Pancasila  merupakan  masalah penting  yang  menjadi perhatian  masyarakat dan umat Islam Indonesia.
1. Islam Sebagai Dasar Negara
Di  kalangan  umat  Islam,  terdapat  pemahaman  dan  keyakinan  bahwa  Islam bersifat  universal,  menyeluruh  dan  meliputi  aspek  kehidupan  manusia,  di  dalamnya
berisi  beberapa  pokok  ajaran  yang  dapat  diterapkan  dalam  berbagai  dimensi kehidupan  manusia,  termasuk  tentang  kenegaraan.  Atas  pemahaman  dan  keyakinan
tersebut,  kemudian  melahirkan  konsep  bersatunya  Islam  dan  negara,  dalam  hal  ini keduanya  tidak  terpisah  atau  tidak  dapat  dipisahkan  integrated.  Oleh  karena  itu,
kekuasaan Islam juga meliputi kekuasaan negara, negara merupakan lembaga politik dan  keagamaan  sekaligus.  Pemerintahan  negara  diselenggarakan  atas  dasar
kedaulatan  Ilahi  divine  sovereignty,  karena  memang  kedaulatan  itu  berasal  dan berada di tangan Tuhan.
Dalam  hubungan Islam dan Negara, Natsir   mendasari uraiannya kepada al- Qur’an:  ”Dan  kami  telah  jadikan  jin  dan  manusia,  melainkan  supaya  mereka
menyembah kepada ku” 51:56. Dari ayat tersebut Natsir mengembangkan teorinya dengan  mengatakan:  ”  Seorang  Islam  hidup  di  atas  dunia  ini  dengan  cita-cita
kehidupan supaya menjadi seorang hamba Allah dengan arti yang sepenuhnya, yakni hamba  Allah  yang  mencapai  kejayaan  dunia  dan  kemenangan  akhirat.  Dunia  dan
akhirat ini  sama sekali  bagi kaum Muslimin tidak  mungkin dipisahkan dari  ideologi mereka,  selanjutnya  didalilkan  bahwa  Negara  sebagai  kekuatan  dunia  merupakan
sesuatu  yang  mutlak  bagi  al-Qur’an,  sebab  hanya  dengan  itulah  aturan-aturan  dan
ajaran-ajarannya  dapat  dilaksanakan  dalam  kehidupan  nyata.  Bagi  pemimpin modernis  Negara  adalah  alat  bagi  Islam  untuk  melaksanakan  hukum-hukum  Allah
demi  keselamatan  manusia.  Sebagai  alat,  adanya  Negara  bersifat  mutlak,  karena  itu Natsir membela perinsip persatuan agama dengan Negara.
58
Menurut  Natsir,  Islam  tidak  dapat  dipisahkan  dari  negara,  dan  urusan kenegaraan  merupakan  bagian  integral  risalah  Islam.  Bagi  Natsir,  kaum  Muslimin
mempunyai  falsafah  hidup  atau  ideologi  seperti  kalangan  Kristen,  Fasis  atau Komunisme.
59
Paham  pemisahan  Islam  dari  Negara,  dan  bukan  kaitan  non formallegal  antara  Islam  dan  Negara,  inilah  yang  menyulut  kritik  dari  beberapa
pemikir  dan  aktivis  Islam  politik,  khususnya  Mohammad  Natsir.  Bertolak  belakang dengan posisi Soekarno, Natsir Menjadi pembela utama paham penyatuan agama dan
Negara.
