usulan penggunaan hak interpelasi, usulan hak angket DPR pun pada umumnya di dukung oleh partai-partai yang memiliki wakil di dalam kabinet Indonesia Bersatu.
Realitas diatas adalah salah satu ciri khas dari relasi baru yang tercipta antara lembaga eksekutif dan legislatif, penambahan beberapa fungsi di tubuh parlemen dan
kombinasi sistem multipartai di sistem partai politik kita, mengakibatkan Tesis dari Mainwaring semakin terbukti kebenarannya. Namun, dari semua itu, untuk mecegah
terjadinya deadlock antara parlemen dan eksektutif, kompromi akhirnya terjadi. Salah satu yang paling sering kita dengar adalah KOALISI antara partai. Walaupun secara
konstitusi Indonesia tidak secara jelas mengatur tentang aturan dan tata cara pelaksaanan KOALISI namun yang terjadi, kompromi yang semacam ini di pergunakan untuk
memecahkan situasi kebuntuan tadi. Permasalahan diatas adalah beberapa masalah yang ada dalam sistem politik
Indonesia. Maka dari permasalahan diatas penulis ingin meneliti Hubungan presidensialisme dan parlemen di Indonesia di tengah relasi baru antara Presiden dan
DPR?
I. 3 Pembatasan Masalah
Masalah yang akan di bahas terletak dari bagaimana relasi Presiden dan Parlemen di masa Pemerintahan SBY-JK Periode 2004-2009. Penelitian ini akan di tujukan untuk
melihat bagaimana fungsi presidensialisme berjalan di tengah-tengah terparbaharuinya sistem konstitusi Indonesia.
I.4 Tujuan Penelitian
Hasil penelitian
ini bertujuan
untuk mencoba
mengkaji Hubungan
Presiden dan DPR di Masa Pemerintahan SBY-JK periode 2004-2008.
I. 5 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini diantaranya : a.
Manfaat Teoritis
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini merupakan kajian ilmu politik yanhg diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap studi kajian ilmu politik, khususnya mengenai
pemerintahan Mesir pada masa Husni Mubarak.
b. Manfaat Praktis
Menambah rujukan bagi Mahasiswa Departemen Ilmu Politik FISIP-USU mengenai Sistem Pemerintahan di Indonesia setelah masa reformasi. Bagi penulis sendiri
penelitian ini bermanfaat sebagai sarana untuk menambah pemahan penulis mengenai objek yang diteliti, serta mengasah kemampuan penulis dalam membuat sebuah karya
ilmiah.
I. 6 Konseptualisasi dan Teori
Secara umum dapat dibedakan tiga sistem pemerintahan demokrasi, yakni sistem presidensial presidential system, sistem parlementer parliamentary system, dan sistem
semi-presidensial semipresidetial system
8
. Sistem presidensial berlakau di Amerika Serikat, sebagian besar negara-negara Amarika Latin, dan juga Filipina di Asia Tenggara
serta Korea Selatan di Asia Timur. Sistem Parlementer berlaku di Ingris dan pada umumnya negara-negara jajahan Ingris Seperti Australia, India dan Malaysia. Sedangkan
kasus spesifik sistem semi-presidensial, yang juga disebut sistem campuran atau sistem hibrida terutama berlaku di Prancis. Selain pembedaan klasi dan standar tersebut. Dalam
studinya terhadap 36 negara demokrasi pada periode 1945-1996, Arend Lijphart mengelompokkan sistem demokrasi atas dua kategori besar, yakni pemerintahan
demokrasi-mayoritarian-dengan contoh tipikal Westminster Kerajaan-Inggris-di satu pihak, dan demokrasi konsensual-dengan contoh tipikal Swiss atau Belgia
9
. Ciri-ciri demokrasi mayoritarian adalah memiliki dua partai politik utama,
kabinet satu partai, sistem perwakilan satu kamar dan dalam konteks negara kesatuan dengan pemerintahan tersentralisasi. Sedangkan Demokrasi Konsensual memiliki ciri
8
Juan J. Linz, “Presidential or Parliamentary Democracy: Does It Make a Difference?” dalam Juan J. Linz dan Arturo Valenzuela eds The Failure of PresidentialDemocracy; Comparative Perspektives Volume 1
Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1994, hlm. 124-133
9
Arend Lijphart, patterns of democracy: Government Forms and Performance in Thirty-Six Countries, New Haven and London: Yale University Press, 1999
Universitas Sumatera Utara
antara lain, penggunaan sistem pemilu proporsional dengan distrik berwakil banyak, sistem multipartai, kabinet yang bersifat koalisi, sistem perwakilan dua kamar, dan dalam
konteks negara federal dengan pemerintahan terdesentralisasi. Pengelompokkan yang di lakukan Lijphart ini tidak sepenuhnya sama dengan pembedaan sistem presidensial dan
parlementer. Sistem presidensial yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah sistem
pemerintahan yang menempatkan presiden sebagai pusat kekuasaan legislatif sekaligus pusat kekuasaan negara. Ini berarti bahwa presiden adalah kepala pemerintahan dan juga
kepala negara. Selain itu, sistem presidensial dicirikan oleh pemilihan kepala eksekutif secara langsung oleh rakyat, bukan di pilih oleh parlemen seperti berlaku dalam sistem
parlementer, presiden bukan bagian dari parlemen dan tidak bisa di berhentikan oleh parlemen kecuali melalui proses pemakzulan impeachment; dan presiden tidak dapat
membubarkan parlemen sebagaimana halnya sistem parlementer yang memberi hak kepada kepala untuk membubarkan parlemen. Ciri lain dari presidensialiseme adalah
keduddukan lembaga parlemen yang tidak hanya terpisah dari eksekutif melainkan juga independen terhadapnya; serta menteri-menteri yang diangkat oleh dan bertanggungjawab
kepada presiden
10
. Dari berbagai ciri tersebut, Menurut Arend Lijphart, sebenarnya hanya tiga ciri
yang menjadi elemen esensial dari sistem presidensial yakni 1 Presiden atau kepala pemerintahan dipilih untuk masa jabatan yang bersifat tetap fixed term; 2 presiden
dipilih langsung oleh rakyat ataupun melalui dewan pemilih electoral college seperti di Amerika Serikat; 3 presiden merupakan kepala eksekutif yang bersifat tunggal
11
. Karena itu perlu dicatat bahwa desain institusi dan praktik sistem presidensialisme di
berbagai negara sebenarnya tidak seragam, terdapat variasi-variasi yang sangat signifikan, termasuk di negara-negara Amerika Latin di mana presidensialisme menjadi populer
ketimbang parlemntiarisme. Akan tetapi terlapas dari berbagai varian presidensialisme, hampir semua negara yang menganut sistem presidensialisme cenderung menjadikan
praktik presidensialisme di Amerika Serikat sebagai inspirasi sekaligus model terbaik.
10
Tentang Perbedaan sistem presidensial dan Parlementer, Lihat Lijphart, ed., Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, jakarta: Raja Grafindo Persada. 1995.
11
Arend Lijphart, “Presidentialism and Majoritarian Democracy: Theoritical Observations”. Dalam Linz dan Valanzuela, ed., The Failure of Presidential Democracy, Volume I, Hal. 91-105.
Universitas Sumatera Utara
Dalam sistem presidensialisme di Indonesia, ada satu konsep yang umum kita kenal yaitu Konsep Koalisi. Hal ini lazim menunjuk pada persekutuan dua partai atau
lebih yang didasarkan pada kepentingan politik yang sama. Pemerintahan koalisi coalition government adalah suatu pemerintahan yang di bentuk oleh lebih dari suatu
partai politik. Pemerintahan koalisi lazimnya adalah pemerintahan gabungan-gabungan partai-partai di dalam sistem parlementer yang berbasis multi partai. Sedangkan konsep
koalisi yang di pergunakan dalam studi ini menunjuk pada pemerintahan yang didukung oleh lebih dari satu partai di dalam konteks sistem presidenisal.
