Gambaran Pengetahuan Sikap dan Tindakan Masyarakat Kecamatan Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau tentang Filariasis

(1)

LAPORAN HASIL PENELITIAN

Gambaran Pengetahuan Sikap dan Tindakan Masyarakat Kecamatan Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau tentang Filariasis

Oleh :

CHIN CHING PENG

070100231

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Gambaran Pengetahuan Sikap dan Tindakan Masyarakat Kecamatan Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau tentang Chikungunya

Nama : Chin Ching Peng NIM : 070100231

_________________________________________________________________

Pembimbing Penguji I

dr. Dewi M. Darlan, DAP&E,MPH dr. Muhammad Ali, Sp.A(K) NIP. 19740730 200112 2 003 NIP. 19690524 199903 1 001

Penguji II

dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes NIP. 19690609 199903 2 001

Dekan,

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH NIP. 19540220 198110 1 001


(3)

ABSTRAK

Penyakit Filariasis adalah penyakit menular yang kronik disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit filariasis dapat merusak system limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula memmae, dan scrotum, menimbulkan cacat seumur hidup. Species cacing filariasis yang sering menginfeksi manusia adalah Wuchereria bancrofti. Indonesia merupakan salah satu Negara endemic untuk filariasis. Sebanyak 8.243 orang di Indonesia telah menderita klinis kronis filariasis terutama di pedesaan (Depkes RI, 2006 dalam Setiawan, 2008), sedangkan berdasarkan survei cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak 6.233 orang tersebar di 1.553 desa, di 231 kabupaten, 26 propinsi. Dari sebelas kabupaten atau kota di Riau masih ada 10 kabuapeten adalah endemis yang berarti jumlah penderita melebihi 1%.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan sikap dan tindakan masyarakat kecamatan Pangkalan Kerinci kabupaten Pelalawan provinsi Riau tentang filariasis. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross sectional dilaksanakan di kecamatan Pangkalan kerinci. Jumlah Sampel penelitian sebanyak 96 orang yang diambil dengan menggunakan cluster sampling.

Hasil penelitian menunjukkan, pengetahuan masyarakat kecamatan Pangkalan Kerinci kabupaten Pelalawan provinsi Riau tentang filariasis menunjukkan paling banyak yaitu 65.6%. Manakal, untuk penilaian sikap dan tindakan, kebanyakan responden memiliki sikap dan tindakan yang baik dan mencatat 67.7% untuk sikap dan 73.9% untuk tindakan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat di kecamatan Pangkalan Kerinci mayoritas termasuk dalam katehori kurang, dan sikap responden termasuk dalam kategori baik dan untuk tindakan responden termasuk kategori baik.


(4)

ABSTRACT

Filariasis is a chronic contagious disease caused by infection of filaria worms that attack the lymph glands. Filariasis damages the lymph system, cause lumps to form on the hands, legs, glandular mammae and scrotum leading to life long defects. The most common filaria species that infects human beings is wucherexia bancrofti. Indonesia is one of the endemic areas for filariasis. There are 8243 Indonesians suffering from this chronic disease, especially in rural areas which are distributed in 1553 villages, 231 regencies and 26 provinces. There are 10 out of 11 regencies or cities in Riau that are still considered as endemic areas and this indicates that MF rate is more than 1%.

This research aims to describe the knowledge, attitude and action of society in Pangkalan Kerinci, located in the regency of Pelalawan province of Riau in 2010. This research is a descriptive study done using the cross sectional design and was conducted at the subdistrict of Pangkalan Kerinci, in the regency of Pelalawan province of Riau. The number of samples taken are 96 persons that using cluster sampling method.

The results of the study indicates that most of the responders’ knowledge were moderate (65.6%). However, both the respondens’ attitude and action were categorized as good with a p[ercentage of 67.7% for attitude and (73.9%) for action.

Based on the results of the research,the level of knowledge about filariasis of the society of Pangkalan Kerinci majority is in moderate category, level of attitude is good and the level of action is good too.


(5)

KATA PENGHANTAR

Saya amat bersyukur kepada Tuhan karena saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Penyusunan karya tulis ilmiah ini dimaksudkan untuk melengkapi persyaratan yang harus dipenuhi dalam memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Universitas Sumatera Utara. Oleh karena itu, penulis memilih judul : “ Gambaran Pengetahuan Sikap dan Tindakan Masyarakat Kecamatan Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau tentang Filariasis”.

Penulis selama melakukan penelitian dan penyusuan karya tulis ilmiah ini, memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus terutama kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Chairuddin P. Lubis, DTM&H. Sp.A(K), selaku rector Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH, selaku Dekan Falkutas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu dr. Dewi Masyithah Darlan, DAP&E,MPH, selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktunya dalam proses membimbing serta memberi arahan dalam pengerjaan karya tulis ilmiah ini.

4. Bapak dr. Muhammad Ali, Sp.A, selaku Dosen Penguji I yang member masukan-masukan untuk penyempurnaan karya tulis ilmiah ini.

5. Ibu dr.Arlinda Sari Wahyuni, Mkes, selaku Dosen Penguji II yang memberikan petunjuk-petunjuk serta nasehat-nasehat untuk penyempurnaan karya tulis ilmiah ini.


(6)

6. Seluruh Dosen dan pegawai di Falkutas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang untuk semua jasa-jasanya dalam memberi bantuan selama perkuliahan.

7. Bapak Ery Suhairi.S.Sos., selaku Kepala Kecamatan Pangkalan Kerinci yang telah member bantuan dan izin melakukan penelitian di Kecamatan tersebut. 8. Kedua orang tua tersayang, Chin Yek Choon dan Ng Wai Chee. Terima kasih

atas kasih saying, motivasi dan dukungan secara moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini dengan baik. 9. Teman-temanku : Joye, Prima, Karyn, David, Zhong Wei, Swee Luo, dan

semua teman-teman seangkatan stambuk 2007 serta yang lainnya tidak tersebutkan terima kasih atas persahabatan dan dukungan selama ini kepada penulis.

Penulis menyadari penelitian ini terdapat banyak kekurangan dan penulis mengharapkan semoga karya tulis ilmiah ini akan bermanfaat bagi semua pihak demi perkembangan dan kemajuan Civitas Akademika.

Medan, 17 November 2010 Penulis

Chin Ching Peng 070100231


(7)

DAFTAR ISI DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Persetujuan……….. i

Lembar pengesahan………. ii

Abstrak………. iii

Abstract……… iv

Kata Penghantar……….. v

Daftar Isi………... vii

Daftar Tabel………. ix

Daftar Gambar……… xii

Daftar Lampiran………. xiii

BAB 1 PENDAHULUAN………... 1

1.1 Latar Belakang………. 1

1.2 Rumusan Masalah……… 3

1.3 Tujuan Penelitian………. 4

1.4 Manfaat Penelitian………... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA……….. 5

2.1 Filariasis……… 5

2.1.1 Epidemiologi………... 5

2.1.2 Limfatik Filariasi………..……….. 7

2.1.3 Cara Penularan Dan Morfologi..………. 8

2.1.4 Vektor……..……… 9

2.1.5 Patologi Dan Gejala Klinis……… 11

2.1.6 Diagnosis……..……….. 12

2.1.7 Pemberantasan………. 15

2.1.8 Upaya Pencegahan……….. 18

2.2 Prilaku……….………. 19

2.2.1 Pengetahuan……… 20

2.2.2 Sikap……… 21

2.2.3 Tindakan………. 24

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 25 3.1 Kerangka Konsep……… 25

3.2 Definisi Operasional……… 26

BAB 4 METODE PENELITIAN……….. 28

4.1 Jenis Penelitian……….... 28


(8)

4.2.1 Waktu Penelitian………... 28

4.2.2 Tempat Penelitian………. 28

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian………. 28

4.3.1 Populasi Penelitian………... 28

4.3.2 Sampel Penelitian………. 29

4.4 Teknik Pengumpulan Data……… 30

4.5 Pengolahan dan Analisis Data………... 33

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN……... 35

5.1 Dekskripsi Lokasi Penelitian………. 35

5.2 Deskripsi Sampel Penelitian……… 35

5.3 Hasil Penelitian………. 35

5.3.1. Data Karakteristik Responden……….. 37

5.3.2. Pengetahuan Sikap Dan Tindakan Responden.. 39

5.3.3 Analisa Data Variabel Pengetahuan……… 41

5.3.4 Hubungan Pengetahuan Dengan Jenis Kelamin, Usia Dan Pendidikan Terakhir Responden…….. 42

5.3.5 Analisa Data Variabel Sikap……… 44

5.3.6 Hunbungan Sikap Dengan Jenis Kelamin, Usia Dan Pendidikan Terakhir Responden…….. 45

5.3.7. Analisa data variable tindakan ……… 47

5.3.8 Hubungan Tindakan Dengan Jenis Kelamin, Usia Dan Pendidikan Terakhir Responden……… 48

5.4 Perbahasan………. 50

5.4.1 Pengetahuan Responden……… 50

5.4.2 Sikap Responden……… 51

5.4.3 Tindakan Responden……… 52

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN……… 54

6.1. Kesimpulan……… 54

6.2. Saran……… 54

DAFTAR PUSTAKA……… 55 LAMPIRAN


(9)

DAFTAR TABEL

NOMOR JUDUL HALAMAN

Tabel 3.1. Definisi Operasional ………26

Tabel 4.1. Data Hasil Validitas Dan Reliabilitas Kuesioner Pengetahuan ..…31

Tabel 4.2. Data Hasil Validitas Dan Reliabilitas Kuesioner Sikap………32

Tabel 5.1. Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Usia Di Kecmatan Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalwan Provinsi Riau Tahun 2010..36

Tabel 5.2. Distribusi Frekwensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di Kecamatan Panggkalan Kerinci Kabupaten Pelalwan Provinsi Riau Tahun 2010………..37

Tabel 5.3. Distribusi Frekwensi Responden Berdasarakan Pendidikan Terakhir Kecamatan Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau Tahun 2010……….37

Tabel 5.4. Distribusi Frekwensi Pengetahuan Responden Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau Tahun 2010………..38

Tabel 5.5. Distribusi Frekwensi Sikap Responden Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau Tahun 2010……….38

Tabel 5.6. Distribusi Frekwensi Tindakan Responden Pangkalan Kerinci


(10)

Tabel 5.7. Distribusi Frekwensi Hubungan Pengetahuan Dan Jenis Kelamin Responden Tentang Filariasis Di Kecamatan Pangkalan Kerinci Tahun 2010………40

Tabel 5.8. Distribusi Frekwensi Hubungan Pengetahuan Dan Usia Responden Tentang Filariasis Di Kecamatan Pangkalan Kerinci Tahun 2010…40

Tabel 5.9. Distribusi Frekwensi Hubungan Pengetahuan Dan Pendidikan Terakhir Responden Tentang Filariasis Di Kecamatan Pangkalan Kerinci Tahun 2010………41

Tabel 5.10. Distribusi Frekwensi Hubungan Sikap Dan Jenis Kelamin Responden Tentang Filariasis Di Kecamatan Pangkalan Kerinci Tahun 2010…42

