Pancasila merupakan masalah penting yang menjadi perhatian masyarakat dan umat Islam Indonesia.
1. Islam Sebagai Dasar Negara
Di kalangan umat Islam, terdapat pemahaman dan keyakinan bahwa Islam bersifat universal, menyeluruh dan meliputi aspek kehidupan manusia, di dalamnya
berisi beberapa pokok ajaran yang dapat diterapkan dalam berbagai dimensi kehidupan manusia, termasuk tentang kenegaraan. Atas pemahaman dan keyakinan
tersebut, kemudian melahirkan konsep bersatunya Islam dan negara, dalam hal ini keduanya tidak terpisah atau tidak dapat dipisahkan integrated. Oleh karena itu,
kekuasaan Islam juga meliputi kekuasaan negara, negara merupakan lembaga politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara diselenggarakan atas dasar
kedaulatan Ilahi divine sovereignty, karena memang kedaulatan itu berasal dan berada di tangan Tuhan.
Dalam hubungan Islam dan Negara, Natsir mendasari uraiannya kepada al- Qur’an: ”Dan kami telah jadikan jin dan manusia, melainkan supaya mereka
menyembah kepada ku” 51:56. Dari ayat tersebut Natsir mengembangkan teorinya dengan mengatakan: ” Seorang Islam hidup di atas dunia ini dengan cita-cita
kehidupan supaya menjadi seorang hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, yakni hamba Allah yang mencapai kejayaan dunia dan kemenangan akhirat. Dunia dan
akhirat ini sama sekali bagi kaum Muslimin tidak mungkin dipisahkan dari ideologi mereka, selanjutnya didalilkan bahwa Negara sebagai kekuatan dunia merupakan
sesuatu yang mutlak bagi al-Qur’an, sebab hanya dengan itulah aturan-aturan dan
ajaran-ajarannya dapat dilaksanakan dalam kehidupan nyata. Bagi pemimpin modernis Negara adalah alat bagi Islam untuk melaksanakan hukum-hukum Allah
demi keselamatan manusia. Sebagai alat, adanya Negara bersifat mutlak, karena itu Natsir membela perinsip persatuan agama dengan Negara.
58
Menurut Natsir, Islam tidak dapat dipisahkan dari negara, dan urusan kenegaraan merupakan bagian integral risalah Islam. Bagi Natsir, kaum Muslimin
mempunyai falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, Fasis atau Komunisme.
59
Paham pemisahan Islam dari Negara, dan bukan kaitan non formallegal antara Islam dan Negara, inilah yang menyulut kritik dari beberapa
pemikir dan aktivis Islam politik, khususnya Mohammad Natsir. Bertolak belakang dengan posisi Soekarno, Natsir Menjadi pembela utama paham penyatuan agama dan
Negara.
60
Hubungan Negara dan Agama dalam pidato Natsir di depan Majelis Konstituante pada tahun 1957, Natsir mempertegas dan menjelaskan lebih lanjut
pendiriannya tentang hubungan Islam dengan negara di Indonesia di mana ummat Islam merupakan pemeluk mayoritas. Dalam pidatonya berjudul Islam sebagai Dasar
Negara, Natsir berdalih bahwa untuk dasar Negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu Sekularisme al-maniyah, atau paham agama dini. Dan pancasila
menurut pendapatnya bercorak al-maniyah, karena itu ia sekuler, tidak mau mengakui
58
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Study Tentang Perdebatan dalam Konstituante
, h. 130
59
Mohammad Natsir, Capital Selecta Jakarta: Bulan Bintang, 1973, h. 436
60
Mohammad Natsir, Capita Selecta, h.429
wahyu sebagai sumbernya. Seperti kalangan umat Islam yang lain, Natsir percaya akan watak Holistik Islam. Ia amat mendukung H.A.R. Gibb, yang memang
mendapatkan sambutan luas di kalangan umat Islam, bahwa ”Islam itu sesungguhnya lebih dari suatu sistem agama saja, dia itu adalah suatu kebudayaan yang lengkap.
