Gangguan Jiwa Schizophrenia Hebeprenik Tokoh Utama Protagonis Novel Nora Karya Putu Wijaya

(1)

GANGGUAN JIWA SCHIZOPHRENIA HEBEPRENIK TOKOH

UTAMA PROTAGONIS NOVEL NORA KARYA PUTU WIJAYA :

ANALISIS PSIKOLOGI SASTRA

SKRIPSI

Oleh EVA YOHANNA

NIM 060701027

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

GANGGUAN JIWA SCHIZOPHRENIA HEBEPRENIK TOKOH

UTAMA PROTAGONIS NOVEL NORA KARYA PUTU WIJAYA

Oleh Eva Yohanna NIM 060701027

Proposal ini diajukan untuk melengkapi persyaratan ujian skripsi di Fakultas Sastra dan telah disetujui oleh

Pembimbing I, Pembimbing II,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si Drs. Haris Sutan Lubis, M.Sp NIP 19620925 198903 1 017 NIP 19590907 198702 1 002

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Dra. Nurhayati Harahap, M. Hum. NIP 19620419 198703 2 001


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi yang ditentukan.

Medan, Mei 2010


(4)

ABSTRAK

GANGGUAN JIWA SCHIZOPHRENIA HEBEPRENIK TOKOH UTAMA PROTAGONIS NOVEL NORA KARYA PUTU WIJAYA : ANALISIS PSIKOLOGI

SASTRA Oleh: Eva Yohanna

Penulisan skripsi ini berjudul “Gangguan Jiwa Schizophrenia Hebeprenik Tokoh Utama Protagonis Novel Nora Karya Putu Wijaya : Analisis Psikologi Sastra”. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis bentuk gangguan kejiwaan tokoh utama protagonis dalam novel Nora. Untuk mencapai tujuan itu akan dikumpulkan data dari novel Nora dengan menggunakan metode membaca hermeneutik yang dikemukakan oleh Pradopo (2003 : 135) dengan teknik catat pada kartu data. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan teori psikologi sastra yang dikemukakan oleh Wellek dan Austin (1989 : 90) dan teori psikoanalisis Sigmund Freud yang diuraikan oleh Calvin (1995 : 24). Dari analisis diperoleh hasil bahwa gangguan kejiwaan schizophrenia hebeprenik yang dialami tokoh utama protagonis Nora merupakan bentuk emosionalitas dungu yang berupa kebebalan dan kekanak-kanakan. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa kebebalan merupakan sebab dan kekanak-kanakan merupakan akibat gangguan kejiwaan yang dimiliki oleh tokoh Nora.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan karunia dan kesehatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudu l “Gangguan Jiwa Schizophrenia Hebeprenik Tokoh Utama Protagonis Novel Nora Karya Putu Wijaya : Analisis Psikologi Sastra”. Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana bidang ilmu Sastra Indonesia di Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan bantuan, perhatian, dan bimbingan baik selama penulis mengikuti perkuliahan maupun dalam penysunan skripsi ini, khususnya kepada Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin, M.Si sebagai pembimbing I dan Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.Sp sebagai pembimbing II, yang telah menyediakan waktu dan pikiran serta dorongan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dalam kesempatan ini juga penulis tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Prof. Syaifuddin, M.A, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra, Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Nurhayati Harahap, M.Hum, dan ibu Dra. Mascahaya, M.Hum, sebagai ketua dan sekertaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.


(6)

3. Segenap dosen di lingkungan Jurusan Sastra Indonesia yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, atas dorongan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara.

4. Keluarga penulis, yaitu ayahanda R. Lbn Gaol dan ibunda F. Manalu tercinta serta kakak Ika, adik Josua, dan Franciskus yang tidak pernah lupa memberi dorongan material dan spiritual serta memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa demi keberhasilan penulis.

5. Sahabat-sahabat penulis : Nova, Ira, Ade, Marlina, Itana atas kebaikan dan dorongan spiritual bagi penulis.

6. Teman-teman Sastra Indonesia dari seluruh stambuk khususnya stambuk 2006 yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu yang telah banyak membantu, memberikan semangat, bagi penulis.

7. Bagi pacar saya Ricky Manik yang telah memberikan dorongan material dan spiritual yang turut membantu penulis selama penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, penulis mengharapkan agar skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penikmat sastra.

Medan, Juni 2010

Eva Yohanna 060701027


(7)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Pembatasan Masalah ... 4

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 5

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 5

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Konsep ... 6

2.1.1 Psikologi Sastra ... 7

2.1.2 Schizophrenia Hebeprenik ... 10

2.2 Landasan Teori ... 11

2.3 Tinjauan Pustaka... 13

BAB III METODE PENELITIAN ... 18

3.1 Teknik Pengumpulan Data ... 18

3.1.1 Bahan Analisis ... 19

3.1.2 Sinopsis Novel Nora ... 20

3.2 Teknik Analisis Data ... 22

BAB IV BENTUK GANGGUAN JIWA SCHIZOPHRENIA HEBEFRENIK TOKOH UTAMA PROTAGONIS NOVEL NORA KARYA P. WIJAYA ... 23

4.1 Analisis Intrinsik Novel Nora Karya Putu Wijaya ... 23

4.1.1 Alur... 23


(8)

4.1.3 Latar ... 39

4.1.4 Tema ... 40

4.2 Analisis Ekstrinsik Novel Nora Karya Putu Wijaya ... 42

4.2.1 Gangguan Jiwa Schizophrenia Hebeprenik ... 42

4.2.1.1 Bebal ... 49

4.2.1.2 Kekanak-kanakan ... 52

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 58

5.1 Simpulan ... 58

5.2 Saran ... 59

DAFTAR PUSTAKA ... 60


(9)

ABSTRAK

GANGGUAN JIWA SCHIZOPHRENIA HEBEPRENIK TOKOH UTAMA PROTAGONIS NOVEL NORA KARYA PUTU WIJAYA : ANALISIS PSIKOLOGI

SASTRA Oleh: Eva Yohanna

Penulisan skripsi ini berjudul “Gangguan Jiwa Schizophrenia Hebeprenik Tokoh Utama Protagonis Novel Nora Karya Putu Wijaya : Analisis Psikologi Sastra”. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis bentuk gangguan kejiwaan tokoh utama protagonis dalam novel Nora. Untuk mencapai tujuan itu akan dikumpulkan data dari novel Nora dengan menggunakan metode membaca hermeneutik yang dikemukakan oleh Pradopo (2003 : 135) dengan teknik catat pada kartu data. Setelah data terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan teori psikologi sastra yang dikemukakan oleh Wellek dan Austin (1989 : 90) dan teori psikoanalisis Sigmund Freud yang diuraikan oleh Calvin (1995 : 24). Dari analisis diperoleh hasil bahwa gangguan kejiwaan schizophrenia hebeprenik yang dialami tokoh utama protagonis Nora merupakan bentuk emosionalitas dungu yang berupa kebebalan dan kekanak-kanakan. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa kebebalan merupakan sebab dan kekanak-kanakan merupakan akibat gangguan kejiwaan yang dimiliki oleh tokoh Nora.


(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sastra termasuk salah satu ilmu yang sulit diberi batasan dalam pendefenisiannya. Sastra seakan hampir tidak memiliki defenisi yang mutlak. Setiap orang dapat memberikan defenisi terhadap sastra, sesuai dengan pemahaman individu tersebut. Pemahaman masing-masing individu tersebut bisa dipengaruhi oleh pengalaman hidup, ilmu yang diperoleh, bahkan lingkungan hidup maupun kebudayaan. Hingga kini belum ada defenisi mutlak akan sastra yang dapat dijadikan sebagai pedoman atau acuan bagi orang-orang yang ingin mengetahui dan mendalaminya. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat yang menyebutkan, “Sastra bukanlah sebuah benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan” (Luxemburg, 1986:9). Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa sastra tidak dapat diraba untuk mengetahui bentuk dan isinya, namun sastra hanya bisa dipelajari dan dipahami untuk mengetahui isi yang terkandung di dalamnya.

Teeuw (2003:19) menyebutkan, “Ilmu sastra menunjukkan keistimewan, barangkali juga keanehan yang mungkin tidak dapat kita lihat pada banyak cabang ilmu pengetahuan lain, yaitu bahwa objek utama penelitiannya tidak tentu malahan tidak keruan”. Kenyataan ini barangkali disebabkan oleh begitu luasnya ruang lingkup ilmu sastra tersebut. Sastra memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan berbagai ilmu lain yang dalam hal ini termasuk juga ilmu bantu bagi penelaahan ilmu sastra, di antaranya adalah psikologi, sosiologi, dan filsafat.


(11)

Suatu karya sastra juga harus dilihat sebagai ekspresi pengarangnya dan bukan semata-mata kenyataan sosial yang murni. Tidak bisa dipungkiri bahwa masyarakat tempat karya sastra itu lahir sangat mempengaruhi proses penciptaannya. Pengarang merupakan bagian dari masyarakatnya yang menangkap pesan-pesan dan peristiwa-peristiwa dari lingkungannya lalu menuliskan semua itu dalam sebuah seni (sastra) yang telah melewati proses kreatif. Dapat disimpulkan bahwa apa pun yang akan diciptakan oleh seorang pengarang selalu mendapat pengaruh dari luar, karena tidak mungkin pengarang menjadi individu yang lepas jiwa dan raga dari lingkungannya.

Kesusastraan merupakan wadah untuk mencurahkan cita-cita dan pengalaman jiwa seorang pengarang. Seiring berjalannya waktu, sastra pun berkembang menjadi ilmu yang lebih luas dan layak mendapat perhatian khusus dari masyarakat. Bukan semata hanya untuk mendongkrak keberadaan ilmu sastra di antara ilmu-ilmu lainnya, tetapi juga sebagai jembatan untuk mengenal kehidupan masyarakat, mengingat bahwa sastra merupakan gambaran kehidupan manusia yang dituangkan dalam bentuk cerita. Cerita tersebut dapat berawal dari pengalaman pribadi pengarang, pengalaman orang lain, maupun hasil imajinasi pengarang itu sendiri.

Salah satu bentuk kesusastraan yang paling dikenal adalah novel. Pada umumnya novel merupakan hasil daya cipta seorang pengarang akan pengalaman kehidupannya serta bentuk-bentuk kehidupan masyarakat. Masyarakat kerap mengatakan bahwa novel merupakan wadah untuk mengungkapkan kehidupan manusia dari berbagai aspek karena mengungkapkan berbagai macam perasaan di dalamnya misalnya latar belakang kehidupan masyarakat itu menjadi dasar penciptaan sebuah karya sastra. Fenomena ini dikenal sebagai simbol psikologis karena memiliki respon emosional. Respon emosional tersebut dapat


(12)

berasal dari pengarang itu sendiri maupun dari pembaca yang pada umumnya berupa kesenangan, kebencian, kekecewaan, penyesalan, kemarahan, dan sebagainya yang merupakan wujud tanggapan atau penilaian pembaca terhadap tokoh maupun tema cerita yang disuguhkan oleh pengarang.

Pada sisi lain psikologi sastra mengkaji unsur penting dalam karya sastra, yaitu pengarang, pembaca, dan karya itu (khususnya tokoh cerita). Psikologi sastra menjadi ilmu yang mewakili sastra dalam mengungkapkan perasaan dan keadaan jiwa pengarang, karya, dan pembaca sebagai sebab dan akibat terciptanya suatu cerita.

