12 semakin diperkaya oleh ilmu-ilmu pengetahuan yang kelak akan sangat berguna dalam
kehidupan. Setiap manusia memiliki kejiwaan yang berbeda-beda sehingga akan sangat menggugah untuk dibicarakan dan dianalisis. Novel ini juga dapat menjadi peringatan dan
pembelajaran bagi para orang tua agar lebih memperhatikan perkembangan psikologis anak-anaknya agar kelak tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti halnya yang
dialami oleh tokoh Nora. Belum ditemukannya penelitian terhadap novel Nora karya Putu Wijaya ini dari sudut Psikologi Sastra umumnya dan unsur gangguan kejiwaan khususnya
turut menjadi alasan penulis untuk meneliti dan membahas novel Nora dalam kesempatan ini.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang tersebut maka penulis mengangkat masalah, bagaimana bentuk gangguan kejiwaan tokoh utama protagonis dalam novel Nora karya Putu Wijaya?
1.3 Pembatasan Masalah
Agar tidak terjadi penyimpangan dalam penelitian ini, sangat diperlukan pembatasan terhadap masalah yang akan diteliti. Novel ini merupakan bagian pertama novel Tetralogi,
tetapi penulis membatasi penelitian dengan menetapkan hanya membahas bagian pertama saja, yaitu novel Nora karena novel ini lebih menarik perhatian penulis.
Pendekatan psikologi dalam skripsi ini hanya akan difokuskan pada gangguan jiwa terhadap tokoh utama protagonis saja dikarenakan tanda-tanda gangguan kejiwaan hanya
ditemuka n pada tokoh tersebut.
Universitas Sumatera Utara
13
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk gangguan kejiwaan tokoh utama protagonis dalam novel Nora karya Putu Wijaya.
1.4.2 Manfaat Penelitian
Sebuah penelitian yang dilakukan bersusah payah hendaknya memiliki manfaat yang baik. Hal ini merupakan ukuran berhasil tidaknya suatu penelitian dilakukan. Penelitian ini
diharapkan: 1.
Dapat menambah pengapresiasian terhadap karya sastra Indonesia. 2.
Menambah wawasan dan pengetahuan pembaca sastra tentang nilai-nilai psikologi dalam novel tersebut.
3. Dapat menambah pengetahuan pembaca sastra mengenai penyakit kejiwaan
“Schizophrenia”. 4.
Dapat memberikan pelajaran bagi para orang tua untuk memperhatikan perkembangan psikologi anak-anak mereka.
Universitas Sumatera Utara
14
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional 2005:588, konsep didefenisikan sebagai berikut,
“konsep konsep n 1 rancangan atau buram surat dsb; 2 ide atau pengertian yang diabstrakkan di peristiwa konkret: satu istilah dapat mengandung dua – yang berbeda; 3
gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain”. Dari beberapa defenisi di atas, penulis
menilai bahwa defenisi ketiga adalah yang paling tepat untuk menggambarkan konsep dalam skripsi ini yaitu, gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar
bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Dengan demikian, konsep digunakan sebagai kerangka atau pijakan untuk menjelaskan, mengungkapkan,
menggambarkan, atau pun memaparkan suatu objek atau topik pembahasan. Dalam hal ini, konsep yang dimaksudkan adalah gambaran dari objek berupa novel berjudul Nora yang
akan dibedah dalam suatu pembahasan skripsi yang berjudul “Gangguan Kejiwaan Tokoh Utama Novel NORA Karya Putu Wijaya : Analisis Psikologi Sastra”.
Skripsi ini akan melibatkan beberapa konsep yang akan menjadi dasar pembahasan pada bab selanjutnya, yaitu:
a. Psikologi Sastra
b.Schizophrenia Hebeprenia
Universitas Sumatera Utara
15
2.1.1 Psikologi Sastra
Psikologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu tentang jiwa. Sedangkan sastra adalah ilmu tentang karya seni dengan tulis-menulis. Maka jika diartikan secara
keseluruhan, psikologi sastra merupakan ilmu yang mengkaji karya sastra dari sudut kejiwaannya. Menurut Wellek dan Austin 1989:90,
Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua
adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada
pembaca psikologi pembaca.