Secara teoritik model koalisi dapat dibedakan atas tiga kategori, yaitu minimal winning coalition, minority coalition dan oversizied coalition
12
. Kategori yang pertama, “koalisi pemenang minimal” menunjuk pada pemerintahan yang mendapatkan dukungan
mayoritas sederhana parlemen. Kategori kedua, “koalisi minoritas”, koalisi pemerintahan dari partai-partai kecil dan karena itu tidak mendapat dukungan mayoritas sederhana di
parlemen. Sementara itu kategori yang ketiga “koalisi besar”, menunjuk pada koalisi pemerintahan yang didukung oleh mayoritas mutlak partai politik di parlemen. Format
koalisi yang terbentuk lazimnya mempengaruhi kecenderungan relasi kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif.
Konsep pemerintahan yang efektif governability menunjuk pada situasi dimana lembaga eksekutif dapat mewujudkan proses pembentukan dan pelaksanaan kebijakan
yang berorientasi aspirasi dan kepentingan rakyat tanpa hambatan berarti dari lembaga- lembaga-lembaga legislatif. Secara teoritis sistem presidensialisme memungkinkan
terwujudnya pemerintahan yang efektif karena lembaga presiden memiliki legitimasi dan mandat yang kuat lantaran dipilih langsung oleh rakyat, serta presiden memiliki masa
jabatan yang bersifat tetap fixed term. Selain itu prinsip sistem presidensial yang memisahkan kekuasaan eksekutif dan legislatif memberi peluang bagi presiden untuk
melaksanakan kebijakan kebijakan pemerintahan tanpa harus terganggu oleh dinamika lembaga legislatif. Asumsinya semakin minim distorsi dan interupsi proses pembentukan
dan pelaksanaan kebijakan akan membuat pemerintahan lebih efektif, sehingga pencapaian tujuan bernegara dan berbangsa menjadi lebih nyata.
12
Arend Lijphart, Pattern of Democracy, op cit, hal 134-138
Universitas Sumatera Utara
Hanya saja sejauh mana efektifitas pemerintahan di dalam konteks sistem presidensial tampaknya sangat bergantung pada pola relasi antara eksekutif dan legislatif,
dan sistem kepartaian di pihak lain. Persoalannya sistem presidensial cenderung akan menghasilkan pemerintahan yang efektif apabila presiden di dukung oleh mayoritas
sederhana kekuatan parlemen melalui minimal winning coalition. Sebaliknya, jika presiden hanya di dukung kekuatan minoritas parlemen cenderung membuka peluang
pemakzulan bagi presiden, dan apabila presien di dukung oleh kekuatan mayoritas mutlak parlemen maka yang cenderung terjadi adalah pemerintahan yang kolutif
13
.
Problematika Sistem Presidensial Para ahli yang mendalami studi perbandingan politik sebenarnya sudah menyadari
berbagai problematika yang melekat pada sistem presidensial sebagaimana di praktikkan di Amerika Serikat dan di adopsi di negara-negara Amerika Latin. Stabilitas eksekutif
yang di sebabkan oleh masa jabatan presiden bersifat tetap, legitimasi dan mandat politik presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, dan pemisahan kekuasaan yang relatif tegas di
antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan terutama eksekutif-legislatif adalah tiga dianatara sejumlah kelebihan sistem utama presidensialisme.
