Doktrin-doktrin Teologi Ahmadiah Akurasi penerjemahan kata khalifah dan khatam dalam wacana keahmadiahan

61 dan melakuakn counter attack terhadap misi-misi Kristenisasi di dunia. Melalui progresivitas gerakan dengan memperkuat intensitas dakwah dan mempertajam basis intelektualitas di dunia keilmuan dalam berbagai implementasi dari misi universal Islam rahmatan lil‟alamin.

C. Doktrin-doktrin Teologi Ahmadiah

1. Konsep Jihad

Di kalangan aliaran Ahmadiah, pandangan terhadap konsep wahyu tidak terjadi perdebatan antara Qadian dan Lahore. Masalah wahyu ini masih paralel dengan konsep kenabian, Imam Mahdi dan al-Masih serta sosial kontrofersal Gulham Ahmad sendiri. Menurut Ahmadaiah Qadian, wahyu adalah lafadz Allah swt yang sampai kepada para penerimanya dan bukan merupakan inspirasi yang kemudian diucapkan dengan kalimat sendiri oleh para penerimanya. Sedangkan menurut Ahmadiah Lahore, dalam hal ini di kemukakan oleh Maulana Muhammad Ali, wahyu adalah isyarat yang cepat. Wahyu itu sendiri merupakan sabda yang masuk ke dalam kalbu para nabi dan orang-orang tulus dan ikhlas. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa wahyu Allah, tidak hanya diturunkan kepada para nabi saja, tetapi diberikan juga kepada seluruh manusia bahkan kepada semua mahluk ciptaan Allah. Seperti: binatang, tumbuhan, dan lainya. Namun proses transmisinya wahyu itu berbeda. Lebih lanjut Maulana Ali mengungkapkan bahwa di dalam al- Qur‟an disebutkan ada lima macam wahyu: pertama, wahyu yang diturunkan kepada mahluk yang tidak bernyawa seperti bumi dan langit yang terdapat pada ayat al- 62 Qur‟an surat fushilat ayat 11-12. Kedua, wahyu yng diturunkan kepada binatang pada ayat al- Qur‟an surat an-Nahl ayat 68-69. Ketiga, wahyu yang diturunkan kepada malaikat pada ayat al- Qur‟an surat an-Nahl ayat 12. Keempat, wahyu yang diturunkan kepada manusia biasa pada ayat al- Qur‟an surat al-Maidah ayat 11. Kelima , wahyu yang diturunkan kepada para nabi dan rasul pada surat al-Anbiya ayat 74 dan ayat 164. Bentuk dari kelima wahyu itu bermacam-macam bergantung kepada siapa yang menerima wahyu tersebut. Aliran Ahmadiah meyakini bahwa Ghulam Ahmad al-Mahdi dan al-Masih mas‟ud menerima wahyu dari Allah swt. Namun, wahyu yang diterima dan disampaikan oleh Ghulam Ahmad berfungsi sebagai interpretasi al- Qur‟an bukan teks yang menyamai al- Qur‟an itu sendiri. Ahmadiah sendiri meyakini al-Qur‟an merupakan satu-satunya kitab suci yang dapat diperbaiki dan dapat diperbaharui berbagai macam kerusakan yang ada, tetapi tidak dapat berjalan dengan mulus tanpa ada tuntunan dari Allah. Tuntunan itu datang salah satunya dari Ahmadiah. Sebenarnya Ghulam Ahmad sendiri mengakui bahwa pentunjuk yang diterimanya hanyalah ilham, tetapi oleh para pengikutnya kemudian dinyatakan sebagai wahyu. Dalam kasus tersebut, Ghulam Ahmad sendiri tidak menyalahkan pengikutnya bahkan memberikan pembenaran, sehingga di kalangan ahmadiah akhirnya banyak menggunakan istilah-istilah baru, seperti wahyu nubuwwah, wahyu tasyri‟, wahyu ghair tasyri‟, wahyu walayah, wahyu mathluw, wahyu ghair mathluw, dan sebagainya. Menurut Ahmadiah, kalam Allah datang dalam berbagai muatan dan varian pesan, di antaranya masalah syariat dan hukum, tradisi, wejangan, nasihat-nasihat 63 serta kewajiban dan ancaman. Wahyu akan turun terus menerus hingga hari kiamat tiba, sebab menurut pandangan Ahmadiah bahwa komunikasi Tuhan dengan manusia terjadi melalui wahyu. Mereka menyandarkan argumentasi tersebut pada al- Qur‟an surat as-Syu‟ara ayat 51 34 . Atas dasar tersebut, Ahmadiah meyakini bahwa proses transmisi wahyu dari Allah terjadi