Novel Indonesia sebagai salah satu jenis karya sastra cenderung mengungkap aspek psikologis yang sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Tema novel-novel tersebut menggambarkan jiwa tokoh di dalamnya secara khusus. Salah satu novel Indonesia yang memiliki unsur psikologi adalah novel Nora karya Putu Wijaya. Novel ini menggambarkan tokoh Nora sebagai gadis yang berperilaku aneh dan tidak wajar sebagaimana gadis berusia 22 tahun, yang merupakan akibat dari pengalaman pahit kehidupan yang mengalami tekanan batin sejak masa kanak-kanak hingga dewasa. Pengalaman inilah yang menyebabkan jiwa Nora terguncang dan seolah-olah menghantuinya sehingga mengakibatkan terhambatnya perkembangan jiwanya. Menurut Psikologi, gangguan kejiwaan yang dialami oleh tokoh Nora ini digolongkan pada “Schizophrenia Hebeprenia”. Gangguan kejiwaan yang dialami oleh tokoh Nora ini sangat menarik perhatian karena novel ini akan sangat berkesan dan bermanfaat bila pembaca mampu memetik ilmu dan amanat yang dititipkan oleh pengarang di dalamnya. Selain bermanfaat karena sarat dengan nilai-nilai kehidupan, novel ini juga dapat memperkaya pengetahuan karena pembaca diajak untuk mendalami psikologi secara tidak langsung sehingga pembaca


(13)

semakin diperkaya oleh ilmu-ilmu pengetahuan yang kelak akan sangat berguna dalam kehidupan. Setiap manusia memiliki kejiwaan yang berbeda-beda sehingga akan sangat menggugah untuk dibicarakan dan dianalisis. Novel ini juga dapat menjadi peringatan dan pembelajaran bagi para orang tua agar lebih memperhatikan perkembangan psikologis anak-anaknya agar kelak tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti halnya yang dialami oleh tokoh Nora. Belum ditemukannya penelitian terhadap novel Nora karya Putu Wijaya ini dari sudut Psikologi Sastra umumnya dan unsur gangguan kejiwaan khususnya turut menjadi alasan penulis untuk meneliti dan membahas novel Nora dalam kesempatan ini.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut maka penulis mengangkat masalah, bagaimana bentuk gangguan kejiwaan tokoh utama protagonis dalam novel Nora karya Putu Wijaya?

1.3 Pembatasan Masalah

Agar tidak terjadi penyimpangan dalam penelitian ini, sangat diperlukan pembatasan terhadap masalah yang akan diteliti. Novel ini merupakan bagian pertama novel Tetralogi, tetapi penulis membatasi penelitian dengan menetapkan hanya membahas bagian pertama saja, yaitu novel Nora karena novel ini lebih menarik perhatian penulis.

Pendekatan psikologi dalam skripsi ini hanya akan difokuskan pada gangguan jiwa terhadap tokoh utama protagonis saja dikarenakan tanda-tanda gangguan kejiwaan hanya ditemuka n pada tokoh tersebut.


(14)

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana bentuk gangguan kejiwaan tokoh utama protagonis dalam novel Nora karya Putu Wijaya.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Sebuah penelitian yang dilakukan bersusah payah hendaknya memiliki manfaat yang baik. Hal ini merupakan ukuran berhasil tidaknya suatu penelitian dilakukan. Penelitian ini diharapkan:

1. Dapat menambah pengapresiasian terhadap karya sastra Indonesia.

2. Menambah wawasan dan pengetahuan pembaca sastra tentang nilai-nilai psikologi dalam novel tersebut.

3. Dapat menambah pengetahuan pembaca sastra mengenai penyakit kejiwaan “Schizophrenia”.

4. Dapat memberikan pelajaran bagi para orang tua untuk memperhatikan perkembangan psikologi anak-anak mereka.


(15)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2005:588), konsep didefenisikan sebagai berikut, “konsep /konsep/ n 1 rancangan atau buram surat dsb; 2 ide atau pengertian yang diabstrakkan di peristiwa konkret: satu istilah dapat mengandung dua – yang berbeda; 3 gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain”. Dari beberapa defenisi di atas, penulis menilai bahwa defenisi ketiga adalah yang paling tepat untuk menggambarkan konsep dalam skripsi ini yaitu, gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Dengan demikian, konsep digunakan sebagai kerangka atau pijakan untuk menjelaskan, mengungkapkan, menggambarkan, atau pun memaparkan suatu objek atau topik pembahasan. Dalam hal ini, konsep yang dimaksudkan adalah gambaran dari objek berupa novel berjudul Nora yang akan dibedah dalam suatu pembahasan skripsi yang berjudul “Gangguan Kejiwaan Tokoh Utama Novel NORA Karya Putu Wijaya : Analisis Psikologi Sastra”.

Skripsi ini akan melibatkan beberapa konsep yang akan menjadi dasar pembahasan pada bab selanjutnya, yaitu:

a.Psikologi Sastra


(16)

2.1.1 Psikologi Sastra

Psikologi secara sempit dapat diartikan sebagai ilmu tentang jiwa. Sedangkan sastra adalah ilmu tentang karya seni dengan tulis-menulis. Maka jika diartikan secara keseluruhan, psikologi sastra merupakan ilmu yang mengkaji karya sastra dari sudut kejiwaannya. Menurut Wellek dan Austin (1989:90),

Istilah psikologi sastra mempunyai empat kemungkinan pengertian. Yang pertama adalah studi psikologi pengarang sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah studi proses kreatif. Yang ketiga studi tipe dan hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra. Dan yang keempat mempelajari dampak sastra pada pembaca (psikologi pembaca).

Pendapat Wellek dan Austin tersebut memberikan pemahaman akan begitu luasnya cakupan ilmu psikologi sastra. Psikologi sastra tidak hanya berperan dalam satu unsur saja yang membangun sebuah karya sastra. Namun jika dicermati dalam penerapan, psikologi sastra lebih cenderung memberikan perhatian pada masalah yang ketiga yaitu, pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang terkandung dalam karya. Sebagai dunia dalam kata, karya sastra memasukkan berbagai aspek kehidupan di dalamnya, khususnya manusia. Aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama psikologi sastra pada umumnya sebab dalam diri manusia yang berperan sebagai tokoh itulah yang menjadi aset ditanamkannya aspek kejiwaan tersebut.

Poin ketiga dari pendapat Wellek dan Austin tersebut juga sesuai dengan pokok pembahasan penulis dalam penelitian kali ini. Penulis akan meneliti pengertian yang ketiga terhadap novel Nora karya Putu Wijaya tersebut, yaitu unsur kejiwaan tokoh utama protagonis Nora yang akan dibahas secara khusus dan mendalam dari segi bentuk gangguan kejiwaan, faktor penyebab, dan ciri-ciri yang ditunjukkan oleh tokoh Nora.


(17)

Melalui pembahasan dalam penelitian novel Nora ini, akan dapat dilihat aplikasi nyata dari pendekatan psikologi sastra tersebut dalam karya-karya sastra sebagai medianya dengan meminjam teori kepribadian Freud yang lazim disebut dengan teori Psikoanalisis.

Psikoanalisis pertama kali dimunculkan oleh “Bapak Psikoanalisis” terkenal Sigmund Freud yang berasal dari Austria. “Psikoanalisis adalah istilah khusus dalam penelitian psikologi sastra” (Endraswara, 2008:196). Artinya, psikoanalisis ini banyak diterapkan dalam setiap penelitian sastra yang mempergunakan pendekatan psikologis. Umumnya, dalam setiap pelaksanaan pendekatan psikologis terhadap penelitian sastra, yang diambil dari teori psikoanalisis ini hanyalah bagian-bagian yang berguna dan sesuai saja, terutama yang berkaitan dengan pembahasan sifat dan perwatakan manusia. Pembahasan sifat dan perwatakan manusia tersebut meliputi cakupan yang relatif luas karena manusia senantiasa menunjukkan keadaan jiwa yang berbeda-beda. Psikoanalisis juga menguraikan kelainan atau gangguan jiwa, “Namun dapat dipastikan bahwa Psikoanalisis bukanlah merupakan keseluruhan dari ilmu jiwa, tetapi merupakan suatu cabang dan mungkin malahan dasar dari keseluruhan ilmu jiwa” (Calvin, 1995:24). Berdasarkan pernyataan tersebut secara umum dapat disimpulkan bahwa psikoanalisis merupakan tombak dasar penelitian kejiwaan dalam mencapai tahap penelitian yang lebih serius, khususnya karya sastra dalam hal ini.

Psikoanalisis dalam karya sastra berguna untuk menganalisis tokoh-tokoh dalam drama atau novel secara psikologis. Tokoh-tokoh tersebut umumnya merupakan imajinasi atau khayalan pengarang yang berada dalam kondisi jiwa yang sehat maupun terganggu, lalu dituangkan menjadi sebuah karya yang indah. Keadaan jiwa yang sehat dan terganggu inilah yang menjadi cermin lahirnya karya dengan tokoh berjiwa sehat maupun terganggu.


(18)

Teori Psikoanalisis yang dikemukakan Freud membagi kepribadian menjadi tiga bagian yaitu, id, ego, dan superego. Id adalah bagian kepribadian yang tersembunyi dan tak dapat dimasuki dan sebagian kecil yang diketahui mengenai hal itu didapat sebagai hasil penyelidikan tentang impian dan gejala-gejala penyakit saraf. Id berfungsi untuk mengusahakan segera tersalurkannya kumpulan-kumpulan energi atau ketegangan, yang dicurahkan dalam jasad oleh rangsangan-rangsangan, baik dari dalam maupun luar.

Ego adalah pelaksana dari kepribadian, yang mengontrol dan memerintah id dan superego dan memelihara hubungan dengan dunia luar untuk kepentingan seluruh kepribadian yang kepentingannya luas. Jika ego melakukan fungsinya dengan bijaksana, akan terdapatlah harmoni dan keselarasan. Bila ego mengalah atau menyerahkan kekuasaannya terlalu banyak kepada id dan superego atau kepada dunia luar, akan terjadi kejanggalan dan keadaan tidak teratur.

Superego adalah lembaga ketiga yang penting dari kepribadian yang merupakan cabang moril atau cabang keadilan dari kepribadian. Superego merupakan kode moril dari seseorang. Superego berkembang dari ego sebagai akibat dari perpaduan yang dialami seseorang anak dari ukuran-ukuran orangtuanya mengenai apa yang baik dan saleh serta apa yang buruk dan batil (Calvin, 1995:29-51).

Berlandaskan pengklasifikasian kepribadian Freud ini akan dapat direka apakah ketiga aspek kepribadian yang dimiliki tokoh Nora berperan atau berfungsi dengan baik. Ditilik dari pola tingkah laku yang ditunjukkan tokoh Nora, disimpulkan bahwa lembaga id, ego, dan superego tidak berfungsi sebagaimana mestinya dan tidak saling mengacu pada pembentukan pribadi yang sehat atau normal.


(19)

2.1.2 Schizophrenia Hebeprenik

Perkataan hebeprenik berasal dari bahasa Yunani yang berarti “jiwa muda”, sedangkan schizophrenia berarti “jiwa yang terpecah atau terbagi” (Mahmud, 1990:270-272). Menurut Durand dan David Barlow (2007:229), “Skizofrenia Hebeprenik adalah emosionalitas yang dungu atau tidak matang yang khas bagi beberapa tipe schizophrenia”. Gangguan semacam ini ditunjukkan dengan tingkah laku kemunduran seperti anak-anak bagi pasien yang mengalaminya. Lebih lanjut dipaparkan oleh Mahmud (1990:272), “Gejala-gejala yang tampak biasanya berupa kedunguan, ketololan, emosi terpisah dari intelek, delusi dan halusinasi yang ganjil”. Faktor penyebab gangguan ini bisa disebabkan oleh pengalaman atau masa lalu penderita yang banyak menerima tekanan, perlakuan buruk, ketegangan, serta ketidakadilan baik dari orang-orang terdekat maupun lingkungan sosial penderita. Berdasarkan pendapat Durand dan David Barlow di atas, ditafsirkan bahwa tokoh utama protagonis Nora dalam novel karya Putu Wijaya tersebut mengalami gangguan kejiwaan “Skizofrenia Hebeprenik”. Gangguan ini dapat dilihat dari kejanggalan sikap dan respon emosi tokoh Nora dalam setiap interaksi terhadap tokoh lain yang akan dipaparkan pada bab pembahasan selanjutnya.