Pendapat Wellek dan Austin tersebut memberikan pemahaman akan begitu luasnya
cakupan ilmu psikologi sastra. Psikologi sastra tidak hanya berperan dalam satu unsur saja yang membangun sebuah karya sastra. Namun jika dicermati dalam penerapan, psikologi
sastra lebih cenderung memberikan perhatian pada masalah yang ketiga yaitu, pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung
dalam karya. Sebagai dunia dalam kata, karya sastra memasukkan berbagai aspek kehidupan di dalamnya, khususnya manusia. Aspek-aspek kemanusiaan inilah yang
merupakan objek utama psikologi sastra pada umumnya sebab dalam diri manusia yang berperan sebagai tokoh itulah yang menjadi aset ditanamkannya aspek kejiwaan tersebut.
Poin ketiga dari pendapat Wellek dan Austin tersebut juga sesuai dengan pokok pembahasan penulis dalam penelitian kali ini. Penulis akan meneliti pengertian yang ketiga
terhadap novel Nora karya Putu Wijaya tersebut, yaitu unsur kejiwaan tokoh utama protagonis Nora yang akan dibahas secara khusus dan mendalam dari segi bentuk gangguan
kejiwaan, faktor penyebab, dan ciri-ciri yang ditunjukkan oleh tokoh Nora.
Universitas Sumatera Utara
16 Melalui pembahasan dalam penelitian novel Nora ini, akan dapat dilihat aplikasi
nyata dari pendekatan psikologi sastra tersebut dalam karya-karya sastra sebagai medianya dengan meminjam teori kepribadian Freud yang lazim disebut dengan teori Psikoanalisis.
Psikoanalisis pertama kali dimunculkan oleh “Bapak Psikoanalisis” terkenal Sigmund Freud yang berasal dari Austria. “Psikoanalisis adalah istilah khusus dalam penelitian
psikologi sastra” Endraswara, 2008:196. Artinya, psikoanalisis ini banyak diterapkan dalam setiap penelitian sastra yang mempergunakan pendekatan psikologis. Umumnya,
dalam setiap pelaksanaan pendekatan psikologis terhadap penelitian sastra, yang diambil dari teori psikoanalisis ini hanyalah bagian-bagian yang berguna dan sesuai saja, terutama
yang berkaitan dengan pembahasan sifat dan perwatakan manusia. Pembahasan sifat dan perwatakan manusia tersebut meliputi cakupan yang relatif luas karena manusia senantiasa
menunjukkan keadaan jiwa yang berbeda-beda. Psikoanalisis juga menguraikan kelainan atau gangguan jiwa, “Namun dapat dipastikan bahwa Psikoanalisis bukanlah merupakan
keseluruhan dari ilmu jiwa, tetapi merupakan suatu cabang dan mungkin malahan dasar dari keseluruhan ilmu jiwa” Calvin, 1995:24. Berdasarkan pernyataan tersebut secara
umum dapat disimpulkan bahwa psikoanalisis merupakan tombak dasar penelitian kejiwaan dalam mencapai tahap penelitian yang lebih serius, khususnya karya sastra dalam hal ini.
Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis tokoh-tokoh dalam drama atau novel secara psikologis. Tokoh-tokoh tersebut umumnya merupakan imajinasi
atau khayalan pengarang yang berada dalam kondisi jiwa yang sehat maupun terganggu, lalu dituangkan menjadi sebuah karya yang indah. Keadaan jiwa yang sehat dan terganggu
inilah yang menjadi cermin lahirnya karya dengan tokoh berjiwa sehat maupun terganggu.
Universitas Sumatera Utara
17 Teori Psikoanalisis yang dikemukakan Freud membagi kepribadian menjadi tiga
bagian yaitu, id, ego, dan superego. Id adalah bagian kepribadian yang tersembunyi dan tak dapat dimasuki dan sebagian kecil yang diketahui mengenai hal itu didapat sebagai hasil
penyelidikan tentang impian dan gejala-gejala penyakit saraf. Id berfungsi untuk mengusahakan segera tersalurkannya kumpulan-kumpulan energi atau ketegangan, yang
dicurahkan dalam jasad oleh rangsangan-rangsangan, baik dari dalam maupun luar. Ego adalah pelaksana dari kepribadian, yang mengontrol dan memerintah id dan
superego dan memelihara hubungan dengan dunia luar untuk kepentingan seluruh kepribadian yang kepentingannya luas. Jika ego melakukan fungsinya dengan bijaksana,
akan terdapatlah harmoni dan keselarasan. Bila ego mengalah atau menyerahkan kekuasaannya terlalu banyak kepada id dan superego atau kepada dunia luar, akan terjadi
kejanggalan dan keadaan tidak teratur. Superego adalah lembaga ketiga yang penting dari kepribadian yang merupakan
cabang moril atau cabang keadilan dari kepribadian. Superego merupakan kode moril dari seseorang. Superego berkembang dari ego sebagai akibat dari perpaduan yang dialami
seseorang anak dari ukuran-ukuran orangtuanya mengenai apa yang baik dan saleh serta apa yang buruk dan batil Calvin, 1995:29-51.