melalui berbagai macam cara, di antaranya: pertama, wahyu datang langsung berupa kalam yang diilhamkan langsung ke dalam kalbu para nabi dan orang-orang tulus. Hal ini merupakan bentuk pengikut nabi Isa dan ibn nabi Musa, kedua, di belakang tirai, jenis wahyu tersebut ada tiga macam, yaitu mimpi yang baik mubasyarah berupa petunjuk Allah yang diterima seseorang dalam keadaan setengah tidur, petunjuk ilahi yang diterima seseorang dalam keadaan sadar dan melihat dengan mata nurani kasyaf dan petunjuk ilahi yang datang kepada seseorang dalam keadaan sadar dan mendengar dengan telinga rohani ilham. Ketiga, wahyu turun melalui utusan. Proses pewahyuan terjadi seperti wahyu yang diterima oleh para nabi melalui malaikat Jibril. Wahyu jenis pertama dan kedua merupakan tingkatan proses pewahyuan yang paling rendah dan akan tetap terbuka selama-lamanya, dalam pengertian bahwa wahyu jenis tersebut akan datang dan diturunkan sampai hari kiamat. Wahyu tersebut akan diturunkan kepada orang-orang yang khusus yang diangkat ke derajat kenabian. Tetapi, yang menjadi catatan adalah bahwa orang-orang tersebut mempunyai kelebiahan yang tidak dimiliki orang pada umumnya. Kelebihan tersebut adalah “indra rohani”. Indra ini akan melihat, mendengar, dan merasakan 34 A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah Jakarta: P.T. Wahana Semesta Intermedia, 2006, h. 68 64 sesuatu yang tidak akan didengar, dilihat, dan dirasakan orang lain kecuali yang mengalaminya. Wahyu seperti ini disebut wahyu ghaib mathluw wahyu yang tidak dibacakan dan diucapkan atau wahyu khafiy wahyu batin. Sementara wahyu jenis ketiga, hanya diberikan kpada para nabi dan tertutup setelah berakhirnya masa kenabian nabi Muhammas SAW. Karena beliau penutup para nabi. Wahyu jenis ini di sebut wahyu nubuwwah wahyu kenabian atau wahyu mathluw wahyu yang dibacakan dan ucapkan. Sementar itu, menurut Nazir Ahmad bahwa wahyu terputus sesudah nabi Muhammad. Oleh karena itu, Nazir berpendapat bahwa Mirza Gulham Ahmad mendapatkan wahyu tasyri‟ “yaitu wahyu yang mutlak dapat diterima oleh siapa saja, tidak hanya dikhususkan pada para nabi ”. Sementara khalifah II Ahmadiah, Bashiruddin Ahmad mengatakan pewahyuan itu masih terbuka, meskipun tidak ada syariat yang diturunkan, karena para nabi yang diutus mengungkapkan kekayaan yang terkandung dalam al- Qur‟an yang masih tersembunyi. Lebih lanjut khalifah II mengatakan, bukan hanya wahyu yang kami percayai akan terus terbuka selama-lamanya, melainkan wilayah kenabian pun akan terus terbuaka. melihat argumentasi di atas tidak terjadi banyak perbedaan mengenai wahyu antara Qadian dan Lahore. Hanya saja, aliaran Qadian meyakini bahwa wahyu akan selalu datang dan terbuka, tetapi kenabian pun akan terus berlangsung. Titik permasalahan yang kontroversial dalam hal ini bahwa aliran Qadian meyakini Ghulam Ahmad sebagai al-Masih dan al-Mahdi yang dianggakat oleh Allah SWT. melalui ilham yang diterimanya, kemudian dia diangkat sebagai nabi karena dianggap sebagai duplikat nabi Isa 65 sehingga mereka meyakini bahwa proses penerimaan wahyu terjadi pada Ghulam Ahmad. Secara substansial tidak terdapat perbedaan terhadap aliran tersebut, hanya tema-tema tertentu saja yang membedakan keduanya dalam masalah wahyu tersebut. Pendapat yang selama ini banyak yang mengkritisi negatif terhadap Ahmadiah mengatakan bahwa aliran Qadian meyakini wahyu yang di turunakn Allah SWT kepada manusia yang berjumlah lima yaitu: injil, thaurat, zabur, al- Qur‟an dan tazkirah yang diturunkan pada Ghulam Ahmad. Namun demikian, sejauh pembacaan dan pengakajian terhadap sumber- sumber