Aliran Ahmadiah di Indonesia

52 dan pendakwaan dirinya sebagai al-Masih, menentangnya dengan berbagai cara, baik dengan cara polemik di media massa maupun dilakukan dengan debat terbuka. Penentangan semakin menjadi-jadi setelah adanya pendakwaan diri Mirza Ghulam Ahmad sebagai seorang Nabi “Dzilli” dan Ummati Nabi bayangan dan Nabi umat Muhammad pada tahun 1901 M. 33

B. Aliran Ahmadiah di Indonesia

Dalam perkembangannya, Ahmadiah baik Qadian maupun Lahore mulai melebarkan sayap pergerakan dan memperluas jaringan organisasinya ke berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia. Ahmadiah masuk ke Indonesia sekitar tahun 1924 M. Program perluasan jaringan ke Indonesia di kalangan aliran Qadian terjadi pada masa Khalifah II Bashiruddin Mahmud Ahmad, tetapi di Indonesia sendiri yang pertama masuk melalui para mubalighnya adalah Ahmadiah Lahore, para mubalighnya yang datang sebagai pedagang. Ada karakteristik yang berbeda di antara kedua aliran tersebut dalam penyebaran gerakannya. Aliran Lahore banyak mengggunakan cara penyebarannya melalui pengiriman mubaligh-mubalighnya ke berbagai negara meskipun tanpa undangan dari negara yang dituju. Sementara aliran Qadian menyebarkan sayap gerakannya di Indonesia melalui para santri yang mondok di pesantren sumatera thawalib dan melanjutkan sekolah ke Qadian kemudian kembali ke Indonesia dan menyebarkan ajaran Ahmadiah. 33 Ahmad Saefullah, Sinopsis Karya-Karya Hz. Mirza Ghulam Ahmad, Yogyakarta: Taman Pustaka Arif Rahman Hakim, 2000, h. 5-13 53 Menurut Federspiel bahwa Ahmadiah pada awalnya sampai ke Indonesia melalui para santri yang belajar di sekolah Ahmadiah di Qadian, khususnya pada abad ke-19. Hamka menyatakan bahwa proses pengenalan Ahmadiah di Indonesia pada awalnya banyak melalui informasi yang didapatkan melalui majalah-majalah yang terbit diluar negeri dan datang ke Indonesia. Lain halnya dengan Raden Ngabei Haji Minhadjurrahman Djojosugito yang menyatakan bahwa dirinya mendengar gerakan Ahmadiah sekitar tahun 1921 M, namun demikian sebenarnya Ahmadiah sudah di kenal sejak tahun 1918 M. Melalui majalah Islamic Rewiew edisi melayu yang terbit di Singapura, tetapi Ahmadiah baru mendatangkan tokohnya ke Indonesia tahun 1920 . Yaitu seorang tokoh kenamaan Indonesia yaitu Prof.Dr. Maulana H. Kwadja Kamaluddin, BA.,LLB. Pada tahun 23 oktober 1920M, ia berkunjung ke Surabaya dengan maksud untuk berobat karena gangguan kesehatan sekaligus melihat kondisi sosial keagamaan masyarakat di Surabaya. Pada tanggal 28 oktober 1920 M, tanpa perencanaan perhimpunan Taswirul Afkar mengundangnya untuk memberikan ceramah umum pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, di masjid Ampel Surabaya. Materi yang disampaikan dalam ceramahnya seputar ajakan untuk terus melakukan dakwah Islam kepada orang yang masih awam dan melakuakan kajian mendalam terhadap al- Qur‟an agar dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Di samping itu, ia juga menyampaikan tentang semangat dakwah Islam di Inggris dan kegigihan para muallaf untuk mengkaji al- Qur‟an. Ceramah di Surabaya ini ternyata mendorong ia untuk keliling ke berbagai kota antara lain, Gambir Park, Batavia, dan lain-lain. 54 Aliran Qadian datang ke Indonesia berawal dari keberangkatan dua santri Sumatera Thawalib ke India yaitu Abu Bakar Ayyub dan Ahmad Nuruddin. Atas saran dan nasehat Ibrahim Musa Parabek sorang ulama terkenal di Bukit Tinggi agar melanjutkan sekolah ke Hindustan, karena sudah banyak santri yang melanjutkan ke Timur Tengah dan pada waktu itu kualitas di Hindustan menjadi salah satu pusat ilmu pengetahuan dan pendidikan yang bermutu tinggi serta memiliki para tokoh intelektual yang ternama. Para tahun 1922 M, mereka berangkat ke India dengan tujuan Lucknow dan bertemu dengan seorang ulama besar Abdul Bari Ansari, kemudian mereka disarankan belajar di sekolah Nizamiah yang di pimpinnya. Di kota tersebut mereka menjadi bertiga karena salah seorang temanya bernama Zaini Dahlan yang baru datang dari Padang Panjang bergabung dengan mereka. Setelah dua bulan, mereka memutuskan untuk meninggalkan sekolah tersebut karena mereka mengetahui ternyata gurunya adalah seorang yang suka menyembah kuburan seorang Kiyai. