Prevalensi Infeksi Protozoa Usus Pada Pasien Kanker di RSUP Haji Adam Malik, Medan

(1)

PREVALENSI INFEKSI PROTOZOA USUS PADA PASIEN KANKER DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT (RSUP) HAJI ADAM MALIK, MEDAN

KARYA TULIS ILMIAH

Oleh :

RATHNA A/P KALAISELVAM 070100237

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

PREVALENSI INFEKSI PROTOZOA USUS PADA PASIEN KANKER DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT (RSUP) HAJI ADAM MALIK, MEDAN

Oleh :

RATHNA A/P KALAISELVAM 070 100 237

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Prevalensi Infeksi Protozoa Usus Pada Pasien Kanker di RSUP Haji Adam Malik, Medan.

Nama : Rathna A/P Kalaiselvam NIM : 070100237

Pembimbing Penguji

(dr. Yunilda Andriyani, M.Kes.) (dr. Kristo Alberto Nababan, Sp.KK) NIP : 19790603 200312 2 001 NIP : 19630208 198903 1 004

(dr. Dina Keumala Sari, M.Gizi., Sp.GK) NIP : 19731221 200312 2 001

Medan, 9 Disember 2010

Universitas Sumatera Utara, Fakultas Kedokteran

(Prof. dr.Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH) NIP : 19540220 198011 1 001


(4)

HALAMAN PERSETUJUAN

Laporan Hasil Penelitian dengan Judul :

Prevalensi infeksi protozoa usus pada pasien kanker Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik, Medan

Yang dipersiapkan oleh : RATHNA A/P KALAISELVAM

070 100 237

Laporan Hasil Penelitian ini telah diperiksa dan disetujui untuk dilanjutkan ke Seminar Hasil.

Medan, 23 November 2010

Disetujui, Dosen Pembimbing


(5)

ABSTRAK

Latar Belakang : Menurut data World Health Organization 2008, kanker merupakan penyebab utama mortalitas di dunia yaitu sekitar 13% dan penyakit ini dapat meningkatkan risiko pasien terkena infeksi opurtunistik akibat penurunan daya tahan tubuh.

Tujuan Penelitian : Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi infeksi protozoa usus pada pasien kanker di RSUP Haji Adam Malik, Medan.

Metode Penelitian : Penelitian ini dilakukan dengan cara descriptive cross sectional pada 38 pasien yang sedang menjalani terapi yang dipilih secara consecutive. Data diperoleh dengan cara pengumpulan sampel tinja, diperiksa di laboratorium dengan teknik Kato dan pewarnaan Kinyoun Gabbet dan seterusnya diolah dengan menggunakan SPSS versi 17,0.

Hasil Penelitian : Dari penelitian ini diketahui bahwa prevalensi infeksi protozoa usus pada pasien kanker di RSUP Haji Adam Malik, Medan adalah 7,9 % yaitu sebanyak 3 daripada 38 sampel tinja mencatatkan hasil positif infeksi protozoa usus di mana satu sampel ditemukan ookista Cryptosporidium sp. manakala pada dua sampel lagi ditemukan kista Entamoeba histolytica. Ketiga-tiga hasil positif tergolong dalam kelompok umur lebih daripada 60 tahun (60 %) serta menjalani kombinasi kemoterapi dan radioterapi (27,3 %). Dua pasien perempuan (9,5 %) dan seorang laki – laki (5,9 %) menunjukkan hasil positif di mana dua pasien (20 %) menderita kanker stadium 4 manakala seorang (6,7 %) stadium 3.

Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa umur, jenis terapi serta stadium kanker sangat mempengaruhi terjadinya infeksi opurtunistik pada pasien kanker.


(6)

ABSTRACT

Background : According to World Health Organization 2008, cancer is the leading cause of mortality in the world, which is approximately 13 %. The risk of patients attaining opportunistic infections with neoplastic disease increases due to their immunocompromised condition.

Objective : This research is done to investigate the prevalence of protozoal infection in cancer patients at Haji Adam Malik General Hospital, Medan.

Methods : This study is performed in a descriptive cross sectional manner on 38 consecutive patients who is undergoing cancer therapy. Fecal samples are collected and tested in laboratorium using the Kato method and Kinyoun Gabbet staining. Data were analysed using the SPSS version 17.0 programme.

Results : From the research done, it is known that the prevalence of protozoal infection in cancer patients at Haji Adam Malik General Hospital is 7,9 % which indicates the positive result for 3 samples out of 38 fecal samples which were tested. Cryptosporidium sp. oocyst was found in one of the 3 samples and the rest of the 2 samples show the existence of Entamoeba histolytica cyst. All the 3 positive samples were found in the same age group which is more than 60 years (60 %) and undergoing the combination of chemotherapy and radiotherapy (27,3 %). 2 of the samples belong to female (9,5 %) while the other is male (5,9 %). According to the staging of cancer, 2 of the positive samples belong to the patient whose at stage 4 (20 %) and the other is at stage 3 (6,7 %).

Conclusion : Based on the research done, it can be concluded that age group, type of therapy and the staging of cancer significantly influences the occurance of opportunistic infections among cancer patients.

Key word : prevalence, protozoal infection, cancer patients


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga Proposal Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “ Prevalensi infeksi protozoa usus pada pasien kanker Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik, Medan ” berhasil diselesaikan.

Di dalam penulisan Proposal Karya Tulis Ilmiah ini ternyata penulis mendapat banyak bantuan bail dari segi moril, materiil dan spiritual dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang stinggi-tingginya kepada : 1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar A.

Siregar, Sp. PD. KGEH atas izin penelitian yang telah diberikan.

2. dr. Yunilda, A. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan, bimbingan dan pengarahan kepada penulis selama menyelesaikan Proposal Karya Tulis Ilmiah ini.

3. dr. Juliandi Harahap, MA selaku dosen mata kuliah Community Research Program yang sudi membantu sewaktu penulis mengalami kesulitan dalam proses penyusunan Proposal Karya Tulis Ilmiah ini.

4. Keluargaku tercinta yang senantiasa memberi motivasi kepada penulis baik bersifat materi maupun non materi.

5. Teman-teman penulis yang ikut memberi ide dan saling memberi motivasi sehingga dapat selesaikan tepat pada waktunya.


(8)

Penulis sadar bahwa Proposal Karya Tulis Ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan sarana dan kritik yang bersifat membangun untuk lebih menyempurnakan karya tulis ini. Penulis berharap semoga karya tulis ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak.

Demikian dan terima kasih.

Medan, 23 November 2010 Penulis


(9)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN……… i

ABSTRAK……….... ii

ABSTRACT……….. iii

KATA PENGANTAR……….. iv

DAFTAR ISI………. vi

DAFTAR TABEL……… viii BAB 1 PENDAHULAN………... 1

1.1. Latar Belakang……… 1

1.2. Rumusan Masalah………... 3

1.3. Tujuan Penelitian……….... 3

1.4. Manfaat Penelitian... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA………... 6

2.1. Kanker 2.1.1. Definisi dan Epidemiologi Penyakit Kanker…………. 6

2.1.2. Klasifikasi KanKER……….. 8

2.1.3. Jenis-jenis Kanker Umum……….. 8

2.1.4. Faktor Resiko………. 9

2.1.5. Patogenesis Terjadinya Penyakit Kanker…………... 12

2.1.6. Gejala Kanker……….... 13

2.1.7. Diagnosis Kanker………... 14

2.1.8. Stadium Kanker………. 15

2.1.9. Terapi Kanker……… 17

2.2. Sistem Imun Tubuh 2.2.1. Definisi……….. 19

2.2.2. Sistem Imun Non Spesifik………. 20

2.2.3. Sistem Imun Spesifik………. 21

2.2.4. Imunologi Infeksi... 21

2.2.5. Imunologi Kanker... 24

2.2.6. Defisiensi Imun Pada Pasien Kanker... 29 2.3. Infeksi Opurtunistik Pada Pasien Kanker


(10)

2.3.2. Jenis-jenis Infeksi Opurtunistik Pada Pasien Kanker… 32 BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL… 37

3.1. Kerangka Konsep Penelitian... 37

3.2. Definisi Operasional………... 38

BAB 4 METODE PENELITIAN... 39

4.1. Jenis Penelitian……… 39

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian………. 39

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian……….. 40

4.4. Teknik Pengumpulan Data... 41

4.5. Pengolahan dan Analisis Data... 42

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 43

5.1.Hasil Penelitian... 43

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian... 43

5.1.2. Deskripsi Karakteristik Responden... 44

5.1.3. Hasil Analisis Data... 46

5.2. Pembahasan... 50

5.2.1. Prevalensi Infeksi Protozoa Usus... 51

5.2.2. Distribusi Frekuensi Infeksi Protozoa Usus Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Jenis Kanker, Jenis Terapi dan Stadium Kanker... 52

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 54

6.1. Kesimpulan... 54

6.2. Saran... 54

DAFTAR PUSTAKA... 56 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Perkiraan jumlah kasus baru dan kematian untuk setiap 8 jenis kanker yang umum

2.2 TNM berdasarkan besarnya tumor (T) 15 2.3 TNM berdasarkan tingkat penyebaran ke kelenjar getah 16

bening (N)

2.4 TNM berdasarkan adanya metastasis (M) 16 2.5 Ukuran atau saiz tumor dan luasnya penyebaran 16 5.1 Distribusi responden berdasarkan umur 44 5.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin 44 5.3 Distribusi responden berdasarkan jenis kanker 45 5.4 Distribusi responden berdasarkan jenis terapi 46 5.5 Hasil analisis infeksi protozoa usus 46 5.6 Distribusi frekuensi infeksi protozoa usus berdasarkan

umur 47

5.7 Distribusi frekuensi infeksi protozoa usus berdasarkan

jenis kelamin 48

5.8 Distribusi frekuensi infeksi protozoa usus berdasarkan

jenis kanker 49

5.9 Distribusi frekuensi infeksi protozoa usus berdasarkan


(12)

ABSTRAK

Latar Belakang : Menurut data World Health Organization 2008, kanker merupakan penyebab utama mortalitas di dunia yaitu sekitar 13% dan penyakit ini dapat meningkatkan risiko pasien terkena infeksi opurtunistik akibat penurunan daya tahan tubuh.

Tujuan Penelitian : Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi infeksi protozoa usus pada pasien kanker di RSUP Haji Adam Malik, Medan.

Metode Penelitian : Penelitian ini dilakukan dengan cara descriptive cross sectional pada 38 pasien yang sedang menjalani terapi yang dipilih secara consecutive. Data diperoleh dengan cara pengumpulan sampel tinja, diperiksa di laboratorium dengan teknik Kato dan pewarnaan Kinyoun Gabbet dan seterusnya diolah dengan menggunakan SPSS versi 17,0.

Hasil Penelitian : Dari penelitian ini diketahui bahwa prevalensi infeksi protozoa usus pada pasien kanker di RSUP Haji Adam Malik, Medan adalah 7,9 % yaitu sebanyak 3 daripada 38 sampel tinja mencatatkan hasil positif infeksi protozoa usus di mana satu sampel ditemukan ookista Cryptosporidium sp. manakala pada dua sampel lagi ditemukan kista Entamoeba histolytica. Ketiga-tiga hasil positif tergolong dalam kelompok umur lebih daripada 60 tahun (60 %) serta menjalani kombinasi kemoterapi dan radioterapi (27,3 %). Dua pasien perempuan (9,5 %) dan seorang laki – laki (5,9 %) menunjukkan hasil positif di mana dua pasien (20 %) menderita kanker stadium 4 manakala seorang (6,7 %) stadium 3.