61
Bagi Natsir Islam tidak hanya terdiri dari praktik-praktik ibadah, melainkan juga prinsip-prinsip umum yang relevan untuk mengatur hubungan antara individu dan
masyarakat. Meski demikian, Natsir amat menyadari bahwa al-Qur’an dan Sunnah Nabi
Muhammad tidak punya ”tangan dan kaki” untuk membuat manusia berjalan sesuai dengan aturan-aturan Islam. Karena itu, tidak diragukan lagi bahwa Islam
memerlukan alat yang cocok untuk menjamin agar aturan-aturannya dijalankan. Dalam konteks khusus inilah ia melihat Negara sebagai alat yang cocok untuk
menjamin agar perintah-perintah dan hukum-hukum Islam dijalankan. Natsir menegaskan bahwa negara bukanlah tujuan akhir Islam, melainkan
hanya merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Semua aturan-aturan Islam, seperti kewajiban belajar, zakat, dan pemberantasan
perzinahan, dan lain-lain, tidak ada artinya manakala tidak ada negara. Negara di sini berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan ”kesempurnaan berlakunya undang-
61
Bahtiar Effendi, Islam Dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,
h. 80
undang Ilahi bagi yang berkenaan dengan kehidupan manusia sendiri sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat”.
62
Menanggapi pernyataan Soekarno yang menyatakan tidak ada Ijma ulama yang memerintahkan membentuk negara, Natsir secara tersirat menilai Soekarno
tidak obyektif dalam mengemukakan pendapatnya. Sebab di satu pihak ia menganjurkan agar umat Islam membuang ”warisan tradisioanl”. Tetapi di pihak lain
ia sendiri secara sadar mengutip konsep tradisional, bahwa tidak ada Ijma tentang persatuan agama dengan negara. Apakah Soekarno akan menerima keputusan itu atau
tidak? Atau ia malah berkata, ”ya” itu cuma satu Ijma ulama, satu gedachte traditie, dan bukankan saya Natsir sudah bilang bahwa semua warisan tradisional itu harus
dibuang jauh-jauh.
63
Keinginan untuk menjadikan Islam sebagai ideologi bernegara di Indonesia, sudah sejak lama cita-citakan oleh sebagian umat Islam Indonesia. Hal ini bisa kita
telusuri dengan membaca sejarah Indonesia, khususnya pada saat-saat awal menjelang kemerdekaan tahun 1945. Perdebatan sengit dan alot tidak bisa dihindari
dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan BPUUPKI, antara wali-wali umat Islam dan pemimpin-pemimpin umat Islam dan pemimpin-
pemimpin nasional. Isu yang paling krusial dalam perdebatan ini adalah pembicaraan tentang ideologi negara Indonesia yang bakal lahir.
62
Mohammad Natsir, Capital Selecta, h. 442
63
Mohammad Natsir, Capital Selecta, h. 434
Dalam sidang BPUPKI dihadiri 68 orang anggota. Komposisi anggotanya adalah 8 orang dari jepang dan 15 orang dari golongan nasionalis Islam, sedangkan
selebihnya dari golongan nasional sekuler dan para aristokrat jawa yang mereka secara tegas menolak Islam sebagai dasar Negara. Diantara 15 orang golongan
nasionalis Islam terdiri dari K.H. Ahmad Sanusi, Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Mas Marsus, K.H. Kahar Muzakkir ketiganya dari golongan muhammadiyah, K.H.
Masykur dan K.H.A.Wachid Hasyim keduanya dari golongan NU, Sukiman Wiryosandjoy PII, Abikusno Tjokrosujoso PSII, Agus Salim Partai Penyadar
dan K.H. Abdul Halim PUI. Melihat komposisi ini, dari sis kuantitas jumlah golongan Islam yang memperjuangkan ideologi dan dasar Islam hanya 25 dari
keseluruhan anggota selain anggota yang dari pihak jepang.
64
Dalam menggagas tentang dasar Negara, dari kelompok nasionalis sekuler tampil tiga orang: Muhammad Yamin yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945,
Supomo yang berpidato pada tanggal 31 Mei 1945 dan Soekarno yang berpidato pada tanggal 1 Juni 1945. Sedangkan dari kelompok nasionalis Islam: K.H. Kahar
Muzakkir, dan K.H.A.Wachid Hasyim. Sedangkan Ki Bagus Hadikusuma, seorang tokoh puncak Muhammadiyah, mengajukan Islam sebagai ideologi negara Dasar
Negara, meskipun pada akhirnya harapan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara Indonesia menjadi kandas.
64
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Projeksi
Jakarta:Hudaya,1970, h.11-12
Keinginan umat Islam untuk hidup secara Islami bukannya tanpa alasan. Mereka berargumen bahwa umat Islam Indonesia berjumlah 90 membentuk nation
Indonesia, sehingga tak akan ada nation Indonesia tanpa umat Islam.
