kenakalan seorang anak bernama Mohammad Hafiz, bahkan sampai dewasa pun masih bandel, keras kepala, dan tidak mau diatur.
Sedangkan sebagai seorang individu yang unik, Syafii Maarif memberikan pelajaran bagaimana seharusnya “hablum minannas”, berhubungan dengan individu-
individu lain di muka bumi ini, yaitu dengan selalu berprasangka positif dan baik dan menghilangkan berprasangka buruk pada orang, saling menghargai dan menghormati.
Terkadang sedikit naif, sikap agak berlawanan dengan sikap pandanganopini Muhammad Hafiz sendiri yang ekstra hati-hati, bahkan cenderung sarkastik terhadap
orang.
29
G. Pendidikan
Dunia awal masa kecil Ahmad syafii Maarif dilewati di kampung halamannya. Pendidikan dasar diperoleh di Sekolah Rakyat SR Sumpur Kudus.
Selanjutnya Ahmad Syafii Maarif melanjutkan sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Sumpur Kudus hingga selesai pada tahun 1947. Setelah lulus dari
Madrasah Ibtidaiyah, Ahmad Syafii Maarif melanjutkan pendidikan di Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Balai Tengah, Lintau dan selesai pada tahun 1953.
Pendidikan menengah tidak seluruhnya dihabiskan di Lintau, tetapi sebagian dilanjutkan di Yogjakarta dan meneruskan pendidikannya di Madrasah Mu’alimin
Yogyakarta. Ternyata datang ke Jawa meneruskan pendidikan tidak semudah yang dibayangkan. Karena ada beberapa alasan dari pihak sekolah untuk menolak Ahmad
29
Abd. Rohim Ghazali, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif, h. 11
Syafii Maarif masuk ke kelas empat, yaitu; pertama, kelas empat sudah penuh, kedua, dari seorang guru, Syafii Maarif mendengar bahwa kualitas pelajaran di Yogya lebih
tinggi dibandingkan dengan Mu’alimin daerah lain. Jadi Ahmad Syafii Maarif akan mengalami kesulitan bila masuk ke kelas empat. Awalnya Ahmad Syafii Maarif
merasa syok, namum Ahmad Syafii Maarif tidak bisa berbuat apa-apa dan kemudian menganggur, jika tidak mau mengulang kelas tiga. Semua itu dihadapinya dengan
tabah, dan mengulang kuartal terakhir kelas tiga Mu’alimin,
30
sehingga akhirnya dapat tamat pada 12 Juli 1956.
31
Ahmad Syafii Maarif mendinamisasikan dirinya, berkat M. Sanusi Latief, ia melanjutkan pendidikannya di Madrasah Muallimin
Muhammadiyah Yogyakarta.
32
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya pada tahun 1956, Ahmad Syafii Maarif melanjutkan pendidikannya di Surakarta, tepatnya di Universitas
Cokroaminoto Surakarta Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan FKIP atas bantuan saudaranya.
30
Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku , h. 106
31
Suara Karya, Ketua Umum; Muhammadiyah Tetap sebagai Organisasi Sosial Jakarta: 10 Juli 2000
32
Suara Karya, Ketua Umum; Muhammadiyah Tetap sebagai Organisasi Sosial Jakarta: 10 Juli 2000
Namun baru satu tahun kuliah bantuan itu sempat terhenti karena hubungan pulau Jawa dan Sumatera terputus akibat pemberontakan PRRIPermesta,
33
akhirnya Ahmad Syafii Maarif memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliah, kemudian Ahmad
Syafii Maarif menjadi guru di desa Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah.
34
Sambil mengajar, Ahmad Syafii Maarif kembali melanjutkan kuliah, karena sering tidak
masuk kuliah -karna sering mengajar- akibatnya Ahmad Syafii Maarif hanya tamat Sarjana Muda BA pada tahun 1964. Putus sambung kuliah sudah pernah
dirasakannya, namun karena motivasi belajar yang cukup tinggi, akhirnya ia berhasil menyelesaikan kuliah, walau harus ditempuh sambil bekerja.
