Akurasi penerjemahan kata khalifah dan khatam dalam wacana keahmadiahan

(1)

AKURASI PENERJEMAHAN KATA KHALÎFAH DAN

KHATÂM DALAM WACANA KEAHMADIAHAN

Skripsi

Diajukan kepada fakultas Adab dan Humaniora

Untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana (S.S)

Sifa Kahfiani

107024001873

JURUSAN TARJAMAH

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

i

PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta berupa pencabutan gelar.

Jakarta, 14 September 2011

Sifa Kahfiani NIM: 107024001873


(3)

(4)

(5)

iv PRAKATA

Puji Syukur senantiasa Penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan begitu banyak nikmat serta pertolongan kepada Penulis, sehingga karya ini bisa selesai dan hadir ke hadapan para pembaca. Salawat serta Salam Cinta senatiasa dilimpahkan kepada teladan alam semesta, Kanjeng Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para sahabat. Semoga kita

mendapatkan “curahan syafa‟atnya” di hari nanti.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada civitas academica UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terutama kepada Prof. Dr.

Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dr. Abdullah Chaer, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi, MA., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Ahmad Saehuddin, M.Ag.

Terima kasih yang tak terhingga pula kepada Dr. Abdullah, M.Ag yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan referensi serta motivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan Bapak.

Kepada jajaran Dosen Tarjamah : Ibu Karlina Helmanita, M.Ag, Bapak Syarif Hidayatullah, M.Hum, Bapak Prof. Dr. Syukron Kamil, MA, Bapak Irfan Abu Bakar, MA, Bapak Drs. A. Syatibi, M.Ag, Bapak Drs. Ikhwan Azizi, MA. Bapak Ahmad Saehuddin, M.Ag, dan lainya. Terima kasih yang tak terhingga. Semoga ilmu yang Penulis dapatkan menjadi manfaat di kemudian hari.


(6)

v

Penghormatan serta salam cinta penulis haturkan kepada kedua Orang Tua Penulis, Ayahanda Jamil Dalih dan Ibunda Ratna Ningsih. Kepada sanak saudara Penulis yang berada di Bandung maupun di Jakarta telah memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis, sehingga Penulis bisa menyelesaikan studi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan seperjuangan di Tarjamah 2007, Hilman, Anhy, Ismhy, dan Anas yang telah membantu penulisan skripsi ini dan anhy, ismhy, rahma, aisyah yang selalu memotivasi dalam penyelesaian skripsi ini. Tidak lupa juga teman-teman yang lain yang telah memberikan hiburan, candaan, dan telah mengingatkan kekurangan dan kekhilafan Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, telah berbagi informasi dan pengalaman mereka sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan juga kepada Sahabat karibku Rafika Fitria yang telah banyak memotivasi Penulis, dan tak terlupakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kakanda Sanjung Prasetyo yang telah banyak memberikan motivasi, bimbingan serta materil yang diberikan kepada Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta teman-teman BEM-J Tarjamah dan juga kepada seluruh Kakak dan Adik kelas. Penulis mengahaturkan beribu terima kasih kepada seluruh teman-teman atas pinjaman reverensinya yang begitu berharga, yang telah mencerahkan dan memberikan paradigma baru kepada Penulis.

Semoga skripsi yang masih jauh dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Saran serta kritik konstruksif sangat Penulis butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi.


(7)

vi

Jakarta, 14 september 2011


(8)

vii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

PERNYATAAN...ii

PERESETUJUAN PEMBIMBING...iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN...iv

PRAKATA...v

DAFTAR ISI...vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN...ix

ABSTRAK...xii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah...6

C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian...7

D. Metodologi Penelitian...8

E. Sistematika Penulisan...9

BAB II KERANGKA TEORI A. Gambaran Umum Tentang Penerjemahan...11

1. Definisi Penerjemahan...11

2. Jenis Penerjemahan...14

3. Tahap-Tahap Penerjemahan...17

4. Penerjemaan Al-Qur‟an...20

B. Homonimi...28

1. Pengertian Homonimi...28

2. Homonimi Dalam Bahasa Arab...31

3. Homonimi Dalam Bahasa Indonesia...32

C. Pengertian Khâtam Dan Khalîfah...33

1. Pengertian Khâtam...33


(9)

viii BAB III TENTANG AHMADIAH

A. Sejarah Berdirinya Ahmadiah...39 B. Aliran Ahmadiah Di Indonesia...49 C. Doktrin-doktrin Teologi Ahmadiah...58

BAB IV ANALISIS TERJEMAHAN KATA KHALÎFAH DAN KHÂTAM DALAM WACANA KEAHMADIAHAN

A. Analisis Terjemahan Terhadap Kata Khâtam Dalam Wacana

Keahmadiahan...76 B. Analisis terjemahan terhadap kata khalîfah dalam wacana

keahmadiahan...81

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan...93


(10)

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Dalam skripsi ini, sebagian data berbahasa Arab ditransliterasikan ke dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin dalam Buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. 1. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin

T

B Z

T „

Ts Gh

J F

H Q

Kh K

D L

Dz M

R N

Z W

S H

Sy `

S Y

D


(11)

x

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.

A. Vokal tunggal

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

---- A Fathah

---- I Kasrah

--- U Dammah

B. Vokal rangkap

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

Ai a dan i

Au a dan u

C. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab

dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

 a dengan topi di atas

Î i dengan topi di atas

Û u dengan topi di atas

3. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu لا , dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf

syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.


(12)

xi

Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan

dengan sebuah tanda--- dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah

itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda

syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ةرورضلا tidak ditulis ad-darûrah melainkan al- darûrah, demikian seterusnya.

5. Ta Marbûtah

Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka

huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang sama juga berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na‟t) atau kata

sifat (contoh no.2). namun jika huruf Ta Marbûtah tersebut diikuti kata

benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/ (contoh

no.3)

No. Kata Arab Alih Aksara

1 Tarîqah

2 al-jâmi’ah al-islâmiyah

3 wihdat al-wujûd

6. Huruf kapital

Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama

tempat, dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf


(13)

xii ABSTRAK

Sifa Kahfiani

“Akurasi Terjemahan Kata Khâtam dan Khalîfah dalam Wacana

Keahmadiahan”. Dibawah Bimbingan Dr. Abdullah, M.Ag.

Penerjemahan merupakan sebuah kegiatan pemindahan makna dari bahasa sumber (BSU) ke dalam bahasa sasaran (BSA). Terjemahan dapat dikatakan baik bila benar-benar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sasaran (bahasa penerima)tidak boleh menyimpang dari makna dan gaya/nada yang diungkapkan dalam bahasa sumber.

Penulis melihat bahwa dalam bahasa Arab terdapat Musytarak Lafi. Musytarak lafi menjelaskan bahwa banyak terdapat kata secara pelafalannya

sama, tetapi mempunyai makna yang berbeda. Dalam dunia penerjemah seseorang harus mempunyai wawasan yang luas untuk dapat menerjemahkan kata-kata yang mengandung musytarak lafi.

Skripsi ini mencoba melihat penerjemahan mengenai terjemahan kata

khalîfah dan khâtam. Dengan memakai analisis musytarak lafi. Sebagaimana

terjemah kata khalîfah tidak semata-mata diterjemahkan dengan kata pemimpin

dan kata khâtam tidak semata-mata diterjemahkan dengan kata penutup.

Seringkali terjadi perdebatan dan bahkan berujung pada terjadinya argumen yang keliru hingga terjadi aliran yang berbeda hanya karena berbeda pendapat dalam


(14)

xiii

memaknai kata khâtam yang terdapat dalam al-Qur‟an. Penulis melakukan

analisis perbandingan komparatif antara terjemahan al-Qur‟an pendapat ahlusuṉ ṉah wal jama’ah dengan wacana keahmadiahan.

Penulis menarik kesimpulan bahwa hasil terjemahan antara pendapat

ahlusuṉ ṉah wal jama’ah dengan wacana keahmadiahn terdapat begitu banyak

perbedaan, sehingga menimbulkan pemahaman yang berbeda.


(15)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia ilmu makna (semantik) sebagai ilmu baru yang berkembang pada tahun 1970-an di dunia linguistik dan semantik. Kemampuan mengolah dan memahami pemerian kebahasaan ada pada aspek makna dalam linguistik. Kemampuan suatu bahasa menjadi bahasa ilmu dapat dipertimbangkan melalui kecendikiaan bahasa tersebut, antara lain yang dikemukakan oleh pemuka aliran praha (Prague school). Ia memaparkan, bahwa kecendikiaan bahasa ditandai oleh:

(a) kemampuan dalam membentuk dan menyampaikan pernyataan yang tepat, seksama dan kaya. (b) bentuk kalimatnya mencerminkan penelitian penalaran yang objektif sehingga relasi strukturnya sama dengan proposisi logika. (3) mampu menunjukkan antar kalimat yang selaras, logis, dan memiliki keutuhan. Dari tiga syarat tersebut dapat mempertimbangkan bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa Indonesia nusantara yang lainnya dalam memenuhi syarat sebagai ilmu bahasa. Semantik berhubungan erat dengan syarat ketiganya, bila dipahami melalui proposisi yang logis, tepat, selaras dan memiliki keutuhan (terutama dibidang acuan baik yang objektif maupun abstrak).

Dalam bidang semantik terdapat pembahasan mengenai homonimi atau dalam bahasa Arab dikenal dengan kata musytarak lafzi. Homonimi (musytarak lafzi) dapat diartikan sebagai nama sama untuk benda atau hal lain. Secara


(16)

2

semantik Verhaar (1978) memberi definisi homonimi (mustarak lafzi) sebagai

ungkapan yang berupa (kata, frase, atau kalimat). Yang bentuknya sama dengan ungkapan lain yang berupa (kata, frase, atau pun kalimat) tetapi maknanya tidak sama.1

Homonimi (musytarak lafzi) adalah relasi makna antar kata yang tertulis

sama, tetapi maknanya berbeda. Di dalam kamus kata-kata yang termasuk homonimi muncul sebagai lema (entri) yang terpisah. Misalnya saja, kata kha.tam dalam kamus Besar Bahasa Indonesia muncul sebagai dua lema:

Kha.tam kl n cincin materai; cincin stempel.

Kha.tam v tamat; selesai;habis: al-Qur‟an telah dibacanya sampai--;2

Penulis tertarik dengan pembahasan homonim atau musytarak lafzi karena

dalam pembahasan tersebut sangat menarik untuk diteliti dari satu kata dapat memiliki berbagai makna, apalagi bila disatukan dengan berbagai kalimat yang berbeda. Tentu saja ia akan memiliki makna yang sangat bervariasi, dan ini akan menjadi pembahasan yang menarik untuk diteliti. Bagaimana seseorang yang tidak memiliki pengetahuan tentang bahasa Arab dapat mengerti dan memahami sebuah kata tersebut dan bahkan sebuah kalimat dalam al-Qur‟an bila ia

menemukan kata yang bermakna musytarak lafzi tanpa pengetahuan bahasa Arab

sedikit pun. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik sekali dalam membahasan

musytarak lafzi ini.