primer yang ada keterangan tentang hal tersebut tidak ditemuakan. Terkait dengan konsep wahyu yang membedakan antara Ahmadiah dan umat Islam selama ini adalah terletak pada pendefinisian wahyu dan ilham. Ahmadiah meyakini bahwa wahyu dan ilmu itu sama, sementara kelompok “mayoritas” membedakannya. Menurut pemahaman yang berkembang pada mayoritas umat Islam saat ini adalah antara wahyu dan ilham itu berbeda. Wahyu hanya diturunkan kepada para nabi dan rasul, sementara ilham diturunkan kepada manuusia biasa dan derajat di antara keduanya sangat berbeda. Dalam hal ini, memang terjadi perbedaan mendasar pada wilayah epistemologis antara Ahmadiah dan umat islam pada umumnya. 66

2. Syariat Jihad

Bagi Ahmadiah, jihad didefinisikan sebagai tindakan mencurahkan segala macam kesanggupan, kemampuan, dan kekuatan yang dimiliki dalam memghadapi pertempuran, menyampaikan pesan kebenaran, ataupun mengerakan seluruh daya kemampun dalam menghadapi segala urusan. Dengan kata lain jihad adalah mengerahkan segala daya memaksakan diri dalam menyampai suatu tujuan. Menurut S. Ali Yasir, salah seorang tokoh Ahmadiah menyatakan, bahwa sekitar 40 ayat dalam al- Qur‟an yang terkait dengan masalah jihad dan semuanya mengandung pengartian berjuang sekuat tenaga atau berusaha keras 35 . Dalam pandangannya, jihad menurut al- Qur‟an adalah perjuangan untuk menegakkan kebenaran dan mencapai tujuan suci yang diridai Allah SWT. Tindakan mengangkat senjata untuk membela diri juga dinamakan jihad. Dalam al- Qur‟an istilah yang tepat sering disebut qital. Ahmadiah mengklasifikasikan jihad menjadi tiga kategori yaitu: pertama, jihad shagir adalah perjuangan membela agama, nusa, dan bangsa dengan mempergunakan senjata terhadap musuh-musuh yang menggunakan kekerasan dan senjata dengan tujuan memusnahkan agama, nusa, dan bangsa. Ahmadiah meyakini bahwa perjuangan jihad dengan senjata itu membela agama sudah tidak diperlukan lagi saat ini, karena tidak ada orang atau pihak yang menggunakan senjata itu untuk membela dan mengembangkan agama. Kategori jihad seperti ini merupakan tingkatan paling rendah nilainya. Kedua, jihad khabir adalah perjuangan atau jihad dengan mempergunakan dalil-dalil atau 35 A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah Jakarta: P.T. Wahana Semesta Intermedia, 2006, h. 78 67 keterangan baik lisan, maupun lisan, untuk menyebarluaskan ajaran al-Qu r‟an kepada kaum kafir dan musyrik. Jihad dalam bentuk ini yang sedang dilancarkan oleh Ahmadiah saai ini. Ketiga, jihad akbar ialah perjuangan atau jihad terhadap godaan setan hawa nafsu akan terus dilakukan setiap saat 36 . Jihad pada bentuk ini dilakukan setiap saat sama seperti ketika kita terus melakukan aktivitas. Kategori jihad ini sangat tergantung pada bakat dan sifat manusia itu sendiri dalam menerjemahkan hawa nafsnya dalam aktivitas praktis sehari-harinya. Khalifah II Ahmadiah Bashiruddin Mahmud Ahmad menyimpulkan bahwa banyak orang yang mempunyai pemahaman keliru tentang Ahmadiah terkait dengan masalah jihad. Menurut pandangannya dan kemudian menjadi paham Ahmadiah, bahwa peperangan itu terbagi menjadi dua macam, yaitu: perang jihad dan perang lumrah. Perang jihad adalah perang yang terjadi karena dorongan mempertahankan keyakinan dan kepercayaan agama, sementara musuh yang dihadapi adalah sekelompok orang atau pihak yang mencoba membinasakan dan melakuakan tindak kekerasan dengan maksud dan tujuan mengubah dan memaksa seseorang atau kelompok untuk melepaskan kepercayaan dan keyakinan agamanya. Isu yang menjadi main stream dalam peperangan tersebut adalah perang agama atau perang suci holy