35
Gelar Sarjana Drs diperolehnya di Yogyakarta dari FKIS IKIP Yogyakarta pada Agustus 1968
36
, dengan skripsi berjudul “Gerakan Komunis di Vietnam 1930-1954”, dibawah
bimbingan Dharmono Hardjowidjono, dosen sejarah Asia Tenggara. Untuk teman- teman seangkatannya, Ahmad Syafii Maarif adalah lulusan pertama.
33
PPRI adalah Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia,suatu pemerintahan tandingan dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegaradari masyumisebagai Perdana Menteri, PPRI di
proklamirkan di Padang, tanggal 15 Februari 1958. Pemberontakan ini menuntut otonomi regional, perbaikkan Duumvirate Soekarno dan Hatta, Pembentukan Senat, Penggantian Kepala Staf ABRI
Jendral Nasution dan Stafnya, dan pembatasan aktivitas PKI. Permesta adalah Perjuangan Semesta Alam, yang bergabung dengan PPRI yang dipimpin oleh H. N. V.Sumual, Permesta diproklamirkan
pada tanggal 2Maret 1957 di Makassar, Sulawesi Selatan. Bahtiar Effendy, Islam Dan Negara:Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,
h. 97-98
34
Ahmad Syafii Maarif, Independensi Muhammadiyah; Di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik
Jakarta: Cidesindo, 2000, h. 172
35
Abd. Rohim Ghazali, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif, h. Xi
36
Ahmad Syafii Maarif, Independensi Muhammadiyah di Tengah Pergumulan Pemikiran Islam dan Politik
, h. 172-173
Dalam pengembangan akademika, Ahmad Syafii Maarif berangkat ke Amerika, ia belajar sejarah pada Nothern Illinois University 1973 dan Ohio State
University 1980 hingga dapat gelar MA. Di Athens ia tinggal bersama teman- temannya dari Malaysia yang juga aktivis MSA Muslim Students’ Association yang
masih serba belia, sementara usia Syafii Maarif sendiri sudah di atas 30 tahun. Selama perkembangan pemikiran keislamaan Syafii Maarif di Atheans belum ada
perkembangan yang berarti, Syafii Maarif masih terpasung dalam status quo. Masih berkutat pada ajaran maududi, Maryam Jameelah, tokoh-tokoh Ikhwan, Masyumi,
dan gagasan tentang negara Islam. Iqbal, pemikir dan penyair dari pakistan pun telah Syafii Maarif ikuti, tetapi ruh ijtidanya belum singgah secara mantap di otak Syafii
Maarif yang masih bercorak aktivis, belum reflektif dan kontemplatif. Apalagi Syafii Maarif aktif dalam MSA Muslim Students Association, yang masih merindukan
tegaknya sebuah negara Islam di suatu Negeri.
37
Di lingkungan MSA, ia bergaul dengan teman-teman dari Saudi Arabia, Kuwait, Mesir, Iraq, Libia, Al-Jazair, di samping teman-teman dari Indonesia dan
Malaysia. Dari segi moral pergaulan, MSA sungguh bagus, hati-hati, dan saling menjaga. Tidak ada di antara mereka yang larut dalam budaya serba bebas ala Barat.
Di Athens ia adalah salah seorang khatib pada hari Jum’at yang diselenggarakan di sebuah ruangan luas di lingkungan kampus. Di Athens, lingkungan pergaulan Syafii
Maarif berada di tengah-tengah orang-orang saleh, tetapi hampir sepi dari pemikiran
37
Titik-titik Kisar di Perjalananku, h.209
yang memungkinkan kita keluar dari kebutuhan intelektual yang sudah beradab diderita dunia.Muslim. Teori-teori keIslaman yang bertolak dari sikap anti asing
ternyata tidak mampu menawarkan solusi bagi masalah modernitas yang semakin sekuler kalau bukan ateistik. Sebuah paradoks berlaku di sini. Para pendukung
Maududi, Qutb, yang mengkritik Barat in toto, umumnya tidak betah hidup di negerinya sendiri, karena berhadapan dengan penguasa yang korup, otoritarian, dan
ulama konservatif. Justru mereka memilih hidup di barat yang dijadikan sasran kritik itu.
