Pelembagaan sistem presidensial murni sejak Pemilu 2004 membuat sistem politik indonesia semakin menarik. Sistem tersebut berjalan di tengah-tengah sistem multipartai,
apalagi presiden pemenang pemilu ternyata hanya dicalonkan partai minoritas di DPR. Pada perjalanan politik selanjutnya ternyata wakil presiden justru menjadi ketua umum
partai pemenang pemilu legislatif dan fraksi terbesar di parlemen. Tentu fenomena ini akan menimbulkan kompleksitas hubungan presiden minoritas dan parlemen, juga relasi
presden dan wakil presiden. Kedudukan presiden sebagai single chiev executive dalam menjalankan kekuasaannya akan menjadi problematika yang kompleks.
Presiden terpilih terpaksa atau dipaksa mengakomodasi kepentingan parpol di parlemen dalam penyusunan komposisi kabinet. Konsekuensinya, komposisi menjadi
kabinet koalisi. Kondisi ini akan berimplikasi terhadap struktur kekuasaan presiden. Hal ini menunjukkan bahwa sistem presidensial di Indonesia seakan tidak diterapkan secaa
ideal karena sistem ini harus berkompromi dengan situasi politik multipartai. Implikasinya, meskipun presiden di pilih langsung oleh rakyat, calon presiden cenderung
diharuskan melakukan koalisi dengan partai lainnya untuk memenangkan pemilihan umum.
Setelah pemilu presiden terpilih di tuntut lagi melakukan koalisi dalam penyusunan struktur kabinetnya untuk memperoleh dukungan suara mayoritas di DPR,
seperti halnya pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Hal ini mirip dengan sistem kabinet parlementer meskipun presiden tidak bertanggung jawab kepada
parlemen inilah karakter khas kabinet presidensial Indonesia.
1.2 Permasalahan
Pergantian konstitusi sebelum orde baru dan perubahan konstitusi pasca-orde baru yang diikuti pula dengan penyempurnaan dan penataan ulang sistem pemerintahan, tak
hanya berdampak pada perubahan struktur kekuasaan lembaga legislatif dan eksekutif, melainkan juga pola relasi atau hubungan kekuasaan di antara eksekutif, legislatif dan
lembaga yudikatif. Apabila pada era demokrasi parlementer pada periode 1950-an sistem pemerintahan Indonesia bernuansa “sarat legislatif” legislative-heavy, maka selama
hampir 40 tahun era otoriter Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru corak itu sangat “sarat- eksekutif” executive-heavy. Empat dekade otoritarianisme tersebut sekaligus
Universitas Sumatera Utara
melengkapi gambaran dominasi lembaga eksekutif sepanjang sejarah Indonesia sebagai sebuah negara modern. Ketika Orde Soeharto berakhir pada 1998, keseimbangan relasi
antara legislatif-eksekutif pun berubah lagi di mana kecenderungan legislative heavy tampak menguat kembali. Puncak kecenderungan itu adalah berlangsungannya sidang
istimewa MPR yang akhirnya mencopot Presiden Abdul Rahman Wahid dari kekuasaannya Juli 2001.
Pasca amandemen Ke-IV UUD 1945 dalam struktur pemerintahan Indonesia ada 3 hubungan baru yang terbentuk. Hubungan baru ini terbentuk setelah Indonesia mencoba
menata ulang sistem pemerintahannya. Secara khusus dalam penelitian ini peneliti ingin memfokuskan pada satu permasalahan yang hendak di bahas nantinya.
Seperti yang telah di paparkan di atas, Reformasi yang bergulir melahirkan beberapa situasi baru dalam sistem perpolitikan Indonesia seperti: Pemilihan Presiden
secara langsung oleh rakyat, anggota legislatif yang juga di pilih langsung oleh rakyat, munculnya sistem partai baru yang lebih bervariasi, munculnya sistem pemerintahan
Daerah otonomi dan yang paling terasa adalah munculnya hubungan baru yang sebelumnya tidak pernah tercipta antara Presiden dan DPR, Presiden dan Yudikatif,
Presiden dengan partai politik. Secara khusus tiga hubungan baru ini sebetulnya satu paket yang saling berkaitan,
apalagi kalau kita berbicara tentang kinerja masing-masing lembaga. Kinerja presiden akan lancar apabila suara mayoritas di parlemen mendukung penuh rancangan
pemerintah. Kinerja lembaga eksekutif sebaliknya akan efektif jika parlemen melakukan fungsi check and balances secara proporsional. Dan terakhir keseluruhan sistem politik
Indonesia akan berjalan dengan mulus apabila Partai politik melahirkan kader-kader partai yang loyal dan memiliki ideologi partai yang mantap.
