11
BAB II KERANGKA TEORI
A. Gambaran Umum Tentang Penerjemahan
1. Definisi Penerjemahan
Definisi penerjemahan dalam arti luas adalah “semua kegiatan manusia dalam mengalihkan makna atau pesan, baik verbal maupun non verbal dari
informasi asal atau informasi sumber source information ke dalam informasi sasaran target information
.”
8
Sedangkan definisi terjemahan dalam arti sempit adalah “suatu proses pengalihan pesan yang terdapat di dalam teks bahasa sumber
source linguistik dengan kesepadanan di dalam bahasa ke dua atau bahasa sasaran target language
.”
9
Eugene A. Nida dan Charles R. Taber, dalam buku mereka The Theory and Practice of Translation
, memberikan definisi terjemahan sebagai berikut: “Translating consist in reproducing in the receptor languange the closest natural
equivalent of the source language message, first in the terms of meaning secondly in terms of style.
” menerjemahkan berarti menciptakan padanan yang dekat dalam bahasa penerima terhadap pesan bahasa sumber, pertama dalam hal makna
dan kedua pada gaya bahasa.
8
Suhendra Yusuf, Teori Terjemah Pengantar kearah Pendekatan Linguistik dan Sosiolinguistik, Bandung: PT.Mandar Maju, 1994. Cet ke-1. h. 8
9
Ibid., h. 8
12
Di sini Nida dan Teber tidak mempermasalahkan bahasa yang terlibat dalam penerjemahan, tetapi lebih tertarik pada cara kerja penerjemahan. Seperti
yang dikutip oleh Simatupang yakni mencari padanan alami yang semirip mungkin sehingga pesan dalam bahasa sumber bisa disampaikan dalam bahasa
sasaran.
10
Sehingga orang yang membaca atau mendengar pesan itu dalam bahasa sasaran pesannya sama dengan pesan orang yang membaca atau mendengar pesan
itu dalam bahasa sumber. Menurut resensi Willie Koen, Nida dalam bukunya mengajarkan bahwa
cara baru menerjemahkan haruslah fokus pada respon penerima pesan. cara lama berfokus pada bentuk pesan. Itu berarti terjemahan dapat dikatakan baik, bila
benar-benar dapat dipahami dan dinikmati oleh penerimanya. Makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sasaran bahasa penerima tidak boleh
menyimpang dari makna dan gaya atau nada yang diungkapkan dalam bahasa sumber, itulah sebabnya Nida mengatakan bahwa didalam bahasa penerima harus
terdapat “The closest natural equivalent of the source language message, first in
the terms of meaning secondly in terms of style.” Akan tetapi, ekuivalen itu haruslah natural wajar, sesuai dengan langgam atau idiom bahasa kita sendiri.
Catford 1965 menggunakan pendekatan kebahasaan dalam melihat kegiatan penerjemahan dan ia mendefinisikan sebagai
“The replacement of textual material in one languange SL by equivalent textual material in another
10
Maurust Simatupang, Enam Makalah Tentang Penerjemahan. Jakarta: PT. UKI. 1993h. 3
13
language TL. ”
11
Mengganti bahasa teks dalam bahasa sumber dengan bahasa teks yang sepadan dalam bahasa sasaran. Newmark 1998 juga memberikan
definisi serupa, namun lebih jelas lagi: “Rendering the meaning of a teks into
another languange in the way that the author intended the texs” Menerjemahkan makna suatu teks ke dalam bahasa lain sesuai yang dimaksud pengarang.
Pada definisi di atas tidak ditemukan tentang makna. Sementara itu secara garis besar terjemahan tidak dapat dipisahkan dari persoalan makna atau
informasi. Sebagai ganti dari konsep makna adalah materi tekstual yang sepadan. Kesepadanan yang dimaksud materi tekstual oleh Catford tidak harus naskah tulis.
