. Sebagai hasil paket ini maka tarif rata-rata Indonesia telah diturunkan dari 20% di tahun 1994 menjadi kurang dari 8% di tahun 2000.

C. Munculnya WTO Sebagai Rezim Perdagangan Global

Sebelum membahas tentang kelahiran WTO kiranya penting untuk juga mencermati kronologi pembentukannya. Perang Dunia Kedua yang telah berlangsung kiranya membawa dampak dalam banyak hal, tak terkecuali dampak finansial ekonomi oleh Negara-negara. Termasuk Amerika dan Eropa. Kondisi ini memunculkan dorongan akan pentingnya kekuatan ekonomi sebagai upaya


(43)

27

membangun stabilitas ekonomi dalam sekala lebih luas. Adalah Amerika yang dalam kongres internasional melontarkan usulan didirikannya organisasi yang mempromosikan perdagangan bebas lintas Negara. Melalui rancangan pembentukan ITO (International Trade Organization) pada persiapan di tahun 1943, Amerika berambisi untuk menciptakan suatu organisasi yang dapat membebaskan perdagangan berlandaskan pada kepentingan spesifik perusahaan-perusahaan ekspor besar. Hal ini digerakkan oleh semangat yang berorientasi pada pasar dan upaya menciptakan perekonomian internasional yang terderegulasi. Namun, secara posisi Amerika sebagai kekuatan ekonomi besar belum dapat memperjuangakan dan menanamkan kepentingan perusahaaan besar secara spesifik dan taa kelola perekonomian internasional. Namun faktanya, ITO secara internasional yang dirancang sebagai suatu badan dalam Persyarikatan Bangsa-Bangsa, yang memngatur perdagangan internasional.

Kegagalan Amerika dalam mengawal dan memperjuangakan kepentingannya lebih dikarenakan pengambilan kebijakan ITO yang didasarkan pada prinsip demokratis. Hal inilah yang menjadikan Amerika sebagai Negara ekonomi besar tidak bisa menjalankan maneuver politik daganganya, menjadi pendominasi tunggal. Sehingga pilihan rasional dari Amerika adalah memilih unuk tidak meneruskan ITO karena kebuntuhan mekanisme yang ada, yang dikhawatirkan membahayakan kepentingan dagang Amerika. Proposal pembentukan ITO yang dirancangoleh Amerika Serikat pada Konferensi Havana, Cuba 1947-1948, diamandemen didalam PBB yang kemudian memicu penolakan dari Kongres Amerika Serikat. Kongres Amerika Serikat menganggap rancangan


(44)

28

pembentukan ITO tersebut bertentangan dengan prinsip Amerika Serikat di mana di dalamnya tidak merefleksikan prinsip perusahaan kompetitif, swasta bebas.

Kegagalan Amerika dalam mengawal ITO tidak sampe disitu. Upaya yang terus dilakukan dalam mewujudkan wadah perdagangan yang sesuai dengan kepetingan Amerika terus diperjuangakn. General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang disepakati pada tahun 1947 dan ditandatangani pada Konferensi Havana, 15 November 1947, akhirnya menjadi landasaan pengelolaan perdagangan internasioanal yang diterima oleh Amerika Serikat. Sifat GATT yang longgar menjadi landasan penerimaan Amerika Serikat terhadap ksepakatn ini.

Gaganya pembentukan ITO, menjadikan GATT sebagai sebuah wadah alternatife untuk memperjuangan kepentingan dagang Amerika Serikat dan menjadi era baru tatakelola ekonomi pada tataran global pasca Perang Dunia II. Upaya liberalisasi perdagangan dijalankan dengan wujud minimnya campur tangan pemerintah dalam hal hambatan tariff, yang dijalankan melalui mekanisme kesepakatan yang bersifat longgar dalam setiap perundingan GATT. Bagi Amerika pola ini merupakan bentuk stategi bilateral menjadi multilateral yang cakupannya lebih luas, yang didasarakan pada prinsip non-diskriminasi dan pengurangan ambaan pergadangan.