38
Menurut Syafii Maarif, di dunia ini kita tidak boleh memakai kaca mata hitam. Di antara mahasiswa muslim yang datang dari berbagai penjuru dunia, tidak
sedikit yang menemukan Islam setelah mereka belajar di Barat. Bahkan sebagian mereka menjadi puritan. Di tanah airnya masing-masing belum tentu mereka
mengenal shalat dan praktik-praktik Islam lainnya, di Barat justru muncul kesadara baru untuk mencapai Muslim yang baik. Oleh sebab itu akan lebih bijak bila orang
bersikap lapang dada saja, jangan ekstrim anti sesuatu, sebab Barat-Timur itu milik Allah. Kearifan tidak bersifat Barat atau bersifat Timur. Orang bias saja menemukan
kearifan itu di mana saja asal di cari dengan sungguh-sungguh melalui hati dan otak yang terbuka semata-mata karena rindu kepada kebenaran. Syafii Maarif pun berkata
Islam haruslah senantiasa bersentuhan dengan realitas. Bukan saja bersentuhan,tetapi
38
Titik-tititk Kisar di Perjalananku, h.213
malah wajib berupaya mengubah realitas yang pengap menjadi sesuatu yang asri, adil, dan penuh rahmat yang dapat diukur dengan parameter apa pun.
39
Pada tahun 1978 diusia 43 tahun Maarif meninggalkan Athens, Di Ohio inilah ia mendapat MA pada Departemen Sejarah dengan tesis “Islamic Politics Under
Guided Democracy in Indonesia” 1959-1965 dibawah bimbingan Prof. William H.
Frederick, Ph.D, seorang ahli Indonesia dan sejarah Jepang yang teramat baik terhadapnya.
Dari sinilah Ahmad Syafii Maarif mengikuti ke mana tapak kaki melangkah sampai mencapai puncak prestasi akademik, Ph.D Doctor of Philosophy, dari
negara yang mengklaim dirinya sebagai bapak Demokrasi, Amerika Serikat, tepatnya di University of Chicago Desember 1983
40
dalam usia 47 tahun. Tidak mudah bagi Maarif untuk meneruskan belajar ke Universitas Chicago, sekalipun ia
sudah diterima untuk program Ph.D dalam Pemikiran Islam. Bantuan sahabatnya M. Amien Rais, sungguh menjadi penting bagi Maarif untuk bisa belajar Islam ke
kampus “orientalis” itu. Professor Frederick turut membantunya untuk mendapatkan beasiswa dari Ford Foundation dan USAID melalui perwakilannya di Jakarta.
Akhirnya dengan bantuan banyak pihak, beasiswa itu bisa ia dapatkan. Pada saat-saat awal itu tidak terbayang dalam otakknya bahwa Chicago akan mengubah secara
fundamental sikap intelektualnya tentang Islam dan kemanusiaan. Gelar Ph.D dalam
39
Titik-titik Kisar di Perjalananku, h.214
40
Ahmad Syafii Maarif, Mencri Autentisitas, h. Sampul
bidang pemikiran Islam diselesaikan pada tahun 1983 dengan disertasi “Islam as the Basic of State; A Study of the Islamic Political Ideal as Reflected in the Cinstituent
Assembly Debates in Indonesia” dibawah bimbingan Prof. Dr. Fazlur Rahman.
41
Meskipun Syafii dibesarkan dalam tradisi akademik di negara superpower, namun kritiknya terhadap kebijakan politik luar negeri dari negara adikuasa, misalnya
Amerika yang dianggap kurang fair dan cenderung “berat-sebelah” terhadap negara- negara Muslim, tak pernah luntur.
Sebelum mencapai puncak-puncak di atas, Ahmad Syafii Maarif melakukan perjalanan dan pengembaraan dari satu daerah ke daerah yang lain disertai berbagai
interupsi dalam kehidupannya. Antara rantau dan alam, dalam sosok Ahmad Syafii Maarif, selalu terlibat dalam dialog secara terus-menerus disertai dengan sikap kritis
Alam terkembang jadi guru. Proses atau struktur pengalaman inilah yang membentuk sosoknya sebagai manusia bebas dan merdeka.
H. Aktivitas