Kesimpulan : Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa umur, jenis terapi serta stadium kanker sangat mempengaruhi terjadinya infeksi opurtunistik pada pasien kanker.


(13)

ABSTRACT

Background : According to World Health Organization 2008, cancer is the leading cause of mortality in the world, which is approximately 13 %. The risk of patients attaining opportunistic infections with neoplastic disease increases due to their immunocompromised condition.

Objective : This research is done to investigate the prevalence of protozoal infection in cancer patients at Haji Adam Malik General Hospital, Medan.

Methods : This study is performed in a descriptive cross sectional manner on 38 consecutive patients who is undergoing cancer therapy. Fecal samples are collected and tested in laboratorium using the Kato method and Kinyoun Gabbet staining. Data were analysed using the SPSS version 17.0 programme.

Results : From the research done, it is known that the prevalence of protozoal infection in cancer patients at Haji Adam Malik General Hospital is 7,9 % which indicates the positive result for 3 samples out of 38 fecal samples which were tested. Cryptosporidium sp. oocyst was found in one of the 3 samples and the rest of the 2 samples show the existence of Entamoeba histolytica cyst. All the 3 positive samples were found in the same age group which is more than 60 years (60 %) and undergoing the combination of chemotherapy and radiotherapy (27,3 %). 2 of the samples belong to female (9,5 %) while the other is male (5,9 %). According to the staging of cancer, 2 of the positive samples belong to the patient whose at stage 4 (20 %) and the other is at stage 3 (6,7 %).

Conclusion : Based on the research done, it can be concluded that age group, type of therapy and the staging of cancer significantly influences the occurance of opportunistic infections among cancer patients.

Key word : prevalence, protozoal infection, cancer patients


(14)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Menurut data World Health Organization 2008, kanker merupakan penyebab utama mortalitas di dunia. Angka ini adalah sekitar 13% dari seluruh penyebab mortalitas dan diperkirakan sekitar 7,9 juta kematian pada tahun 2007 dan 72% terjadi di negara berpendapatan rendah menengah. Jenis kanker tersering penyebab mortalitas tiap tahunnya adalah kanker paru (1,4 juta mortalitas/tahun), lambung (866,000 mortalitas/tahun), kolon (677,000 mortalitas/tahun), hepar (653,000 mortalitas/tahun) dan payudara (548,000 mortalitas/tahun). Mortalitas akibat kanker di seluruh dunia diperkirakan akan terus meningkat dan pada tahun 2030 angka mortalitasnya dapat mencapai 12 juta (Global Burden of Cancer, 2009).

Pada sebuah penelitian epidemiologi, diperkirakan akan terjadi peningkatan 99% penderita kanker pada tahun 2010 di negara berkembang dibandingkan pada tahun 1985. Di Indonesia, masalah penyakit kanker terlihat lonjakan yang luar biasa. Dalam jangka waktu 10 tahun, terlihat bahwa peringkat kanker sebagai penyebab kematian naik, dari peringkat dua belas menjadi peringkat enam. Setiap tahun diperkirakan terdapat 190 ribu penderita baru (Dinas Kesehatan Bone Bolango, 2007).

Kanker yang merupakan suatu kondisi dimana sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal sering merusak sistem kekebalan tubuh (Dinas Kesehatan Bone Bolango, 2007). Namun dalam kebanyakan kasus kanker maupun terapi


(15)

kanker itu sendiri yang menyebabkan penurunan sistem imun yang disebut sebagai immunosupresi dan meningkatkan resiko pasien terkena infeksi (American Cancer Society, 2009). Pengobatan dengan menggunakan radiasi dan zat sitotoksik dapat menyebabkan berkurangnya jumlah sel limfosit dan menurunnya sistem imunologi pasien kanker. Sekitar 90% penderita kanker meninggal karena infeksi dan trombosis (Harryanto, 2004).

Faktor-faktor yang menyebabkan tingginya kejadian infeksi pada penderita kanker antara lain adalah karena adanya luka lecet atau erosi pada kanker yang menyebabkan terbukanya kulit atau lapisan mukosa yang merupakan benteng pertahanan tubuh (barrier) yang melindungi tubuh dari dunia luar seperti pada kanker kulit, usus, leher rahim, kepala dan leher. Infeksi juga dapat terjadi karena adanya sumbatan akibat tekanan atau pertumbuhan kanker, seperti pada kanker paru, prostat dan saluran cerna. Selain itu, infeksi dapat terjadi karena penurunan daya tahan tubuh, tindakan pembedahan, tindakan diagnostik invasif, pemberian pengobatan suportif seperti pemberian makanan melalui infus, transfusi darah dan juga karena pemberian kemoterapi maupun radioterapi (Soedarso, 2009).

Sebagian besar infeksi pada pasien kanker terjadi di kulit atau usus. Berdasarkan American Cancer Society, 2009 jenis protozoa usus yang sering menyebabkan infeksi pada pasien kanker termasuk Cyclospora, Isospora, Microspora dan Cryptosporidia. Gejala yang paling menonjol pada pasien ini adalah diare berair di mana menurut National Cancer Institute’s (NCI’s) Common Toxicity Criteria, rata-rata 50-80% pasien kanker yang menjalani pengobatan kemoterapi menderita diare tingkat 3 (berat) dan 4 (life threatening). Pada umumnya, diare berair yang disebabkan oleh protozoa ini adalah self limiting dan tidak berbahaya kecuali pada pasien yang imunosupresi dan immunocompromise. Diare yang berkelanjutan pada pasien ini dapat


(16)

menyebabkan dehidrasi berat, obstruksi biliari, pankreatitis dan kematian (Greene, J.N., 2004).

Untuk mendiagnosis pasien yang terinfeksi protozoa perlu dilakukan pemeriksaan tinja dengan mendeteksi oosit pada tinjanya. Modified acid fast stain dapat digunakan secara rutin untuk menemukan oosit Cryptosporidium, Cyclospora, dan Isospora (Chacon, C.E. dan Mitchell, D.K).

Berdasarkan paparan di atas dapat dilihat pentingnya deteksi jenis protozoa usus yang infeksi pasien kanker. Hal ini adalah supaya dapat mencegah infeksi ataupun memberikan terapi awal dan mengurangi insidensi mortalitas akibat infeksi pada pasien imunosupresi ini.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Pada saat ini jumlah kasus mortalitas pasien kanker semakin meningkat. Salah satu faktor utama mortalitas pada pasien imunosupresi ini adalah infeksi. Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “ Berapa besar prevalensi infeksi protozoa usus pada pasien kanker di RSUP Haji Adam Malik, Medan? ”

1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 TUJUAN UMUM

Mengetahui prevalensi infeksi protozoa usus pada pasien kanker yang sedang menjalani terapi.


(17)

1.3.2 TUJUAN KHUSUS

Yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui jumlah pasien kanker yang terdapat di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik, Medan.

2. Mengetahui jumlah kasus penyakit kanker pada golongan umur dewasa (18-65 tahun).

3. Untuk mengetahui prevalensi infeksi protozoa usus pada pasien kanker yang sedang menjalani terapi.

4. Untuk mengetahui protozoa usus yang paling banyak menginfeksi pada penderita kanker di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik, Medan.

5. Untuk mengetahui jenis protozoa usus yang dapat menyebabkan diare pada pasien kanker dengan terapi.

1.4 MANFAAT

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :

1. Bagi masyarakat – Mengerti tentang bahayanya infeksi protozoa usus pada pasien kanker sehingga boleh menyebabkan mortalitas.

2. Bagi institusi kesehatan / pendidikan - Sebagai masukan kepada Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik, Medan untuk mengurangkan infeksi opurtunistik protozoa usus pada pasien kanker sehingga dapat merencanakan suatu strategi pelayanan kesehatan yang dapat mengobati


(18)

3. Bagi peneliti – Dapat mengembangkan kemampuan dalam bidang penelitian serta mengasah kemampuan analisis data sekaligus menambah ilmu tentang topik yang dipilih ini.


(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker

2.1.1 Definisi dan Epidemiologi Penyakit Kanker

Kanker adalah istilah yang digunakan untuk suatu kondisi di mana sel telah kehilangan pengendalian dan mekanisme normalnya sehingga mengalami pertumbuhan yang tidak normal, cepat, dan tidak terkendali (Dinas Kesehatan Kab Bone Bolango, 2007). Terdapat lebih daripada 100 jenis kanker dan setiapnya diklasifikasi berdasarkan jenis sel yang terlibat. Sejalan dengan pertumbuhan dan kembang biaknya, sel-sel kanker membentuk suatu massa dari jaringan ganas yang menyusup ke jaringan sehat di sekitarnya yang dikenal sebagai invasif. Di samping itu, sel kanker dapat menyebar (metastasis) ke bagian alat tubuh lainnya yang jauh dari tempat asalnya melalui pembuluh darah dan pembuluh getah bening sehingga tumbuh kanker baru di tempat lain dan hasilnya adalah suatu kondisi serius yang sangat sulit untuk diobati.

Organisasi Penanggulangan Kanker Dunia (UICC) maupun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, diperkirakan angka kejadian kanker di dunia meningkat 300 persen pada 2030, terutama di negara-negara berkembang, seperti Indonesia (KOMPAS, 2009). Di Indonesia, kanker menduduki peringkat keenam sebagai penyebab kematian dan sekitar 800.000 orang Indonesia terserang kanker setiap tahun (Suara Pembaruan Daily, 2007). Hal ini sejalan dengan pernyataan Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada Kabinet Indonesia Bersatu, Siti Fadilah Supari (2005), menyatakan bahwa kanker telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat Indonesia. Begitu pula dalam


(20)

sambutannya ketika merasmikan 1st International Scientific Meeting Indonesian Society of Surgical Oncologist/ISSO), beliau menyatakan bahwa jumlah pasien kanker di Indonesia mencapai 6% dari 200 juta lebih penduduk Indonesia (Siswono, 2005).

Jenis kanker tersering berbeda antara pria dan wanita di mana pada pria kanker yang sering adalah kanker paru, lambung, hepar, kolorektal, esofagus, dan prostat manakala pada wanita adalah kanker payudara, paru, lambung, kolorektal, dan serviks (WHO, 2008). Apabila penyakit ini dapat dideteksi pada tahap awal, maka lebih daripada separuh penyakit kanker dapat dicegah, bahkan dapat disembuhkan dan perlu redefinisi dalam pelayanan kesehatan dari pengobatan ke promosi dan preventif (DETAK, 2007). Tetapi hasil diagnosis kanker menyatakan bahwa 80% penderita kanker ditemukan pada stadium lanjut yaitu stadium 3 dan stadium 4 (Kompas, 2002). Pada tahap ini kanker sudah menyebar ke bagian-bagian lain di dalam tubuh sehingga semakin kecil peluang untuk sembuh dan pulih. Keadaan di atas menjadi salah satu penyebab meningkatnya penyakit kanker di Indonesia.