Tujuan awal pembentukan GATT pada 1947 adalah untuk mendorong perdagangan bebas dengan menghilangkan berbagai hambatan dalam perdagangan


(45)

29

baik dalam bentuk tariff maupun non-tariff8 Kesepakatan ini didorong oleh negara-negara pemenang Perang Dunia II, Amerika Serikat dan sekutunya secara khusus negara-negara Eropa Barat, untuk bangkit pasca perang dengan mempermudah alur perdagangan antar bangsa. Negara-negara ini telah jatuh dalam krisis ekonomi sebelum memasuki Perang Dunia II di awal 1930-an dan membutuhkan pasokan bahan baku dan sumber daya untuk bisa kembali membangun roda perekonomian mereka.

World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia berdiri secara resmi pada tanggal 1 Januari 1995. Organisasi ini yang merupakan satu-satunya badan internasional yang mengatur perdagangan antar negara adalah merupakan kelanjutan dari rezim GATT. Indonesia telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui Undang-Undang No 7/1994.

Perundingan GATT secara umum hanya mengatur perdagangan barang. Namun pada 1980an, perundingan telah berkembang tidak hanya mengenai perjanjian perdagangan barang (GATT) tetapi juga diluar itu termasuk Perjanjian tentang Perlindungan hak Kekayaan Intelektual (Trade Related Intellectual Property Rights/TRIPs). Berkembangnya kesepakatan pada akhirnya mendorong pembentukan WTO yang terbentuk pada 1995.

8

The Text of General Agreements on Tariffs and Trade. Geneva. 1986. http://www.wto.org/english/docs_e/legal_e/gatt47_e.pdf2


(46)

30

Saat ini, perjanjian WTO telah mencakup juga perdagangan jasa (General Agreement on Trade and Services/GATS) dan investasi (Trade Related Investment Measures/TRIMs). Perjanjian WTO telah mewajibkan seluruh anggotanya memberlakukan pasar bebas, dengan membuka kran impor berbagai produk dan komoditas, termasuk membuka kesempatan bagi investasi dan perusahaan asing masuk ke suatu negara; tidak boleh melakukan tindakan proteksi (perlindungan), pelarangan memberikan subsidi; dan, menseragamkan aturan nasional dengan seluruh perjanjian WTO. Dengan begitu, WTO memiliki sistem penyelesaian sengketa yang kuat dan seluruh aturannya mengikat secara hukum. Pada konteks itulah kita dapat memahami mengapa WTO sejak awal efektif digunakan oleh perusahaan transnational (TNCs) dan negara-negara maju untuk melindungi dan melebarkan sayap bisnisnya.

Baru pada November 2001, dalam Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO yang berlangsung di Doha, Qatar, perundingan WTO diwarnai dengan perlawanan Negara berkembang dan terbelakang (LDCs). Mereka menolak agenda pembangunan Negara-negara maju. Putaran perundingan di Doha untuk menyepakati Agenda Pembangunan Doha (Doha Development Agenda-DDA) yang terdiri dari Perjanjian Pertanian, Perjanjian Jasa, Perjanjian TRIPS, Perjanjian Akses Pasar untuk produk non-pertanian (NAMA), Perjanjian Trade Facilitation (Fasilitasi perdagangan), dan Perjanjian-perjanjian yang mengatur tentang paket perberlakuan berbeda untuk Negara-negara berkembang dan terbelakang (LDCs). Hal inilah yang diantaranya: Trade Faciitation, LDCs, dan agriculture—yang belakangan disebut sebagai Paket Bali (Bali Package) dan


(47)

31

hendak disepakati dalam konferensi Tingkat Menteri ke-9 di Bali, 3-6 Desember 2013.

WTO terdiri dari 150 negara anggota dan sekitar 30 negara anggota lainnya sedang dalam proses negosiasi keanggotaan. Sekretariat WTO, berbasis di Jenewa, Swiss dan tidak memiliki kantor perwakilan di luar Jenewa. Keputusan diambil oleh seluruh anggota, yang umumnya dilakukan secara konsensus. Voting mayoritas juga dimungkinkan namun sampai saat ini belum pernah digunakan dalam WTO. Perjanjian-perjanjian dalam WTO telah diratifikasi oleh seluruh anggota WTO.