Sedangkan Zahrudin mengatakan bahwa: “penerjemahan bisa berasal dari bahasa tulisan atau pun bahasa lisan.” Ungkapan lain tentang hakikat penerjemahan yang
dikemukakan oleh Julian House dalam disertasinya mengatakan bahwa penerjemahan adalah “Penggantian kembali naskah bahasa yang secara semantik
dan pragmatik sepadan.”
12
Pada hakikatnya “esensi terjemahan itu terletak pada makna dari dua bahasa yang berbeda.”
13
Oleh karena itu, House pun menjelaskan bahwa makna ber-aspek semantik erat kaitannya dengan makan denotativ, yaitu makna yang
terdapat dalam kamus makna leksikal dan makan beraspek pragmatik bertautan dengan makna konotatif, yaitu makna yang berarti kiasan.
11
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah. Jakarta : PT Grasindo. Anggota IKAPI, 2000h. 5
12
Nurrahman Hanafi, Teori dan Sastra Menerjemahkan, NTT :Nusa Indah, 1996. Cet. Ke-1.h.26
13
Ibid,. h. 27
14
Dengan melihat definisi di atas, baik definisi penerjemahan dalam arti luas atau sempit, baik tinjauan semantik atau linguistik, sekilas masing-masing definisi
tersebut berbeda-beda, yang sebenarnya mempunyai muatan yang sama, yaitu adanya persamaan yang penyesuaian pesan yang disampaikan oleh penulis naskah
dengan pesan yang diterima pembaca.
2. Jenis Penerjemahan
Dalam praktek penerjemahan, diterapkan beberapa jenis penerjemahan. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
a Adanya perbedaan bahasa sumber dan sistem bahasa sasaran.
b Adanya perbedaan jenis materi teks yang diterjemahkan.
c Adanya anggapan bahwa terjemahan adalah alat komunikasi.
d Adanya perbedaan tujuan dalam menerjemahkan suatu teks.
Dalam kegiatan menerjemah sesungguhnya, keempat faktor tersebut tidak selalu berdiri sendiri dalam arti ba
hwa “ada kemungkinan kita menetapkan dua atau tiga jenis penerjemahan sekaligus dalam menerjemahkan sebuah teks.”
14
Ada beberapa jenis terjemahan yang dapat kita terapkan dalam kegiatan penerjemahan, diantaranya:
14
M. Rudolf Nababan, Teori Menerjemahkan Bahasa Inggris, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1991. Cet. Ke-1
15
a Penerjemahan Kata Demi Kata
Penerjemahan ini disebut juga dengan interlinear translation, yaitu susunan kata bahasa sumber BSU dipertahankan dan kata-kata diterjemahkan
satu persatu dengan makna yang paling umum. Metode ini bertujuan untuk memahami mekanisme dalam bahasa sumber BSU maupun untuk menganalisis
teks yang sulit sebagai proses penerjemahan.
b Penerjemahan Harfiah
Penerjemahan harfiah ini menggunakan metode konvensi, yaitu konstruksi gramatikal bahasa sumber BSU dikonveksikan kepadanan bahasa sasaran BSA
yang paling dekat tetapi kata-kata leksikal masih diterjemahkan kata per kata. Penerjemahan ini memang akan membingungkan pembaca, oleh karean itu,
penerjmah harus memberikan keterangan tambahan berupa catatan kaki Foot Note
. Biasanya metode penerjemahan ini digunakan dalam menerjemahkan al- Qur‟an.
c Penerjemaha Setia
Penerjemahan ini merupakan proses menghasilkan kembali makna kontekstual bahasa sumber BSU yang tepat, dengan mentransfer kata kultural
dan tetap mempertahankan tingkat ketiakwajaran gramatikal dan leksikal dalam proses penerjemahan. Dalam metode penerjemahan ini, masih mempertahankan
kata-kata yang bermuatan budaya, dan diterjemahkan secara harfiah.
16
d Penerjemahan Semantik
Penerjemahan ini sudah luwes, artinya sudah tidak mempertahankan lagi tingkat ketidakwajaran gramatikal dan leksikal dalam proses penerjemahan.