1

Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta : Rineka Cipta, 1994)h. 93 2 Departemen Pendidikan Nasional,

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 2006)h. 564


(17)

3

Dan musytarak lafzi sendiri merupakan salah satu kajian dalam al-Qur‟an.

al-Qur‟an sebagai kitab suci tidak hanya berisi mengenai kumpulan ayat-ayat yang tertulis dengan bahasa Arab, tetapi juga menjadi pedoman hidup umat Islam. Agar menjadi pegangan hidup, umat perlu mentafsirkan al-Qur‟an agar senantiasa dapat mengaplikasikan dirinya di dalam kehidupan. Hal ini tanpa terkecuali ayat-ayat teologis yang berkaitan dengan khalifah dan khatam.

Pengertian kata khatam sendiri dalam kamus Munjid fi Lughah wa

al-„Am kata متاخ artinya adalah هب متخيام (sesuatu yang menutup/ menyudahi

dengannya), dan ئش لك ةبقاع (akhir dari sebagala sesuatu) 3. Begitu juga penjelasan dalam kitab Lisan al-A‟arab kata al-khatim dan al-khatam artinya مهرخأ (yang terakhir dari mereka).4 Pada dasarnya kata khatam mempunyai tiga

arti yaitu: cincin, stempel/cap/segel dan penutup atau paling akhir.5 Sedangkan pada kata khalifah sendiri dalam kamus al-Munjid fi Lughah wa al-„Am bermakna

pengganti.

Pada ayat yang terdapat dalam Al-qur‟an dalam surat Al-Ahzab ayat 40 menyatakan:

3

Al-Munjid Fi al-Lughah wa A’la , h. 168 4

Imam al-Alamah Abu al-Fadl Jamaludin Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhur al- Afriqy

al-Mishriy, Lisan al- A’rab, ( Beirut: Dar Shadir, 1990), Jilid 12, cet. Ke- 1, hal. 164 5

Kamus Kotemporer Arab Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok


(18)

4























Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki diantara kamu, namun dia adalah Rasul Allah dan penutup para nabi. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Dalam pemaparan ayat di atas yang di kutip dari ringkasan tafsir Ibnu Katsir surat al-Ahzab ayat 40, bahwa makna kata tersebut adalah penutup para

nabi yaitu Rasul yang terakhir, dalam hadist riwayat Bukhori dan Muslim mengatakan Rasul berkata “aku memiliki banyak nama. Aku bernama

Muhammad, Ahmad, pemusnah kekafiran atas pertolongan Allah, pengumpul yang mengumpulkan manusia pada kedua kakiku, dan penumpas yang tiada lagi

nabi setelahnya”.6

Demikianlah Allah telah memberitahukan di dalam kitabnya dan Rasul memberitahukan di dalam sunahnya yang mutawatir bahwa tidak ada nabi setelahnya. Hal ini agar golongan jin dan manusia tahu bahwa jika ada nabi setelahnya maka itu pendusta. Begitulah kutipan makna tersebut yang terdapat pada terjemahan Tafsir Ibnu Katsir.

Salah satu contoh dari sekian banyak aliran yang memiliki seorang imam yang mengaku sebagai nabi adalah golongan Ahmadiah dengan imam mereka

6

Muhammad Nasib Ar- ifa’i, Kemudahan dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta : Gema Insani Press, 2001) h. 867


(19)

5

yang bernama Mirza Gulam Ahmad. Golongan ini memiliki keyakinan bahwa pintu kenabian masih terbuka. Mereka berkeyakinan bahwa pintu kenabian sesudah Nabi Muhammad masih ada nabi yang lain, dan untuk itu mereka mengajukan beberapa ayat al-Qur‟an dan hadist sebagai hujjah. 7 Sedangkan pada ajaran Ahmadiah sendiri memiliki doktrin-doktrin yang dikatagorikan sebagai doktrin terpenting di kalangan Ahmadiah, antara lain yaitu : tentang kenabian, al-mahdi dan al-masih, wahyu, khalifah, dan jihad.

Jelas bahwa golongan Ahmadiah memiliki pemahaman tersendiri tentang kenabian yang mereka pahami dan kekhalifahan yang mereka yakini dengan begitu yakinnya, tanpa ada keraguan sehingga bila mereka berselisih dengan orang yang tidak meyakini hal tersebut akan menjadi perdebatan yang sangat sengit.

Ayat di atas memaparkan dengan jelas bagaimana Allah telah berfirman bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir, sedangan kelompok Ahmadiah memiliki pemahaman yang sangat kontras. Atas dasar tersebut, penulis menulis skripsi yang berjudul AKURASI PENERJEMAHAN KATA KHALIFAH DAN KHATAM DALAM WACANA KEAHMADIAHAN

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

7

H. Mahmud Ahmad Chema, Tiga Masalah Penting, (Bandung : Jemaat Ahmadiah


(20)

6

Penjelasan latar belakang di atas telah jelas memaparkan bagaimana kata

khatam dan khalifah menarik dibahas dalam suatu skripsi. Berdasarkan latar

belakang di atas pula, maka penulis membatasi permasalahan ini dengan ayat-ayat yang berisi tentang kata khatam dan khalifah.

Setelah memaparkan latar belakang, maka merasa perlu untuk memberikan pembatasan dan rumusan masalah, yaitu terjemahan al-Qur‟an dan

wacana-wacana tentang keahmadiahan.

Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:

1) Bagaimana Ahmadiah memahami kata khatam dan khalifah yang terdapat

dalam kitab suci al-Qur‟an?

2) Apakah pemahaman Ahmadiah terhadap ayat yang mengandung kata khatam

dan khalifah mengakibatkan perbedaan pemahaman bahkan perbedaan

teologis?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan latar belakang diatas, penelitian ini bertujuan untuk yaitu: 1) Agar masyarakat tidak keliru dalam memahami kata-kata yang

mengandung makna telogis terutama pada ayat yang mengandung kata


(21)

7

2) Mengetahui teori yang diyakini oleh para kelompok Ahmadiah dalam memahami kata khalifah dan khatam.

Penelitian ini memiliki manfaat diantaranya: 1) Manfaat teoritis yaitu:

a) Memberikan pengetahuan baru bagi yang mempelajari Bahasa Arab terutama penerjemahan, yaitu pengetahuan tentang perubahan makna terhadap penerjemahan.

2) Manfaat praktis yaitu:

a) Memberikan pengetahuan pada masyarakat luas bagaimana kata khalifah dan khatam bila dipahami dengan keliru maka

akan menjadi perubahan bagi teologi seseorang.

D. Metodologi Penelitian

Berdasarkan tujuan penulisan yang telah penulis kemukakan, maka jenis penelitian yang akan penulis lakukan adalah penelitian analisis deskriptif berdasarkan teori yang dipakai yaitu terjemahan al-Qur‟an, wacana-wacana Ahmadiah, dan doktrin-doktrin Ahmdiah. Sebagaimana telah disebutkan pada judul skripsi ini.


(22)

8

Pertama, data sendiri diperoleh melalui kajian lapangan yang bersumber

dari pengurus-pengurus Ahmadiah cabang Bungur dengan melakukan wawancara dan pengajuan pertanyaan mengenai bagaiman kata khalifah dan khatam sendiri

dalam versi Ahmadiah, sejarah Ahmadiah, dan seluk beluk Ahmadiah lainnya secara tertulis dengan jawaban yang dijawab secara tertulis pula.

Kedua, penelusuran literatur, yakni dengan mencari data-data yang

terdapat dalam literatur yang ada kaitannya dengan penelitian yang sedang dilakukan.

Berdasarkan tingkat kebutuhan, sumber data dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua bagian : data primer dan data skunder. Sumber data primer adalah dengan cara mengumpulkan data-data dari al-Qur‟an yang

diterjemahkan, pengumpulan wacana-wacana tentang Ahmadiah dan buku-buku tentang Ahmadiah dan ajaran-ajarannya sebagai bahan primer. Sedangkan untuk bahan sekunder adalah dengan mengumpulkan dari berbagai literatur yang relevan dengan pokok permasalahan baik artikel, majalah, internet, maupun dari buku-buku lain yang berkaitan erat dengan penelitian ini.

Data yang sudah didapat diolah menggunakan metode deskriptif analisis. Data-data yang terkumpul, diklasifikasikan sesuai dengan bab yang dibutuhkan. Setelah sumber data terklasifikasikan kemudian disusun menjadi laporan penelitian secara deskriptif dan data tersebut menganalisa dengan menggunakan teori kontrastif yang berkaitan juga dengan makna leksikal untuk lebih mengetahui bagaimana perbedaan antara makna khalifah dan khatam versi


(23)

9

Ahmadiah dan versi Sunnah wal jama‟ah dan diberi analisa-analisa untuk memberikan keteranagn lebih lanjut. “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Yang berlaku dilingkungan UIN Syarif Hidayatullah, yang

ditulis oleh Azyumardi Azra. Yang diterbitkan oleh CeQDA “Center for Quality Development and Assurance “UIN Jakarta 2007”

E. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini terdiri atas IV bab, yaitu:

Bab I penulis akan menulis pendahuluan yang terdiri atas : latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan bab yang terdiri atas: gambaran umum tentang penerjemahan yang di dalamnya terdapat definisi penerjemahan, jenis penerjemahan, tahap penerjemahan: tahap analisis, tahap pengaliahan, tahap penyerasian, penerjemahan Al-Qur‟an. Pengertian homonimi, homonimi dalam bahasa Arab, homonimi dalam bahasa Indonesia dan aliran-aliran teologi.

BaB III Merupakan bab yang terdiri atas: sejarah berdirinya Ahmadiah, sejarah singkat masuknya Ahmadiah ke Indonesia, dan doktrin-doktrin teoligi Ahmadiah.

Bab IV Merupakan hasil analisis dari “hasil terjemahan kata khalifah dan khatam” dengan melakukan analisis dalam wacana keahmadiahan dan dalam


(24)

10

perspektif para ahlu sunnah wal jama‟ah dengan memaparkan bagaimana pemahaman pada masyarakat luas juga.


(25)

11

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Gambaran Umum Tentang Penerjemahan

1. Definisi Penerjemahan

Definisi penerjemahan dalam arti luas adalah “semua kegiatan manusia

dalam mengalihkan makna atau pesan, baik verbal maupun non verbal dari informasi asal atau informasi sumber (source information) ke dalam informasi

sasaran (target information(.”8Sedangkan definisi terjemahan dalam arti sempit

adalah “suatu proses pengalihan pesan yang terdapat di dalam teks bahasa sumber

(source linguistik) dengan kesepadanan di dalam bahasa ke dua atau bahasa

sasaran (target language(.”9

Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, dalam buku mereka The Theory and Practice of Translation, memberikan definisi terjemahan sebagai berikut:

“Translating consist in reproducing in the receptor languange the closest natural

equivalent of the source language message, first in the terms of meaning secondly in terms of style.” (menerjemahkan berarti menciptakan padanan yang dekat

dalam bahasa penerima terhadap pesan bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua pada gaya bahasa).