Pengambilan keputusan tertinggi dalam WTO adalah Konferensi Tingkat Menteri (Ministerial Conference) yang bertemu setiap dua tahun sekali. Tingkat dibawahnya adalah Dewan Umum (General Council) yang bertemu beberapa kali setahun. Dibawah Dewan Umum terdapat Dewan negosiasi untuk Perdagangan Barang, Perdagangan Jasa dan Hak Kekayaan Intelektual (TRIPS). Terdapat juga sejumlah komite khusus, kelompok kerja dan gugus tugas yang berurusan dengan perjanjian individual serta sektor-sektor khusus seperti lingkungan, pembangunan, keanggotaan dan perjanjian perdagangan regional.

Putaran-putaran perundingan

Pada tahun-tahun awal, Putaran Perdagangan GATT mengkonsentrasikan negosiasi pada upaya pengurangan tariff. Pada Putaran Kennedy (pertengahan tahun 1960-an) dibahas mengenai tariff dan Persetujuan Anti Dumping (Anti Dumping Agreement).


(48)

32

Putaran Tokyo (1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tariff secara progresif. Hasil yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan dari bea impor/ekspor terhadap 9 negara industri utama, yang mengakibatkan tariff rata-rata atas produk industri turun menjadi 4,7%. Pengurangan tariff, yang berlangsung selama 8 tahun, mencakup unsur “harmonisasi” – yakni semakin tinggi tariff, semakin luas pemotongannya secara proporsional. Dalam isu lainnya, Putaran Tokyo gagal menyelesaikan masalah produk utama yang berkaitan dengan perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai “safeguards” (emergency import measures). Meskipun demikian, serangkaian persetujuan mengenai hambatan non tariff telah muncul di berbagai perundingan, yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.

Selanjutnya adalah Putaran Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada pembentukan WTO. Putaran Uruguay memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut hampir mencakup semua bidang perdagangan. Pada saat itu putaran tersebut nampaknya akan berakhir dengan kegagalan. Tetapi pada akhirnya Putaran Uruguay membawa perubahan besar bagi sistem perdagangan dunia sejak diciptakannya GATT pada akhir Perang Dunia II. Meskipun mengalami kesulitan dalam permulaan pembahasan, Putaran Uruguay memberikan hasil yang nyata. Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang, penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para anggota memberikan laporan reguler mengenai kebijakan perdagangan. Hal ini merupakan


(49)

33

langkah penting bagi peningkatan transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia.

Perjanjian-perjanjian dalam WTO

Adapun perjanjian (agreement) dalam WTO mencakup tiga hal dasar; barang (goods), jasa (services), dan kepemilikan intelektual (intellectual property). Adapun uraian dari setiap perjanjian tersebut sebagai berikut;

Untuk barang-barang (goods) (diatur dalam GATT)

1. Pertanian (Agriculture)

2. Aturan Ksehatan produk-produk pertanian – Sanitary and Phytosanitary (SPS)

3. Tekstil dan Pakaian (Textiles and Clothing)

4. Standard produk-produk - Tehnical Barriers to Trade (TBT)

5. Tindaan-tindakan investasi terkait perdagangan –Trade Related Investment Measures (TRIMS)

6. Tindakan-tindakan Anti-dumping

7. Metode-metode penilian bea (Customs valuation methods) 8. Inspeksi pra-pengapalan (Preshipment inspection)

9. Aturan asal-usul baran (Rules of origin) 10.Lisensi import (Import licencing)

11.Subsidi-subsidi da tindakan-tindakan mengatasinya (Subsidies and counter-measures)


(50)

34 Untuk jasa –jasa (services)

1. Gerakan perpindahan manusia (Movement of natural persons) 2. Transport udara (Air transport)

3. Jasa-jasa keuangan (Financial services) 4. Perkapalan (Shipping)

5. Telekomunikasi (Telecommunications)

Bidang-bidang yang dicakup dalam perjanjian TRIPS (Trade Related Intellectuals Property Rights)

1. Hak-Cipta (Copyriht and related rights) 2. Merek (Trademarks, including service marks) 3. Indikasi geografis (Geographical indications) 4. Disain industrial (Industrial designs)