war. Kahlifah II ini lebih lanjut menjelaskan, bahwa seandainya peperangan melawan kelompok bersenjata dengan motivasi seperti di atas, maka wajib setiap kaum muslim untuk berjihad. Akan tetapi, ada persyaratan yang harus di penuhi dalam perang jihad tersebut diantaranya adalah keharusan adanya seorang imam yang mengatur dan 68 memberikan intruksi kepada umatnya bahwa siapa saja yang berhak mengikuti perang dan siapa yang harus menunggu gilirannya. Khalifah II mengatakan bahwa orang yang mendapat gilirangnya harus turun ke medan jihad tetapi bila tidak melaksanakannya, maka ia akan berdosa 37 . Menarik untuk dikaji secara lebih mendalam bahwa isu Ahmadiah yang tidak mempunyai syarat jihad dan melarang kepada jemaatnya untuk berjihad ketika pemerintahan Inggris melakukan penjajahan dan berkuasa di India dan Pakistan, khususnya di daerah Punjab. Menurut pendapat yang berkembang bahwa terjadi kontroversi mengenai argumentasi Ahmadiah yang pada waktu itu tidak melakukan jihad dengan senjata melawan Inggris. Hal yang muncul kepermukaaan ialah faktor politik mendorong Ahmadiah untuk bersikap seperti itu. Gerakan Ahamadiah pada waktu itu telah melakukan kompromi dan kesepakatan politik dengan Inggris. Ahmadiah telah melakukan perjanjian perdamaian dan mendukung penjajahan serta kekuasaan Inggris di India dan Pakistan. Sebagai imbalannya mereka meminta dukungan dan perlindungan terhadap gerakan mereka dan para jemaatnya agar tidak mengalami intimidasi apa pun dari pemerintahan Inggris. Ahmadiah menjadi “antek” atau “demang” pemerintahan Inggris untuk menjadi komunikator dengan masyarakat. Di samping itu, pemerintahan Inggris harus membantu kelangsungan gerakan Ahamadiah dan perkembangannya ke berbagai negara. 37 A. Fajar Kurniawan, Teologi Kenabian Ahmadiah, Jakarta: P.T. Wahana Semesta Inter Media, 2006, h. 72 69 Memang tidak dapat disangkal kedekatan keluarga Ghulam Ahmad dengan pemerinatahan Inggris, bahkan Hasan bin Mahmud Audah mengatakan kedekatan Gulham Ahmad dengan pemerintahan Inggris sebagai berikut. “Hubungan Mirza Ghulam Ahmad dengan Inggris bukan hanya hubungan antara muslim yang hendak berterima kasih karena telah berbuat baik kapadanya, tetapi hubungan itu adalah lebih dengan antara seorang “pelayan” kepada seorang “majikan” dengan menutip perkataan Ghulam Ahmad: “sungguh telah aku habiskan umurku untuk mengokohkan dan membantu pemerinatahan Inggris.” Dalam keterangan yang lain, Gulham Ahmad mengatakan bahwa hanya dengan bernaung di bawah pemerintahan Inggris kehidupan masyarakat India akan berlangsung aman, sentosa, dan merdeka. Pengakuan Ghulam Ahmad sebagai imam dan sosok yang dihormati dengan doktrin yang disampaikan kepada jamaatnya untuk tidak melakukan perlawanan dan mengagkat senjata kepada pemerintahan Inggris merupakan sebuah keuntungan bagi Inggris, bahkan Ghulam Ahmad menyarankan kepada jamaatnya untuk mengubah kebencian menjadi kecintaan kepada pemerintahan Inggris supaya menjadi koloni India lebih lama lagi menyangkal sekaligus menjawab persepsi negatif tersebut, para pendiri founding fathers Ahmadiah, dalam hal ini Ghulam Ahmad dalam kitabnya Tuhfah Golarwiyah mengatakan bahwa: Tidak sedikitpun keraguan bahwa syarat- syarat yang diletakan dalam al- Qur‟an suci tidak didapat saat ini di negeri di mana penulis hidup, karena itu disini jihad dengan pedeang tidak syah”. Dalam pandangan Ahamadiah, penjajahan Inggris pada waktu itu tidak menuntut kepada masyarakat jajahannya untuk menukar agama atau memaksakan 70 melepaskan kepercayaannya dan keyakinan agama masyarakat. Bahkan Ahmadiah memandang kewajiban anggotanya untuk