Penerjemahan ini masih mempertimbangkan unsur estetika teks BSU dengan memadankan makna selama masih dalam batas kewajaran. Dibandingkan dengan
penerjemahan lain.
15
Penerjemahan semantik lebih fleksibel.
e Penerjemahan Adaptasi
Penerjemahan ini merupakan bentuk terjemahan bebas yang biasa dipakai dalam penerjemahan drama atau puisi. Biasanya antara tema, karakter, dan plot
masih dipertahankan, dan peralihan budaya bahasa sumber BSU ke dalam budaya sasaran BSA ditulis kembali kedalam bahasa sasaran BSA.
f Penerjemahan Bebas
Penerjemahan ini merupakan metode yang mengutamakan isi dan bukan mengorbankan bentuk teks bahasa sumber BSU. Umumnya penerjemahan ini
berbentuk parafrase yang dapat lebih pendek atau lebih panjang dari teks aslinya dan biasa dipakai di kalangan media masa.
g Penerjemahan Idiomatik
Penerjemahan ini dipakai dalam penerjemahan teks idiom atau istilah- istilah idiomatis. Penerjemahan ini bertujuan memproduksi pesan dalam teks
15
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemah, Jakarta : P.T Grasindo,Anggota IKAPI, 2000, h.52
17
bahasa sumber BSU dengan menggunakan kesan keakraban dan ungkapan idiomatik yang tidak didapati pada naskah aslinya, sehingga terjadi distorsi
nuansa makna.
h Penerjemahan Komunikatif
Penerjemahan ini merupakan upaya memberikan makna kontekstual bahasa sumber BSU yang tepat, sehingga isi dan bahasanya dapat diterima dan
dimengerti oleh pembaca. Metode ini tetap memperhatikan prinsip-prinsip komunikasi seperti kalayak pembaca dan tujuan penerjemahan, sehingga teks
sumber dapat diterjemahkan menjadi beberapa versi. Menurut Manna al-Qathathan, terjemahan dapat digunakan pada dua arti:
1 Terjemahan harfiah, yaitu mengalihkan lafal-lafal yang serupa dari suatu
bahasa ke dalam lafal-lafal yan serupa dari bahasa lain sedemikian rupa. Sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan
tertib bahasa pertama. 2
Terjemahan tafsiriyah atau terjemahan maknawiyah, yaitu menjelasan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terkait dengan tertib kata-
kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.
3. Tahap-Tahap Penerjemahan
1 Tahap Analisa
18
Ketika seseorang ingin menuliskan semua kehendaknya ia ingin menyampaikan sesuatu kepada pembacanya. Hal ini juga berlaku bagi teks
ekspresif pewujudan persamaan seperti puisi. Mustahil seseorang penulis puisi menulis sesuatu tanpa ingin perasaannya diwujudkan dalam puisi tersebut juga
dirasakan orang lain. dengan demikian, setiap teks tentunya bukanlah hal yang saklar. Justru karena tidak saklar itulah maka suatu teks bahasa sumber perlu
dianalisis terlebih dahulu sebelum diterjemahkan.
Analisis itu bisa berupa pertanyaan seputar teks seperti: Apa maksud pengarang menuliskan teks itu?Apakah untuk menjelaskan sesuatu eksposisi,
ataukah untuk bercerita narasi, atau untuk mempengaruhi pendapat umum persuasi, ataukah suatu ajakan sendiri? Bagaimana pengarang atau penulis
menyampaikan maksud tersebut? Bagaimana pengarang mewujudkan gaya tersebut dalam pemilihan kata, frase, dan kalimat? Sesudah mempunyai gambaran
yang jelas, barulah ia dapat memulai proses selanjutnya.