Berlandaskan pengklasifikasian kepribadian Freud ini akan dapat direka apakah ketiga aspek kepribadian yang dimiliki tokoh Nora berperan atau berfungsi dengan baik.
Ditilik dari pola tingkah laku yang ditunjukkan tokoh Nora, disimpulkan bahwa lembaga id, ego, dan superego tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan tidak saling mengacu pada
pembentukan pribadi yang sehat atau normal.
Universitas Sumatera Utara
18
2.1.2 Schizophrenia Hebeprenik
Perkataan hebeprenik berasal dari bahasa Yunani yang berarti “jiwa muda”, sedangkan schizophrenia berarti “jiwa yang terpecah atau terbagi” Mahmud, 1990:270-
272. Menurut Durand dan David Barlow 2007:229, “Skizofrenia Hebeprenik adalah emosionalitas yang dungu atau tidak matang yang khas bagi beberapa tipe schizophrenia”.
Gangguan semacam ini ditunjukkan dengan tingkah laku kemunduran seperti anak-anak bagi pasien yang mengalaminya. Lebih lanjut dipaparkan oleh Mahmud 1990:272,
“Gejala-gejala yang tampak biasanya berupa kedunguan, ketololan, emosi terpisah dari intelek, delusi dan halusinasi yang ganjil”. Faktor penyebab gangguan ini bisa disebabkan
oleh pengalaman atau masa lalu penderita yang banyak menerima tekanan, perlakuan buruk, ketegangan, serta ketidakadilan baik dari orang-orang terdekat maupun lingkungan
sosial penderita. Berdasarkan pendapat Durand dan David Barlow di atas, ditafsirkan bahwa tokoh utama protagonis Nora dalam novel karya Putu Wijaya tersebut mengalami
gangguan kejiwaan “Skizofrenia Hebeprenik”. Gangguan ini dapat dilihat dari kejanggalan sikap dan respon emosi tokoh Nora dalam setiap interaksi terhadap tokoh lain yang akan
dipaparkan pada bab pembahasan selanjutnya. Gangguan kejiwaan schizophrenia hebeprenia di atas merupakan salah satu tipe atau
golongan schizophrenia yang merupakan gangguan kegilaan atau keabnormalan suatu pribadi. Penyakit kejiwaan Schizophrenia pertama sekali ditemukan oleh Eugene Bleuler,
seorang psikiatrist Jerman yang mendefenisikannya sebagai “jiwa yang terpecah atau terbagi” Mahmud, 1990:270. Kesimpulan ini didasarkan pada kenyataan bahwa kondisi
jiwa terpecah itu umum sekali terlihat pada pasien gangguan schizophrenia. Penyakit schizophrenia ini terbagi atas tiga kategori yaitu schizophrenia hebefrenik, schizophrenia
Universitas Sumatera Utara
19 katatonik, schizophrenia paranoid. Gangguan kejiwaan jenis Schizophrenia Hebeprenik
inilah yang akan dibahas lebih lanjut pada bab pembahasan berikutnya dengan mempergunakan teori schizophrenia Bleuler yang akan ditemukan pada cabang ilmu
psikologi abnormal. Secara umum, psikologi abnormal dikatakan sebagai ilmu yang membahas tentang berbagai bentuk ganggan kejiwaan manusia. Defenisi terhadap psikologi
abnormal sama halnya dengan pendefenisian terhadap sastra, yakni tidak adanya kemutlakan. Beberapa ahli kejiwaan mendefenisikan psikologi abnormal sesuai dengan
penelitian mereka terhadap berbagai jenis karakter atau gejala yang ditunjukkan oleh manusia yang dianggap bertingkah laku kurang wajar atau tidak normal. Biasanya psikologi
abnormal ini disinonimkan dengan “perilaku abnormal”. Mahmud 1990:251 mendefenisikan, “Mereka yang tingkah lakunya sangat berbeda dari norma-norma yang
berlaku di dalam suatu masyarakat disebut abnormal”. Artinya, setiap individu yang menunjukkan pola-pola tingkah laku melanggar norma-norma yang diterapkan dalam
masyarakat digolongkan pada keabnormalan atau manusia dengan kejiwaan tidak normal. Karena itu di dalam masyarakat, perlawanan terhadap hukum baik yang tertulis maupun
tidak tertulis, dianggap sebagai suatu tanda abnormalitas.