Gangguan kejiwaan schizophrenia hebeprenia di atas merupakan salah satu tipe atau golongan schizophrenia yang merupakan gangguan kegilaan atau keabnormalan suatu pribadi. Penyakit kejiwaan Schizophrenia pertama sekali ditemukan oleh Eugene Bleuler, seorang psikiatrist Jerman yang mendefenisikannya sebagai “jiwa yang terpecah atau terbagi” (Mahmud, 1990:270). Kesimpulan ini didasarkan pada kenyataan bahwa kondisi jiwa terpecah itu umum sekali terlihat pada pasien gangguan schizophrenia. Penyakit schizophrenia ini terbagi atas tiga kategori yaitu schizophrenia hebefrenik, schizophrenia


(20)

katatonik, schizophrenia paranoid. Gangguan kejiwaan jenis Schizophrenia Hebeprenik inilah yang akan dibahas lebih lanjut pada bab pembahasan berikutnya dengan mempergunakan teori schizophrenia Bleuler yang akan ditemukan pada cabang ilmu psikologi abnormal. Secara umum, psikologi abnormal dikatakan sebagai ilmu yang membahas tentang berbagai bentuk ganggan kejiwaan manusia. Defenisi terhadap psikologi abnormal sama halnya dengan pendefenisian terhadap sastra, yakni tidak adanya kemutlakan. Beberapa ahli kejiwaan mendefenisikan psikologi abnormal sesuai dengan penelitian mereka terhadap berbagai jenis karakter atau gejala yang ditunjukkan oleh manusia yang dianggap bertingkah laku kurang wajar atau tidak normal. Biasanya psikologi abnormal ini disinonimkan dengan “perilaku abnormal”. Mahmud (1990:251) mendefenisikan, “Mereka yang tingkah lakunya sangat berbeda dari norma-norma yang berlaku di dalam suatu masyarakat disebut abnormal”. Artinya, setiap individu yang menunjukkan pola-pola tingkah laku melanggar norma-norma yang diterapkan dalam masyarakat digolongkan pada keabnormalan atau manusia dengan kejiwaan tidak normal. Karena itu di dalam masyarakat, perlawanan terhadap hukum baik yang tertulis maupun tidak tertulis, dianggap sebagai suatu tanda abnormalitas.

2.2 Landasan Teori

Dalam sebuah penelitian dibutuhkan landasan teori yang mendasarinya karena landasan teori merupakan kerangka dasar sebuah penelitian. Landasan teori yang digunakan diharapkan mampu menjadi kerangka dasar seluruh pembahasan. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan dipergunakan Teori Psikologi Sastra sebagai teori utama yang kemudian akan dilanjutkan dengan Teori Psikoanalisis untuk menemukan bentuk gangguan kejiwaan


(21)

tokoh Nora. Melalui teori ini, diharapkan bentuk gangguan kejiwaan Schizofrenia Hebefrenik akan dapat ditelanjangi secara gamblang sehingga jelas bagaimana gejala dan sebab-akibat gangguan kejiwaan tersebut terjadi, khususnya pada tokoh utama protagonis novel Nora tersebut.

Menurut Ratna (2004:350), “Psikologi Sastra adalah analisis teks dengan mempertimbangkan relevansi dan peranan studi psikologis”. Artinya, psikologi turut berperan penting dalam penganalisisan sebuah karya sastra dengan bekerja dari sudut kejiwaan karya sastra tersebut baik dari unsur pengarang, tokoh, maupun pembacanya. Dengan dipusatkannya perhatian pada tokoh-tokoh, maka akan dapat dianalisis konflik batin yang terkandung dalam karya sastra. Wellek dan Austin (2004:350) juga menyebutkan, “Dalam sebuah karya sastra yang berhasil, psikologi sudah menyatu menjadi karya seni, oleh karena itu, tugas peneliti adalah menguraikannya kembali sehingga menjadi jelas dan nyata apa yang dilakukan oleh karya tersebut”. Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara sastra dan psikologi sangat erat hingga melebur dan melahirkan ilmu baru yang disebut dengan “Psikologi Sastra”. Artinya, dengan meneliti sebuah karya sastra melalui pendekatan Psikologi Sastra, secara tidak langsung kita telah membicarakan psikologi karena dunia sastra tidak dapat dipisahkan dengan nilai kejiwaan yang mungkin tersirat dalam karya sastra tersebut.

Analisis Teori Psikologi Sastra yang dilanjutkan dengan Teori Psikoanalisis tersebut diaplikasikan dengan meminjam teori kepribadian ahli psikologi terkenal Sigmund Freud. Dengan meletakkan teori Freud sebagai dasar penganalisisan, maka pemecahan masalah akan gangguan kejiwaan tokoh utama akan dapat dijembatani secara bertahap. Berpijak dari


(22)

teori kepribadian Freud ini akan ditemukan pokok persoalan yang sesungguhnya yakni, gangguan kejiwaan Schizophrenia Hebeprenik.

Schizophrenia Hebeprenik tersebut akan berkaitan dengan emosionalitas yang dungu, yang diperinci atas kebebalan, kecemburuan, dan kekanak-kanakan (regresi/kemunduran). Menurut Sudarsono (1997:28), cemburu didefenisikan sebagai “Bentuk khusus dari kekhawatiran yang didasari oleh adanya keyakinan terhadap diri sendiri, ketakutan akan kehilangan kasih sayang dari seseorang”. Berdasarkan defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa cemburu merupakan akumulasi dari rasa cemas dan takut. Bebal menurut Kamus Basar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2005:118) didefenisikan, “sukar mengerti; tidak cepat menanggapi sesuatu; tidak tajam pikiran” sedangkan kekanak-kanakan atau dalam psikologi lazim disebut dengan istilah kemunduran (regresi), didefenisikan sebagai “1.Usaha menghindarkan kelemahan dan kegagalan dengan cara kembali ke taraf yang lebih rendah; 2.Suatu proses kembalinya ke tingkat lebih muda, pada taraf kekanak-kanakan dari pertumbuhan kepribadian sebagai alat untuk beradaptasi pada masalah-masalah personal” (Sudarsono, 1997:198). Ketiga unsur emosionalitas yang dungu tersebut akan dibahas lebih seksama pada bab pembahasan berikutnya.

2.3 Tinjauan Pustaka

Novel Nora karya Putu Wijaya ini sebenarnya adalah novel yang sangat menarik untuk dikaji, diteliti, dan diulas karena sarat dengan masalah-masalah kehidupan yang tidak asing lagi bagi pembaca.

Novel Nora ini sebenarnya sudah pernah dibahas sebelumnya. Namun pembahasan mengenai novel ini masih hanya seputar kritik para pembaca yang dituangkan dalam bentuk


(23)

forum diskusi maupun resensi mengenai pemikiran dan gaya bercerita Putu Wijaya dalam karya-karyanya yang terbilang unik. Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada yang meneliti novel ini secara khusus dalam rupa skripsi. Selain itu, pembahasan yang sudah ada mengenai novel ini juga cenderung membahas masalah kehidupan seks tokoh utama Nora, sedangkan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis kali ini lebih cenderung kepada unsur psikologis gangguan kejiwaan yang dialami tokoh utama protagonis Nora yang terkandung dalam novel Nora tersebut. Pembahasan yang telah membicarakan novel Nora ini masih hanya sebatas komentar atau forum diskusi di dunia maya di antaranya,

1. Nora : Abstraksisme Seks atau Konflik Pikiran Ala Putu Wijaya

Blog tersebut (www.bookoopedia.com) ditulis pada tanggal 25 januari 2008 oleh Emshi, salah satu pembaca novel Nora. Mengawali komentar, disebutkan bahwa novel Nora terbitan Kompas yang diberi label Bacaan Khusus Dewasa ini memiliki penyajian cerita yang sangat abstrak, sehingga membuat novel tersebut sangat berat. Dikomentari lebih lanjut, “Sulit untuk memahami latar cerita yang tidak sesuai kelaziman umum, seperti gambaran cerita di awal soal perkawinan tak terduga, tidak jelas motif keluarga si gadis, atau motif si pria yang sebenarnya, yang malahan dipersepsikan sebagai kegilaan eksperimental dari masing-masing pihak. Sebagian besar isi cerita berupa pertarungan pikiran baik dalam diri sendiri sang tokoh ataupun perang dengan pikiran tokoh lain. Terkait dengan label Bacaan Khusus Dewasa, boleh dibilang novel ini sebagai abstraksisme seks”. Disimpulkan oleh Emshi adanya kelemahan mendasar yang agak mengganggu, apakah itu kesengajaan Putu Wijaya atau proses edit yang kurang sempurna bahwa setidaknya ada dua bagian script cerita berulang kembali, namun bukan merupakan flashback.


(24)

2. Review of Nora by Endah’s

Blog tersebut

Endah, salah satu pembaca setia karya-karya Putu Wijaya. Pada halaman tersebut disebutkan oleh Endah komentar akan sikap cipta seorang Putu Wijaya terhadap karyanya yang dianggap absurd. Dikatakan bahwa setelah membaca novel tersebut, ditemukan sejumlah ganjalan yang tidak dapat ditemukan pembenarannya. Dikomentari lebih lanjut, “Maksud saya, ketika di dalam Nora saya mendapati hal-hal yang saya tidak sepakat karena kelewat dramatis, saya berusaha melihatnya dengan kacamata yang lain kendati tidak selalu berhasil”. Bagian yang paling mengejutkan, secara gamblang dikatakan bahwa novel Nora tersebut terkesan dilebih-lebihkan pada beberapa bagian meskipun diakui bahwa novel tersebut berpijak pada realisme.

3. Jurnal Asep Setiawan : Putu Wijaya tentang Novel Terbarunya

Blog tersebut (www.asepsetiawan.com/archives/333) memuat berbagai komentar akan alur cerita novel Nora karya Putu Wijaya yang dituliskan pada tanggal 6 Maret 2008. Salah satu komentator novel tersebut adalah Kennedy Nurhan seorang wartawan Kompas. Disebutkan bahwa Putu Wijaya mengungkapkan kenakalan-kenakalan pikirannya untuk menuangkan Nora dalam novel Tetraloginya tersebut. Disimpulkan bahwa novel Nora adalah campuran antara keunikan dan khayalan Putu Wijaya. Lebih lanjut dikatakan oleh Kennedy Nurhan, bahwa novel Nora ini lebih condong dapat dimengerti daripada novel Putu sebelumnya yang banyak bereksperimen.

Penelitian dengan menggunakan Teori Psikologi Sastra telah banyak dilakukan oleh para penikmat sastra sebelumnya, khususnya para mahasiswa sastra yang ingin meraih


(25)

gelar sarjananya. Namun sepanjang pengetahuan penulis, penelitian dengan menggunakan Teori Psikologi Sastra terhadap novel Nora ini belum pernah ada. Penelitian yang menggunakan teori psikologi sastra adalah berupa skripsi mahasiswa, antara lain:

1. Kursi Pemilu Karya S.Sinansari Ecip : Analisis Psikologi

Skripsi ini disusun oleh mahasiswa Fakultas Sastra USU angkatan tahun 1999 bernama Rahmat Efendi Siregar. Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah aspek-aspek atau nilai-nilai psikologis yang terdapat dalam novel Kursi Pemilu karya S.Sinansari Ecip.

Penelitian diawali pada pembahasan aspek intrinsik sastra yang dianggap perlu seperti plot, perwatakan, alur, dan tema, kemudian dilanjutkan pada pembahasan ekstrinsik sastra yang berkaitan dengan berbagai teori psikologis. Penelitian difokuskan pada pembahasan gambaran ambisi pribadi dan kecemasan tokoh utama yang mendukung cerita. Aspek kejiwaan tersebut dibedah dengan meminjam teori kepribadian Carl Gustav Jung. Analisis psikologi sastra yang dilakukan terhadap novel Kursi Pemilu hanya terbatas pada tipe-tipe manusia, ambisi pribadi, dan kecemasan. Dari pengumpulan data dan penjelasan, disimpulkan bahwa ambisi pribadi mengarah pada perlakuan negatif, sedangkan kecemasan sebenarnya sesuatu yang dapat diarahkan jika kondisi kepribadian seseorang dapat menghadapi impul-impuls yang aktif menurut kehendaknya masing-masing. Disimpulkan secara subjektif oleh peneliti bahwa tokoh-tokoh yang dihadirkan kurang dapat disejajarkan dengan teori-teori kepribadian Jung dan Freud.

2. Kepribadian dan Trauma Tokoh dalam Novel Simfoni Bulan Karya Feby Indriani : Analisis Psikosastra

Skripsi ini disusun oleh mahasiswi Fakultas Sastra USU angkatan tahun 2005 bernama Juli Artaty Hutabarat. Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah bagaimana


(26)

kondisi kepribadian tokoh-tokoh serta bagaimana dampak trauma terhadap tokoh anak dalam novel Simfoni Bulan.