60
Hubungan  Negara  dan  Agama  dalam  pidato  Natsir  di  depan  Majelis Konstituante  pada  tahun  1957,  Natsir  mempertegas  dan  menjelaskan  lebih  lanjut
pendiriannya  tentang  hubungan  Islam  dengan  negara  di  Indonesia  di  mana  ummat Islam merupakan pemeluk mayoritas. Dalam pidatonya berjudul Islam sebagai Dasar
Negara, Natsir berdalih bahwa untuk dasar Negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan,  yaitu  Sekularisme  al-maniyah,  atau  paham  agama  dini.  Dan  pancasila
menurut pendapatnya bercorak al-maniyah, karena itu ia sekuler, tidak mau mengakui
58
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Study Tentang Perdebatan dalam Konstituante
, h. 130
59
Mohammad Natsir, Capital Selecta Jakarta: Bulan Bintang, 1973, h. 436
60
Mohammad Natsir, Capita Selecta,  h.429
wahyu  sebagai  sumbernya.  Seperti  kalangan  umat  Islam  yang  lain,  Natsir  percaya akan  watak  Holistik  Islam.  Ia  amat  mendukung  H.A.R.  Gibb,  yang  memang
mendapatkan sambutan luas di kalangan umat Islam, bahwa ”Islam itu sesungguhnya lebih dari  suatu sistem agama  saja, dia  itu adalah suatu kebudayaan  yang  lengkap.
61
Bagi  Natsir  Islam  tidak  hanya  terdiri  dari  praktik-praktik  ibadah,  melainkan  juga prinsip-prinsip  umum  yang  relevan  untuk  mengatur  hubungan  antara  individu  dan
masyarakat. Meski  demikian,  Natsir  amat  menyadari  bahwa  al-Qur’an  dan  Sunnah  Nabi
Muhammad tidak punya ”tangan dan kaki” untuk  membuat  manusia  berjalan  sesuai dengan  aturan-aturan  Islam.  Karena  itu,  tidak  diragukan  lagi  bahwa  Islam
memerlukan  alat  yang  cocok  untuk  menjamin  agar  aturan-aturannya  dijalankan. Dalam  konteks  khusus  inilah  ia  melihat  Negara  sebagai  alat  yang  cocok  untuk
menjamin agar perintah-perintah dan hukum-hukum Islam dijalankan. Natsir  menegaskan  bahwa  negara  bukanlah  tujuan  akhir  Islam,  melainkan
hanya merealisasikan aturan-aturan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah. Semua  aturan-aturan  Islam,  seperti  kewajiban  belajar,  zakat,  dan  pemberantasan
perzinahan, dan lain-lain, tidak ada artinya manakala tidak ada negara. Negara di sini berfungsi  sebagai  alat  untuk  mencapai  tujuan  ”kesempurnaan  berlakunya  undang-
61
Bahtiar Effendi, Islam Dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,
h. 80
undang  Ilahi  bagi  yang  berkenaan  dengan  kehidupan  manusia  sendiri  sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat”.
62
Menanggapi  pernyataan  Soekarno  yang  menyatakan  tidak  ada  Ijma  ulama yang  memerintahkan  membentuk  negara,  Natsir  secara  tersirat  menilai  Soekarno
tidak  obyektif  dalam  mengemukakan  pendapatnya.  Sebab  di  satu  pihak  ia menganjurkan agar umat Islam membuang ”warisan tradisioanl”. Tetapi di pihak lain
ia  sendiri  secara  sadar  mengutip  konsep  tradisional,  bahwa  tidak  ada  Ijma  tentang persatuan agama dengan negara. Apakah Soekarno akan menerima keputusan itu atau
tidak? Atau ia malah berkata, ”ya” itu cuma satu Ijma ulama, satu gedachte traditie, dan  bukankan  saya Natsir sudah bilang  bahwa semua warisan tradisional  itu  harus
dibuang jauh-jauh.