WHO pula menyatakan bahwa sepertiga sampai setengah dari semua jenis kanker dapat dicegah, sepertiga dapat disembuhkan bila ditemukan pada stadium dini (DETAK, 2007). Oleh karena itu, upaya mencegah kanker dengan menemukan kanker pada stadium dini merupakan upaya yang penting karena disamping membebaskan masyarakat dari penderitaan kanker juga menekan biaya pengobatan kanker yang mahal (Siswono, 2005). Jika pencegahan kanker dilakukan oleh masing-masing individu, maka hal tersebut akan berdampak besar dalam mengurangi angka kejadian kanker di dunia.


(21)

2.1.2 Klasifikasi Kanker

Ada lima kelompok besar yang digunakan untuk mengklasifikasikan kanker yaitu karsinoma, sarkoma, limfoma, adenoma dan leukemia (National Cancer Institute, 2009).

1. Karsinoma ialah kanker yang berasal dari kulit atau jaringan yang menutupi organ internal.

2. Sarkoma ialah kanker yang berasal dari tulang, tulang rawan, lemak, otot, pembuluh darah, atau jaringan ikat.

3. Limfoma ialah kanker yang berasal dari kelenjar getah bening dan jaringan sistem kekebalan tubuh.

4. Adenoma ialah kanker yang berasal dari tiroid, kelenjar pituitari, kelenjar adrenal, dan jaringan kelenjar lainnya.

5. Leukemia ialah kanker yang berasal dari jaringan pembentuk darah seperti sumsum tulang dan sering menumpuk dalam aliran darah.

2.1.3 Jenis-jenis kanker umum

Daftar jenis kanker yang umum termasuk kanker yang didiagnosis dengan frekuensi terbesar di mana kejadian tahunan untuk tahun 2008 diperkirakan harus 35.000 kasus atau lebih. Tabel berikut memberikan perkiraan jumlah kasus baru dan kematian untuk setiap jenis kanker yang umum:

Kanker Jenis Perkiraan Kasus

Baru

Estimasi Kematian


(22)

(gabungan) 148.810 49.960

40.100 7.470

46.232 11.059

44.270 21.710

161.840

62.480 8.420

66.120 19.160

37.680 34.290

186.320 28.660

> 1.000.000 <1.000

37.340 1.590

Tabel 2.1

(Sumber: US National Institutes of Health, Institut Kanker Nasional)

2.1.4 Faktor resiko

Terdapat empat faktor penyebab kanker seperti biologis, lingkungan, makanan dan psikologis. Keempat-empat faktor penyebab kanker tersebut dijelaskan seperti berikut:

2.1.4.1 Biologis (a) Keturunan

Sejumlah penelitian menemukan bahwa sekitar 5% dari kasus kanker diakibatkan oleh faktor keturunan. Faktor keturunan ini memang susah untuk dihindari (Arief, I., 2009).


(23)

(b) Hormon

Hormon estrogen yang berlebihan dalam tubuh dapat meningkatkan kemungkinan terjangkitnya kanker kandungan dan kanker payudara. Sedang hormon progesteron dapat mencegah timbulnya kanker endometrium, tetapi meningkatkan resiko kanker payudara. Kedua jenis hormon tersebut banyak digunakan sebagai bahan pil KB maupun terapi hormon pada wanita menopause. Penggunaan jangka panjang dapat mengurangi resiko kanker kandungan dan endometrium, tetapi meningkatkan resiko kanker payudara dan kanker hepar (Kusmawan, E., 2009).

(c) Virus dan kuman

Virus human papilloma (HPV), merupakan penyebab utama kanker leher rahim dan dapat meningkatkan resiko timbulnya kanker jenis lain. Virus hepatitis B dan hepatitis C dapat memicu timbulnya kanker hati. Virus human T-cell leukemia/lymphoma (HTLV-1) meningkatkan resiko limfoma dan leukemia. Virus human immunodefisiensi (HIV) yang dikenal sebagai penyebab AIDS ini meningkatkan resiko limfoma dan Kaposi’s sarcoma. Virus Epstein-Barr meningkatkan resiko terjangkitnya limfoma. Virus human herpes 8 (HHV8) dapat menyebabkan Kaposi’s sarcoma. Helicobacter pylori penyebab luka lambung dan usus juga dapat menimbulkan kanker di sepanjang saluran pencernaan. Untuk mengurangi kemungkinan tertular virus/bakteri tersebut, hindari berganti-ganti pasangan seksual, juga jangan saling bertukar sikat gigi, jarum, sisir, peralatan makan, dan sebagainya (Kusmawan, E., 2009).


(24)

2.1.4.2 Lingkungan (DETAK, 2007 dan Harnawatiaj, 2008) (a) Tembakau

Asap rokok/tembakau yang dihirup baik perokok aktif maupun perokok pasif dapat menyebabkan kanker paru, pita suara, mulut, tenggorokan, ginjal, kandung kencing, kerongkongan, perut, pankreas, leukemia, dan leher rahim. Bukan hanya asapnya, bahkan sering menghirup aroma tembakau serta mengunyahnya juga dapat menyebabkan kanker.

(b) Penyinaran yang berlebihan

Sinar matahari pagi baik untuk kesehatan. Tetapi sinar matahari siang yang banyak mengandung ultraviolet dapat menyebabkan kanker kulit. Sinar ultraviolet dapat menembus kaca, pakaian yang tipis, juga dapat dipantulkan oleh pasir, air, salju, dan es. Perlu diingat bahwa lampu-lampu ultraviolet yang banyak dijual di toko juga dapat menyebabkan kanker.

(c) Polusi udara

Menurut Chen Zichou, seorang ahli Institut Penelitian Kanker mengatakan, penyebab utama meningkatnya jumlah kanker di China disebabkan polusi udara, lingkungan, dan kondisi air yang kian hari kian memburuk.

2.1.4.3 Makanan

Banyak zat kimia yang ditambahkan dalam makanan dapat menjadi pemicu kanker, misalnya zat pengawet, pewarna buatan, pemanis buatan dan perasa buatan. Padahal, hampir semua makanan/minuman produksi pabrik atau yang dijual di restoran mengandung zat-zat tambahan tersebut. Selain itu, kebanyakan sayur-sayuran dan buah-buahan ditanam dengan mengandalkan pupuk buatan


(25)

dan pestisida. Makanan yang dipanggang, dibakar, atau digoreng dengan minyak jelantah juga berpotensi menyebabkan kanker (Cancer Helps, 2009).

2.1.4.4 Psikologis (a) Stress

Kondisi stress dapat melemahkan respon imunitas tubuh. Menurunnya sistem imunitas ini mempermudah sel-sel kanker menyerang tubuh karena kemampuan sel imun untuk mengenal dan melawan musuh tidak dapat berfungsi secara baik.

2.1.5 Patogenesis Terjadinya Penyakit Kanker

Semua kanker bermula dari sel, yang merupakan unit dasar kehidupan tubuh. Untuk memahami kanker, sangat penting untuk mengetahui apa yang terjadi ketika sel-sel normal menjadi sel kanker. Tubuh terdiri dari banyak jenis sel. Sel-sel tumbuh dan membelah secara terkontrol untuk menghasilkan lebih banyak sel seperti yang dibutuhkan untuk menjaga tubuh sehat. Ketika sel menjadi tua atau rusak, mereka mati dan diganti dengan sel-sel baru. Kematian sel terprogram ini disebut apoptosis, dan ketika proses ini rusak, kanker mulai terbentuk. Sel dapat mengalami pertumbuhan yang tidak terkendali jika ada kerusakan atau mutasi pada DNA. Empat jenis gen yang bertanggung jawab untuk proses pembelahan sel yaitu onkogen yang mangatur proses pembahagian sel, gen penekan tumor yang menghalang dari pembahagian sel, suicide gene yang kontrol apoptosis dan gen DNA-perbaikan menginstruksikan sel untuk memperbaiki DNA yang rusak. Maka, kanker merupakan hasil dari mutasi DNA onkogen dan gen penekan tumor sehingga menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak terkendali (National Cancer Institute, 2009).


(26)

Sel-sel tambahan ini dapat membentuk massa jaringan yang disebut tumor. Namun, tidak semua jenis tumor itu kanker. Tumor dapat dibagikan sebagai tumor jinak dan ganas di mana yang jinak dapat dihapus dan tidak menyebar ke bagian tubuh lain manakala tumor ganas merupakan kanker yang dapat menyerang jaringan sekitar dan menyebar ke bagian tubuh lain.Beberapa kanker tidak membentuk tumor misalnya leukemia (National Cancer Institute, 2009).

2.1.6 Gejala kanker

Gejala kanker cukup bervariasi dan tergantung lokasi kanker, tahap penyebaran, dan saiz tumor. Beberapa kanker dapat dirasakan atau dilihat melalui kulit seperti benjolan pada payudara atau testikel dan dapat dijadikan indicator lokasi kanker tersebut. Kanker kulit sering diidentifikasi dengan perubahan kutil atau tahi lalat pada kulit. Beberapa kanker mulut memberikan gambaran bercak putih di dalam mulut atau bintik putih di lidah.

Jenis kanker lain memiliki gejala yang kurang jelas secara fisik. Beberapa tumor otak cenderung menampilkan gejala awal penyakit karena mereka mempengaruhi fungsi kognitif penting. Kanker pankreas biasanya terlalu kecil untuk menyebabkan gejala sehingga rasa sakit terjadi akibat dorongan terhadap saraf terdekat. Selain daripada itu, ia juga mengganggu fungsi hati sehingga tampilan kulit dan mata menguning yang dikenal sebagai ikterus. Gejala juga dapat terjadi akibat tumor yang menyebabkan penekanan terhadap organ dan pembuluh darah. Misalnya, kanker kolon dapat menyebabkan gejala seperti sembelit, diare, dan perubahan ukuran tinja. Kanker kandung kemih atau prostat dapat menyebabkan perubahan dalam fungsi kandung kemih (American Cancer Society, 2010).


(27)

Disebabkan sel kanker menggunakan energi tubuh dan mengganggu fungsi normal hormon, terdapat kemungkinan besar untuk memperlihatkan gejala seperti demam, lelah, keringat berlebihan, anemia, dan penurunan berat badan tanpa sebab. Pada pasien kanker paru-paru atau tenggorokan akan presentasi simptom seperti batuk dan suara serak (American Cancer Society, 2010).

Ketika kanker menyebar atau bermetastasis, gejala tambahan dapat dilihat di area baru yang terkena dampak. Bengkak atau pembesaran kelenjar getah bening merupakan gejala awal. Jika kanker menyebar ke otak, pasien mungkin mengalami vertigo, sakit kepala, atau kejang manakala penyebaran ke paru-paru dapat menyebabkan batuk dan sesak napas. Selain itu, hati dapat membesar dan menyebabkan penyakit kuning dan tulang bisa rapuh, dan mudah patah. Gejala metastasis akhirnya tergantung pada lokasi kanker menyebar (Fayed, L., 2009).

2.1.7 Diagnosis kanker

Deteksi dini kanker dapat meningkatkan pengobatan yang berhasil dan prognosis baik. Dokter menggunakan informasi dari gejala dan beberapa prosedur lain untuk mendiagnosis kanker. Teknik pencitraan seperti X-ray, CT scan, MRI scan, PET scan, dan ultrasound digunakan secara teratur untuk mendeteksi lokasi tumor. Dokter juga dapat melakukan endoskopi.