5. Paten (Patents)

6. Disain layout (Layout-designs (topographies) 7. Sirkuit terpadu (Integrated circuits)

8. Informasi yang tidak tebuka (Undisclosed information) 9. Rahasia dagang (Trade secrets)

D. Instrument WTO Di Sektor Pertanian

Liberalisme Perdagangan Komoditi Pangan dalam kerangka WTO tertuang dalam perjanjian Agreement On Agriculture (AoA). AoA sendiri dihasilkan dari serangkaian proses perundingan dalam Putaran Uruguay dalam General


(51)

35

Angreement on Tariffs and Trade (GATT). Kemudian Pakta ini diberlakukan bersamaa dengan berdirinya WTO pada 1 Januari 1995. Dengan menempatakan perjanjian pertanian masuk dalam WTO, maka secara otomatis WTO mempunyai peran utama sebagai penggendali dan penentu sector pertanian Negara-negara anggota. Hal ini bisa terjadi mengingat WTO merupakan sebuah perjanjian negosiasi multilateral yang mempunyai sifat legally binding (mengikat secara hukum)9.

Dalam AoA setidaknya ada tiga pilar utama yang diwajibkan kepada Negara-negara anggota sebagai konsekwensi logis dari keanggotaan WTO.

Pertama adalah pengurangan dukungan domestik (Domestic Support). Dukungan domestik adalah berbagai bentuk dukungan atau subsidi terhadapa petani produsen. Dalam AoA dirancang agar dukungan domestic ini dikurangi bahkan bila perlu dihilangkan. Kalaupun dukungan domestic itu ada, pengaruhnya diperkecil sehingga tidak sampai mengakibatkan distorsi perdagangan atau produksi untuk masing-masing produk pertanian. Adapun tujuannya tidak lain adalah mendisiplinkan dan menurangi dukungan kepada petani.

Dalam AoA, dukungan domestic lazim disebut “Subsidi”. Dalam skema WTO ini terbagi dalam tiga kategori yang disebut “kotak-kotak” (boxes). Tiga kotak itu terdiri dari Kotak Hijau (Green Box), Kotak Kuning (Amber Box), dan Kotak Biru (Blue Box)10. Jenis Green Box, adalah jenis dukungan yang tidak terpengaruh, atau kecil pengaruhnya, terhadap distorsi perdagangan sehingga

9

Bonnie Setiawan, WTO dan Perdagangan Abad 21, Yogyakarta, Resist Book, 2013.

10


(52)

36

dukungan jenis ini tidak perlu dikurangi. Yang termasuk kedalam green box dan dikecualikan untuk dikurangi adalah pelayanan umum, stok penyangga pangan, bantuan pangan dalam negeri untuk masyarakat yang memerlukan, pembayaran klangsung terhadap produsen, asuransi pendapatan, dan program jarring pengaman social, bantuan darurat, program penyesuian structural, program bantuan lingkungan hidup dan bantuan daerah.

Yang termasuk dalam kategori Amber Box dalah, semua dukungan yang digolongkan dapat mendistorsi perdagangan sehingga harus dikurangi sesuai dengan komitmen. Bentuk subsidi harga input dan output termasuk dalam kriteria amber box. Subsidi yang masuk dalam kategori amber box, harus dinilai setiap tahun dan harus dijumlahkan menjadi Total Aggregate Measure of Support

(AMS). AMS adalah bantuan tahunan yang dapat dinilai dalam bentuk uang, diberikan pada produsen penghasil produk ertentu, atau produsen pertanian umumnya.

Blue Box, yang termasuk dalam klasifikasi ini dalah bantuan langsung sebagai program untuk membatasi produksi suatu komunitas. Bantuan langsung ke produsen dianaggap tidak mempengarui produksi atau disebut juga decouple payment.

Kedua, dalam AoA adalah Perluasan Akses Pasar. Akses pasar adalah suatu hal yang mendasar dalam perdagangan internasional.

Ketiga, Subsidi Ekspor. Adalah bantuan pemerintah suatau Negara yang diberikan kepada eksportir atau produsen yang melaksanakan ekspor tertentu.