63
Keinginan  untuk  menjadikan  Islam  sebagai  ideologi  bernegara  di  Indonesia, sudah  sejak  lama  cita-citakan  oleh  sebagian  umat  Islam  Indonesia.  Hal  ini  bisa  kita
telusuri  dengan  membaca  sejarah  Indonesia,  khususnya  pada  saat-saat  awal menjelang  kemerdekaan  tahun  1945.  Perdebatan  sengit  dan  alot tidak  bisa  dihindari
dalam  sidang  Badan  Penyelidik  Usaha-Usaha  Persiapan  Kemerdekaan  BPUUPKI, antara  wali-wali  umat  Islam  dan  pemimpin-pemimpin  umat  Islam  dan  pemimpin-
pemimpin nasional. Isu yang paling krusial dalam perdebatan ini adalah pembicaraan tentang ideologi negara Indonesia yang bakal lahir.
62
Mohammad Natsir, Capital Selecta, h. 442
63
Mohammad Natsir, Capital Selecta, h. 434
Dalam  sidang  BPUPKI  dihadiri  68  orang  anggota.  Komposisi  anggotanya adalah 8 orang dari  jepang dan 15 orang dari golongan  nasionalis Islam, sedangkan
selebihnya  dari  golongan  nasional  sekuler  dan  para  aristokrat  jawa  yang  mereka secara  tegas  menolak  Islam  sebagai  dasar  Negara.  Diantara  15  orang  golongan
nasionalis  Islam  terdiri  dari  K.H.  Ahmad  Sanusi,  Ki  Bagus  Hadikusumo,  K.H.  Mas Marsus,  K.H.  Kahar  Muzakkir  ketiganya  dari  golongan  muhammadiyah,  K.H.
Masykur  dan  K.H.A.Wachid  Hasyim  keduanya  dari  golongan  NU,  Sukiman Wiryosandjoy  PII,  Abikusno  Tjokrosujoso  PSII,  Agus  Salim  Partai  Penyadar
dan  K.H.  Abdul  Halim  PUI.  Melihat  komposisi  ini,  dari  sis  kuantitas  jumlah golongan  Islam  yang  memperjuangkan  ideologi  dan  dasar  Islam  hanya  25  dari
keseluruhan anggota selain anggota yang dari pihak jepang.
64
Dalam  menggagas  tentang  dasar  Negara,  dari  kelompok  nasionalis  sekuler tampil  tiga  orang:  Muhammad  Yamin  yang  berpidato  pada  tanggal  29  Mei  1945,
Supomo yang berpidato pada tanggal 31 Mei 1945 dan Soekarno yang berpidato pada tanggal  1  Juni  1945.  Sedangkan  dari  kelompok  nasionalis  Islam:  K.H.  Kahar
Muzakkir,  dan  K.H.A.Wachid  Hasyim.  Sedangkan    Ki  Bagus  Hadikusuma,  seorang tokoh  puncak  Muhammadiyah,  mengajukan  Islam  sebagai  ideologi  negara  Dasar
Negara,  meskipun  pada  akhirnya  harapan  untuk  menjadikan  Islam  sebagai  dasar negara Indonesia menjadi kandas.
64
Prawoto Mangkusasmito, Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Projeksi
Jakarta:Hudaya,1970, h.11-12
Keinginan  umat  Islam  untuk  hidup  secara  Islami  bukannya  tanpa  alasan. Mereka berargumen bahwa umat Islam Indonesia berjumlah 90 membentuk nation
Indonesia, sehingga tak akan ada nation Indonesia tanpa umat Islam.