Pengekstrakan sel-sel kanker dan melihat di bawah mikroskop adalah satu-satunya cara mutlak untuk mendiagnosis kanker. Prosedur ini disebut biopsi. Tes diagnostik molekul yang sering digunakan juga seperti menganalisis lemak, protein, dan DNA pada tingkat molekul. Sebagai contoh, sel-sel kanker prostat mensekresi zat kimia yang disebut PSA (prostate-specific antigen) ke dalam aliran darah yang dapat dideteksi oleh tes darah. Molekuler diagnostik, biopsi,


(28)

dan teknik pencitraan digunakan secara bersama-sama untuk mendiagnosis kanker (Crosta, P., 2010).

2.1.8 Stadium kanker

Sistem TNM adalah salah satu sistem pementasan yang paling umum digunakan. Sistem ini telah diterima oleh International Union Against Cancer (UICC) dan American Joint Committee on Cancer (AJCC). Kebanyakan fasilitas medis menggunakan sistem TNM sebagai metode utama untuk pelaporan kanker termasuk National Cancer Institute (NCI).

Sistem TNM ini berdasarkan pada besarnya tumor (T), tingkat penyebaran ke kelenjar getah bening (N), dan adanya metastasis (M). Nomor ditambahkan untuk setiap huruf untuk menunjukkan ukuran atau saiz tumor dan luasnya penyebaran.

Tumor Primer (T)

TX Tumor primer tidak dapat dievaluasi T0 Tidak ada bukti tumor primer

Tis

jaringan tetangga) T1, T2, T3,

T4

Ukuran dan / atau luas tumor primer


(29)

NX Kelenjar getah bening regional tidak dapat dievaluasi N0 Tidak ada keterlibatan kelenjar getah bening regional

(kanker tidak ditemukan pada kelenjar getah bening) N1, N2, N3 Keterlibatan kelenjar getah bening regional (jumlah dan /

atau luas menyebar)

Tabel 2.3 Metastasis jauh (M)

MX Metastasis jauh tidak dapat dievaluasi

M0 Tidak jauh metastasis (kanker belum menyebar ke bagian lain dari tubuh)

M1 Metastasis jauh (kanker telah menyebar ke bagian tubuh yang jauh)

Tabel 2.4 Tahap Definisi

Tahap 0 Karsinoma in situ (kanker dini yang hadir hanya di lapisan sel yang mulai).


(30)

dan III lebih luas: ukuran tumor yang lebih besar, dan / atau penyebaran kanker ke kelenjar getah bening terdekat dan / atau organ yang berdekatan dengan tumor primer. Tahap IV Kanker telah menyebar ke organ lain.

Tabel 2.5

(Sumber : International Union Against Cancer (UICC) dan American Joint Committee on Cancer (AJCC), 2009)

2.1.9 Terapi kanker

Terapi kanker tergantung pada jenis kanker, stadium kanker, usia, status kesehatan, dan karakteristik pribadi tambahan. Tidak ada pengobatan tunggal untuk kanker dan pasien sering menerima kombinasi terapi dan perawatan paliatif. Perawatan biasanya termasuk dalam salah satu kategori seperti operasi, radiasi, kemoterapi, immunoterapi, terapi hormon, atau terapi gen.

Prinsip kerja pengobatan ini adalah dengan membunuh sel - sel kanker, mengontrol pertumbuhan sel kanker, dan menghentikan pertumbuhannya agar tidak menyebar dan mengurangi gejala-gejala yang disebabkan oleh kanker. 2.1.9.1 Operasi

Pembedahan merupakan pengobatan tertua untuk kanker. Jika kanker belum bermetastasis, kemungkinan besar pasien dapat disembuhkan sepenuhnya hanya dengan menyingkirkan tumor dengan operasi. Hal ini sering terlihat pada penyingkiran prostat, payudara atau testis. Setelah penyakit ini telah menyebar, tidak mungkin dapat menyingkirkan semua sel kanker. Operasi juga dapat


(31)

berperan besar dalam membantu untuk mengontrol gejala seperti gangguan pencernaan atau kompresi sumsum tulang belakang (Crosta, P., 2010).

2.1.9.2 Radioterapi

Radioterapi berarti pengobatan kanker dengan menggunakan sinar radioaktif. Sinar X, elektron, dan sinar γ (gamma) banyak digunakan dalam pengobatan kanker disamping partikel lain. Pada prinsipnya apabila berkas sinar radioaktif atau partikel dipaparkan ke jaringan, maka akan terjadi berbagai peristiwa antara lain peristiwa ionisasi molekul air yang mengakibatkan terbentuknya radikal bebas di dalam sel yang pada gilirannya akan menyebabkan kematian sel. Lintasan sinar juga menimbulkan kerusakan akibat tertumbuknya DNA yang dapat diikuti kematian sel. Radioterapi digunakan sebagai pengobatan mandiri untuk mengecilkan tumor atau menghancurkan sel-sel kanker termasuk yang berkaitan dengan leukemia dan limfoma, dan juga digunakan dalam kombinasi dengan pengobatan kanker lain (Siswono, 2002).

2.1.9.3 Kemoterapi

Kemoterapi terkadang merupakan pilihan pertama untuk menangani kanker. Kemoterapi bersifat sistematik, berbeda dengan radiasi atau pembedahan yang bersifat setempat, karenanya kemoterapi dapat menjangkau sel-sel kanker yang mungkin sudah menjalar dan menyebar ke bagian tubuh yang lain. Penggunaan kemoterapi berbeda-beda pada setiap pasien, kadang-kadang sebagai pengobatan utama, pada kasus lain dilakukan sebelum atau setelah operasi dan radiasi. Tingkat keberhasilan kemoterapi juga berbeda-beda tergantung jenis kankernya. Kemoterapi biasa dilakukan di rumah sakit, klinik swasta, tempat praktek dokter, ruang operasi dan juga di rumah (Crosta, P., 2010).


(32)

2.1.9.4 Imunoterapi

Imunoterapi digunakan untuk merangsang sistem kekebalan tubuh untuk melawan kanker. Misal, vaksin yang terdiri dari antigen diperoleh dari sel tumor bisa menaikkan fungsi tubuh pada antibodi atau sel kekebalan (limfosit T). Walaupun mekanisme tepat pada tindakan tidak benar-benar jelas, interferon mempunyai tugas di dalam pengobatan beberapa kanker (Indonesian Pharmacist Update, 2009).

2.1.9.5 Terapi hormon

Kanker dikaitkan dengan beberapa jenis hormon, terutamanya kanker payudara dan kanker prostat. Terapi hormon dirancang untuk mengubah produksi hormon dalam tubuh sehingga sel-sel kanker berhenti berkembang atau dibunuh sepenuhnya. Terapi hormon kanker payudara sering fokus pada pengurangan kadar estrogen (obat umum untuk ini adalah tamoxifen) dan hormon terapi kanker prostat sering fokus pada pengurangan kadar testosteron. Selain itu, beberapa kasus leukemia dan limfoma dapat diobati dengan hormon kortison (Crosta, P., 2010).

2.2 Sistem Imun Tubuh 2.2.1 Definisi

Menurut Karnen Garna Baratawidjaja dalam buku Imunologi Dasar Edisi Ketiga, sistem imun ialah semua mekanisme pertahanan yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhan tubuh sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan oleh berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Fungsi sistem kekebalan tubuh adalah untuk melindungi tubuh dari infeksi dan penyakit. Sistem kekebalan tubuh bekerja untuk mengidentifikasi patogen dan sel-sel


(33)

tumor yang dapat menyebabkan penyakit dan mengeliminasi dari sistem tubuh. Tetapi, tugas ini adalah sanagat sulit karena patogen dan sel-sel buruk licik sehingga mereka dapat merancang ulang diri mereka dan beradaptasi dengan perubahan tubuh. Selain itu, ia juga berperanan dalam menyingkirkankan jaringan atau sel yg mati atau rusak untuk perbaikan jaringan (Baratawidjaja, 1998).

Sistem kekebalan tubuh manusia dibagi kepada dua, yaitu kekebalan tubuh non spesifik dan kekebalan tubuh spesifik. Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respon langsung terhadap antigen, sedang sistem imun spesifik membutuh waktu untuk mengenal antigen terlebih dahulu sebelum dapat memberikan responnya.

2.2.2 Sistem imun non spesifik

Sistem imun non spesifik ini dibagi kepada empat yaitu pertahanan fisik dan mekanik, pertahanan biokimiawi, pertahanan humoral serta pertahanan seluler. Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik ini, kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen ke dalam tubuh. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir yang rusak oleh asap rokok akan meninggikan risiko infeksi. Pertahanan biokimiawi adalah seperti asam hidroklorida dalam lambung, enzim proteolitik dalam usus, serta lisozim dalam keringat, air mata, dan air susu. Berbagai bahan dalam sirkulasi berperanan pada pertahanan humoral seperti komplemen, interferon, dan C-Reactive Protein. Komplemen berperan meningkatkan fagositosis dan mempermudah destruksi bakteri dan parasit. Interferon pula dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus. Di samping itu, ia juga dapat


(34)

mengaktifkan Natural Killer cell (sel NK). Fagosit, makrofag, sel NK dan sel K berperanan dalam sistem imun non spesifik selular dan berperan untuk menangkap, mamakan, membunuh dan akhirnya mencerna kuman (Baratawidjaja, 1998).

2.2.3 Sistem imun spesifik

Berbeda dengan sistem imun non spesifik, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Jika sel imun tersebut berpapasan kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Sistem imun spesifik terbagi antara humoral dan selular di mana yang berperan dalam humoral adalah limfosit B manakala pada selular adalah limfosit T. Antibodi yang dihasilkan sel B ini dapat pertahankan tubuh dari infeksi ekstraseluler virus dan bakteri serta menetralisir toksinnya. Fungsi utama sistem imun spesifik seluler pula untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit dan keganasan (Baratawidjaja, 1998).

2.2.4 Imunologi infeksi

2.2.4.1 Imunitas terhadap virus

Virus merupakan golongan mikroorganisme yang untuk proliferasi memerlukan sel hidup, karena tidak memiliki perangkat biokimiawi yang diperlukan untuk sintesis protein dan karbohidrat.Tubuh memerangi virus yang mempunyai berbagai fase infeksi. Sel K sebagai efektor pada Antibody


(35)

Dependent Cell Cytotoxicity (ADCC) yang mempunyai reseptor Fc, dengan bantuan antibody dan sel Tc ikut berperan pada pertahanan terhadap virus. Pada umumnya penghancuran virus di dalam sel menguntungkan tubuh, tetapi reaksi imun yang terjadi dapat menimbulkan pula kerusakan jaringan tubuh yang disebut imunopatologik (Baratawidjaja, 1998).