8

Suhendra Yusuf, Teori Terjemah(Pengantar kearah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik), (Bandung: PT.Mandar Maju, 1994). Cet ke-1. h. 8

9


(26)

12

Di sini Nida dan Teber tidak mempermasalahkan bahasa yang terlibat dalam penerjemahan, tetapi lebih tertarik pada cara kerja penerjemahan. Seperti yang dikutip oleh Simatupang yakni mencari padanan alami yang semirip mungkin sehingga pesan dalam bahasa sumber bisa disampaikan dalam bahasa sasaran.10Sehingga orang yang membaca atau mendengar pesan itu dalam bahasa sasaran pesannya sama dengan pesan orang yang membaca atau mendengar pesan itu dalam bahasa sumber.

Menurut resensi Willie Koen, Nida dalam bukunya mengajarkan bahwa cara baru menerjemahkan haruslah fokus pada respon penerima pesan. (cara lama berfokus pada bentuk pesan). Itu berarti terjemahan dapat dikatakan baik, bila benar-benar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sasaran (bahasa penerima) tidak boleh menyimpang dari makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sumber, itulah sebabnya Nida mengatakan bahwa didalam bahasa penerima harus terdapat “The closest natural equivalent of the source language message, first in

the terms of meaning secondly in terms of style.” Akan tetapi, ekuivalen itu haruslah natural (wajar, sesuai dengan langgam atau idiom bahasa kita sendiri).

Catford (1965) menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikan sebagai “The replacement of

textual material in one languange (SL) by equivalent textual material in another

10


(27)

13

language (TL).”11(Mengganti bahasa teks dalam bahasa sumber dengan bahasa

teks yang sepadan dalam bahasa sasaran). Newmark (1998) juga memberikan definisi serupa, namun lebih jelas lagi: “Rendering the meaning of a teks into another languange in the way that the author intended the texs” (Menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai yang dimaksud pengarang).

Pada definisi di atas tidak ditemukan tentang makna. Sementara itu secara garis besar terjemahan tidak dapat dipisahkan dari persoalan makna atau informasi. Sebagai ganti dari konsep makna adalah materi tekstual yang sepadan. Kesepadanan yang dimaksud materi tekstual oleh Catford tidak harus naskah tulis.

Sedangkan Zahrudin mengatakan bahwa: “penerjemahan bisa berasal dari bahasa tulisan atau pun bahasa lisan.” Ungkapan lain tentang hakikat penerjemahan yang dikemukakan oleh Julian House dalam disertasinya mengatakan bahwa

penerjemahan adalah “Penggantian kembali naskah bahasa yang secara semantik dan pragmatik sepadan.”12

Pada hakikatnya “esensi terjemahan itu terletak pada makna dari dua bahasa yang berbeda.”13Oleh karena itu, House pun menjelaskan bahwa makna

ber-aspek semantik erat kaitannya dengan makan denotativ, yaitu makna yang terdapat dalam kamus (makna leksikal) dan makan beraspek pragmatik bertautan dengan makna konotatif, yaitu makna yang berarti kiasan.

11

Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah. (Jakarta : PT Grasindo. Anggota IKAPI, 2000)h. 5

12

Nurrahman Hanafi, Teori dan Sastra Menerjemahkan, (NTT :Nusa Indah, 1996). Cet. Ke-1.h.26 13


(28)

14

Dengan melihat definisi di atas, baik definisi penerjemahan dalam arti luas atau sempit, baik tinjauan semantik atau linguistik, sekilas masing-masing definisi tersebut berbeda-beda, yang sebenarnya mempunyai muatan yang sama, yaitu adanya persamaan yang penyesuaian pesan yang disampaikan oleh penulis naskah dengan pesan yang diterima pembaca.

2. Jenis Penerjemahan

Dalam praktek penerjemahan, diterapkan beberapa jenis penerjemahan. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

a) Adanya perbedaan bahasa sumber dan sistem bahasa sasaran. b) Adanya perbedaan jenis materi teks yang diterjemahkan. c) Adanya anggapan bahwa terjemahan adalah alat komunikasi. d) Adanya perbedaan tujuan dalam menerjemahkan suatu teks.

Dalam kegiatan menerjemah sesungguhnya, keempat faktor tersebut tidak selalu berdiri sendiri dalam arti bahwa “ada kemungkinan kita menetapkan dua atau tiga jenis penerjemahan sekaligus dalam menerjemahkan sebuah teks.”14

Ada beberapa jenis terjemahan yang dapat kita terapkan dalam kegiatan penerjemahan, diantaranya:

14

M. Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1991). Cet. Ke-1


(29)

15

a) Penerjemahan Kata Demi Kata

Penerjemahan ini disebut juga dengan interlinear translation, yaitu

susunan kata bahasa sumber (BSU) dipertahankan dan kata-kata diterjemahkan satu persatu dengan makna yang paling umum. Metode ini bertujuan untuk memahami mekanisme dalam bahasa sumber (BSU) maupun untuk menganalisis teks yang sulit sebagai proses penerjemahan.

b) Penerjemahan Harfiah

Penerjemahan harfiah ini menggunakan metode konvensi, yaitu konstruksi gramatikal bahasa sumber (BSU) dikonveksikan kepadanan bahasa sasaran (BSA) yang paling dekat tetapi kata-kata leksikal masih diterjemahkan kata per kata. Penerjemahan ini memang akan membingungkan pembaca, oleh karean itu, penerjmah harus memberikan keterangan tambahan berupa catatan kaki (Foot Note). Biasanya metode penerjemahan ini digunakan dalam menerjemahkan

al-Qur‟an.

c) Penerjemaha Setia

Penerjemahan ini merupakan proses menghasilkan kembali makna kontekstual bahasa sumber (BSU) yang tepat, dengan mentransfer kata kultural dan tetap mempertahankan tingkat ketiakwajaran gramatikal dan leksikal dalam proses penerjemahan. Dalam metode penerjemahan ini, masih mempertahankan kata-kata yang bermuatan budaya, dan diterjemahkan secara harfiah.


(30)

16

d) Penerjemahan Semantik

Penerjemahan ini sudah luwes, artinya sudah tidak mempertahankan lagi tingkat ketidakwajaran gramatikal dan leksikal dalam proses penerjemahan. Penerjemahan ini masih mempertimbangkan unsur estetika teks BSU dengan memadankan makna selama masih dalam batas kewajaran. Dibandingkan dengan penerjemahan lain.15Penerjemahan semantik lebih fleksibel.

e) Penerjemahan Adaptasi

Penerjemahan ini merupakan bentuk terjemahan bebas yang biasa dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi. Biasanya antara tema, karakter, dan plot masih dipertahankan, dan peralihan budaya bahasa sumber (BSU) ke dalam budaya sasaran (BSA) ditulis kembali kedalam bahasa sasaran (BSA).

f) Penerjemahan Bebas

Penerjemahan ini merupakan metode yang mengutamakan isi dan bukan mengorbankan bentuk teks bahasa sumber (BSU). Umumnya penerjemahan ini berbentuk parafrase yang dapat lebih pendek atau lebih panjang dari teks aslinya dan biasa dipakai di kalangan media masa.

g) Penerjemahan Idiomatik

Penerjemahan ini dipakai dalam penerjemahan teks idiom atau istilah-istilah idiomatis. Penerjemahan ini bertujuan memproduksi pesan dalam teks

15

Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, (Jakarta : P.T Grasindo,Anggota IKAPI, 2000), h.52


(31)

17

bahasa sumber (BSU) dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada naskah aslinya, sehingga terjadi distorsi nuansa makna.

h) Penerjemahan Komunikatif

Penerjemahan ini merupakan upaya memberikan makna kontekstual bahasa sumber (BSU) yang tepat, sehingga isi dan bahasanya dapat diterima dan dimengerti oleh pembaca. Metode ini tetap memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi seperti kalayak pembaca dan tujuan penerjemahan, sehingga teks sumber dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi.

Menurut Manna al-Qathathan, terjemahan dapat digunakan pada dua arti:

1) Terjemahan harfiah, yaitu mengalihkan lafal-lafal yang serupa dari suatu bahasa ke dalam lafal-lafal yan serupa dari bahasa lain sedemikian rupa. Sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama.

2) Terjemahan tafsiriyah atau terjemahan maknawiyah, yaitu menjelasan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terkait dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.

3. Tahap-Tahap Penerjemahan


(32)

18

Ketika seseorang ingin menuliskan semua kehendaknya ia ingin menyampaikan sesuatu kepada pembacanya. Hal ini juga berlaku bagi teks ekspresif (pewujudan persamaan) seperti puisi. Mustahil seseorang penulis puisi menulis sesuatu tanpa ingin perasaannya diwujudkan dalam puisi tersebut juga dirasakan orang lain. dengan demikian, setiap teks tentunya bukanlah hal yang saklar. Justru karena tidak saklar itulah maka suatu teks bahasa sumber perlu dianalisis terlebih dahulu sebelum diterjemahkan.

Analisis itu bisa berupa pertanyaan seputar teks seperti: Apa maksud pengarang menuliskan teks itu?Apakah untuk menjelaskan sesuatu (eksposisi), ataukah untuk bercerita (narasi), atau untuk mempengaruhi pendapat umum (persuasi), ataukah suatu ajakan sendiri? Bagaimana pengarang atau penulis menyampaikan maksud tersebut? Bagaimana pengarang mewujudkan gaya tersebut dalam pemilihan kata, frase, dan kalimat? Sesudah mempunyai gambaran yang jelas, barulah ia dapat memulai proses selanjutnya.

2) Tahap Pengalihan

Seorang penerjemah dalam tahap ini berupaya untuk menggantikan unsur teks bahasa sumber (BSU) dengan unsur teks bahasa sasaran (BSA) yang

sepadan.”sepadan pada segala unsur alam teks, baik dalam bentuk maupun isinya

disepadankan tapi kesepadanan bukanlah kesamaan.”16

Pada tahapan pengalihan, seorang penerjemah mengajukan beberapa pertanyaan sebagai upaya pertimbangan dalam melakukan kegiatan pengalihan.

16


(33)

19

Diantaranya adalah: Apakah maksud yang ingin disampaikan pengarang tersebut harus dipertahankan dalam teks terjemahan? Jawaban dasar terhadap pertanyaan ini adalah: penerjemah harus mempertahankan maksud yang ingin disampaikan pengarang.