3. Novelet Rembulan Perak Karya Lila Fitri Ali : Konflik Kejiwaan Wanita Karir

Skripsi ini disusun oleh mahasiswi Fakultas Sastra USU angkatan tahun 1999 bernama Sri Wahyuni. Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah bagaimana konflik kejiwaan tokoh utama dalam novelet Rembulan Perak. Masalah dibatasi hanya pada konflik batin yaitu cemburu, kecemasan, dan rasa sesak yang sangat mempengaruhi kejiwaan tokoh utama novelet Rembulan Perak.

Penelitian terhadap konflik kejiwaan tokoh utama dilakukan dengan meminjam teori kecemasan Freud yang membagi kecemasan menjadi tiga macam yaitu, kecemasan tentang kenyataan atau kecemasan objektif, kecemasan neurotis, dan kecemasan moril. Pembahasan terhadap novelet Rembulan Perak diakhiri dengan ditariknya kesimpulan bahwa kecemburuan yang dirasakan tokoh utama didasarkan pada rasa kebutuhannya akan kasih sayang dan kebahagiaan yang tidak dimilikinya, sementara teman-temannya memiliki semua itu. Kecemasan tersebut disebabkan oleh pengalaman masa lalu yang pahit sehingga tokoh utama merasa tidak percaya diri. Disimpulkan lebih lanjut bahwa rasa sesak dalam novelet tersebut diakibatkan oleh pengaruh pekerjaan, kota besar yang padat, dan beban pikiran yang menekan batin.

Berdasarkan tinjauan tersebut maka diputuskan untuk membedah dan menemukan akar permasalahan novel Nora dengan menggunakan Teori Psikologi Sastra sebagai pisau bedahnya.


(27)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Teknik Pengumpulan Data

Setiap karya ilmiah sudah tentu memerlukan data-data yang dapat dipercaya untuk membantu pembahasan dan pengambilan suatu keputusan. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan yang akan menggunakan data primer dan sekunder. Data primer diambil dari novel Nora itu sendiri, sedangkan data sekunder diambil dari buku-buku yang mencakup tentang sastra dan psikologi. Dengan demikian, dapat diambil pemahaman dari sumber-sumber data tersebut. Data dikumpulkan dari novel Nora dengan menggunakan metode pembacaan heuristik dan hermeneutik melalui teknik catat pada kartu data yang telah disediakan sebelumnya. Pradopo (2003:135) menjelaskan:

Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberikan konvensi sastranya.

Berdasarkan pendapat Pradopo tersebut, dapat disimpulkan bahwa hermeneutik adalah suatu teknik untuk memberikan tafsiran atau penilaian terhadap suatu objek yang dalam hal ini adalah karya sastra. Hal ini mengharuskan seorang penafsir memiliki keahlian untuk melakukan penafsiran. Maka dalam hal ini, penafsir memiliki peran penting.

Teknik catat pada kartu data dibedakan berdasarkan masalah yang akan dibahas. Kartu data tersebut digunakan untuk mencatat bentuk gangguan kejiwaan tersebut serta latar belakang atau faktor-faktor penyebab timbulnya gangguan kejiwaan tersebut.


(28)

Masing-masing bagian dikelompokkan atas kartu data yang berbeda warna yaitu, kartu biru untuk gangguan kejiwaan tokoh utama, kartu kuning untuk ciri-ciri gangguan kejiwaan tersebut, dan kartu merah untuk faktor-faktor penyebab gangguan kejiwaan tersebut.

3.1.1Bahan Analisis

Adapun yang menjadi sumber data primer adalah dari novel Nora tersebut, yaitu:

Judul : Nora

Karya : Putu Wijaya

Penerbit : PT Kompas Media Nusantara Tebal Buku : 304 halaman

Ukuran Buku : 14cm x 21 cm

Cetakan : Pertama

Tahun Terbit : 2007

Jenis : Novel

Warna Sampul : Perpaduan warna putih, hitam, merah, kuning, dan biru

Gambar Sampul : Gambar seorang wanita berrambut hitam panjang dalam dua dimensi warna serta seekor kupu-kupu.

Desain Sampul : Umbu LP Tanggela

Sedangkan yang menjadi sumber data sekunder, penulis akan membaca buku-buku yang berhubungan dengan sastra dan psikologi.


(29)

3.1.2 Sinopsis Novel Nora

Novel ini berkisah tentang seorang wanita bernama Nora yang terbelenggu oleh perlakuan kasar keluarganya yang akhirnya menikah dengan seorang pria sukses bernama Mala atas dasar kesalahpahaman antara Mala dan keluarga Nora. Tuduhan bahwa Nora telah dinodai oleh Mala membuat pernikahan sederhana berlangsung yang tak lain hanyalah merupakan sebuah keterpaksaan bagi Mala yang dianggap sebagai orang yang paling bertanggungjawab atas kehamilan Nora. Kisah mereka yang unik dan jarang ditemui dalam rumah tangga pasangan-pasangan pada umumnya membuat novel ini menarik dan memiliki komposisi yang berbeda dengan novel-novel lainnya.

Tuduhan itu berawal dari sebuah kejadian kecil yang terjadi di belakang rumah Nora. Saat itu Nora yang sedang mencuci piring tidak sengaja memergoki Mala sedang buang air kecil. Sebelum sempat mendehem, Mala sudah melaksanakan hajat kecilnya dan Nora terpaksa melihatnya. Pemandangan yang baru pertama kali dilihat oleh Nora itu membuatnya shock berat karena hal itu membuatnya merasa sangat malu dan merasa bersalah. Ia menangis dan merasa seperti baru saja diperkosa dan kehilangan harga dirinya.

Setelah kejadian itu, Nora demam hingga berminggu-minggu. Seluruh tubuhnya kejang-kejang seperti disengat oleh aliran listrik. Ia juga mengigau. Tetapi igauannya tidak memberikan informasi yang jelas. Dia hanya menyebutkan “Hitam, hitam, hitam...besar, hitam, dan panjang. Takut, takut, takut...” Baru waktu igauannya menyebut nama Mala, semua orang baru mendapat pencerahan. Mereka cepat menafsirkan bahwa tetangga mereka Kemala, diam-diam menaruh cinta pada Nora. Mereka beranggapan bahwa Mala telah memelet Nora. Namun hal itu tidak membuat orang tua Nora marah. Justru sebaliknya, setelah kejadian itu orang tua Nora langsung bergegas ke rumah Mala


(30)

menyampaikan lamaran untuk putri mereka. Orang tua Nora mengatakan agar Mala tidak perlu malu-malu lagi untuk terang-terangan meminang Nora bila kenyataannya Nora telah berbadan dua. Mereka berusaha menenangkan sekaligus menghasut Mala dengan asumsi yang tidak jelas kebenarannya. Hal itu membuat Mala bingung dan ternganga. Ia tidak mengerti apa yang sedang disampaikan oleh orang tua Nora tersebut. Namun akhirnya dengan hasutan dan dapat dikatakan paksaan, Mala menikah dengan Nora.

Namun pernikahan Nora dan Mala tersebut akhirnya menjadi sebuah bencana bagi Mala. Rumah tangga mereka dipenuhi oleh masalah-masalah yang tak ada habisnya dan nyaris tidak dapat diterima oleh akal sehat. Semua serba rumit dan sulit dipercaya. Nora yang telah berusia 22 tahun bertingkah laku bagai anak kecil yang suka menangis, merepotkan, dan kurang dapat menempatkan diri dalam setiap suasana atau keadaan. Profil Nora sebagai gadis yang bisa dikatakan cacat mental ini memberikan warna tersendiri bagi Mala yang akhirnya membuat Mala jatuh cinta pada Nora. Namun ketika rasa cinta itu mulai tumbuh di hati Mala, Nora malah meninggalkannya dengan alasan yang tak jelas dan tidak masuk akal. Hingga akhirnya mereka berpisah karena Nora dipaksa menikah lagi dengan anak pamannya. Namun setelah kepergiannya itu, Nora kembali lagi kepada Mala dan bertingkah laku semakin aneh lagi yang membuat Mala bingung dan tidak paham dengan jalan pikiran istrinya itu. Akhirnya sebelum mereka benar-benar kembali menjadi sepasang suami istri yang utuh, Mala masuk penjara karena tersangkut masalah ‘makar’ yang tidak jelas kebenarannya.


(31)

3.2 Teknik Analisis Data

Setelah semua data terkumpul, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif, yaitu menguraikan hasil penelitian secara sistematis. Metode tersebut dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian dilanjutkan dengan penganalisisan berdasarkan data yang telah dituliskan dalam kartu data. Langkah-langkah penganalisisan data dimulai dari kartu biru yaitu bentuk gangguan kejiwaan tokoh utama. Kemudian menganalisis kartu kuning yaitu ciri-ciri gangguan kejiwaan tersebut, dan begitu seterusnya terhadap kartu merah yang berisi faktor-faktor penyebab gangguan kejiwaan tokoh utama tersebut. Setelah semua langkah itu dilakukan maka ditariklah kesimpulan.


(32)

BAB IV

BENTUK GANGGUAN JIWA SCHIZOPHRENIA HEBEPRENIK

TOKOH UTAMA PROTAGONIS NOVEL NORA KARYA PUTU

WIJAYA

4.1 Analisis Intrinsik Novel Nora Karya Putu Wijaya 4.1.1 Alur

Pada prinsipnya, seperti juga bentuk-bentuk sastra lainnya, suatu fiksi haruslah bergerak dari suatu permulaan melalui suatu pertengahan menuju suatu akhir untuk menyampaikan suatu cerita yang lazim disebut sebagai plot atau alur. Menurut Keraf (2004:147), “Alur atau plot didefenisikan sebagai sebuah interrelasi fungsional antara unsur-unsur narasi yang timbul dari tindak-tanduk, karakter, suasana hati (pikiran) dan sudut pandangan, serta ditandai oleh klimaks-klimaks dalam rangkaian tindak tanduk itu, yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan narasi”. Artinya, alur merupakan rangkaian pola tindak-tanduk yang berusaha memecahkan konflik yang terdapat dalam narasi tersebut dan memulihkan situasi narasi ke dalam suatu situasi yang seimbang dan harmonis. Alur dapat dikatakan sebagai unsur penting karena merupakan kerangka dasar suatu kisah atau cerita. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana suatu insiden mempunyai hubungan dengan insiden yang lain, bagaimana tokoh-tokoh harus digambarkan dan berperan dalam tindakan-tindakan itu, dan bagaimana situasi dan perasaan karakter yang terlibat dalam tindakan-tindakan itu yang terikat dalam suatu kesatuan waktu.


(33)

Dalam karya sastra yang bersifat konvensional (terutama genre prosa), akan ditemukan berbagai rentetan peristiwa yang disajikan dalam urutan tertentu. Peristiwa yang diurutkan tersebut membangun tulang punggung cerita yang dinamakan dengan alur. Sudjiman (1988:33) mengemukakan,

“Apabila urutan peristiwa itu disusun secara kronologis, yakni dari awal sampai akhir, maka alur itu disebut alur linear. Jika kronologis peristiwa-peristiwa yang disajikan dalam karya sastra disela dengan peristiwa yang terjadi sebelumnya, maka alurnya disebut alur alih balik atau sorot balik. Apabila peristiwa yang berurutan diselang-seling dengan sorot balik, maka terjadilah alur campuran”.

Untuk memahami alur suatu cerita, diperlukan kepekaan pikiran dan perasaan, daya kritis, serta keseriusan hati pembaca. Pemahaman tersebut untuk mempertimbangkan atau menilai struktur alur sebuah karya sastra, misalnya berhubungan dengan masalah-masalah kompleksitas, kebaruan, kewajaran, atau konsistensi sesuai dengan logika cerita apakah setiap peristiwa yang ada mempunyai fungsi dan kaitan satu dengan yang lain secara logis.