Namun demikian di samping kelebihan-kelebihannya di bandingkan sistem parlementer, sistem presidensialisme memiliki tiga kelemahan pokok, yakni pertama,
kemungkinan munculnya kelumpuhan ataupun jalan buntu politik deadlock akibat konflik eksekutif-legislatif. Potensi jalan buntu itu semakin besar lagi apabila sistem
presidensialisme di kombinasikan dengan sistem multipartai seperti di khawatirkan oleh Mainwaring
14
. Kedua kekuatan sistemik yang melekat pada presidensialisme akibat masa jabatan eksekutif yang bersifat tetap, sehingga tidak ada peluang mengganti presiden di
tengah jalan jika kinerjanya tidak memuaskan publik. Ketiga, prinsip “pemenang mengambil semua” the winner takes all yang inhern di dalam sistem presidensial yang
menggunakan sistem mayoritas-dua-putara pemilihan presiden, sehingga memberi
13
Denny Indrayana “Mendesain Presiden yang Efektif: Bukan Presiden ‘sial’ atau Presiden ‘sialan’, Makalah seminar yang diselenggarakan oelh partai Demokrat, Forum komunikasi Parpol dan Politisi serta
FNS. Tanggal 13 Desember 2006.
14
Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multiparty Systems, and Democracy: The Difficult Combination. Dalam comparative Political Studies, Vol 26, No. 2. 1993, hal 198-228
Universitas Sumatera Utara
peluang bagi presiden untuk mengklaim pilihan-pilihan kebijakannya atas nama rakyat, dibandingkan lembaga parlemen yang didominasi kepentingan-kepentingan partisan dari
partai-partai politik. Juan J. Linz bahkan mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif di dalam sistem presidensial cenderung menimbulkan
polarisasi dan instabilitas politik, sehingga di anggap tidak begitu cocok diadopsi di negara-negara demokrasi baru
15
. Pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan legislatif misalnya, di satu
pihak di pandang sebagai kelebihan presidensialisme dibandingkan parlementarisme, namun di pihak lain juga membuka peluang terbentuknya “pemerintahan yang terbelah”
devided government, dimana presiden dan parlemen di kuasai atau di kontrol oleh partai yang berbeda. Pengalaman demokrasi presidensial di AS sendiri memperlihatkan bahwa
lebaga kepresiden dan kongres-sidang gabungan DPR house of Representative dan Senat-pernah pula di kontrol oleh dua partai yang berbeda, Partai Republik dan partai
demokrat
16
. Selama periode 1968-1992 misalnya, fenomena “pemerintahan terbelah” di AS berlangsung dalam kurun waktu selama 20 tahun, ketika partai republik selalu
menduduki Gedung Putih kecuali masa empat tahun di bawah Jimmy Carter sedangkan Partai Demokrat mendominasi Kongres
17
. Hanya saja, sistem presidensial di AS memiliki mekanisme institusi yang melekat pada dirinya, termasuk mekanisme check and
balances dan sistem dua-partai, selain pengalaman ratusan tahun mempraktikan sistem tersebut, sehingga fenomena pemerintahan terbelah tidak mengancam stabilitas
demokrasi. Karena itu persoalan menjadi lain jika desain presidensialisme tersebut tidak memiliki mekanisme internal untuk mengatasi fenomena “pemerintahan terbelah”
sehingga tidak mengancam deadlock dalam relasi eksekutif legislatif ataupun terjadinya proses pemakzulan atas presiden dan parlemen.
Problematika sistem
presidensialisme pada umumnya terjadi ketika ia dikombinasikan dengan sistem muliti partai, apalagi dengan tingkat fragmentasi partai
15
Richard Gunther, The Failure of Presidentialsm Democracy: Comparative Perspective, Baltimore and London: Jhon Hopkins university Press, 1994
16
Tentang Sistem Presidensialsme AS. Garis Besar Pemerintahan Amerika Serikat, Kantor Program Informasi Internasional Depertamen Luar Negeri Amerika Serikat, Tanpa tahun.
17
Denny Indrayana, “Mendesain Presidensialisme…” op.cit
Universitas Sumatera Utara
dan polarisasi ideologis yang relatif tinggi. Dalam hubungan ini Scott Mainwaring mengatakan
18
: “there are three reason why the institutional combination is problematic. First,
multiparty presidentialism is especially likely to produce immobilizing executivelegislative deadlock and such deadlock can destabilize democracy.
Second, multipartism is more likely than bipartism to produce ideological polarization, thereby complicating problem often associated with presidentialsm.
