BAB II BIOGRAFI AHMAD SYAFII MAARIF
F. Kelahiran Ahmad Syafii Maarif
Ahmad Syafii Maarif sering di panggil dengan istilah “Buya” oleh orang yang dekat  dengannya.  Istilah  Buya  di  ucapkan  kepada  Syafii  Maarif  karena  ia  pantas
menyandang  panggilan  Buya  yang  memang  sudah  menjadi  ulama  yang  benar-benar alim,  dan  juga  dikenal  sebagai  pendidik,  sekaligus  ilmuwan  atau  cendekiawan  yang
mempunyai  reputasi  intelektual  yang  sangat  tinggi.  Namun  Ahmad  Syafii  Maarif sendiri  mengatakan  “tidak  usahlah  disebut  dengan  Buya,  cukup  dengan  nama  saja,
sebutan  Buya  masih  dipermasalahkan”.  Kadang  Ahmad  Syafii  Maarif  suka memelesetkan  dengan  kata  “Buaya”,  seolah-olah  mencoba  menetralisasi  atau  ingin
membersihkan  kandungan  “karismatik”  atau  feodalistik”  yang  dari  sebutan  khas untuk  tokoh  Minang  itu.  Lagi-lagi  sikap  humanis  yang  egaliter.  Di  hadapannya
apapun  yang  berbau  “keangkeran  diri”  diubah  menjadi  hal  wajar,  biasa  dan  bahkan lugu dan polos.
18
Ahmad  Syafii  Maarif  lahir  dari  pasangan  Marifah  Rauf  dan  Fathiyah  pada hari  Sabtu,  31  Mei  1935  di  bumi  Calau  Sumpur  Kudus  Makkah  Darat,  Sumatera
Barat.  Sumpur  Kudus  Makkah  Darat  Makkah  Darek  dalam  bahasa  Minang adalah ungkapan yang sering diulang-ulang tidak saja oleh kaum elit negeri Minang,
18
Abd. Rohim Ghazali dan Saleh Partaonan Daulay editor, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif Cermin untuk Semua
Jakarta: Maarif Institute, 2005, h. 37
rakyat jelata pun tak lupa pula menyebutnya.
19
Secara kultural melambangkan sebuah gerak  perlawanan  terhadap  apa  yang  bernama  kultur  hitam  Jahiliyah  yang  dikuasai
Parewa preman sangar daerah pedalaman. Sewaktu kecil Syafii Maarif tidak ada cita-cita tinggi yang ingin diraih, tidak
ada angan-angan untuk  jadi  apa atau siapa, karena  memang  lingkungan  nagari  yang sempit dan sederhana itu tidak mendorong orang untuk menjadi sosok melebihi orang
kampungnya.  Semasa  kecil  Syafii  Maarif,  pengaruh  kota  belum  menjalar  di kampungnya,  karena  televisi
20
saat  itu  belum  lagi  ada.  Wawasan  Syafii  Maarif  pun hanyalah sebatas nagari Sumpur Kudus. Dalam kehidupan sehari-hari, Syafii  Maarif
bergaul dengan teman-teman sekampungnya, mengadu sapi, mengadu ayam, mengail, menjala, menembak burung dengan senapang angin milik abangnya dan mengembala
sapi.