65
Apalagi Islam merupakan  bagian  integral  dan  dominan  baik  kuantitas  maupun  kualiatas  dalam
kekayaan rohani bangsa Indonesia yang akan tetap hidup dalam keinsyafan nilai dan kesadaran  norma  dan  bangsa  sampai  kapan  pun.  Menurut  Natsir,  kemerdekaan
bangsa Indonesia adalah tidak terlepas dari serpak terjang orang-orang Islam. Natsir mencontohkan  di  Mataram  ada  Sultan  Agung  yang  begitu  membela  Islam,  di  Aceh
ada  Cut  Nyak  Dien,  dan  bahkan  di  lain  tempat  ada  pahlawan-pahlawan  yang memberikan perlawanan untuk memerdekakan Islam dalam melawan penjajahan non
islam. Teori tentang hubungan Islam dan kekuasaan seperti yang dikemukakan oleh
beberapa  tokoh  Islam  Indonesia  sebenarnya  tidak  banyak  berbeda  dengan  apa  yang telah dikemukakan oleh Ibn Taimiyah pada periode klasik bagian tengah dari sejarah
Islam.  Dalam  kitabnya,  Al-Siyasah  Al-Syar’iyyah,  Ibn  Taimiyah  menjelaskan, “Wilayah  organisasi  politik  bagi  kehidupan  kolektif  manusia  merupakan
keperluan  agama  terpenting.  Tanpa  topangannya,  agama  tidak  akan  tegak  dengan kokoh.
66
Negara  bagi  Ibnu  Taimiyah,  berfungsi  sebagai  institusi  politik  untuk melaksanakan  perintah-perintah  Allah  dan  mencegah  larangan-larangan-Nya.
65
Endang Syaifuddin Ansari, Komitmen Umat Islam Indonesia; Pokok-Pokok Pikiran tentang Islam
Jakarta: Usaha Enterprises, 1976, h. 143-144
66
Ibnu Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar’iyyah Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiyah, 1996, h. 138
Selanjutnya ia mengatakan, “dan karena Allah mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar serta  menolong  pihak  yang  teraniaya.  Tidak  mungkin  sempurna  kecuali  dengan
kekuatan  dan  kekuasaan.
67
Dr.  Abd  al-Karim  Zaidan  menyimpulkan  pendapat  Ibnu Taimiyah  ini  dengan  mengatakan  bahwa  orang  Islam  wajib  menegakkan  suatu
Daulah  Islamiyah  untuk  melaksanakan  hukum-hukum  syariah.
68
Kelompok  Islam formalis  ini  berpendapat,  jalan  untuk  merealisasikan  hukum  Islam  adalah  melalui
jalur  politik  dalam  arti  seluas-luasnya,
69
dengan  membentuk  konstitusi  Islam, memakai  Islam  sebagai  dasar  dan  ideologi  negara.  Khomeini  misalnya,
berargumentasi  bahwa  setelah  hukum  dibuat  perlu  diciptakan  kekuasaan  eksekutif. Demikian pula Islam, setelah mendatangkan hukum Islam pun menetapkan pemegang
kekuasan eksekutif. Di zaman Rasulullah saw adalah juga pelaksanan hukum. Beliau menjalankan  hukum  pidana  Islam.  Pemikir  Indonesia  Muhammad  Natsir  berdalil
bahwa negara sebagai kekuatan dunia merupakan suatu yang mutlak bagi al-Qur’an, sebab  hanya  dengan  itulah  aturan-aturan  dan  ajarannya  dapat  dilaksanakan  dalam
kehidupan  nyata.  Oleh  sebab  itu,  Natsir  membela  prinsip  peraturan  agama  dan negara.
67
Ibnu Taimiyah, Al-Siyasah al-Syar’iyyah, h. 138
68
Abd.  Al-Karim  Zaidan,  Al-Fardl  wa  al-Daulah  fi  al-Syariah  al-Islamiyah  Al-Ittihad  al- Islami al-Alami, 1970, h. 9
69
G.H,  Jansen,  Islam  Militan,  terjemahan  Armahedi  Mahzar  Bandung:  Pustaka,  1980,  h. 205
Dengan  demikian,  Natsir  ingin  islam  sebagai  landasan  ideologi  Negara. Karena menurutnya agama islam adalah agama yang bisa menunjukkan semua sikap
yang ada dalam rumusan pancasila. 2. Pemahaman Negara Sekuler
Sekuler mengajukan pemisahan disparitas agama atas negara dan pemisahan negara  atas  agama.  Dalam  konteks  Islam,  sekuler  ini  menolak  pendasaran  Negara
kepada Islam, atau paling tidak, menolak determinasi Islam pada bentuk tertentu dari Negara.