2.2.4.2 Imunitas terhadap bakteri

Pertahanan tubuh terhadap bakteri terdiri dari spesifik dan non spesifik. Epitel permukaan yang mempunyai fungsi proteksi akan membatasi masuknya bakteri ke dalam tubuh. Menurut sifat patologik dinding sel, bakteri dibagi menjadi gram negatif, gram positif, mycobacterium dan spirochaet. Struktur dinding sel bakteri yang sebenarnya menentukan jenis respon imun tubuh. Semua dinding sel bakteri mengandung membran lapisan dalam dan peptidoglikan. Bakteri gram negatif masih mempunyai lapisan luar dari lipid yang kadang-kadang mengandung lipopolisakarida (LPS). Enzim lisozim dapat menghancurkan lapisan peptidoglikan, sedang komplemen dapat menghancurkan lipid lapisan luar bakteri gram negatif. Susunan dinding mycobacterium sangat kompleks. Berbagai jenis bakteri mempunyai fimbriae atau flagella yang antigenik dan dapat bereaksi dengan antibodi. Beberapa bakteri mempunyai kapsul luar sehingga bakteri lebih resisten terhadap fagositosis. Pada akhir respon imun, semua bakteri dihancurkan fagosit. Bakteri yang resisten terhadap fagosit seperti M.Tuberkulosis atau parasit obligat intraseluler seperti M.leprae dikucilkan makrofag melalui pembentukkan granuloma atas pengaruh sel T (Baratawidjaja, 1998).

2.2.4.3 Imunitas terhadap jamur

Infeksi jamur biasanya hanya mengenai bagian luar tubuh saja, tetapi beberapa jamur dapat menimbulkan penyakit sistemis yang berbahaya, biasanya


(36)

memasuki paru dalam bentuk spora. Mekanisme bawaan lini pertama adalah adanya hambatan fisik berupa kulit dan selaput lendir, yang dilengkapi dengan membran sel, reseptor seluler dan faktor humoral. Untuk waktu yang lama dianggap bahwa kekebalan yang dimediasi sel (CMI) itu penting dan kekebalan humoral memiliki peran sedikit atau tidak ada. Secara umum, CMI tipe Th1 diperlukan untuk pembersihan infeksi jamur, sementara imunitas Th2 biasanya menghasilkan kerentanan terhadap infeksi. Makrofag yang diaktifkan limfokin dan sel T diduga dapat menghancurkan jamur melalui mekanisme seperti yang terjadi pada reaksi tipe IV (Blanco, JL dan Garcia ME, 2008).

2.2.4.4 Imunitas terhadap protozoa dan cacing

Infeksi parasit menimbulkan respon imun humoral dan seluler. Mekanisme mana yang lebih berperan tergantung pada jenis parasit. Infeksi parasit biasanya terjadi kronik dan kematian pejamu akan merugikan parasit sendiri. Infeksi yang kronik akan meningkatkan kadar imunoglobulin dalam sirkulasi, menimbulkan rangsangan antigen yang persisten dan pembentukan kompleks imun. Parasit dapat menimbulkan imunosupresi dan efek imunopatologik pada pejamu. Pada umumnya respon selular lebih efektif terhadap protozoa intraseluler, sedang antibodi lebih efektif terhadap parasit ekstraselular seperti dalam darah dan cairan jaringan. Sel T terutama sel Tc, dapat menghancurkan parasit intraseluler, misalnya T.cruzi. Limfokin yang dilepas oleh sel T yang disensitisasi dapat mengaktifkan makrofag untuk lebih banyak membentuk reseptor untuk Fc dan C3, berbagai enzim dan faktor lain yang dapat meninggikan sitotoksisitas (Baratawidjaja, 1998).

Cacing dalam lumen saluran cerna dapat dikeluarkan oleh sekresi selaput lendir usus. Dalam hal ini baik sel B maupun sel T ikut berperan. Se Th merangsang sel untuk membentuk antibodi spesifik, terutama IgE selama terjadi infeksi parasit. Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai


(37)

mitogen poliklonal yang T independen untuk sel B. Peranan antibodi dan imunitas selular bervariasi dan bergantung pada jenis infeksi. Eosinofil diduga mempunyai tiga efek terhadap infeksi cacing yaitu fagositosis kompleks antigen-antibodi, modulasi hipersensitivitas melalui inaktivasi mediator dan membunuh cacing tertentu melalui perantaraan IgG. Pengerahan eosinofil dipengaruhi mediator yang dilepas sel mastosit dan sel T. Di samping itu sel T berpengaruh pula atas pengeluaran eosinofil dari sumsum tulang (Baratawidjaja, 1998).

2.2.5 Imunologi Kanker

2.2.5.1 Respon imun terhadap sel kanker

Sel kanker dikenal sebagai nonself yang bersifat antigenik pada sistem imunitas tubuh manusia sehingga ia akan menimbulkan respons imun secara seluler maupun humoral. Imunitas humoral lebih sedikit berperan daripada imunitas seluler dalam proses penghancuran sel kanker, tetapi tubuh tetap membentuk antibodi terhadap antigen tumor. Dua mekanisme antibodi diketahui dapat menghancurkan target kanker yaitu, Antibody dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC) dan Complement Dependent Cytotoxicity. Pada ADCC antibodi IgG spesifik berikatan terhadap Tumor Associated Antigen (TAA) dan sel efektor yang membawa reseptor untuk bagian Fc dari molekul Ig. Antibodi bertindak sebagai jembatan antara efektor dan target. Antibodi yang terikat dapat merangsang pelepasan superoksida atau peroksida dari sel efektor. Sel yang dapat bertindak sebagai efektor di sini adalah limfosit null (sel K), monosit, makrofag, lekosit PMN (polimorfonuklear) dan fragmen trombosit. Ini akan mengalami lisis optimal dalam 4 sampai 6 jam (Halim, B dan Sahil, MF, 2001). Pada Complement Dependent Cytotoxicity, pengikatan antibodi ke


(38)

1,4,2,3,5,6,7,8,9. Komponen C akhir menciptakan saluran atau kebocoran pada permukaan sel tumor. IgM lebih efisien dibanding IgG dalam merangsang proses ini (Halim, B dan Sahil, MF, 2001).

Pada pemeriksaan patologi-anatomik tumor, sering ditemukan infiltrat sel-sel yang terdiri atas sel fagosit mononuklear, limfosit, sedikit sel plasma dan sel mastosit. Meskipun pada beberapa neoplasma, infiltrasi sel mononuklear merupakan indikator untuk prognosis yang baik, pada umumnya tidak ada hubungan antara infiltrasi sel dengan prognosis. Sistem imun yang nonspesifik dapat langsung menghancurkan sel tumor tanpa sensitisasi sebelumnya. Efektor sistem imun tersebut adalah sel Tc, fagosit mononuklear, polinuklear, Sel NK. Aktivasi sel T melibatkan sel Th dan Tc. Sel Th penting pada pengerahan dan aktivasi makrofag dan sel NK (Halim, B dan Sahil, MF, 2001).

Kontak langsung antara sel target dan limfosit T menyebabkan interaksi antara reseptor spesifik pada permukaan sel T dengan antigen membran sel target yang mencetuskan induksi kerusakan membran yang bersifat letal. Peningkatan kadar cyclic Adenosine Monophosphate (cAMP) dalam sel T dapat menghambat sitotoksisitas dan efek inhibisi Prostaglandin (PG) E1 dan E2 terhadap sitotoksisitas mungkin diperantarai cAMP. Mekanisme penghancuran sel tumor yang pasti masih belum diketahui walaupun pengrusakan membran sel target dengan hilangnya integritas osmotik merupakan peristiwa akhir. Pelepasan Limfotoksin (LT), interaksi membran-membran langsung dan aktifitas sel T diperkirakan merupakan penyebab rusaknya membrane. Interleukin (IL), interferon (IFN) dan sel T mengaktifkan pula sel NK. Lisis sel target dapat terjadi tanpa paparan pendahuluan dan target dapat dibunuh langsung. Kematian sel tumor dapat sebagai akibat paparan terhadap toksin yang terdapat dalam granula, produksi superoksida atau aktivitas protease serine pada permukaan sel efektor. Aktivitas NK dapat dirangsang secara in vitro dengan pemberian IFN.


(39)

Penghambatan aktivasi sel NK terlihat pada beberapa PG (PGE1, PGE2, PGA1 dan PGA2), phorbol ester, glukokortikoid dan siklofosfamid. Sel NC (Natural Cytotoxic) juga teridentifikasi menghancurkan sel tumor. Berbeda dengan sel NK, sel NC kelihatannya distimulasi oleh IL-3 dan relatif tahan terhadap glukokortikoid dan siklofosfamid (Halim, B dan Sahil, MF, 2001).

Selain itu, sitotoksisitas melalui makrofag menyebabkan makrofag yang teraktivasi berikatan dengan sel neoplastik lebih cepat dibanding dengan sel normal. Pengikatan khusus makrofag yang teraktivasi ke membran sel tumor adalah melalui struktur yang sensitif terhadap tripsin. Pengikatan akan bertambah kuat dan erat dalam 1 sampai 3 jam dan ikatan ini akan mematikan sel. Sekali pengikatan terjadi, mekanisme sitotoksisitas melalui makrofag berlanjut dengan transfer enzim lisosim, superoksida, protease, faktor sitotoksis yang resisten terhadap inhibitor protease dan yang menyerupai LT. Sekali teraktivasi, makrofag dapat menghasilkan PG yang dapat membatasi aktivasinya sendiri. Makrofag yang teraktivasi dapat menekan proliferasi limfosit, aktivitas NK dan produksi mediator. Aktivasi supresi dapat berhubungan dengan pelepasan PG atau produksi superoksida. Sebagai tambahan, makrofag dapat merangsang dan juga menghambat pertumbuhan sel tumor. Makrofag dapat pula berfungsi sebagai efektor pada ADCC terhadap tumor. Indometasin dapat menghambat efek perangsangan makrofag pada pertumbuhan tumor ovarium yang diperkirakan prostaglandin mungkin berperan sebagai mediatornya. Di samping itu makrofag dapat menimbulkan efek negatif berupa supresi yang disebut makrofag supresor. Hal tersebut dapat disebabkan oleh tumor itu sendiri atau akibat pengobatan (Halim, B dan Sahil, MF, 2001).

2.2.5.2 Mengapa kanker dapat luput dari pengawasan sistem imun


(40)

tumor lebih berpengaruh dibanding dengan faktor-faktor yang menekan tumor, sehingga terjadi apa yang dinamakan immunological escape kanker. Faktor-faktor yang mempengaruhi luputnya tumor dari pengawasan sistem imun tubuh sebagai berikut (Baratawidjaja, 1998) :

(a) Kinetik tumor (sneaking through)

Pada binatang yang diimunisasi, pemberian sel tumor dalam dosis kecil akan menyebabkan tumor tersebut dapat menyelinap (sneak through) yang tidak diketahui tubuh dan baru diketahui bila tumor sudah berkembang lanjut dan di luar kemampuan sistem imun untuk menghancurkannya. Mekanisme terjadinya tidak diketahui tapi diduga berhubungan dengan vaskularisasi neoplasma tersebut.

(b) Modulasi antigenik

Antibodi dapat mengubah atau memodulasi permukaan sel tanpa menghilangkan determinan permukaan.

(c) Masking Antigen

Molekul tertentu, seperti sialomucin, yang sering diikat permukaan sel tumor dapat menutupi antigen dan mencegah ikatan dengan limfosit.

(d) Penglepasan Antigen (Shedding Antigen)

Antigen tumor yang dilepas dan larut dalam sirkulasi, dapat mengganggu fungsi sel T dengan mengambil tempat pada reseptor antigen. Hal itu dapat pula terjadi dengan kompleks imun antigen antibodi.

(e) Toleransi


(41)

virus yang terjadi pada tikus-tikus tersebut akan menimbulkan toleransi terhadap virus tersebut dan virus sejenis.