(53)

37

Dalam ketentuan AoA 1995, Negara-negara maju diharuskan mengurangi subsidi ekspor paling tidak sebesar 35 persen (berdasarkan nilai) atau paling tidak 21 persen (berdasarkan jumlah) selama lima tahun 2000.

Target numerik pengurangan subsidi dan proteksi AOA

Negara Maju 6 Tahun (1995-2000) Negara Berkembang 10 Tahun (1995-2004) Tarif

- Pengurangan rata-rata seluruh produk pertanian - Pengurangan minimum

perproduk -36% -15% -24% -10% Dukungan domestic

- Pengurangan untuk sectoral (AMS)

-20% -13%

Subsidi ekspor

- Nilai yang disubsidi (pembiyaan)

- Kuantitas yang disubsidi

-36% -21%

-24% -14%

Selain ketiga ketentuan di atas, kiranya masih banyak lagi ketentuan di dalam AoA yang cukup rumit dan bersifat tricky (memperdayakan), sehingga sebagai implikasinya negara maju lebih banyak diuntungkan, sementara Negara Dunia Ketiga terperdayai dan menjadi pihak yang dirugkan. perjanjian lain adalah11;

TRIPs (HAKI terkait perdagangan), di mana dalam perjanjian ini setiap negara diharuskan untuk memberikan paten atas produk dan proses atas temuan-temuan di bidang bioteknologi, termasuk dalam sola pangan dan pertanian.

11


(54)

38

SPS (Sanitasi dan Fitosanitasi), perjanjian memngenai aturan karantina barang-barang import pertanian untuk perlindungan terhadap kesehatan manusia, tanaman, tumbuhan dan hewan, yang harus sesuai dengan standar-standar kesehatan yang dapat dibenarkan secara ilmiah.

TBT (Tehnical Barriers to Trade), perjanjian mengenai standarisasi, baik yang bersifat mandatory (wajib) maupun yang bersifat voluntary, yang mencakup karateristik produk; metode proses dan produk; terminology dan symbol; serta persyaratan kemasan (packaging) dan label (labelling) suatu produk.


(55)

39

BAB III

MENELUSURI ARAH KEBIJAKAN SEKTOR PERTANIAN PEMERINTAHAN INDONESIA

A. Regionalisme Baru Dan Tantangan Sektor Pangan

Dalam sejarah awalnya faktor yang mendorong lahirnya organisasi regional lebih didasarkan pada kebutuhan dalam hal keamanan dan politik1. Kemudian ia bergeser dalam ranah lain semacam ekonomi dan budanya. Mengutip apa yang disampaikan oleh Dodi Matra, setidaknya ada beberpa sebab diantaranya; 1) adanya upaya diluar kawasan dalam upaya untuk meningkatkan dan memfasilitasi kerjasama, 2) beragamnya struktur politik, ekonomi, budaya dan sosial serta kepentingan prioritas dari elit yang berkuasa, serta 3) kuatnya semangat nasionalisme dalam upaya mengejar kepentingan dari suatu negara2.

Dalam konteks negara berkembang, ketiga faktor tersebut bisa hadir sekaligus menjadi penyebab keikutsertaan negara berkembang dalam sebuah organisasi regional. Namun dalam pembacaan yang lebih jauh, serta melihat struktur politik global, nampak bahwa relasi hubungan yang terjalin kental dengan muatan kepentingan, antara siapa memainkan apa. Persis dengan apa yang digambarkan oleh kaum realis. Sedangkan dalam konteks ekonomi, keikutsertaan negara lebih soal peluang dan keuntungan dari sebuah negara.

1

Dodi Mantra, Hegemoni dan diskursus neoliberal, MatraPress, Jakarta Barat, 2011.

2


(1)

24

Kedua, dampak perjanjian paten dalam TRIPs yang membolehkan perusahaan-perusahan multinasional untuk mematenkan seluruh komoditas organik. Manuver bebera korporasi dibidang pangan dan benih terbukti telah menyingkirkan hak-hak petani di negar-negara berkembang. Sebagai satu contoh, perusahaaan kosmetik dari jepang, Shideo telah mematenkan beberapa produk kosmetik yang dibuat dengan menggunakan bahan herbal dari Indonesia, seperti kayu kaper, kekukus, lempuyang, pelntas, pulowaras, diluwih, cabe jawa, brotowali, kayu legi, dan bunga cangkok. Betigu juga 19 paten untuk tempe, di mana 13 paten milik perusahaan Amerika Serikat dan 6 perusahaan milih jepang28.