Tabel 5.11. Distribusi Frekwensi Hubungan Sikap Dengan Usia Responden Tentang Filariasis Di Kecamatan Pangkalan Kerinci Tahun 2010…43

Tabel 5.12. Distribusi Frekwensi Hubungan Sikap Dan Pendidikan Terakhir Responden Tentang Filariasis Di Kecamatan Pangkalan Kerinci Tahun 2010………..………..43

Tabel 5.13. Distribusi Frekwensi Hubungan Tindakan Dengan Jenis Kelamin Responden Tentang Filariasis Di Kecamatan Pangkalan Kerinci Tahun 2010……….………44

Tabel 5.14. Distribusi Frekwensi Hubungan Tindakan Dan Usia Responden Tentang Filariasis Di Kecamatan Pangkalan Kerinci Tahun 2010….45


(11)

Tabel 5.15. Distribusi Frekwensi Hubungan Tindakan Dan Pendidikan Terakhir Responden Tentang Filariasis Di Kecamatan Pangkalan Kerinci Tahun 2010………46


(12)

DAFTAR GAMBAR

NOMOR JUDUL HALAMAN


(13)

DAFTAR LAMPIRAN LAMPIRAN I Daftar Riwayat Hidup

LAMPIRAN II Kuesioner Penelitian LAMPIRAN III Informed Consent

LAMPIRAN IV Lembar Penjelasan Penelitian LAMPIRAN V Surat Keterangan Izin Penelitian

LAMPIRAN VI Laporan Penduduk Kecamatan Pangkalan Kerinci LAMPIRAN VII Ethical Clearance

LAMPIRAN VIII Master Data LAMPIRAN IX SPSS Output


(14)

ABSTRAK

Penyakit Filariasis adalah penyakit menular yang kronik disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit filariasis dapat merusak system limfe, menimbulkan pembengkakan pada tangan, kaki, glandula memmae, dan scrotum, menimbulkan cacat seumur hidup. Species cacing filariasis yang sering menginfeksi manusia adalah Wuchereria bancrofti. Indonesia merupakan salah satu Negara endemic untuk filariasis. Sebanyak 8.243 orang di Indonesia telah menderita klinis kronis filariasis terutama di pedesaan (Depkes RI, 2006 dalam Setiawan, 2008), sedangkan berdasarkan survei cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak 6.233 orang tersebar di 1.553 desa, di 231 kabupaten, 26 propinsi. Dari sebelas kabupaten atau kota di Riau masih ada 10 kabuapeten adalah endemis yang berarti jumlah penderita melebihi 1%.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pengetahuan sikap dan tindakan masyarakat kecamatan Pangkalan Kerinci kabupaten Pelalawan provinsi Riau tentang filariasis. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross sectional dilaksanakan di kecamatan Pangkalan kerinci. Jumlah Sampel penelitian sebanyak 96 orang yang diambil dengan menggunakan cluster sampling.

Hasil penelitian menunjukkan, pengetahuan masyarakat kecamatan Pangkalan Kerinci kabupaten Pelalawan provinsi Riau tentang filariasis menunjukkan paling banyak yaitu 65.6%. Manakal, untuk penilaian sikap dan tindakan, kebanyakan responden memiliki sikap dan tindakan yang baik dan mencatat 67.7% untuk sikap dan 73.9% untuk tindakan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat di kecamatan Pangkalan Kerinci mayoritas termasuk dalam katehori kurang, dan sikap responden termasuk dalam kategori baik dan untuk tindakan responden termasuk kategori baik.


(15)

ABSTRACT

Filariasis is a chronic contagious disease caused by infection of filaria worms that attack the lymph glands. Filariasis damages the lymph system, cause lumps to form on the hands, legs, glandular mammae and scrotum leading to life long defects. The most common filaria species that infects human beings is wucherexia bancrofti. Indonesia is one of the endemic areas for filariasis. There are 8243 Indonesians suffering from this chronic disease, especially in rural areas which are distributed in 1553 villages, 231 regencies and 26 provinces. There are 10 out of 11 regencies or cities in Riau that are still considered as endemic areas and this indicates that MF rate is more than 1%.

This research aims to describe the knowledge, attitude and action of society in Pangkalan Kerinci, located in the regency of Pelalawan province of Riau in 2010. This research is a descriptive study done using the cross sectional design and was conducted at the subdistrict of Pangkalan Kerinci, in the regency of Pelalawan province of Riau. The number of samples taken are 96 persons that using cluster sampling method.

The results of the study indicates that most of the responders’ knowledge were moderate (65.6%). However, both the respondens’ attitude and action were categorized as good with a p[ercentage of 67.7% for attitude and (73.9%) for action.

Based on the results of the research,the level of knowledge about filariasis of the society of Pangkalan Kerinci majority is in moderate category, level of attitude is good and the level of action is good too.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Limfatik filariasis juga dikenalkan sebagai elefantiasis yang disebabkan oleh infeksi filaria nematoda dalam sistem limfa tubuh badan kita yang dibawa oleh vektor nyamuk. Terdapat lapan jenis spesies filaria yang menginfeksi manusia yaitu

Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Loa loa, Onchocerca volvulus, Brugia timori, Mansonella ozzardi, Mansonella perstans dan Mansonella streptocerca tapi 4 spesies

pertama merupakan infeksi filaria yang majoriti. Secara estimasi terdapat 170 juta orang dari seluruh dunia menderita infeksi filaria yang ditransmisi oleh spesies nyamuk tertentu dan arthropoda yang lain. Satu perlima dari populasi dunia atau 1.1 milyar orang mempunyai resiko terinfeksi filariasis (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006 dalam Setiawan, 2008).

Infeksi Wuchereria bancrofti merupakan filariasis yang paling banyak di kalangan manusia. Terdapat 115 juta orang terinfeksi dan ditemukan di tempat tropik (Hoerauf, 2003) dan subtropik dan termasuk juga Asia, Amerika selatan, Carribean.

Brugian malayi banyak ditemukan di China, India, korea, jepang, Filipina, Malaysia

dan Indonesia (Harrison’s principles of internal medicine, 2008).

Berdasarkan survei yang dilaksanakan pada tahun 2000-2004, di Indonesia terdapat lebih dari 8000 orang menderita klinis kronis filariasis yang tersebar di seluruh propinsi. Secara epidemiologi, data ini mengindikasikan lebih dari 60 juta penduduk Indonesia berada di daerah yang berisiko tinggi tertular filariasis, dengan enam juta penduduk diantaranya telah terinfeksi (Depkes RI, 2006 dalam Setiawan, 2008 ). Survei lain mengatakan sebanyak 8.243 orang di Indonesia telah menderita


(17)

klinis kronis filariasis terutama di pedesaan (Depkes RI, 2006 dalam Setiawan, 2008), sedangkan berdasarkan survei cepat tahun 2000, jumlah penderita kronis yang dilaporkan sebanyak 6.233 orang tersebar di 1.553 desa, di 231 kabupaten, 26 propinsi. Data ini belum menggambarkan keadaan yang sebenarnya karena hanya dilaporkan oleh 42% puskesmas dari 7.221 puskesmas. Angka jumlah kabupaten atau kota yang endemis filariasis terus meningkat. Pada tahun 2006, tercatat 266 kabupaten atau kota endemis filariasis. Pada 2007 ada peningkatan menjadi 304 dan 2008 menjadi 318 kabupaten atau kota.

Selain itu, penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan di masyarakat propinsi Riau. Dari sebelas kabupaten atau kota di Riau masih ada 10 adalah endemis yang berarti jumlah penderita melebihi 1%. Dari data yang ada (Dinas Kesehatan Propinsi Riau, 2006) kasus kronis filariasis masih terdapat di 10 Kabupaten/Kota dengan jumlah kasus elephantiasis (Kaki gajah) yang dilaporkan sebanyak 281 kasus yang ditemui di 126 desa. Penderita filaria terbanyak di kabupaten Indragiri Hulu (109 kasus) dan terendah di Kota Pekanbaru (1 kasus). Walaupun filariasis jarang menyebabkan kematian tapi ia merupakan punca keempat terbesar di dunia yang menyebabkan lumpuh (WHO 1998).

Filariasis juga memperberatkan beban ekonomi penderita, keluarga penderita dan komuniti mereka berada. Sebenarnya filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh kemiskinan dan ia juga menyebabkan kemiskinan. Ini merupakan lingkaran syaitan yang berterus-terusan. Beban ekonomi oleh filariasis secara langsung meningkatkan beban ekonomi penderita, meningkatkan perbelanjaan pelayanan kesehatan dan juga menurunkan produktivitas individu yang terinfeksi dan sampai bisa menurunkan produktivitas seluruh kabupaten atau kota endemis.

Di India, satu per tiga kasus filariasis ditemukan, melebihi 10 juta orang. Total uang penatalaksanaan yang termasuk obat, transportasi, pembayaran ke dokter dan tempat tinggal sewaktu pengobatan melebihi 30 juta US setiap tahun (Ramaih et al.,


(18)

2000 dalam Anne and Andrew, 2000). Di samping itu, filariasis juga memperberatkan pelayanan kesehatan di tempat endemis. Pada tahun 1998, Gyapong estimasi bahwa di rumah sakit Ghana terdapat 25% dari semua pembedahan adalah dilakukan pada penderita filariasis yang punya gejala hidrocoele (Ghana Ministry of Health Personal communication, 1998 dalam Anne and Andrew , 2000 ).

Hidrocoele dan limfadenoma merupakan manifestasi klinis yang paling sering dijumpai pada penderita filariasis. Ini akan menurunkan produktivitas penderita seumur hidup karena ini merupakan komplikasi permanen. Di India, estimasi 1 milliar US hilang oleh karena penurunan produktivitas (Ramaiah et al., 2000 dalam Anne and Andrew, 2000), di komuniti tertentu 7-8% pekerja buruh berkurang (Ramu et al, 1996 dalam Anne and Andrew, 2000). Di Afrika, filariasis meyebabkan kehilangan 1 milliar US setiap tahun oleh karena penurunan produktivitas juga dan 83% disebabkan oleh hidrocoele.

Walaupun komplikasi dan kesan dari filariasis adalah begitu serius tapi filariasis bisa dicegah dengan beberapa langkah yang gampang saja. Yang pertama, hindari dari gigitan nyamuk, kedua, memberantas nyamuk dan sumber perindukan nyamuk dan ketiga minum obat anti filaria jika berada di tempat endemis. Oleh karena itu, pengetahuan tentang filariasis adalah amat penting untuk menurunkan kasus filariasis maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan di masyarakat propinsi Riau, kabupaten Pelalawan, kecamatan Pangkalan Kerinci.

1.2Rumusan masalah

Bagaimana gambaran pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat propinsi Riau, kabupaten Pelalawan , kecamatan Pangkalan Kerinci tentang filariasis?


(19)

1.3Tujuan penelitian

Tujuan umum :

Untuk mengetahui prilaku masyarakat Pangkalan Kerinci tentang filariasis.