70
Yang dimaksud negara sekuler adalah pemisahan agama dan negara sehingga negara tidak menjadikan agama sebagai instrument politik tertentu. Karenanya, tidak
ada  ketentuan-ketentuan  keagamaan  yang  diatur  melalui  legislasi  negara.  Agama adalah  urusan  pemeluknya  masing-masing  yang  tidak  ada  sangkuta  pautnya  dengan
negara.  Kalau  memang  ada  ketentuan  agama  yang  menuntut  keterlibatan  publik intern  pemeluk  agama  tidak  perlu  meminjam  “tangan  nagara”  untuk  memaksakan
pemberlakuannya,  namun  cukup  diatur  sendiri  oleh  pemeluk  agama  yang bersangkutan. Dengan demikian negara dapat dikatakana sekuler jika negara tersebut
tidak menjadikan kitab suci dasar konstitusinya, dan tidak menjadikan hukum agama
70
Marjuki Wahid, Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: kritik atas Politik Hukum Islam Di Indonesia,
Yogtakarta: LKiS, 2001, h. 28
sebagai  hukum  nasional.  Atas  dasar  itu,  semua  agama  memiliki  posisi  yang  sama, tidak ada yang istimewa.
71
Soekarno  yang  termasuk  seorang  yang  menghendaki  pemisahan  Islam  dan Negara,  mengemukakan  beberapa  argument:  Pertama,  penyatuan  agamaIslam  dan
Negara bertentangan dengan prinsip demokrasi, Kedua, dimungkinkan pembentukan syariat  Islam  dalam  Negara  demokrasi,  dan  Ketiga, tidak  ada  consensus  ahli  agama
tentang bersatunya agama dan politik. Menurut Soekarno, agama  merupakan urusan spiritual  dan  pribadi,  sedangkan  masalah  Negara  adalah  persoalan  dunia  dan
kemaslahatan. Soekarno menilai, bahwa pelaksanaan ajaran-ajaran agama merupakan tanggung  jawab pribadi kaum  muslimin dan  bukan Negara atau pemerintah. Negara
dalam  hal  ini,  tidak  mempunyai  wewenang  turut  campur  untuk  mengatur  apalagi memeksakan ajaran-ajaran agama kepada warga negaranya.
72
Meskipun Soekarno mendukung pemisahan agamaIslam dan Negara, bukan berarti  tidak  boleh  ada  hubungan  apapun  antara  kedua  arus  religio-politik  ini.
Soekarno  dengan  tegas  menentang  hubungan  formal-legal  antara  Islam  dan  Negara, khususnya  dalam  sebuah  Negara  yang  tidak  semua  penduduknya  beragama  Islam.
Model  semacam  ini,  hanya  akan  menimbulkan  perasaan  terdiskriminasikan, khususnya dikalangan masyarakat non-muslim.
73
71
Marjuki Wahid, Rumadi, Fiqh Madzhab Negara: kritik atas Politik Hukum Islam Di Indonesia
, h. 31
72
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta: Darul Falah, 1964, h. 452,453,406
73
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, h. 452
Di  Indonesia,  Pancasila  yang  mengandung  konsep  sekularisme  dipahami sebagai  netral  dan  bersikap  empati  terhadap  semua  agama,  semuanya  memperoleh
hak  yang  sama.  Hal  ini  tertuang  dalam  pasal  29  UUD  1945  yanag  menjamin kebebasan  keyakinan  dan  beribadah,  agama  apapun  itu.  Dengan  kata  lain,  semua
penduduk  dapat  memperoleh  kesetaraan  hak-hak  sebagai  warga  Negara,  tanpa melihat  agamanya.  Namun  pengertian  yang  benar  dalam  pengertian  sekularisme
masih banyak di salah pahami, termasuk oleh Majelis Ulama IndonesiaMUI sendiri yang  telah  mengharamkan  sekularisme,  pluralisme,  dan  liberalisme.  Padahal  ketiga
paham  itu  merupaka  dasar  bagi  kebebasa  beragama  dan  peranan  agama  di  ruang publik.  Tiga  prinsip  itu  pula  yang  menjamin  otonomi  masyarakat  sipil  dan
penyelenggaraan kehidupan beragama yang toleran dan sekaligus dinamis, karena itu pemahaman  terhadap  triologi  sekularisme,  liberalism,  dan  pluralism  harus  di
luruskan.