Dalam periode pemerintahan SBY-JK kasus yang menyangkut paten benih ini sempat menjadikan petani asal Kabupaten Nganjuk, Suprapto dan Tukirin tersandung kasus hukum, yang disebabkan keberhasilan petani tersebut dalam mengembangkan benih secara mandiri. Keberhasilan ini berbuah petaka, mengingat PT BISI mengkalim mereka melanggar aturan paten29. Hal yang serupa juga dialami petani asal Brazil yang berhadapan dengan Monsanto sebagai produsen benih terbesar30.

Ketentuan membuka pasar domeskitnya bagi komoditas pertanian dari luar, dan sebaliknya (market access), telah menyebabkan Indonesia menjadi Negara pengimpor pangan terbesar dunia. Data tahun 2004, Indonesia menjadi pengimpor beras terbesar diseluruh dunia dengan total pertahun 3,7 juta ton, kemudian gandum 4,5 juta ton, gula 1,6 juta ton, kedelai 1,3 juta ton, jagung 1,2 juta ton, tepiung telur 30.000 ton, ternak sapi 450.000 ekor, susu bubuk 170.000 ton, garam 1,5 juta ton, singkong 850.000 ton dan kacang tanah 100.000 ton31.

Kebijakan pemerintahan SBY-JK yang tertuang dalam program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK), belum menampakkan arah positif malah justru sebaliknya. Sebagai sebuah contoh Perpres No. 5/2006 tentang kebijakan energy nasional dan instruksi presiden tentang bahan bakar nabati (BBN) tidak berjalan efektif mengingat kebijakan ini muncul hanya sebagai sebuah respon atas naiknya isu agrofuel. Namun tidak ada arah keberlanjutan program. Logika pemerintahan SBY-JK semakin nampak jelas lebih berorientasi pada pasar. Tumpang tindihnya kebijakan yang merugikan sektor pertanian juga ditemukan dalam beberapa peraturan pemerintah, diantaranya; perpres No. 36/2005 dan penggantinya yaitu perpres No. 65/2006 yang mengatuh pengadaan

28

Ferry J. Julianto, Pertanian Indonesia di bawah rezim WTO, Banana, Jakrta 2007. 29

opcit 30

Delforge, Dusta Industri Pangan penelusuran jejak Monsanto, insist press, Yogyakarta, 31


(2)

25

tanah bagi kepentingan umum, instruksi Presiden No. 1/20006 dan Peraturan Presiden No. 5/2006 tentang bahn bakar nabati, Instruksi Presiden No. 5/ 2008 tentang Fokus program ekonomi 2008-2009 termasuk di dalamnya mengatur investasi pangan skala luas (Food Estate).

Kesimpulan

Keikutsertaan Indonesia dalam WTO menjadi suatu yang menarik untuk diteliti lebih jauh. Lebih-lebih pasca tumbangnya orde baru, dimana diskursus tentang globalisasi mencuat kembali dan kian santer diberbincangkan oleh semua elemen masyarakat. Kepemimpinan SBY-JK sebagai presiden pertama yang dipilih langsung oleh masyarakat tentu menjadi menarik untuk dikaji, lebih-lebih dalam aspek politik dagang. Dalam catatan Serikat Petani Indonesia terdapat cacatan merah kepemimpinan ini dalam sektor pertanian. arah pembangunan yang cengderung liberal dinilai tidak sejalan dengan visi-misi yang diusung sang pemimpin ketika kampanye.

Alih-alih sistem perekonomian pancasila yang kita anut (seperti yang tertuang dalam dasar konstitusi negara) sebagai antitesa dari system ekonomi liberal, namun dalam realitas prakteknya kecenderungan ekonomi liberal yang dianut. Terjadi sebuah paradoks antara wacana dan realita. Meminjam pendapat J.M. Keynes, ekonom Inggris, bahwa tujuan yang berbeda tidak mungkin hanya dicapai hanya dengan mengubah kebijakan dan strtegi saja, tetapi harus dengan cara mengubah teorinya, yaitu ekonomi yang melandasi kebijakan dan stategi ekonomi itu.