Pertanyaan selanjutnnya yang mungkin timbul dalam tahap pengaliahan ini adalah: Bagaimana penerjemah menyampaikan maksud yang sepadan tersebut kedalam bahasa sasaran? Apakah masih dapat digunakan kalimat-kalimat yang serupa? Misalnya, Bagaiman kalimat-kalimat informasi dalam bahasa sumber dapat tetap terasa memberikan informasi dalam bahasa sasran? Alat bahasa apakah yang dipergunakan dalam hal ini?

Namun, apabila teks sumber yang diterjemahkan sangat sukar dan melibatkan kata-kata yang bermakna ganda. Kata-kata yang bermakna emosi dan sebagainya . penerjemahan dapat saja bolak-balik dari tahap analisis ke pengalihan dan sebagainya sampai ia yakin yang harus dijalani adalah tahap penyerasian.

3) Tahap Penyerasian

Pada saat ini penerjemah dapat menyelesaikan bahasanya yang masih terasa kaku untuk disesuaikan dengan kaidah bahasa sasaran. Disamping itu, mungkin juga terjadi penyerasian dalam hal peristilahan, misalnya apakah menggunakan istilah yang umum digunakan ataukah yang baku.

Pada tahap penyerasian ini, penerjemah dapat melakukannya sendiri, atau membiarkan orang lain melakukakannya. Akan lebih baik apabila penyerasian itu


(34)

20

dilakukan oleh orang lain. ada dua alasan untuk hal ini, pertama, penerjemah biasanya sulit mengoreksi pekerjaannya sendiri, karena secara spikoligis ia akan beranggapan bahwa terjemahannya sudah tepat, bahasanya sudah cukup alamiah dan wajar, dan sebagainya. Kedua, penerjemah sebaikknya merupakan pekerjaan suatu team.17Dalam hal ini, penerjemah terus menerjemahkan, sedangkan kegiatan penyerasian dilakukan oleh orang lain. Namun tidak ada salahnya apabila penerjemah sendiri yang melakukan penyerasian mereka masing-masing. Kebanyakan masyarakat barat mengerti mengenai ajaran agama islam dan

al-Qur‟an berdasarkan apa yang telah diterjemahkan oleh kelompok orientalis

kedalam bahasa mereka. Baik mereka pada akhirnya mencaci al-Qur‟an atau

justru masuk kedalam islam karena terjemahan al-Qur‟an tersebut. Dengan adanya

penerjemahan yang dilakukan itu, seorang dapat mempelajari kandungan

al-Qur‟an terutama bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab (al-Qur‟an(

dengan baik.

Dengan begitu, penerjemahan al-Qur‟an sangatlah penting dan berperan sekali dalam mengkaji lebih dalam segala sesuatu yang terkandung dalam al-Qur‟an.

4) Penerjemahan Al-Qur’an

a) Sejarah Penerjemahan Al-Qur’an

Al-Qur‟anul Karim telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, misalnya: Latin, Inggris, Prancis, Belanda dan sebagainya. Untuk pertama kalinya al-Qur‟an

diterjemahkan pada tahun 1143 M, ke dalam bahasa Latin, sebagai bahasa ilmu di

17


(35)

21

Eropa waktu itu. Al-Qur‟an masuk ke Eropa melalui Andalus. Dari terjemahan

bahasa Latin inilah kemudian al-Qur‟an diterjemahkan ke dalam bahasa Itali, Jerman, dan Belanda oleh para orientalis barat. Pada umumnya penerjemah

al-Qur‟an oleh para orientalis iu mempunai kecenderungan atau tendensi negatif, yaitu menjelek-jelekan Islam, karena motif mereka bukan untuk menggali dan memahami petunjuk al-Qur‟an, melainkan demi kepentingan misi mereka menyudutkan Islam.

Maracci misalnya, di tahun 1689 mengeluarkan terjemahan al-Qur‟an ke

dalam bahasa Latin, dengan teks Arab dan berbagai nukilan dari dari berbagai tafsir dalam bahasa Arab yang dipilih demikian rupa, ditujukan untuk memberikan kesan buruk islam di Eropa. Maracci sendiri adalah orang yang pandai, dan dalam menerjemahkan al-Qur‟an itu jelas bertujuan untuk menjelek-jelekan Islam dikalangan orang-orang Eropa dengan mengambil pendapat ulama-ulama Islam sendiri, yang menurutnya menunjukan kerendahan Islam. Maracci adalah seorang Roma katolik dan terjemahannya itu ia persembahkan kepada Empero Romawi.

Terjemahan al-Qur‟an ke dalam bahasa Inggris, yang itu pun sesungguhnya sebagai hasil terjemahan dari bahasa Prancis, yang dilakukan oleh Du Ryer tahun 1647, untuk pertama kalinya dilakukan oleh A. Ross dan baru diterbitkan beberapa tahun setelah karya Du Ryer itu.

Mengingat luasnya tujuan-tujuan terselubung dari para orientalis yang non Islam dan anti Islam, dalam penerjemahan al-Qur‟an, menyebabkan penulis


(36)

-22

penulis muslim berusaha menerjemahkan al-Qur‟an ke dalam bahasa Inggris. Sarjana muslim pertama-tama melakukan penerjemahan al-Qur‟an ke dalam

bahasa Inggris ialah Dr. Muhammad Abdul Hakim Khan dari Patiala, pada tahun 1905 M. Mirza Hairat dari Delhi juga menerjemahkan al-Qur‟an dan diterbitkan di Delhi pada tahun 1919. Nawab Imadul Mulk Sayid Husein Bilgrami dari Hyderabad Dacca juga menerjemahkan sebagian al-Qur‟an. Ia meninggal sebelum menyelesaikannya. Ahmadiah Qadian juga menerjemahkan bagian pertama

al-Qur‟an pada tahun 1915, Ahmadiah Lahore juga menerbitkan terjemahan al

-Qur‟an Maulvi Muhammad Ali yang pertama terbit pada tahun 1917. Terjemahan

al-Qur‟an tersebut merupakan terjemahan ilmiah yang diberi catatan-catatan yang luas dan pendahuluan serta indeks yang cukup.

Terjemahan al-Qur‟an lain yang perlu disebutkan ialah terjemahan Hafidz

Ghulam Sarwar yang diterbitkan pada tahun 1930. Dalam terjemahannya ia memberikan ringkasan, surat demi surat, bagian demi bagian, tetapi tidak diberikan foot note pada terjemahan itu. Catatan-catatan yang dimaksud kiranya

sangat perlu untuk memahami ayat-ayat al-Qur‟an. Bahasa al-Qur‟an dengan

ungkapan-ungkapan yang kaya akan arti memerlukan catatan-catatan yang memadai. Marmaduke Pichtall juga menerjemahkan al-Qur‟an dan diterbitkan

pada tahun 1930. Ia adalah seorang muslim berkebangsaan Inggris yang pandai dan ahli dalam bahasa Arab.

Terjemahan ke dalam bahasa non Eropa dilakukan ke dalam bahasa-bahasa : Persia, Turki, Urdu, Benggali, Indonesia dan berbagai bahasa timur dan beberapa bahasa Afrika. Terjemahan al-Qur‟an yang pertama dalam non Eropa adalah ke


(37)

23

dalam bahasa Urdu yang dialakukan oleh Syah Abdul Qadir dari Delhi (wafat 1826). Setelah itu banyak juga yang lain menerjemahkan al-Qur‟an ke dalam bahasa Urdu tersebut, yang pada umumnya terjemahan - terjemahan itu tidak sampai selesai. Diantara terjemahan yang lengakap yang dipergunakan sampai sekarang ialah terjemahan Syah Rafiuddin dari Delhi, Syah Asyraf Ali Thanawi dan Mulvi Nazir Ahmad (wafat 1912).

Al-Qur‟anul Karim diterjemahkan kedalam bahasa Inonesia telah dilakukan oleh Abdul Ra‟uf Al-Fansuri, seorang ulama dari Singkel, pada pertengahan abad ke-17 M. Jelasnya ke dalam bahasa melayu, terjemahan tersebut bila dilihat dari segi ilmu bahasa atau tata cara bahasa Indonesia modern belum sempurna, namun pekerjaan itu sungguh besar artinya, terutama sebagai perinris awal.

Diantara terjemahan yang lain ialah terjemahan yang dilakukan oleh kemajuan Islam di Yogyakarta, al-Qur‟an Kejawean dan al-Qur‟an Sundawiyah, terbitan percetakan A.B Siti Syamsiah Solo, Tafsir Hidayaturrahman oleh K.H. Mahmus

Yunus (1935(, Al Furqan dan tafsir Qur‟an oleh A.Hasan dari Bandung (1928(,

Tafsir al-Qur‟an oleh H.Zainuddin Hamidi Cs (1959), Al Ibris disusun oleh K.H Bisyri Musthafa dari Rembang (1960) dan lain-lain. Dari terjemahan-terjemahan al-Qur‟an, ada yang lengkap dan ada yang tidak selesai. Terjemahan al-Qur‟an ke

dalam bahasa Indonesia yang kemunculannya menimbulkan pro dan kontra ialah bacaan mulia oleh kritikus sastra H.B Jassin, yang dalam terjemahan itu menggunakan pendekatan puitis.


(38)

24

Pemerintah RI menaruh perhatian besar terhadap upaya terjemahan al-Qur‟an

ini. Hal tersebut terlihat semenjak pola I pembangunan semesta berencana, sampai pada masa pemerintahan sekarang ini. Al-Qur‟an dan terjemahannya yang telah

beredar di masyarakat dan telah berulang kali dicetak ulang dengan penyempurnaan-penyempurnaan, adalah bukti nyata dari besarnya perhatian pemerintah terhadap penerjemahan al-Qur‟an itu.18

Dalam penerjemahan al-Qur‟an terdapat dua jenis terjemahan, yaitu:

a) Terjemahan al-Qur‟an harfiah

Terjemahan al-Qur‟an secara harfiah adalah terjemahan yang dilakukan dengan apa adanya, sesuai dengan susunan dan struktur dari bahasa sumber. Terjemahan harfiah dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang terdapat di dalam teks terlebih dahulu, setelah benar-benar di pahami kemudian dicari padanannya yang tepat ke dalam BSA.

Muhammad Husain Al-Dzahabi membagi terjemahan harfiah ini dalam dua bagian, yaitu:

Terjemahan Harfiah bi al-Mitsl, yaitu terjemahan yang dilakukan apa adanya,

terkait dengan susnan dan struktur bahasa sumber yang diterjemahkan.

Terjemah al-Qur‟an Bighairi al-Mitsl, pada dasarnya sama dengan terjemahan

sebelumnya, hanya saja sedikit lebih linggar keterkaitannya dengan sususnan dan struktur bahasa sumber yang akan diterjemahkan.