2 Tahap Pengalihan
Seorang penerjemah dalam tahap ini berupaya untuk menggantikan unsur teks bahasa sumber BSU dengan unsur teks bahasa sasaran BSA yang
sepadan.”sepadan pada segala unsur alam teks, baik dalam bentuk maupun isinya disepadankan tapi kesepadanan bukanlah kesama
an.”
16
Pada tahapan pengalihan, seorang penerjemah mengajukan beberapa pertanyaan sebagai upaya pertimbangan dalam melakukan kegiatan pengalihan.
16
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemahan, Jakarta :PT. Grasindo, 2000, h.50
19
Diantaranya adalah: Apakah maksud yang ingin disampaikan pengarang tersebut harus dipertahankan dalam teks terjemahan? Jawaban dasar terhadap pertanyaan
ini adalah: penerjemah harus mempertahankan maksud yang ingin disampaikan pengarang.
Pertanyaan selanjutnnya yang mungkin timbul dalam tahap pengaliahan ini adalah: Bagaimana penerjemah menyampaikan maksud yang sepadan tersebut
kedalam bahasa sasaran? Apakah masih dapat digunakan kalimat-kalimat yang serupa? Misalnya, Bagaiman kalimat-kalimat informasi dalam bahasa sumber
dapat tetap terasa memberikan informasi dalam bahasa sasran? Alat bahasa apakah yang dipergunakan dalam hal ini?
Namun, apabila teks sumber yang diterjemahkan sangat sukar dan melibatkan kata-kata yang bermakna ganda. Kata-kata yang bermakna emosi dan sebagainya .
penerjemahan dapat saja bolak-balik dari tahap analisis ke pengalihan dan sebagainya sampai ia yakin yang harus dijalani adalah tahap penyerasian.
3 Tahap Penyerasian
Pada saat ini penerjemah dapat menyelesaikan bahasanya yang masih terasa kaku untuk disesuaikan dengan kaidah bahasa sasaran. Disamping itu, mungkin
juga terjadi penyerasian dalam hal peristilahan, misalnya apakah menggunakan
istilah yang umum digunakan ataukah yang baku.
Pada tahap penyerasian ini, penerjemah dapat melakukannya sendiri, atau membiarkan orang lain melakukakannya. Akan lebih baik apabila penyerasian itu
20
dilakukan oleh orang lain. ada dua alasan untuk hal ini, pertama, penerjemah biasanya sulit mengoreksi pekerjaannya sendiri, karena secara spikoligis ia akan
beranggapan bahwa terjemahannya sudah tepat, bahasanya sudah cukup alamiah dan wajar, dan sebagainya. Kedua, penerjemah sebaikknya merupakan pekerjaan
suatu team.
17
Dalam hal ini, penerjemah terus menerjemahkan, sedangkan kegiatan penyerasian dilakukan oleh orang lain. Namun tidak ada salahnya apabila
penerjemah sendiri yang melakukan penyerasian mereka masing-masing. Kebanyakan masyarakat barat mengerti mengenai ajaran agama islam dan al-
Qur‟an berdasarkan apa yang telah diterjemahkan oleh kelompok orientalis kedalam bahasa mereka. Baik mereka pada akhirnya mencaci al-
Qur‟an atau justru masuk kedalam islam karena terjemahan al-
Qur‟an tersebut. Dengan adanya penerjemahan yang dilakukan itu, seorang dapat mempelajari kandungan al-
Qur‟an terutama bagi mereka yang tidak menguasai bahasa Arab al-Qur‟an
dengan baik.
Dengan begitu, penerjemahan al- Qur‟an sangatlah penting dan berperan sekali
dalam mengkaji lebih dalam segala sesuatu yang terkandung dalam al- Qur‟an.