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan ke Lahore dan di kota ini mereka juga mengenal beberapa tokoh Ahmadiah yang pernah datang ke Indonesia seperti Maulana H. Kwadja Kamaluddin. Di Lahore mereka belajar kepada para ulama yaitu Maulana Abdullah Malabari, Maulana Syaikh Abdul Khalid, dan Maulana Taqi yang waktu itu sengaja datang ke Lahore untuk berdebat dengan pimpinan Anjuman Ahmadiah Lahore, Maulana Muhammad Ali. Melalui tiga gurunya mereka mengenal Ghulam Ahmad pendiri Ahmadiah yang dimakamkan di Qadian. 55 Pada bulan Juli tahun 1925 M, Maulana Rahmad Ali tiba di Indonesia dan singgah di Banda Aceh. Kemudian ia tinggal di Tapaktuan, di rumah mantan pelajar Indonesia yang belajar di Qadian yaitu Muhammad Samin. Kegiatan pengajian dan ceramah ke berbagai pelosok desa Tapaktuan yang dilakukan Maulana Rahmad Ali telah menarik banyak orang untuk masuk Ahmadiah, apalagi materi yang disampaikannya seputar Mirza Ghulam Ahmad dan Imam Mahdi, kewafatan Isa ibn Maryam, pintu kenabian dan lain-lainnya. Banyak orang yang tertarik dengan Ahmadiah sampai akhirnya berdirilah cabang Ahmadiah di Tapaktuan. Setahun kemudian ia berangkat ke Padang, kota yang sangat ramai karena merupakan pusat perdagangan. Kedatangannya mengundang banyak reaksi dari ulama yang ada di Bukit Tinggi dan Padang Panjang, sampai akhirnya harus dibuat sebuah “komite mencari hak” pimpinan Tahar Sutan Marajo, tetapi pertemuan yang direncanakan dengan tujuan akan dilakukan diskusi antara kedua belah pihak akhirnya gagal terlaksana karena para ulama tersebut tidak datang. Reaksi keras pun datang dari Dr. H. Karim Amrullah yang mengecam bahwa Ahmadiah adalah di luar Islam, sesat, dan kafir. Bahkan ejekan dan penghinaan menjadi warna setiap hari dari kegiatan dakwah mubaligh tersebut dan hal itu tidak menyurutkan semangat tablig mubaligh Ahmadiah. Banyak orang juga yang tertarik pada Ahmadiah. Banyak orang yang ternyata juga tertarik dengan Ahmadiah dari berbagai golongan dan latar belakang sosial di Padang. Tidak lama kemudian datang para pelajar yang sudah lulus belajar di Qadian dan menjadi munaligh Ahmadiah di Padang. Bertambahnya tenaga mubaligh 56 membantu gerakan tabligh Ahmadiah sehingga berdirilah Jema ‟at Ahmadiah Qadian di Padang. Dengan demikian, sebenarnya Maulana Rahmad Ali dan para pemuda Indonesia yang belajar di Qadian adalah orang yang membawa ajaran Ahmadiah Qadian ke Indonesia dan sebagai perintis Ahmadiah di Indonesia. Pada tahun 1931 Maulana Rahmad Ali meninggalkan Sumatera dan pergi ke Jawa, tetapi ia tidak pergi ke Yogyakara, karena disana sudah ada dua mubaligh Ahmadaiah Lahore yang lebih dahulu di kenal di Jawa, yaitu Maulana Ahmad dan Ahmad Baig. Kedua mubaligh tersebut selama di Yogyakarta ditampung oleh Muhammadiyah. Banyak isu seputar kedatangan dua mubaligh tersebut bahwa mereka adalah misionaris dan pembawa ajaran sesat, tetapi Muhamadiyah tidak terpengaruh oleh isu negatif tersebut, bahkan Muhamadiyah menyambut baik dengan Kongres Muhammadiyah tahun 1924 dan 1925. Adanya hubungan baik anatara Ahmadiah dan Muhamaddiyah di Indonesia disebabkan oleh adanya kesamaan misi, yaitu melakukan perlawanan terhadap