Pemilu 2004 merupakan tonggak sejarah baru dalam sistem perpolitikan Indonesia. Seperti di sebutkan di atas Pemilu 2004 merupakan laboraturium politik yang
sempurna bagi ilmuwan politik Indonesia yang ingin melihat bagaiamana praktik presidensialisme dijalankan. Pemilu 2004 menghasilkan pasangan Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla sebagai Pasangan Presiden dan wakil presiden. Pasangan ini dicalonkan oleh partai Demokrat dan terpilih dalam sistem pemilihan umum langsung
yang pertama kali dalam sejarah pemilu Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Masalah berikutnya yang mengawal perjalanan presiden dan wakil presiden adalah jumlah kursi partai demokrat di parlemen. Jumlah kursi partai demokrat di
parlemen hanya 55 kursi dari total 550 kursi yang disediakan. Hal ini tentunya merupakan salah satu permasalahan dalam pelakasanaan sistem presidensialisme. Dalam perjalanan
berikutnya, situasi ini melahirkan sebuah konsekuensi politik bagi SBY-JK. Konsekuensi yang paling jelas adalah untuk memperoleh dukungan penuh dari parlemen maka partai
pemenang pemilu Partai Demokrat harus melakukan koalisi. Koalisi dilakukan untuk mendapatkan jaminan dukungan dari parlemen, dan sekaligus mengamankan kebijakan-
kebijakan yang akan dihasilkan oleh pemerintah. Meskipun Presiden SBY-JK merupakan presiden yang dipilih secara langsung
namun tidak serta merta parlemen memberikan dukungan kepada presiden terpilih namun yang terjadi adalah saling tunjuk kekuasaan. Kita masih ingat Sejak pemerintahan
Yudhoyono bekerja, tidak kurang 14 usulan hak interpelasi di gulirkan oleh partai-partai politik di DPR untuk mempertanyakan dan menggugat kebijakan pemerintah, salah
satunya adalah Hak Interpelasi DPR tanggal 17 Oktober 2005 tentang Kenaikan Harga BBM yang di usul oleh F-PDIP, F-PFB. Walaupun di tolak kemudian.
Sebagian hak interpelasi itu gagal atau di tolak melalui voting dalam Rapat Paripurna DPR, sedangakan sebagian kecil lainnya atas dukungan partai-partai yang turut
berkoalisi dalam pemerintahan diterima sebagai hak interpelasi dan hak angket dewan. Meskipun penggunaan hak interpelasi merupakan salah satu hak DPR dalam melakukan
pengawasan terhadap pemerintah, namun dalam realitas politik hal itu tak hanya menyita waktu dan energi masing-masing pihak melainkan menciptakan situasi konflik dan
ketegangan politik yang tidak produktif bagi efektifitas sistem presidensial. Sementara itu pada periode yang sama, pemerintahan Yudhoyono-Kalla juga
paling kurang menghadapi delapan usulan penggunaan hak angket yang di gulirkan partai-partai di DPR untuk menyelidiki kemungkinan adanya pelanggaran di balik
kebijakan-kebijakan pemerintah. Walaupun hanya dua usulan hak angket yang akhirnya sebagai hak angket DPR secara institusi, yakni hak angket penjualan kapal tangker
pertamina dan transparansi pengelolan minyak dan gas oleh Pertamina. Namun penggunaan hak pengawasan DPR terhadap pemerintah ini cenderung mempertajam
konflik dan ketegangan politik dalam format baru relasi Presiden-DPR. Seperti juga
Universitas Sumatera Utara
usulan penggunaan hak interpelasi, usulan hak angket DPR pun pada umumnya di dukung oleh partai-partai yang memiliki wakil di dalam kabinet Indonesia Bersatu.
Realitas diatas adalah salah satu ciri khas dari relasi baru yang tercipta antara lembaga eksekutif dan legislatif, penambahan beberapa fungsi di tubuh parlemen dan
kombinasi sistem multipartai di sistem partai politik kita, mengakibatkan Tesis dari Mainwaring semakin terbukti kebenarannya. Namun, dari semua itu, untuk mecegah
terjadinya deadlock antara parlemen dan eksektutif, kompromi akhirnya terjadi. Salah satu yang paling sering kita dengar adalah KOALISI antara partai. Walaupun secara
konstitusi Indonesia tidak secara jelas mengatur tentang aturan dan tata cara pelaksaanan KOALISI namun yang terjadi, kompromi yang semacam ini di pergunakan untuk
memecahkan situasi kebuntuan tadi. Permasalahan diatas adalah beberapa masalah yang ada dalam sistem politik
Indonesia. Maka dari permasalahan diatas penulis ingin meneliti Hubungan presidensialisme dan parlemen di Indonesia di tengah relasi baru antara Presiden dan
DPR?
I. 3 Pembatasan Masalah
Masalah yang akan di bahas terletak dari bagaimana relasi Presiden dan Parlemen di masa Pemerintahan SBY-JK Periode 2004-2009. Penelitian ini akan di tujukan untuk
melihat bagaimana fungsi presidensialisme berjalan di tengah-tengah terparbaharuinya sistem konstitusi Indonesia.
I.4 Tujuan Penelitian