Tujuan khusus :

1. Mengetahui gambaran pengetahuan masyarakat Pangkalan Kerinci tentang filariasis.

2. Mengetahui sikap masyarakat Pangkalan Kerinci tentang filariasis. 3. Mengetahui tindakan masyarakat Pangkalan Kerinci tentang filariasis 1.4Manfaat penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi pihak pengelola program eliminasi filariasis di Kecamatan Pangkalan Kerinci kabupaten Pelalawan provinsi Riau

2. Sebagai bahan dalam menyusun rencana kegiatan/proyek eliminasi filariasis di Kecamatan Pangkalan Kerinci kabupaten Pelalawan provinsi Riau .

3. Dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan pemerintah sebagai bahan masukan khususnya mengenai filariasis di Kecamatan Pangkalan Kerinci kabupaten Pelalawan provinsi Riau

4. Menambah wawasan ilmu pengetahuan penulis tentang masalah filariasis.

5. Sebagai sumber informasi kepada peneliti lain untuk melaksanakan penelitian selanjutnya.


(20)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Filariasis

Filariasis limfatik atau elephantiasis atau yang dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai penyakit kaki gajah dan di beberapa daerah disebut untut adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria. Gejala penderita filariasis mula-mula demam secara berulang dua sampai tiga kali dalam sebulan, kemudian timbul gejala limfangitis, limfadenitis, limfadema dan kemudian terjadi elefantiasis. Elefantiasis dapat terjadi di tungkai bawah, lengan bawah, mammae, atau skrotum, tergantung dari jenis cacing filaria yang menginfeksi penderita. Penderita filariasis di dunia diperkirakan sebanyak 120 juta orang yang tersebar di 80 negara baik di negara tropis maupun sub-tropis (Michael, 1996).

Filariasis limfatik adalah penyakit parasitik yang menyebabkan kecacatan, stigma, psikososial dan penurunan produktivitas penderitanya, keluarganya maupun masyarakat. Walaupun demikian penyakit tersebut di beberapa negara tidak termasuk ke dalam prioritas pemberantasan penyakit, karena dianggap tidak berbahaya dan tidak menyebabkan kematian. Menurut Leiper (1911) dalam Dr. Sudomo M (2008) penyebab filariasis limfatik adalah cacing yang termasuk ke dalam Filum Nematoda, Superfamili Filaroidea, Famili Filariidae.

2.1.1 Epidemiologi

Menurut Laurence (1967) dalam Soeyoko, 2002) penyakit kaki gajah telah dikenal 600 tahun sebelum Masehi, sejak diketahui ada seorang pengikut agama Budha menderita kakinya bengkak seperti kaki gajah sehingga orang tersebut diusir dari lingkungannya. Filariasis limfatik mempengaruhi lebih dari 170 juta orang di seluruh dunia dan ditemukan di tempat tropik dan subtropik (Thomas B et al., 2008).


(21)

Sekurang-kurangnya terdapat 21 juta penderita limfatik filariasis di equatorial Afrika dan amerika selatan (Jawetz, 1992). Angka filariasis di seluruh dunia masih terus meningkat.

Filariasis limfatik global terutama disebabkan filaría limfatik spesies

Wuchereria bancrofii, tersebar luas hampir di seluruh negara di dunia terutama

beriklim tropis namun dapat pula ditemukan dinegara beriklim subtropis sebagai berikut: Afrika, India, Asia Tenggara, Kepulauan Pasifik, Amerika Selatan dan Amerika Tengah (WHO, 1997 dalam Soeyoko, 2002). Filariasis limfatik dikategorikan dalam 6 penyakit tropis paling penting (the big six) yang menjadi masalah kesehatan dunia disamping malaria, schistosomiasis, leishmaniasis, tripanosomiasis dan lepra (WHO, 1979 dalam Soeyoko, 2002).

Filariasis limfatik stadium lanjut dapat menyebabkan cacat fisik permanen. Hal tersebut merupakan salah satu faktor penghambat perkembangan sosial ekonomi penduduk di beberapa negara berkembang di dunia (WHO, 1994). Walaupun penyakit ini tidak mengakibatkan kematian, namun pada stadium lanjut dapat menyebabkan cacat fisik permanen dan mempunyai dampak social ekonomi besar, khususnya penduduk dengan sosial ekonomi rendah yang tinggal di negara-negara berkembang di daerah tropis maupun subtropis (Soeyoko, 2002).

Filariasis di Indonesia pertama kali dilaporkan di Jakarta yaitu dengan ditemukannya penderita filariasis skrotum. Pada saat itu pula maka Jakarta diketahui endemik filariasis limfatik yang disebabkan oleh W. bancrofti (Haga et al., 1989

dalam Soeyoko 2002). Mikrofilaria dari filaria tersebut mempunyai morfologi yang

berbeda dengan W. bancrofti. Demikian juga manifestasi klinisnya berbeda dengan manifestasi klinis oleh infeksi W.bancrofti. Brugia malayi belum teridentifikasi sampai tahun 1927, pada saat itu masih dinamakan Filaria malayi oleh (Brug et al., 1928 dalam Sudomo, 2008). Pada tahun yang sama Lichtenstein merubah nama


(22)

genus menjadi Brugia tetapi nama spesies tetap. Pinhao dan David dan Edeson (1961) dalam Sudomo, 2008) telah menemukan mikrofilaria yang mirip dengan microfilaria B.malayi pada manusia di Timor Portugis.

Sementara itu mikrofilaria yang sama ditemukan di Timor Barat, Flores dan Alor (Kurihara T et al., 1975 dalam Sudomo, 2008), pada periode tersebut penelitian difokuskan pada penyebaran W. bancrofti dan B. malayi. Pada tahun 1980, spesies baru dari Wuchereria pada lutung (Presbythis cristatus) di Kalimantan Selatan ditemukan oleh Palmieri et al. Spesies baru tersebut diberi nama Wuchereria

kalimantani. Wuchereria bancrofti tipe perdesaan masih banyak ditemukan di Papua

dan beberapa daerah lain di Indonesia. Di Indonesia kurang lebih 10 juta orang telah terinfeksi oleh filariasis sedangkan kurang lebih 150 juta orang hidup di daerah endemik (population at risk).

Biasanya daerah endemik B.malayi adalah daerah dengan hutan rawa (swampy forest), sepanjang sungai besar atau badan air yang lain. Sedangkan daerah endemik W. bancrofti perkotaan adalah daerah perkotaan yang kumuh, padat penduduknya dan banyak genangan air kotor sebagai habitat dari vektor parasit tersebut, yaitu Cx. Quinquefasciatus, tidak seperti W. bancrofti, gambaran epidemiologi B. malayi lebih rumit. Spesies Brugia malayi di Indonesia dibagi menjadi tiga bentuk (strain) yang dibagi menurut periodisitas mikrofilaria di dalam darah, yaitu bentuk periodik nokturna, sub-periodik nokturna dan non- periodik. Walaupun antara berbagai tipe B. malayi dapat dibedakan secara morfologi dan epidemiologi, tetapi manifestasi klinisnya sama saja.

2.1.2 Limfatik Filariasis

Filariasis limfatik disebabkan dan bawahnya) sebenarnya hanya disebabkan oleh filariasis limfatik ini. B. timori


(23)

diketahui jarang menyerang bagian kelamin, tetapi W. bancrofti dapat menyerang tungkai dada, serta alat kelamin. Filariasis subkutan disebabkan oleh mata Afrika),

lapisan kulit. Jenis filariasis yang terakhir disebabkan oleh Mansonella perstans dan

Mansonella ozzardi, yang menghuni rongga perut.

Semua parasit ini disebarkan melalu untuk Dracunculus, ole Selain elefantiasis, bentuk serangan yang muncul adalah kebutaa

2.1.3 Cara Penularan dan Morfologi

Cacing jantan dan betina hidup di saluran dan kelenjar limfe; bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Cacing betina mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung. Microfilaria ini hidup di dalam darah dan terdapat di aliran darah tepi pada waktu-waktu tertentu saja, jadi mempunyai periodisitas. Pada umumnya, microfilaria W. bancrofti bersifat periodisitas nokturna, artinya microfilaria hanya terdapat di dalam darah tepi pada waktu malam. Pada siang hari, microfilaria terdapat di kapiler alat dalam paru, jantung, ginjal dan sebagainya (Medical Microbiology And Immunology, 1992).

Di daerah Pasifik, microfilaria W. bancrofti mempunyai periodisitas subperiodik diurnal. Microfilaria terdapat di dalam darah siang dan malam, tetapi jumlahnya lebih banyak pada waktu siang. Di Muangthai terdapat suatu daerah yang mikrofilarianya yang bersifat subperiodik nokturna. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi periodisitas microfilaria adalah zat asam dan zat lemas di dalam


(24)

darah, aktivitas hospes, irama sirkadian, jenis hospes dan jenis parasit, tetapi secara pasti mekanisme periodositas mikrofilaria tersebut belum diketahui.

Di daerah perkotaan, parasit ini ditularkan oleh nyamuk Culex quinquefasatus. Di perdesaan vektornya berupa nyamuk Anopheles atau nyamuk Aedes. Parasit ini tidak ditularkan oleh nyamuk Mansonia. Daur hidup parasit ini memerlukan waktu yang panjang. Masa pertumbuhan parasit di dalam nyamuk kurang lebih 2 minggu. Pada manusia, masa pertumbuhan belum diketahui secara pasti tetapi diduga kurang lebih 7 bulan, sama dengan masa pertumbuhan parasit ini di dalam Presbytis cristata (lutung). Microfilaria yang terisap oleh nyamuk, melepaskan sarungnya di dalam lambung, menembus dinding lambung dan bersarang di antara otot-otot toraks. Mula-mula parasit ini memendek, bentuknya menyerupai soses dan disebut larva stadium I. Dalam waktu kurang lebih seminggu, larva ini bertukar kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang disebut larva stadium II. Pada hari kesepuluh dan selanjutnya, larva bertukar kulit sekali lagi, tumbuh makin panjang dan lebih kurus disebut larva stadium III.