berjihad jika seandainya Inggris menunutut untuk melepas atau menukar agama, maka hukumanya wajib, tetapi situasi tersebut tidak terjadi pada waktu itu. Khalifah II menyangkal tuduhan dan isu yang berkembang tersebut. Khalifah mengatakan, bahwa menurut hitmad kami pada waktu itu belum tiba saatnya melakukan jihad dengan senjata. Jika kami berada dalam posisi dan sikap yang salah ini semata-mata hanyalah kekeliruan ijtihad. Alasan lain yang dikemukan bahwa Ahmadiah lebih memilih mengaplikasikan bentuk jihad kabir dan jihad akbar untuk menyebarluaskan Islam ke seluruh dunia, dan bukan jihad shagir . Menurut Ahmadiah bahwa pada abad XX, jihad dalam bentuk perang sudah tidak sesuai lagi. Jihad dengan lisan atau tulisan adalah jihad yang paling tepat. Dalam tulisan Mirza Ghulam Ahmad mengatakan bahwa: “Pada saat ini Islam mengahadapi ancaman yang dilancarkan oleh musuh-musuh Islam, akan tetapi alat yang mereka gunakan berlainan sama sekali dengan dengan apa yang mereka gunakan tiga belas abad yang lampau perang salib. Kini mereka menggunakan tulisan-tulisan untuk menyerang dan memfitnah, baik dalam surat kabar, pentas-pentas, maupun dalam buku-buku bacaan. Kita tidak boleh tinggal diam, kita harus berjuang berjihad sekuat tenaga untuk membatalkan propoganda palsu lawan. Adapun alatnya cukup dengan pena dan tinta saja, untuk menulis karangan yang bermutu dan sangat menguntungkan Islam. Dalam pandangan Ahmadiah, ketika terjadi keterlibatan dengan pemerintahan pada pelaksaaan jihad kabir dan jihad akbar, maka Ahmadiah harus 71 taat dan setia kepada pemerintah dan negara di mana mereka berada. Hal ini di buktikan dengan gerakan Ahmadiah yang dengan gentar melakukan perlawanan terhadap Agama Kristen, Hindu, Budha dan Marxis dengan perlawanan menggunakan dalil-dalil dan keterangan yang argumentatif secara rasional menurut mereka. Bahkan sampai saat ini Ahmadiah masih terus melakukan berbagai aplikasi jihad untuk memajukan Islam tanpa harus mengangkat senjata. Secara garis besar, ada dua hal yang menjadi alasan utama bagi khalifah II mengapa Ahmadiah tidak melakukan perlawatan kepada Inggris. Pertama, di bawah pemerintahan Inggris kebebasan beragama menjadi terjamin, tidak ada pemaksaan agama. Kedua, Mirza Ghulam Ahmad bukanlah politikus pemimpin duniawi, tetapi tidak lebih dari sekedar pemimpin duniawi, tetapi tidak lebih dari sekedar pemimpin ruhani. Tidak ada faktor politik yang melatarbelakangi sikap Ahmadiah dalam memandang jihad. Lebih jauh Ahmadiah memandang bahwa kemajuan Islam di tentukan oleh penghayatan dan pengkajian umat Islam untuk menggali makna tersembunyi di balik al- Qur‟an. Apabila al-Qur‟an itu dipahami dengan baik, maka jihad seharusnya dilancarkan dengan perantara al- Qur‟an bukan dengan pedang. Berdasarkan keterangan di atas, tidak ada perbedaan yang prinsip antara A hmadiah dengan “mayoritas umat Islam” tentang jihad. Hanya saja Ahmadiah mengaggap bahwa dalam makna jihad terkandung makna qital, seperti dalam jihad shagir , tetapi saat ini jihad shagir dengan makna qital dianggap sudah tidak ada, sebaliknya yang ada hanyalah jihad akbar dan jihad kabir. Berbeda dengan “mayoritas umat Islam” bahwa jihad masih bisa dipahami dalam bentuk jihad 72 shagir, jihad akbar dan jihad kabir . Maka dari itu, makna jihad menurut Ahmadiah ketika dikaitkan dengan pemerintahan, tidak memperhatikan siapa pemerintah yang berkuasa. Walaupun bersikap baik, bagaimana pun adanya penjajah tetap harus dilawan. Nasionalisme untuk kedaulatan dan kemerdekaan negeri sendiri merupakan hal yang paling krusial dan harus dipertaruhkan dengan berbagai cara.