18

M. Ali Hasa da Rif’at “yau i Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1988), h. 177-180


(39)

25

1) Terjemahan al-Qur’an Tafsiriah

Terjemahan al-Qur‟an secara tafsiriah atau lebih yang lebih dikenal dengan penerjemahan maknawiyah yaitu penjelasan makna atau arti kata dengan bahasa lain, tanpa terkait dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimanya. Terjemahan ini lebih mengedepankan maksud atau isi kandungan yang terdapat dalam bahasa sumber yang diterjemahkan. Terjemahan ini tidak terkait dengan susunan dan struktur gaya bahasa yang diterjemahkna. Dengan kata lain dapat pula disebut dengan terjemahan bebas.

b) Perbedaan Penerjemahan Al-Qur’an dengan Tafsir

Sebelum penulis menjelaskan perbedaan penerjemahan dengan penafsiran, penulis ingin memaparkan tentang penafsiran terlebih dahulu.

Tafsir atau at-tafsir menurut bahasa mengandung arti antar lain yaitu:

1) Menjelaskan, menerangkan, ( ), yakni ada

sesuatu yang semula belum atau tidak jelas memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga jelas dan terang.

2) Keterangan sesuatu ( ), yakni perluasan dan pengembangan dari ungkapan-ungkapan yang masih sangat umum dan global, sehingga menjadi lebih terperinci mudah dipahami serta dihayati.


(40)

26

3) ( ), yakni (alat-alat kedokteran yang khusus dipergunakan untuk dapat mendeteksi/ mengetahui segala penyakit yang diderita seorang pasien). Kalu tafsiriah adalah alat kedokteran yang mengungkapkan penyakit dari seorang pasien, makna tafsir dapat mengeluarkan mkna yang tersimpan dalam kandungan ayat-ayat al-Qur‟an.

Tafsir menurut istilah (terminologis), para ulama memberikan rumusan yang berbeda-beda, karena perbedaan dalam titik pusat perhatiannya, walaupun arah dan tujuannya yang sama. Adapun definisi tafsir adalah sebagai berikut:

1) Menurut Syaih Thahir Al- Jazair, dalam At-Taujih:

“Tafsir pada hakikatnya ialah menerangkan (maksud( lafazh yang sukar

dipahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih menjelas pada maksud baginya, baik dengan mengemukakan sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim itu, atau dengan mengemukakan uraian yang mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalalah.”


(41)

27

“Pada asalnya tafsir berarti membuka atau melahirkan, dalam pengertian

syara‟, (tafsir) ialah menjelaskan makna ayat: dari segi segala persolannya,

kisahnya, asbabul nuzulnya, dengan menggunakan lafazh yang menunjukan

kepadanya secara terang.19

Terjemah, baik harfiah maupun tafsiriyah bukanlah tafsir, terjemah tidak

identik dengan tafsir. Banyak orang mengira bahwa terjemah tafsiriyah itu pada

hakikatnya adalah tafsir yang memakai bahasa non-Arab, atau terjemah tafsiriyah

itu adalah terjemah dari tafsir yang berbahasa Arab. Persoalan ini memang sejak dulu diperdebatkan dan diperselihsikan. Antara keduanya jelas ada unsur kesamaan, yaitu bahwa baik tafsir maupun terjemah bertujuan untuk menjelaskan.

Penjelasan tafsir ialah sesuatu maksud yang semula sulit dipahami, maka dengan penjelasan akan dapat mudah dipahami sedangkan terjemah juga menjelaskan makna dari suatu bahasa yang tidak dikuasai melalui suatu bahasa lain yang dikuasai. Ada unsur persamaan antara keduanya bukan berarti keduanya sama secara mutlak. Perbedaan-perbedan keduanya antara lain:

1) Pada terjemahan terjadi peralihan bahasa, dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, tidak ada lagi lafazh atau kosa kata pada bahasa sumber itu

19

M. Ali Hasa da Rif’at “yau i Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1988), h.139-141


(42)

28

melekat pada bahasa sasaran. Bentuk peenerjemahan telah lepas sama sekali dari bahasa yang diterjemahka. Tidak demikian halnya dengan tafsir. Tafsir selalu ada keterkaitan dengan bahasa sumbernya, dan dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa, sebagai lazimnya dalam penerjemahan. Yang terpenting dan menonjol dalam tafsir ialah ada penjelasan, baik penjelasan kata-kata mufradat (kosa kata) maupun penjelasan susunan kalimat.

2) Pada penerjemahan sekali-kali tidak boleh melakukan yakni penguraian luas melebihi dari sekedar mencari padanan kata, sedangkan dalam tafsir, pada kondisi tertentu, tidak hanya boleh melakukan penguraian meluas itu, tentu justru penguraian meluas itu wajib dilakukan, jika usaha menjelaskan makna ayat al-Qur‟an yang dikehendaki baru dapat

dicapai dengan mantap melalui penguraian masalahnya secara luas. Lagi pula dalam penerjemahan (terutama harfiah) makna yang diungkap sebaiknya tidak lebih dan tidak kurang dari bahasa sumber, sehingga bila terjadi kesalahan dalam bahasa sumber, niscaya kesalahan itu akan terjadi pula pada penerjemahannya. Berbeda dengan tafsir, bahwa yang dituntut dalam tafsir ialah menyampaikan pesan dari bahasa sumbernya. Terkadang penjelasan itu dapat dikembangkan ke arah pendapat yang beraneka ragam, melalui uaraian yang luas di atas. Itulah rahasianya, mengapa kebanyakan kitab-kitab tafsir al-Qur‟an memuat uraian luas yang beraneka


(43)

29

fiqih, asbabun nuzul, nasikh mansukh, ilmu kauniyat, ilmu

kemasyarakatan dan sebagainya.

3) Terjemah pada lazimnya mengandung tuntutan dipenuhi semua makna yang dikehendaki oleh bahasa sumber, tidak demikian halnya dengan tafsir. Yang menjadi pokok perhatiannya ialah tercapai penjelasan yang sebaik-baiknya, baik secara global maupun secara terperinci, baik mencakup keseluruhan makna saja, tergantung pada apa yang diperhatikan mufasir dan dua orang yang menerima tafsir itu.

4) Tafsir lazimnya mengandung tuntutan ada pengakuan, bahwa semua makna yang dimaksud, yang telah dialihbahasakan oleh penterjemah adalah makna yang ditunjuk oleh pembicara bahasa sumber dan memang itulah yang dikehendaki oleh penutur bahasa. Tidak demikian dengan tafsir. Dalam dunia tafsir soal pengakuan sangat relatif, tergantung pada faktor kredibilitas mufassirnya. Mufassir akan mendapatkan pengakuan jika dalam tafsir itu ia didukung oleh banyak dalil yang dikemukakannya, sebaliknya ia tidak akan mendapatkan pengakuan ketika hasil tafsirnya itu tidak didukung oleh dalil-dalil.

Demikian pula jika yang melakukan penafsiran itu orang yang sehaluan dengan pembaca atau yang mendengar hasil penafsiran, maka akan mendapat pengakuan, akan tetapi jika tidak sehaluan, mungkin pengakuan itu tidak ada, atau


(44)

30

jika ilmunya lebih rendah dari yang membaca atau yang mendengar hasil tafsiran itu, maka pengakuan pun tidak ada, demikian pula sebaliknya.20

B. Homonimi

1. Pengertian hominimi

Homonimi berasal dari bahasa kuno onoma artinya „nama‟ dan homo yang artinya „sama‟. Secara harfiah homonimi dapat diartikan sebagai “nama sama untuk benda atau hal lain”. secara semantik, Verhaar (1978( memberi definisi

hominimi sebagai ungkapan (berupa kata, frase, kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama.

Umpamanya kata “pacar” yang berati „inai‟ dengan “pacar” yang berarti „kekasih‟, antara kata “bisa” yang berarti „racun ular‟ dan kata “bisa” yang berarti „sanggup‟, atau „dapat‟. Contoh lain, antara kata “baku” yang berarti „standar‟

dengan kata “baku” yang berarti „saling‟. Atau antara kata “bandar” yang berarti

„pelabuhan‟ dengan “bandar” yang berarti „parit‟ dan “bandar” yang berati „pemegang uang dalam perjudian‟.

Hubungan antara kata “pacar” dengan arti „inai‟ dan kata “pacar” dengan arti

„kekasih‟ inilah yang disebut hominim. Jadi kata pacar yang pertama berhominimi

ini bersifat dua arah. Dalam kasus bandar yang terjadi cotoh di atas, homonimi ini terjadi pada tiga buah kata.

20

M. Ali Hasa da Rif’at “yau i Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1988), h.139-141


(45)

31

Hubungan antara dua kata yang berhomonim bersifat dua arah. Artinya, kalau

kata “bisa” yang berarti „racun ular‟ berhomonim dengan kata “bisa” yang berarti kata „sanggup‟, maka kata “bisa” yang berarti „sanggup‟ juga berhomonim dengan kata “bisa” yang berarti „racun ular‟. Kalau ditanyakan, bagaimana bisa terjadi

bentuk-bentuk yang homonimi ini? Ada dua kemungkinan sebab yang terjadinya homonimi.

Pertama, bentuk-bentuk hominimi itu berasal dari bahasa atau dialek yang

berlainan. Misalnya kata bisa yang berarti racun ular bersal dari bahasa melayu, sedangkan kata bisa yang berarti sanggup berasal dari bahasa jawa. Contoh lain

kata „bang‟ yang berarti “adzan” berasal dari bahasa jawa, sedangkan kata „bang‟ (kependean dari bang( yang berarti “kakak laki-laki” berasal dari bahasa

melayu/dialek Jakarta. Kata asal yang berarti pangkal bermula berasal dari bahasa melayu, sedangkan kata asal yang berarti kalau berasal dari dialek Jakarta.

Kedua, bentuk-bentuk yang bersinonim itu terjadi dari hasil proses

morfologis. Umpamanya kata mengukur dalam kalimat ibu sedang mengukur kelapa di dapur adalah berhomonimi dengan kata mengukur dalam kalimat petugas agraria itu mengukur luasnya kebun kami. Jelas, jelas kata mengukur yang pertama terjadi sebagai hasil poses pengimbuhan awalan me- pada kata kukur (me + kukur = mengukur), sedangkan kata mengukur yang kedua terjadi sebagai hasil proses pengimbuhan awalan me- pada kata ukur (me + ukur = mengukur).


(46)

32

Sama halnya dengan sinonimi dan antonimi, homonimi itupun dapat terjadi pada tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat.

Homonimi antar morfem, tentunya antara sebuah morfem terikat dengan morfem lainya. Misalnya, antar morfem-nya pada kalimat: ini buku saya, itu bukumu, dan yang disana buku-nya‟ berhomonimi dengan -nya pada kalimat

“mau belajar tetapi bukunya belum ada”.morfem -nya adalah kata ganti orang ketiga, sedangkan morfem -nya yang kedua menyatakan sebuah buku tertentu.