Gerakan larva stadium III sangat aktif. Bentuk ini bermigrasi, mula-mula ke rongga abdomen kemudiam ke kepala dan alat tusuk nyamuk. Bila nyamuk sedang aktif mencari darah akan terbang berkeliling sampai adanya rangsangan hospes yang cocok diterima oleh alat penerima rangsangannya. Rangsangan ini akan memberi petunjuk pada nyamuk untuk mengetahui dimana adanya hospes , kemudian baru menggigit (Depkes RI, 2001). Bila nyamuk yang mengandung larva stadium III bersifat infektif dan mengigit manusia, maka larva tersebut secara aktif masuk ke dalam tubuh hospes dan bersarang di saluran limfe setempat. Di dalam tubuh hospes, larva mengalami dua kali pergantian kulit, tumbuh menjadi larva stadium IV lalu stadium V dan cacing dewasa (Parasitologi Kedokteran, 2008). Siklus ini yang berterusan sehingga semakin banyak menderita filariasis dan manusia merupakan


(25)

2.1.4 Vektor

Pada saat ini telah diketahui ada 23 spesies nyamuk dari genus Anopheles,

Culex, Mansonia dan Armigeres yang dapat berperan sebagai vektor filariasis

(Dep.Kes.RL, 1999). Tetapi vektor utamanya adalah Anopheles farauti dan

Anopheles punctulatus. Wuchereria bancrofti tipe urban ditemukan di kota-kota besar

antara Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Entomologi dan Moluska Penyakit Parasitik yang Kurang Diperhatikan di Indonesia selain Jakarta, Semarang, Pekalongan dengan nyamuk vektornya : Culex quinquefasciatus. Brugia malayi ditemukan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, umumnya di daerah pantai dan dataran rendah. Vektornya adalah enam spesies Mansonia yaitu, Mansonia uniformis,

Mansonia bonneae, Mansonia dives, Mansonia annulata, Mansonia annhulifera dan Mansonia Indiana sedangkan di Indonesia bagian timur ditambah Anopheles barbirostris sebagai vektor utama. Brugia malayi mempunyai reservoir yaitu kucing

(Felis catus) dan kera (Presbytis cristatus dan Macaca fascicularis) dengan demikian

Brugia malayi merupakan penyakit zoonosis. Brugia timori ditemukan di pulau-pulau

Nusa Tenggara Timur dan kepulauan Maluku Selatan. Brugia timori umumnya endemik di daerah persawahan dan vektor utamanya adalah An. Barbirostris.

W.bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan ditularkan oleh

Cx.quinquefasciatus yang tempat perindukannya air kotor dan tercemar. W.bancrofti

di tempat perdesaan dapat ditularkan oleh bermacam species nyamuk. Di Irian Jaya

W.bancrofti ditularkan oleh Anophelex farauti yang dapat menggunakan bekas jejak

kaki binatang untuk tempat perindukannya (Parasitologi Kedokteran, 2008).

Hasil penelitian menyebutkan bahwa beberapa spesies dari genus Anopheles disamping berperan sebagai vektor malaria juga dapat berperan sebagai vektor filariasis. Spesies nyamuk mempunyai tempat perindukan berbeda-beda misalnya: di rawa-rawa, air kotor (comberan), air sawah, air laguna. Nyamuk dapat bersifat antropofilik (menyukai darah manusia), zoofilik (menyukai darah hewan) dan


(26)

zooantropofilik (menyukai darah hewan maupun manusia), eksofagik (menggigit diluar rumah) dan endofagik (menggigit di dalam rumah). Tempat beristirahat nyamuk juga berbeda-beda tergantung spesiesnya.

Pada umumnya nyamuk beristirahat pada tempat-tempat teduh, seperti di semak-semak di sekitar tempat perindukan dan di dalam rumah pada tempat-tempat yang gelap. Perilaku nyamuk sebagai vektor filariasis sangat menentukan distribusi filariasis. Setiap daerah endemis filariasis umumnya mempunyai spesies nyamuk berbeda yang dapat menjadi vektor utama dan spesies nyamuk lainnya hanya bersifat vektor potensial. Secara umum, filariasis adalah ditular melalui vektor nyamuk yang menggigit tubuh badan kita.

2.1.5 Patologi dan gejala klinis

Gejala klisnis filariasis limfatik disebabkan oleh microfilaria dan cacing dewasa baik yang hidup maupun yang mati. Microfilaria biasanya tidak menimbulkan kelainan tetapi dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan occult filariasis. Gejala yang disebabkan oleh cacing dewasa menyebabkan limfadenitis dan limfagitis retrograd dalam stadium akut, disusul dengan okstruktif menahun 10 sampai 15 tahun kemudiam. Perjalanan filariasis dapat dibagi beberapa stadium: stadium mikrofilaremia tanpa gejala klinis, stadium akut dan stadium menahun. Ketiga stadium tumpang tindih, tanpa ada batasan yang nyata. Gejala klinis filariasis bankrofti yang terdapat di suatu daerah mungkin berbeda dengan dengan yang terdapat di daerah lain (Parasitologi Kedokteran, 2008).

Pada penderita mikrofilaremia tanpa gejala klinis, pemeriksaan dengan limfosintigrafi menunjukkan adanya kerusakan limfe. Cacing dewasa hidup dapat menyumbat saluran limfe dan terjadi dilatasi pada saluran limfe, disebut


(27)

secara intensif menyebabkan disfungsi system limfatik. Cacing yang mati menimbulkan reaksi imflamasi. Setelah infiltrasi limfositik yang intensif, lumen tertutup dan cacing mengalami kalsifikasi. Sumbatan sirkulasi limfatik terus berlanjut pada individu yang terinfeksi berat sampai semua saluran limfatik tertutup menyebabkan limfedema di daerah yang terkena. Selain itu, juga terjadi hipertrofi otot polos di sekitar daerah yang terkena (Pathology Basic of Disease, 2005).

Stadium akut ditandai dengan peradangan pada saluran dan kelenjar limfe, berupa limfaadenitis dan limfagitis retrograd yang disertai demam dan malaise. Gejala peradangan tersebut hilang timbul beberapa kali setahun dan berlangsung beberapa hari sampai satu atau dua minggu lamanya. Peradangan pada system limfatik alat kelamin laki-laki seperti funikulitis, epididimitis dan orkitis sering dijumpai. Saluran sperma meradang, membengkak menyerupai tali dan sangat nyeri pada perabaan. Kadang-kadang saluran sperma yang meradang tersebut menyerupai hernia inkarserata. Pada stadium menahun gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah hidrokel. Dapat pula dijumpai gejala limfedema dan elephantiasis yang mengenai seluruh tungkai, seluruh lengan, testis, payudara dan vulva. Kadang-kadanag terjadi kiluria, yaitu urin yang berwarna putih susu yang terjadi karena dilatasi pembuluh limfe pada system ekskretori dan urinary. Umumnya penduduk yang tinggal di daerah endemis tidak menunjukan peradangan yang berat walaupun mereka mengandung mikrifilaria (Parasitologi Kedokteran, 2008).

2.1.6 Diagnosis

Cara diagnosis filariasis yang benar mutlak harus diketahui agar dapat mengidentifikasi daerah-daerah yang menjadi sumber penularan dan perlu mendapatkan prioritas pengobatan serta dapat menemukan daerah endemis baru. Cara diagnosis tepat juga mempunyai peran penting untuk mengevaluasi keberhasilan program pengendalian filariasis di suatu daerah. Ketajaman diagnosis sangat diperlukan untuk keberhasilan Eliminasi Filariasis di Indonesia tahun 2010.


(28)

Kondisi Indonesia yang sangat bervariasi membutuhkan beberapa metoda diagnosis, dimana pengelola program filariasis di daerah dapat memilih cara diagnosis sesuai dengan kemampuan dan fasilitas tersedia. Diagnosis filariasis limfatik telah banyak mengalami perkembangan dari cara konvensional sederhana dan murah sampai cara diagnosis biaya mahal mempergunakan alat-alat yang canggih hanya dapat dilakukan di laboratorium tertentu. Cara diagnosis tersebut di antaranya: pemeriksaan klinis, pemeriksaan langsung darah segar ujung jari, pemeriksaan darah jari/vena dengan pewarnaan, pemeriksaan darah dengan quantitatif buffy coat (QBC), pemeriksaan ultrasound (filaría dance sign) terutama untuk evaluasi hasil pengobatan dan hanya dapat digunakan untuk infeksi filaria oleh W. bancrofti, pemeriksaan serologis deteksi antibodi, deteksi antigen beredar dengan teknik ELISA Sandwich menggunakan antibodi monoclonal (Harrison, 2008), immuno chromatographic test (ICT Filariasis) merupakan cara diagnosis filariasis paling sensitif pada saat ini (Soeyoko, 1998), deteksi DNA dengan metoda polymerase chain reaction (PCR) dan

lymphangiography.

Pemeriksaan klinis merupakan cara diagnosis paling cepat dan murah tapi gejala klinis filariasis sangat bervariasi, mempunyai spektrum sangat luas dan sangat tergantung masing-masing individu dan spesies penyebabnya. Penderita tidak menunjukkan gejala sama sekali (asimtomatik), atau menunjukkan gejala-gejala akut dan ada yang berkembang menjadi kronik. Gejala-gejala klinis seperti demam, limfadenitis, limfangitis desendens, abses, funikulitis, epididimitis dan orkitis sifatnya sementara dan dapat sembuh spontan tanpa pengobatan serta dapat terjadi berulang-ulang.

Gejala akut (demam) biasanya muncul jika penderita bekerja berat (kelelahan) dan segera hilang setelah istirahat penuh. Limfadenitis dan limfangitis dapat timbul pada sistem limfe dimana saja, tetapi kebanyakan di daerah lipat paha kemudian


(29)

menjalar ke arah distal (desendens) terlihat sepert tali berwarna merah dan terasa nyeri. Gejala kronik seperti sikatrik, hidrokel testis dan elephantiasis sifatnya menetap. Pada filariasis bancrofti dapat terjadi elephantiasis pada seluruh kaki atau lengan sedangkan pada filariasis malayi atau timori hanya terjadi elefantiasis di bawah lutut. Di daerah endemik filariasis munculnya gejala-gejala klinis bervariasi, ada yang cepat, ada yang lambat sampai beberapa tahun, tetapi ada yang tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali sepanjang hidupnya walaupun sudah terinfeksi filaria.

Penduduk berasal dari daerah non-endemis filariasis apabila terkena infeksi pada umumnya akan menunjukkan gejala-gejala akut, munculnya lebih cepat daripada penduduk asli dan penderita tampak sakit lebih berat. Diagnosis filariasis berdasarkan pemeriksaan klinis memang murah dan cepat, namun banyak kelemahannya karena sebagian besar penderita walaupun telah terinfeksi filaria tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali (asimtomatik) terutama pada penduduk asli, sehingga diperlukan konfirmasi cara diagnosis lainnya.

Pemeriksaan klinis dapat dimanfaatkan untuk dengan cepat memperkirakan atau menentukan tingkat endemisitas suatu daerah, karena berdasarkan pengalaman beberapa kali penelitian dapat disimpulkan bahwa jika diantara 1000 penduduk ditemukan seorang menderita elephantiasis dapat diperkirakan ada 10 penderita menunjukkan gejala klinis akut dan kurang lebih terdapat 100 penderita yang didalam darahnya terdapat mikrofilaria (10%). Keadaan ini menyebabkan daerah tersebut dengan cepat dapat diperkirakan tingkat endemisitasnya, yaitu 10% (Dep.Kes.RI., 1999). Atau hasil pemeriksaan klinis merupakan petunjuk awal ditemukannya daerah endemik filariasis baru, dan hasil temuan ini harus segera dilanjutkan dengan pemeriksaan darah ujung jari untuk menentukan angka mikrofilaria di daerah tersebut dengan pasti.


(30)

Konfirmasi diagnosis filariasis yang paling tepat dan murah adalah dengan cara pemeriksaan mikroskopis darah ujung jari untuk mengetahui adanya mikrofilaria. Darah ujung jari yang diambil waktu malam hari dapat dipulas dengan Giemsa atau dilihat secara langsung dengan mikroskop. Pemeriksaan darah segar tanpa pewarnaan secara langsung sangat bermanfaat bagi daerah baru yang masyarakatnya belum mengenal filariasis dan cara diagnosis ini sekaligus dapat digunakan sebagai media penyuluhan.