65
Apalagi Islam merupakan bagian integral dan dominan baik kuantitas maupun kualiatas dalam
kekayaan rohani bangsa Indonesia yang akan tetap hidup dalam keinsyafan nilai dan kesadaran norma dan bangsa sampai kapan pun. Menurut Natsir, kemerdekaan
bangsa Indonesia adalah tidak terlepas dari serpak terjang orang-orang Islam. Natsir mencontohkan di Mataram ada Sultan Agung yang begitu membela Islam, di Aceh
ada Cut Nyak Dien, dan bahkan di lain tempat ada pahlawan-pahlawan yang memberikan perlawanan untuk memerdekakan Islam dalam melawan penjajahan non
islam. Teori tentang hubungan Islam dan kekuasaan seperti yang dikemukakan oleh
beberapa tokoh Islam Indonesia sebenarnya tidak banyak berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh Ibn Taimiyah pada periode klasik bagian tengah dari sejarah
Islam. Dalam kitabnya, Al-Siyasah Al-Syar’iyyah, Ibn Taimiyah menjelaskan, “Wilayah organisasi politik bagi kehidupan kolektif manusia merupakan
keperluan agama terpenting. Tanpa topangannya, agama tidak akan tegak dengan kokoh.
66
Negara bagi Ibnu Taimiyah, berfungsi sebagai institusi politik untuk melaksanakan perintah-perintah Allah dan mencegah larangan-larangan-Nya.
65
Endang Syaifuddin Ansari, Komitmen Umat Islam Indonesia; Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam
Jakarta: Usaha Enterprises, 1976, h. 143-144
66
Ibnu Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar’iyyah Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiyah, 1996, h. 138
Selanjutnya ia mengatakan, “dan karena Allah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar serta menolong pihak yang teraniaya. Tidak mungkin sempurna kecuali dengan
kekuatan dan kekuasaan.
67
Dr. Abd al-Karim Zaidan menyimpulkan pendapat Ibnu Taimiyah ini dengan mengatakan bahwa orang Islam wajib menegakkan suatu
Daulah Islamiyah untuk melaksanakan hukum-hukum syariah.
68
Kelompok Islam formalis ini berpendapat, jalan untuk merealisasikan hukum Islam adalah melalui
jalur politik dalam arti seluas-luasnya,
69
dengan membentuk konstitusi Islam, memakai Islam sebagai dasar dan ideologi negara. Khomeini misalnya,
berargumentasi bahwa setelah hukum dibuat perlu diciptakan kekuasaan eksekutif. Demikian pula Islam, setelah mendatangkan hukum Islam pun menetapkan pemegang
kekuasan eksekutif. Di zaman Rasulullah saw adalah juga pelaksanan hukum. Beliau menjalankan hukum pidana Islam. Pemikir Indonesia Muhammad Natsir berdalil
bahwa negara sebagai kekuatan dunia merupakan suatu yang mutlak bagi al-Qur’an, sebab hanya dengan itulah aturan-aturan dan ajarannya dapat dilaksanakan dalam
kehidupan nyata. Oleh sebab itu, Natsir membela prinsip peraturan agama dan negara.
67
Ibnu Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar’iyyah, h. 138
68
Abd. Al-Karim Zaidan, Al-Fardl wa al-Daulah fi al-Syariah al-Islamiyah Al-Ittihad al- Islami al-Alami, 1970, h. 9
69
G.H, Jansen, Islam Militan, terjemahan Armahedi Mahzar Bandung: Pustaka, 1980, h. 205
Dengan demikian, Natsir ingin islam sebagai landasan ideologi Negara. Karena menurutnya agama islam adalah agama yang bisa menunjukkan semua sikap
yang ada dalam rumusan pancasila. 2. Pemahaman Negara Sekuler
Sekuler mengajukan pemisahan disparitas agama atas negara dan pemisahan negara atas agama. Dalam konteks Islam, sekuler ini menolak pendasaran Negara
kepada Islam, atau paling tidak, menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari Negara.
70
Yang dimaksud negara sekuler adalah pemisahan agama dan negara sehingga negara tidak menjadikan agama sebagai instrument politik tertentu. Karenanya, tidak
ada ketentuan-ketentuan keagamaan yang diatur melalui legislasi negara. Agama adalah urusan pemeluknya masing-masing yang tidak ada sangkuta pautnya dengan
negara. Kalau memang ada ketentuan agama yang menuntut keterlibatan publik intern pemeluk agama tidak perlu meminjam “tangan nagara” untuk memaksakan
pemberlakuannya, namun cukup diatur sendiri oleh pemeluk agama yang bersangkutan. Dengan demikian negara dapat dikatakana sekuler jika negara tersebut
tidak menjadikan kitab suci dasar konstitusinya, dan tidak menjadikan hukum agama
70
Marjuki Wahid, Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: kritik atas Politik Hukum Islam Di Indonesia,
Yogtakarta: LKiS, 2001, h. 28
sebagai hukum nasional. Atas dasar itu, semua agama memiliki posisi yang sama, tidak ada yang istimewa.