Tarigan (1984:128) mengemukakan dengan tegas bahwa pembagian alur suatu cerita rekaan terperinci dalam lima bagian :

1. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan)

2. Generating circumstances (peristiwa yang bersangkutpaut mulai bergerak) 3. Rising action (keadaan mulai memuncak)

4. Climax (peristiwa-peristiwa mencapai klimaks)

5. Denouement (pengarang mulai memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa) Dengan demikian, setelah membaca dan memahami novel Nora, maka terlihatlah teknik penyajian alur yang dipergunakan oleh Putu Wijaya, yaitu penyampaian cerita dari awal sampai akhir yang disebut dengan alur linear atau alur konvensional. Secara garis


(34)

besar, urutan alur yang terdapat dalam novel Nora karya Putu Wijaya ini adalah sebagai berikut:

1. Situation

Pengarang mengajak pembaca untuk mengetahui situasi yang menjadi akar permasalahan dalam cerita yakni, saat Nora dengan tidak sengaja memergoki Mala sedang buang air kecil di belakang rumah. Peristiwa tersebut akhirnya menyebabkan Nora demam tinggi dan disertai oleh igauan-igauan yang tidak jelas artinya.

“Hitam, hitam, hitam...” (hlm 4) “Takut, takut, takut...” (hlm 4)

Seluruh keluarga dan tetangga dibuat panik dan cemas, namun tidak ada yang dapat menafsirkan makna kata-kata yang digumamkan oleh Nora. Namun setelah Nora menyebut nama Mala, barulah orang-orang mendapat pencerahan. Keluarga Nora menafsirkan bahwa tetangga mereka Kemala diam-diam menaruh cinta dan memelet Nora. Akhirnya nenek Nora angkat bicara atas keadaan tersebut.

“Kalau dia ngelamar, kita juga tidak akan menolak, asal Noranya sendiri mau. Lagian Nora belum ada yang punya, apa salahnya ia jadi istri Pak Mala. Kan hubungan tetangga akan semakin baik. Kita tambah saudara?” (hlm 4)

Keluarga Nora semakin yakin dengan dugaan tersebut dan menginginkan Mala bertanggung jawab secepatnya. Dalam hati, mereka senang akan hal tersebut karena jika Nora menikah dengan Mala, maka hidup mereka akan diangkat ke taraf yang lebih tinggi sehingga mereka tidak sabar menjadikan pria sekaya dan semapan Mala menjadi menantu mereka. Situasi semakin tidak terkendali saat orangtua Nora mempersiapkan pernikahan Nora dan Mala tanpa persetujuan dari Mala.

“...Begini. Kami sudah urus semuanya, untuk mengurusi urusan Pak Mala nanti sebab segala urusan surat-surat yang mesti melalui RT, RW, kelurahan, dan sebagainya itu,


(35)

memang membutuhkan waktu. Tapi, syukurlah semuanya sudah selesai sekarang. Ini berkat bantuan Pak RT dan ini adiknya Nora yang mondar-mandir sampai mangkir sekolah satu minggu kemarin. Tak apa. Namanya hidup mesti ada tolong-menolong dan pengorbanan. Jadi, begitu, Pak Mala, harinya sudah tetap sekarang. Bulan depan tanggal 9 begitu. Pak Mala tidak ada rencana apa-apa, atau apa mau ke Amerika lagi, tanggal sembilan ini bisa?!...” (hlm 17)

Mala sendiri tidak mengerti dengan pembicaraan dan maksud kedatangan orangtua Nora ke rumah Mala. Mala merasa rentetan kata-kata tersebut seperti sebuah rimba berantakan yang tidak perlu didengarkan. Mala terhenyak saat mendengar orangtua Nora menyebutkan pernikahan.

“Maaf, apa?” (hlm 17)

Orangtua Nora semakin mempertegas maksud kedatangan mereka dan berusaha mencari simpati hati Mala dengan berbohong mengatakan bahwa Nora telah hamil satu bulan dengan harapan Mala dengan secepatnya menikahi Nora.

“Tapi, tak usah bilang-bilang sama orang lain bahwa Nora sudah satu bulan sekarang. Buat apa. Mereka tak usah tahu, nanti jadi gosip saja. Nak Mala kalau mau ke rumah ya datang saja, jangan malu-malu lagi. Sekarang sudah boleh terang-terangan. Namanya sudah sah.” (hlm 18)

Mala tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi. Pembicaraan antara Mala dan orangtua Nora membuat Mala terdian dan bersikap menurut saja. Mala merasa bahwa dirinya telah ditipu dan dipelet.

“Aku sudah dipelet!” (hlm 30)

Kesalahpahaman tampak mewarnai jalan cerita dalam novel ini dan menyebabkan akar permasalahan yang berbuntut panjang. Keduabelah pihak menganggap bahwa mereka dipelet. Kesalahpahaman inilah yang menjadi inti permasalahan dan menjadi titik awal cerita.


(36)

2. Generating circumstances

Akhirnya mimpi buruk itu benar-benar dialami oleh Mala. Pernikahan Nora dan Mala akhirnya dilangsungkan. Mala menikahi Nora artinya, bahwa Mala akan menanggung beban biaya hidup seluruh keluarga Nora bahkan sampai pada saudara-saudaranya. Rombongan keluarga Nora berdatangan secara bergelombang dari pelosok-pelosok dengan berbagai alasan untuk ikut merayakan pernikahan Nora. Keluarga Nora tinggal berbulan-bulan tanpa ada kejelasan kapan akan kembali ke asalnya dan membebankan segala biaya hidup sampai pada urusan-urusan kecil rumah tangga kepada Mala.

“Dari rekening listrik sampai bedak untuk ketiak, jadi urusan gue. Anehnya, dengan segala jasa-jasaku itu, aku tak menjadi dewa. Aku tetap saja berstatus orang asing. Konon dihormati, sehingga tidak pernah diajak omong-omong alias dihindari. Bayangkan semuanya gembira kalau gue sudah pergi, apalagi tak pulang.” (hlm 34) Sebagaimana kelanjutan cerita novel ini, pernikahan membuat Mala menjadi begitu bodoh. Mala menyerahkan segala yang dimiliki kepada seluruh keluarga yang ikut tinggal bersama Nora dan Mala. Namun meskipun seluruh keluarga Nora harus dibiayai oleh Mala, Mala merasa bahwa hidup yang dijalani lebih teratur dan memiliki tujuan. Mala merasa jumlah gaji yang biasa diterima mampu membiayai seluruh keluarga yang tinggal di rumah Mala, sama sekali tidak goyah, bahkan tampak lebih perkasa. Semenjak menikah dengan Nora, tumbuh rasa tanggung jawab pada diri Mala. Mala merasa memetik hal positif dari pernikahan yang telah dijalani.

“Sebelum menikah, gua bahkan selalu merasa kehabisan uang lewat tanggal 20-an. Memasuki bulan baru, tidak berarti mengubah nasib, karena hampir separuh gaji sudah ditelan oleh utang. Kini, gua malah bisa menabung dan beli barang. Pernikahan ternyata mendatangkan rezeki, membuat orang menjadi efisien dan lebih produktif. Pernikahan memang menjadi tindakan budaya dan relijius serta komersial. Sebagai manusia yang mengejar karier, gua juga samasekali tidak kehilangan kebebasan. Mertuaku menghormati pekerjaanku. Mereka tidak keberatan gua pulang larut malam, atau menginap sampai 2 hari di kantor. Asal saja setiap bulan tetap menjadi tiang


(37)

hidup sekitar 15 kepala, royal dan tidak membawa perempuan lain ke rumah. Secara implisit aku boleh main di luar dengan siapa saja. Modern sekali kan?” (hlm 33) Tampak masalah yang dimunculkan mulai bergerak pada bagian ini. Masalah yang terjadi mulai menimbulkan konflik batin dan pertentangan dalam diri tokoh Mala.

3. Rising action

Dalam novel ini tampak juga keadaan yang mulai memuncak pada saat Mala mengetahui rencana keluarga Nora untuk menikahkan Nora lagi dengan anak dari salah satu saudara laki-laki ayah Nora. Pernikahan tersebut direncanakan oleh seluruh keluarga Nora di rumah Mala dan Nora dan tanpa sepengetahuan Mala.

“....Nah, karena itu aku dapat pikiran, mengapa tidak kita satukan saja? Caranya juga sangat mudah. Ini sekarang aku bawa si Ron, dia sekarang sudah mulai jadi pengusaha di situ. Masih baru belajar, tapi tangannya dingin. Dalam waktu dua tahun saja, ia sudah diperhitungkan oleh gubernur untuk proyek besar yang tahun datang akan dimulai. Nah, di sini aku lihat, si Nora anakmu sudah pantas untuk bersuami. Ini singkatnya saja, karena kita sama-sama saudara, tidak perlu basa-basi, ceritanya aku datang kemari untuk melamar si Nora untuk dinikahkan dengan si Ron. Ron setuju sekali dan aku amati selama di sini si Nora juga seneng sama Ron. Bukan begitu Nora?” (hlm 39-40)

Mengetahui hal tersebut, Mala merasa berang dan terhina. Mala merasa tidak dianggap sama sekali dalam keluarga Nora. Mala tidak setuju jika Nora dinikahkan kembali dengan orang lain. Mala merasa bahwa Nora adalah milik Mala.

“Tapi, saya tidak bisa membiarkan istri saya dilamar orang. Apa dia tidak tahu saya dan Nora sudah kawin?” (hlm 40)

“Silahkan apa? Saya tidak akan membiarkan istri saya dilamar!” (hlm 41)

Perdebatan yang terjadi antara Mala dan keluarga Nora menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan berbuntut panjang. Jalan cerita yang semakin rumit ditampilkan dalam novel ini.


(38)

4. Climax

Setelah membaca novel Nora dengan seksama maka dapat disimpulkan bahwa puncak cerita novel ini adalah rentetan kejadian. Rentetan kejadian yang menjadi puncak cerita tersebut dibagi atas dua bagian yaitu konflik yang terjadi dalam rumah tangga Nora dan Mala serta masalah yang dialami oleh Mala dalam dunia kerja yang berbuntut pada kasus penggelapan dana dan kasus pembunuhan yang dituduhkan terhadap Mala. Semua masalah dimunculkan oleh pengarang secara beruntun sehingga menimbulkan klimaks dalam cerita novel ini. Puncak cerita yang terjadi dalam rumah tangga Nora dan Mala berujung pada perpisahan yang tidak jelas. Nora pergi meninggalkan Mala atas dorongan dari orangtua yang menginginkan Nora menikah kembali. Dapat dilihat pada penggalan percakapan antara Nora dan Mala di bawah ini:

“Tapi, kamu mau pergi, kamu mestinya bilang dari dulu.” “Habis baru sempat sekarang.”

“Kapan pulang?”

“Saya tidak akan pulang lagi.”

“Kamu harus kembali kemari karena saya masih di sini. Atau kamu mau dijemput?” “Ya lihat-lihat saja nanti.”

“Dengan siapa pergi?” “Dengan bapak dan ibu.” “Ke mana?”

“Nggak tahu.” “Ngapain?”

“Kawin.” (hlm 60-61)

Dari penggalan percakapan antara Nora dan Mala di atas, tampak adanya perpisahan yang menjadi puncak masalah dalam rumah tangga Nora dan Mala. Sedangkan puncak cerita yang terjadi di luar rumah tangga Nora dan Mala yang meliputi kasus penggelapan


(39)

dana dan kasus pembunuhan yang dituduhkan terhadap Mala terlihat dari beberapa kutipan di bawah ini:

“Buktinya terlalu lengkap. Seorang pembunuh tidak akan meninggalkan barang bukti yang selengkap itu. aku tidak percaya.”

“Tapi, katanya juga ada tanda terima pengiriman uang dari Bank sebesar 400 miliar.” (hlm 222)

“Mana mungkin sih Mala yang banci itu tega memotong kemaluan bintang film yang paling panas itu sampai beberapa potong. Baru dibuka saja dia sudah orgasme. Itu kan fitnah si Adam!” (hlm 272)

Segala dugaan simpang siur dan belum jelas kebenarannya. Mala merupakan satu-satunya orang yang dinilai paling bertanggungjawab atas hilangnya dana 400M serta mayat Midori yang ditemukan di kamar hotel. Berbagai pertanyaan yang mengarah pada tuduhan dilontarkan terhadap Mala.

“Apakah Bapak terlibat atau tidak?” “Kamu gila! Aku terlibat apa?” “Itu dia yang mau saya ketahui, Pak.”

“Jadi, yang ada di kepalamu sekarang, aku terlibat?” “Ya, Pak.”

“Apa?!”

“Menurut Pak Adam, tapi....” “Terlibat apa?!!!”

“Saya tidak tahu.”