Kaitannya dengan WTO dan Indonesia dalam konteks pangan, perlu dilihat menggunakan satu pendekatan yang komprehensif. Relasi kekuasaan (Power) yang ditawarkan oleh Barnett dan Duvall kiranya mampu menjadi instrument penting dalam melihat dan mengurai relasi tersebut secara utuh dan menyeluruh. Dalam hal ini Barnett dan Duvall, mengunakan empat konsep power, compulsory, productive, structural dan institutional power.

Dari keempat konsep power yang digunakan dalam melihat relasi WTO dengan Negara (baca; Indonesia) konsep Compulsory dan Productive power

dirasa tidak relevan untuk diterapkan. Pasalnya, Compulsory melihat aktor secara face to face dimana menekankan pada penggunaan sumberdaya material untuk mentaklukkan negara lawannya. Pendekatan ini lazim digunakan pada era kolonial sedangkan dalam era post kolonial pola ini sudah jarang ditemui. Di samping itu dalam konteks WTO pola seperti yang digambarkan kaum realis ini susah untuk ditemukan secara empiris. Sedangkan dalam konsep productive power, melihat pola relasi dalam bentuk yang abstrak, yakni melalui gagasan,


(3)

26

wacana dan ide. Pola ini hampir sama dengan konsep yang dikembangkan Gramscy lewat konsep Hegemony di mana, power dilihat dalam bingkai gagasan, ide yang mampu menundukkan suatu negara guna melancarkan kepentinganya. Dalam penerapannya konsep ini mengalami beberapa kesulitan jika digunakan untuk melihat pola relasi WTO dengan Negara, pasalnya akan terjadi kesulitas untuk menentukan parameter untuk melihat serta mengukur pola relasi itu. Dengan kata lain konsep ini terlalu abstrak untuk dapat digunakan, meskipun penulis menyadari bahwa penagruh lewat wanaca dan gagasan tidak bisa dinafikan dalam melihat sebuat proses hubungan.

Dari urian tersebut akhirnya penulis dapati terdapat dua konsep dari Barnett dan Duvall yang cukup relevan digunakan dalam melihat dan menganalisa pola relasi yang ada, antara WTO dan Pemerintahan Indonesia dalam konteks kebijakan pangan. Kedua konsep itu adalah Struktural Power dan Instutional Power.

Dalam membaca relasi kuasa WTO, Struktural power memberikan gambaran bahwa pola relasi itu terbentuk dan membangun sebuah hubungan didasarkan pada kapitalisme global. Di mana bentuk dasar tatanan ini adalah ketidak setaraan dan ketidak adilan, terdapat pola hubungan yang saling eksploitatif oleh Negara kaya atas Negara miskin. Pola ini nampak pada posisi Negara-negara bergekembang yang dijadiakn objek penderita, atas kebijakan-kebijakn yang sangat merugikan bagi Negara-negara sedang berkembang. Ketidak berdayaan Indonesia dalam forum-forum perundingan menandai bagaimana kekuatan negara kaya yang masih mendominasi. Dan pertarungan pengaruh dan kepentingan anatara AS dan Eropa semakin memperjelas posisi ketidak adilan yang dialami Negara sedang berkermbang.

Sedangkan dalam analisa Institutional power, relasi kuasa itu tercipta sebagai akibat dari kebijakan yang mengikat dari sebuah institusi atau lembaga, dalam hal ini WTO. WTO adalah organisasi multilateral yang mempunyai sifat legally binding (mengikat secara hukum). Produk perjanjian sebagai hasil dari forum-forum perudingan sudah barang tentu mempunyai implikasi bagi Negara-negara yang terikat dalam keanggotaan. Dengan kata lain institusional power, diartikan bahwa adanya satu pihak yang mengndalikan secara tidak langsung pihak lain, lewat serangakaian instrument yang mengikat yang bertujuan memberikan keuntungan bagi pihak tersebut. Hal ini bisa dilihat lewat serangakaian kebijakan pada era SBY-JK, lewat kebijakan impor beras dalam jumalah yang fantastis pada tahun 2004, impor benih pada 2005, impor beras dan kedelai pada 2007, ketentuan BULOG tentang criteria beras, kasus gugatan benih oleh MNC serta kegagalan Program RPPK adalah serangkaian kebijakan hasil


(4)

27

dari penyesuaian kebijakan AoA, lewat mekanisme pengurangan subsidi, dukungan akses pasar serta mekanisme TRIPs.