misi Zending Kristen. Keakraban ini semakin kental ketika rumah tempat tinggal Wali Big menjadi tempat diskusi dan belajar bahasa Inggris tokoh muda Muhammadiyah. Suasana keakraban antara Muhammadiah dan Ahmadiyah mulai retak. Hal ini sebabkan banyak tokoh Muhammadiyah yang mengakui bahwa doktrin Ahmadiyah tidak sejalan dengan mayoritas Islam. Sebenarnya informasi ini sudah mereka ketahui dari H. Karim Amrullah ketika berkunjung ke Yogyakarta. Puncak keretakan adalah ketika diketahui ada beberapa ajaran Ahmadiah yang dianggap sesat dan keluar dari Islam, tetapi bersamaan dengan hal itu, Ahmadiah Qadian di beberapa daerah sudah melebarkan sayap dakwahnya dan begitu pun 57 dengan aliran Lahore. Penafsiran-penafsiran yang menjadi perdebatan hanyalah seputar kenabian, kewafatan Nabi Isa, dan masalah imam mahdi. Muhamadiyah memiliki pandangan yang berbeda dengan Ahmadiyah khususnya pada wilayah tersebut di atas. Puncak perselisihan antara Ahmadiah dengan Muhammadiyah terjadi pada saat Kongres Muhammadiyah tahun 1928 M. Salah satu agenda Kongres tersebut adalah menyikapi persoalan Ahmadiyah. Perdebatan cukup alot pada acara tersebut. Solusi yang diberikan adalah opsi kepada mereka para anggota Muhammadiyah yang mendukung Ahmadiyah, apakah akan memilih Muhamadiyah atau Ahmadiyah. Beberapa tokoh aktif di Muhammadiyah pada waktu itu dengan penuh tekanan akhirnya keluar dan memilih Ahmadiah. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah Djojosugito, Muhammad Husni, Muhammad Kusban, Sutantyo, dan Supratolo. Tidak hanya dengan Muhammadiyah, pada tahun-tahun berikutnya hubungan mereka dengan organisasi masa Islam lain seperti SI, Persis, NU, dan ormas lainya juga mengalami keretakan karena perdebatan doktrin teologi Ahmadiyah. Peretentangan NU, Persis, dan Muhammadiyah ditunjukkkan dengan ditolaknya al- Qur‟an Penerjemah H.O.S. Tjokroaminoto yang merupakan karya terjemahan dari Holy Qu ‟ran karya Maulana Muhammad Ali, Khalifah Ahmadiyah Lahore pertama. Pertentangan ini berakibat di tubuh PSII pada waktu itu. Di Indonesian aliran Qadian dan Lahore mempunyai struktur organisasi yang hampir mirip dengan organisasi kemasyarakatan Islam seperti Muhammadiyah 58 dan lainya. Struktur Qadian mulai dirumuskan pada Konferensi Ahmadiah Qadian tahun 1935 di Jakarta dan berhasil merumuskan anggaran dasar dan anggaran Rumah Tangga, struktur organisasi, dan kepengurusannya. Struktur kepengurusan ini terdiri dari 1 orang ketua, 2 orang sekertaris, dan 5 anggota. Ketua pertama yang terpilih pada waktu itu adalah R. Moh. Muhjidin. Pada awal peresmiannya, nama gerakan ini adalah Ahmadiah Qadian Departemen Indonesia AQDI. Sebagai langkah penyempurnaan, maka diselenggarakan konferensi tahun 1937 M di Jakarta dan mengubah nama AQDI menjadi Anjuman Ahmadiah Departemen Indonesia AADI. Pada muktamar bulan desmber 1949 M, nama tersebut diubah lagi dengan Jema ‟at Ahmadiah Indonesia JAI sampai sekarang dan memiliki badan hukum dengan surat Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia. Secara hirarkis, organisasi JAI memiliki empat tingkatan, mulai dari pengurus besar, pengurus daerah, pengurus cabang, dan pengurus Ranting. Pengurus besar ini bertanggung jawab melaporkan kepada pusat gerakan di Qadian, yang sekarang pindah ke Inggris. Sedangkan pengertian pemasaran berasal dari kata pasar yang dalam konteks tradisional diartikan dengan “tempat orang berjual beli”. Akan tetapi, pengertian pasar yang dimaksud disini bukan dalam pengertian kongkrit, melainkan lebih ditujukan pada pengertian abstrak. Menurut Philip Kotler pemasaran adalah sebuah proses sosial dan manajerial, dimana individu dan kelompok memperoleh apa yang mereka butuhkan dan