(f) Limfosit yang terperangkap

Limfosit spesifik terhadap tumor dapat terperangkap di dalam kelenjar limfe. Antigen tumor yang terkumpul dalam kelenjar limfe yang letaknya berdekatan dengan lokasi tumor, dapat menjadi toleran terhadap limfosit setempat, tetapi tidak terhadap limfosit kelenjar limfe yang letaknya jauh dari tumor.

(g) Faktor genetik

Kegagalan untuk mengaktifkan sel efektor T dapat disebabkan oleh karena faktor genetik.

(h) Faktor penyekat

Antigen tumor yang dilepas oleh sel dapat membentuk kompleks dengan antibodi spesifik yang membentuk pejamu. Kompleks tersebut dapat menghambat efek sitotoksitas limfosit pejamu melalui dua cara, yaitu dengan mengikat sel Th sehingga sel tersebut tidak dapat mengenal sel tumor dan memberikan pertolongan kepada sel Tc.

(i) Produk tumor

PG yang dihasilkan tumor sendiri dapat mengganggu fungsi sel NK dan sel K. Faktor humoral lain dapat mengganggu respons inflamasi, kemotaksis, aktivasi komplemen secara nonspesifik dan menambah kebutuhan darah yang diperlukan tumor padat.


(42)

(j) Faktor pertumbuhan

Respons sel T bergantung pada IL. Gangguan makrofag untuk memproduksi IL-1, kurangnya kerjasama di antara subset-subset sel T dan produksi IL-2 yang menurun akan mengurangi respons imun terhadap tumor.

2.2.6 Defisiensi imun pada pasien kanker

Defisiensi imun harus dicurigai bila ditemukan tanda-tanda dari peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Defisiensi imun primer atau kongenital diturunkan tetapi defisiensi imun sekunder timbul dari berbagai faktor setelah lahir. Penyakit defisiensi imun tersering mengenai limfosit, komplemen dan fagosit. Defisiensi imun pada pasien kanker adalah dari faktor-faktor seperti berikut (Halim, B dan Sahil, MF, 2001) :

(a) Lokasi tumor

Pada gangguan keganasan sel B seperti mieloma multipel dan leukemia mielositik kronik dijumpai gangguan sel B poliklonal, defisiensi sel Th, kelebihan sel Ts dan penurunan rasio sel T4 : T8 pada tumor solid. Kelainan monosit dan sel T telah terlihat pada penderita karsinoma metastatik dan sarkoma, terutama stadium lanjut. Parahnya gangguan sel T bervariasi dari berbagai jenis tumor sesuai asalnya.

(b) Operasi

Depresi sel T dan B sementara terlihat pada kasus postoperatif. Gangguan imunitas maksimal terjadi selama minggu pertama setelah pembedahan, biasanya fungsi sel T akan kembali normal 1 bulan. Lama dan intensitas imunosupresi berhubungan dengan jumlah trauma operasi, lama prosedur dan


(43)

imunokompetensi sebelum operasi. Pembuangan jaringan limforetikuler dapat mengganggu fungsi imun. Penelitian pada pasien kanker menunjukkan bahwa, splenektomi dapat mempermudah timbulnya sepsis fulminan akibat bakteri. Peningkatan kerentanan terhadap infeksi ini berhubungan dengan umur, penyakit penyerta dan modalitas pengobatan kankernya. Tambahan radiasi kelenjar getah bening dan kemoterapi akan menyebabkan gangguan lebih besar terhadap fungsi sel B. Beberapa peneliti bahkan menggunakan injeksi penisilin profilaksis, vaksin pneumokokus pada pasien post splenektomi sebelum diberi kemoterapi atau radioterapi. Kerentanan ini disebabkan oleh menurunnya kemampuan fagositosis dan gangguan pembentukan antibodi dini.

(c) Radioterapi

Radiasi berpengaruh terhadap limfosit, sehingga akan mengalami kematian interfase dalam beberapa jam tanpa terjadinya mitosis. Sebelum rangsangan, antigen limfosit hanya menunjukkan kemampuan yang terbatas untuk memperbaiki kerusakan DNA akibat radiasi. Setelah rangsangan antigen, sel plasma maupun sel reflektor menjadi lebih radioresisten. Limfopenia terjadi bukan hanya akibat radiasi terhadap jaringan limfoid, tapi juga akibat destruksi limfosit pada daerah tepi. Level sel T dan B dapat berkurang, tergantung bagian yang diradiasi. Walaupun terjadi penurunan kadar sel B, respon humoral biasanya tetap. Radiasi limfoid total dapat menyebabkan penurunan yang menetap pada kadar sel T. Respon proliferatif sel T terhadap mitogen atau antigen histokompatibilitas dapat tertekan selama bertahun-tahun. Radiasi total badan dengan dosis besar dapat menyebabkan penurunan yang hebat dari seluruh sel limforetikuler tetapi untuk mencapai kembali rasio normal T4 : T8 perlu lebih dari setahun. Level monosit tidak menurun secara bermakna selama radioterapi dan kebanyakan makrofag resisten terhadap radiasi.


(44)

(d) Kemoterapi

Kebanyakan sitostatika bersifat imunosupresif kecuali Bleomisin dan Vincristin dalam dosis terapeutik. Kemoterapi intermiten biasanya kurang imunosupresif dibanding dengan tipe kontinu. Fungsi sel T dan B dapat kembali di antara seri pengobatan walaupun gangguan menetap dapat terlihat setelah pengobatan yang lama atau bila kemoterapi dan radiasi digabung. Glukokortikoid mempengaruhi fungsi dan resirkulasi pada darah tepi dan level limfosit lebih dipengaruhi dibanding monosit. Level sel T lebih dipengaruhi dibanding sel B dan sel T CD4 lebih terpengaruh dibanding sel T CD8. Pada kemoterapi dosis tinggi glukokortikoid dapat menghambat setiap fungsi sel limforetikuler, namun faktor inhibisi makrofag tetap dihasilkan. Kemampuan respon makrofag dan monosit terhadap mediator terhambat jelas. Kemampua n fagositosis monosit dipertahankan sedangkan fungsi bakterisidalnya dihambat. Siklosfosfamid mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap sel B dibanding sel T, dalam dosis rendah menghambat sel supresor dan meningkatkan efek sel T CD8 daripada sel T CD4, pada dosis lebih tinggi sel T CD8 dan sel T CD4 menurun (Ozer, H., 1986). Efek imunosupresif bahan pengalkil dan antimetabolit berhubungan sebagian dengan toksisitas terhadap sel yang berproliferasi. Bahan pengalkil seperti siklofosfamid dapat menekan produksi antibodi, sedangkan antimetabolit seperti 5 Fluorourasil, 6 Merkaptopurin dan Metotreksat akan efektif setelah pemberian antigen dan bila sel B sedang berproliferasi. Bila sel telah berhenti berproliferasi dan limfosit sudah matur maka respons seluler maupun humoral menjadi resisten terhadap agen sitotoksik.

(g) Gizi buruk

Semua sel membutuhkan nutrisi untuk berkembang dan bekerja. Kurangnya vitamin, mineral, kalori, dan protein dapat membuat sistem kekebalan tubuh lemah di mana ia kurang mampu menemukan dan menghancurkan kuman.


(45)

Ini berarti orang-orang yang kekurangan gizi lebih mungkin untuk mendapatkan infeksi. Orang dengan kanker sering memiliki gizi buruk karena berbagai alasan. Sebagai contohnya, kanker itu sendiri mungkin menyebabkan pasien sulit untuk makan atau mencerna makanan. Hal ini biasa terjadi pada orang dengan kanker sistem pencernaan, mulut, atau tenggorokan. Selain itu, perawatan kanker, seperti terapi radiasi dan kemoterapi, dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan dan mual. Di samping itu, pemulihan dari operasi meningkatkan kebutuhan tubuh akan nutrisi.

2.3 Infeksi opurtunistik pada pasien kanker 2.3.1 Definisi infeksi opurtunistik

Infeksi opurtunistik (IO) adalah infeksi yang disebabkan oleh patogen (bakteri, virus, jamur atau protozoa) yang menyebabkan penyakit hanya ketika sistem kekebalan inang terganggu. Pada pasien kanker, IO sering disebabkan oleh kuman yang tinggal di kulit, usus dan lingkungan (American Cancer Society, 2009).

2.3.2 Jenis-jenis infeksi opurtunistik pada pasien kanker 2.3.2.1 Bakteri

Beberapa bakteri yang sering menyebabkan infeksi pada pasien kanker termasuk (Lyman, G.H. dan Crawford, J., 2008) :


(46)

Klebsiella pneumonia

Escherichia coli (E. coli)

Salmonella

Clostridium difficile

Staphylococcus aureus

Staphylococcus epidemidis

Streptococcus viridans

Pneumococcus

Enterococcus 2.3.2.2 Virus

Beberapa virus pada orang dengan jumlah sel darah putih yang rendah (CancerHelp UK, 2009) :

Varicella zoster (VZV), virus yang menyebabkan cacar air dan herpes zoster

Herpes simplex (HSV), virus yang menyebabkan luka herpes genital dingin

Cytomegalovirus (CMV)

Influenza virus

Human respiratory syncytial virus (RSV)

2.3.2.3 Jamur

Jamur yang umumnya menginfeksi pasien kanker (American Cancer Society,2009) :

Pneumocystis jirovecii (sebelumnya dikenal sebagai P. carinii)

Candida

Aspergillus


(47)

Histoplasma

Coccidioides 2.3.2.4 Protozoa

Protozoa merupakan hewan bersel tunggal, berinti sejati (eukariotik) dan tidak memiliki dinding sel. Protozoa berasal dari kata protos yang berarti pertama dan zoom yang berarti hewan sehingga disebut sebagai hewan pertama. Ukurannya 1000 mikron dan merupakan organisme mikroskopis bersifat heterotrof. Tempat hidupnya adalah tempat yang basah yang kaya zat organik, air tawar atau air laut sebagai zooplakton, beberapa jenis bersifat parasit dan menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan ternak. Protozoa memiliki alat gerak yaitu ada yang berupa kaki semu, bulu getar (silia) atau bulu cambak (flagela). Beberapa protozoa memiliki fase vegetatif yang bersifat aktif yang disebut tropozoit dan fase dorman dalam bentuk sista. Tropozoit akan aktif mencari makan dan berproduksi selama kondisi lingkungan memungkinkan. Jika kondisi tidak memungkinkan kehidupan tropozoit maka protozoa akan membentuk sista. Sista merupakan bentuk sel protozoa yang terdehidrasi dan berdinding tebal mirip dengan endospora yang terjadi pada bakteri. Pada saat sista protozoa mampu bertahan hidup dalam lingkungan kering maupun basah. Pada umumnya berkembang biak dengan membelah diri (EDU2000, 2008).