4 Penerjemahan Al-Qur’an
a Sejarah Penerjemahan Al-Qur’an
Al- Qur‟anul Karim telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, misalnya:
Latin, Inggris, Prancis, Belanda dan sebagainya. Untuk pertama kalinya al- Qur‟an
diterjemahkan pada tahun 1143 M, ke dalam bahasa Latin, sebagai bahasa ilmu di
17
Rochayah Machali, Pedoman Bagi Penerjemahan, Jakarta :PT. Grasindo, 2000, h.50
21
Eropa waktu itu. Al- Qur‟an masuk ke Eropa melalui Andalus. Dari terjemahan
bahasa Latin inilah kemudian al- Qur‟an diterjemahkan ke dalam bahasa Itali,
Jerman, dan Belanda oleh para orientalis barat. Pada umumnya penerjemah al- Qur‟an oleh para orientalis iu mempunai kecenderungan atau tendensi negatif,
yaitu menjelek-jelekan Islam, karena motif mereka bukan untuk menggali dan memahami petunjuk al-
Qur‟an, melainkan demi kepentingan misi mereka
menyudutkan Islam.
Maracci misalnya, di tahun 1689 mengeluarkan terjemahan al- Qur‟an ke
dalam bahasa Latin, dengan teks Arab dan berbagai nukilan dari dari berbagai tafsir dalam bahasa Arab yang dipilih demikian rupa, ditujukan untuk
memberikan kesan buruk islam di Eropa. Maracci sendiri adalah orang yang pandai, dan dalam menerjemahkan al-
Qur‟an itu jelas bertujuan untuk menjelek- jelekan Islam dikalangan orang-orang Eropa dengan mengambil pendapat ulama-
ulama Islam sendiri, yang menurutnya menunjukan kerendahan Islam. Maracci adalah seorang Roma katolik dan terjemahannya itu ia persembahkan kepada
Empero Romawi. Terjemahan al-
Qur‟an ke dalam bahasa Inggris, yang itu pun sesungguhnya sebagai hasil terjemahan dari bahasa Prancis, yang dilakukan oleh Du Ryer tahun
1647, untuk pertama kalinya dilakukan oleh A. Ross dan baru diterbitkan beberapa tahun setelah karya Du Ryer itu.
Mengingat luasnya tujuan-tujuan terselubung dari para orientalis yang non Islam dan anti Islam, dalam penerjemahan al-
Qur‟an, menyebabkan penulis-
22
penulis muslim berusaha menerjemahkan al- Qur‟an ke dalam bahasa Inggris.
Sarjana muslim pertama-tama melakukan penerjemahan al- Qur‟an ke dalam
bahasa Inggris ialah Dr. Muhammad Abdul Hakim Khan dari Patiala, pada tahun 1905 M. Mirza Hairat dari Delhi juga menerjemahkan al-
Qur‟an dan diterbitkan di Delhi pada tahun 1919. Nawab Imadul Mulk Sayid Husein Bilgrami dari
Hyderabad Dacca juga menerjemahkan sebagian al- Qur‟an. Ia meninggal sebelum
menyelesaikannya. Ahmadiah Qadian juga menerjemahkan bagian pertama al- Qur‟an pada tahun 1915, Ahmadiah Lahore juga menerbitkan terjemahan al-
Qur‟an Maulvi Muhammad Ali yang pertama terbit pada tahun 1917. Terjemahan al-
Qur‟an tersebut merupakan terjemahan ilmiah yang diberi catatan-catatan yang luas dan pendahuluan serta indeks yang cukup.
Terjemahan al- Qur‟an lain yang perlu disebutkan ialah terjemahan Hafidz
Ghulam Sarwar yang diterbitkan pada tahun 1930. Dalam terjemahannya ia memberikan ringkasan, surat demi surat, bagian demi bagian, tetapi tidak
diberikan foot note pada terjemahan itu. Catatan-catatan yang dimaksud kiranya sangat perlu untuk memahami ayat-ayat al-
Qur‟an. Bahasa al-Qur‟an dengan ungkapan-ungkapan yang kaya akan arti memerlukan catatan-catatan yang
memadai. Marmaduke Pichtall juga menerjemahkan al- Qur‟an dan diterbitkan
pada tahun 1930. Ia adalah seorang muslim berkebangsaan Inggris yang pandai dan ahli dalam bahasa Arab.