Finally, the combination of presidentialsm and multipartism is complicated by the difficulties of interparty coalition building in presidentialism democracies, with
deletorious consequences for democratic stability”. terdapat tiga alasan mengapa kombinasi institosional semacam itu bermasalah.
Pertama, sistem presidensialisme bebasi multipartai cenderung menghasilkan kelumpuhan akibat kebuntuan eksekutif-legislatif. Dan kebuntuan itu berujung
pada instabilitas demokrasi. Kedua, sistem multi partai menghasilkan polarisasi ideologis ketimbang sistem dua-partai, sehingga seringkali menimbulkan problem
komplikasi ketika dipadukan dengan presedensialisme. Terakhir, kombinasi presidensial dan multi partai berkomplikasi pada kesulitan membangun koalisi
antarpartai dalam demokrasi presidensial, sehingga berimplikasi pada rusaknya stabilitas demokrasi.
Seperti yang dikhawatirkan Mainwaring diatas, serta juga Gunther, Linz dan Lizphart sebagaimana dikemukakan sebelumnya presidensialisme dan sistem multipartai bukan
hanya merupakan “kombinasi sulit” melainkan juga membuka peluang terjadinya immobilsm dan atau deadlock dalam relasi eksekutif-legislatif yang berdampak pada
instabilitas demokrasi presidensialisme. Dilema presidensialisme tersebut itu makin bertambah kompleks jika tidak ada satu partaipun yang menguasai kursi mayoritas di
parlemen. Fragmentasi kekuatan-kekuatan partai di parlemen seperti lazimnya adalah produk dari penggunaan sistem pemilu perwakilan berimbang. propotional
representation system. Problematika sistem presidensialisme yang dikombinasikan dengan sistem multipartai yang kemudian berpotensi menghasilkan deadlock dalam relasi
presiden dan parlemen sehingga berdampak pada instabilitas demokrasi presidensial. Di luar faktor polariasisi kekuatan-kekuatan parlemen, presiden yang berasal dari
partai kecil ataupun koalisi kekuatan partai minoritas juga berpeluang menjadi faktor penting bagi stabilitas dan efektifitas demokrasi presidensialisme. Apalagi jika di satu
pihak pemilihan presiden di dasarkan pada prinsip mayoritarian “pemenang mengambil
18
Scott Mainwaring, “Presidentialsm…, op. cit hal. 198
Universitas Sumatera Utara
semua” the winner takes all, dan di lain pihak pemilihan anggota parlemen dilakukan atas dasar sistem proporsional. Pada saat yang sama Juan J. Linz mengemukakan, prinsip
pemisahan kekuasaan eksekutif-legislatif pada sistem presidensial berpotensi menghasilkan “legitimasi demokratis ganda” dual democratic legitimacy yang beresiko
bagi stabilitas demokrasi presidensial. Seperti juga yang di ungkapkan Gunther, saling klaim Legitimasi yang mengarah kepada konflik dan ketegangan di antara lembaga
presiden dan parlemen berpeluang muncul jika tidak ada mekanisme institusi yang mengubah perilaku konfliktual menjadi konsensual relasi parelemen-presiden.
Problematika sistem presidensialisme sesungguhnya tidak berhenti disitu. Peluang bagi munculnya demokrasi presidensial yang tidak stabil dan tidak efektif bisa terjadi
apabila lembaga presiden yang semestinya merupakan eksekutif tunggal terdiri atas dua. partai yang berbeda dari presiden dan wakil presiden. Persoalan menjadi lebih kompleks
jika presiden berasal dari partai yang partai yang lebih kecil di bandingkan dengan basis politik wakil presiden. Jika kecenderungan itu demikian terjadi dalam struktur parlemen
yang terfragmentasi, maka tarik menarik kekuasaan antara presiden dan parlemen bisa jadi merupakan ongkos politik dari tipe demokrasi presidensial yang berlaku tersebut.
I.7 Konsep-konsep Demokrasi dan Presidensialisme