Petugas dapat mendemonstrasikan microfilaria yang masih hidup dan bergerak-gerak di dalam darah segar kepada masyarakat. Dengan demikian masyarakat dapat diyakinkan menderita filariasis walaupun tidak menunjukkan gejala-gejala klinis, sehingga masyarakat di harapkan kesadarannya ikut serta berperan aktif dalam rangka penanggulangan filariasis. Masing-masing cara diagnosis tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangannya tergantung tujuannya. Dalam memilih cara diagnosis perlu dipertimbangkan sensitivitas, spesifisitas biaya yang tersedia dan tenaga pelaksana (Long, Rickman, Cross, 1990 dalam Soeyoko, 2002).

2.1.7 Pemberantasan

Suatu kesepakatan global telah dicapai dengan adanya resolusi World Health

Assembly (WHA) yang telah dicanangkan pada tahun 1997 dengan bunyi yang jelas

antara lain : “ ……the elimination of lymphatic filariasis as a public health

problem...”. Menindak lanjuti resolusi tersebut maka WHO dengan bekerja sama

dengan berbagai kalangan, antara lain Negara Donor, World Bank, the Arab Fund for

Economic and Social Development, dan the United States Centers for Disease Control and Prevention mulai membangun kerja sama untuk memberantas filariasis

di seluruh dunia.

Tahun berikutnya kerja sama tersebut mendapatkan dorongan yang lebih besar lagi pada saat Smith Klein Beecham (SB) menyatakan komitmennya untuk membantu program global dalam eliminasi filariasis, yaitu dengan pengadaan Albendazol untuk


(31)

kepentingan eliminasi filariasis, yang diberikan kepada negara endemis secara gratis. Kemudian terjadi kesepakatan antara Departemen Kesehatan negara-negara endemis untuk secara bersama melakukan berturut-turut. Selain itu dilakukan perawatan terhadap penderita filariasis kronis eliminasi filariasis di negara masing-masing. Indonesia melalui Departemen Kesehatan RI telah melakukan kesepakatan (commitment) dalam eliminasi filariasis telah disepakati bahwa filariasis harus dieliminasi di muka bumi ini pada tahun 2020.

Dalam program tersebut diatas disepakati bahwa pemberantasan filariasis limfatik digunakan metoda yang sama di semua negara endemis yang telah berkomitmen untuk memberantas filariasis limfatik, yaitu dengan Diethyl

Carbamazine Citrate (DEC) dan Albendazole setahun sekali selama 5 tahun.

Diethyl Carbamazine Citrate (DEC) merupakan obat yang paling efektif untuk membunuh microfilaria maupun makrofilaria. Berbagai metoda untuk memberantas filariasis di Indonesia telah dilakukan, antara lain, pengobatan masal dengan dosis standar di sekitar Bendungan Gumbasa di Sulawesi Tengah dan di Banjar, Kalimantan Selatan (Putrali, Kaleb, 1974 dalam Sudomo, 2008). Pengobatan dengan dosis rendah yang diikuti oleh dosis standar telah dilakukan di Kalimantan Selatan, Flores Barat, Kabupaten Batanghari, Jambi dengan hasil yang sangat baik (Rush J et al., 1980 dalam Sudomo, 2008). Dengan melihat pengalaman penelitian tersebut maka program pemberantasan filariasis memutuskan melakukan pemberantasan dengan menggunakan DEC dosis rendah seminggu sekali selama 40 minggu.

Pada saat ini masih banyak daerah endemik filariasis limfatik terutama di daerah terpencil dan di perdesaan (Partono F et al., 1984 dalam Syachria, 2004). Di beberapa daerah, filariaisis telah lenyap sama sekali karena perubahan ekosistem yang mengkibatkan hilangnya habitat nyamuk vektor filariasis. Tetapi di beberapa daerah lain, filariasis malahan meningkat atau muncul karena adanya migrasi


(32)

penduduk dari daerah non endemik ke daerah endemik. Ditambah dengan perubahan hutan menjadi daerah persawahan atau perkebunan yang akan menyebabkan munculnya habitat nyamuk vektor filariasis (Madsen et al.,2004).

Oleh karena itu program pemberantasan filariasis harus dilakukan secara berkesinambungan. Mengacu pada berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan selama bertahun-tahun, pemberantasan filariasis harus dilakukan baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang. Pemberantasan jangka pendek terutama diarahkan pada pengobatan masal ataupun selektif dengan menggunakan DEC ditambah obat lain misalnya antipiretik atau antibiotik.

Tujuan dari pemberantasan jangka pendek adalah : i). untuk mengurangi angka prevalensi ii) untuk mengurangi angka kesakitan, terutama gejala akut, dan iii). Untuk mengurangi intensitas penularan. Sedangkan program pemberantasan jangka panjang adalah untuk mendukung konsep yang menyatakan bahwa filariasis dapat hilang dengan sendirinya, bahkan tanpa intervensi dari sektor kesehatan, apabila terjadi perubahan ekosistem yang akan menuju kepada hilangnya tempat perindukan nyamuk vektor filariasis. Pembangunan ekonomi dapat merubah tempat perindukan nyamuk vektor menjadi lahan perumahan, industri, pariwasata dan sebagainya.

Pada saat terjadi perubahan fisik, maka dengan sendirinya akan terjadi juga perubahan sosio-kultural, yang mendukung pengurangan risiko penularan dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan dirinya. Program pemberantasan filariasis harus didukung oleh peranserta masyarakat karena tanpa adanya peranserta masyarakat program tersebut tidak akan dapat mencapai sasaran. Peran pemuka masyarakat baik formal maupun non formal sangat penting untuk membantu pelaksanaan pemberantasan filariasis. Semua program tersebut di atas pada saat ini telah diintegrasikan ke dalam program baru setelah Indonesia menyatakan komitmennya untuk mengikuti program pemberantasan filariaisis yang


(33)

dicanangkan oleh World Health Assembly mengenai Global Elimination of Lymphatic

Filariasis.

WHO sangat mendukung program pemberantasan filariasis limfatik di Indonesia karena Indonesia merupakan negara dengan endemisitas Brugia spp terbesar di dunia, dengan daerah penyebaran yang sangat luas termasuk daerah-daerah dan pulau-pulau yang sulit dijangkau. Pemberantasan filariasis limfatik tidak dapat dilakukan hanya dengan pengobatan masal saja, tetapi harus juga dilakukan pemberantasan nyamuk vektor filariasis. Nyamuk vektor W. bancrofti di Indonesia umumnya Culex quinquefasciatus, yaitu nyamuk yang sehari-hari sudah sangat akrab dengan kita. Habitatnya adalah selokan atau kolam yang kotor. Maka, dengan pengetahuan yang benar tentang filariasis dapat mengurangkan penderita filariasis.

2.1.8 Upaya Pencegahan

Untuk mencegah penyakit filariasis, nyamuk penularnya diberantas merupakan cara yang paling efektif. Cara tepat untuk memberantas nyamuk adalah berantas jentik-jentiknya di tempat berkembang biaknya. Cara ini dinamakan dengan pemberantas sarang nyamuk filariasis. oleh karena tempat-tempat berkembang biaknya di rumah-rumah dan tempat-tempat umum maka setiap keluarga harus berkerjasama dan berusaha melaksanakan pemberantas sarang nyamuk filariasis (Depkes RI, 1995).

Selain itu, pemberantasan sarang nyamuk filariasis juga bisa dilakukan melalui penggunaan insektisida untuk langsung ubtuk membunuh nyamuk dewasa yang menyebabkan filariasis. cara penggunaan malation ialah dengan pengasapan (thermal fogging) atau dengan pengabutan (cold fogging). Ada juga insektisida yang bertujuan membunuh jentik-jentik nyamuk, yakni temphos(abate). Cara penggunaan

abate adalah dengan menggunakan pasir abate( sand granules) ke dalam


(34)

Sedangkan cara yang tidak menggunakan abate adalah dengan 3M yakni menguras bak mandi, tempayan atau TPA minimal seminggu sekali karena perkembangan telur untuk menjadi nyamuk memerlukan 7-10hari. Selanjutnya menutup TPA rapat-rapat dan langkah terakhir dari 3M adalah membersihkan halaman rumah dari barang-barang yang memungkinkan nyamuk itu bersarang atau bertelur (Hendarwando, 2001).

2.2 Prilaku

Prilaku adalah merupakan suatu kegiatan atau aktivitas organisma yang berkaitan. Maka, prilaku manusia merupakan sesuatu aktivitas dari manusia itu sendiri. Terdapat 2 hal yang dapat mempengaruhi prilaku yaitu faktor genetik (keturunan) dan faktor lingkungan. Faktor keturunan merupakan konsepsi dasar untuk perkembangan prilaku mahluk hidup itu. Lingkungan adalah kondisi untuk perkembangan prilaku tersebut.

Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2003) mengemukakan bahwa prilaku merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan (respon). Terdapat 2 jenis respon yaitu :

a) Respondent respon yaitu respon yang ditimbulkan oleh

rangsangan-rangsangan tertentu. Respon yang timbul umumnya relatif tetap.

b) Operant respon ialah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh

perangsangan tertentu. Perangsangan semacam ini dikenal sebagai reinforcing

stimuli karena perangsangan-peransangannya memperkuat respon yang telah

dilakukan organisme.

Prilaku kesehatan adalah suatu proses seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan makanan serta lingkungan. Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2003) mengajukan klasifikasi


(35)

prilaku yang berhubungan dengan kesehatan ( health related behavior) seperti berikut:

a) Prilaku kesehatan merupakan hal-hal yang berhubungan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. b) Prilaku sakit ialah segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang

merasakan sakit untuk merasakan sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit.

c) Prilaku peran sakit yakni segala tindakan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit untuk memperolehi kesembuhan.

Bloom 1908 membagi prilaku ke dalam 3 domain tapi tidak punyai batasan yang jelas dan tegas yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan.

2.2 .1. Pengetahuan

Pengetahuan secara luas berarti segala sesuatu yang kita ketahui (Balai Pustaka dan Depdiknas, 2005). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan terjadi setelah seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek, baik malalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan merupakan hasil penggunaan panca indera dan akan menimbulkan kesan dalam pikiran manusia (soekanto, 2003).

Menurut Piaget (1999), pengetahuan adalah interaksi yang terus menerus antara individu dan lingkungan. Dengan demikian pengetahuan adalah suatu proses, bukan suatu ‘barang”. Hutojo menyatakan bahwa pengetahuan adalah tekanan kepada proses psikologi ingatan atau kognitif (Hudojo, 2003 dalam Hasanah, 2007). Benjamin, Bloom, dkk seperti dikutip Sudijono mengemukakan bahwa taksonomi (pengelompokan) tujuan pendidikan harus mengacu kepada tiga jenis ranah, yaitu: kognitif, afektif dan psikomotorik. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan mempunyai enam tingkatan, yaitu:


(36)

Tahu (know)

Tahu adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya.Tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah.