71
Soekarno yang termasuk seorang yang menghendaki pemisahan Islam dan Negara, mengemukakan beberapa argument: Pertama, penyatuan agamaIslam dan
Negara bertentangan dengan prinsip demokrasi, Kedua, dimungkinkan pembentukan syariat Islam dalam Negara demokrasi, dan Ketiga, tidak ada consensus ahli agama
tentang bersatunya agama dan politik. Menurut Soekarno, agama merupakan urusan spiritual dan pribadi, sedangkan masalah Negara adalah persoalan dunia dan
kemaslahatan. Soekarno menilai, bahwa pelaksanaan ajaran-ajaran agama merupakan tanggung jawab pribadi kaum muslimin dan bukan Negara atau pemerintah. Negara
dalam hal ini, tidak mempunyai wewenang turut campur untuk mengatur apalagi memeksakan ajaran-ajaran agama kepada warga negaranya.
72
Meskipun Soekarno mendukung pemisahan agamaIslam dan Negara, bukan berarti tidak boleh ada hubungan apapun antara kedua arus religio-politik ini.
Soekarno dengan tegas menentang hubungan formal-legal antara Islam dan Negara, khususnya dalam sebuah Negara yang tidak semua penduduknya beragama Islam.
Model semacam ini, hanya akan menimbulkan perasaan terdiskriminasikan, khususnya dikalangan masyarakat non-muslim.
73
71
Marjuki Wahid, Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: kritik atas Politik Hukum Islam Di Indonesia
, h. 31
72
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta: Darul Falah, 1964, h. 452,453,406
73
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 452
Di Indonesia, Pancasila yang mengandung konsep sekularisme dipahami sebagai netral dan bersikap empati terhadap semua agama, semuanya memperoleh
hak yang sama. Hal ini tertuang dalam pasal 29 UUD 1945 yanag menjamin kebebasan keyakinan dan beribadah, agama apapun itu. Dengan kata lain, semua
penduduk dapat memperoleh kesetaraan hak-hak sebagai warga Negara, tanpa melihat agamanya. Namun pengertian yang benar dalam pengertian sekularisme
masih banyak di salah pahami, termasuk oleh Majelis Ulama IndonesiaMUI sendiri yang telah mengharamkan sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Padahal ketiga
paham itu merupaka dasar bagi kebebasa beragama dan peranan agama di ruang publik. Tiga prinsip itu pula yang menjamin otonomi masyarakat sipil dan
penyelenggaraan kehidupan beragama yang toleran dan sekaligus dinamis, karena itu pemahaman terhadap triologi sekularisme, liberalism, dan pluralism harus di
luruskan.
74
3.Interseksi Agama dan Negara dalam Ideologi Pancasila
Dalam Islam, agama dipahami tidak hanya berdimensi vertical mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tetapi juga meliputi horizontal mengatur
hubungan antara sesama manusia dengan berbagai aspek kehidupannya. Sehubungan dengan hal ini, agama dalam konsepsi Islam mempunyai keterkaitan yang sangat erat
dengan Negara, karena Islam mempunyai konsep dalam mengatur persoalan-
74
Nawiriddin, Islam dan Pancasila: Studi Hubungan Ideal dalam Konstruk Negara Nasional, Tesis Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, h.160
persoalan sosial kehidupan manusia. Dalam konteks inilah, agama dan Negara merupakan satu kesatuan yang tidak boleh bertolak belakang apalagi dipisahkan.
Pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama dan politik, Negara yang dibangun Nabi sangat multicultural dan pluraris yang menjamin
kebebasan beragama di kalangan warga Negara Madinah yang diakui oleh sebagian besar sarjana muslim dan bahkan beberapa sarjana Barat sebagai bukti adanya
demokrasi dalam sistem kenegaraan Islam kelasik.
75
Oleh karena itu, Islam menolak sekularisme sebab konsep Islam mencakup seluruh bidang kehidupan manusia, termasuk dalam bidang kenegaraan. Dalam Islam
tidak ada pemisah antara urusan agama dengan urusan politik. Dalam pengertian, politik sebagai suatu kegiatan harus dilakukan dalam kerangka sistem nilai Islam.