Terjemahan ke dalam bahasa non Eropa dilakukan ke dalam bahasa-bahasa : Persia, Turki, Urdu, Benggali, Indonesia dan berbagai bahasa timur dan beberapa
bahasa Afrika. Terjemahan al- Qur‟an yang pertama dalam non Eropa adalah ke
23
dalam bahasa Urdu yang dialakukan oleh Syah Abdul Qadir dari Delhi wafat 1826. Setelah itu banyak juga yang lain menerjemahkan al-
Qur‟an ke dalam bahasa Urdu tersebut, yang pada umumnya terjemahan - terjemahan itu tidak
sampai selesai. Diantara terjemahan yang lengakap yang dipergunakan sampai sekarang ialah terjemahan Syah Rafiuddin dari Delhi, Syah Asyraf Ali Thanawi
dan Mulvi Nazir Ahmad wafat 1912. Al-
Qur‟anul Karim diterjemahkan kedalam bahasa Inonesia telah dilakukan oleh Abdul Ra‟uf Al-Fansuri, seorang ulama dari Singkel, pada pertengahan abad
ke-17 M. Jelasnya ke dalam bahasa melayu, terjemahan tersebut bila dilihat dari segi ilmu bahasa atau tata cara bahasa Indonesia modern belum sempurna, namun
pekerjaan itu sungguh besar artinya, terutama sebagai perinris awal. Diantara terjemahan yang lain ialah terjemahan yang dilakukan oleh kemajuan
Islam di Yogyakarta, al- Qur‟an Kejawean dan al-Qur‟an Sundawiyah, terbitan
percetakan A.B Siti Syamsiah Solo, Tafsir Hidayaturrahman oleh K.H. Mahmus Yunus 1935, Al Furqan dan tafsir Qur‟an oleh A.Hasan dari Bandung 1928,
Tafsir al- Qur‟an oleh H.Zainuddin Hamidi Cs 1959, Al Ibris disusun oleh K.H
Bisyri Musthafa dari Rembang 1960 dan lain-lain. Dari terjemahan-terjemahan al-
Qur‟an, ada yang lengkap dan ada yang tidak selesai. Terjemahan al-Qur‟an ke dalam bahasa Indonesia yang kemunculannya menimbulkan pro dan kontra ialah
bacaan mulia oleh kritikus sastra H.B Jassin, yang dalam terjemahan itu menggunakan pendekatan puitis.
24
Pemerintah RI menaruh perhatian besar terhadap upaya terjemahan al- Qur‟an
ini. Hal tersebut terlihat semenjak pola I pembangunan semesta berencana, sampai pada masa pemerintahan sekarang ini. Al-
Qur‟an dan terjemahannya yang telah beredar di masyarakat dan telah berulang kali dicetak ulang dengan
penyempurnaan-penyempurnaan, adalah bukti nyata dari besarnya perhatian pemerintah terhadap penerjemahan al-
Qur‟an itu.
18
Dalam penerjemahan al- Qur‟an terdapat dua jenis terjemahan, yaitu:
a Terjemahan al-Qur‟an harfiah
Terjemahan al- Qur‟an secara harfiah adalah terjemahan yang dilakukan
dengan apa adanya, sesuai dengan susunan dan struktur dari bahasa sumber. Terjemahan harfiah dilakukan dengan cara memahami arti kata demi kata yang
terdapat di dalam teks terlebih dahulu, setelah benar-benar di pahami kemudian dicari padanannya yang tepat ke dalam BSA.
Muhammad Husain Al-Dzahabi membagi terjemahan harfiah ini dalam dua bagian, yaitu:
Terjemahan Harfiah bi al-Mitsl, yaitu terjemahan yang dilakukan apa adanya, terkait dengan susnan dan struktur bahasa sumber yang diterjemahkan.