Paham (comprehension)

Paham diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang mampu menjelaskan dengan benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang talah dipelajari pada situasi atau kondisi yang sebenarnya.

Analisis (analysis)

Analisis dalah suatu kemampuan untuk menjabarkan suatu objek ke dalam komponen-komponen yang masih dalam satu struktur organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain ,misalnya mengelompokkan dan membedakan.

Sintesis (synthesis)

Sintesis adalah suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

Evaluasi (evaluasion)

Evaluasi adalah suatu kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.

2.2.2. Sikap

Menurut Sarwono, sikap adalah kesiapan pada seseorang untuk bertindak secara tertentu terhadap hal tertentu. Sikap ini dapat bersifat positif dan dapat pula


(37)

bersifat negatif. Dalam sikap positif, kecenderungan tindakan adalah mendekati, menyenangi, mengharapkan objek tertentu. Sedangkan dalam sikap negative terdapat kecenderungan untuk menjauhi, menghindari, membenci, tidak menyukai obyek tertentu (Sarwono, Sarlito, 2006). Sikap menurut Fishbein dan Ajzen (1975) adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi konsep, atau orang.

Menurut Notoatmodjo S. (2005) Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yakni : 1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).

2. Merespon (Responding)

Memberikan jawaban apabila di tanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan.

3. Menghargai (Valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah

4. Bertanggung Jawab (Responsible)

Bertanggung jawab akan segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko

Menurut Secord dan Backman (1964) dalam Hasanah N L(2007) mendefinisikan sikap sebagai keteraturan tertentu dalam hal perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi) dan predisposisi tindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Selanjutnya menurut Azwar struktur sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang yaitu:

1) Komponen kognitif berisi persepsi, kepercayaan, dan stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu. Seringkali komponen kognitif ini dapat disamakan


(38)

dengan pandangan (opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau problem yang kontraversial.

2) Komponen afektif merupakan perasaan individu terhadap obyek sikap dan menyangkut masalah emosional subyektif terhadap suatu obyek. Apabila individu percaya bahwa obyek sikap tersebut membawa dampak yang tidak baik, maka akan terbentuk perasaan tidak suka atau afeksi yang tak favorable terhadap obyek sikap tersebut.

3) Komponen konatif menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya.

Keterkaitan tiga komponen tersebut harus selaras dan konsisten agar bisa memunculkan suatu sikap tertentu. Dalam kata lain, apabila dihadapkan pada suatu obyek sikap yang sama, maka ketiga komponen tersebut harus mempolakan hal yang sama. Sikap berhubungan dengan seberapa luasnya pengetahuan individu terhadap obyek yang dihadapi. Orang yang tidak mempunyai pengetahuan tentang suatu obyek tidak akan mempunyai sikap positif terhadap obyek tersebut. Hal itu berarti bahwa aspek kognitif yang diwujudkan melalui pengaruh pemikiran dan keyakinan seseorang memerlukan landasan pengetahuan yang relevan menanggapi obyek sikap. Dengan demikian pengetahuan mengenai konsep tentang mikrobiologi diharapkan akan mampu menumbuhkembangkan sikap positif terhadap kesehatan. Demikian juga dengan pendidikan merupakan modal manusia melakukan transformasi sikap terhadap kesehatan.

Oleh itu, pengertian sikap adalah: Pertama, sikap merupakan kecenderungan bertingkah laku untuk bertindak terhadap obyek, terhadap situasi atau nilai tertentu. Kedua, sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi. Ketiga, sikap relatif lebih menetap. Keempat, sikap mengandung aspek evaluatif, artinya mengandung nilai menyenangkan baik atau buruk, penting atau tidak penting.


(39)

2.2.3. Tindakan

Sikap yang belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan ( overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan. Tindakan dibedakan atas beberapa tingkatan :

a) Persepsi (perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.

b) Respon terpimpin ( guided response)

Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar dan sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator praktek tingkat 2.

c) Mekanisme ( mechanism)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu kegiatan itu sudah menjadi suatu kebiasaan, maka ia sudah mencapai praktek tingkat 3.

d) Adopsi (adoption)

Adopsi adalah suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik (Notoatmodjo, 2003).


(40)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka konsep

Dari kerangka pemikiran di atas dapat dibuat dengan kerangka konsep sebagai berikut:

Gambar 3.1 kerangka konsep penelitian

Filariasis

Pengetahuan

Sikap

Tindakan

Filariasis


(41)

3.2. Definisi Operasional

Tabel 3.1. Definisi Operasional

no Variable Definisi operasional Cara ukur

Hasil ukur

Skala ukur

1. Pengetahuan Segala sesuatu yang diketahui responden tentang filariasis

Kuesioner 1:Baik

2:sedang

3:kurang

ordinal

2. Sikap Tanggapan atau reaksi responden tentang filariasis

Kuesioner 1:Baik

2:sedang

3:kurang

ordinal

3. Tindakan Segala sesuatu yang telah dilakukan oleh responden

yang berhubungan dengan sikap dan pengetahuan

Kuesioner 1:Baik

2:sedang

3:kurang

ordinal

3.3. Aspek Pengukuran

3.3.1. Pengetahuan

Pengetahuan responden diukur dengan 7 pertanyaan. Responden yang menjawab Benar diberi skor 1 sedangkan yang menjawab Salah diberi skor 0. Jadi skor tertinggi dapat dicapai adalah 7.

1. Baik jika > 75% atau > 5 pertanyaan dijawab benar oleh responden. 2. Sedang jika 40-75% atau 3-5 pertanyaan dijawab benar oleh responden. 3. Kurang jika < 40% atau < 3 pertanyaan dijawab benar oleh responden.


(42)

3.3.2 Sikap

Sikap responden diukur dengan 7 pertanyaan. Responden yang menjawab Benar diberi skor 1 sedangkan yang menjawab Salah diberi skor 0. Jadi skor tertinggi dapat dicapai adalah 7.

1. Baik jika > 75% atau > 5 pertanyaan dijawab benar oleh responden. 2. Sedang jika 40-75% atau 3-5 pertanyaan dijawab benar oleh responden. 3. Kurang jika < 40% atau < 3 pertanyaan dijawab benar oleh responden.

3.3.3. Tindakan

Tindakan responden diukur dengan 6 pertanyaan. Responden yang menjawab Benar diberi skor 1 sedangkan yang menjawab Salah diberi skor 0. Jadi skor tertinggi dapat dicapai adalah 6.

1. Baik jika > 75% atau > 4 pertanyaan dijawab benar oleh responden. 2. Sedang jika 40-75% atau 3-4 pertanyaan dijawab benar oleh responden. 3. Kurang jika < 40% atau < 3 pertanyaan dijawab benar oleh responden. (Pratomo, Hadi, Sudarti, 1990)

• Cara ukur : metode wawancara • Alat ukur : kuesioner


(43)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis penelitian

Penelitian ini adalah survei cross sectional yang bersifat deskriptif yang dilakukan untuk menentukan tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat propinsi Riau, kabupaten Pelalawan, kecamatan Pangkalan Kerinci tentang filariasis.

4.2. Lokasi dan waktu penelitian

4.2.1. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan di masyarakat provinsi Riau, kabupaten Pelalawan, kecamatan Pangkalan Kerinci karena Riau adalah provinsi endemik filariasis sehingga masyarakat kecamatan Pangkalan Kerinci mempunyai risiko yang tinggi terhadap filariasis. Makanya, pengetahuan, sikap dan tindakan tentang filariasis adalah amat penting untuk mencegah filariasis.

4.2.2. Waktu penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai bulan Oktober 2010.

4.3. Populasi dan Sampel

4.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah masyarakat provinsi Riau, kabupaten Pelalawan, kecamatan Pangkalan Kerinci. Jumlah penduduk di kecamatan Pangkalan Kerinci adalah 65373 (Laporan Penduduk Kecamatan Pangkalan Kerinci 2010)


(44)

4.3.2. Sampel

Pengambilan sampel menggunakan cara cluster sampling, mengambil sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.

Kriteria Inklusi

a. Penduduk yang berusia di atas 17 tahun dan dibawah 60 tahun

b. Merupakan masyarakat yang tinggal di Kecamatan Pangkalan Kerinci c. Kooperatif dan bersedia untuk diwawancara

d. Mempunyai pengertian bahasa Indonesia yang baik Kriteria Eksklusi

a) Pengisian kuesioner yang tidak komplet b) Buta huruf

c) Orang yang berpendidikan dalam bidang kesehatan seperti: dokter, perawat, bidan dan sebagainya

4.4.3. Besar Sampel

Teknik pengambilan sampel adalah dengan cluster sampling yaitu proses penarikan sampel secara acak pada kelompok individu dalam populasi yang terjadi secara alamiah (Sastroasmoro, 2008). Dalam menentukan besarnya sampel, jumlah sampel dihitung dengan rumus dari Notoatmodjo (2005):


(45)

d = Penyimpangan terhadap populasi atau derajat ketepatan yang diinginkan, biasanya 0,05 atau 0,001.

Z = Standar deviasi normal, biasanya ditentukan pada 1,95 atau 2,0 yang sesuai dengan derajat kemaknaan 95%.

p = Proporsi untuk sifat tertentu yang diperkirakan terjadi pada populasi. Apabila tidak diketahui proporsi atau sifat tertentu tersebut, maka p=0,05.

q = 1,0 – p

N = Besarnya populasi n = Besarnya sampel

n = 94,9 n ≈ 96

Sampel minimum adalah 95 dan sampel yang telah diambil adalah 96 orang.

4.4 Teknik Pengumpulan Data

Pada awal penelitian diperlukan data sekunder berupa data umum populasi dan responden yang dapat diperoleh dari dinas kesehatan Pangkalan Kerinci. Kuesioner sudah dilakukan uji validity test. Uji validitas dilakukan dengan uji korelasi antara skor (nilai) setiap item pertanyaan dengan skor total kuensioner


(46)

tersebut. Adapun teknik korelasi yang biasa dipakai untuk mengetahui apakah nilai korelasi setiap pertanyaan itu significant, maka dapat menggunakan SPSS untuk mengujinya. Setelah dilakukan uji validity test construct dengan menggunakan SPSS, 7 pertanyaan tentang pengetahuan, 7 pertanyaan tentang sikap dan 6 pertanyaan tentang tindakan adalah valid. Dan kuesioner ini digunakan untuk menguji tingkat pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat Pangkalan Kerinci. Kuesioner ini juga telah diuji realibilitas dengan Cronbach’s alpha adalah 0.711 dan adalah reliable.

Tabel 4.1.

Data Hasil Validitas Dan Realiabilitas Kuesioner Pengetahuan

Variable Nomor pertanyaan

Total Pearson

Correlation Status Status

Pengetahuan 1 0.525 Valid Reliable

2 0.659 Valid Reliable

3 0.673 Valid Reliable

4 0.712 Valid Reliable

5 0.676 Valid Reliable

6 0.632 Valid Reliable


(47)

Tabel 4.2.