2.2 Landasan Teori
Dalam sebuah penelitian dibutuhkan landasan teori yang mendasarinya karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Landasan teori yang digunakan
diharapkan mampu menjadi kerangka dasar seluruh pembahasan. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dipergunakan Teori Psikologi Sastra sebagai teori utama yang kemudian
akan dilanjutkan dengan Teori Psikoanalisis untuk menemukan bentuk gangguan kejiwaan
Universitas Sumatera Utara
20 tokoh Nora. Melalui teori ini, diharapkan bentuk gangguan kejiwaan Schizofrenia
Hebefrenik akan dapat ditelanjangi secara gamblang sehingga jelas bagaimana gejala dan sebab-akibat gangguan kejiwaan tersebut terjadi, khususnya pada tokoh utama protagonis
novel Nora tersebut. Menurut Ratna 2004:350, “Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan
mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis”. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut
kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik
batin yang terkandung dalam karya sastra. Wellek dan Austin 2004:350 juga menyebutkan, “Dalam sebuah karya sastra yang berhasil, psikologi sudah menyatu menjadi
karya seni, oleh karena itu, tugas peneliti adalah menguraikannya kembali sehingga menjadi jelas dan nyata apa yang dilakukan oleh karya tersebut”. Secara umum dapat
disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”. Artinya, dengan meneliti
sebuah karya sastra melalui pendekatan Psikologi Sastra, secara tidak langsung kita telah membicarakan psikologi karena dunia sastra tidak dapat dipisahkan dengan nilai kejiwaan
yang mungkin tersirat dalam karya sastra tersebut. Analisis Teori Psikologi Sastra yang dilanjutkan dengan Teori Psikoanalisis tersebut
diaplikasikan dengan meminjam teori kepribadian ahli psikologi terkenal Sigmund Freud. Dengan meletakkan teori Freud sebagai dasar penganalisisan, maka pemecahan masalah
akan gangguan kejiwaan tokoh utama akan dapat dijembatani secara bertahap. Berpijak dari
Universitas Sumatera Utara
21 teori kepribadian Freud ini akan ditemukan pokok persoalan yang sesungguhnya yakni,
gangguan kejiwaan Schizophrenia Hebeprenik. Schizophrenia Hebeprenik tersebut akan berkaitan dengan emosionalitas yang dungu,
yang diperinci atas kebebalan, kecemburuan, dan kekanak-kanakan regresikemunduran. Menurut Sudarsono 1997:28, cemburu didefenisikan sebagai “Bentuk khusus dari
kekhawatiran yang didasari oleh adanya keyakinan terhadap diri sendiri, ketakutan akan kehilangan kasih sayang dari seseorang”. Berdasarkan defenisi tersebut dapat disimpulkan
bahwa cemburu merupakan akumulasi dari rasa cemas dan takut. Bebal menurut Kamus Basar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga 2005:118 didefenisikan, “sukar mengerti; tidak
cepat menanggapi sesuatu; tidak tajam pikiran” sedangkan kekanak-kanakan atau dalam psikologi lazim disebut dengan istilah kemunduran regresi, didefenisikan sebagai
“1.Usaha menghindarkan kelemahan dan kegagalan dengan cara kembali ke taraf yang lebih rendah; 2.Suatu proses kembalinya ke tingkat lebih muda, pada taraf kekanak-
kanakan dari pertumbuhan kepribadian sebagai alat untuk beradaptasi pada masalah- masalah personal” Sudarsono, 1997:198. Ketiga unsur emosionalitas yang dungu tersebut
akan dibahas lebih seksama pada bab pembahasan berikutnya.
2.3 Tinjauan Pustaka