Terjemah al- Qur‟an Bighairi al-Mitsl, pada dasarnya sama dengan terjemahan
sebelumnya, hanya saja sedikit lebih linggar keterkaitannya dengan sususnan dan struktur bahasa sumber yang akan diterjemahkan.
18
M. Ali H asa da Rif’at “yau i Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta : PT. Bulan
Bintang, 1988, h. 177-180
25
1 Terjemahan al-Qur’an Tafsiriah
Terjemahan al- Qur‟an secara tafsiriah atau lebih yang lebih dikenal dengan
penerjemahan maknawiyah yaitu penjelasan makna atau arti kata dengan bahasa lain, tanpa terkait dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan
kalimanya. Terjemahan ini lebih mengedepankan maksud atau isi kandungan yang terdapat dalam bahasa sumber yang diterjemahkan. Terjemahan ini tidak terkait
dengan susunan dan struktur gaya bahasa yang diterjemahkna. Dengan kata lain dapat pula disebut dengan terjemahan bebas.
b Perbedaan Penerjemahan Al-Qur’an dengan Tafsir
Sebelum penulis menjelaskan perbedaan penerjemahan dengan penafsiran, penulis ingin memaparkan tentang penafsiran terlebih dahulu.
Tafsir atau at-tafsir menurut bahasa mengandung arti antar lain yaitu:
1 Menjelaskan, menerangkan,
, yakni ada
sesuatu yang semula belum atau tidak jelas memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga jelas dan terang.
2 Keterangan sesuatu
, yakni perluasan dan pengembangan dari ungkapan-ungkapan yang masih sangat
umum dan global, sehingga menjadi lebih terperinci mudah dipahami serta dihayati.
26
3 , yakni alat-alat kedokteran yang khusus
dipergunakan untuk dapat mendeteksi mengetahui segala penyakit yang diderita seorang pasien. Kalu tafsiriah
adalah alat kedokteran yang mengungkapkan penyakit dari seorang pasien, makna tafsir dapat mengeluarkan mkna
yang tersimpan dalam kandungan ayat-ayat al- Qur‟an.
Tafsir menurut istilah terminologis, para ulama memberikan rumusan yang berbeda-beda, karena perbedaan dalam titik pusat perhatiannya, walaupun arah
dan tujuannya yang sama. Adapun definisi tafsir adalah sebagai berikut: 1
Menurut Syaih Thahir Al- Jazair, dalam At-Taujih:
“Tafsir pada hakikatnya ialah menerangkan maksud lafazh yang sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih menjelas pada maksud
baginya, baik dengan mengemukakan sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim itu, atau dengan mengemukakan uraian yang mempunyai petunjuk
kepadanya melalui suatu jalan dalalah .”
2 Merurut Syaikh Al- Jurjani dalam At-Ta‟rifat :
27
“Pada asalnya tafsir berarti membuka atau melahirkan, dalam pengertian sy
ara‟, tafsir ialah menjelaskan makna ayat: dari segi segala persolannya, kisahnya, asbabul nuzulnya, dengan menggunakan lafazh yang menunjukan
kepadanya secara terang.
19
Terjemah, baik harfiah maupun tafsiriyah bukanlah tafsir, terjemah tidak identik dengan tafsir. Banyak orang mengira bahwa terjemah tafsiriyah itu pada
hakikatnya adalah tafsir yang memakai bahasa non-Arab, atau terjemah tafsiriyah itu adalah terjemah dari tafsir yang berbahasa Arab. Persoalan ini memang sejak
dulu diperdebatkan dan diperselihsikan. Antara keduanya jelas ada unsur kesamaan, yaitu bahwa baik tafsir maupun terjemah bertujuan untuk menjelaskan.