Data Hasil Validitas Dan Realiabilitas Kuesioner Sikap

Variable Nomor Pertanyaan

Total Pearson Correlation

Status Staus

Sikap 1 0.504 Valid Reliable

2 0.504 Valid Reliable

3 0.560 Valid Reliable

4 0.668 Valid Reliable

5 0.875 Valid Reliable

6 0.735 Valid Reliable

7 0.445 Valid Reliable

Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa dari keseluruhan 21 item yang diuji validitas dan realibilitas, dimana pertanyaan tersebut bersumber dari penelitian-penelitian sebelumnya dan hasil rancangan dari peneliti sendiri didapatkan jumlah item pertanyaan yang valid dan realibel sebanyak 14 item dengan 7 item untuk pertanyaan pengetahuan dan 7 item untuk pertanyaan sikap. Selanjutnya, peneliti menambah 6 pertanyaan yang merupakan pertanyaan untuk mengukur tindakan sehingga jumlah pertanyaan terdapat dalam kuesioner tersebut adalah 20 pertanyaan. Kuesioner di atas juga telah diuji realibilitas dengan Cronbach’s alpha adalah 0.711 dan adalah realiable.


(48)

4.4.1 Data Primer

Data primer adalah data yang berasal dari penelitian. Pengumpulan data telah dilakukan dengan instrument kuesioner.

4.4.2 Data Sekunder

Setelah mendapat laporan penduduk kecamatan Pangkalan Kerinci bulan Februari 2010, jumlah penduduk di Pangkalan Kerinci adalah 65,373 orang.

4.5. Pengolahan dan Analisa Data

Data yang telah terkumpul dianalisa dengan menggunakan program komputer SPSS ( statistical product and service solution) versi 13.0. Setelah data terkumpul melalui angket atau kuesioner maka dilakukan pengolahan data yang melalui beberapa tahapan sebagai berikut :

4.5.1. Seleksi Data (Editing)

Proses pemeriksaan data dilapangan sehingga dapat menghasilkan data yang akurat untuk pengelolaan data selanjutnya kegiatan yang dilakukan adalah memeriksa

apakah semua pertanyaan penelitian sudah dujawab dan jawaban yang atau tertulis dapat dibaca secara konsisten.

4.5.2 Pemberian Kode (Coding)

Setelah dilakukan editing selanjutnya penulis memberikan kode tertentu pada tiap-tiap data sehingga memudahkan dalam melakukan analisa data.


(49)

4.5.3. Pengelompokan data (Tabulating)

Pada tahap ini, jawaban-jawaban responden yang sama dikelompokkan dengan teliti dan teratur lalu dihitung lalu dijumlahkan kemudian dituliskan dalam bentuk tabel-tabel.

4.5.4. Analisis

Pengelolaan dan analisis data dilakukan secara manual, dengan menggunakan rumus sebagai berikut :

P = X100% B

a

Keterangan : P = Persentase

a = Jumlah pertanyaan yang dijawab benar B = Jumlah pertanyaan.

Data telah dianalisa secara deskriptif. Hasil akan ditampilkan dalam tabel dalam bentuk distribusi.


(50)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam bab ini, akan dipaparkan hasil penelitian beserta pembahasannya. Penelitian dilakukan sejak penyusunan proposal hingga penyusunan laporan hasil penelitian. Proses pengumpulan data penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai November 2010. Kuesioner berupakan pertanyaan untuk melihat gambaran pengetahuan, sikap dan tindakan masyarakat kecamatan Pangkalan Kerinci kabupaten Pelalawan provinsi Riau tentang filariasis.

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah Kecamatan Pangkalan Kerinci. Pangkalan Kerinci terdiri dari 7 kelurahan yaitu Pangkalan Kerinci Kota, Pangkalan Kerinci Barat, Pangkalan Kerinci Timur, Kuala Terusan, Makmur, Rantau Baru dan Bukit Agung. Menurut laporan penduduk kecamatan Pangkalan Kerinci bulan Februari 2010, terdapat sejumlah 65,373 penduduk di Pangkalan Kerinci dan kebanyakan 60,150 atau 92% penduduk tinggal di Pangkalan Kerinci Kota, Pangkalan Kerinci Barat dan Pangkalan Kerinci Timur sehingga pengambilan sampel diambil secara acak di ketiga kelurahan itu. Sepuluh dari 11 kabupaten dari Riau merupakan kabupaten endemis dengan mikrofilarias rate melebihi 1% dan kabupaten Pelalawan merupakan salah satunya. Di kecamatan Pangkalan Kerinci tercatat 13 kasus sehingga kecamatan ini dipilih sebagai tempat penelitian.

5.2. Deskripsi Sampel Penelitian

Sebanyak 96 responden telah diwawancara secara acak dari ketiga kelurahan atau 32 responden dari setiap kelurahan. responden penelitian harus memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.


(51)

5.3. Hasil Penelitian

Setelah kuesioner dikumpulkan dan diolah didapat data yang disajikan dalam bentuk tabel distribusi yang menggambarkan tingkat pengetahuan sikap dan tindakan masyarakat kecamatan Pangkalan Kerinci kabupaten Pelalawan provinsi Riau tentang filariasis.

Sesuai dengan pertanyaan penelitian maka hasil penelitian ini dibagi dalam 3 sub variabel, yaitu:

1. Pengetahuan masyarakat tentang filariasis 2. Sikap masyarakat tentang filariasis


(52)

5.3.1. Data Karakteristik Responden Kecamatan Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau Tahun 2010

Tabel 5.1

Distribusi Karakteristik Responden Di Kecmatan Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalwan Provinsi Riau Tahun 2010

Karakteristik Frekwensi Persentase

Usia

17-30 tahun 50 52.1%

31-60 tahun 46 47.9%

Jumlah 96 100%

Jenis kelamin

Laki-laki 55 57.3%

Perempuan 41 42.7%

Jumlah 96 100%

Pendidikan

SD 6 6.3%

SMP 56 58.3%

SMA 29 30.2%

Perguruan tinggi 5 5..2%

Jumlah 96 100%

Tabel 5.1 di atas menggambarkan distribusi frekwensi responden berdasarkan usia di Pangkalan Kerinci. Didapati 50 responden (52.1%) adalah usia 17-30 tahun dan terdapt 46 responden (47.9%) adalah usia 31-60 tahun. Responden dari kelompok usia 17-30 tahun adalah lebih banyak berbanding dengan kelompok suia 31-60 tahun. Perbedaan kedua kelompok adalah 4 responden atau sama dengan 4.2%.Tabel 5.1. di atas menunjuk jenis kelamin responden kecamatan Pangkalan Kerinci kabupaten


(53)

Pelalawan provinsi Riau tentang filariasis tahun 2010. Terdapat 55 responden (57.3%) adalah laki-laki dan 41 responden (42.7%) adalah perempuan. Responden laki-laki adalah lebih banyak dari responden wanita dan perbedaan kedua kelompok adalah 14 responden atau sama dengan 14.6%. Tabel 5.1. di atas menggambarkan pendidikan terakhir responden kecamatan Pangkalan Kerinci kabupaten Pelalawan pronvinsi Riau tahun 2010. Dari tabel distribusi di atas dapat dilihat bahwa dari 96 responden yang diteliti, paling banyak yaitu 56 responden (58.3%) memiliki pendidikan terakhir sampai SMP, 29 responden (30.2%) memiliki pendidikan terakhir sampai SMP, 6 responden (6.3%) memiliki pendidikan terakhir sampai SD dan 5 responden 5.2% mempunyai pendidikan terakhir sampai perguruan tinggi.


(54)

5.3.2. Pengetahuan Sikap Dan Tindakan Responden Kecamatan Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau Tentang Filariasis Tahun 2010.

Tabel 5.2

Distribusi Frekwensi Pengetahuan Sikap Dan Tindakan Responden Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau Tahun 2010

Tingkat Frekwensi Persentase

Pengetahuan

Baik 9 9.4%

Sedang 63 65.6%

Kurang 24 25.0%

Jumlah 96 100%

Sikap

Baik 65 67.7%

Sedang 29 30.3%

Kurang 2 2.0%

Jumlah 96 100%

Tindakan

Baik 71 73.9%

Sedang 21 21.9%

Kurang 4 4.2%

Jumlah 96 100%

Tabel 5.2. di atas menggambarkan hasil penelitian terhadap pengetahuan responden Pangkalan Kerinci tahun 2010. Dari 96 responden yang diteliti, paling banyak yaitu 63 responden (65.6%) adalah responden yang memiliki pengetahuan yang sedang tentang filariasis, 24 (25%) responden adalah responden yang memiliki pengetahuan yang kurang tentang filariasis, sedangkan sisanya yaitu 9 responden


(55)

(9.4%) orang mempunyai pengetahuan yang baik tentang filariasis. Tabel 5.2. di atas menggambarkan sikap masyarakat terhadap penyakit filariasis di Pangkalan Kerinci tahun 2010. Dari distribusi frekuensi di atas dapat dilihat dari 96 responden yang diteliti, paling banyak yaitu 65 responden (67.7%) memiliki sikap yang baik terhadap filariasis, 29 responden (30.3%) memiliki sikap yang sedang tentang filariasis dan 2 responden (2%) memiliki sikap yang kurang tentang filariasis. Tabel 5.2. di atas menggambarkan tindakan masyarakat terhadap penyakit filariasis di Pangkalan Kerinci tahun 2010 bahwa dari 96 responden diteliti, paling banyak 71 responden (73.9%) memiliki tindakan yang baik terhadap penyakit filariasis, 21 responden (21.9%) memiliki tindakan yang sedang terhadap penyakit filariasis dan 4 responden (4.2%) mempunyai tindakan yang kurang terhadap penyakit filariasis.


(56)

5.3.3. Analisa Data Variabel Pengetahuan Tabel 5.3.

Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel pengetahuan

No. Pertanyaan/Pernyataan

Jawaban Responden

Benar Salah

f % f %

1. Pengertian filariasis 82 85.4% 14 14.6% 2. Penyebab filariasis 13 13.5% 83 86.5% 3. Cara menular 63 65.6% 33 34.4% 4. Penyebaran ke organ 21 21.9% 75 78.1% 5. Diagnosis filariasis 40 41.7% 56 58.3% 6. Cara pencegahan 60 62.5% 36 37.5% 7. Fogging untuk pencegahan 64 66.7% 32 33.3%

Menurut tabel 5.3. pertanyaan yang paling banyak dijawab benar oleh responden adalah pertanyaan pertama yaitu mencatat 82 responden dan ini bersamaan dengan 85.4%. Pertanyaan pertama adalah mengenai pengertian filariasis, ini menunjukkan kebanyakan responden mengetahui apa itu filariasis. Pertanyaan yang paling banyak dijawab salah adalah pertanyaan kedua yaitu sebanyak 83 responden dan ini bersamaan dengan 86.5%. Pertanyaan kedua adalah pengetahuan mengenai penyebab filariasis dan ternyata banyak responden tidak tahu bahwa filariasis adalah disebabkan oleh parasit dan bukan virus atau bakteri.


(57)

5.3.4. Hubungan Pengetahuan Dengan Jenis Kelamin, Usia Dan Pendidikan Terakhir Responden Pangkalan Kerinci.

Tabel 5.4.

