Latar Belakang Masalah PENUTUP

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di kalangan intelektual Muslim sejak zaman klasik hingga saat ini terdapat tiga aliran tentang hubungan agama dan negara, yaitu: Pertama, golongan sekuler Barat, berpendapat bahwa agama yang tidak ada hubungannya dengan urusan politik atau negara. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad saw hanyalah seorang rasul biasa seperti rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia. Nabi tidak pernah bermaksud mendirikan suatu negara atau pun sejenis bangunan politik lainnya. Kedua, aliran ini berpendapat bahwa Islam memang tidak memiliki hubungan secara langsung dengan masalah negara tetapi ia memiliki seperangkat nilai etika bagi kehidupan bernegara atau dalam kata lain memiliki hubungan integralistik yang saling mempengaruhi melalui nilai- nilai etika tersebut. Tokoh utama yang mewakili aliran ini adalah Muhammad Husain Haikal. 1 Ketiga, para Islamis pada umumnya berpendapat, Islam merupakan sebuah agama yang khas. Sebab, Islam mengatur bukan hanya urusan transcendental, tapi juga hubungan sosial, bahkan politik. Sejarah Islam juga telah memperlihatkan bahwa Nabi Muhammad saw dalam kenyataannya merupakan pimpinan politik dan agama 1 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah dan Pemikiran Jakarta: UI Press, 1993, h. 3 sekaligus. 2 Namun, Nabi Muhammad saw tidak pernah menyatakan diri sebagai seorang penguasa. Fakta itu memberikan sebuah interpretasi bahwa politik hakikatnya hanyalah sarana dari agama itu sendiri. Apalagi fakta bahwa sunnah Nabi maupun realitas al- Quran memang tidak memberikan pola teori kenegaraan secara baku, karena al- Quran memang lebih merupakan petunjuk etik bagi manusia, bukan sebuah kitab ilmu politik. Umat Islam diberi kebebasan untuk membangun sistem politiknya sesuai dengan tantangan zaman dan tuntunan masyarakat. Tujuan terpenting dalam al-Quran lebih terarah pada upaya agar nilai dan perintah etiknya dijunjung tinggi dan bersifat mengikat atas berbagai kegiatan sosio-politik dan sosio-kultural umat Islam. Maka atas dasar nilai-nilai etik al-Quranlah, bangunan politik Islam dan bangunan sosio- kultural wajib ditegakkan. 3 Karena itu, dapat dipahami pula jika Islam akhirnya menjadi ideologi yang ampuh dalam panji-panji perlawanan rakyat Indonesia ketika melawan kolonial, penjajah dan pendatang asing yang atribut kulturnya berbeda dengan pribumi yang mayoritas Muslim. 4 Keinginan adanya cara hidup Islami dengan diberlakukannya syariat Islam di lembaga negara disuarakan sejak sebelum Indonesia merdeka hingga pasca- 2 Dhurorurudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008, h. 51 3 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan; Studi tentang Percaturan dalam Konstituante Jakarta: LP3ES, 1996, h. 16 4 Dhurorudin Mashad, Akar Konflik Politik Islam di Indonesia, h. 53 kemerdekaan. 5 Pada awal-awal menjelang kemerdekaan Indonesia, para tokoh pendiri bangsa Indonesia dihadapkan dengan perdebatan panjang tentang ideologi dan dasar negara yang akan diterapkan di Indonesia. Berbagai kalangan mencoba memberikan argumen dan menawarkan dasar negara untuk Indonesia. Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan BPUUPK yang dilantik pada 28 Mei 1945, ditugaskan untuk merumuskan bentuk negara, batas negara, dasar filsafat negara, dan masalah-masalah lain yang perlu dimasukkan dalam konstitusi. Para anggota BPUUPK mencoba mempertanyakan Philosofische Grondslang Landasan filosofis bagi negara yang hendak didirikan, Soekarno dan Moehammad Yamin merupakan tokoh yang paling siap untuk memberikan jawaban. Soekarno dan Moehammad Yamin mengajukan lima prinsip dasar yang kemudian dikenal dengan Pancasila. Sedangkan dari kalangan Islam yang paling bersemangat adalah Ki Bagus Hadikusuma, seorang tokoh puncak Muhammadiyah, mengajukan Islam sebagai dasar negara. Usul Ki Bagus ini merupakan anti-tesis terhadap usulan Soekarno-Yamin. Dengan munculnya dua usulan yang berbeda itu, maka dimulailah pergumulan pertama antara Pancasila dan Islam dalam sidang-sidang BPUPKI. Dalam badan BPUPKI inilah terjadi perdebatan ideologis yang sangat tajam antara wakil-wakil kaum Muslimin dengan golongan nasionalis-sekuler. Perdebatan itu dengan sendirinya memanaskan keadaan politik menjelang lahirnya Indonesia. 