74
3.Interseksi Agama dan Negara dalam Ideologi Pancasila
Dalam  Islam,  agama  dipahami  tidak  hanya  berdimensi  vertical  mengatur hubungan  manusia  dengan  Tuhan,  tetapi  juga  meliputi  horizontal  mengatur
hubungan antara sesama manusia dengan berbagai aspek kehidupannya. Sehubungan dengan hal ini, agama dalam konsepsi Islam mempunyai keterkaitan yang sangat erat
dengan  Negara,  karena  Islam  mempunyai  konsep  dalam  mengatur  persoalan-
74
Nawiriddin, Islam dan Pancasila: Studi Hubungan Ideal dalam Konstruk Negara Nasional, Tesis Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta, h.160
persoalan  sosial  kehidupan  manusia.  Dalam  konteks  inilah,  agama  dan  Negara merupakan satu kesatuan yang tidak boleh bertolak belakang apalagi dipisahkan.
Pada  dasarnya  dalam  Islam  tidak  ada  pemisahan  antara  agama  dan  politik, Negara  yang  dibangun  Nabi  sangat  multicultural  dan  pluraris  yang  menjamin
kebebasan  beragama di  kalangan warga Negara  Madinah  yang diakui oleh  sebagian besar  sarjana  muslim  dan  bahkan  beberapa  sarjana  Barat  sebagai  bukti  adanya
demokrasi dalam sistem kenegaraan Islam kelasik.
75
Oleh  karena  itu,  Islam  menolak  sekularisme  sebab  konsep  Islam  mencakup seluruh bidang kehidupan manusia, termasuk dalam bidang kenegaraan. Dalam Islam
tidak  ada  pemisah  antara  urusan  agama  dengan  urusan  politik.  Dalam  pengertian, politik sebagai suatu kegiatan harus dilakukan dalam kerangka sistem nilai Islam.
76
Dalam perspektif inilah, hubungan Islam dan Pancasila lebih di tekankan pada pola  hubungan simbiosis atau simbiotis,  yaitu suatu pola hubungan timbal  balik dan
saling membutuhkan dan saling melengkapi. Islam dan Pancasila memang tidak bisa di perbandingkan dan menjadi mitra bersama dalam membangun masyarakat, bangsa
dan  Negara.  Spirit  ajaran  Islam  tidak  dapat  berkembang  dan  efektif  berlaku  dalam masyarakat  tanpa  bantuan  Negara  pancasila  sebagai  alat  kekuasaan  untuk
“memaksa”.  Sebaliknya,  Pancasila  tanpa  bimbingan  Islam  akan  mengalami  krisis
75
Azyumardi Azra, Pergerakan Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Postmodernisme
, Jakarta: Paramadina,1996, h.
76
Muhammad Hari Zamharir, Agama, dan Negara: Analisis Kritis Pemikiran Politik Nurcholish Madjid,
Raja Grafindo: Jakarta,2004, h. 74
etika  dan  moral,  dengan  panduan  Islam  Pancasila  dapat  berkembang  dalam bimbingan etika.
Dalam  pandangan  Al-Mawardi,  kepemimpinan  Negara  imamah  merupakan instrumen  untuk  meneruskan  misi  kenabian  guna  memelihara  agama  dan  mengatur
dunia. Pemeliharaan agama dan pengaturan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda,  namun  hubungan  secara  simbiotik,  keduanya  merupakan  dua  dimensi  dari
misi kenabian.