Protozoa umum yang sering menyebabkan penyakit serius pada pasien kanker termasuk (American Cancer Society,2009) :

Toxoplasma gondii

Cryptosporidium

Cyclospora


(48)

Protozoa usus yang sering kali menyebabkan komplikasi pada pasien imunodefisiensi seperti pasien kanker ialah spore-forming protozoa seperti :

Cryptosporidium parvum

Isospora belli

Cyclospora cayetanensisc

Microsporidium spp

Infeksi daripada protozoa usus ini diasosiasi dengan alterasi substansial pada struktur dan fungsi usus. Namun, patogenesis terjadinya diare pada pasien yang terinfeksi belum pasti. Biasanya infeksi protozoa ini dapat memicu pengeluaran sitokin (Interleukin 8) oleh sel epitel yang akan mengaktivasi fagosit ke lamina propria. Fagosit yang diaktifkan ini akan mengeluarkan faktor solubel yang dapat meningkatkan sekresi klorida dan air serta menghambat absorbsi. Mediator lain seperti prostaglandin dan leukotrien pula bertindak pada saraf enterosit dan memicu sekresi usus. Kerusakan enterosit akibat invasi dan multiplikasi parasit ini mengakibatkan distorsi struktur vilus dan diasosiasi dengan malabsorbsi serta diare osmotik (Chacon, C.E., 2009).

Pada penderita immunocompromised, infeksi opurtunistik parasit usus memainkan peranan yang besar dalam menyebabkan diare kronik yang disertai dengan penurunan berat badan (Hammouda NA, et al, 1996). Manifestasi klinis yang sering ditunjukkan oleh pasien terinfeksi protozoa pembentuk spora ini adalah diare akut, kram perut, demam ringan, mual, dehidrasi serta penurunan berat badan akibat malabsorbsi. Diare pada pasien imunodefisiensi ini lebih sering, lama, dan sulit ditangani dibandingkan dengan pasien yang sistem kekebalannya normal. Infeksi daripada parasit ini hanya dapat ditegakkan diagnosanya dengan pemeriksaan tinja di mana sering dilakukan skrining untuk temukan oosit dan spora. Acid fast stain digunakan untuk melihat oosit


(49)

Cryptosporidium, Cyclospora, dan Isospora pada tinja dan aspirasi duodenal. Cryptosporidium dan Isospora dapat juga diidentifikasi pada biopsi intestinal dengan mikroskop cahaya. Leukosit dan eritrosit yang tidak dapat ditemukan pada tinja membantu membedakan daripada diare yang disebabkan oleh bakteria dan protozoa invasif seperti amoeba (Goodgame, R.W., 1996 dan American College of Physicians, 2004).


(50)

BAB 3

KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1 Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian pada dasarnya adalah kerangka hubungan antara konsep- konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian-penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo, S., 2005). Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian

Pasien kanker yang menjalani terapi kanker serta rawat inap di RSUP Haji Adam Malik, Medan.


(51)

3.2 Definisi Operasional

Berdasarkan kerangka konsep yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disusun definisi operasional.

(a) Definisi

Definisi penderita kanker harus memenuhi kriteria yaitu pasien dengan kondisi hilangnya pengendalian pembelahan sel yang sedang menjalani terapi seperti kemoterapi, radioterapi atau operasi. Pasien yang dipilih haruslah berada dalam lingkungan umur 18 hingga 65 tahun serta rawat inap.

(b) Cara ukur

Mengambil sampel feses dari pasien kanker rawat inap yang menjalani terapi di RSUP Haji Adam Malik, Medan dan dikirim ke Laboratorium Departemen Parasitologi FK USU untuk pemeriksaan laboratorium.

(c) Alat ukur

Pemeriksaan mikroskopis untuk menentukan jenis protozoa usus yang infeksi pasien kanker yang sedang menjalani terapi.

(d) Hasil ukur

Hasil pemeriksaan tinja positif bila dapat deteksi oosit atau spora protozoa manakala negatif sekiranya tidak dapat dideteksi.


(52)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif potong lintang (cross sectional) yang bertujuan untuk mengetahui prevalensi infeksi protozoa usus pada pasien kanker yang menjalani terapi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

4.2 Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1 Waktu Penelitian

Penelitian ini berlangsung selama 10 bulan, sejak peneliti menentukan judul, menyusun proposal hingga seminar hasil yang berlangsung sejak bulan Februari 2010 hingga November 2010.

4.2.2 Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan propinsi Sumatera Utara sebagai lokasi pengumpulan sampel manakala Laboratorium Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan sebagai lokasi pemeriksaan sampel.


(53)

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Penelitian

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek dan subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulan. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien kanker yang sedang menjalani terapi kanker seperti kemoterapi, operasi,dan radioterapi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan. 4.3.2 Sampel Penelitian

Dalam menentukan besarnya sampel peneliti dihitung dengan rumus (Notoadmodjo, S., 2005):

n = sampel

N = populasi (60 orang)

d = penyimpangan statistik dari sampel terhadap populasi ditetap

sebesar 0.10.

Berdasarkan rumus : n = 60 1 + 60 (0.1)2

= 37.5

Dari rumus di atas sampel yang diambil adalah sebesar 38 orang. n = N


(54)

4.3.2.1Cara Pemilihan Sampel

Penentuan sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik Consecutive Sampling yaitu semua subyek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai jumlah subyek yang diperlukan terpenuhi (Sudigdo, 2008). Sampel diambil secara kriteria inklusi dan eksklusi yaitu sebagai berikut:

(a) Kriteria inklusi :

(i) lingkungan umur 18-65 tahun (ii) laki-laki dan perempuan

(iii) termasuk semua jenis kanker seperti kanker paru, kanker usus, kanker payu dara, kanker serviks, kanker kelenjar prostat dan lain-lain.

(iv) terdiri daripada yang sedang menjalani terapi kanker seperti operasi, kemoterapi dan radioterapi.

(v) bersedia menjadi sampel penelitian (b) Kriteria eksklusi :

(i) pasien kanker yang rawat jalan

(ii) tidak bersedia menjadi sampel penelitian

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan memberikan wadah plastik kepada 38 orang pasien kanker yang rawat inap di RSUP H. Adam Malik untuk diisi dengan tinja. Selanjutnya sampel diperiksa di Laboratorium Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara dengan teknik kato dan pewarnaan kinyoun-gabbet. Jumlah sampel tinja yang


(55)

diperlukan ialah sekurang-kurangnya 2,5 cm untuk feses padat dan 15-30ml untuk feses cair.

4.5 Pengolahan dan Analisa Data

Hasil dari pemeriksaan laboratorium dimasukkan ke dalam komputer dan analisis data deskriptif diperoleh dengan menggunakan program komputer yaitu Statistical Product and Service Solution (SPSS) 17.0 dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.


(56)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1 Hasil Penelitian

Proses pengambilan data untuk penelitian ini telah dilakukan pada tanggal 5 Oktober 2010 sehingga 5 November 2010 di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan propinsi Sumatera Utara dengan jumlah sampel sebanyak 38 pasien kanker untuk mengetahui prevalensi infeksi protozoa usus. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, maka dapat disimpulkan hasil penelitian dalam paparan di bawah ini.

5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik merupakan rumah sakit kelas A sesuai dengan SK Menkes No. 335/Menkes/SK/VII/1990 serta rumah sakit milik pemerintah dan dikelola oleh Pemerintah Pusat bersama Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara. Rumah Sakit ini terletak di Jalan Bunga Lau, No. 17, Medan, Propinsi Sumatera Utara. Pada tanggal 11 Januari 1993 secara resmi Pusat Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan dipindahkan ke RSUP H. Adam Malik sebagai tanda dimulainya Soft Opening.


(57)

5.1.2 Deskripsi Karakteristik Responden

Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan umur

Umur Frekuensi Persentase (%)

< 20 2 5.3

21-30 5 13.2

31-40 3 7.9

41-50 11 28.9

51-60 12 31.6

> 60 5 13.2

Jumlah 38 100.0

Berdasarkan tabel 5.1, dapat diketahui bahwa sebaran responden menurut kelompok umur mayoritas terdiri daripada 51-60 tahun yaitu sebanyak 12 orang (31,6 %) manakala kelompok responden yang paling muda, < 20 tahun mencatatkan jumlah yang terkecil yaitu sebanyak dua orang (5,3 %). Responden yang paling tua, > 60 tahun berjumlah lima orang (13,2 %).

Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)

Laki – Laki 17 44.7

Perempuan 21 55.3

Jumlah 38 100.0


(58)

orang (55,3 %) dan yang selebihnya adalah laki-laki yaitu sebanyak 17 orang (44,7 %).

Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan jenis kanker

Jenis Kanker Frekuensi Persentase (%)

Adenokarsinoma 8 21.1

Payudara 8 21.1

Kolorektal 2 5.3

Paru 2 5.3

Nasofaring 9 23.7

Ovarium 3 7.9

Rektum 1 2.6

Sel skuamous 1 2.6

Sinonasal 2 5.3

Testis 1 2.6

Lidah 1 2.6

Jumlah 38 100.0

Jumlah sampel yang diambil untuk penelitian ini adalah sebanyak 38 orang tidak kira jenis kankernya. Responden yang menderita karsinoma nasofaring mencatatkan jumlah yang paling tinggi yaitu sebanyak sembilan orang (23,7 %) manakala responden dengan kanker rektum, testis, lidah dan karsinoma sel skuamous paling sedikit jumlahnya yaitu masing-masing sebanyak satu orang (2,6 %).


(59)

Tabel 5.4 Distribusi responden berdasarkan jenis terapi

Jenis Terapi Frekuensi Persentase (%)

Kemoterapi 18 47.4

Radioterapi 6 15.8

Kemoterapi dan radioterapi 11 28.9

Operasi dan kemoterapi 3 7.9

Jumlah 38 100.0

Berdasarkan tabel 5.4, responden paling banyak menjalani kemoterapi yaitu sebanyak 18 orang (47,4 %) diikuti kombinasi kemoterapi dan radioterapi berjumlah 11 orang (28,9 %) manakala paling sedikit responden yang diterapi dengan kombinasi operasi dan kemoterapi yaitu seramai tiga orang (7,9 %).

5.1.3 Hasil Analisis Data 5.1.3.1 Infeksi Protozoa Usus

Hasil uji infeksi protozoa usus pada pasien kanker dengan melakukan tes laboratorium dapat dilihat pada tabel 5.5.

Tabel 5.5 Hasil analisis infeksi protozoa usus

Infeksi Protozoa Usus Frekuensi Persentase (%)

Negatif 35 92.1

Positif 3 7.9


(60)

Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa prevalensi infeksi protozoa usus pasien kanker Rumah Sakit Pusat Haji Adam Malik, Medan adalah 7,9 % yaitu sebanyak tiga orang dan 35 orang (92,1 %) mencatatkan hasil negatif infeksi protozoa usus.

Tabel 5.6 Distribusi frekuensi infeksi protozoa usus berdasarkan umur

Umur Infeksi Protozoa Jumlah

positif % Negative %

< 20 0 0 2 100 2

21-30 0 0 5 100 5

31-40 0 0 3 100 3

41-50 0 0 11 100 11

51-60 0 0 12 100 12

> 60 3 60 2 40 5

Jumlah 3 7,9 35 92,1 38

Berdasarkan tabel 5.6 dapat diketahui bahwa hanya kelompok umur > 60 tahun sahaja yang mencatatkan hasil positif infeksi protozoa usus yaitu sebanyak tiga orang (60%).


(61)

Tabel 5.7 Distribusi frekuensi infeksi protozoa usus berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin

Infeksi Protozoa Jumlah positif % negatif %

Laki-laki 1 5,9 16 94,1 17

Perempuan 2 9,5 19 90,5 21

Jumlah 3 7,9 35 92,1 38

Berdasarkan tabel 5.7, dua pasien perempuan (9,5 %) daripada 21 orang dan hanya seorang laki – laki (5,9 %) daripada 17 orang menunjukkan hasil positif infeksi protozoa usus.