5 Irfan S. Awwas, Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia; Menguak Perjuangan Umat Islam dan Pengkhianatan Kaum Nasionalis-Sekuler Yogyakarta: Uswah, 2008, h. 33 Sidang pertama BPUPKI diselenggarakan tanggal 29 Mei sampai 1 Juni 1945. Pokok bahasan sidang pertama itu membicarakan dasar ideologi negara yang akan dibentuk. 6 Para pemimpin Islam menginginkan agar negara didirikan di atas petunjuk al-Quranul Karim dan al-Hadits shahih, sehingga Indonesia harus menjadi negara Islam. Sedangkan kaum nasionalis-sekuler, mengingat bahwa tidak hanya dihuni oleh orang-orang Islam, mereka menghendaki konstruk negara Indonesia merdeka tidak harus berdasarkan pada suatu agama tertentu Islam, sebab jika negara yang majemuk ini, terutama dari dimensi agama, Islam dijadikan sebagai agama resmi negara dan sebagai dasar negara, tentu akan terjadi diskriminasi terhadap agama- agama lain. 7 Dari pihak Islam beralasan bahwa sesungguhnya mayoritas penduduk Indonesia beragam Islam. Namun demikian, syariat Islam tidak dapat berjalan, sebab -sebagaimana diutarakan oleh Ki Bagus Hadikusumo- tidak ada institusi formal seperti negara yang mendukungnya. Zaman pemerintahan kolonial Belanda adalah contoh paling tepat untuk melukiskan betapa syariat Islam tidak dapat berjalan, kendati pun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Lebih lanjut Hadikusumo menjelaskan bahwa sebagian besar ajaran Islam mempunyai hubungan langsung dengan persoalan politik. 6 Irfan S. Awwas, Trilogi Kepemimpinan Negara Islam Indonesia, h. 122 7 Bahtiar Efendy, Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktek Politik Islam Indonesia Jakarta: Paramadina, 1998, Cet. Ke-I, h. 89 Pernyataan Ki Bagus Hadikusumo itu sepenuhnya dapat dipahami oleh pihak nasionalis-sekuler. Namun, kelompok ini masih tidak dapat menerima gagasan negara Islam, karena menurut Soepomo wakil nasionalis-sekuler, Indonesia mempunyai keistimewaan-keistimewaan tertentu. Lebih dari itu, ia juga meragukan apakah syariat Islam tetap cukup mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern. Ideologi Islam dalam pandangan mereka adalah bentuk sistem kuno yang tidak mampu menjawab persoalan-persoalan masyarakat modern. Setelah bergumul selama lebih kurang 21 hari, akhirnya pada tanggal 22 Juni 1945 suatu sintesis dan kompromi dapat diwujudkan antara dua pola pemikiran yang berbeda itu. Sintesis inilah yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Piagam Jakarta adalah hasil kerja sebuah panitia kecil dalam BPUPKI. 8 Dalam piagam ini Pancasila diterima sebagai dasar negara, tetapi urutan silanya mengalami perubahan letak. Sila ketuhanan disamping ditempatkan sebagai sila mahkota pertama, juga diberikan anak kalimat pengiring, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Piagam ini adalah hasil rumusan panitia sembilan: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikusumo Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wahid Hasjim, dan Moehammad Yamin. Kompromi politik dalam bentuk Piagam Jakarta rupanya hanya mampu bertahan selama 57 hari. Anak kalimat pengiring yang terdiri dari tujuh atau delapan perkataan di atas dirasakan oleh sebagian bangsa kita belahan timur sebagai 8 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara, h. 109 diskriminatif terhadap pemeluk agama lain. Maka demi persatuan bangsa, akhirnya anak kalimat itu pada tanggal 18 Agustus 1945 dibuang dari pembukaan UUD 1945. Alasan paling keras disuarakan untuk menolak pemberlakuan syariat Islam adalah persoalan minoritas non-Muslim. Kekhawatiran minoritas non-Muslim seperti ini pernah diungkapkan secara terbuka dan terus terang oleh seorang cendekiawan Kristen, Th. Sumartana. Menurutnya, Bagi umat non-Muslim, kesangsian dan ketakutan utama mereka terhadap pemberlakuan syariat Islam adalah manakala status kewarganegaraan mereka tereduksi menjadi sekedar para penumpang atau para tamu, bahkan lebih ngeri lagi kalau dianggap sebagai orang asing di negara sendiri. Mereka ingin diakui