76
Dalam perspektif inilah, hubungan Islam dan Pancasila lebih di tekankan pada pola hubungan simbiosis atau simbiotis, yaitu suatu pola hubungan timbal balik dan
saling membutuhkan dan saling melengkapi. Islam dan Pancasila memang tidak bisa di perbandingkan dan menjadi mitra bersama dalam membangun masyarakat, bangsa
dan Negara. Spirit ajaran Islam tidak dapat berkembang dan efektif berlaku dalam masyarakat tanpa bantuan Negara pancasila sebagai alat kekuasaan untuk
“memaksa”. Sebaliknya, Pancasila tanpa bimbingan Islam akan mengalami krisis
75
Azyumardi Azra, Pergerakan Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Postmodernisme
, Jakarta: Paramadina,1996, h.
76
Muhammad Hari Zamharir, Agama, dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid,
Raja Grafindo: Jakarta,2004, h. 74
etika dan moral, dengan panduan Islam Pancasila dapat berkembang dalam bimbingan etika.
Dalam pandangan Al-Mawardi, kepemimpinan Negara imamah merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur
dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun hubungan secara simbiotik, keduanya merupakan dua dimensi dari
misi kenabian.
77
Oleh karena itu, konsep Islam tidak dapat dipisahkan dari konsep kekuasaan dan kenegaraan, meskipun belakangan ini pemikir dan pengamat muslim Indonesia
lebih menitik beratkan subtansi keislaman dari simbolnya. Kecendrungan ini diwakili oleh kalangan elit politik muslim, baik pada zaman orde baru, orde lama, maupun
Orde Reformasi. Kecendrungan atau penekanan terhadap subtansialisme nilai-nilai Islam dalam konsep kenegaraan diistilahkan dengan pendekatan subtansialisme.
Konsep ini lebih mendorong kepada perjuangan penerapan subtansi atau nilai-nilai Islam dibandingkan dengan perjuangan formalisasi Islam.
Subtansialisme dimaksudkan sebagai aksentuasi bahwa subtansi atau makna iman dan pribadatan lebih penting dari formalitas simbiolisme keagamaan serta
ketaatan yang besifat literal kepada teks wahyu Tuhan. Sementara peasn-pesan al- Qur’an dan hadist yang mengandung esensi abadi dan bemakna universal, ditafsirkan
kembali berdasarkan runtut dan rentang waktu generasi kaum muslim serta
77
M. Syafii Anwar, Pemikiran dan aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Ode Baru
, h. 156
mengkontekstualisasikannya dengan kondisi-kondisi sosial yang berlaku pada masanya. Eksistensi dan artikulasi nilai-nilai Islam yang intrinstik, dalam iklim
politik Indonesia lebih penting dan sangat memadai untuk mengembangkan islamisasi dalam wajah kulturalisasi masyarakat Indonesia modern. Ini merupakan
pandangan dasar kaum subtansialis yang dilandasi dari perspektif historis.
78
Soekarno sendiri pada dasaranya menganut paham hubungan yang brsifat subtansialisme antara Islam dan negara atau Pancasila hal ini dapat dipahami dalam
salah satu bukunya yang berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi”, bahwa otensitas sebuah Negara Islam tidak semata-mata ditunjukan oleh penerimaan formal atau
legal Islam dalam kebijakan-kebijakan Negara. Menurut soekarno, dalam suatu negeri yang menganut sistem demokrasi, di mana rakyat melalui wakil-wakilnya di legislatif
boleh memperjuangkan dan memasukan segala macam keagamaannya dalam sistem kenegaraannya dan perundang-undangan Negara, meskipun agama dipisahkan oleh
negara.
79
Oleh karena itu, dalam Pancasila, Islam atau agama lainnya mempunyai tempat yang terhormat. Hal ini didasarkan pada adanya jaminan konstitusional bahwa
Negara menjamin kemerdekaan warga Negara untuk beragama dan memberikan kebebasan bagi para pemeluk agama-agama untuk menjalankan ibadat sesuai dengan
keyakinan dan kepercayaan masing-masing. Islam dan agama-agama lainnya, menjadi landasan spiritual etika dan moral bagi pembangunan masyarakat Indonesia
78
M. Syafii Anwra, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia, h. 156
79
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta: Darul Falah, 1964, h. 452-453
4. Ideologi dan Falsafah Pancasila