Distribusi Pengetahuan Dengan Karakteristik Responden Pangkalan Kerinci Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau 2010

Pengetahuan Baik Sedang Kurang Jumlah Karakteristik

Jenis kelamin

Laki-laki 5 (9,1%) 35 (63,6%) 15 (27.3%) 55(100%) Perempuan 4 (9.8%) 28 (68.3%) 9 (22.0%) 41(100%) Usia

17-30 tahun 5 (10%) 29 (58%) 16 (32%) 50(100%) 31-60 tahun 4 (8.7%) 34 (73.9%) 8 (17.4%) 46 (100%) Pendidikan

SD 0 (0%) 2 (33.3%) 4 (66.7%) 6 (100%)

SMP 1 (1.8%) 36 (64.3%) 19(33.9%) 56 (100%) SMA 4 (13.8%) 24 (82.8%) 1 (3.4%) 29 (100%) Perguruan tinggi 4 (80%) 1 (20%) 0 (0%) 5 (100%)

Tabel 5.4. menggambarkan distribusi frekwensi pengetahuan dengan jenis kelamin. Menurut tabel 5.4, paling banyak laki-laki mempunyai pengetahuan yang sedang tentang filariasis yaitu 35 responden atau 63.6%. Pada responden perempuan, paling banyak yaitu 63 responden memiliki pengetahuan yang sedang tentang filariasis atau sama dengan 65.6%. Perbedaan responden laki-laki dan responden yang mempunyai pengetahuan yang kurang tentang penyakit filariasis adalah 4.7% dengan perempuan lebih banyak berbanding dengan laki-laki. Tabel 5.4. di atas menujukkan gambaran distribusi frekwensi pengetahuan dengan usia. Didapati paling banayak responden


(58)

dengan usia 17-30 tahun mempunyai pengetahuan yang sedang tentang filariasis. Hanya 5 responden atau 10% dalam kelompok usia ini mempunyai pengetahuan yang baik tentang filariasis. Pada responden dengan kelompok usia 31-60 tahun, paling banyak 34 responden (73.9%) memiliki pengetahuan yang sedang tentang filariasis juga tetapi hanya 4 responden atau 8.7 % responden dalam kelompok usia 31-60 tahun memiliki pengetahuan yang baik tentang filariasis. Ini menunjukkan kedua kelompok usia responden Pangkalan Kerinci mempunyai pengetahuan yang sedang tentang filariasis. Berdasrakan tabel 5.4, dalam kelompok pendidikan terakhir SD, 4 dari 6 responden mempunayi pengetahuan yang kurang tentang filariasis dan mencapai 66.7%. Dalam kelompok pendidikan terakhir SMP dan SMA masing-masing ada 64.3% dan 82.8% responden memiliki pengetahuan yang sedang tentang filariasis. Dalam kelompok pendidikan terakhir perguruan tinggi, terjadi penggeseran responden ke pengetahuan yang baik tentang filariasis dan mencapai 80%.


(59)

5.3.5. Analisa Data Variabel Sikap

Tabel 5.5.

Distribusi frekuensi jawaban responden pada variabel sikap Jawapan responden

No Pertanyaan/pernyataan Benar Salah

F % F %

1. Sikap pengumpulan kaleng 79 82.3% 17 17.7% 2. Penutupan penampungan air 79 82.3% 17 17.7% 3. Membersihkan bab mandi 58 60.4% 38 39.6%

4. Sikap mahu mencegah 88 91.7% 8 8.3%

5. Sikap mahu diobati 77 80.2% 19 19.8%

6. Sikap terhadap 3M 89 92.7% 7 7.3%

7. Sikap lebih cepat mengobati 90 93.6% 6 6.2%

Menurut tabel 5.5. , pertanyaan tentang sikap yang paling banyak dijawab benar adalah pertanyaan ketujuh dan mencatat 90 responden atau bersamaan dengan 93.6%. Pertanyaan ketujuh adalah mengenai sikap untuk mengobati penyakit filariasis, hasil ini membukti responden mempunyai sikap untuk mengobati segera apabila menderita penyakit filariasis. perntanyaan sikap yang paling banyak dijawab salah adalah pertanyaan ketiga dan sebanyak 38 responden (39.6%). Pertanyaan ketiga adalah mengenai sikap responden untuk membersihkan bab mandi, hasil di atas menunjukkan kebanyakan responden tidak sering membersihan bab mandi dan ini mungkin menjadi tempat pembiakan nyamuk yang bisa menularkan penyakit filariasis.


(1)

Usia dalam kelompok

50 52.1 52.1 52.1

46 47.9 47.9 100.0

96 100.0 100.0

1.00 2.00 Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

jenis kelamin responden

55 57.3 57.3 57.3

41 42.7 42.7 100.0

96 100.0 100.0

laki-laki perempuan Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

penddidikan terakhir responden

6 6.3 6.3 6.3

56 58.3 58.3 64.6

29 30.2 30.2 94.8

5 5.2 5.2 100.0

96 100.0 100.0

SD SMP SMA

PERGURUAAN TINGGI Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

pe nge tahuan dala m kelom pok

9 9.4 9.4 9.4

1.00 Valid

Frequency Percent Valid P ercent

Cumulative Percent


(2)

sikap dala m kelom pok

65 67.7 67.7 67.7

29 30.2 30.2 97.9

2 2.1 2.1 100.0

96 100.0 100.0

1.00 2.00 3.00 Total Valid

Frequency Percent Valid P ercent

Cumulative Percent

tindakan dala m ke lom pok

71 74.0 74.0 74.0

21 21.9 21.9 95.8

4 4.2 4.2 100.0

96 100.0 100.0

1.00 2.00 3.00 Total Valid

Frequency Percent Valid P ercent

Cumulative Percent

pengetahuan dalam kelompok * jenis kelamin responden Crosstabulation

5 4 9

9.1% 9.8% 9.4%

35 28 63

63.6% 68.3% 65.6%

15 9 24

27.3% 22.0% 25.0%

55 41 96

Count % within jenis kelamin res ponden Count

% within jenis kelamin res ponden Count

% within jenis kelamin res ponden Count

% within jenis 1.00

2.00

3.00 pengetahuan

dalam kelompok

Total

laki-laki perempuan jenis kelamin responden


(3)

pengetahuan dalam kelompok * Usia dalam kelompok Crosstabulation

5 4 9

10.0% 8.7% 9.4%

29 34 63

58.0% 73.9% 65.6%

16 8 24

32.0% 17.4% 25.0%

50 46 96

100.0% 100.0% 100.0% Count

% within Us ia dalam kelompok Count

% within Us ia dalam kelompok Count

% within Us ia dalam kelompok Count

% within Us ia dalam kelompok 1.00

2.00

3.00 pengetahuan

dalam kelompok

Total

1.00 2.00

Us ia dalam kelompok

Total

pengetahuan dalam kelompok * penddidikan terakhir responden Crosstabulation

0

1

4

4

9

.0%

1.8%

13.8%

80.0%

9.4%

2

36

24

1

63

33.3%

64.3%

82.8%

20.0%

65.6%

4

19

1

0

24

66.7%

33.9%

3.4%

.0%

25.0%

6

56

29

5

96

100.0%

100.0%

100.0%

100.0%

100.0%

Count

% within penddidikan

terakhir responden

Count

% within penddidikan

terakhir responden

Count

% within penddidikan

terakhir responden

Count

% within penddidikan

terakhir responden

1.00

2.00

3.00

pengetahuan

dalam kelompok

Total

SD

SMP

SMA

PERGURUA

AN TINGGI

penddidikan terakhir responden


(4)

sikap dalam kelompok * jenis kelamin responden Crosstabulation

37 28 65

67.3% 68.3% 67.7%

17 12 29

30.9% 29.3% 30.2%

1 1 2

1.8% 2.4% 2.1%

55 41 96

100.0% 100.0% 100.0%

Count % within jenis kelamin res ponden Count

% within jenis kelamin res ponden Count

% within jenis kelamin res ponden Count

% within jenis kelamin res ponden 1.00

2.00

3.00 sikap dalam

kelompok

Total

laki-laki perempuan jenis kelamin responden

Total

sikap dalam kelompok * Usia dalam kelompok Crosstabulation

32 33 65

64.0% 71.7% 67.7%

16 13 29

32.0% 28.3% 30.2%

2 0 2

4.0% .0% 2.1%

50 46 96

100.0% 100.0% 100.0% Count

% within Us ia dalam kelompok Count

% within Us ia dalam kelompok Count

% within Us ia dalam kelompok Count

% within Us ia dalam kelompok 1.00

2.00

3.00 sikap dalam

kelompok

Total

1.00 2.00

Us ia dalam kelompok


(5)

sikap dalam kelompok * penddidikan terakhir responden Crosstabulation

3 36 23 3 65

50.0% 64.3% 79.3% 60.0% 67.7%

3 19 5 2 29

50.0% 33.9% 17.2% 40.0% 30.2%

0 1 1 0 2

.0% 1.8% 3.4% .0% 2.1%

6 56 29 5 96

100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Count

% within penddidikan terakhir res ponden Count

% within penddidikan terakhir res ponden Count

% within penddidikan terakhir res ponden Count

% within penddidikan terakhir res ponden 1.00

2.00

3.00 sikap dalam kelompok

Total

SD SMP SMA

PERGURUA AN TINGGI penddidikan terakhir res ponden

Total

tindakan dalam kelompok * jenis kelamin responden Crosstabulation

44 27 71

80.0% 65.9% 74.0%

10 11 21

18.2% 26.8% 21.9%

1 3 4

1.8% 7.3% 4.2%

55 41 96

100.0% 100.0% 100.0%

Count % within jenis kelamin res ponden Count

% within jenis kelamin res ponden Count

% within jenis kelamin res ponden Count

% within jenis kelamin res ponden 1.00

2.00

3.00 tindakan dalam

kelompok

Total

laki-laki perempuan jenis kelamin responden


(6)

tindakan dalam kelompok * Usia dalam kelompok Crosstabulation

34 37 71

68.0% 80.4% 74.0%

13 8 21

26.0% 17.4% 21.9%

3 1 4

6.0% 2.2% 4.2%

50 46 96

100.0% 100.0% 100.0% Count

% within Us ia dalam kelompok Count

% within Us ia dalam kelompok Count

% within Us ia dalam kelompok Count

% within Us ia dalam kelompok 1.00

2.00

3.00 tindakan dalam

kelompok

Total

1.00 2.00

Us ia dalam kelompok

Total

tindakan dalam kelompok * penddidikan terakhir responden Crosstabulation

3 45 20 3 71

50.0% 80.4% 69.0% 60.0% 74.0%

2 9 8 2 21

33.3% 16.1% 27.6% 40.0% 21.9%

1 2 1 0 4

16.7% 3.6% 3.4% .0% 4.2%

6 56 29 5 96

100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%

Count

% within penddidikan terakhir res ponden Count

% within penddidikan terakhir res ponden Count

% within penddidikan terakhir res ponden Count

% within penddidikan terakhir res ponden 1.00

2.00

3.00 tindakan dalam kelompok

Total

SD SMP SMA

PERGURUA AN TINGGI penddidikan terakhir res ponden