3. Konsep Khalifah

Pemahaman Ahmadiah tetang konsep khalifah baik aliran Qadian maupun aliran Lahore sebenarnya sama-sama mendasarkan pemahamannya pada al- Qur‟an. Namun demikian, di antara kedua aliran Ahmadiah tersebut ada perbedaan dalam memberikan penafsian. Menurut Ahmadiah Qadian, dalam hal ini Bashiruddin Mahmud Ahmad khalifah II, bahwa perkataan khalifah pengganti yang terdapat dalam al- Qur‟an dipahami dan digunakan dalam tiga pengertian, antara lain: petama, khalifah dipergunakan untuk nabi-nabi yang disinyalir sebagai penggani Allah di dunia, seperti Nabi Adam disebut sebagai khalifah dalam al- Qur‟an surat al-Baqarah ayat 31-32 dan sama juga seperti Nabi Daud dalam surat as-Shad ayt 27. Kedua, khalifah dipahami sebagai makna bagi umat atau kaum yang datang kemudian pada surat al-A ‟raf ayat 70 dan 75. Khalifah dalam pengertian ini adalah para pengganti nabi yang dipilih oleh kaum dan umatnya sendiri, seperti Abu Bakar yang menggantikan Nabi Muhammad. Ketiga , khalifah dipergunakan untuk menjelaskan para pengganti nabi, karena mereka telah mengikuti jejak para nabi sebelumnya. Proses penggantian tersebut 73 secara langsung diangkat oleh Allah, khalifah dengan pangkat nabi ini berkedudukan sebagai pengganti atau pendamping bagi nabi yang ada sebelumnya atau pada masanya, seperti Nabi Harun yang merupakan khalifah bagi Nabi Musa pada sutar al-Araf disebutka ayat 143 . Katagori khalifah dalam pengertian yang pertama dan ketiga hanyalah pada pemimpin ruhani. Aliran Ahmadaih Qadian ini menjelaskan bahwa tidak semua nabi dan rasul yang disebutkan dalam al- Qur‟an menjabat sebagai pemimpin ruhani sekaligus pemimpin pemerintahan. Para rasul yang di utus Allah yang hanya menjabat sebagai pemimpin ruhani di antaranya adalah Nabi Yahya, Isa, Zakaria dan Harun sementara Nabi Muhammad adalah seorang Nabi sekaligus pemegang tampuk kepemimpinan pemerintah. Para khalifah yang menggantikan beliau, seperti Abu Bakar, Umar ibn Khatab, Usman ibn Affan dan Ali bin Abi Thalib juga pemimpin pemerintah, tetapi sistem khalifah ini berakhir sejak masa Muawiyyah berkuasa, karena penguasa yang datang berikutnya hanya berdasarkan keturunanan dan pengangkatan diri sendiri, berbeda dengan makna khalifah sebagaimana yang tersebut dalam al- Qur‟an. Sementara Ahmadiah Lahore menyatakan bahwa ada dua macam khalifah. Pertama , khalifah yang sesuai dengan makna khalifah dalam al- Qur‟an dalam surat an-Nur ayat 55. Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa umat Islam adalah umat yang akan memimpin peradaban di muka bumi, karena itu dibutuhkan sistem kekhalifahan untuk membangun pemerintahan tersebut. Nabi Muhammad adalah khalifah pertama dan kemudian dilanjutkan oleh para sahabatnya Khulafaur Rasyidin. Kedua, khalifah dimaknai sebagai mujaddid dan para tokoh 74 spiritual yang mendirikan sebuah orgnisasi atau komunitas terstruktur yang akan meneruskan syariat. Dalam hadits dinyatakan bahwa akan muncul setiap satu abad sekali para mujaddid yang akan memperbaharui agamanya. Dikalangan aliaran Ahmadiah terjadi perbedaan pendapat mengenai posisi setelah Ghulam Ahmad meninggal. Menurut Ahmadiah Qadian setelah Ghulam Ahmad meninggal, maka berdirilah sistem khalifah dalam Ahmadiah yang terkenal dengan khalifah al-Masih. Doktrin khalifah al-Masih