“Terlibat pembunuhan Dori?” (hlm 224)

Dari beberapa penggalan percakapan di atas, tampak masalah semakin meruncing dan sampai pada puncaknya. Mala akhirnya dituduh sebagai pelaku tindak kriminal terhadap dana 400M dan kematian seorang bintang panas.


(40)

5. Denouement

Dalam novel Nora, Putu Wijaya sebagai pengarang tidak memberikan pemecahan secara tuntas dan jelas terhadap masalah yang ditampilkan, bahkan terkesan menggantung dan tidak memiliki pemecahan samasekali. Sebagaimana jalinan cerita yang ditata oleh pengarang, mulai dari situation hingga denouement, pemecahan masalah yang dipilih oleh Putu Wijaya hanyalah sebuah pernyataan atau kebenaran bahwa Mala benar adanya merupakan pelaku tindak kriminal atas kematian tokoh Midori seorang bintang panas. Kebenaran akan kasus tersebut disampaikan oleh Putu Wijaya pada akhir cerita yang dalam cerita novel tersebut, dimuat dalam pemberitaan koran.

“M tersangka pembunuhan Midori, telah memberikan pengakuan bahwa dia yang sudah melakukan pembunuhan keji itu karena cintanya ditolak.” (hlm 301)

Kutipan di atas mengakhiri cerita sebuah novel yang berjudul Nora yang disuguhkan oleh Putu Wijaya. Dalam hal ini Putu Wijaya membiarkan pembaca untuk membentuk opini sebebas-bebasnya terhadap penyelesaian cerita. Ending cerita diserahkan kepada pembaca.

4.1.2Penokohan

Peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu diemban oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Tokoh dan penokohan memiliki makna yang berbeda. “Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu menjalin suatu cerita. Sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku itu disebut penokohan” (Aminuddin, 2000:79).

Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Dipaparkan oleh Aminuddin (2000:79-80) lebih lanjut, “Seorang tokoh yang memiliki


(41)

peranan penting dalam suatu cerita disebut dengan tokoh inti atau tokoh utama. Sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena pemunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu”. Artinya, tokoh utama dan tokoh tambahan dibedakan atas intensitas kemunculannya pada bagian-bagian cerita.

Jalan cerita suatu karya sastra khususnya novel disampaikan kepada pembaca lewat peranan penting tokoh khususnya tokoh utama. Pengarang memiliki kebiasaan yang lazim dalam memperkenalkan tokoh utama cerita. Tokoh utama umumnya merupakan tokoh yang sering diberi komentar, dan dibicarakan oleh pengarangnya, serta intensitas kemunculannya lebih banyak dibandingkan tokoh lainnya.

Tokoh dalam cerita seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari di sekitar kita, selalu memiliki watak-watak tertentu. Sehubungan dengan watak tersebut, maka dikenal adanya tokoh protagonis dan tokoh antagonis. “Tokoh protagonis adalah pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca, dan tokoh antagonis adalah pelaku yang tidak disenangi pembaca karena memiliki watak yang tidak sesuai dengan apa yang diidamkan oleh pembaca” (Aminuddin, 2000:80).

Selain terdapat tokoh utama, tokoh tambahan, tokoh protagonis dan tokoh antagonis, juga terdapat tokoh dinamis dan tokoh statis dalam karya sastra khususnya novel. “Tokoh dinamis adalah pelaku yang memiliki perubahan dan perkembangan batin dalam keseluruhan penampilannya. Sedangkan tokoh statis adalah pelaku yang tidak menunjukkan adanya perubahan atau perkembangan sejak pelaku itu muncul sampai cerita akhir” (Aminuddin, 2000:82).


(42)

Setiap tokoh yang digambarkan dalam suatu cerita mempunyai ciri-ciri lahir, sifat, serta sikap batin sehingga wataknya dapat diketahui pembaca. Pengarang melalui cerita dapat memaparkan secara langsung watak tokohnya, yakni mengisahkan sifat-sifat tokoh, hasrat, ciri-ciri fisik, perasaan, dan pikirannya. Tetapi sebagian pengarang lebih suka memaparkan watak tokoh secara implisit, baik dari pikiran, cakapan, maupun lakuan tokoh. Dengan kata lain, pembacalah yang menafsirkan watak tokoh tersebut.

Dalam novel Nora terdapat beberapa tokoh yang mendukung kelangsungan jalan cerita. Tetapi dalam pembahasan mengenai perwatakan ini, hanya tokoh-tokoh yang memegang peranan penting saja yang akan dianalisis.

1. Nora

Nora sebagai tokoh protagonis memiliki sifat polos, ketus, penurut, dungu, tidak mempunyai pendirian, serta bersifat kekanak-kanakan. Tokoh Nora penuh dengan kejutan, tidak tertebak, segala pemikiran dan perbuatannya tidak masuk akal dan tampak seperti sebuah pemberontakan yang ngawur. Tokoh Nora menjadi pusat perhatian seluruh tokoh yang berperan dalam cerita. Watak mengenai tokoh Nora dapat diperjelas dengan kutipan berikut ini,

“Pak Mala tidak suka Nora kawin dengan Ron?” (hlm 64)

“Nora tadi masak sebelum datang kemari. Sayur lodeh kesukaan Pak Mala. Nora tidak bisa masak lagi untuk Pak Mala. Biar inget sama Nora.”(hlm 66)

“Habis, Bapak ngomong jorok begitu. Masak Nora dituduh berzinah sama orang. Nora istrinya siapa coba!” (hlm 68)

“Bener kok. Dia tidak bisa mengongkosi Nora. Jadi, Nora lari saja. Tapi, dia sendiri yang nyuruh. Dia juga mau kawin dengan orang lain. anak orang kaya. Padahal, orangnya tidak cantik. Janda lagi.” (hlm 108)


(43)

Nora sebagai anak yang memiliki keterbelakangan mental sering sekali dilecehkan dan tidak dianggap. Pada masa kecil, Nora selalu diejek, bahkan tak jarang disiksa. Tak ada yang memperhitungkan. Nora dianggap orang sakit, manusia yang belum jadi atau benda cacat. Nora hanya seorang penumpang gelap dalam keluarga. Segala kemauan Nora tidak penting. Tidak ada yang peduli dengan perasaan Nora. Nora akhirnya merasa terlahir kembali setelah menikah dengan Mala. Berkat Mala, Nora mulai memiliki hak.

Watak yang dimiliki oleh tokoh Nora seakan jauh dari tingkat kenormalan yang dimiliki oleh gadis berusia 22 tahun pada umumnya. Emosionalitas dungu yang dimiliki oleh Nora menyebabkan pola tingkah laku yang kurang wajar, seperti cemburu yang berlebihan, kemarahan yang berlebihan, serta berbagai tindakan yang tidak tepat penyampaiannya dalam setiap situasi. Terlihat pada penggalan percakapan berikut,

“Ada apa Nora, kenapa menangis?” “Habis Bapak punya pacar!”

“Siapa bilang?” “Itu apa?” “Itu kan Dori!” “Pacar Bapak kan!”

“Bukan. Itu kan bintang film. Kamu juga suka nonton dia di televisi. Dia yang memberikan kamu hadiah sepatu merah itu kan!”

“Nora benci sama dia!” “Kenapa? Dia kan baik!”

“Ih! Merebut suami orang kok baik! Nora mau pulang sekarang!”(hlm 113) 2. Mala

Mala dapat digolongkan sebagai tokoh pendamping. Mala adalah tokoh yang mendampingi tokoh utama Nora. Kemunculan tokoh Mala selalu mendukung eksistensi tokoh Nora baik dari aspek fisik, psikis, maupun sosial. Watak Mala yang jenius, bertanggungjawab, pekerja keras, setia, penyayang, sabar, liberalis, dan menjunjung tinggi


(44)

kebebasan hidup turut berperan penting dalam cerita. Beberapa kutipan di bawah ini menggambarkan watak tokoh Mala seperti yang sudah disebutkan di atas,

“Nora, kamu tahu, kamu tahu kan, aku sayang sama kamu?” (hlm 69)

“....Aku tidak akan pernah menyakiti kamu, sumpah. Aku akan terus berusaha untuk melindungi kamu. Aku bukan laki-laki macho, bukan laki-laki egois, aku mengerti woman’s lib, aku menyokong emansipasi dan gerakan-gerakan wanita....Aku bukan musuh kamu, Nora. Aku teman kamu. Teman hidup kamu! Aku kongsi kamu. Gang, komplotan kamu. Aku yakin kamu sebenarnya juga mencintaiku, hanya kamu tidak tahu bagaimana mengatakannya....” (hlm 70-71)

“Adukan saja perkara ini kepada polisi. Kalau pengadilan menetapkan saya salah, jangankan sepuluh juta, semua anak-anak ibu akan saya tanggung hidupnya!” (hlm 153)

Mala sebagai tokoh utama kedua turut memiliki peranan yang sangat penting dalam berjalannya cerita. Karakter Mala begitu kompleks karena dibebani begitu banyak masalah, baik masalah seputar rumah tangga dengan Nora, maupun berbagai masalah seputar pekerjaan dan politik. Tokoh Mala hadir dalam setiap peristiwa dan menjadi sorotan utama terhadap munculnya masalah atau konflik dalam cerita.

3. Adam

Adam dalam novel Nora digolongkan sebagai tokoh dinamis. Tokoh Adam pada dasarnya merupakan tokoh introvert yang memiliki sifat religius, spiritual, bijak, ceria, lihai, suka berkelakar, mencintai kebersihan dan suka menolong. Tokoh Adam kemudian mengalami perubahan watak karena adanya rangsangan atau faktor yang mempengaruhi watak dasar tokoh Adam berupa godaan untuk merebut dan memiliki dana konspirasi politik senilai 400M. Faktor tersebut memberikan perubahan dari watak introvert menjadi ekstrovert yakni tokoh Adam menjadi bersifat keras, ambisius, misterius, kejam, dan kasar.


(45)

Dalam hal ini tokoh Adam mengalami perkembangan sehingga digolongkan menjadi tokoh dinamis. Watak Adam dapat dibuktikan dari beberapa kutipan di bawah ini,

“Kau kan pernah bilang, perkawinanmu itu eksperimen. Seorang ekspert harus berani menanggung akibat-akibat eksperimennya, bukan hanya menyuruh orang lain menonton ia menontonkan eksperimentasinya. Kau mesti nikmati yang tidak nikmat, jangan mau enaknya saja. Ini bukan sinisme, tapi benar-benar semacam dukungan, untuk menyelesaikan prosesmu supaya jelas hasilnya, jangan putus di tengah sebelum berakibat apa-apa, hanya karena kamu belum siap. Itu namanya tidak dewasa, tak bertanggung jawab. Tancap saja terus, nanti kan ada penyelesaian.” (hlm 52-53)

Namun pada akhirnya, Adam menjadi musuh dalam selimut bagi sahabat-sahabatnya Midori dan Mala. Ternyata uang dapat menjadikan Adam serakah dan lupa diri. Adam menginginkan uang 400M yang menjadi masalah besar dalam suatu konspirasi politik yang terjadi. Dapat dilihat dari kutipan di bawah ini,

“Anjing! Lhu jangan belagak pilon. Gua karungin elhu baru tahu rasa? Mana?!” (hlm 175)

“Sekarang juga gua bisa matiin elhu. Elhu bawa ke mana duit itu, bangsat!” (hlm 175) “Gua cincang elhu! Udah lama gua kagak minum darah orang. Elhu jangan sembarangan sama gua, lonte!” (hlm 175)

4. Midori

Midori digolongkan sebagai tokoh tambahan atau tokoh pembantu. Midori berperan sebagai bintang film panas sekaligus perempuan panggilan dalam cerita novel tersebut. Midori berwatak cerdas, ambisius, spontan, berjiwa bebas, tidak suka basa-basi, suka berpetualang, suka memanfaatkan orang lain, dan serakah. Tokoh Midori menjadi sumber permasalahan dalam suatu konspirasi politik yang disuguhkan oleh pengarang. Lebih jelas, watak tokoh Midori dapat dilihat dari beberapa kutipan berikut,


(46)

“Bagus! Kalau udah enak elu nikmati aja, kenapa mesti diomongin seperti orang frustrasi? Kalau nyesel, elu tanggung sendiri sakitnya, kan elu udah dapat perawannya. Kalau kurang kenyang cari yang lain. Masih kurang dan mau bebas elu ceraikan dia cepat-cepat, atau kabur saja. Udah ah, elu ngabis-ngabisin waktu gua aja!” (hlm 34)