77
Oleh karena  itu, konsep Islam tidak dapat dipisahkan dari konsep kekuasaan dan  kenegaraan,  meskipun  belakangan  ini  pemikir  dan  pengamat  muslim  Indonesia
lebih menitik beratkan subtansi keislaman dari simbolnya. Kecendrungan ini diwakili oleh  kalangan  elit  politik  muslim,  baik  pada  zaman  orde  baru,  orde  lama,  maupun
Orde  Reformasi.  Kecendrungan  atau  penekanan  terhadap  subtansialisme  nilai-nilai Islam  dalam  konsep  kenegaraan  diistilahkan  dengan  pendekatan  subtansialisme.
Konsep  ini  lebih  mendorong  kepada  perjuangan  penerapan  subtansi  atau  nilai-nilai Islam dibandingkan dengan perjuangan formalisasi Islam.
Subtansialisme  dimaksudkan  sebagai  aksentuasi  bahwa  subtansi  atau  makna iman  dan  pribadatan  lebih  penting  dari  formalitas  simbiolisme  keagamaan  serta
ketaatan  yang  besifat  literal  kepada  teks  wahyu  Tuhan.  Sementara  peasn-pesan  al- Qur’an dan hadist yang mengandung esensi abadi dan bemakna universal, ditafsirkan
kembali  berdasarkan  runtut  dan  rentang  waktu  generasi  kaum  muslim  serta
77
M. Syafii Anwar, Pemikiran dan aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang Cendekiawan Muslim Ode Baru
, h. 156
mengkontekstualisasikannya  dengan  kondisi-kondisi  sosial  yang  berlaku  pada masanya.  Eksistensi  dan  artikulasi  nilai-nilai  Islam  yang  intrinstik,  dalam  iklim
politik  Indonesia  lebih  penting  dan  sangat  memadai  untuk  mengembangkan islamisasi  dalam  wajah  kulturalisasi  masyarakat  Indonesia  modern.  Ini  merupakan
pandangan dasar kaum subtansialis yang dilandasi dari perspektif historis.
78
Soekarno  sendiri  pada  dasaranya  menganut  paham  hubungan  yang  brsifat subtansialisme  antara Islam dan  negara atau Pancasila  hal  ini dapat dipahami dalam
salah  satu  bukunya  yang  berjudul  “Di  Bawah  Bendera  Revolusi”,  bahwa  otensitas sebuah  Negara  Islam  tidak  semata-mata  ditunjukan  oleh  penerimaan  formal    atau
legal Islam dalam kebijakan-kebijakan Negara. Menurut soekarno, dalam suatu negeri yang menganut sistem demokrasi, di mana rakyat melalui wakil-wakilnya di legislatif
boleh  memperjuangkan dan  memasukan segala  macam keagamaannya dalam  sistem kenegaraannya  dan  perundang-undangan  Negara,  meskipun  agama  dipisahkan  oleh
negara.
79
Oleh  karena  itu,  dalam  Pancasila,  Islam  atau  agama  lainnya  mempunyai tempat yang terhormat. Hal ini didasarkan pada adanya jaminan konstitusional bahwa
Negara  menjamin  kemerdekaan  warga  Negara  untuk  beragama  dan  memberikan kebebasan bagi para pemeluk agama-agama untuk menjalankan ibadat sesuai dengan
keyakinan  dan  kepercayaan  masing-masing.  Islam  dan  agama-agama  lainnya, menjadi landasan spiritual etika dan moral bagi pembangunan masyarakat Indonesia
78
M. Syafii Anwra, Pemikiran dan  Aksi Islam Indonesia, h. 156
79
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta: Darul Falah, 1964, h. 452-453
4. Ideologi dan Falsafah Pancasila