dan diterima sebagai sesama warga negara yang setara dengan warga negara yang lain, karena mereka juga merasa memiliki andil dalam pendirian republik ini. Pasca polemik Soekarno dan Natsir, perdebatan yang sama kembali muncul pada masa Orde Baru antara tahun 1960-an sampai 1980-an di kalangan para intelektual Muslim. Pada masa awal Orde Baru, pembangunan ekonomi lebih diprioritaskan dari pada masalah politik. Untuk itu stabilitas merupakan prinsip penting bagi pemerintah, pada awal dekade 1970-an pemerintah mengadakan restrukturisasi politik dalam usaha menciutkan peran politik masyarakat untuk suksesnya stabilitas. Bersamaan dengan depolitisasi masa lalu, pemerintahan Orde Baru merencanakan apa yang disebut dengan pembangunan nasional dengan modernisasi isu sentralnya. 9 Salah satu tokoh pendukung kuat gagasan negara Islam Indonesia pada masa ini adalah Ahmad Syafii Maarif. Sebelum meneruskan kuliah ke Universitas Chicago, pola pikir Maarif terikat oleh pemikiran tokoh-tokoh Masyumi plus Maududi dan menjadikannya sebagai rujukan primer. Pada tahun 1976-1978, Syafii Maarif aktif dalam MSA Muslim Students Association, yang masih sangat merindukan tegaknya sebuah negara Islam di suatu negeri. Sampai meninggalkan Athens tahun 1978, masih belum ada yang dapat ditawarkan Syafii Maarif untuk menembus kebuntuan intelektualisme Islam. Kesamaan ideologi Maarif dengan tokoh-tokoh Masyumi ini ia pertahankan hingga akhirnya berubah haluan setelah sampai di Chicago pada awal 1980-an. 10 Periode Chicago merupakan perubahan mendasar dalam pola pemikirannya tentang Islam, Maarif merasa sedang mengalami kelahiran kedua dalam pemikiran. Islam baginya adalah sumber moral utama dan pertama. Al-Quran adalah kitab suci dengan sebuah benang merah pandangan dunia yang jelas sebagai acuan dalam berpolitik. Pergumulan dengan kuliah-kuliah Fazlur Rahman selama empat tahun telah mempengaruhi sikap hidup Maarif secara mendasar. 11 9 Ahmad Amir Azis, Neo Modernisme Islam Indonesia; Gagasan Sentral Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid Jakarta: PT. Bineka Cipta, 1999, Cet. Ke-I, h. 38 10 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku Yogyakarta: Ombak, 2006, h. 195 11 Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 224 Menurut Syafii Maarif, sebutan negara Islam tidak diperlukan lagi. Tetapi bahwa moral Islam harus menyinari masyarakat luas adalah sebuah keniscayaan, jika memang Indonesia ingin menjadi sebuah negeri yang adil dan makmur. Adapun perangkat hukum-hukum Islam dapat dikawinkan dengan sistem hukum nasional melalui proses demokratisasi. Dalam konteks ini, Nurchalish Madjid menggambarkan bahwa pengertian Islam hakiki bukanlah strukur atau kumpulan hukum, yang bisa melahirkan formalisme agama, tetapi Islam sebagai pengejawantahan tauhid yang melahirkan jiwa yang hanif, terbuka, demokratis, atau paling tidak mampu menempatkan dirinya dalam konfigurasi pluralistik. 12 Selanjutnya, untuk menjelaskan posisinya dalam masalah hubungan Islam dan negara, Ahmad Syafii Maarif sering mengutip ungkapan Hatta Janganlah gunakan filsafat gincu, tampak tetapi tidak terasa, pakailah filsafat garam, tak tampak tetapi terasa. Menurut Syafii Maarif, Pancasila yang sudah disepakati itu harus membukakan pintu seluas-luasnya bagi masuknya sinar wahyu, sehingga tuduhan bahwa Indonesia yang berdasarkan Pancasila tidak berbeda dengan negara sekuler akan dapat ditangkal. Pancasila yang hanya dimuliakan dalam kata, tetapi dikhianati dalam laku, hanyalah akan memperpanjang derita bangsa, sementara tujuan kemerdekaan berupa tegaknya sebuah masyarakat adil dan makmur akan semakin menjauh saja. 12 Ahmad Taufik, dkk., Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, Cet. Ke-I, h. 156 Untuk mempelajari lebih dalam lagi pemikiran Ahmad Syafii Maarif tersebut, penulis merasa perlu dan merasa tertarik untuk membahas hal itu dalam sebuah skripsi dengan judul: DINAMIKA PEMIKIRAN POLITIK AHMAD SYAFII MAARIF Tinjauan Terhadap Ideologi Negara. Karya ilmiah ini diharapkan dapat memberikan gambaran lebih jauh tentang konsep ideologi bernegara Ahmad Syafii Maarif.

B. Pembatasan Masalah 1. Pembatasan Masalah