5. Pak Amin

Pak Amin digolongkan sebagai tokoh tambahan atau tokoh pembantu karena pemunculan tokoh Pak Amin hanya melengkapi, melayani, mendukung tokoh utama. Pak Amin memiliki watak penurut, setia pada majikan, suka menolong, berani, tegas tetapi juga lembut khususnya pada wanita. Pak Amin sangat menghargai wanita. Karakter Pak Amin dapat dilihat dari beberapa kutipan di bawah ini,

“Jangan diganggu dulu, Pak. Biar saya yang merawatnya. Ibu tadi minta dibelikan mi tektek.” (hlm 145)

“Betul Pak. Coba deh lihat, orang ngidam itu kelakuannya memang aneh-aneh kok. Istri saya dulu waktu ngidam malah mau bunuh saya!” (hlm 112)

6. Bapak Nora

Bapak Nora digolongkan pada tokoh tambahan atau tokoh pembantu karena pemunculan tokoh bapak Nora hanya di awal cerita untuk melengkapi, melayani, dan mendukung tokoh utama. Bapak Nora memiliki watak primitif, keras kepala, penipu, bebal, matrealistis, bermental budak, suka memaksakan kehendak, suka memeras, suka memanfaatkan orang lain, tidak memiliki perhitungan, dan tidak memiliki rasa malu. Watak bapak Nora dapat dilihat dari beberapa kutipan berikut,

“Mengapatiba-tiba sekarang kamu menjadi aneh, Nora? Dari kecil kamu memang aneh. Tapi, sekarang lebih aneh lagi. Kami semua tidak bisa mengerti lagi ada apa kamu sekarang? Tahu?” (hlm 7)


(47)

7. Ibu Nora

Ibu Nora digolongkan sebagai tokoh tambahan atau tokoh pendamping. Kemunculan tokoh ibu Nora hanya di awal cerita saja. Sama seperti tokoh bapak Nora. Tokoh ini muncul hanya untuk mempertajam masalah atau konflik yang disuguhkan oleh pengarang dalam cerita. Tokoh ibu Nora memiliki watak ramah, primitif, matrealistis, penjilat, penipu, memaksakan kehendak, tetapi juga penyayang khususnya terhadap anaknya. Watak tokoh ibu Nora dapat dilihat pada beberapa kutipan di bawah ini,

“Nora, jangan. Jangan, Nak, jangan. Ingat ibu kamu ini, maafin kami!” (hlm 8)

“Dokter sekarang lebih banyak menipu dan dagang daripada menolong orang. Nanti pasti dijadikan bola, dioper ke sana kemari sampai habis uang kita, tapi pengobatannya tak pernah selesai. Kita dibuatnya sakit terus supaya jadi langganan seumur hidup. Ibu lebih percaya pada dukun.” (hlm 49)

8. Profesor Kunt

Profesor Kunt dalam novel Nora berperan sebagai tokoh yang mencari penerbit untuk menerbitkan buku mengenai politik yang ingin memecah-belah negara Indonesia yang sudah dipastikan akan dilarang oleh negara. Profesor Kunt merupakan tokoh tambahan atau tokoh pendamping dalam novel Nora, namun turut berperan penting dalam konflik cerita. Profesor Kunt digambarkan pengarang dengan karakter yang cerdas namun santai. Profesor Kunt juga memiliki sifat ambisius, idealis, dan kokoh. Beberapa kutipan berikut dapat melukiskan tokoh Profesor Kunt.

“Ada satu penelitian di Kalimantan yang baru saja saya ketahui, tentang betapa semakin tajamnya kesadaran pada kelompok etnis di situ sekarang,” kata profesor itu dengan datar, khas seorang ilmuwan. “Karena mereka banyak membantu tulisan-tulisan orang asing yang menjelaskan tentang kelompok-kelompok etnis itu secara mendalam.” (hlm 86)

“Karena itu, sebenarnya saya setuju dengan apa yang dikatakan Hatta dulu. Kita lebih cocok dengan negara federasi.” (hlm 87)


(48)

4.1.3Latar

Latar atau yang lazim disebut dengan setting merupakan unsur penting yang turut membantu jalan cerita dalam karya sastra. Suatu peristiwa tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya latar sebagai tempat dan waktu terjadinya peristiwa tersebut. Dengan demikian, setiap karya sastra wajib memiliki latar. Menurut Stanton (1964:35),

“Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung. Latar dapat berwujud dekor seperti sebuah cafe di Paris, pegunungan di California, sebuah jalan buntu di sudut kota Dublin dan sebagainya. Latar juga dapat berwujud waktu-waktu tertentu (hari, bulan, dan tahun), cuaca, atau satu periode sejarah”.

Latar dalam sebuah karya sastra bukan semata-mata tempat peristiwa terjadi. Lebih daripada itu, pengarang dengan berbagai cara dapat mempergunakannya untuk mencapai suatu maksud atau tujuan tertentu.

Untuk menentukan latar terhadap novel Nora, maka analisis yang dilakukan mengacu kepada pandangan yang dikemukakan oleh Stanton. Pada novel Nora ini, latar tempat terjadi di kota Jakarta antara lain, di belakang rumah Nora, di rumah kontrakan Mala, di rumah Nora, di kantor Mala, di Stasiun Kereta Api Gambir, di hotel.

Untuk lebih jelasnya keberadaan latar tempat ini penulis memberi kutipan masing-masing latar. Kutipan tersebut dapat dilihat di bawah ini,

“Seorang tukang rokok membalik koran pagi di Stasiun Gambir. Tapi, ia tidak tertarik dengan head line lenyapnya dana 400 miliar yang misterius itu. Ia sedang mencari iklan yang dibisikannya kemarin. Cara baru dalam meningkatkan potensi kejantanan, sekaligus memperbesar alat kelamin dalam waktu satu hari.” (hlm 177)

“Di sebuah hotel bintang lima ditemukan potongan tubuh manusia. Peristiwa itu menjadi head line hampir di semua media massa. Masing-masing tampil dengan kepala berita yang mencolok. Nadanya menggugat penguasa karena sudah membiarkan kekejaman itu terjadi. Hukum yang sejak zaman Petrus tak berdaya menghadapi kekuasaan senjata, kian terpuruk.” (hlm 202)


(49)

Latar waktu dalam novel Nora tidak begitu banyak dijelaskan oleh Putu Wijaya. Dapat diketahui dari beberapa kutipan berikut,

“Pagi hari Mala bangun dalam keadaan capai. Seluruh buku tulangnya pegal. Ada sesuatu yang salah terasa hari itu. Ketika menyelidik, ia mencium semacam bau yang amat dikenalnya dari tubuhnya.” (hlm 10)

4.1.4Tema

Setiap fiksi haruslah mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan. Suatu cerita yang tidak mempunyai tema tentu tidak ada gunanya dan artinya, sebab tidaklah berlebihan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa tema adalah unsur terpenting sebuah karya sastra. Dalam perkembangan sejarah, berbagai tema silih berganti digemari. Menurut Aminuddin (2000:91), “Istilah tema berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘tempat meletakkan suatu perangkat’. Disebut demikian karena tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya”.

Untuk memahami tema suatu karya sastra novel, harus terlebih dahulu memahami unsur-unsur signifikan yang membangun suatu cerita, menyimpulkan makna yang dikandungnya, serta mampu menghubungkannya dengan tujuan penciptaan pengarang cerita tersebut. Umumnya, untuk mengidentifikasi tema sebuah cerita, pembaca sastra harus terlebih dahulu membekali diri dengan pengetahuan seputar pengarang dan berbagai karya pengarang tersebut, kemudian membiarkan diri hanyut oleh cerita. Dengan demikian, pembaca akan dapat menemukan tema cerita. “Cara yang paling efektif untuk mengenali sebuah tema karya sastra adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di dalamnya” (Aminuddin, 2000:42). Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh


(50)

Aminuddin tersebut, maka perhatian lebih difokuskan pada seluruh konflik cerita novel Nora untuk menemukan tema yang diamanatkan oleh pengarang. Ciri khas atau kebiasaan bereksperiment yang dilakukan oleh Putu Wijaya tidak jarang menimbulkan unsur absurdtivitas atau kejanggalan terhadap karya-karya sastra yang disuguhkan kepada para pembaca.

Dalam novel ini tergambar kesederhanaan yang masih hidup namun terbelenggu di antara hiruk pikuk kemewahan yang mengancam keharmonisan dan kebersahajaan. Kesederhanaan tersebut terpancar dalam diri seorang gadis berusia 22 tahun yang terbelenggu dalam masa lalu yang pahit dan kenyataan hidup yang pelik. Kesederhanaan itu melahirkan cinta kasih yang mampu meleburkan ambisi, egoisme, dan liberalisme yang tinggi yang kian marak berkembang di bumi Indonesia ini. Kemewahan yang kian lama kian menguasai menjadi tolak ukur akan hidup yang bahagia dalm konsep manusia dewasa ini. Manusia tidak lagi menyandarkan diri pada konsep hidup yang sederhana namun damai. Manusia lebih mempercayai bahwa hidup yang mewah dan serba praktis adalah makna hidup harmonis yang sebenarnya.

“Ini semacam gelombang pertahanan yang terakhir dari air bah perubahan manusia menjadi mesin,” tulis Mala dalam sebuah kolom. “Di masa depan, manusia barangkali akan benar-benar lenyap. Yang ada hanya fungsi dan nomor-nomor. Namun, jauh di bawah nomor-nomor itu masih bergetar sejarah kemanusiaan yang masih menunggu saat angka-angka menjadi jenuh dan orang merindukan kembali rasa. Waktu itulah kemajuan tidak lagi akan disembah dan dipuja-puja, karena yang lebih membahagiakan adalah kesederhanaan dan kebersahajaan yang membawa harmoni dan rasa damai.” (hlm 86)

Berdasarkan kutipan tersebut, Putu Wijaya sebagai pengarang mencoba menyampaikan amanat atau pesan moral bagi pembaca. Putu Wijaya menyampaikan buah pikiran untuk dapat menjadi bahan pembelajaran bagi manusia dalam menapaki alam


(51)

kehidupan yang semakin lama kian membuat manusia lupa pada kodrat diri yang sesungguhnya. Putu Wijaya berharap agar manusia tidak lupa pada sejarah dan asalnya yang membawa manusia pada perkembangan peradaban seperti pada zaman yang serba canggih dan modern ini. Melalui novel Nora yang dikemas dengan latar Ibu Kota tersebut, Putu Wijaya menggambarkan dan sekaligus mengutuk betapa miskinnya moral bangsa Indonesia di tengah gemerlapnya dunia. Manusia seakan diperbudak oleh uang, jabatan, dan popularitas. Indonesia telah kehilangan pegangan dan jati diri sebagai bangsa yang menjunjung tinggi norma-norma hidup. Indonesia semakin lari dan semakin jauh dari konsep hidup harmonis yang sebenarnya.

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan yang menjadi tema novel Nora adalah hilangnya kesederhanaan ditelan kecanggihan jaman yang mengakibatkan manusia berjiwa kerdil dan menghalalkan segala cara demi mencapai ambisi pribadi. Ambisi pribadi tersebut tidak disadari telah membawa manusia semakin terperosok jauh ke dalam jurang kehancuran.

4.2 Analisis Ekstrinsik Novel Nora Karya Putu Wijaya 4.2.1Gangguan Jiwa Schizophrenia Hebeprenik

Sesuai dengan pembicaraan pada bab sebelumnya yang mengatakan bahwa metode yang digunakan dalam analisis data adalah metode deskriptif yakni menguraikan hasil penelitian secara sistematis, maka dilakukan langkah-langkah dengan menguraikan data yang telah dicatat pada kartu data yang telah dipersiapkan sebelumnya satu per satu. Kartu data terdiri dari kartu biru yang berisi bentuk gangguan jiwa tokoh utama, kemudian dilanjutkan dengan kartu kuning yang berisi ciri-ciri gangguan jiwa, dan yang terakhir


(52)

dilanjutkan pada kartu merah yang berisi faktor-faktor penyebab gangguan jiwa schizophrenia hebeprenik tersebut.