inginkan, melalui penciptaan dan pertukaran produk serta nilai dengan pihak lain. Pemasaran juga dapat diartikan sebagai 59 upaya untuk menciptakan dan menjual produk kepada berbagai pihak dengan maksud tertentu Ahmadiah Lahore tidak terlalu struktural pada awal berdirinya. Hanya saja ada inisiatif dari Djojosugito dan Muhammad Husni yang ingin membuat wadah untuk berdiskusi dan berkumpul bersama. Tepatnya pada tahun 1928 M, mereka mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia Centrum Lahore dan secara resmi mendapatkan badan hukum pada tahun 1929 M dengan nama Gerakan Ahmadiayah Indonesia GAI Lahore sampai sekarang. Struktur organsasi GAI berdasarkan Qanun Asasi tahun 1930 M terdiri dari pengurus pusat dengan sebutan Pedoman Besar dan pengurus cabang. Pada periode pertama yang menjabat sebagai ketua adalah Djojosugito dan Muhammad Kusni sebagai sekertaris. Perkembangan Ahmadiyah Lahore dan Qadian di Indonesia ini cukup pesat. Beberapa tahun setelah resmi berdiri, kedua kelompok aliran tersebut menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Ahmadiayah Qadian tersebar di Sumatera Barat, khususnya di Padang, Sumatera Utara, Jambi, Bengkulu, Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jakarta, Nusa Tenggara Barat, dan daerah-daerah lain di Indonesia. Sementara Ahmadiyah Lahore mulai menyebar di Yogyakarta, Jawa Tengah, Jakarta, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Jawa Barat, dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Perkembangan yang sangat pesat ini dari gerakan Ahmadiah Qadian dan Lahore ini adalah karena mereka banyak menggunakan berbagai macam media, antara lain melalui majalah, tabligh, kegiatana sosial, dan buletin- buletin. 60 Saat ini, tanpa harus menutup mata kita bahwa sumbangan Ahmadiyah di Indonesia cukup besar baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan yang lainya. Hal yang paling menarik adalah sumbangan Ahmadiyah terhadap dunia Islam melalui MTA Muslim Television Ahmadiah. Melalui MTA ini, Ahmadiah melakukan dan menyebarkan informasi Islam ke berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Siaran yang menjadi program dari televisi tersebut ialah al- Qur‟an dan al-Hadits Teaching, Islam News, Islam and Lenguage, Children Cornex, Women Corner, Liqa‟ ma‟al-A‟rab Muhadharah, dan lain-lain. Di samping, itu kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya berlanjut yang dilakukan adalah penerbitan buku, majalah, dan buletin. Berbagai kajian buku, diskusi, dialog, dan seminar baik nasional maupun internaional telah banyak dilaksanakan. Hal yang paling spektakuler adalah agenda penerjemahan al- Qur‟an ke dalam seratus bahasa, yang saat ini masih dalam tahap penyelesaian, tetapi hanya sekitar dua puluh bahasa lagi yang belum selesai. Ahmadiah juga merencanakan pembangunan seratus masjid di Eropa. Melihat potret gerakan yang ada, bahwa Ahmadiah adalah satu-satunya organisasi masa Islam yang memiliki aset sangat besar dan memberikan sumbangan sosial kepada negara yang tidak sedikit. Padahal Ahmadiah hanya mengandalkan dana dari internal anggotanya saja dan tidak menerima sumbangan dari luar sampai saat ini. Sehingga langkah kemandirian melalui doktrin teologis di kalangan Ahmadiah sangat efektif dan behasil untuk mengaplikasikan gerakan sosial kemasyarakatan dan gerakan dakwah Islam yang mempunyai misi menyebarkan dakwah islam 61 dan melakuakn counter attack terhadap misi-misi Kristenisasi di dunia. Melalui progresivitas gerakan dengan memperkuat intensitas dakwah dan mempertajam basis intelektualitas di dunia keilmuan dalam berbagai implementasi dari misi universal Islam rahmatan lil‟alamin.

C. Doktrin-doktrin Teologi Ahmadiah