21
Ayah  Syafii  Maarif  lahir  pada  tahun  1900,  Ia  adalah  seorang  terpandang  di kampung,  saudagar  gambir,  jauh  sebelum  dia  diangkat  menjadi  kepala  nagari  tahun
1936. Keluarga  Ahmad  Syafii  Maarif  merupakan  keluarga  terhormat,  ayahnya sebagai  kepala  suku  Melayu  dengan  menyandang  gelar  Datuk  Rajo  Malayu  yang
jabatannya  sampai  wafat.  Secara  ekonomi,  ayahnya  termasuk  dalam  kategori  elit  di kampung,  tempat  masyarakat  mengadu  tentang  berbagai  masalah,  tidak  saja
19
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku Yogyakarta: Ombak, 2006, h. 3
20
Televisi  Republik  Indonesia  TVRI  di  Indonesia  dimulai  pada  tanggal  17  Agustus  1962 dengan  studionya  yang  sederhana  di  komplek  Senayan  Jakarta  Onong  Uchyana  Effendy,  Dimensi
Komunikasi, Bandung: Alumni, 1981, h. 178
21
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 82
menyangkut  masalah  ekonomi,  juga  masalah  adat  dan  lembaga  tingkat  nagari. Pengetahuan agama ayahnya diperolehnya dengan membaca. Bahkan ayahnya cerdas,
semua  orang  kampung  mengakui.  Maarif  sendiri  sering  menyaksikan  betapa  rasa hormat  masyarakat  kepada  ayahnya,  pasti  datang  dengan  sikap  sopan  sebagai
pertanda bahwa yang ditemui itu memang layak untuk itu. Ayah Ahmad Syafii Maarif bersaudara seayah-seibu Abd. Rauf dan Bailam
berjumlah  tujuh;  Ma’rifah,  Karimah,  Siti  Dariyah,  Saidina  Hasan,  Bainah,  Attudin Rauf,  dan  Ahmad.  Karimah  dan  Ahmad  wafat  sewaktu  masih  kecil,  sementara
Saidina  Hasan  wafat  pada  1949  di  rumah  sakit  Sawahlunto  dalam  usia  sekitar  32 tahun. Ayah Ahmad Syafii Maarif wafat pada tanggal 5 Oktober 1955, dimakamkan
di  Tapi  Selo,  tanah  persukuan  orang  Melayu.  Semula  ayahnya  sakit  di  Tanjung Ampalu, di tempat ibu tirinya bernama Mak Maran, kemudian etek Lamsiah, ibu tiri
Maarif yang lain, memboyongnya ke Tapi Selo sampai ayahnya wafat di sana. Waktu itu ayahnya berusia 55 tahun.
22
Sementara ibu Maarif  bernama Fathiyah  lahir di  Tepi Balai pada tahun 1905 dan  meninggal  dunia  sewaktu  Maarif  berusia  18  bulan.  Ahmad  Syafii  Maarif  tidak
bisa  membayangkan  seperti  apa  perawakan  ibunya,  seperti  apa  senyumannya,  dan seperti  apa  pula  ketika  dia  menggendong  anak-anaknya.  Ahmad  Syafii  Maarif  tidak
pernah melihat foto ibunya, hal ini menjadi sulit baginya untuk membayangkan sosok ibunya. Ibunya wafat pada tahun 1937 dalam usia sekitar 32 tahun, sempat dua tahun
menyusuinya.  Maarif  tidak  sempat  merasakan  betapa  manis  atau  pahitnya  hidup
22
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 66
bersama ibunya, orang mengatakan bahwa ibunya cukup cantik, tetapi Syafii Maarif tidak pernah mengenal wajah ibunya.
Seperti wanita-wanita yang lain di Sumpur Kudus, ibunya adalah wanita yang sering  menunggang  Kuda  untuk  menempuh  perjalanana  jauh.  Syafii  Maarif  pun
menceritakannya  “selagi  sehat  kabarnya  ibuku  kalau  bepergian  biasa  naik  Kuda dengan  selendang  sarung  bugis  yang  diselempangkan  di  bahunya,  suatu  kebiasaan
yang  tak  terlalu  lazim  di  kampungnya.  Tetapi  sebagai  isteri  orang  terkemuka  pada tingkat nagari  masyarakat dapat memakluminya. Alangkah  anggunnya  ibuku  barang
kali berada di atas punggung kuda”.
23
Budaya  perempuan  naik  kuda,  berarti  pula  bahwa  posisi  perempuan  di kampung  Syafii  Maarif  sangat  terhormat,  tidak  kalah  dengan  kaum  pria  dan
sebenarnya  kultur  Minangkabau  adalah  matrilinial,  yakni  kaum  perempuan  secara teori  memang  mempunyai  posisi  dominan.  Apakah  ini  terkait  ini,  yang  jelas  ibu
Syafii  Maarif  bukanlah  manusia  yang  kolot  pada  saat  Indonesia  berada  di  bawah sistem penjajahan.