(62)

Tabel 5.8 Distribusi frekuensi infeksi protozoa usus berdasarkan jenis kanker

Jenis Kanker Infeksi Protozoa Jumlah positif % negatif %

Adenokarsinoma 1 12,5 7 87,5 8

Payudara 1 12,5 7 87,5 8

Kolorektal 0 0 2 100 2

Paru 0 0 2 100 2

Nasofaring 1 11,1 8 88,9 9

Ovarium 0 0 3 100 3

Rektum 0 0 1 100 1

Sel skuamous 0 0 1 100 1

Sinonasal 0 0 2 100 2

Testis 0 0 1 100 1

Lidah 0 0 1 100 1

Jumlah 3 7,9 35 92,1 38

Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa hasil positif infeksi protozoa usus pada pasien yang menderita adenokarsinoma dan kanker payudara ialah masing-masing 12,5 % diikuti karsinoma nasofaring sebanyak 11,1 %.


(63)

Tabel 5.9 Distribusi frekuensi infeksi protozoa usus berdasarkan jenis terapi

Jenis Terapi Infeksi Protozoa Jumlah

Positif % negatif %

Kemoterapi 0 0 18 100 18

Radioterapi 0 0 6 100 6

Kemoterapi dan radioterapi

3 27,3 8 72,7 11

Operasi dan kemoterapi

0 0 3 100 3

Jumlah 3 7,9 35 92,1 38

Berdasarkan tabel 5.9, ketiga-tiga pasien yang menunjukkan hasil laboratorium positif infeksi protozoa usus menjalani kombinasi radioterapi dan kemoterapi dengan persentase 27,3 %.

Tabel 5.10 Distribusi frekuensi infeksi protozoa usus berdasarkan stadium kanker

Stadium Kanker

Infeksi Protozoa Jumlah

Positif % negatif %

1 0 0 2 100 2

2 0 0 11 100 11

3 1 6,7 14 93,3 15

4 2 20 8 80 10


(64)

Tabel 5.10 menunjukkan bahwa dua pasien (20 %) yang hasilnya positif, menderita kanker stadium 4 manakala seorang lagi (6,7 %) menderita kanker stadium 3.

5.2 Pembahasan

5.2.1 Prevalensi Infeksi Protozoa Usus

Dari hasil penelitian yang telah disajikan diatas dapat dirumuskan bahwa prevalensi infeksi protozoa usus pada pasien kanker yang sedang menjalani terapi ialah 7,9 % yaitu sebanyak tiga orang daripada 38 orang. Menurut American Cancer Society, 2009, protozoa usus yang sering kali menyebabkan komplikasi pada pasien imunodefisiensi seperti pasien kanker ialah spore-forming protozoa seperti Cryptosporidium, Isospora, Cyclospora dan Microsporidium spp.

Pada penelitian ini, yang menarik adalah, daripada tiga hasil positif infeksi protozoa usus, hanya pada satu sampel ditemukan ookista Cryptosporidium manakala pada dua sampel lagi ditemukan kista Entamoeba Histolytica sebagai penyebab diare. Selain daripada itu, juga ditemukan telur A.Lumbricoides, T.Trichiura dan cacing tambang. Jika dilihat pada skop yang lebih kecil, prevalensi Cryptosporidium pada pasien kanker adalah 2,6 %. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sreedharan, A dkk. (1996) mengenai infeksi protozoa pada pasien kanker, yang menemukan ookista Cryptosporidium pada 7 dari 560 sampel tinja (1,3 %).

Prevalensi ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan studi yang dilakukan oleh Tanyuksel, M., dkk. (1995) di Turkey di mana 18 daripada 106 sampel tinja menunjukkan hasil positif infeksi protozoa usus (17 %). Juga terdapat penelitian dengan prevalensinya 0% di mana tidak ditemukan kista


(65)

maupun ookista protozoa pada 111 pasien kanker yang sedang menjalani terapi. Hasil yang bervariasi ini dipertimbangkan disebabkan oleh beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko terinfeksi, yaitu usia, jenis terapi, stadium kanker serta kualitas hidup.

5.2.2 Distribusi Frekuensi Infeksi Protozoa Usus Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Jenis Kanker, Jenis Terapi dan Stadium Kanker.

Ketiga-tiga hasil positif yang diperoleh daripada hasil laboratorium tergolong dalam kelompok umur yang paling tua yaitu lebih daripada 60 tahun (Tabel 5.6) yaitu sebanyak 60 %. Hal ini menunjukkan umur mempengaruhi kerentanan tubuh terhadap infeksi opurtunistik. Semakin meningkatnya umur, semakin menghilang kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau mengganti diri serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya. Hal ini secara langsung menyebabkan kekebalan tubuh menurun dan ini sering dikaitkan dengan perubahan dalam respon sel T sehingga mudah terjadi infeksi oportunistik (Ginaldi, L., dkk., 1992).

Selain itu, berdasarkan tabel 5.7, wanita mencatatkan persentase infeksi protozoa usus lebih tinggi dibanding laki-laki (perempuan : 9,5 % ; laki-laki : 5,9). Perkara ini mungkin karena secara keseluruhan, lima jenis kanker yang menjadi perhatian utama di Indonesia yakni, kanker serviks, payudara, nasofaring, kolorektal dan paru (Supriyato, 2010). Semakin tinggi populasi, semakin tinggi probabilitas untuk terjadinya infeksi.

Infeksi protozoa usus berdasarkan jenis kanker tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 5.8), padahal jenis kanker sangat mempengaruhi insidensi terjadinya infeksi oportunistik. Salah satu komplikasi yang paling umum dalam merawat pasien dengan kanker hematologi adalah infeksi (Anaissie,


(66)

E.J., 2003). Menurut Gentile, G. dkk., 1991, dalam penelitiannya, daripada 220 sampel tinja pasien kanker hematologi 83,2% menunjukkan hasil positif.

Radiasi sangat berpengaruh terhadap limfosit, sehingga akan mengalami kematian interfase dalam beberapa jam tanpa terjadinya mitosis. Kemoterapi juga turut bersifat imunosupresif. Ia sangat mempengaruhi level limfosit dan sel T. Defisiensi sistem imun pada pasien yang menjalani terapi ini dapat meningkatkan risiko terkena infeksi. Fungsi sel T dapat kembali di antara seri pengobatan tetapi gangguan menetap dapat terlihat setelah pengobatan lama atau bila kemoterapi dan radioterapi digabung (Halim, B dan Sahil, MF, 2001). Hal ini dapat dilihat daripada hasil penelitian ini di mana 27,3 % pasien yang menunjukkan hasil positif adalah pasien yang sedang menjalani kombinasi kemoterapi dan radioterapi.

Berdasarkan hasil penelitian, dua pasien (20 %) yang hasilnya positif, menderita kanker stadium 4 manakala seorang lagi (6,7 %) menderita kanker stadium 3 (Tabel 5.10). Kedua-dua stadium ini dikategorikan sebagai stadium lanjut (National Cancer Institute, 2009). Infeksi yang terjadi pada pasien kanker stadium lanjut adalah akibat malnutrisi membutuhkan nutrisi untuk berkembang. Orang dengan kanker sering memiliki gizi buruk karena kanker itu sendiri seperti pasien dengan kanker sistem pencernaan, mulut, atau tenggorokan. Selain itu, perawatan kanker, seperti terapi radiasi dan kemoterapi, dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan dan mual yang secara tidak langsung dapat mengakibatkan gizi buruk.


(1)

Infeksi Protozoa Usus

Statistics

INFEKSI PROTOZOA

N Valid 38

Missing 0

INFEKSI PROTOZOA

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid - 35 92.1 92.1 92.1

+ 3 7.9 7.9 100.0

Total 38 100.0 100.0

Infeksi protozoa berdasarkan umur

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent KELOMPOK UMUR *

INFEKSI PROTOZOA

38 100.0% 0 .0% 38 100.0%

KELOMPOK UMUR * INFEKSI PROTOZOA Crosstabulation

Count

INFEKSI PROTOZOA

Total

- +

KELOMPOK UMUR < 20 2 0 2


(2)

31-40 3 0 3

41-50 11 0 11

51-60 12 0 12

> 60 2 3 5

Total 35 3 38

Infeksi protozoa berdasarkan jenis kelamin

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent JENIS KELAMIN * INFEKSI

PROTOZOA

38 100.0% 0 .0% 38 100.0%

JENIS KELAMIN * INFEKSI PROTOZOA Crosstabulation

Count

INFEKSI PROTOZOA

Total

- +

JENIS KELAMIN LAKI LAKI 16 1 17

PEREMPUAN 19 2 21

Total 35 3 38

Infeksi protozoa berdasarkan jenis kanker

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total


(3)

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

JENIS KANKER * INFEKSI PROTOZOA

38 100.0% 0 .0% 38 100.0%

JENIS KANKER * INFEKSI PROTOZOA Crosstabulation

Count

INFEKSI PROTOZOA

Total

- +

JENIS KANKER ADENO CA 7 1 8

BREAST 7 1 8

COLORECTAL 2 0 2

LUNG 2 0 2

NPC 8 1 9

OVARIUM 3 0 3

RECTUM 1 0 1

SCC 1 0 1

SINONASAL 2 0 2

TESTIS 1 0 1

TONGUE 1 0 1

Total 35 3 38

Infeksi protozoa berdasarkan stadium kanker

Case Processing Summary

Cases


(4)

N Percent N Percent N Percent STADIUM KANKER *

INFEKSI PROTOZOA

38 100.0% 0 .0% 38 100.0%

STADIUM KANKER * INFEKSI PROTOZOA Crosstabulation

Count

INFEKSI PROTOZOA

Total

- +

STADIUM KANKER 1 2 0 2

2 11 0 11

3 14 1 15

4 8 2 10

Total 35 3 38

Infeksi protozoa berdasarkan jenis terapi

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

JENIS TERAPI * INFEKSI PROTOZOA

38 100.0% 0 .0% 38 100.0%

JENIS TERAPI * INFEKSI PROTOZOA Crosstabulation

Count

INFEKSI PROTOZOA

Total

- +


(5)

RADIOTERAPI 6 0 6 KEMOTERAPI DAN

RADIOTERAPI

8 3 11

OPERASI DAN KEMOTERAPI

3 0 3

Total 35 3 38

Infeksi protozoa berdasarkan siklus radioterapi

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

SIKLUS RADIOTERAPI * INFEKSI PROTOZOA

38 100.0% 0 .0% 38 100.0%

SIKLUS RADIOTERAPI * INFEKSI PROTOZOA Crosstabulation

Count

INFEKSI PROTOZOA

Total

- +

SIKLUS RADIOTERAPI 0-5 25 0 25

6-10 3 0 3

11-15 3 2 5

16-20 4 1 5

Total 35 3 38


(6)

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

SIKLUS KEMOTERAPI * INFEKSI PROTOZOA

38 100.0% 0 .0% 38 100.0%

SIKLUS KEMOTERAPI * INFEKSI PROTOZOA Crosstabulation

Count

INFEKSI PROTOZOA

Total

- +

SIKLUS KEMOTERAPI 0 6 0 6

1 9 0 9

2 6 0 6

3 6 1 7

4 4 1 5

5 2 0 2

6 2 1 3