Homonimi antar kata, misalnya antara kata bisa yang berarti racun ular dan kata bisa yang berarti sanggup atau dapat seperti disebutkan dimuka.

Homonimi antar frase, misalnya antara frase cinta anak berarti perasaan cinta dari seorang anak kepada ibunya dan frase cinta anak yang berarti cinta kepada anak dari seorang ibu. Contoh lain, orang tua yang berarti ayah ibu dan frase orang tua yang berarti orang yang sudah tua. Juga antara frase lukisan Yusuf yang berarti lukisan hasil karya Yusuf, serta lukisan Yusuf yang berarti lukisan wajah Yusuf.

Homonimi antar kalimat, misalnya antara kata istri lurah yang baru itu cantik yang berarti lurah yang baru diangkat itu mempunyai istri yang cantik, dan kalimat istri lurah yang baru itu cantik yang berarti lurah itu baru menikah dengan seorang yang cantik.21

21


(47)

33

2. Homonim dalam Bahasa Arab

Homonim (Al-Musytarak Al-Lafzi)

Homonimi adalah beberapa kata yang sama, baik pelafalan maupun bentuk tulisannya, tetapi maknanya berlainan. Menurut Moelioni, homo sedikitnya mempunyai dua makna. Pertama, homo yang berasal dari bahasa latin yang

bermakna „manusia‟. Kedua, homo yang berasal dari bahsa Yunani yang

bermakna „sama‟. Dalam kasus ini, homo yang terdapat dalam homonim berasal

dari bahas Yunani. Setidaknya inilah yang dikemukakan oleh Mattews. Nim (Nym) sendiri merupakan combining form yang mempunyai kesamaan bentuk dan

pelafalan terapi maknanya berbeda. Oleh Fromkin dan Rodman (1998:163), homonim diperkenalkan dengan nama lain homofon. Untuk lebih sederhananya, Verhaar (1999:394) memperlambangkan hominim dengan X dan Y yang bermakna lain tetapi bentuknya sama.

Pengaruh bahasa (kata) asing kedalam bahas Indonesia ternyata mengakibatkan munculnya banyak homonimi. Hominim dalam bahasa Arab banyak sekali dapat ditemukan. Berikut contoh homonim dalam bahasa Arab:

a. Kata dharaba ( ) mempunyai arti (1) berdenyut; (2) mengepung; (3) memikat; (4) menembak; (5) memukul; (6) menyengat; (7) cenderung; (8) menentukan; (9) mengetuk. Semua kata dharaba yang mempunyai sedikitnya 9 arti ini semua dilafalkan dan bentuk sama.


(48)

34

b. Kata tawalla ( ) mempunyai arti (1) berkuasa; (2) menaruh perhatian; (3) mengendalikan diri; (4) mengerjakan; (5) mengemudikan; (6) memimpin. Semua kata tawalla yang mempunai sedikitnya 6 arti ini semuanya dilafalkan dalam bentuk sama

c. Kata rusyd ( ) mempunyai arti (1) dewasa; (2) sadar; (3) petunjuk; (4) rasio. Semua kata rusyd yang mempunyai sedikitnya 4 arti ini semuanya dilafalkan dan berbentuk sama.

d. Kata qabadha ( )mempunyai arti (menekan); (2) mengembalikan; (3) mengerutkan; (4) menyempitkan; (5) melepaskan; (6) meninggalkan; (7) bersegera. Semua kata qabadha yang mempunyai sedikitnya 7 arti semyanya dilafalkan dalam bentuk yang sama.

e. Tahlil n puji-pujian kepada Tuhan dengan menyebut laila ha ila llah.

Tahlil n pengesahan perwakilan antara suami dan sitri yang telah

bercerai tiga kali dengan perantaran muhalil.

f. Sirat n mata jala (jaring rajut), sirat n celah, sela (antara gigi dan gigi),

sirat n jembatan.

3. Homonimi Dalam Bahasa Indonesia

Seed (2000:63) menyebutkan bahwa homonimi adalah relasi antara kata fonologis yang sama namun maknanya tidak berhubungan. Definisi ini agak


(49)

35

berbeda dengan definisi Matthews (1997: 164) yang menyebutkan homonimi sebagai relasi antara kata-kata yang bentuknya sama namun maknanya berbeda dan tidak bisa dihubungkan. Menurut pendapat saya, definisi homonimi menurut Saeed rancu dengan definisi homofon, sedangkan definisi homonimi menurut Matthews rancu dengan definisi homograf. Hominimi seharusnya mencakup relasi antara kata yang pengucapannya dan bentuknya sama, namun maknanya tidak berhubungan.

Berikut contoh homonim dalam bahasa Indonesia

 Rapat (berdempat-dempat) dengan kata rapat (meeting)

 Beruang (hewan) dengan kata beruang (punya uang)

 Bisa (dapat) dengan kata bisa (racun ular)

 Pacar (inai) dengan kata pacar (kekasih)

 Bandar (pelabuhan, dengan bandar (parit) , bandar (pemegang uang dalam perjudian)

C. Pengertian Khalifah dan Khatam

1. Pengertian Khatam

Pengertian kata khatam sendiri dalam kamus Munjid fi Lughah wa


(50)

36

dengannya), dan (akhir dari sebagala sesuatu) 22. Begitu juga penjelasan dalam kitab Lisan al-A‟arab kata al-khatim dan al-khatam artinya

(yang terakhir dari mereka).23 Pada dasarnya kata khatam mempunyai

tiga arti yaitu: cincin, stempel/cap/segel dan penutup atau paling akhir.24 Sedangkan pada kata khalifah sendiri dalam kamus al-Munjid fi Lughah wa al-„Am bermakna pengganti.

Perkataan khatam akan berubah-ubah maknanya sesuai dengan kata yang ada

didepannya atau yang merangkainya. Sebagaimana dalam kamus Kotemporer Arab Indonesia, jika dirangkaikan dengan kata emas maka artinya adalah cincin

namun apabila dirangkai dengan kata nabi maka artinya adalah nabi penutup. Perbedaan penafsiaran atas lafazh khatam al-nabiyyin telah muncul berbagai

persoalan pelik yang seolah tanpa penyelesaian bahan permasalahnnya berujung pada perpecahan dikalangan umat muslim sendiri, hal ini dikarenankan dampak dari perbedaan itu sesudah menyentuh pada permasalahan aqidah.

Pendapat pertama tentang khatam yang memiliki penafsiran yang

menghasilkan pemahaman bahwa rasul adalah rasul terakhir dan penutup para nabi, sehingga dengan demikian diperoleh kesimpulan akhir bahwa pintu kenabian telah tertutup, dan tidak ada lagi nabi atau pun rasul setelah rasul wafat.

22

Al-Munjid Fi al-Lughah wa A’la , h. 168 23

Imam al-Alamah Abu al-Fadl Jamaludin Muhammad ibn Mukrim ibn Manzhur al- Afriqy al-Mishriy, Lisan al- A’rab, ( Beirut: Dar Shadir, 1990), Jilid 12, cet. Ke- 1, hal. 164

24

Kamus Kotemporer Arab Indonesia (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum Pondok Pesantern Krapyak, 1996), cet. Ke-1 , hal. 814


(51)

37

Pendapat kedua adalah atas khatam tidak dipahami dengan sebagai rasul

terakhir atau penutup para rasul, akan tetapi dipahami dengan berbagai penafsiran yang berbeda yang berada di luar konteks itu. Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa pintu kenabian masih terbuka, Muhammad bukanlah rasul atau nabi terakhir. Dan masih akan ada nabi atau rasul yang akan di utus setelah beliau. Pada umumnya penafsiran seperti ini dianut oleh sekelompok atau aliran aliran yang menganggap imam atau pemimpin mereka sebagai seorang nabi yang meneruskan perjuangan dakwah nabi Muhamad seperti aliran ahmadiah.

2. Pengertian Khalifah

Pengertian khalifah adalah seseorang yang diangkat oleh seorang penguasa

atau masyarakat untuk menjalankan kekuasaan dan wewenangnya. Ini disebut

“pengemban amanah” atau wakil. Untuk menjalankan tugasnya dalam memimpin

suatu kelompok atau masyarakat.

Menurut ajaran islam setiap orang itu, adalah khalifah dimuka bumi ini. Yaitu khalifah sebagai pengemban amanah dan tugas dari tuhan untuk menjaga dan

melestaraikan bumi ini.

Di dalam Al-Qur‟an orang yang mengembankan amanat disebut khalifah dan


(52)

38

Kata khalifah secara syara‟ berasal dari kata, . Yang berarti

mengganti atau memberi ganti. Ada juga yang mengatakan berasal dari kata yang berarti menggantikan dan menempati tempatnya.

Khalifah berasal dari kata bahasa Arab yang berarti “wakil, pengganti, atau

duta” yakni pengganti tuhan dan mengganti nabi Muhammad dalam fungsi sebagai kepala negara.

Khalifah juga berarti wakil, deputi atau pengganti. Kata lain dan gelar khalifah

adalah imam “pemimpin”. Khususnya pemimpin dalam shalat atau komandan

kaum muslimin yang diberikan kepada mereka yang menggantikan nabi, sebagai penguasa riil atau nominal dunia islam, gelar lengkapnya adalah khalifah rosulullah25

Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata khalifah mempunyai tiga arti, yakni:

pertama, wakil (pengganti) nabi Muhammad setelah nabi Muhammad wafat, dalam mengurus urusan agama dan negara, yang melakasanakan syari‟at islam

dan hukum negara. Kedua, digunakan untuk gelar kepada agama atau raja – raja di negara islam. Yang ketuga, penguasa atau pengelola.26 Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia, dikatakan bahwa kata khalifah itu berasal dari kata kerja khalafa yang

berat pengganti atau pengurus. Sebuah istilah klasik bagi pemimpin yang tertinggi di dunia islam.

Kata khalifah bersinonim dengan kata imanah, menurut Syaikh Abu Zahra di

dalam diskursusnya, dikatakan khalifah karena ia menjadi pemimpin yang

tertinggi dalam menggantikan peran Rasullulah dalam memgatur urusan kaum muslim, dan dia dinamakan imam, karena khalifah juga bertindak selaku imam

bagi masyarakatnya.

25 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Kamus Besar Kebudayaan Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), cet ke-4, hal. 497

26

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Kebudayaan Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1995), cet ke-4, hal. 497


(53)

39

Pada masa Khalifah Rasyidin, istilah khalifah belum digunakan sebagai nama

atau gelar yang menunujukan pada suatu jabatan “kepala pemerintah”. Ketika Abu

Bakar terpilih jadi penganti rasul, sebutan ini merupakan gelar khusus baginya sebagai pengganti yang melanjutkan tugas nabi Muhammad untuk memimpin masyarakat dalam urusan agama dunia.