Ibunya  telah  wafat  pada  umur  yang  masih  muda,  sehingga  Ahmad  Syafii Maarif  sendiri  tidak  dapat  menelusuri  sejarahnya,  hanya  pusaranya  yang  ada  tidak
jauh dari rumah tempat kelahiran Ahmad Syafii Maarif. Sesaat setelah ibunya wafat, Syafii  Maarif  diberi  tahu  bahwa  ayahnya  menggendongnya  ke  tepi  Batang  Sumpur,
tak jauh dari rumah kelahirannya sebelah  barat  melalui pematang sawah. Sungai  ini tak  pernah  kering,  sumber  penghidupan  para  petani  yang  merupakan  mayoritas
23
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 73
penduduk  kampungnya,  batang  sumpur  ini  digambarkan  sebagai  “airnya  jernih, pasirnya putih, tebingnya  landai, dan  ikannya  jinak”, sekalipun dalam kenyataannya
ketika  hujan  lebat  airnya  keruh  juga,  dan  ikannya  tidak  pernah  jinak,  kecuali  yang sakit atau pingsan.
24
Setelah  ibunya  meningggal,  Ahmad  Syafii  Maarif  dititipkan  pada  bibinya Bainah  dipanggil  etek,  yang  tempat  tinggalnya  sekitar  500  meter  dari  tempat
kelahirannya.  Tampaknya,  ayah  Maarif  sengaja  menitipkan  anaknya  pada  adiknya sendiri,  mungkin agar dapat diawasinya dari dekat, sebelum pergi  merantau, selama
16  tahun  Maarif  hidup  bersama  bibi  dan  pamannya.  Bibi  Bainah  mempunyai  anak bernama  Saiful  Wahid  yang  lahir  tahun  1939.  Saiful  punya  dua  adik  kandung
bernama Yusnida dan Muslim, keduanya  sudah wafat dalam usia  yang relatif  muda, sedangkan etek bibi Bainah wafat pada 1973 dalam usia belum terlalu tua.
Ahmad  Syafii  Maarif  menikah  pada  tanggal  5  Februari  awal  tahun  1965 dengan  seorang  gadis  bernama  Nurkhalifah.  Maarif  menikah  di  rumah  mertuanya
Sarialam  dan  Halifah  yang  dikenal  dengan  kawasan  Mandahiling  dalam  sebuah upacara sederhana. Pada saat menikah, usia Ahmad Syafii Maarif sudah berumur 30
tahun. Ahmad  Syafii  Maarif  memiliki  beberapa  orang  anak,  anak  pertamanya
bernama  Salman  yang  lahir  di  Yogyakarta  pada  bulan  Maret  1966.  Namun  sayang, Salman  meninggal  diusianya  kurang  sedikit  dari  20  bulan,  setelah  sakit  beberapa
lama  di  Padang.  Saat  itu  Salman  diajak  ibunya  pulang  ke  Padang  dalam  keadaan
24
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 72
kurang sehat, sedangkan Ahmad Syafii Maarif tetap di Jawa. Akhirnya Salman wafat tidak  di  depan  ayahnya  Syafii  Maarif.  Kuburan  Salman  di  pinggir  laut,  sekarang
sudah tidak ada bekasnya  lagi  karena telah ditelan ombak.
25
Dengan  meninggalnya Salman,  Syafii  Maarif  begitu  terpukul  batinnya,  sebagaimana  diungkapkannya
“sungguh nak, kepergianmu menyebabkan batin ayah sangat terguncang, tetapi inilah kenyataan pahit dan perih yang harus dilalui. Hanya iman saja yang dapat menolong
agar  tidak  terus  berlarut  dalam  suasana  ketidakstabilan  jiwa.