Bahagijo, Sugeng (penyunting). Globalisasi Menghempas Indonesia. Jakarta. LP3ES. 2006.

Dodi Mantra, Yesaya Hardyabto, Nur Aini Willsen, Irna Gartini Kusumah dan Soni Irawan. Jerat Jejaring Produksi Pangan dan Pertanian Global. Laporan Penelitian. Jaringan Riset Kolektif (JeRK). Jakarta. 2013.

Delforge, Isabelle. Dusta Industri Pangan; penelusuran jejak Monsanto. Yogyakarta. Insist Press. 2005.

Fakih, Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta. Insist Press. 2009.

Francis Wahono, Dwi Astuti dan Sabiq Carebesth (Penyunting). Ekonomi Politik Pangan. Yogyakarta.Cinde Books. 2011.

George, Susan. Pangan dari penindasan sampai ketahanan pangan.Yogyakarta. Insist Press. 2007.

James Petras dan Henry Veltmeyer.Imperalisme Abad 21. Yogyakta. Kreasi Wacana. 2001.

Julianto, J. Ferry. Pertanian Indonesia Di Bawah Rezim WTO. Jakarta. Penerbit Banana.2007.

Jhamtani, Hira. WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga. Yogyakarta. Insist Press. 2005.

Khudori. Ironi Negeri Beras. Yogyakarta. Insist. 2008.

Mantra, Dodi. Hegemoni dan Diskursus Neolieralisme. Bekasi. MantraPress. 2011.

Moleong, Lexy J., metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Rosydakarya, 2007.

Mas’oed, Mochtar. Ekonomi-Politik Internasional dan Pembangunan.


(5)

28

Mas’oed, Mochtar. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta. LP3ES. 1990.

Mas’oed, Mochtar. Negara, Kapital danDemokrasi.Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2003.

Michael Bernett and Raymond Duvall.Power in Global Governance. New York. Cambridge University Press. 2005.

Mubyarto, Prof., Dr. Gagasan Besar Ekonomi dan Kemajua Kemanusiaan. Yogyakarta.Adiya Media & Fakulatas Ekonomi UGM. 2004.

Nezar Patria & Andi Arief.Antonio Gramsci Negara & Hegemoni.Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2003.

Robert Jackson & Georg Sorensen.Pengantar Studi Hubungan Internasional.Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2005.

Setiawan, Bonnie. Rantai Kapitalisme Global.Yogyakarta. Resist Book. 2012. Setiawan, Bonnie. WTO dan Perdagangan Abad 21.Yogyakarta. Resist Book. 2013.

Shiva, Vandhana. Water Wars: Privatisasi, Profit, dan Polusi.Yogyakarta.Walhi dan Insist Press. 2002.

Wahono, Francis. A Better World is Possible. Yogyakarta.Cindelaras. 2003.

Wahono, Francis. Hak-Hak Asasi Petani & Proses

Perumusannya.Yogyakarta.Cindelaras. 2002.

Wirasenjaya, Ade M.. Negara, Pasar dan Labirin Demokrasi. Yogyakarta.The Phinisi Press. 2013.

William D. Coplin and Marsedes Marbun.Pengantar Politik Internasional, edisi Kedua. Bandung. Sinar Baru Algensindo. 2003.

Yustika, Ahmad Erani. Ekonomi Politik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. 2011. Zacky Nouval, Geneng Dwi Yoga Isnani dan Luthfi J. Kurniawan. Petaka Politik Pangan Di Indonesia. Malang. Intras Publihing. 2010.

Nimas Gilang Puja Norma, Tesis ―Productive Power Amerika Serikat, Rezim


(6)

29

Sosial Dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia, 2011.