Pengertian ini terus berkembang pada arti yang lebih luas. Ini semua bermula dari Umar Bin Khatabb yang menyebut dirinya Khalifah Rasul. Yakni pengganti

rasul hingga pada masa Ustman Bin Affan dia disebur sebagai Khalifah Allah.

Gelar ini pertama kali diberikan oleh Zaid Bin Tsabit, salah seorang sahabat rasul. Kata ini diucapkannya untuk meguji Utsman Bin Affan.

Mulai saat ini kata khalifah menjadi populer hingga masa Ali Bin Thalib. Pada

masa pemerintahan Bani Umayyah makna khalifah mengalami perkembangan makna, yakni Khalifah Allah”wakil allah di muka bumu” bukan lagi Khalifah Rasul “pengganti rosul”, sedangkan pada masa Abasiyah makna khalifah

menjadikan sebuah kedudukan yang sangat tinggi yakni “Khalifatullah Fi al -Ard” atau bayangan-bayangan Allah di muka bumi.

Dalam islam kata khilafah dan khalifah sama artinya denag imanah. Khilafah

merupakan refleksi dari kepemimpinan dakwah islamiah yang melaksanakan konstitusi islam di wilayah tertentu. Abu Baqar berkata: khalifah adalah orang

yang menggantikan orang lain, sedangkan khalifah adalah niyabah (perwakilan)

dari orang lain. karena kepergiannya atau karena kematian, khalifah atau khilafah


(54)

40

mengatakan khalifah itu adalah orang yang mengemban amanah dan dia sebagai

seorang wakil.

Sedangkan kata khalifah menurut syara‟, para ulama berbeda pendapat, ada

yang mengatakan khalifah adalah pengganti rasul dalam melaksanakan syariat

Islam. Sedangkan Imam Baydlawi mengatakan, khalifah adalah pribadi yang

menggantikan rasul dalam menegakkan syariat Islam. Menjaga agama, di mana dia wajib di taati oleh seluruh kaum muslim. Perbedaan ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan terhadap makna khalifah27

Kata khalifah (pengganti) di dalam Al-Qur‟an terdapat tiga pengertian:

Khalifah yang dipergunakan untuk nabi-nabi yang seakan-akan menjadi

pengganti Allah di dunia

Khaliafah yang diartikan sebagai kaum yang datang kemudian. Dalam

pengertian ini diartikan sebagai pengganti nabi, dipilih oleh kaumnya sendiri. Seperti contoh adalah Khalifah Abu Bakar

Khalifah dipergunakan untuk para pengganti nabi karena mereka

mengikuti jejak para nabi sebelum mereka. Khalifah-khalifah semacam itu

dapat dianggkat oleh tuhan sebagaimana nabi yang diangkat oleh tuhan sendiri. Khalifah yang berpangkat nabi ini adalah pembantu bagi nabi

yang sebelumnya atau pada masa umpamanya nabi Harun adalah khalifah

nabi Musa. Dari ketiga pengertian tersebut dapat diambil satu kesimpulan,

27

Syamsuddin Ramdhan, Menegakkan Kembali Khalifah Islamiah (Jakarta: Daftar Pustaka Panjimas, 2003), hal. 1-3


(55)

41

kalau khalifah adalah pemimpin-pemimpin rohani. Diantara sekian banyak nabi dan rasul yang disebutkan dalam Al-Qur‟an hanya beberapa orang

saja yang menjadi pemimpin rohani dan sekaligus pemimpin pemerintah. Pemaknaan sebuah kata atau bahasa sangat erat kaitannya dengan budaya yang melatar belakanginya. Karena suatu bahasa merupakan alat komunikasi, maka manusia sebagai pemakai bahasa selalu berusaha untuk memaknai bahasa itu sesuai dengan perkembangan manusia tersebut agar komunikasi yang dibangun selalu relevan dengan kondisi masyarakat tersebut. Demikian juga halnya dengan apa yang penulis bahas pada skripsi ini, yaitu tentang khalifah dan khatam.


(56)

42

BAB III

TENTANG AHMADIAH

A. Sejarah Berdirinya Ahmadiah

Sejak kekalahan Turki Usmani dalam serangan ke benteng Wina pada tahun 1683, pihak Barat mulai bangkit menyerang Kerajaan tersebut, dan serangan itu lebih efektif lagi ke abad 18. Kemudian pada abad berikutnya Bangsa-Bangsa Barat ini mulai aktif menjajah ke daerah-daerah yang didudukinya, seperti Inggris menjajah India dan Mesir, Prancis dapat menguasai Afrika Utara, dan bangsa-bangsa Eropa yang lain menjajah daerah-daerah Islam yang lain. Gerakan kononialisasi ini disebabkan oleh berbagai macam penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan industri, misalnya ditemukannya alat transportasi dengan tenaga uap tahun 1902 M, mesin cetak tahun 1814 M, kapal uap pertama menjelajahi jarak antar kota Liver Pool dan Glasgow tahun 1815 M, telegraf tahun 1820 M, jaringan kereta api dibuka di Inggris tahun 1825 M, mesin elektromagnetik tahun 1820 M, dan terusan Suez dibangun tahun 18833-1865 M.

Kemunculan Ahmadiah di India merupakan salah satu bagian dari peristiwa sejarah dalam Islam yang tidak lepas dari konteks sosial pada saat itu. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, bahwa kerajaan Islam yang menguasai anak Benua India adalah Kerajaan Mughal (1526-1858) yang saat ini sedang menuju kehancuran. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: pertama, melemahnya


(57)

43

pejabat pemerintahan pasca Aungrazeb.28Kedua, adanya pemberontakan yang

dilakukan secara terus menerus oleh golongan Hindu dan Sikh di India29. Walaupun India berada dalam wilayah kekuasaan kerajaan Islam Mughal, tetapi mayoritas penduduknya masih tetap beragama Hindu, sebagian lain beragama Kristen, Budha, dan Sikh. Tercatat telah terjadi pemberontakan Sikh yang dipimpin guru Tegh Bhadur dan guru Gobin Singh. Golongan Rajput juga mengadakan pemberontakan dibawah pimpinan Raja Udaipur, sedangkan golongan Sikh dibawah pimpinan Banda yang berhasil merampas kota Sadhaura di sebelah utara Delhi, dan mengadakan perampasan serta pembunuhan terhadap penduduk yang beragama Islam di kota Sirhind. Selain itu golongan Maratha yang dipimpin Raji Rao dapat merampas sebagian daerah Gujarat tahun 1732 M30.

Ketiga, adanya campur tangan Inggris yang datang ke India sejak abad ke-15,

terutama setelah pecahnya revolusi India yang terkenal dengan pemberontakan Munity tahun 1857 M. Pemberontakan ini berakhir dengan kemenangan East India Company, dimana Inggris menjadikan India sebagai salah satu kolonialnya yang terpenting di dunia dengan utuhnya kerajaan Mughal di India. Namun bila runtuh kerajaan Mughal di India maka secara otomatis pula akan meruntuhkan pula kekuasaan politik Islam dan inilah periode yang gelap bagi umat Islam. Inggris menduduki India dan menggantikan pemerintahan umat Islam dengan membawa kebudayaan Eropa.

28

Iskandar Zulkarnaen, Ahmadiah di Indonesia : sebuah titik yang dilupa, (Jakarta : Pustaka Zaman, 2001), h. 47

29 Harun Nasution,

Pembaharuan Dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), h.19 30


(58)

44

Situasi keagamaan menjelang kelahian Ahmadiah ditandai dengan gencarnya gerakan misi-misi Kristen di seluruh dunia yang dilakukan sejak tahun 1804 M, khususnya ketika British dan Foreign Bible Soiety terbentuk. Kelompok Kristen

menetapkan pada tahun 1814-1815 M sebagai The Great Century of World Evangelization (abad agung penginjilan di dunia), dimana anak benua India

merupakan sebuah sasaran yang dijadikan sebuah proyek besar bagi gerakan penginjilan atau kristenisasi, sehingga jutaan orang masuk ke dalam agama Kristen melalui gerakan-gerakan missionaris Kristen.

Ketika penginjilan dijalankan dan kondisi umat Islam India yang mundur, maka banyak pula bermunculan kelompok Neo-Hindu, di antaranya yang paling militan dan agresif adalah sekte Arya Samaj (Aryan Society) yang berkembang

cukup pesat, khususnya di daerah Punjab. Arya Samaj merupakan gerakan yang ingin mengembalikan kemurnian agama Hindu dan menampilkannnya sebagai suatu kebanggaan nasional India, menentang pemahaman-pemahaman Hindu Brahma yang ortodoks, dan sering melancarkan serangan besar-besaran terhadap ajaran Kristen dan Islam. Gerakan ini sudah dikembangkan dari tahun 1865 M oleh Swami Dayananda Saraswati yang digelari Hindu Luther oleh penentangnya. Ia menulis sebuah kitab Veda yang menggambarkan sikap Hindu terhadap agama-agama lainya, dan terhadap permasalahan-permasalahan sosial kontemporer.

Keadaan tersebut makin diperparah dengan kondisi intelektualitas dan moral umat Islam yang sangat memprihatinkan. Masyarakat India saat ini seakan telah terbiasa meminum khamar, menghisap candu, dan melacur. Di sisi lain seperti dalam beribadah, mereka malas datang ke masjid sehingga banyak masjid menjadi


(59)

45

kosong, serta sering terjadi pertarungan antara sesama kelompok muslim yang disebabkan perbedaan yang sepele, dan mengganggap sebagai pengabdian yang paling besar terhadap Islam dengan mencap muslim lainnya sebagai kafir.

Menanggapi kondisi yang terjadi saat ini, seorang yang menjadi pendiri Ahmadiah, Mirza Ghulam Ahmad mengatakan:

“Sayang sekali masjid-masjid pada zaman kita ini keadaannya sangat memprihatinkan. Sekiranya seseorang berkeinginan mengimami shalat di masjid-masjid seperti itu, imam-imam yang resmi tidak mau bertoleransi. Sebabnya sudah dimaklumi oleh semua orang bahwa mengimami shalat telah menjadi semacam bisnis bagi imam-imam ini. Lima kali sehari mereka bukan memasuki tempat shalat, melainkan cenderung seperti memasuki toko demi melayani para pelanggan. Mereka beserta keluarganya hidup dari penghasilan itu. Orang-orang pergi ke pengadilan bila terdapat perselisihan mengenai apakah seseorang tertentu akan meneruskan sebagai imam atau tidak. Banyak para Maulvi memasukkan permohonan naik banding di pengadilan untuk memperoleh keputusan hukum tentang kedudukan mereka sebagai imam.