26
Anak  selanjutnya adalah  bernama  Iwan  yang  lahir  pada  November  tahun  1968  dan  ia  wafat  pada
Oktober  tahun  1973.  Anak  ketiga  Ahmad  Syafii  Maarif  adalah  Mohammad  Hafiz yang  lahir  premature  dengan  berat  badan  2.20  kg  pada  25  Maret  1974.  Dari  ketiga
anaknya, Hafiz merupakan anak satu-satunya yang hidup hingga dewasa. Kini Syafii Maarif  hidup  dengan  anak  semata  wayangnya  bernama  Mohammad  Hafiz  dan
isterinya Hj Nurkhalifah. Panggilan Ibu Hj.Nurkhalifh isteri terhadap Ahmad Syafii Maarif yaitu dengan sebutan Kak Oncu, sebuah kebiasaan anak nagari Sumpur Kudus
memanggil  suaminya  berdasarkan  urutan  kelahiran  di  kalangan  keluarganya.  Dan dalam perjalanan hidupnya, melalui suasana suka dan duka, perang dan damai, hanya
satu  kata  yang  diucapkannya,  yaitu  bersyukur.  Rasa  syukur  itulah  yang  merupakan
25
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 185
26
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 186
perekat  rumah  tangga  yang  beranggotakan  tiga  orang  tersebut:  Buya,  Ibu  Hj. Nurkhalifah, dan Mohammad Hafiz.
27
Mohammad  Hafiz  sangat  bangga  pada  ayahnya  Syafii  Maarif,  yang  telah memberi pelajaran secara relatif demokratis, dan liberal, dimana bertiga  mempunyai
suara equal dalam menyampikan pendapat, dan kadang disertai adu argumen. Ketika Hafiz  mengobrol  ringan  dengan  seorang  teman  Syafii  Maarif  di  Padang,  orang
tersebut mengatakan bahwa; “…..ayahmu itu adalah gambaran pribadi orang Minang yang  seutuhnya  dan  semestinya  sikap  yang  egaliter,  sederhana,  adil,  tegas,  dan
jujur…..”
28
tentulah  Hafiz  tidak  menyangkal,  apalagi  Hafiz  hidup  di  antara  orang Minang  selama  setahun  lebih  di  Padang.  Kesimpulan  yang  didapatkan  mungkin
seorang Ahmad Syafii Maarif adalah salah satu segelintir orang yang dari sekian lapis generasi Minang  yang  bisa  mempertahankan  image orang Minang  yang semestinya,
setelah  generasinya  yang  melahirkan  pribadi  seperti  H.  Agus  Salim,  Moh.  Hatta, Buya Hamka dan lainnya.
Di  samping  itu,  Dalam  buku  Refleksi  70  tahun  Ahmad  Syafii  Maarif    kesan yang diutarakan Moh. Hafiz tentang ayahnya Syafii Maarif, ada dua macam fungsi,
sebagai seorang ayah dan sebagai seorang individu yang unik. Sebagai seorang ayah, selama hidup di bawah naungan beliau, pelajaran paling berharga Mohammad Hafiz
adalah  tentang  tawakkal  dan  kesederhanaan  manusianya,  terutama  menghadapi
27
Ahmad Syafii Maarif, Titik-Titik Kisar di Perjalanan Ku, h. 73
28
Abd Rohim Ghazali, Saleh Partaonan Daulay, Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif:Cermin Untuk Semua
, h.11
kenakalan  seorang  anak  bernama  Mohammad  Hafiz,  bahkan  sampai  dewasa  pun masih bandel, keras kepala, dan tidak mau diatur.
Sedangkan  sebagai  seorang  individu  yang  unik,  Syafii  Maarif  memberikan pelajaran bagaimana seharusnya “hablum minannas”, berhubungan dengan individu-
individu lain di muka bumi ini, yaitu dengan selalu berprasangka positif dan baik dan menghilangkan berprasangka buruk pada orang, saling menghargai dan menghormati.
Terkadang  sedikit  naif,  sikap  agak  berlawanan  dengan  sikap  pandanganopini Muhammad Hafiz sendiri yang ekstra hati-hati, bahkan cenderung sarkastik terhadap
orang.
29
G. Pendidikan