Analisis dimulai dari kartu biru yakni bentuk gangguan jiwa schizophrenia hebeprenik tokoh utama Nora. Pada kartu biru akan dijelaskan secara gamblang bentuk gangguan jiwa schizophrenia hebeprenik tersebut. Penyakit kejiwaan Schizophrenia pertama sekali ditemukan oleh Eugene Bleuler, seorang psikiatrist Jerman yang mendefenisikannya sebagai “jiwa yang terpecah atau terbagi” (Mahmud, 1990:270). Kesimpulan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa kondisi jiwa terpecah itu umum sekali terlihat pada pasien gangguan schizophrenia.

Defenisi schizophrenia menurut Kartono (2002:243) adalah, “Kondisi psikotis dengan gangguan disintegrasi, depersonalisasi, dan kebelahan atau kepecahan struktur kepribadian, serta regresi-Aku yang parah.” Artinya, penderita gangguan ini menunjukkan pola tingkah laku emosional dan intelektual yang ambigious (majemuk), mengalami gangguan yang serius, juga mengalami regresi atau kemunduran mental. Umumnya, individu yang menderita gangguan semacam ini kerap berusaha melarikan diri dari kenyataan hidup dan berdiam dalam dunia fantasi sendiri. Menurut (Dirgagunarsa, 1975 : 141), tanda-tanda atau gejala umum kelainan kejiwaan schizophrenia antara lain,

1. Kontak dengan realitas tidak ada lagi. Penderita lebih banyak hidup dalam dunia khayalnya sediri, dan berbicara serta bertingkah laku sesuai dengan khayalnya, sehingga tidak sesuai dengan kenyataan.

2. Karena tidak ada kontak dengan realitas, maka logikanya juga tidak berfungsi. Akibatnya isi pembicaraan penderita sukar diikuti karena meloncat-loncat dan seringkali ada kata-kata aneh yang hanya dapat dimengerti oleh penderita sendiri.


(53)

3. Ucapan, perbuatan dan pikiriannya tidak sejalan. Ketiga aspek kejiwaan itu pada penderita schizophrenia dapat berjalan sendiri-sendiri, sehingga ia dapat menceritakan sesuatu yang menyedihkan sambil tertawa-tawa.

4. Sehubungan dengan pikirian yang sangat berorientasi kepada khayalan sendiri, timbul delusi dan waham pada penderita schizophrenia. Delusi atau waham ini adalah suatu keyakinan yang keliru mengenai diri sendiri, misalnya penderita merasa dirinya orang sakti, atau merasa dirinya Napoleon.

5. Halusinasi sering pula nampak pada schizophrenia. Penderita sering mengalami kesalahan persepsi dalam arti mendengar, melihat atau merasa sesuatu yang sebenarnya tidak ada, atau yang sebenarnya sangat lain sifatnya. Misalnya mendengar suara-suara atau melihat sapu sebagai pedang.

Tanda-tanda tersebut tampak pada diri tokoh Nora yang kerap menunjukkan kegila-gilaan pada saat-saat tertentu dan emosi yang meledak-ledak dan tidak terkontrol. Tokoh Nora cenderung berhalusinasi, dan logika tidak berfungsi. Tokoh Nora cenderung sibuk dengan pikiran-pikiran yang dianggap menakutkan, mengancam keamanan diri, memalukan, serta perasaan bersalah yang terus-menerus seperti yang telah digambarkan oleh Putu Wijaya di awal cerita saat Nora memergoki Mala sedang buang air kecil. Pengalaman yang tidak disengaja itu membuat Nora terguncang, malu, ketakutan, serta merasa terhina. Kejadian tersebut mengawali ketidakwajaran pikiran-pikiran Nora sehingga menyebabkan munculnya tingkah laku- tingkah laku aneh dan responsi yang berlebihan terhadap segala hal yang dianggap tidak menyenangkan dan bersifat mengancam. Kejadian yang mengakibatkan Nora mengetahui hal yang paling pribadi dalam diri setiap lelaki itu membentuk Nora menjadi pribadi yang penuh dengan was-was rasa cemas yang berlebihan


(54)

terhadap laki-laki. Nora membentuk asumsi sendiri bahwa setiap makhluk yang memiliki benda yang panjang, besar, hitam itu harus ditakuti, dihindari, dan tidak dapat dipercayai, apalagi untuk dijadikan pendamping hidup.

“Hitam, hitam, hitam...” (hlm 4) “Takut, takut, takut...” (hlm 4)

Kejadian yang tidak diinginkan oleh Nora itu menjadi salah satu faktor penyebab gangguan jiwa schizofrenia hebefrenik disamping pola asuh keluarga yang kurang memperdulikan perkembangan kejiwaan Nora serta perlakuan kurang wajar yang semakin memperburuk gejala gangguan jiwa yang dimiliki Nora. Adanya kejadian yang memalukan antara Nora dan Mala tersebut kembali mengguncang jiwa Nora dan semakin memperburuk keadaan kejiwaan Nora sehingga perilaku yang ditunjukkan Nora cenderung semakin aneh dan menimbulkan kemunduran mental hingga terlihat seperti kanak-kanak dan semakin memperkuat munculnya gangguan jiwa schizofrenia hebefrenik tersebut.

Penyakit schizophrenia dibagi dalam tiga kategori antara lain, schizophrenia hebefrenik, schizophrenia katatonik, schizophrenia paranoid. Selanjutnya, pembahasan akan difokuskan pada tipe schizophrenia yang bersangkutan dengan penyakit kejiwaan tokoh utama Nora dalam novel Nora karya Putu Wijaya, yakni tipe hebefrenik.

Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya, perkataan hebefrenik berasal dari bahasa Yunani yang berarti “jiwa muda”. “Hebefrenik juga dapat diartikan sebagai “mental atau jiwa yang menjadi tumpul” (Kartono, 2002:246). Durand dan David Barlow (2007:229) kemudian mendefenisikan “schizofrenia hebefrenik adalah emosionalitas yang dungu atau tidak matang yang khas bagi beberapa tipe skizofrenik”.


(1)

Novel Nora terutama dibahas dari aspek-aspek intrinsik sastra yang dianggap perlu seperti, alur, penokohan, latar, dan tema, sedangkan pembahasan berikutnya meliputi aspek ekstrinsik sastra yang berkaitan erat dengan berbagai teori psikologi. Dalam pembahasan dijumpai adanya tokoh protagonis dan tokoh antagonis yang mendukung jalan cerita. Tokoh Nora, Mala, Pak Amin berperan sebagai tokoh yang berkarakter baik dan sesuai dengan tema cerita atau biasa disebut dengan tokoh introvert sedangkan tokoh Adam, Midori, Bapak dan Ibu Nora, dan Profesor Kunt berperan sebagai tokoh yang jahat dengan ambisi pribadi atau biasa disebut dengan tokoh ekstrovert.

5.2 Saran

Sebenarnya saran ini cukup sederhana. Pikiran yang sederhana ini muncul tatkala proses pembahasan skripsi berlangsung. Setelah pembahasan dan penganalisisan novel ini dirampungkan dari sudut pandang psikologis, semakin terasa kebutuhan ingin memperdalam ilmu jiwa. Mempelajari psikologi dapat menjadi langkah dasar untuk memperoleh pengetahuan tentang gejala-gejala jiwa guna menyelenggarakan pendidikan dan menjaga pergaulan agar lebih baik. Karenanya, mendalami psikologi melalui teori psikologi sastra yang diaplikasikan terhadap karya-karya sastra merupakan pilihan dan keputusan yang baik. Diharapkan agar ilmu psikologi sastra lebih didalami, dikembangkan, dan disebarluaskan agar menambah pengetahuan individu khususnya mahasiswa sastra.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo Calvin, Hall. 1995. Freud, Sex, Obsesi, Trauma, dan Katarsis (Terjemahan oleh Dudi Misky) (Ed.). Soetrisno. Jakarta: Delapratasa

Dirgagunarsa, Singgih. 1996. Pengantar Psikologi. Jakarta : Mutiara Sumber Widya Offset

Durand dan David H Barlow. 2007. Psikologi Abnormal (Terjemahan oleh Danuyasa Asihwardji). Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: Media Pressindo

Harre dan Roger Lam. 1983. Ensiklopedi Psikologi (Terjemahan oleh Ediati Kamil). Jakarta: Arcan

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Jakarta: Balai Pustaka

Kartono, Kartini. 2002. Patologi Sosial 3 : Gangguan-gangguan Kejiwaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Keraf, Gorys. 2004. Komposisi. Ende Flores: Nusa Indah

Luxemburg, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia

Mahmud, M. Dimyati. 1990. Psikologi Suatu Pengantar. Yogyakarta: BPFE Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sudarsono. 1997. Kamus Konseling. Jakarta: Arcan


(3)

Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Wellek dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan (Terjemahan Oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Wijaya, Putu. 2007. Nora. Jakarta: Kompas


(4)

(5)

Lampiran 1

RIWAYAT HIDUP PENGARANG

I Gusti Ngurah Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali, 11 April. Putra bungsu I Gusti Ngurah Raka dan Mekel Erwati ini menulis cerpen pertama di media ketika kelas 3 SMP. Di SMA Singaraja dia mulai main drama disutradarai oleh Kirjomuljo. Dari Kirjomuljo, Putu mempelajari bahwa mengarang itu adalah “berjuang”. Sejak itu ia ingin menjadi seorang sutradara.

Direktur sekolah Ibu Gedong Bagoes Oka, banyak mendorong dan memberinya inspirasi dalam melihat tradisi sebagai sebuah kekuatan budaya. Termasuk kemudian mengirimnya ke masyarakat Ittoen, Yamashina, Kyoto, untuk mendapatkan pengalaman. Pulang dari Ittoen, Putu membawa pemahaman bahwa berkesenian adalah bekerja dan kerja adalah ibadah.

Tamat dari Fakultas Hukum UGM, Putu tidak berminat menjadi pegawai negeri atau bekerja di institusi yang ada hubungan dengan apa yang dipelajarinya. Ia malah bergabung dengan majalah Ekspres dan menjadi salah seorang redaksi, sambil terus main drama di Bengkel Teater Kecil dan sekali terlibat dalam produksi Teater Populer. Ia sempat gelisah, karena merasa sudah menyia-nyiakan biaya sekolah yang dikeluarkan oleh orangtuanya. Tetapi, Rujito (pelukis, penata artistik) kemudian memberikan pencerahan dengan mengajak melihat bahwa mengejar keadilan tidak harus melalui meja hijau.


(6)

Ketika majalah Ekspres pecah, Putu ikut mendirikan majalah TEMPO bersama Goenawan Mohammad dkk. Selama di TEMPO, Putu belajar disiplin kerja dan menyiasati waktu yang diburu dead-line. Ia mendirikan Teater Mandiri dengan konsep “Bertolak dari yang Ada” dan menyuguhkan pertunjukan “teror mental” yang juga mewarnai karya sastranya. Teater Mandiri yang mementaskan karya-karya Putu sendiri pernah main di Tokyo, Kyoto, Hongkong, Taiwan, Singapura, Amerika Serikat, Cairo dan Jerman, didukung musik Harry Roesli dan DKSB.

Pada 1991, Putu memutuskan tidak bekerja dalam kantor lagi, agar tidak terjebak ke dalam keseragaman kelompok. Ia menulis skenario dan menyutradarai 3 buah film layar lebar. Untuk televisi ia menggarap beberapa sinetron berseri. Tetap menulis di beberapa harian, majalah, tabloid.

Selain menulis novel, cerpen, esei, kritik, laporan perjalanan, kolom, skenario film, sandiwara, puisi dan menjadi sutradara, Putu juga seorang aktor yang sering membacakan cerita pendeknya. Belakangan ia gencar main monolog, membuat workshop dan mengikut i seminar serta membuat ceramah.

Beberapa karya Putu sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Belanda, Perancis, Jepang, Rusia, Jerman, Ceko, Thai, Arab dan juga bahasa Bali. Karya yang telah diterbitkan: Aut, Dar-Der-Dor (kumpulan monolog). Yang diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas: Tiba-Tiba Malam, Pabrik (novel), Tulalit (kumpulan novelet), dan Bali.

Dalam salah satu pengakuannya tentang proses kreatif, Putu mengatakan bahwa ia pemulung yang memunguti ceceran remah-remah yang tidak terpakai oleh orang lain. Ia