Ahmadiah lahir di India yang akhir abad ke-19 di tengah suasana kemunduran umat Islam India di bidang agama, sosial, politik, ekonomi, dan bidang kehidupan lainnya dan juga sebagai protes terhadap keberhasilan kaum missionaris Kristen memperoleh pengikut-pengikut baru. Selesain itu, sebagai protes terhadap paham rasionalis dan westernisasi yang dibawa oleh Sayyid Ahmad Khan yang merupakan orang pertama yang membawa ide-ide pembaharuan untuk


(60)

46

kepentingan kemajuan Islam di India dengan Alirannya. Pusatnya ialah Muhammedan Anglo Oriental College yang kemudian ditingkatkan menjadi universitas31.

Satu-satunya sekte baru di India dalam Islam yang lahir dan berhasil menuntut H.A.R. Gibb adalah kelompok Ahmadiah. Menurutnya, Ahmadiah merupakan sekte yang berawal sebagai gerakan pembaharuan yang bersifat liberal dan cinta damai dengan maksud menarik perhatian orang-orang yang telah kehilangan kepercayaan terhadap Islam dengan pemahaman yang lama. Pendirinya, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan bahwa dirinya tidak hanya sebagai al-Mahdi Islam

dan al-Masih bagi umat Kristen, tetapi juga sebagai Avatar (inkarnasi) Krishna.

Kelahiran Ahmadiah juga berorientasi pada pembaruan pemikiran. Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku telah diangkat Tuhan sebagai Mahdi dan al-Masih merasa memiliki tanggung jawab besar yang harus dipikulnya untuk

memajukan Islam dengan memberikan interpretasi baru terhadap ayat-ayat

al-Qur‟an sesuai dengan tuntunan zaman.

Sebagai salah satu aliran keagamaan yang bertahan hingga saat ini, sejarah berdirinya Ahmadiah dan tentunya tidak dapat dipisahkan dari sejarah Mirza Ghulam Ahmad sendiri sebagai pendirinya. Mirza Ghulam Ahmad lahir saat subuh, hari jum‟at, tanggal 13 februari 1835 M/ 14 Syawal 1250 H di Qaddian,

India. Qadian adalah nama sebuah desa yang terletak di Distrik Gurdaspur Punjab India, jaraknya 100 km di sebelah Timur laut kota Lahore. Asal-usul kata Qadian

31


(1)

90 Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan Kamu khalifah di muka bumi, maka berikanlah keputusan di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan Kamu dari jalan Allah. sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena Mereka melupakan hari perhitungan.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir mengenai ayat ini dijelaskan, pesan Allah kepada para penguasa agar memberikan keputusan diantara manusia dengan kebenaran yang telah diturunkan dari sisi-Nya, tidak menyimpang dari kebenaran itu. Jika menyimpang, maka mereka sesat dan melupakan hari perhitungan suatu siksaan yang amat pedih.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibrahim Abu Zur‟ah, Dia seorang yang

dalam pengetahuan-Nya tentang al-Kitab bahwa sesungguhnya Walid bin Abdil

Malik telah mengatakan kepadanya, “Apakah seorang khalifah akan dihisab?

Sebab engkau telah membaca kitab perjanjian lama dan al-Qur‟an, dan engkau

adalah seorang faqih. “Aku menjawab, “Wahai Amirullah Mukminin, haruskah

aku katakan?” Dia menjawab, “Katakanlah demi amanat Allah. “ Aku menjawab , “Wahai Amirul Mukminin, engkau yang lebih mulia di sisi Allah ataukah Daud? Sesungguhnya, Allah telah menyatukan baginya kenabian dan kekhalifahan, kemudian Allah mengancam dia didalam Kitab-Nya, „Hai Daud, sesunggguhnya Kami menjadikan Kamu khalifah di muka bumi, maka berikanlah keputusan diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena dia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah! Dan firman Allah, Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena


(2)

91

mereka melupakan hari perhitungan. „as-Sidi berkata, maksudnya, bagi mereka

adalah siksa yang hebat lantaran mereka telah meninggalkan amal untuk hari perhitungan.

Pemaknaan kata khalifah yang bermakan pemimpin versi Ahmadiah

Berbeda dengan Ahamdaih Qadian, Ahmadiah Lahore dengan dasar al-Quran surat an-Nur dan wasiat Mirza Ghulam Ahmad, maka berakhir sudah khalifah dalam Ahmadiah, bagi Ahmadiah Lahore. Setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal tampuk kepemimpinan dan keputusan tertinggi berada di tangna Sadr Anjuman Ahmadiah, sementara dengan sangat diplomatis aliran ini mengatakan bahwa seandainya masih dibutuhkan khalifah, maka tidak wajib ditaati karena khalifah hanya berfungsi sebagai penerima bai‟at saja. Sedangkan tanggung jawab kepemimpinan tetap berada ditangan pusat Anjuman Ahmadiah dan keputusan wajib ditaati. Ahmadiah Lahore juga mengatakan bahwa setelah khalifah Rasyidah dan termasuk Ghulam Ahmad tidak ada lagi khalifah, yang ada hanyalah mujaddid yang muncul setiap satu abad sekali48.

Pandangan Ahmadiah Lahore tentang khalifah ini merupakan pemicu dari perpecahan Ahmadiah. Ada beberapa faktor yang menyebabkan perbedaan tersebut, diantaranya adalah pertama, perbedaan penafsiran surat dan wasiat Mirza Ghulam Ahmad. Kedua, perbedaan penafsiran terhadap surat an-Nur ayat 55, tetapi yang jadi permasalahan selanjutnya adalah sikap kontroversial sistem

48


(3)

92 khalifah sebagimana Ahmadiah Qadian. Penolakan ini muncul setelah khalifah I Maulana Hakim meninggal pada tahun 1914 M.

Ahmadiah Lahore mengingkari kebenaran khalifah dalam Ahmadiah setelah sistem itu berlangsung selama satu periode kekhalifahan, padahal jika mereka ingin menolak sitem tersebut disampaikan setelah Mirza Ghulam Ahmad meninggal. Hal tersebut mengandung kontroversial dikalangan pemerhati Ahmadiah. Bahkan muncul isu negatif bahwa penganut Ahmadiah Lahore melakukan hal itu karena kekalahan politik pada masa pemilihan khalifah II, sehingga mereka memisahkan diri dari Ahmadaih Qadian49.

Di sini penulis melihat bahwa dalam mamaknai kata khalifah yang bermakna pemimpin ini memiliki sudut pandang yang berbeda antara pendapat ahlusunnah wal jama‟ah dengan kelompok Ahmadiah, karena kelompok Ahmadiah memaknai kata khalifah dengan membahas bagaimana suatu kelompok mereka dapat menguasai kelompok yang lainya tanpa melihat pada sisi negatif dampak yang terjadi bila mereka saling bercerai berai. Dan ironisnya, antara kelompok Ahmadiah Qadian dan Ahmadiah Lahore saling berselisih politik siapa yang pemimpinya memimpin tongkat khalifah pada masa itu maka yang akan berkuasa adalah kelompok tersebut. Apabila tongkat kepemimpiannya jatuh di tangan kelompok lain maka kelompok yang lain tersebut akan keluar dan memiliki pemahaman yang berbeda tentang makna khaliafah itu sendiri.

49


(4)

93 Berbeda dengan makna khalifah yang bermakana pemimpin yang terdapat dalam al-Qur‟an, disitu Allah menjelaskan bahwa sang pemimpinlah yang memiliki begitu banyak beban karena ia harus menjalankan perintah Allah tanpa harus mendahulukan hawa nafsu sedikitpun karena itu akan menyesatkan sedangkan di kelompok Ahmadiah sendiri mereka lebih mementingkan kepentingannya dari pada kepentingan ajarnnya kalau sampai bercerai berai hanya karna pemimpin kelompoknya tidak memenagkan pemilihan khalifah menurut versi mereka.

Terlihat jelas sekali penulis melihat bahwa kata musytarak lafzi dalam kata khatam dan khalifah memang banyak dan masing-masing mempunyai makna yang berbeda-beda dan juga mempunyai pemahaman yang berbeda.

Melihat dari terjemahan Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Mishbah dengan dibandingkan dengan pemahaman kelompok Ahmadiah tentang makna kata khatam dan khalifah sangat berbeda sekali, kelompok Ahmadiah sampai membajak al-Qur‟an diperuntukan agar pemahaman mereka dapat diterima umat Islam yang lainnya. Bukankah itu hal yang sangat menyesatkan.

Dengan berbagai cara mereka membenarkan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah rasul utusan Allah, tetapi ironisnya mereka saling berselisih paham antara satu dengan yang lainya dalam memaknai kata khalifah itu sendiri.


(5)

94

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, diantara terjemahan Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Mishbah dengan pemahaman kelompok Ahmadiah sangat kontras sekali, kelompok Ahmadiah menghalalkan segala cara demi mendapatkan pengakuan dari unat Islam yang lain bahwa Mirza Ghulam Ahmad dapat diterima sebagai rasul penerus nabi Muhammad dengan membajak

al-Qur‟an, memakai hadits nabi dengan pemaknaan yang berbeda, dan lain

sebagainya.

Hanya karena berbeda pendapat dalam memaknai satu kata yaitu kata khatam yang terdapat dalam al-Qur‟an surat al-Ahzab ayat 40 seseorang dapat berbeda pemahaman pula, perbincangan mengenai hakikat kata khalifah dan khatam menjadi titik poin yang sangat sensitif sekali. Kesalahan dalam menangkap kata khalifah dan khatam dapat berakibat fatal. Banyak orang yang salah memahami kata tersebut dan berujung mereka mengikuti aliran lain, khususnya pada ayat al-Qur‟an kata khalifah dan khatam sangat sensitif sekali pemaknaannya. Iman merupakan gambaran akidah manusia sebenarnya.

Masalah keyakinan bersangkut dengan hati, sedangkan kemampuan kita untuk mengetahuinya sangat terbatas, yaitu hanya melalui ucapan dan perilaku.


(6)

95 Dengan demikian, kita harus menjadikan ucapan dan perilaku sebagai bukti keyakinan yang tersimpan didalam hati agar tidak terjerumus pada akhirnya.

Melihat dari kesimpulan diatas, agaknya akan menjadi tantangan besar bagi penerjemah Indonesia untuk dapat menciptakan sebuah terjemahan al-Qur‟an dengan menyelaraskan kebudayaan bangsa kita yang majemuk dan problematika kekinian. Hal ini diperlukan karena konteks budaya kita yang berbeda jauh dengan konteks budaya timur tengah di mana al-Qur‟an diwahyukan. Sedangkan ayat-ayat al-Qur‟an berlaku secara universal, disemua tempat diseluruh dunia dan sepanjang zaman. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat teknis dapat dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi zaman, selama tak menyimpang dari garis norma dan kaidah ketatabahasaan yang berlaku. Dan agar tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan lagi agar mereka tahu manakah penafsiran pada ayat al-Qur‟an yang benar dan yang salah agar tidak terjadi kekeliruan yang berkelanjutan.