48 Latar waktu dalam novel Nora tidak begitu banyak dijelaskan oleh Putu Wijaya.
Dapat diketahui dari beberapa kutipan berikut, “Pagi hari Mala bangun dalam keadaan capai. Seluruh buku tulangnya pegal. Ada
sesuatu yang salah terasa hari itu. Ketika menyelidik, ia mencium semacam bau yang amat dikenalnya dari tubuhnya.” hlm 10
4.1.4 Tema
Setiap fiksi haruslah mempunyai dasar atau tema yang merupakan sasaran tujuan. Suatu cerita yang tidak mempunyai tema tentu tidak ada gunanya dan artinya, sebab
tidaklah berlebihan jika ada pendapat yang mengatakan bahwa tema adalah unsur terpenting sebuah karya sastra. Dalam perkembangan sejarah, berbagai tema silih berganti
digemari. Menurut Aminuddin 2000:91, “Istilah tema berasal dari bahasa Latin yang berarti ‘tempat meletakkan suatu perangkat’. Disebut demikian karena tema adalah ide
yang mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya”.
Untuk memahami tema suatu karya sastra novel, harus terlebih dahulu memahami unsur-unsur signifikan yang membangun suatu cerita, menyimpulkan makna yang
dikandungnya, serta mampu menghubungkannya dengan tujuan penciptaan pengarang cerita tersebut. Umumnya, untuk mengidentifikasi tema sebuah cerita, pembaca sastra harus
terlebih dahulu membekali diri dengan pengetahuan seputar pengarang dan berbagai karya pengarang tersebut, kemudian membiarkan diri hanyut oleh cerita. Dengan demikian,
pembaca akan dapat menemukan tema cerita. “Cara yang paling efektif untuk mengenali sebuah tema karya sastra adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada di
dalamnya” Aminuddin, 2000:42. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh
Universitas Sumatera Utara
49 Aminuddin tersebut, maka perhatian lebih difokuskan pada seluruh konflik cerita novel
Nora untuk menemukan tema yang diamanatkan oleh pengarang. Ciri khas atau kebiasaan bereksperiment yang dilakukan oleh Putu Wijaya tidak jarang menimbulkan unsur
absurdtivitas atau kejanggalan terhadap karya-karya sastra yang disuguhkan kepada para pembaca.
Dalam novel ini tergambar kesederhanaan yang masih hidup namun terbelenggu di antara hiruk pikuk kemewahan yang mengancam keharmonisan dan kebersahajaan.
Kesederhanaan tersebut terpancar dalam diri seorang gadis berusia 22 tahun yang terbelenggu dalam masa lalu yang pahit dan kenyataan hidup yang pelik. Kesederhanaan itu
melahirkan cinta kasih yang mampu meleburkan ambisi, egoisme, dan liberalisme yang tinggi yang kian marak berkembang di bumi Indonesia ini. Kemewahan yang kian lama
kian menguasai menjadi tolak ukur akan hidup yang bahagia dalm konsep manusia dewasa ini. Manusia tidak lagi menyandarkan diri pada konsep hidup yang sederhana namun
damai. Manusia lebih mempercayai bahwa hidup yang mewah dan serba praktis adalah makna hidup harmonis yang sebenarnya.
“Ini semacam gelombang pertahanan yang terakhir dari air bah perubahan manusia menjadi mesin,” tulis Mala dalam sebuah kolom. “Di masa depan, manusia barangkali
akan benar-benar lenyap. Yang ada hanya fungsi dan nomor-nomor. Namun, jauh di bawah nomor-nomor itu masih bergetar sejarah kemanusiaan yang masih menunggu
saat angka-angka menjadi jenuh dan orang merindukan kembali rasa. Waktu itulah kemajuan tidak lagi akan disembah dan dipuja-puja, karena yang lebih
membahagiakan adalah kesederhanaan dan kebersahajaan yang membawa harmoni dan rasa damai.” hlm 86
Berdasarkan kutipan tersebut, Putu Wijaya sebagai pengarang mencoba menyampaikan amanat atau pesan moral bagi pembaca. Putu Wijaya menyampaikan buah
pikiran untuk dapat menjadi bahan pembelajaran bagi manusia dalam menapaki alam
Universitas Sumatera Utara
50 kehidupan yang semakin lama kian membuat manusia lupa pada kodrat diri yang
sesungguhnya. Putu Wijaya berharap agar manusia tidak lupa pada sejarah dan asalnya yang membawa manusia pada perkembangan peradaban seperti pada zaman yang serba
canggih dan modern ini. Melalui novel Nora yang dikemas dengan latar Ibu Kota tersebut, Putu Wijaya menggambarkan dan sekaligus mengutuk betapa miskinnya moral bangsa
Indonesia di tengah gemerlapnya dunia. Manusia seakan diperbudak oleh uang, jabatan, dan popularitas. Indonesia telah kehilangan pegangan dan jati diri sebagai bangsa yang
menjunjung tinggi norma-norma hidup. Indonesia semakin lari dan semakin jauh dari konsep hidup harmonis yang sebenarnya.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan yang menjadi tema novel Nora adalah hilangnya kesederhanaan ditelan kecanggihan jaman yang mengakibatkan manusia berjiwa
kerdil dan menghalalkan segala cara demi mencapai ambisi pribadi. Ambisi pribadi tersebut tidak disadari telah membawa manusia semakin terperosok jauh ke dalam jurang
kehancuran.
4.2 Analisis Ekstrinsik Novel Nora Karya Putu Wijaya