Penjelasan tafsir ialah sesuatu maksud yang semula sulit dipahami, maka dengan penjelasan akan dapat mudah dipahami sedangkan terjemah juga
menjelaskan makna dari suatu bahasa yang tidak dikuasai melalui suatu bahasa lain yang dikuasai. Ada unsur persamaan antara keduanya bukan berarti keduanya
sama secara mutlak. Perbedaan-perbedan keduanya antara lain: 1
Pada terjemahan terjadi peralihan bahasa, dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, tidak ada lagi lafazh atau kosa kata pada bahasa sumber itu
19
M. Ali Hasa da Rif’at “yau i Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1988, h.139-141
28
melekat pada bahasa sasaran. Bentuk peenerjemahan telah lepas sama sekali dari bahasa yang diterjemahka. Tidak demikian halnya dengan
tafsir. Tafsir selalu ada keterkaitan dengan bahasa sumbernya, dan dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa, sebagai lazimnya dalam
penerjemahan. Yang terpenting dan menonjol dalam tafsir ialah ada penjelasan, baik penjelasan kata-kata mufradat kosa kata maupun
penjelasan susunan kalimat.
2 Pada penerjemahan sekali-kali tidak boleh melakukan
yakni penguraian luas melebihi dari sekedar mencari padanan kata, sedangkan
dalam tafsir, pada kondisi tertentu, tidak hanya boleh melakukan penguraian meluas itu, tentu justru penguraian meluas itu wajib dilakukan,
jika usaha menjelaskan makna ayat al- Qur‟an yang dikehendaki baru dapat
dicapai dengan mantap melalui penguraian masalahnya secara luas. Lagi pula dalam penerjemahan terutama harfiah makna yang diungkap
sebaiknya tidak lebih dan tidak kurang dari bahasa sumber, sehingga bila terjadi kesalahan dalam bahasa sumber, niscaya kesalahan itu akan terjadi
pula pada penerjemahannya. Berbeda dengan tafsir, bahwa yang dituntut dalam tafsir ialah menyampaikan pesan dari bahasa sumbernya. Terkadang
penjelasan itu dapat dikembangkan ke arah pendapat yang beraneka ragam, melalui uaraian yang luas di atas. Itulah rahasianya, mengapa
kebanyakan kitab-kitab tafsir al- Qur‟an memuat uraian luas yang beraneka
macam pembahasannya, meliputi ilmu bahasa, akidah, ilmu fiqih, usul
29
fiqih, asbabun
nuzul, nasikh
mansukh , ilmu kauniyat, ilmu
kemasyarakatan dan sebagainya. 3
Terjemah pada lazimnya mengandung tuntutan dipenuhi semua makna yang dikehendaki oleh bahasa sumber, tidak demikian halnya dengan
tafsir. Yang menjadi pokok perhatiannya ialah tercapai penjelasan yang sebaik-baiknya, baik secara global maupun secara terperinci, baik
mencakup keseluruhan makna saja, tergantung pada apa yang diperhatikan mufasir dan dua orang yang menerima tafsir itu.
4 Tafsir lazimnya mengandung tuntutan ada pengakuan, bahwa semua
makna yang dimaksud, yang telah dialihbahasakan oleh penterjemah adalah makna yang ditunjuk oleh pembicara bahasa sumber dan memang
itulah yang dikehendaki oleh penutur bahasa. Tidak demikian dengan tafsir. Dalam dunia tafsir soal pengakuan sangat relatif, tergantung pada
faktor kredibilitas mufassirnya. Mufassir akan mendapatkan pengakuan jika dalam tafsir itu ia didukung oleh banyak dalil yang dikemukakannya,
sebaliknya ia tidak akan mendapatkan pengakuan ketika hasil tafsirnya itu tidak didukung oleh dalil-dalil.
Demikian pula jika yang melakukan penafsiran itu orang yang sehaluan dengan pembaca atau yang mendengar hasil penafsiran, maka akan mendapat
pengakuan, akan tetapi jika tidak sehaluan, mungkin pengakuan itu tidak ada, atau
30
jika ilmunya lebih rendah dari yang membaca atau yang mendengar hasil tafsiran itu, maka pengakuan pun tidak ada, demikian pula sebaliknya.
20
B. Homonimi