ini didasarkan dan dimotivasi oleh wasiat Ghulam Ahmad mengenai keharusan adanya khalifah yang menggantikannya. Hal ini juga didasarkan pada hadits nabi yang menggambarkan hakikat seorang khalifah dibandingkan dengan pemimpin negara. Ahmadiah Qadian meyakini bahwa apa yang telah disabdakan oleh nabi Muhammad adalah terbukti menjadi kenyataan. Sejarah islam telah mencatat bagaiman awal kekhalifahan dengan pola kenabian dan dikenal dengan khilafah rasyidah , murni dari Abu Bakar dan berakhir dengan khalifah Ali bin Abu Thalib setelah itu baru muncullah kekhalifahan dengan pola kerajaan yng berawal dari Muawiyyah dan berakhir dengan Sultan Hamid II di Turki. Setelah dua pola tersebut terlewati dalam masa kesejahteraan Islam, merujuk pada hadits di atas, akan muncul kembali pola kekhalifahan dengan sistem kenabian kedua pada masa Isa dan Mahdi diatas dasar polarisasi sistem kekhalifahan tersebut, maka Ahmadiah berdiri sebagai kelanjutan sistem kekhalifahan tersebut. Dalam Ahmadiah dikenal dengan khalifah al Masih. Sistem ini sebagai kelanjutan dari pekerjaan Ghulam Ahmad, Al Masih dan Imam mahdi yang berpangkat nabi . 75 Sistem khalifah dengan pola kenabian yang ada pada masa Nabi Muhammad sebenarnya berbeda dengan yang terjadi pada masa Ghulam Ahmad. Khilafah dengan pola kenabian pada masa Nabi Muhammad mempunyai fungsi ganda, yakni disamping sebagai Nabi sebagai Nabi yang mempunyai misi menyebarkan dakwah agama Islam, juga memegang dan menjalankan fungsi pemerintahan. Sementara itu khilafah dengan pola kenabian yang terjadi pada masa Ghulam Ahmad hanya berfungsi tunggal, semata-mata sebagai pemimpin ruhani yang menyebarkan dakwah Islam tidak masuk dalam arena kekuasaan dan tidak memegang tampuk kepemimpinan. Dalam aliran Ahmadiah Qadian, setelah Ghulam Ahmad meninggal menjadi wajib hukumnya untuk dicarikan penggantinya sebagai khalifah sebagai Jema ‟at Ahmadiah yang menjadi pemimpin tertinggi yang harus ditaati. Setelah kepemimpinan Ghulam Ahmad, maka tampuk pimpinan dilanjutkan oleh Maulana Hakim Nuruddin sebagai Khalifatul masih I tahun 1841-1941 M, kemudian Bashiruddin Ahmad yang merupakan putra dari Ghulam Ahmad sebagai khalifatul Masih II tahun 1889-1965 M, kemudian Nashir ahmad terpilih sebagai khalifatul masih III tahun 1909-1985 M, dan khalifatul masih IV adalah Tahir Ahmad, serta khalifatul masih V, Mansyur Ahmad yang menjadi pemimpin pusat Jemaat Ahmadiah hingga sekarang. Perbedaan anatara Ahmadiah Qadian dan Lahore dengan kaum muslimin secara umum tentang khalifah adalah menurut kaum muslim, bahwa khalifah yang menggantikan pangkat dan kedudukannya sebagai nabi dan penerima wahyu, melaikan hanya sebagai pelangsung gerak dakwah Islam ke penjuru dunia. Di 76 samping itu, bahwa makna khalifah setelah rasul dalam pimpinan negara yang kewenangannya telah diberikan oleh yang berwenang. Sementara Ahmadiah Qadian menganggap bahwa khalifah yang menggantikan nabi sekaligus berfungsi menggantikan nabi sekaligus mendapatkan wahyu dari Allah. sementara Ahmadaiah Lahore menganggap posisi khalifah tersebut adalah hanya sebagai mujaddid , tetapi di pilih oleh Tuhan melalui wahyu. Menurut sebagian besar umat Islam, hal ini merupakan suatu yang paling prinsipil yang membedakan antara mayoritas umat Islam dengan aliran Ahmadiah.

4. Konsep Kenabian

Sebelum memjelaskan pandangan Ahmadiah tentang konsep kenabian, terlebih dahulu perlu kiranya di jelaskan mengenai definisi nabi dan rasul secara umum. Seperti yang kita ketahui bersama bahwa definisi nabi dan rasul secara umum adalah seorang laki-laki akil, baligh, berbudi pekerti baik, dan dan kepadanya diturunkannya wahyu syariat. Jika seorang laki-laki tersebut diperintahkan menyampaikan apa yang diwahyukan kepada umat, maka ia didefnisikan sebagai rosul. Sebaliknya, jika dia tidak diterimanya sebagai wahyu, maka ia didefinisikan sebagai nabi. Keterangan di atas memberikan penjelasan bahwa setiap rosul secara otomatis berpangkat sebagai nabi, tetapi tidak setap nabi berarti rosul. Jumlah nabi sangat banyak sekali, bahkan tidak semunya tersebut dalam al- Qur‟an ada yang menyebutkan bahwa jumlah nabi sebanyak 314 orang yang di mulai dari Adam dan berakhir dengan Nabi Muhammad, namun dalam pandangan Ahmadiah 77 definisi dan jumlah tersebut tidak benar, karena jumlah nabi yang membawa syariat sangat sedikit. Hanya Nabi Musa yang membawa kitab Thaurat dan Nabi Muhammad yang membawa al- Qur‟an. Dalam persfektif Ahmadiah, nabi seperti didefinisikan diatas adalah salah, Ahmadiah mendefinisikan nabi adalah laki-laki baligh, berakal, berbudi pekerti baik, dan di turunkan kepada wahyu. Jika wahyunya mengandung hukum-hukum baru yang belum terdapat pada syariat sebelumnya maka ia di namakan sebagai nabi yang membawa syariat baru. Sementara jika mereka tidak mebawa syariat baru, maka ia dinamakan nabi pembantu. Fungsi dari nabi pembantu itu dalalah menguatkan dan menjelaskan apa yang terjadi dalam syariat yang dibawa oleh nabi sebelumnya. Menurut Ahmadiah perbedaan antara nabi dan rasul hanya nisbati saja, sedangkan wujudnya satu. Lebih lanjut menurut Ahmadaih baik nabi maupun rasul sama-sama harus menyampaikan wahyu yang diterimanya, kalau tidak disampaikan ia akan berdosa karena telah menyembunyikan pengetahuan yang telah diterimanaya dari Allah. Singkatnya, menurut Ahmadiah setiap nabi dan rasul adalah niscahya sebaliknya, setiap rasul adalah nabi. Terkait dengan kenabian Ghulam Ahmad, terjadi perbedaan mendasar antara aliran Qadian dan Lahore. Aliran Qadian mengagap bahwa kenabian yang membawa syariat baru sudah berakhir, tetapi untuk kenabian zhilli ghari tasyri‟ masih akan terus terbuka. Namun kenabian ini akan berlangsung kedatangannya umat Nabi Muhammad pada ranah ini, aliran Qadian meyakini bahwa Ghulam Ahmad adalah nabi sementara aliran Lahore meyakini bahwa Ghulam Ahmad 78 hanyalah sebagai mujaddidin, meskipun secara implisit mereka menganggap sebagai nabi lughawi atau majazi. 79 BAB IV ANALISIS HASIL TERJEMAHAN KATA KHATAM DAN KHALIFAH DALAM WACANA KEAHMADIAHAN

A. Analisis Terjemahan Terhadap Kata Khatam Dalam Wacana